Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 Mei 2011

‘’CONSERVATION OF MANUSCRIPTS’’, DARI ELUMINASI HINGGA PENYELAMATAN ALAM SEMESTA

Oleh. M.Yunis* 
Pasca gempa 30 september 2009 di Sumatra barat, meninggalkan kisah pilu. Kepiluan itu tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tidak mempunyai rumah, seyogyanya peninggalan lama pun tidak luput dari lahapan gempa. Salah satu peninggalan maha karya tersebut adalah naskah lama yang ditulis oleh para pendahulu-pendahulu Minangkabau.
            Berkat kerja sama pemerintahan Jepang dengan Universitas Andalas, rasa pilu itu sedikit terobati. Bertepatan pula dengan ‘rencana gempa’ tanggal 25 november 2010, dan acara yang juga diinisiatifi oleh filolog-filolog Fakultas Sastra Universitas Andalas (Prof. Dr. Herwandi, M.Hum dan Pramono, SS, M.Si) Osaka University (Yumi Sugahara), NRICP Tokyo (Akiko Tashiro, Ikuko Nakajima, dan Itaru Aritomo) dan Manassa Sumbar (Dra. Adriyetti Amir, SU), kecintaan terhadap peninggalan lama itu diwujudkan dalam bentuk, ‘’Workshop on The Conservation of Manuscripts in Earthquake-Affected’’.  Seperti yang dikemukan oleh Yumi Sugahara (Osaka University) dan Itaru Aritomo (NRICP) bahwa kegiatan ini perlu, berhubung pasca gempa kegiatan ini belum terrealisai maka pada kesempatan inilah rencana itu bisa diwujudkan. Di samping melakukan konservasi, dalam workshop ini juga dilakukan eliminasi naskah yang sudah rusak dan tentunya kegiatan ini membutuhkan komitmen yang penuh, sehingga naskah lama bisa diselamatkan.
            Di sela-sela materi yang disampaiaknnya, Yumi Sugahara dan Itaru Aritomo menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara eliminasi  bergaya Eropa dengan eliminasi  ala Jepang. Ditegaskannya, bahwa eliminasi  bergaya Jepang dapat dilakukan dengan cara manual dan dengan mempergunakan mesin. Di Indonesia mesin eliminasi naskah itu terdapat di perpustakaan nasional Jakarta. Eliminasi ala Eropa lebih diidentikan dengan penggunaan lem yang terbuat, oleh karenannya naskah yang sudah selesai diperbaiki tidak bisa dibuka kembali. Sedangkan eliminasi  gaya Jepang lebih banyak menggunakan methanol sebagai pembunuh kuman dan air sebagai perekat naskah dengan serbuk Tisu Jepang, tujuannnya naskah bisa dibuka atau dipisahkan kembali dari tisu yang melindunginya. Cara ini disiyalir untuk menyesuaikan teknik eliminasi  dengan kemajuan teknologi yang akan datang. Jadi, naskah yang telah dilindungi tisu bisa dibuka kembali dan tentunya naskah tersebut disesuaikan dengan penemuan bahan pelindung terbaru. Gaya ini tentunya sangat berbeda dengan gaya Eropa, yang mana nashkah langsung direkatkan dengan tisu dengan sepenuhnya menggunakan lem, karenanya naskah tidak bisa lagi dipisahkan dari tisu yang melindunginya.
Dijelaskan oleh Yumi, bahwa penyebab kertas naskah cepat rusak dan mudah dimakan rayap sangat tergantung tingkat keasaman kertas naskah tersebut. Kertas Eropa yang memiliki tingkat keasamannnya tinggi mempercepat kerusakan naskah. Berbeda dengan kertas Jepang dan Daluang yang biasa digunakan dalam penulisan naskah Nusantara, kedua kertas tersebut bersifat netral dan sekarang kertas Daluang masih diproduksi di daerah Jawa Barat dan juga masih digunakan dalam penulisan-penulisan. Untuk kondisi naskah yang tidak terlalu rusak, naskah cukup dibersihkan dengan kuas yang terbuat dari bulu kuda. Naskah yang belum dieliminasi disarankannya disimpan dengan ditidurkan. Sebab kebanyakan dari naskah yang rusak sangat rapuh dan kondisi penyimpanan yang tidak selayaknya akan menambah kerontokan halaman nashkah.
Kegiatan konservasi ini dilakukan sudah untuk kesekian kalinya, kegiatan serupa juga pernah dilakukan, tanggal 20 April 2010 Fakultas Sastra Unand dan eliminasi naskah dilanjutkan di Surau Paseban Koto Tangah Kodya Padang, tetapi eliminasi naskah bercorak Eropa. Kegiatan tersebut dihadiri oleh filolog muda dari IAIN Imam Bonjol (Apria Putra). Di sela prsentasinya, Apria mampu menjelaskan penelusuran jejak Ulama di Minangkabau bersama naskah yang ditinggalkannya. Penelusuran itu baru dilakukan pada satu titik yaitu di Kumpulan Pasaman, jelasnya Simpang Tonang. Tetapi sayang sekali, kondisi naskah itu sudah banyak yang rusak, seperti pernyataan yang dikemukan oleh Pramono Filolog dari Sastra Minangkabau, bahwa naskah tersebut sampai sekarang masih banyak berada dan berserakan di lapangan. Seperti Surau Paseban, Surau-surau Kabupaten Padang Pariaman yang sekarang sudah banyak yang roboh, Payakumbuah, Lunang, dan daerah lain yang belum terdata. Di Pariaman sendiri masih banyak Naskah Lama yang dikoleksi secara pribadi, seperti kitab pengobatan orang kerasukan, palangkahan dan lain sebagainya. Kondisi yang sangat memperhatinkan ungkap Pramono, Naskah Kuno di Sungai Limau, di sana terdapat puluhan naskah yang mihrab ke langit. Kondisi ini diciptakan oleh alam, sebuah kondisi yang gawat darurat naskah tersebut tidak berhasil diselamatkan lagi karena tempat naskah itu ditumpuk telah dihancurkan oleh gempa 30 Desember 2009 yang lalu.
Sesuai dengan pendapat Prof. Razak (Malaysia), bahwa penyebab yang sangat signifikan kerusakan naskah di antaranya; pertama berkaitan dengan tempat penyimpanan naskah yang pengap udara. Cuaca panas, membuat udara yang ada di dalam tempat penyimpanan naskah memuai sehingga naskah menjadi sangat kering. Saat datangnya hujan, cuaca sangat dingin sehingga naskah menjadi lembab kemudian kering kembali. Dari fenomena ini dapat dibayangkan kondisi naskah setelah itu, apalagi naskah sudah disimpan selama berpuluh-puluh tahun. Kedua, kondisi naskah yang mengerenyut karena kertasnya sudah terlalu lama. Kondisi naskah yang seperti ini masih bisa diselamatkan dengan distrika dengan strika khusus naskah. Tetapi kendalanya, alat tersebut cukup mahal dan hanya tersedia di Korea. Ketiga, kondisi naskah yang hurufnya hancur, naskah seperti ini menurut Prof. Razak tidak perlu diselamatkan lagi.
Pendapat di atas juga dibenarkan oleh Yumi Sugahara dan menyarankan tidak menyimpan naskah di tempat yang terlalu pengap atau terlalu dingin, karena akan mempercepat kerusakan halaman naskah-naskah. Kondisi yang serupa juga penulis temukan saat berkelana dengan M. Yusuf dan Yusriwal (Alm)  yang juga Filolog dari Sastra Unand di daerah Sumani Solok. Kondisi seperti ini sangat berbahaya bagi pelindungan naskah, penyebab utamanya tempat penyimpanan naskah yang tidak layak, naskah itu ditumpuk naskah di simpan di atas loteng Surau, seperti fakta yang ditemukan di Surau Sumani Solok tahun 2002 yang lalu.
Terlepas dari masalah di atas, timbul pertanyaan, naskah kuno ini mau dibawa kemana dan fungsinya apa? Mengacu pada pendapat Apria Putra, melalui naskah kuno kita mampu menelusuri jejak Ulama di Minangkabau. Menurut penulis, keberhasilan usaha tersebut di atas hanya merupakan salah satu saja dari rahasia yang berhasil dungkap dan tersimpan di balik naskah lama. Menilik pada geneologi, latar belakang baik  kata, kalimat, huruf yang digunakan, masa ditulis, juga mempunyai latar belakang sendiri. Tulisan yang dugunakan kiranya juga mampu mengungkap latar belakang ideologi masyarakat, kebudayaan, dan kekuasaan yang berlaku ketika itu.
Penulis berpandangan, bahwa naskah lama sesungguhnya bisa dikaji melalui pendekatan ilmu bahasa (Linguistik). Senada dengan itu, Al-Fayyadl (2005) juga pernah menyatakan bahwa sesungguhnya Filologi itu adalah Linguistik dan dari sanalah Linguistik itu lahir. Filologi merupakan sebuah cabang ilmu bahasa, di dalam pengkajiannya juga bisa melibatkan ilmu bahasa makro, baik untuk melihat geneologi kata, bahasa, tulisan sehingga kehadirannya teks naskah itu perlu bagi perkembangan generasi. Filologi dalam pengkajian naskah tidak harus ending pada eliminasi, translitrasi dan suntingan teks saja tetapi dibalik teks tersbut kecendikiawanan, ide, pandangan hidup, dan lain-lain.
Berkaitan dengan itu, dirunut dari awal abad pertengahan hingga abad moderen, awal abad pertengahan mulai kehilangan pandangan tentang banyak ajaran kuno dan klasik. Naskah lebih banyak disimpan di tempat tertentu dan hanya orang tertentu yang boleh membacanya. Kemudian Eropa mengalihkan pandangannya ke Timur untuk menemukan kembali dokumen tua yang sudah lama hilang di dunia Barat. Dokumen itu tertulis dengan bahasa Yunani, bahasa Arab, dan Siria. Kebijaksanaan purba seperti Yunani (Plato dan Aristoteles) beberapa waktu tersimpan dalam masyarakat Islam. Oleh karena itu, Eropa ingin belajar kembali dengan melahirkan ‘renaisance’’ (kelahiran kembali). Di zaman itu banyak di antara pemikir kerasukan alkimia, sebab di antara mereka banyak yang menganggap alam sebagai sistem tanda yang suci. Tidak bertahan lama (Renaisance bertahan dari abad ke-14 hingga abad ke-16). Akibatnya, abad pencerahan dikritik dan digoyang awal abad ke-20 dengan datangnya para ‘’mordernis’’, dan kritikus gereja tahun 1910 hingga pecahnya perang dunia II. Para mordernis adalah murid sains yang mengharapkan dunia kuat dan baru, semuanya menggunakan teknologi dan matematika dalam desain mereka. Pada saat ini terjadi kemunduran zaman modern karena kealpaan masyarakat terhadap kebudayaannnya (O’donnill, 2009), kemunduran ini juga disebut oleh Gidden (2001) sebagai ‘tumbal modernitas’.
Alhasil, muncullah kritikus-kritikus penentang filsafat Barat seperti Friedrich Nietzsche dengan filsafat kehendak, kebenaran mutlak dibongkar oleh Derrida, sistem kapitalis dilawan oleh Karl Marx, hegemoni pengetahuan ditentang oleh Michel Foukoult. Nietzsche dengan nalar puitisnya bercerita tentang geneologi moral dalam satu ‘’kehendak untuk berkuasa’’, pengikutnya yang termasyur adalah Michel Foukoult, Jean Paul Sartre, Gileze Deleuze, dan Jacques Derrida. Di Timur sendiri lahir M. Iqbal beserta pemikirannya yang sangat cemerlang dalam menaklukkan kehendak berkuasa. Maka dari itu, Iqbal dikenal sebagai Nietzsche dari Timur. Untuk menanggulangi kerusakan, penganut modernitas kembali melirik Timur, karena di Timur banyak naskah lama masih tersimpan, tertulis dan asli. Usaha tersebut dilakukan untuk mencari jati diri dan kembali pada kosmologi alam. Ekspedisi ke Yunani membawa kaum modernis pada kekhasan naskah-naskah lama yang berbahasa Yunani dan katanya hanya mitos. Namun kesadarannya konensioanalnya mampu menaklukan keganasan, kengerian dan kekejaman alam semesta.  Faktanya iblis sebagai mahluk pengganggu disebutnya Satyr dan bertugas membantu orang manusia (Hamilton, 2009).
Tidak berbeda dengan naskah lama yang terdapat di dunia Timur, di antaranya bersi tentang falsafah hidup, etika terhadap alam semesta, etika pergaulan muda-mudi, dan lain-lain. Jika naskah tersebut diperlakuan dengan layak, polisi kehutanan tidak akan susah menggagalkan ilegal loging, penduduk aman dari ancaman banjir, tanah longsor, bibit-bibit fauna laut pantai selatan juga akan terjaga dari pukat harimau.

