Rabu, 14 Januari 2009

ORANG-ORANG TERLIBAT

M.Yunis

1. SAYEMBARA

Lirikan laki-laki itu setapak demi setapak merangkak lambat mengisi jelang sore yang tertatih-tatih. Sudah dua hari ini matahari agak terkesima bangkit dari peraduan lusuhmya. Siang itu terasa terlalu cepat, mungkin bencana-bencana yang datang silih berganti membuat orang melupakan waktu-waktunya tercecer dikejar kecemasan, pegawai kantoran, pejabat pemerintah hingga klining service, berhamburan saat mendapati dirinya sejengkal dengan kuasa maut pagi. ‘’Gempa! Gempa! Lari keluar!’’, teriakan itu selalu mengisi hari demi hari.
Kota Padang merupakan salah satu Kota pinggiran Indoneisa yang berlangganan gempa, hampir tiap menit, detik, ramai orang disuguhi segala macam kekalahan. Namun, di Ranah ini pernah lahir Hamka, Agus Salim hingga Hatta. Sayangnya, kepergiaannya mereka meninggalkan sejuta kenangan masa lalu sekaligus luka. ‘’Air sudah sampai di simpang haru! Air sudah sampai di simpang By Pass!’’, teriakan ini pula yang selalu menciptakan relitasnya sendiri. Jumaat malam akhir 2006 kembali isu bencana menyeruak, bahwa akan datang gempa besar berkekuatan 9,5 SR, berbondong-bondonglah para penduduk berhamburan ketempat yang dianggap tinggi dan jauh dari jangkauan malaikat maut. Hingga satu minggu berbagai macam tenda-tenda darurat pun berdiri, tak obahnya Pemerintahan Darurat RI tempo dulu. Sejenak waktu berlalu, koran memberitakankan, televisi pun tidak ketinggalan, berikutnya RRI yang juga tak luput dari informasi terbaru bahwa banyak di antara penduduk kebablasan, jantungan karena ketakukan, tersiar kabar 2 pengunjung terjun bebas dari lantai 8 Minang Plaza, di Ujung Gurun sana ibu-ibu menggorok lehernya. Sementara itu, di sudut genung kota di kaki bukit seorang laki-laki berjenggot masih saja sibuk menepis segala kemungkinan yang dia ciptakan sendiri. Dia sendiri lupa bahwa malam ini jumatnya kian sempit, apa lagi teringat wajah-wajah pengusiran, serasa waktu ini makin menipis, hantui segenap pikiran, hanya satu pejaman mata relakan moment untuk nafas melintas, sesaat nafsu larat kembali memaksa, ‘’tukikan busur-busur mata lajangmu itu!’’, kata-kata itu yang terlintas di dalam rimba imajinasinya, ya masih bermuara pada denotatum yang sama, komputer, buku dan segunduk harapan. Dia ingin sekali melarikan diri, hingga dia sendiri pun tidak tahu akan harapan dan segenap impian itu mengunjungi tursina. Ya.., dunia semakin terbuka, sertifikat pujian yang masih bercokol kuat dan terkadang selalu menjadi buah bibir masih terlalu manis diucapkan orang-orang, padahal masih ribuan tema yang mengharapkan sorotan, mereka protes, itupun tidak akan mampu mengubah kerusakan dunia ini. Namun, dia juga menyadari bahwa makna hidup hampir separoh selesai, dia sendiri dihadang oleh Semiotik saat sesampai di persimpangan generasi. Mungkin hal itu memang benar-benar terjadi.
‘’Inikah hasil pengambaraan itu?’’, sebuah tanya memprotes.
‘’Aku tidak meniadakannya begitu saja, kamu terlalu terlibat dalam hayalan orang-orang itu, padahal dulunya aku terlalu bangga padamu, karena kamulah aku bisa, tapi karena kamu jugalah aku menjadi seperti ini!’’, kata-katanya begitu datar tetapi mengandung pembelaan atau kekalahan?
Namun dia hanya menganggap ini hanyalah serangan fajar yang datang agak terlambat, sesaat kemudian dia pun telah berlalu didera terpa hembusan nafas-nafas malam atau menguap sama sekali seiring berlalunya embun di pagi buta. Dan begitu cepat pula matahari membakar iga-iga yang sembul, celaka.., lebur juga dunia ini!.