*Pemerhati Naskah Lama dan Panitia Pelaksana Workshop on The Conservation of Manuscripts in Earthquake-Affected. 

 catatan: Tulisan ini telah diterbitkan oleh padang ekspres.


Universitas yang Tidur dalam Kemewahan

Sabtu, 20 November 2010 | 09:45 WIB
Oleh: Wannofri Samry

KOMPAS.com - Paling tidak lima tahun terakhir universitas-universitas di Indonesia secara serentak menslogankan ”universitas kelas dunia” seperti nyanyi vokal yang tidak jelas bunyi awal dan akhirnya. Bunyi nyanyi itu indah didengar dan dibayangkan, tetapi buruk dilihat dan pahit dirasakan. Realitasnya, universitas-universitas di Indonesia tidak pernah menduduki peringkat puncak di Asia, bahkan di Asia Tenggara.

Dibandingkan dua jirannya, Malaysia dan Singapura, keterpurukan itu terlihat jelas. Beberapa universitas Malaysia dan Singapura pernah menduduki posisi puncak Asia. National University Singapura, misalnya, di ranking ketiga Asia tahun 2009, Universiti Malaya di ranking ke-4 Asia (2004), dan Universitas Kebangsaan Malaysia masuk 200 dunia pada 2006.

Tahun ini, dari ranking versi QS (London), Indonesia secara keseluruhan belum mencatat capaian impresif, betapapun banyak komentar subyektif mengagulkan diri dari pejabat perguruan tinggi. Ketika Malaysia menempatkan lima universitasnya dalam 100 terbaik Asia, Indonesia hanya menempatkan dua universitas.

Universiti Malaya (Malaysia) di ranking 42 Asia, turun setingkat dari 2009, Universiti Kebangsaan Malaysia (58), Universiti Sains Malaysia (69), Universiti Putra Malaysia (77) dan Universiti Teknologi Malaysia (90). Sementara Indonesia, posisi terbaik dicapai Universitas Indonesia (UI) yang masuk 50 besar Asia dan Universitas Gajah Mada (UGM, 85). Selebihnya di luar angka 100.

Institut Teknologi Bandung (ITB) terlempar ke peringkat 113 Asia, kalah dari Universitas Airlangga (Unair, 109). Sementara Institut Pertanian Bogor (IPB) di peringkat 119 dan Universitas Padjadjaran (Unpad) serta Universitas Diponegoro (Undip) di ranking 161.

Universitas luar Jawa yang tertua, Universitas Andalas Padang dan Universitas Makassar tidak masuk 200 Asia. Apa sebenarnya kunci di balik sukses dan ”sukses” para universitas di atas? Perbandingan bisa menjadi salah satu ilustrasi.

Lemah basis pustaka

Adalah kenyataan, di Indonesia universitas yang masuk peringkat 200 besar Asia adalah universitas yang ada di Pulau Jawa. Maknanya, pembangunan pendidikan tinggi ternyata masih berfokus di pusat-pusat kekuasaan. Satu warisan sentralisme sejak awal republik, bahkan sejak kolonial. Di luar itu, universitas-universitas di Indonesia juga belum memiliki satu kebijakan pendidikan yang progresif dan reformatif untuk—katakanlah—membangun sistem dan fasilitas pendidikan berkelas dunia.

Di Malaysia, fasilitas dunia segera tampak hampir di semua fasilitasnya, mulai laboratorium, ruang kuliah, perpustakaan, sampai anggaran operasionalnya. Sementara di Indonesia, dari segi perpustakaan saja, Universitas Indonesia (kini masuk 50 Asia) hanya bisa meminjamkan lima buku ke tiap mahasiswa, durasi 15 hari, dengan perpanjangan 45 hari. Sistem peminjaman dan pengadaannya juga umumnya bersifat lokal, bahkan manual.

Di Malaysia, semua mahasiswa bisa meminjam 20 buku per kartu, masa pinjam 40 hari dan bisa diperpanjang sampai 140 hari. Semua dilengkapi sistem jejaring elektronik dan dapat bertukar akses dengan berbagai perguruan tinggi dunia.

Perguruan tinggi di Malaysia amat sadar akan pentingnya buku. Itu terlihat dari upaya keras mereka meningkatkan kuantitas koleksi tiap tahun. Mereka punya tim pemburu buku dan jaringan pemesanan buku di berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia. Tidak salah jika berbagai terbitan dan kliping Indonesia disimpan di sejumlah universitas Malaysia. Kita dengan mudah menemukan koleksi lengkap majalah Editor, Tempo, Pandji Masyarakat, Suara Mesjid, Horison, dan majalah yang (mungkin) dianggap tak penting di Indonesia seperti Aneka Minang—terbit tahun 1970-an. Kita pun bisa mendapat majalah terbitan Hindia Belanda seperti Indische Verslag, Koloniale Studien, De journalistiek van Indie, dan Kroniek Oostkust van Sumatra Instituut, sekadar contoh.

Semua majalah itu disimpan bersama ribuan jurnal lama dan terbaru dari berbagai disiplin ilmu yang terbit dari berbagai sudut dunia, dari berbagai universitas terkemuka dunia. Perpustakaan mereka dilengkapi ruang audio visual, yang menyimpan dokumen mikrofilm, CD-DVD, kaset, dan film. Juga disediakan ruangan untuk mahasiswa peneliti, ruang diskusi, dan ruang laboratorium komputer-cyber, serta bioskop mini untuk memutar film.

Tidak salah jika mahasiswa Muslim Asia berbondong-bondong ke Malaysia untuk melanjutkan studi, termasuk dari Indonesia. Semua bisa mendapat beasiswa dan menjadi asisten riset. Gajinya jelas lebih besar dari gaji dosen golongan IVa di Indonesia.

Di Indonesia

Indonesia dengan kebijakan hebat meningkatkan porsi anggaran pendidikan hingga 20 persen, ternyata malah cenderung menswastakan universitas negeri. Artinya, memindahkan beban yang harus dipikul negara ke rakyat banyak. Dengan PDB tertinggi di ASEAN, sekitar 5.000 triliun rupiah, porsi 20 persen dari APBN tentu sangat signifikan. Namun, mengapa justru perguruan tinggi makin menguatkan diri sebagai komoditas mewah yang bisa diakses hanya oleh sebagian kecil penduduk?

Sebenarnya Indonesia hingga saat ini—walau diam-diam—masih jadi acuan utama bagi Malaysia, dan mungkin bagi sebagian negara ASEAN. Bangsa Indonesia disukai karena dianggap lebih dinamis, kreatif, dan egaliter—ini sangat disenangi dosen-dosen Malaysia.

Bangsa Indonesia memiliki dasar historis dan basis budaya pendidikan yang kuat dibandingkan Malaysia atau negara lain. Gairah intelektualnya lebih dahulu muncul dibandingkan Malaysia. Kondisi geografis, politis, historis, hingga kultural Indonesia menempati posisi tersendiri karena kekayaan, kebesaran, dan kematangannya.

Namun, sayang, semua itu tidak dijadikan dasar kuat membuat perguruan tinggi yang bisa menjadi acuan terbaik. Kita ingat, di abad ke-7, di masa Sriwijaya, kita sudah punya universitas yang jadi acuan banyak negara. Mungkin itu salah satu universitas tertua di dunia.

Sayang sekali, kita seperti tertidur dalam kemewahan warisan hebat di atas. Adakah karena kebijakan dan sistem yang tidak cerdas atau manusianya yang tidak cerdas. Jawabannya harus kita dapatkan bersama. Bersama-sama.

Penulis adalah Dosen Universitas Andalas, Mahasiswa Doktoral Universiti Kebangsaan Malaysia

Dirikan Dinas Kebudayaan

                           
 Selasa, 18 Januari 2011 01:21 
 Oleh. Herwandi

Pisahkan Pengelolaan dari Pariwisata

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari daya, cipta, karya, karsa manusia, baik yang berupa benda (tenggiblel) seperti rumah, meja, kursi, bendungan dan benda-benda lainnya, maupun yang tak benda (intenggible) berupa hasil pemikiran, ritual adat dan hal yang sejenisnya.

Artinya, kebudayaan adalah hasil kreativitas manusia yang melibatkan unsur fisik, kemauan, kemampuan otak dan rational manusia untuk mempermudah kehidupannya dipermukaan bumi ini. Dalam proses kelahirannya, berjalin berkulindan antara kemampuan fisik, kreativitas dan kemampuan rational manusia.

Oleh sebab itu kebudayaan selalu mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu. Baik yang benda maupun yang tak benda, pada intinya selalu mengendapkan dan berisi nilai-nilai budaya. Nilai-nilai itulah yang memberikan warna dan karakter masyarakat pendu­kungnya, sekaligus sebagai karakter sistem budaya itu, yang oleh manusia pendukungnya selalu dipelajarinya terus menerus dan diwariskan secara turun temurun.

Kalau dijabarkan lebih jauh, nilai-nilai kebudayaan selalu dipelajari, kemudian dijadikan pedoman oleh masyarakat pendukungnya untuk mempermudah mereka dalam menempuh kehidupan sesama masyarakat pendukung kebudayaan tersebut serta mengatur hubungan mereka dengan masyarakat di luar pendukung kebudayan itu.

Selanjutnya kebudayaan itu pada gilirannya harus diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya agar terdapat kesinambungan nilai. Akibat kebudayaan selalu dipelajari dan diwariskan secara terus menerus maka akan terpeliharalah nilai, dan dengan memelihara nilai berarti akan terpelihara pula karakter kebudayaan dan kemanusiaan dalam lingkup kebudayaan tersebut.

Oleh sebab itu, pada sisi tertentu kebudayaan sebetulnya berfungsi sebagai alat untuk pembentukan karakter suatu generasi manusia. Kebudayaaan mengajarkan kepada manusia untuk hidup berpola, bersopan santun, berkurenah, dan tidak menganggu kehidupan makhluk lain.  Kebudayaanlah yang berjasa menjadikan manusia menjadi manusia yang sesungguhnya.

Roh kebudayaan adalah nilai tersebut. Kalau nilai kebudayaan itu yang sudah hilang, maka berarti kebudayaan itu sudah kehilangan roh, dan kalau roh kebudayaan itu sudah tidak tak penting berarti pendukung kebudayaan itu tidak lagi memiliki karakter dan sudah tercerabut dari nilai-nilai budaya mereka. Berarti sistem budaya itu hanya menunggu untuk hilang dari bumi.

Kalau disimak lebih jauh, saat ini sedang terjadi dekadensi moral dan pemahaman nilai-nilai adat di tengah-tengah masyarakat. Apakah itu pertanda tidak lagi berlangsung pewarisan nilai-nilai moral dan adat? Atau memang telah terjadi kesalahkaprahan dalam pengelolaan kebudayaan di daerah ini?

Pengelolaan Kebudayaan yang Salah Kaprah

Pengelolaan kebudayaan di Sumatera Barat khususnya, berada di bawah komando Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Mulai dari tingkat nasional, penggabungan pengelolaan kebudayaan dengan pariwisata sudah lama dituduh sebagai tindakan yang salah kaprah, tidak terkecuali di Sumatera Barat.

Pengelolaan kebudayaan berada dalam titik yang berbahaya. Menyatukan pengelolaan budaya dengan pariwisata ibarat memasukkan durian dan mentimun ke dalam karung yang sama. Kebudayaan ibarat mentimun yang hancur oleh duri durian beragam kepentingan kepariwisataan. Paradigma pengelolaan kebudayaan seperti itu telah merusak terhadap kebersinambungan dan kelestarian kebudayaan secara keseluruhan. Pengelolaan kebudayaan seperti itu setidaknya memiliki sejumlah kesalahan beruntun.

Pertama adalah kesalahan menempatkan kebudayaan sebagai aset untuk mendukung dunia kepariwisataan. Meskipun berulang-ulang dinyatakan oleh pemangku kebijakan tentang kebudayaan dan pariwisata bahwa tugas dan fungsi dinas kebudayaan dan pariwisata ini selalu mendahulukan urusan kebudayaan. Namun dalam pelaksanaannya kebudayaan telah menjadi objek semena-mena kepentingan kepariwisataan dan pengelolaan kebudayaan yang seharusnya didahulukan justru cenderung dianak tirikan.

Kalaupun ada kebijakan dan kegiatan yang lahir selalu kepentingan kebudayaan terkooptasi oleh kepentingan pariwisata. Kebudayaan ditempatkan sebagai alat untuk mendukung dunia kepariwisataan. Kebudayaan dianggap sebagai salah satu aset yang berpotensi untuk mendukung dunia pariwisata, sehingga semua unsur kebudayaan diarahkan untuk mendukung dunia periwisata tersebut. Muaranya adalah produk kebudayaan juga digiring untuk mendatangkan uang yang banyak, sumber pendapatan asli daerah (PAD). Cara berpikir seperti itu, akhir menggiring para pemangku kebijakan kebudayaan dan kepariwisataan untuk selalu membina kebudayaan dalam kapasitas untuk memajukan dunia kepariwisataan.

Cara berpikir seperti di atas pada gilirannya memunculkan kesalahan kedua, yaitu para pemangku kebijakan dan jajarannya berlomba-lomba menciptakan suatu produk kebudayaan baru yang sebetulnya sudah lari dari akar dan nilai-nilai budaya aslinya.  Sebagai contoh produk kesenian tradisional, seperti seni tradisi randai yang penuh dengan nilai-nilai tradisional Minangkabau, yang biasanya ditampilkan dalam durasi waktu yang panjang (bermalam-malam) karena memang ditujukan untuk menyampaikan pesan dan pengajaran adat kepada pemirsanya. Kemudian oleh dinas terkait sengaja diciptakan produk randai baru yang hanya disuguhkan dalam waktu hanya 5-10 menit saja. Produk randai baru ini hanya bisa menampilkan “anatomi” luar dari randai tersebut, dan mana mungkin dilakukan penyampaian nilai adat dalam durasi waktu yang sependek itu.  Celakanya lagi justru pembinaan terhadap produk randai yang seperti itulah yang mendapat tempat di kalangan pemangku kebijakan, bukan kepada randai yang sebenarnya. Pada hal randai baru pada gilirannya telah merusak terhadap randai tradisional.

Paradigama berpikir seperti itu diikuti pula oleh kesalahan ketiga, yaitu cara berpikir para pemangku kepentingan kebudayaan dan kepariwisataan yang melihat bahwa para wisatawan selalu berpikir “yang mewah dan wah lah yang memikat” dan sesuai dengan ukuran-ukuran dunia barat.

Pada hal kalau dilihat lebih jauh justru wisatawan itu sudah jengah dengan dunia mereka sendiri (yang mewah dan wah), dan ingin melihat sesuatu yang lain, yang baru selain yang ada di kampung halaman mereka sendiri. Artinya bagi mereka sebetulnya “yang orisinillah yang menarik”. Oleh sebab itu cara pandang “yang mewah dan wah lah yang menarik” tidaklah tepat. Yang benar itu seharusnya adalah “ yang asli dan orisinil lah yang memikiat”.

Cara pandang “yang mewah dan wah lah yang menarik” akan bermuara lahirnya beragam kebijakan bagi kalangan pemangku kebijakan kebudayaan dan pariwisata untuk menciptakan objek wisata (sekaligus menyediakan anggaran yang besar) yang mewah dan wah pula. Sehingga mereka berlomba-loma menciptakan objek wisata baru yang mewah dan wah tersebut.

Celakanya lagi tindakan seperti itu menurunkan kesalahan keempat, karena ada produk sejarah dan kebudayaan asli sengaja dipolesi sedemikian rupa dan objek wisata tidak jarang dibuat dan didirikan di lingkungan situs sejarah dan budaya atau merubah situs sejarah dan budaya menjadi lebih mewah.

Pada hal situs itu harus dipelihara keorisinilannya. Hasilnya, ketika wisatawan mancanegara datang berkunjung,  mereka merasa “heran” saja, setelah itu tak berniat lagi mengunjungi untuk kali kedua, meskipun sudah dilakukan promosi yang maha dahsyat. Sebaliknya kalau paradigma berpikir “yang asli dan orisinil lah yang memikat” yang diterapkan, maka sudah tentu hal tersebut tidak akan terjadi seperti itu. Menjaga keorisinilan situs budaya itu justru lebih penting, tatapi karena paradigma berpikir yang salah sehingga mengabaikan unsur pewarisan dan pelestarian kebudayaan.

Hal ini kemudian memunculkan kesalahan kelima, karena telah mengabaikan misi khusus pewarisan kebudayaan yang sekaligus sebagai sarana untuk menjaga karakter bangsa. Para pemangku kebijakan dalam hal ini lupa bahwa misi khusus dan togas pokok lembaga kebudayaan adalah menjaga karakter bangsa ini agar tetap eksis.

Marilah kita lihat, jarang kelihatan kegiatan dinas kebudayaan dan pariwisata yang benar-benar diarahkan kepada pembinaan terhadap pewarisan nilai-nilai adat di tengah-tengah masyarakat, khususnya kegiatan langsung terhadap kebudayaan dan kehidupan beradat ditingkat nagari.

Boleh dilihatlah ke semua daerah tingkat kabupaten dan kota, ada ndak kegiatan dinas terkait yang sengaja mengajarkan kembali “bakolah”, “mangaji adat” untuk kalangan muda sebagai bagian dari pewarisan dan pelestarian nilai adat sekaligus untuk membentuk karakter kalangan muda? Jangankan  di setiap nagari, di tingkat kabupaten dan kota saja jarang ditemukan.

Selanjutnya, ada ndak kegiatan pada dinas terkait yang sengaja memberikan pencerahan terhadap penghulu dan pemangku adat di nagari tentang pengetahuan adat yang mereka punyai? Selanjutnya, ada ndak kegiatan pada dinas terkait yang sengaja memberikan pemahaman dan pencerahan kepada pemangku kebijakan kebuda­yaan dan pariwisata tentang pemahahaman nilai-nilai kebudayaan itu? Lalu pertanyaannya apakah dinas terkait sendiri sudah “babana-bana” menyediakan sumber daya manusia yang tepat untuk mengelola kebudayaan?

Penulis bisa mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan itu sangat jarang, kalaupun ada hanya dilakukan dalam kualitas yang “sekadar” saja, tidak “babana-bana” untuk mengelola kebudayaan.

Miskin Pemahaman Kebudayaan

Permasalahan di atas semakin runyam karena diikuti kesalahan berikutnya, yaitu kenyataanya sumber daya manusia yang mengelola kebudayaan dan pariwisata dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi di bidang budaya dan pariwisata.

Boleh dilihat mulai dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tingkat provinsi apa lagi sampai ke kabupaten/kota,  tidak banyak (mungkin boleh dihitung dengan jari saja) pegawainya yang memiliki latar belakang pendidikan tentang kebudayaan. Selebihnya mereka berasal dari  beragam latar pendidikan yang notabene tidak mengerti tentang kebudayaan apalagi memahami nilai budaya sekaligus menghargai pewarisan nilai-nilai budaya tersebut.

Lebih parah lagi, pemerintah daerah pun tidak berusaha merekrut pegawai dari alumni perguruan tinggi yang memiliki latar belakang dan berkopetensi kebudayaan, khususnya kebudayaan Minangkabau. Di Sumatera Barat ini ada beberapa perguruan tinggi yang telah melahirkan lulusan yang memiliki kompetensi tentang pewarisan nilai-nilai budaya dan adat Minangkabau. Paling tidak jurusan dan program studi Sastra Minangkabau telah melahirkan sejumlah alumni yang memiliki kompetensi yang erat hubungannya dengan pewarisan nilai budaya dan adat Minangkabau. Tapi apakah ada penghormatan bagi pemerintah daerah terhadap mereka? Saya berani menya­takan bahwa mereka tidak dihargai, karena jarang (kalau tidak tepat menyatakan tidak ada) pemerintah daerah yang menyediakan formasi penerimaan pegawai untuk mereka.

Pada hal kami tahu, dalam struktur organisasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mulai dari tingat propinsi sampai tingkat kabupaten dan kota perlu ada pamong-pamong budaya, yang bertugas memberikan penyuluhan pembinaan kebudayaan kepada masyarakat, tatapi posisi itu dibiarkan kosong. Ini memperlihatkan bahwa pemerintah daerah ini tidak bersungguh-sungguh dalam hal pengelolaan kebudayaan.

Dirikan Dinas Kebudayaan

Sudah puluhan tahun daerah ini menggabung pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan pada satu dinas. Selama itu pula telah terjadi perusakan kebudayaan secara struktural karena telah sekian lama pula melaksanakan kesalahkaparahan. Selama itu hasilnya sudah dapat diterka dan wajar saja sampai saat ini telah terjadi dekadensi moral, adat dan kebudayaan karena pengelolaannya tidak untuk kepentingan pewarisan nilai dan pembentukan karakter masyarakat.

Wajar pula munculnya perusakan terhadap warisan sejarah dan kebudayaan, karena dikerjakan oleh manusia-manusia yang kurang tepat dan kepentingan kebudayaan itu bukan ditujukan untuk kepentingan kepariwisataan itu sendiri.

Oleh sebab itu, sudah saatnya pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan tidak lagi berada pada dinas yang sama. Sudah saatnya untuk dipisah sehingga tugas dan fungsi pengelolaan kebudayaan dapat dipilah secara jelas dan berjalan sebagaimana mestinya.

Pengelolaan kebudayaan sudah saaatnya diserahkan kepada tanaga-tenaga dan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi untuk mengelola kebudayaan daerah ini. Hal ini pada gilirannya pemerintah daerah pada setiap tingkat sudah harus merekrut tenaga kepegawaian dari alumni perguruan tinggi yang memang memiliki kompetensi untuk mengelola kebudayaan, khususnya sastra Minangkabau. Artinya pemerintah daerah harus menyediakan formasi penerimaan pegawai untuk alumni-alumni yang memiliki kompetensi mengenai pengelolaan kebudayaan.

Selanjutnya kalau pemerintah daerah tetap menyatukan pengelolaan kebudayaan dan pariwisata dalam satu dinas ibarat memasukkan durian dan mentimun kedalam karung yang sama: Kebudayaan dapat menjadi bertambah hancur.



(Dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas)
Dirikan Dinas Kebudayaan                              
Selasa, 18 Januari 2011 01:21

Senin, 01 Maret 2010

SASTRA LISAN BUTUH PENCERAHAN


Oleh: M. yunis
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seolah-olah menyudutkan kreativitas masyarakat. Pengaruh-pengaruh dari luar secara tidak langsung telah merobah pola pikir masyarakat Minangkabau. Dalam hal ini, kesalahan tidak bisa ditujukan kepada salah satu kelompok orang saja. Menurut Newton (hukum sebab-akibat) adanya aksi akan memunculkan suatu reaksi. Oleh Karena itu, penyebab hilangnya kerativitas masyarakat tersebut tidak akan terlepas dari beberapa faktor yang signifkan tentunya.
Dengan  dibukanya sistim perdagangan internasional, akan membawa dampak yang lebih besar lagi terhadapat perkembangan masyarakat Minangkabau. Kebebasan keluar masuk terhadap suatu negara, akan memungkinkan cepatnya psroses mobilisasi pola pikir masyarakat. Rasa kekeluargaan yang selama ini diagung-agungkan lambat laun akan terlupakan begitu saja. Filsafat hidup oleh, dari dan untuk kita akan tinggal nama belaka, faham individualisme akan hidup subur di tengah masyarakat Minangkabau. Setiap  individu tentunya akan berpandangan, kemajuan adalah segala-galanya, tidak menghiraukan lagi hubugan interen di antara mereka, sebab sikap antusias untuk  meraih popularitas mendominasi alam pikiran .
Falsafah ‘’adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah’’ tidak seakan  tak relevan lagi dengan kehidupan sekarang, itu ialah bayangan masa lalu  yang sangat ditakuti. Pengaruh budaya luar sebenarnya secara tidak langsung telah menjajah kebudayaan kita. Kemajuan berkiblatkan barat, dan adanya pandangan masyarakat bahwa budaya luar paling sahih, sementara kita tidak mampu mengekspor corak dan kepribadian yang kita miliki, sehingga berkembangnya faham westernisasi dalam tubuh masyarakat kita.
Dengan sangat berat hati, kita harus mengakui bahwa kita telah dilanda bencana global, yang kian hari korbannya semakin berjatuhan. Masyarakat tidak lagi mengindahkan pranata-pranata sebagai alat kontrol sosial, hal ini sudah dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Contohnya sastra lisan Ulu Ambek yang sekarang masih berkembang di Pariaman. Pada awalnya Ulu Ambek menduduki posisi terdepan dalam dinamika kehidupan masyarakat Pariaman sebagai alat komtrol sosial. Dalam sastra lisan ini, terdapat unsur-unsur yang saling terkait antara satu dengan lainnya, aspek budaya tradisi yang merupakan cerminan hidup masyarakat Minangkabau pada masa lalu. Kesimpulannya, apa yang dapat dilihat itulah realiatas yang dapat dijadikan acuan dasar dalam bertindak serta bertingkah laku dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Tapi sekarang kejayaan tersebut kian hari kian surut di tengah-tengah masyarakat Pariaman. Bukan tidak mungkin sastra lisan yang satu ini hilang begitu saja.
Untuk mempertahankan, serta untuk mermbangkitkan kembali pola berfikitr masyarakat seperti dulu, membutuhkan usaha yang sangat serius tentunya. Dengan mengadakan penelitian dan pendokumentasian terhadapnya, hendaknya dapat membantu  mempertahankan sastra lisan ini agar tidak hilang dalam peredaran zaman. Terutama kita dapat mengetahi bagaimana masyarakat berdaptasi dan belajar dari kesenian tradisi yang dihasilkannya, sehingga dalam pewarisan nilai-nilai tersebut tidak terjadi pemutusan generasi (stagnasi). Walaupun hal ini terlihat sulit, secara moral kita wajib memperetahankan kekayaan yang kita miliki ini. Namun, untuk melakukannya, tidaklah segampang yang kita bayangkan. Kita sebagai peneliti harus menempuh proses-proses yang sangat panjang, dan membutuhkan biaya yang cukup besar, mungkin  inilah  yang di namakan perjuangan.
Untuk lebih terarahnya sebuah penelitian, penulis akan berusaha memberikan seidikit gambaran dalam melakukan sebuah penelitian. Melalui objek pennelitian ini, seorang peneliti harus mampu mengkaji makna, bagaimana sastra lisan tersebut dapat  membentuk kepribadian dan jati diri masyarakat Minangkabau. Kita tentunya dapat melihat dari beberapa aspek tertentu : apa fungsi penampilan sastra lisan sebenarnya?, apa makna sastra lisan tersebut bagi masyarakat?, dan bagaimana sastra lisan dapat membentuk kepribadian masyarakat?.
Berkaitan dengan itu, kajian ini harus mebahas tentang usaha dalam mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan pada bagian awal tadi. Dalam menanggulangi masalah tersebut diperlukan cara-cara yang kongkrit, sehingga sastra lisan tersebut benar-benar dapat menggambarkan dan memperlihatkan unsur-unsur yang dapat membentuk kepribadian, mantap dalam bersosialisasi. Sehingga masyarakat Minangkabau tidak lagi mengimpor corak-ragam budaya dari luar.
Dalam melakukan sebuah penelitian tentu mempunyai tujuan, baik bagi ilmu penegetahuan, bagi masyarakat dan sekurang-kurangnya bagi peneliti itu sendiri. Secara umum penelitian ini hendaknya bertujuan menggali makna sastra lisan bagi masyarakat dan mendeskripsikannya secara mendetil, sehingga dapat direlevansikan kembali dalam kehidupan masyarakat, kerena budaya adalah salah satu kebanggaan kita yang patut depertahankan. Secara khusus, sebuah penelitian hendaknya dapat mendeskripsikan secara mendetil tentang makna sastra lisan pada saat penampilan, kedua sebagai motor penggerak dalam membangkitkan kembali semangat generasi muda untuk mewarisi peninggalan nenek moyang kita, ketiga membuat sastra lisan lebih dikenal  oleh dunia luar.
            Di samping tujuan, sebuah penelitian tentu pula juga manfaatnya. Salah satunya penelitian hendaknya bermanfaat dalam melestarikan kebudayaaan daerah, yang merupakan salah satu kebudayaan Nasional bangsa Indonesia. Penelitian ini harus mampu membuka jalan bagi generasi muda dan menunjukan pada mereka betapa berharganya budaya kita, sehingga warisan ini ini dapat dilestarikan sepanjang masa. Dan juga, penelitian tersebut mampu menunjukan kepedulian kita terhadap budaya tradisi, yang merupakan milik kolektif masyarakat Minangkabau. Karena berharhargaannya budaya kita dipandang dan disegani oleh masyarakat luar, tergantung pada kita sebagai pemilik budaya itu sendiri. Apakah kita menghargai budaya kita tersebut?, apabila kita sendiri tidak menghargainya, maka sangat mustahil masyarakat luar akan menghargai. Untuk itu sangat perlu membangkitkan kembali kesadaran kita untuk menghargai dan mempertinggi rasa kepemilikan kita terhadap kesenian budaya tersebut. Maka melalui penelitian inilah dapat kita mulai melangkah dalam menuju masa depan yang cemerlang. 
Penelitian ini, juga harus bermanfaat bagi peneliti itu sendiri, sekurang-kurangnya menambah wawasan dan pengetahuan peneliti  dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Dengan pengalaman meneliti dalam observasi,  peneliti  hendaknya mampu meyesuaikan diri dengan masyarakat setempat. Dengan terjun kelapangan, peneliti akan melihat secara langsung  realitas sosial yang sedang gencar-gencarnya di bicarakan, sehingga  akan membentuk mentalitas peneliti sendiri.
            Sebelum penelitian dilakukan alangkah lebih baiknya peneliti melakuan tinjauan kepustaka. Karena, kajian pustaka dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian yang akan dilalakukan. Dan juga kajian pustaka membicarakan tentang penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yang tentunya memiliki relevansi dan dapat dianalogikan dengan penelitian ini yang terkait dengan metode, kerangka teori dan hasil penelitian.
Pernelitian sastra lisan Minangkabau pernah di lakukan oleh berbagai peneliti sebelumnya. Seperti yang dilakukan Dosen-dosen Fakultas Sastra Unand, pertama Adilla (1989) meneliti sastra lisan pantun dengan judul ‘’pantun dalam pertunjukan bagurau’’. Penelitian ini pendeskripsian bagurau yang merupakan salah satu pertunjukan kesenian tradisi Minangkabau. Hadirnya pantun dalam pertunjukan bagurau merupakan hal yang sangat dominan. Sampiran dapat dibentuk dengan memperhatikan keadaan alam dan lingkungan sekitar (Adilla 1989: 35 dan 38).
            Kedua, Adri Yetti Amir (1990) merangkum sejarah penelitian sastra lisan Minangkabau. Tulisan ini mengumpulkan perkembangan penelitian dari sastra lisan Minangkabau. Masalah dilengkapi dengan kehadiran sastra lisan di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, bentuk pertunjukan sastra lisan, serta cara pengumpulan sastra lisan di tengah masyarakat.
            Ketiga, analisis sastra lisan Minangkabau dilakukan oleh Bakar dkk (1981) dengan objek pantun, mantra dan pepatah. Dalam penelitian ini bakar lebih cenderung mengiventaris pantun, mantra dan pepatah. Bakar menyatakan pantun terdiri dari empat baris, enam baris, delapan baris dan lima baris. Sampiran dan isi mempunyai rima ab/ab, abc/abc, abcd/abcd, dan adakalanya aa/aa.
            Kempat, Evakrisna (1991), mengenai sastra lisan saluang sebagai kesenian rakyat Minangkabau. Eva hanya membahas keberadaan saluang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.
            Dengan adanya penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, sekurang-kurangnya dapat memberikan inspirasi dan sekaligus pembuka jalan bagi peneliti untuk meneliti sastra lisan di Minangkabau. Memang penelitian di atas tidak begitu relevan dengan penelitian yang akan dilakukan dan juga tidak berkaitan secara metodologis serta teoritis terhadap penelitian yang akan dilakukan. Tapi hal tersebut sangat beperan penting bagi kelancaran dan dapat dijadikan acuan dasar bagi seorang peneliti..
            Agar sastra lisan tersebut tetap bertahan di tengah-tengah masyarakat, maka ini adalah salah satu cara yang harus ditempuh dalam membangunkan kembali budaya tradisi yang sudah lama tertidur.  
Mahasiswa Pasca Linguistik Unand