Ya, dia si lelaki yang telah melakukan sebuah kesalahan, hanya sebuah itupun dosa yang pernah dibawanya sejak dia dihadirkan di dunia ini, hitungan anak-anak, remaja, dewasa dan mungkin menjelang uzur tua, tapi wujudnya baru dilihatnya saat ulang tahun pertama sekaligus yang terakhir. Dia menganggap inilah sebuah kado idealisme pengganti kepergian sang nenek untuk selamanya tahun 2002, siapapun tak akan mengira sengketa tanah pagi itu ikut mengusung neneknya ke peristirahatan terkhir, tapi dia yakin masa itu perang baru saja akan dimulai.
Semasa hidup Si Nenek itu terlalu kolot atau primitif yang memang cocok terlahir pada masa itu, masa transisi sekaligus masanya langit membara. Sapaan akrab Gandoriah adalah sebutan yang telah diwarisinya setelah berlalu dari rahim Upiak Mala, Mala sendiri berasal dari darah Upiak Andong. Sebenaranya Upiak Andong sendiri masih punya pewaris lain seperti Jala dan Budur. Tetapi mereka telah tinggal berpencar, bukan karena zaman bergolak, melainkan kepribadian mereka masing-masingnya berbeda-beda. Budur menetap Matrilokal di Mangga Dua, setelah 2 tahun menikah dia lebih memilih berperan dalam penyerbuan ke Kota Pariaman yang sudah 5 tahun diduki Belanda. Saat itu serdadu Belanda berhasil memukul mundur pasukan pribumi, nyatanya dalam penyerangan itu Budur tertangkap dan duhukum mati oleh Belanda.
Sedangkan si Jala dipanggil Jala karena sikapnya menyerupai penjajah yang haus darah, dalam bahasa Minang kata Jala itu sendiri berarti menjelajahi dan menyantap habis apa saja yang ditemukan, masyarakat membencinya dari belakang, ketika dia lewat di hadapan khalayak ramai puji-pujian menyambutnya hingga dia sendiri keblingar dan lubang hidungnya tertunggang ke atas, se saat dia berlalu semua orang hanya membicarakan kejelekannya. Dia juga suka menghasut mengadu domba sanak saudaranya yang masih sedarah, semua orang tahu di dalam dirinya sudah mengakar tunggang sifat iri dan dengki. Di saat saudaranya Si Gandoriah mendapatkan limpahan rezeki panen padi di sawah, Gandorish menjadi topik terhangat pengganti koran pagi sampai-sampai Jala menderita demam tinggi. Sayangnya koran berjalan itu tidak sanggup hidup lebih lama, dia tutup usia saat berumur 60 tahun dan meninggalkan 3 orang anak, 2 perempuan, satu laki-laki, ternyata buah tidak jatuh tidak jatuh jauh dari batangnya, ketiga anaknya mewarisi sifat ibunya si Jala. Dari segi namanya tiga orang anak Jala itu termasuk ke dalam kategori islam santri, Rosna misalnya, dia rajin sholat tetapi urat betisnya berpilin tiga, hatinya menghitam karena selalu mengadu domba orang yang bersaudara. Sedangkan yang satu lagi bernama Rohani, dia juga rajin sholat, pengajian di Surau tetapi sikapnya seperti katak hijau, mata duitan, suka mempergunjingkan orang yang bersaudara, kalu tidak berantam dengan Si Rosni, dia berrantam dengan Fatma. Sesekali mereka Join untuk menhadapi Fatma anak tua Gandoriah tetangga mereka. Pertengkaran itu selalu diawali dengan harta pusaka yang tidak lain adalah tanah yang mereka tinggali tersebut. Fatma sebagai anak Gandoriah tidak lagi tinggal bersama ibunya di Bukit Ujung, sejak menikah dia dibopong oleh suaminya ke Bukit Luar Bandar. Dulunya di Bukit Luar Bandar terdapat tanah pusaka yang ditinggal mati oleh penghuninya, pemilik tanah itu adalah Malin Deman orang terkaya di Bukit Luar Bandar. Dia disebut oeleh orang kampung orang habis, yaitu orang yang tidak mempunyai keturunan. Menjelang kematiannya dia berwasiat agar salah satu keturunan dari Gandoriah mau meninggali tanah pusaka yang dimilikinya itu, dia tidak rela jika anak-anak Si Jala meningggali tanah tersebut, semasa hidup dia sempat mengusir keturunan Jala terasebut dengan membakar pondok yang mereka tempati itu. Malin Deman sudah lama membenci keturunan Jala yang bersikap semaunya, awalnya Jala sendiri yang meminta kepada Malin Deman agar mereka diperbolehkan menumpang di tanah tersebut, Malin Deman sebagai orang yang terpandang sangat mengahargai nenek moyang mereka yang masih satu suku dengannya, pinta tersebut dikabulkan, tetapi dia terlanjur berjanji dalam hati, bahwa mereka diperbolehkan tinggal di tanah itu hanya sepanjang Malin Deman masih bernapas. Setelah Malin Deman tiada mereka harus pergi dari tanah itu dan digantikan oleh keturunan Gandoriah.
Sebenarnya Gandoriah sendiri sedikit keberatan memenuhi wasiat Malin Deman, karena dia tidak suka berdekatan tinggal dengan anak saudara sepupunya itu, Gando yakin akan selalu pecah pertengkaran dengan mereka. Namun keinginan Malin Deman itu tetap dipenuhi, tidak baik menolak peremintan teerkhir orang yang akan meninggal. Kebetulan sekali setelah menikah Fatma di bawa suaminya pindah ke Bulkit Luar Bandar, Gando meminta anaknya Fatma menuruti keinginan sumainya, kemudian Fatma pun menetap di tanah pusaka Malin Deman. Keputusan tersebut mendapatkan sanggahan dari keturuan Jala yang terlebih dulu tingal di sana, kenyataannya belum cukup satu bulan menetap di tanah itu Fatma dengan Rohani bersaudara cakra-cakaran dan unjuk-unjuk pantat hingga menurus kepada lemparan batu.
Kejadian tersebut tercium oleh saudara laki-laki Rohani bersaudara Si Mahyudin, sikapnya kurang lebih sama dengan kedua saudaranya itu, tetapi sebagai laki-laki dia tidak tahan mendengar gunjingan masyarakat tentang keluarganya yang selalu membuat masalah, dia pun pergi dan menetap di rumah istrinya di tanah pusaka Dt. Rajo Sampono di ranah Katapiang. Meskipin begitu, sesekali dia tetap datang ke Buku Luar Bandar walau hanya sekedar memngambil hasil panen buah kelapa. Di dalam kebudayaan Minangkabau, Mahyudin dijuluki oleh masyarakat urang sumando lapiak buruk di rumah istrinya, dia hanya sibuk dengan rintang anak istrinya tanpa mau peduli sedikitpun dengan keluarga batihnya. Dia juga sering ribut dengan anak Si Rosna yang masih tercatat sebagai kemenakannya sendiri, bahkan Mahyudin pernah diburu dengan parang peninggalan Belanda oleh kemenakannya Si Bujang. Setelah kejadian itu Mahyudin mulai jarang menjadatangi rumah Rohani bersaudara.


2. PERJANJIAN

Sudah tiga kali Fatma melahirkan bayi, namun harapan itu tak jua kunjung datang, kali ini Fatma hamil lagi, usia kandungan itu masih tujuh bulan, tidak beberapa bulan ini janin yang ada di kandungnya itu akan lahir atau mungkin akan bernasib sama dengan bayi-bayi yang sebelumnya. Namun, apa yang harus dia lakukan, selama mengandung Fatma telah berusaha mendekatkan diri pada tuhan, sepulang dari sawah sore hari dia disibukan di dapur, malamnya menyempatkan baca Al kitab, walau suaranya kurang cocok mendendangkan isi kitab itu. Tahajud yang ditunaikan setiap sepertiga malam pun tidak pernah ketinggalan. Hanya satu harapannya ketika itu, mudah-mudahan bayi yang masih dalam kandungan itu jadi orang berguna.