PASAMBAHAN TRADISI LISAN YANG TERLUPAKAN

Oleh: M.Yunis

Salah satu cara berkomunikasi bagi masyarakat Minangkabau ialah beretutur secara lisan. Komunikasi akan tetap berjalan, ketika penutur dan lawan tutur berehadapan secara langsung. Kelihaian masyarakat Minang dalam bertutur sacara lisan ini sudah diakui oleh masyarakat budaya luar. Hal ini, sangat dipengaruhi oleh keindahan-keindahan tuturan yang dihasilkan, serta perumpamaan-perumpaman yang digunakan, menciptakan keindahan tertentu.
Alam, merupakan salah satu inspirasi bagi masyarakat Minang dalam menciptakan sebuah tuturan. Orang Minang beranggapan, bahwa apa yang terjadi di alam ini, terjadi pula bagi setiap individu.Alhasil, terciptalah falsafah Alam Takambang Jadi Guru. Melalui alam, manusia dapat memetik berbagai macam pelajaran, melaui alam manusia dapat mencontoh, dengan kata lain alam menjadi guru terbaik dalam menaungi lautan kehidupan.
Namun, tetap saja tuturan yang tercipta di masing–masing daerah berbeda-beda. Hal ini, dipengaruhi oleh keadaan alam yang berbada-bada pula. Sering kita jumpai tuturan di suatu daerah bernada keras, hal ini dipengaruhi lingkungan geogravis tempat itu berdekatan dengan pantai, seperti di Pariaman. Begitu pula tuturan yang bernada lembut atau halus, hal ini juga sangat dipengaruhi oleh geogravis daerah tersebut yang berada di daerah pegunungan yang bersuasana tenang.
Di daerah Pariaman, letak geogravisnya berdekatan dengan pantai. Hal ini, melatari tereciptanya sebuah tuturan bernada agak keras. Karena, desiran ombak yang memekakan telinga, tidak memungkinkan masyarakat berbicara dengan nada yang lunak, hal itu akan dikalahkan oleh bunyi deburan ombak di sekitar pantai.
Walupun begitu, bukan berarti masyarakat Pariaman tidak mampu bertutur sapa dengan lemah lembut. Di dalam acara-acara yang bersifat saremonial, masyarakat Pariaman, tetap mempertahankan tuturan yang bernilai seni dan enak didengar. Tuturan tersebut di kenal dengan nama Pasambahan.
Berdasarkan tingkah laku orang yang berpasambaan ini, sambah bukan berarti bertekuk lutut dan bukan pula takluk kepada seseorang. Walupun Pasambahan berasal dari kata sambah (sembah), tetapi sembah di sisni diartikan sebagai sebuah acara yang beretika dan disuguhkan ketika dimulainya suatu pembicaraan, dengan sedikit merendahkan diri.
Sambah pada hakikatnya ialah kata kerja, kemudian berubah menjadi kata benda, yang terlebih dahulu mengalami afiksasi pa- dan -an, maka terangkailah menjadi Pasambahan.
Pasambahan merupakan penamaaan yang diberikan kepada sebuah dialog yang terjadi, yang sebelumnya telah dirangkai sedemikian rupa sehingga memiliki makna filosifis dan juga bernilai seni, yang terjadi antara dua pihak yaitu tuan rumah dengan Korong (masyarakat) sebagai undangan. Kegiatan ini,  terjadi dalam sebuah acara yang bersifat saremonial. Upacara tersebut ialah upacara perkawinan, pengangkatan penghulu, alek Nagari dan pengangkatan pengurus surau.
Di Minangkabau, tindak tutur berPasambahan sering ditemukan yaitu pada upacara perkawinan. Untuk melakukan kegiatan ini, akan selalu diawali dengan tradisi tutur Pasambahan, yang dimulai dari pembukaan alek yang disebut dengan naiak urang mudo hingga penutupan alek yaitu manulak urang mudo. Akan tetapi, yang lebih berpengaruh bagi kelancaran alek adalah Pasambahan naik urang mudo.
Namun, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa pengaruh yang besar bagi kebertahanan tuturan tersebut. Pengaruh yang ditimbulkan adalah, semakin terpinggirkan budaya tutur berpasambahan dalam lingkungan masyarakat Minang. Diperparah dengan mengglobalnya hiburan yang bersifat mederen Akibatnya, tradisi tutur berPasambahan yang akrab dengan kesehariannya, secara berangsur-angsur hilang. Padahal, di dalamnya serat dengan pesan-pesan moral. Hanya saja, kelemahan dari generasi penerus ialah ketidak mampuan mereka memahami makna dari teks tutur Pasamabahan tersebut.
Oleh karena itu, pengggunaan tradisi tutur Pasambahan di Minangkabau, mengalami kemunduran. Berkurangnya intensitas penggunaan membuat tindak tutur berPasambahan semakin tidak dikenal dalam kehidupan masyarakat Minang, terlebih lagi generasi muda. Ketradisiannya membuat generasi muda bosan, sehingga mereka cenderung menjauhi arena tutur Pasambahan tersebut. Dan diperparah dengan ketidakmengertian mereka terhadap rangkaian kata-kata adat yang tertuang dalam tindak tutur Pasambahan tersebut, sehingga membuat Pasambahan ini semakin terbelakang dalam  percaturan zaman.
Pola hidup merantau yang sudah berkembang dari dahulu hingga sekarang, menjadikan pasambahan semakin terbelakang di mata generasi muda. Seperti kata pituah adat ’’ karatau madang di hulu, babuah babungo balun, karantau bujang dahulu, di rumah paguno balun’’. Adanya anjuran seperti inilah yang membuat generasi muda terinspirasi untuk meninggalkan kampung halaman mereka untuk mengadu nasib di parantauan. Kalaupun, di antara mereka kemabali ke kampung halaman, jarang sekali di antara mereka untuk dapat tergabung kembali dengan budaya tradisi setempat. Sebab, selama ini mereka telah menyecap dan menyerap manisnya informasi dunia luar di kota besar. Akhirnya akan memperbesar budaya cuek dari generasi muida.
Sikap antipatis seperti ini, akan semakin mempertebal sikap acuh tak acuh generasi muda, pada initinya mereka menolak keberadaan tuturan Pasambahan ini walaupun sikap tersebut tidak diutarakannya. Mereka lebih memilih santai duduk di lapau menjelang selesainya Pasambahan ini, kemudian setelah itu baru mereka datang. Hal inipun, hanya sebatas menyaksikan hiburan yang dihidangkan tuan rumah. Dan terdapat pula di antara pemuda yang hadir dari awal, tetapi mereka tidak ikut tergabung dalam arena tuturan Pasambahan. Mereka lebih memilih duduk santai di luar rumah sambil bercengkrama dengan pemudi-pemudi yang hadir dalam perhelatan tersebut.
Pasambahan, terdiri dari beberapa bagian. Di antaranya pasambahan lakuang tinajuan, pasambahan siriah dan pasambahan mangabakan alek. Melalui pasambahan ini, kita dapat mengetahui tata cara masyarakat tersebut bertutur. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, tuturan tersebut tak obahnanya sebuah adu nyali, antara tuan rumah dengan masyarakat, pemetaforaan terhadap kalimat serta kiasan-kiasan yang digunakan menciptakan makna-makna yang dapat mengasah cara berfikir masyarakat. Analisis Pragmatig dengan pendekatan tindak tutur ilokusi ialah salah satu teori yang tepat untuk menmgupas makna yang dimaksudkan oleh penutur maupun mitra tutur.
Oleh karena itu, pengkajian terhadap pasambahan sangat perlu dilakukan. Kerana melalui pasambahan tersebut kita dapat mengetahui cara berfiukir masyarakat. Di samping itu, kita dapat mengetahui makna-makna apa saja yang disampaikan penutur kepada lawan tuturnya. Melalu gebrakan ini akan terungkap kenapa masyarakat Minangkabau selalu melaksanakan tradisi berpasambahan di setiap acara yang bersifat saremonial? Dan kenapa pula tradisi ini harus di pertahankan?.   

                                                                                                Mahasiswa Pasca Linguistik Budaya Unand

SEBUAH WACANA LISAN ‘’PASAMBAHAN LAKUANG TINJAUAN’’


Oleh: M.Yunis

Berbicara mengenai pasambahan sudah barang tentu sangat luas kajian terhadapnya. Ada masyarakat menamakannya dengan pasambahan upacara perkawinan, pasambahan pengangkatan penghulu, dan pasambahan upacara kematian. Ketiga jenis pasambahan ini dapat diumpamakan bak sebuah pohon, sebagai pohon pasambahan jelas mempunyai cabang-cabang, cabang terdiri dari ranting. Seperti di daerah rantau Pariaman, di dalam pelaksanaan upacara perkawinan terdapat pasa pasambahan upacara perkawinan (cabang) terdiri dari pasambahan naiak urang mudo, manjapuik marapulai dan pasambahan manulak urang mudo sebagai ranting.
Sebagai ranting pasambahan naiak urang mudo terdiri dari beberapa helai daun, di antaranya pasambahan lakuang tinjauan (mintak sifaik di Padang), pasambahan siriah, pasambahan makan,dan  pasambahan maurak selo. Kategori-kategori ini, perlu pembahasn lebih lanjut, serta membutuhkan waktu dan kesempatan lain untuk membahasnya. Agar penelaahan terhadapnya terfokus penulis akan mengambil salah satu sampel saja yaitu pasambahan lakuang tinjauan.
Pasambahan lakuang tinjauan, terjadi dalam upacara perkawinan pada masyarakat Pariaman. Pasambahan tersebut melibatkan dua pihak, di antaranya pihak tuan rumah dan masyarakat setempat. Tetapi, di dalam penuturan tidak melibatkan masyarakat secara keseluruhan, begitu juga halnya dengan tuan rumah. Dari pihak tuan rumah, akan diwakili oleh mamak rumah, dan pihak masyarakat akan diwakili oleh kapalo mudo (DPR Korong).
Kegiatan berpasambahan,  diawali ketika tuan rumah mengundang masyarakat untuk datang kerumahnya, tepatnya pada saat malam pertama dilaksanakannya upacara perkawinan atau malam bainai. Kegiatan mengundang masyarakat tersebut, sudah menjadi tradisi dari masyarakat Pariaman. Sebab, upacara perkawinan merupakan salah satu pelaksanaan dari adat istiadat yang harus ditempuh oleh seseorang ketika orang tersebut akan melepaskan masa lajangnya (bagi laki-laki) di Pariaman. Begitu pula halnya dengan perempuan, dia akan menemukan upacara yang sama disaat di dipersuamikan. Maka dari itu, kegiatan yang cukup besar ini mebutuhkan tenaga yang cukup besar pula untuk melaksanakan.
Unsur-unsur yang membangun pasambahan ini ialah adanya kapalo mudo dan silang nan bapangka. Kapalo mudo, merupkan orang yang dipilih secara adat untuk menjalankan tugas sebagai pelaksana adat istiadat setempat. Kapalo mudo dapat diartikan dengan pemimpin dari orang-orang muda atau koordinator istilah sekarang. Dinamakan dengan kapalo mudo, karena upacara tersebut didominasi oleh orang-orang yang muda saja.Kalaupun ada terdapat orang-orang tua, tapi hanya sebatas tempat beriya atau musyawarah, dan kehadirannya tidak diwajibkan secara keseluruhan, namun kehadirannya tetap penting bagi kelancaran upacara tersebut.
Dalam pelaksanaan tugasnya, kapalo mudo akan dibantu oleh pemuda-pemuda yang menyertainya. Hal itu, berkaitan dengan masalah teknisi, dan segala macam masalah yang membutuhkan tenaga yang besar untuk menyelesaikannya. Seperti, mendirikan tenda-tenda, menjemput marapulai (mempelai) ataupun menjalang anak daro (mempelai wanita). Kesimpulannya, pemuda-pemuda di bawah komando kapalo mudo mempunyai peran yang sangat penting bagi kelancaran upacara perkawinan tersebut.
Silang nan bapangka, merupakan julukan yang diberikan kepada tuan rumah. Dinamakan dengan silang nan bapangka, karena dari tuan rumahlah berawal masalah. Jika diartikan silang berarti masalah, nan bapangka artinya yang berpangkal, atau berawal. Jadi silang nan bapangka, merupakan tempat berawalnya suatu masalah.Tetapi, pada saat pasambahan berlangsung, tidak seluruhnya silang nan bapangka dilibatkan secara aktif. Sebagai penyambung lidah, silang nan pangka akan diwakili oleh salah seorang saja. Biasnya orang yang tertua atau yang dituakan dalam rumah tersebut, di Minagkabau di sebut juga dengan mamak rumah. Pada saat pasambahan berlangsung, mamak tetap saja tidak dapat memutuskan masalah yang dikemukan oleh kapalo mudo tersebut seorang diri. Untuk itu, mamak akan memusyawarahkanya dengan silang nan bapangka yang ada pada saat itu.
Ketika tuturan adat berlangsung, akan terjadi dialog anatar kapalo mudo dari pihak masyarakat dengan mamak rumah dari silang nan bapangka. Hal ini, berawal dari perundingan kapalo mudo sebagai lakuang tinjauan (peninjau). Maka, pada saat ini mamak rumah akan mengemukakan tujuannya mengundang masyarakat untuk hadir pada saat itu. Dalam memperjuangkan tercapainya tujuan tersebut, maka terjadilah silat lidah (permainan kata-kata) antara tuan rumah (mamak) dengan masyarakat (kapalo mudo).
Di dalam pelaksanaan upacara tersebut, mamak rumah akan berkata dengan nada-nada seolah-olah merendah diri ataupun menghiba kepada masyarakat supaya pekerjaannya yang berat dapat pertolongan dari masyarakat. Karena, tugas tersebut sangat tidak mungkin dilakukan oleh tuan rumah sendiri. Untuk itu, sangat dibutuhkan masyarakat sebagai penolong. Atas dasar kata-kata yang merendah ataupun menghiba inilah lahir kata-kata sambah, manyambah (sembah, menyembah) atau memohon, maka terciplahlah pasambahan yang artinya sengaja memohon. Di samping itu, sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat Pariaman, ketika ada di antara anggota masyarakat yang akan mengadakan upacara seperti ini, maka anak yang akan dinobatkan menjadi pengantin tersebut dianggap anak bersama atau anak masyarakat dan kemenakan masyarakat.
Pasambahan lakuang tinjuan, merupakan dialog antara mamak rumah dengan masyarakat setempat. Pembahasan di dalamnya, berkisar tentang pelaksanaan upacara perkawinan, hal ini diutarakan oleh mamak rumah kepada kapalo mudo.
Dalam dialog tersebut, terjadi permaian kata antara tuan ruamah dengan masyarakat. Deangan bermodalkan kelihaian kedua belah pihak, masing-masingnya akan berusaha menciptakan kata-kata dan bunyi seindah mungkin. Sehingga, dalam tuturan tersebut tersirat berbagai macanm makna yang di eplisitkan penyampaiannya. Pengeplisitan makna tersebut menciptakan dan melatih logika berfikir individu masyarakat. Kepekaan berfikir inilah yang melatarbelakangi terciptanya pepatah yang cukup terkenal di Minangkabau. Contohnya ’’kilek camin lahkamuko, kilek baliuang ka kaki atau bakilek ikan dalam aia, alah tantu jantan batinonyo’’, serta masih banyak lagi pepetah-pepatah yang seperti itu dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Makna-makna yang dieplisitkan tersebut, di antaranya makna Arsertif (menyatakan), Responsives (menjawab), Requetives (meminta), Permissives (menyetujui) dan Comissives promise (menjanjikan). Makna-makna tersebut, sengaja diciptakan berdasarkan kebutuhan kedua penutur akan kepekaan berfikir dalam hidup bermasyarakat. Contohnya, makna manjanjikan, sengaja diciptakan oleh penutur maupun mitra tutur, karena di dalam memutuskan suatau masalah dibutuhkan musyawarah. Ketika penutur mengemukakan suatu masalah kepada mitra tutur, maka mitra tutur akan menyatakan dirinya berjanji untuk menjawab dan membahas masalah tersebut, setelah musyawarah dilakukan dengan kerabat dekatnya. Begitu pulahalnya dengan makna-makna meminta, menjawab, menyetujui, dan menyatakan. Artinya setiap individu masyarakat Pariaman, sangat menghargai individu lain yang berada di sekitarnya.
Di dalam pasambahan ini, terjadi pertukaran kedudukan atau posisi bertutur dari kedua orang yang bertutur. Adakalanya mamak rumah mejadi mitra tutur dan ada pula kalanya mamak rumah menjadi penutur, begitupula halnya dengan kapalo mudo.
Inilah skelumit tentang pasambahan lakuang tinjauanan (mintak sifat/minta izin) di Pariman. Mungkin masih banyak wacana-wacana lain yang berkembang berkaitan dengan pasambahan sebagai salah satu tradisi lisannya orang Minang. Hal ini, tergantung pada kita, sebagai orang Minang, apakah kita mau mengangkat wacana tersebut ke permukaan atau tidak ? jawabannya tergantung ke pada pribadi masing-masing individu Minang itu sendiri. 