Saat pagi dan sore menjelang Fatma selalu berdoa agar bayinya itu di izinkan pencipta menghirup alam fana sebelum kembali pada-Nya di tiang arasy. Dia sedih di kala menginat bayinya yang pertama pergi sejak dari dalam kandungan, bayi itu tidak mampu membuat kesepakatan dengan sang pencipta. Alhasil, hanya orok yang mampu dilihatnya setelah tersadar dari lelah melawan maut. Sedangkan bayi kedua Si Sulaiman pergi dalam usia 3 bulan, padahal harapan telah bertumpu pada Sulaiman, hatinya miris dan perih. Fatma tidak pernah meninggalkan Sulaiman sendiri, sewaktu dia pergi ke warung membeli perlengkapan memasak, Sulaiman mungil dijaga oleh suaminya yang ternyata sangat menyayangi buah cinta itu. Terkadang selalu digendong sayang ayah yang dipangil Fatma Uda Rasul, sesekali dicandai dengan mengulur-ngulurkan lidahnya, bayi itu tertawa. Selanjutnya Rasul mengajak Sulaiman kecil berdebat tak obahnya berhadapan dengan politikus. Dia masih tertawa kecil hingga kelelahan dan tertidur di pangkuan Rasul.
Sepeninggal Fatma, Sulaiman tidak pernah bertingkah aneh, dia hanya berusaha bersahabat dengan ayahnya. Namun sesampai di rumah didapati Sulaiman kejang-kejang, bola matanya turun naik diringi pekikan hiteris tak obahnya orang yang sedang menjalani siksa kubur. Spontan Fatma histeris tanpa sadar diapun telah menghardik-hardik suaminya.
‘’Apa yang Uda lakukan dengan anaku?’’
‘’Saya tidak melakukan apa, tadi dia tertidur, kebetulan setelah si Sholeh lewat dia terpikik hingga seperti ini!’’.
‘’Apa?’’, Fatma seakan tidak percaya atas kejadian itu. Sholeh dikenal di Bukit Gadang sebagai seorang yang pendian, dia tinggal di Munggu sawah arah barat, kesehariannya juga tidak terlalu menyolok, kalupun ada kegiatan gotong royong dia hanya hadir sebentar dan setelah itu dia menghilang entah kemana. Tapi, sejak kehadirannya di kampung itu banyak penduduk yang resah, apa lagi setelah melahirkan bayi, pakaian-pakaian bayi yang tergantung di luar selalu dipasang dengan dasun . Tubuh bayi sendiri pun tidak luput dari benda aneh tersebut. Memang saat Fatma pergi ke warung dia telah melupakan kewajiban yang satu ini, tapi itu bukan salah Fatma, hari sabtu kemaren dasun habis di pasar Mangga Dua. Sebenarnya Fatma kurang yakin dengan kekuatan magis dasun tersebut, agaknya cara berfikir Fatma lebih terarah dan setengah moderen. Berkali-kali Gandoriah mengingatkan agar Fatma lebih memeperhatikan keadaan bayinya. Tapi nasehat Gandoriah kurang ditanggapi oleh oelah Fatma hingga kejadian itu benar-benar menimpa rumah tangganya.
Dalam suasana panik itu, Fatma berhamburan ke rumah orang pintar yang tidak jauh dari rumah, sementara Rasul mempersiapkan peralatan yang harus di bawa, seperti kelapa muda, daun obat-obatan si dingin, sitawa, ci kumpai, cikarau, pudiang hitam, sapitan tunggua. Kata orang kampung oabat itu digolongkan ke dalam pa-ureh atau obat pengusir setan dan pengusir energi negatif yang sedang menghinggapi tubuh seseorang. Sesampai di rumah orang pintar yang dijulukii dengan Bapak Punai, Fatma dan Rasul menceritakan kronologis kejadian, namun sayang sekali Punai tidak bisa mengahalangi kedatangan malaikat pencabut nyawa, Si mungil pergi dengan belalakan mata.
‘’Otak anak ini sudah kosong, kalaupun selamat bayi ini akan lumpuh seumur hidup!’’. Hanya itu kata terakhir yang mereka dapatkan dari Pak Punai. Sisa-sisa langkah membopong mereka kembali pulang ke rumah, semetara orok bayi yang baru saja kehilangan nafas terakhir sudah tidak lagi melotot. Rasul mengamuk, dia melemparkan paureh ke atas, sepertinya dia mau mencegah sang pencipta mengambil bayinya. Tapi itu sia-sia belaka, ternyata pencipta lebih menyayangi bayi tersebut dari pada dia sendiri.
Setelah kejadian itu, Rasul berusaha membalas apa yang telah dilakukan kepada keluarganya.
‘’Akan kubunuh palasik itu!’’
‘’Percuma Uda melakukannya, kalaupun dia mati Sulaiman tidak akan bisa kembali pada kita!’’.