                                                            Mahasiswa Pasca Linguistik Budaya Sastra Unand

Selasa, 15 Desember 2009

KEMATIAN TUHAN DAN MUNCULNYA PARA TUHAN

Oleh. M. Yunis


Wacana kematian tuhan telah begitu lama diungkap oleh Nietzche, digambarkan dengan turunnya Zarathustra dari gunung untuk berdakwah dan menyampaikan salah satu pesan Nihilismenya bahwa tuhan telah mati. Nietzche berusaha membunh para tuhan seperti yang dilakukan oleh Ibrahim, Muhammad, dengan harapan munculnya tuhan yang sebenarnya. Siapa yang mebunuh tuhan? Pembunuh itu bukanlah ustad, bukan Nietzche, pelajar, intelektual tetapi para pembunuh itu adalah kita. Namun, sikap Nietzche yang eksentrik membuahkan pandangan yang sinis terhadapnya. Banyak orang yang mengatakan Nietzche gila dan Nietzche beserta seluruh kelurganya mati di dalam keadaan gila. Adalah benar jika kegilaan Nietzche sangat meresahkan banyak orang termasuk intelektual sendiri, seolah-olah para intelektual berusaha menyimpan kebohongan, kesombongan untuk menaklukan dunia beserta isinya. Para intelektual sekarang sedang berusaha membunuh tuhan yang sebenarnya, memecat para malaikat dari tugas, memberikan kebebasan bagi iblis seluas-luasnya, termasuk iblis yang bewujud manusia dan berusaha menggantikan Tuhan sebagai pencipta dunia. Hal ini, penulis katakan sebagai kesombongan model baru yang tidak mau mengakui kebenaran, egositis, sepihak dan melindungi ketidakadilan. Meminjam istilah Piliang, layaknya ini adalah sebuah dunia Hyperrealitas.
Namun, jika pikiran kritis muncul dalam usaha menyikapi dunia Hyperrealitas seakan-akan ketenangan masyarakat kita merasa terusik, sebab kebiasaan mereka disinggung-singgung dalam sebuah wacana maupun catatan pinggir di koran-koran lokal. Berbagai macam tuduhan akan dilempar secara serampangan, penanaman ideologi, orang yang Hyper, aliran sesat oarng yang latar belakangnya hancur dan apa saja kata-kata yang menunjukan kekalahan dalam bentuk penolakan. Di sini perang urat leher akan berlangsung, hingga menimbulkan tidak bertegur sapaan selama berhari-hari, dunia intelektual yang aneh. Seharusnya sebagai intelektual kita harus berpikir karena itu adalah kewajiban intelektual. Pernah pula penulis dikatakan sebagai orang bodoh, dilecehkan, pembunuhan karakter. Dikatakan sebagian orang yang mengaku dirinya intelek bahwa kuliah di S2 di Unand hanya akan bertambah bodoh, lihat saja para Profesornya tidak bisa menulis, tidak berkarya, bayangkan saja apa yang mau diberikan kepada mahasiswanya. Namun, terlepas dari itu bagi penulis bukan persoalan berkarya atau tidaknya, tetapi sumber daya manusia mahasiswanya. Banyak buku yang mendukung perkuliahan, banyak referensi yang ditawarkan.
Landasan Berpikir
Tiada kebenaran yang absolut, di sela kebenaran terdapat ketidakbenaran, seperti pahala didampingi oleh dosa, begitu pula dengan ilmu pengetahuan. Sependapat dengan Hegel bahwa sintesis lahir dari pertarungan dua buah unsur, disebutnya dengan pertarungan antara tesis dengan anti tesis, kemudian menghasilkan penyatuan dalam sebutan sintesis. Kemudian mengulas Nietzche dengan konsep Nihilisme, dinyatakan bahwa baik dan yang jahat hanyalah buatan sejarah. Sejarah adalah waktu, kondisi dan situasi dari kelahiran si jahat maupun si baik itu sendiri. Jika waktu bersahabat, maka baiklah yang dihasilkan dan begitu juga sebaliknya, saat waktu tidak bersahabat maka jahatlah yang dilahirkan.
Tidaklah salah Nietzche mengatakan di dalam geneologi moralnya, bahwa moral yang hakiki itu datang dari langit, hanya saja sampai di bumi direkayasa untuk kepentingan duniawi saja. Apa yang diajarkan oleh agama samawi sudah benar, namun manusia yang merealisasikannyalah yang durhaka, memutarbalikan moral dan nilai-nilai seenaknya saja. Manusia masih berkutat di sekitar lingkaran perut sendiri, manusia hanya mampu memunculkan wacana dan hanya sekedar wacana dan tidak mau memandang kritis terhadap wacana tersebut. Tidaklah juga salah Malaikat protes terhadap Tuhan karena Tuhan ingin menciptakan wakilnya di muka bumi. Dikatakan oleh malaikat, untuk apa dibuat manusia kalau hanya untuk menciptakan kekacauan di muka bumi, bunuh-bunuhan, perang dan segala macamnya. Manusia tidak pernah merasa puas terhadap apa yang ada pada dirinya, selalu ingin lebih dan lebih, sehingga manusia sendiri tidak sadar atas sikapnya yang keterlaluan sehingga tanpa sengaja 7 unsur Tuhan yang di miliki manusia berusaha menyingkirkan Tuhan yang sebenarnya. Penulis menamakannya dengan kesombongan, keangkuhan, egois, dan tidak mau tahu terhadap nilai-nilai kemanusian.
Sejalan dengan itu Piliang dan Eko sudah merangkum kesombongan dan keangkuhan kedalam itu sebuah penamaan, disebutnya Hyperealitas. Digambarkannya bahwa menyatunya dunia transenden dengan imanem, perselingkuhan kebaikan dengan kejahatan, tanda kembali menjadi tanda, tanda kehilangan realitasnya sebagai pencerdasan, sehingga memunculkan ribuan tanda baru, namun diujungnya tetap menghasilkan tanda tanya. Sebuah dunia yang sanat rumit dan serba salah. Kemudian lahir pemikir-pemikir kritis terhadap realitas, sebagai akibat dari kegagalan intelektual sebelumnya. Pemikir itu fakta di dalam sejarahnya akan dikatakan sebagai orang-orang kalah, hanya karena dia tidak mempunyai payung Hegemoni untuk menanamkan pengaruh dan tipis kemungkinan untuk merebut kursi ketuhanan. Sejak masa Aufklarung hingga masuknya dunia modern dan mungkin akan berakhir dengan Potsmoderen. Ternyata tidak, setiap ilmu akan berkembang sesuai dengan ketegangan dan kegamangan yang dihasilkan oleh realitas yang diciptakannya, reliat itulah yang dikatakan Nietzche sebagai fakta. Aufklarung yang notabenenya akan mencerdaskan masyarakat ternyata di sanggah oleh pemikir Moderen seperti Marx Hokaimer dan Ardorno di sekolah Frans Frud Jerman. Hokaimer dan Ardono membahu untuk meolak Hegel, Kalr Marx tentang konsep sintesis dan Marxis yang menghambakan diri untuk kemanusiaan murni, sebab sekian lama pengkut Marx tidak seidealis Marx. Marx dilecehkan dengan difokuskannya marxisme pada kekuasaan. Stalin kalifah terakhir Marxisme menhambakan diri kedalam politik untuk merebut kekuasaan dan menjadikan kekuasan seabsolut mungkin. Alhasil pengikut Stalin anarkis dan menghalalkan segala cara untuk mencapai makrifatnya. Anehnya, usaha baik dari sang guru seperti Hokaimer dan Ardorrno juga berujung pada sikap pesimistis, Hokaimer takluk dengan ketidakberdayaannya. Hokaimer mati dalam usia tua dan Ardorno dituntut oleh mahasiswanya.
Senada dengan itu, kepenatan kembali muncul, lahirlah Postmoderen yang diperjuangakan Derrida, Piliang, Barthes dan kawan-kawan untuk menghancurkan narasi besar dan menghidupkan narasi kecil meskipun bersifat lokal. Tetapi dalam realitas Postmoderen itu sendiri linglung setelah tidak begitu lama menempati posisi ketuhanan. Ada yang menertawakan ketentraman dan ada pula yang mencemooh ketidakberdayaan. Sebab di dalam realitasnya Postmoderen berbuah anarkis dan cenderung menciptakan moralnya sendiri yang bersifat sangat lokal. Alhasil, runtuh kembali Negara kemanusian itu masih di bawah bayang-bayang Hegemoni.
Kemudian Edwar Said yang anti Barat juga memberikan sanggahan terhadap keberpihakan kaum imperial kolonial. Akibatnya, muncullah perbedaan baru, perbedaan Barat dengan Timur, Timur terbelakang, sementara Barat adalah kemajuan. Barat laki-laki dan Timur adalah perempuan yang patut dicerdaskan, dilindungi dari kejahatan kaumnya sendiri. Kepentingan Barat untuk menegakan kembali bendera Imperialisemnya di tanah yang tidak bertuan. Barat salah telah memandang Timur sebagai Timur jauh, sebelah mata, sehingga Barat hancur oleh senjata buatnnya sendiri. Faktanya Chomsky adalah salah satu produk senjata yang paling ditakuti oeh Barat, terlebih lagi setelah dia menulis tentang Teroris Internasional. Barat terpukul dan harus ekstra hati-hati. Dari sikap tersebut, Barat menuduh Islam sebagai biang keladinya. Tidak lama lagi Barat akan luluh lantak, Negara adi daya (Postkolonial) itu akan berpindah tangan kepada Cina dan India. Jika ini benar, maka berhasillah Anya Loomba dan Leela Gandhi dalam menyikapi kaum Kolonial Imperial.
Pembahasan
‘’Tuhan telah mati! Siapa yang membunuh Tuhan? Kamu? Kamu? Tidak! Kita yang membnuh Tuhan’’ (Zarathustra, 2000).
Kematian Tuhan yang digembor-gemborkan Nietzche bukanlah kematian Tuhan yang hakiki, namun kematian yang digambarkan adalah kematian spiritualitas, keterputusan hubungan manusia dengan Tuhan. Kita mulai berjalan mundur, pada masa keemasan Gereja, terjadinya pembaharuan di gereja khatolik, penjualan surat Aflak, surat pengampunan dosa bagi pendosa yang mengakui dosa di gereja. Akibat dari itu, para penganut paham lama risih dan marah, mereka menuntut pembaharuan di dalam gereja, maka berdirilah dogma baru di bawah bayang kristen protestan. Bagi penganut Kristen protestan, kekuasaan gereja telah disalahgunakan untuk kepentingan individu saja,. Agama sudah menjadi bisnis, Tuhan sengaja diciptakan oleh para pemegang kekuasaan di dalam gereja.
Senada dengan itu, melirik dunia realitas yang juga naïf, jauh menyimpang dari apa yang diajarkan oleh agama samawi. Baik Isalm ataupun Kristen telah membaur, percampuran antar agama, pernikahan beda agama. Sedangkan bagi agama Islam sendiri tidak mensahkan bagi penganutnya untuk menikah dengan agama lain. Larangan ini sudah dilanggar oleh umat Islam sendiri, di bawah lindungan Jaringan Islam Liberal. Bagi mereka, sah saja asalkan suka sama suka dan tidak didasarkan paksaan. Terkadang bagi pihak tertentu mengatasnamakan solidaritas antar agama, tiada lagi kum dinukum waliyadin, zinah telah dilegalkan.
Di bidang sosial juga dapat diperhatikan, sekarang jarang sekali orang berbuat untuk kepentingan sosial murni. Seperti pepatah minang, ‘’sakali dayuang dua tiga pulau terlampaui’’. Berbuat untuk kepentingan umun, terselip kepentingan politik, menanamkan pengaruh untuk menguasai saja. Pemberian beras miskin yang katanya hanya untuk orang miskin, namun di dalam realisasinya banyak yang mendapatkan bantuan hanya orang-orang yang mampu secara ekonomi. Sayang sekali pemerintah sudah merasa puas dan sudah merasa bantuan yang diberikan telah sampai kepada orang yang dituju, padahal bantuan baru hanya sampai pada tingkat simulasi saja. Terlihat sekali pemerintah kita malas bekerja, pemerintah hanya cukup menugaskan orang yang dipercayai untuk mengumpulkan data orang miskin, sementara orang yang dipercayai juga malas bekerja, data orang miskin cukup diambil adari kantor Wali Nagari, padahal data itu data bertahun 2005. Anehnya, yang dikatakan miskin itu hanya berputar di sekitar sanak familiki si tukang data. Di balik itu, terdapat banyak orang yang mengaku miskin, seorang guru sekolah dasar pun bisa mengaku miskin. Pengalaman pendataan penduduk ini pernah penulis temui di saat KKN tahun 2004 yang lalu, petugas sensus cukup mendatangai Pak Wali Nagari atau Ibu Wali Nagari untuk mendapatkan data sensus penduduk.
Andai saja pemerintah benar-benar berniat memberantas kemiskinan, caranya sangat gampang. Uang yang sejumlah Rp. 300.000 satu bulan tidak terlalu berarti bagi masyarakat, andai saja uang itu dikoordinir untuk membuka usaha mandiri bagi masyarakat atau menciptakan lapangan kerja baru, memberikan modal usaha bagi pengusaha keluarga tentu akan lebih bermanfaat. Penulis pikir data orang yang dikategorikan miskin tidaklah banyak tetapi data orang yang mau dikatakan miskin sangatlah banyak. Orang miskin akan bertambah banyak jika pemerintah selalu berjanji akan memberikan bantuan berupa uang kepada masyarakat. Semakin sering pemerintah menjanjikan bantuan kepada masyarakat semakin bertambah pulalah orang miskin di Negara ini. Kapankah kemiskinan bisa dibrantas?
Kemudian realitas perpolitikan di Indonesia deawasa ini sangat jauh dari harapan masyarakat. Para calon menafaatkan agenda spiritual untuk menanamkan pengaruh dengan harapan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Jelas terlihat di saat kampanye para calon memberikan sumbangan ke masjid-masjid, namun ketika calon kalah sumbangan ditarik kembali. Menyumbang ubin untuk pembuatan jalan, setelah calon kalah ubin dibuka kembali. Di waktu kampanye beribu janji yang dikemukan, tapi setelah menjabat calon legislative hilang ingatan. Sebuah pengalaman bagi penulis di dalam kampanye calon DPD, kebetulan sekali penulis sedang mengunggulkan Edi Utama sebagai DPD utusan Sumbar. Setelah letih berjalan, penulis istrirahat di daerah Maninjau, kata-kata yang aneh bagi penulis dengar dari caleg golkar berkampanye, ‘’kalau sya menjabat nanti, saya akan bangun jembatan di daerah ini!’’, masyarakat menjawab, ‘’kami tidak mempunyai sungai Pak!’’, caleg membalasnya, ‘’kalau perlu kita buat sungainya!’’, spontan kami dan rombongan tertawa. Begitulah fenomena perpolitikan di Indonesia. Layknya, adanya anggapan baru terhadap perpolitikan di Indonesia, faktanya banyak para calon berpandangan bahwa terjun di bidang politik bukan untuk menjadi pemimpin tetapi untuk mencari lapangan kerja, sebab telah terlalu lama menjadi pengguran bersertifikat setelah memenangkan gelar sarjana. Salah satu bentuk penipuan intelektual terhadap masyarakat bawah.
Sejalan dengan itu, kita perhatikan kampanye pilpres sekarang. Dalam masa tenggang pegawai honorer dijanjikan akan diangkat menjadi PNS seratus parsen, pilihlah SBY untuk calon presiden. Penulis melihat adanya ketidak feir-an calon pemimpin kita, tanpa berdosa berpijak di atas nasib seseorang untuk mencapai kekuasaannya, para pegawai honorer terpengaruh karena dijanjikan untuk di angkat apalagi para PNS merasa mendapat durian runtuh sebab gaji akan dinaikan. Apakah rakyat Indonesia ini hanya PNS?
Di bidang pendidikan, penulis melihat terdapat ketidakadilan bagi masyarakat. Di mulai dari penyelewengan dana pendidikan 20 parsen hingga bantuan pendidikan berrupa beasiswa bagi yang berprestasi dan untuk orang kurang mampu. Banyak sekali bantuan beasiswa atau bantuan pemerintah tidak tepat sasaran. Siapakah yang patut disalahkan? Pemerintah atau orang yang diperintah untuk menjalankan misi tersebut? Di daerah perkampungan tidak sedikit anak usia sekolah terputus sekolah karena tidak ada biaya, masih banyak orang yang terlantar yang patut disantuni, anak jalanan, tuna wisma hinga tuna moral.
Mungkin sudah nasib penulis sebagai orang aneh banyak menemukan keanehan di dunia ini. Di SD No 47 Toboh Olo, kecamatan Sintoga Kabupaten padang Pariaman, masih dipungut bayaran perkepala oleh komite sekolah bagi setiap murid, alsananya untuk membangun pagar, padahal dana BOS sudah disediakan oleh pemerintah. Bagi masyarakat kampong, uang Rp 20.000 persemester sudah sukup berarti bagi maskarakat, di saat diadakan rapat dengan orang tua murid, para guru mengancam ini hanya uang sumbangan, bagi Wali Murid yang tidak membayar lapor anaknya ditahan. Kemudian tentang orang terlantar, masih banyak penulis temui bergelimpangan di jalanan, salah satunya juga terjadi di daerah Toboh Olo. Seorang anak perempuan yang bernama Lisa Atalia (13) tersesat di daerah tersebut, Ayah dan Ibu meninggal, dia tidak bisa mengingat apa-apa selain nama orang tua dan namanya saja, beruntunglah kebaikan hati masyarakat masih tersisa, anak tersebut ditampung dan dianggap anak sendiri oleh masyarakat. Anehnya, hingga sekarang belum ada saudara atau familinya yang mengaku kehilangan saudara. Negara yang aneh, anak terlantar dipelihara di jalanan Negara.
Kemudian mari kita lihat tentang arti Demokrasi, menyediakan kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi pemimpin, berpolitik seluas-luasnya, bebas berpendapat, terbuka. Adalah sebuah konsep yang salah, dengan adanya kebebasan yang seperti inilah yang mendorong siapa saja untuk berkuasa, termasuk orang yang tidak berkualitas untuk mengendalikan Negara ini. Demokrasi dalam realisasinya hanya mengejar kuantitas saja dan bukan mengedepankan kualitas. Prinsip demokrasi telah memberikan kesempatan kepada orang picik, bodoh, para pembunuh moral, pengantung tuhan untuk mengendalikan Negara ini. Jika saja pemerintahan mau mengejar kualitas, tentunya kemajuan Negara ini berkembang dengan pesat, tetapi kenyataannya yang menjadi pejabat hanya mental-mental koruptor, berhasil memegang tampuk pimpinan dengan kendaraan uang. Di sisni posisi orang miskian sagnat dibutuhkan oleh calon pemimpin dalam menggapai kekuasaan, siapa saja yang menebar uang sebanyak-banyaknya merekalah yang bisa menjadi pemimpin masyarakat. Masyarakat tahu dibodohi, tetapi masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa karena masyarakat butuh makan untuk hidup. Pilihlah pemimpin yang menolong kita, pilihlah presiden yang memperhatikan nasib PNS, menaikan gaji, mengayomi guru, semantara para petani dijadikan tunggangan. Rakyat miskin tidak akan bisa dibrantas, jika di Negara ini masih menganut sitem yang sadis.
Kemudian , masalah seksual yang awalnya pada Abad ke- 17 hanya dibatasi di dalam rumah dan perkawinan dalam lingkungan keluarga, namun setalah itu diserap oleh ilmu pengetahuan ke dalam diskursus, adanya suatu usaha agar seks dipadatakan melalui bahasa, pernyataan bahwa seks adalah topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas, bahkan di lain kajian tentang seksual sudah diciptakan teorinya, sehingga melahirkan emansipasi wanita, akhirnya menjadi ‘’mutasi seksual’’. Isu Feminisitas layaknya sebuah wacana baru terhadap gender, dimana di sana hidup kekuasan laki-laki, sehingga hal ini melahirkan tuntutan bagi kaum hawa agar emansipasi wanita direalisasikan, media yang dianggap sebagai salah satu sarana bagi kaum hawa dalam memperjuangankan semua itu, ternyata telah menciptakan pembiakan liar dan ketidakstabilan bagi kaum feminis. Kaum feminis mengganggap ini adalah kesempatan besar untuk menuntut ketidakadilan, media dapat menghancurkan batasan-batasan yang dimiliki perempuan, kondisi lemah, lembut, berdiam diri di rumah, pasif, irasional, emosinal telah dileburkan oleh kemapuan teknologi mutakhir yang ditawarkan media, Piliang menyebutnya kondisi ini dengan Postfeminisme. Melalui teknologi kaum dapat feminis bisa meningkatkan daya pikir, kekuatan, kecerdasan, keaktifan sehingga kaum feminis tidak lagi menempati posisi inferior di bawah laki-laki.
Sejalan dengan itu pemberdayaan perempuan melalui teknologi cyborg , menciptakan frontier femininisitas, kerana dengan teknologi ini perempuan bisa melipatgandakan kekuatan, tiada rasa takut berada dimanapun, kaum feminis menciptakan daerah tidak bertuan sendiri seperti yang dilakukan laki-laki, yang mana di sana penguasa tunggal adalah perempuan. Teknologi ini pernah difilemkan oleh Amerika dan dibintangi oleh Arnold Suasinegar, di sini di citrakan Arnold dibekukan dan tertidur selama ratusan tahun, setelah dibangunkan melalui mesin, zaman telah berubah, kemudian Arnold bertemu dengan seorang wanita yang hidup di era itu, Arnol menginginkan transaksi seksual dengan wanita itu, si wanita memenuhi dengan teknologi Cyborg, memasang banyak kabel di bagian syaraf, sehingga perasaan keduanya layaknya dua pasangan yang sedang berhubungan badan, merasa terpuaskan setelah melanglang buana di dalam dunia Cyborg. Berarti, tidak adanya keturunan yang dihasilkan transaksi tersebut, tujuannya hanya untuk memuaskan diri belaka dan setiap orang bebas mendifinisikan identitas seksual menurut selera masing-masing.
Akibat dari itu, terjadilah keliaran menggganas tiada terkendali, Cyberspace dipergunakan oleh kaum hawa untuk membentuk komunitas virtual, yang mana dampaknya sangat merugikan wanita itu sendiri. Sebab di sini tidak tertutup kemungkinan pertukaran gender antara laki-laki dengan wanita, si wanita menjadi laki-laki dan laki-laki menjadi wanita, akhirnya kedua posisi itu dinikmati oleh masing-masingnya. Chating yang pada awalnya untuk membangun silaturrahmi berubah menjadi pemangsa buas kefeminiman wanita, website yang awalnya sebagai senjata bagi kaum wanita untuk menyuarakan ketidakadilan ternyata berubah fungsi sebagai tempat memvirtualkan harga diri, identias diri wanita, ekploitasi wanita. Website porno, seks online, Facebook, frindster yang mempertontonkan identitas diri cukup menggambarkan ketidakberdayaan perempuan di hadapan laki-laki. Tiada hukum, tiada peraturan, tiada tuntutan, kaum feminis bertekuk lutut di bawah Maskulinitas. Selain itu, tuntutan terhadap ketidakadilan yang diterima kaum perempuan melahirkan wacana lokalisasi, homo dan lebian di legalkan, hingga banci pun menuntut peraturan yang sama, namun denotatumnya masih sama yaitu ketidakpuasan perempuan dengan dominasi laki-laki.
Sejalan dengan apa yang diungkapan Focoult dalam Piliang (2004), bahwa kekuasan dan kesadaran tubuh seseorang dapat diperoleh hanya memalui efek investasi kekuasan di dalam tubuh, melalui teknologilisasi tubuh, hingga politik tubuh. Tak obahnya tubuh wanita dijadikan politik untuk menjadikan dan menghancurkan nama baik seseorang. Agar diskursus tentang seks ini tidak merugikan kekuasaan, maka kekuasaan berusaha mengidentifikasi, menyediakan literatur dan melakukan pencatatan yang sangat rapi, persoalan seks adalah kebijakan negara, di Indonesia sendiri lahirlah UU pornografi dan porno aksi. Focoult juga menyatakan bahwa kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan, dengan mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagian-bagiannya, membangkitkan permukaannya dan mendramatisir kekacauan (Rizer 2003: 112).
Kemudian Postfeminisme kaum hawa lebih keras menuntut persamaan disegala bidang, Dorse yang menukar kelamin mejadi perempuan, Afi yang minta dikuburkan sebagai laki-laki, Lenny yang sembahyang memakai makena dan pergi Haji sebagai laki-laki. Ini adalah sebuah fenomena nyata yang sudah dimamah oleh masyarakat komsumer. Betul isunya berangkat dari gender, persamaan jender, pembagian rata hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan. Juga, awalnya mucikari hanya seorang penampung PSK atau pencari PSK untuk diperkerjakan, tetapi lambat laun hal itu berubah menjadi sebuah profesi yang patut pula dihargai dan diakui. Perhatikan saja Lokalisai Doly, setiap bulan puasa kegiatan jual beli diliburkan karena para pekerja pulang kampung untuk menunaikan ibadah puasa, Pak RT di lingkungan Doly bisa istirahat sejenak. Sekali lagi, kaum feminime telah gagal menamkan kekuasaan terhadap laki-laki, menyuguhkan kemolekan tubuh, kelangsingan, mulus, cantik itu putih dan segala macamnya ternyata menuai kelincahan kekuasan memanajemen itu semua.
Sejalan dengan itu, kekuasaan juga membangun sebuah tatanan sosial baru, feminisme dunia ketiga ke dalam sebuah kancah yang dulu termarjinalkan, menjadikan perempuan pribumi atau perempuan Timur sebagai objek pembanding. Membuat pernyataan bahwa sudah saepatutnya kesetaraan Gender menjadi kajian yang menarik. Padahal sesungguhnya pandangan feminisme baru itu adalah sebuah pendustaan untuk menghancurkan mitos perempuan suci yang dimiliki oleh orang Timur. Di pihak perempuan Timur malah tidak sadar bahwa penjajahan terhadap dirinya sudah dilakukan oleh feminisme Barat, mempunyai anak cukup 2 saja karena bisa lebih fokus untuk membiayainya, makanya pakai kondom dalam transaksi seksual atau diperbolehkan berhubungan seks dengan menggunakan kondom, bergerigi agar lebih sensual. Ini adalah sebuah kesuksesan Hegemoni Barat yang patut dapat acungan jempol, kelanjutannya sorotan terhadap kaum perempuan terpinggirkan menjadi sumbangan hangat bagi perempuan Timur, tetapi sesungguhnya perempuan Timur telah membantu mentransformasikan usaha mereka untuk kembali menjajah dengan sistem.
Seiring dengan itu Yasir menyatakan perempuan menjadi kelas dua bukan kaerena biologis yang melekat padanya tetapi karena citra negatif yang dilekatkan pada dirinya (Yasir Alimi, 2004: 36). Seperti Ilmu pengetahuan yang dikodekan oleh Darwin bahwa kapasitas otak laki-laki lebih besar dari pada otak perempuan, Imanuel Kant menyebut bahwa laki-laki itu bodoh tapi masih bisa dididik tetapi perempuan itu bodoh dan tidak bisa dididik, kemuadian diskursus Agama juga mempertegas bahwa perempuan lebih rendah keimanannnya dibandingkan laki-laki, makanya seluruh permukaan tubuh perempuan dimasukan ke dalam aurat kecuali telapak tangan dengan muka. Sementara Focoult sendiri menyatakan adanya 3 unsur yang sangat berpengaruh dalam menentuan sebuah ideologi, yaitu power-imu pengetahuan-kenikmatan. Di antara ketiga unsur ini saling kait, power dengan pengetahuan saling berrelasi untuk menghasilkan kebenaran baru begitu juga sebaliknya, sementara penghetahuan mengeskploitasi kenikmatan. Sebuah contoh terhadap kasus itu adalah kisah tragis yang dialami Barbin seorang Hermaprodit Parncis abad ke XIX , setelah melakukan pengakuan kepada dokter dan pendeta di gereja, secara hukum Barbin diharuskan mengubah kelaminnya menjadi laki-laki karena maskulinitas yang dimilikinya, akhirnya barbin Bunuh diri, lalu Dorce yang diharuskan mengubah kelamin menjadi wanita? Hal ini dikatakan Focoult ‘’aneh’’ sebab yang namanya Hermaprodit itu berjenis kelamin ganda bukannya dijadikan satu kelamin.
Di yakini oleh Yasir bahwa seksualitas menjadi heteroseksual atau homoseksual hanyalah kontruksi sosial, efek wacana sebagai akibat dari praktek diskursus, oleh karena itu tidak bisa ditenmukan di dalam darah tetapi dapat ditemukan hanya di dalam tanda bahasa. Diskursus juga diyakini oleh Fokoult sangat berpengaruh dalam histerisasi tubuh perempuan dan performen menurut Butler dalam Yasir. Diskursus adalah wadah yang sangat potensial untuk meneriakan bahwa perempuan itu feminim, laki-laki maskulin, laki-laki dan perempuan harus punya kelamin satu, awalnya sangat sederhana, cukup mengatakn bahwa ‘’saya laki-laki dan harus bersifat maskulin!, kamu perempuan! kamu orang Hyper! Aliran sesat!’’ atau mungkin tanda bahasa lain yang perlu dimunculkan untuk menciptakan sebuah diskursus. Kuncinya hanya datu kata, ‘’pengulangan’’ hingga lambat laun kode itu diakui dan diterima.
Kemudian, Barat moderen menyatakan bahwa seksual baginya adalah prokreasi untuk memkasimalkan kekuatan, potensi diri, menjaga hubungan pernikahan dan menolak Yunani dan Romawi bahwa seksual merupakan kesenangan, maka dari itu dibangun tatanan moral untuk melahirkan moral kebenaran, menyatakan onani dapat merugikan kesehatan, homoseksual menimbulan penyakit, hyperseksual mampu meningkatlan AIDS, sementara Barat sendiri meningkatkan kegairahannnya melihat perempuan Timur sebuah ladang eksotis, sensual dan sexy. Di percayai bahwa pusat perdagangan daging mentah di Asia tenggara itu adalah di Indonesia, Surabaya (Dam Truong, 1992). Timur itu feminis, Barat

*Mahasiswa Pasca Linguistik Budaya Universitas Andalas

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987