Rasul tidak mau mencurahkan amarahnya kepada Fatma, dia lebih memilih pergi keluar rumah hingga berhari-hari tidak pulang, padahal di rumahnya masih berlangsung prosesi upacara kematian. Agaknya dia tidak bisa menerima kehilangan anak tercintanya.
Sudah dua tahun berlalu, sikap Rasul masih saja seperti itu, aneh dan penuh tanda tanya. Meskipun Fatma divonis sedang hamil kembali oleh Dukun Baranak setempat, Rasul sendiri tidak yakin dengan kehamilan Fatma, kejadian itu sudah ketiga kali dalam rumah tangganya. Rasul selalu bertindak aneh menjelang kelahiran anak ketiga dari rahim istrinya. Setelah bayi itu bernafas di antara pelukan mereka, ramalan Rasul sedikit meleset dari dugaannya. Awalnya dia yakin anak itu akan bernasib sama dengan yang sebelumnya, tetapi setelah dia melihat anak itu beranjak dewasa, bahkan sudah menuntut ilmu di Sekolah Dasar di kampung, Rasul mulai sedikit meramal tentang kebenaran. Anak itu mereka pangil dengan sebutan Syahrir. Pilihan nama itu diharapkan tidak meleset sebab dibalik nama itu tertitip sebuah harapan kelak anak itu menjadi orang besar dan mampu membantu orang se kampung.
Belum cukup lama Syahrir duduk di bangku Sekolah Dasar, guru-guru banyak yang menyukai kepribadian Syahrir, tidak heran pula banyak orang yang ingin mengendong anak ini meskipun sudah duduk di bangku sekolah dasar. ‘’Habis wajahnya itu masih seperti bayi!’’ begitulah tanggapan orang se kampung. Begitupula dengan guru sekolah, kata mereka Syahrir anak yang penurut dan patuh, tapi sikap seperti itu sudah kesehrian Rasul dan Fatma. Keluarga Rasul memang beruntung dianugrahi anak yang penurut, apapun pinta orang tuanya Syahrir tidak pernah membantah. Suatu ketika Fatma menyuruh Syahrir pergi membeli garam ke warung seberang jalan, Fatma tidak tahu bahwa anak laki-lakinya itu baru saja memasukan suapakan pertamanya ke dalam mulut, tanpa komentar Syahrir meninggalkan piring nasi dan pergi melaksanakan tugasnya sebagai anak Itulah Syahrir, tidak heran lingkungannya sendiri cepat menerima keberadaan Syahrir.
Berbeda dengan Fatma, sebagai orang tua dia cukup bersyukur dengan kehadiran anak pertama tetapi ada harapan lain di balik sosok kepribadian anaknya itu. Fatma juga menginginkan Syarir sedikit bisa memprotes, ternyata sikap itu tidak dimiliki oleh Syahrir. Fatma yakin keinginan itu akan terpenuhi jika dia bisa hamil lagi, dia terus berdoa kepada yang Maha Agung.
Di suatu senja yang kusam, Fatma masih betah melamun sesekali diterpa suara gemerisik gelombang laut Ulakan. Sesat dia dihadang seorang pengembara dari Barat. Sementara itu penghuninya kurang yakin, entah kenapa sang pengelana itu bisa selamat melewati rimba larangannya itu. Semua makhluk tahu bahwa rimba itu tidak bisa dilalui oleh siapapun yang tersebut bernyawa, aneh dan lebih banyak lagi keanehan yang tercatat dalam sepanjang sejarah hidup manusia. Jutaan abad lalu pernah datang manusia aneh dari Barat melewati rimba keramat itu, tetapi yang sampai ke seberang hanyalah berita, mungkin dia telah mati terbunuh oleh penghuni-penghuni malam di rimba atau mungkin juga bersahabat dengan malam di sana dan diperbolehkan tinggal untuk beberapa waktu lama, tapi itu hanya perkiraan saja. Ini sudah ke 4 kalinya manusia aneh yang melewatinya dan bahkan sampai ke seberang dalam wujud roh bukan berita seperti kejadian tempo silam.
Atau mungkin munculnya berita yang berwujud jasad itu keturunan dari manusia aneh yang datang dari jutaan abad yang lalu, hanya saja waktu ini kesempatan baginya melihat tepian pulau, dia berkata ‘’Akulah wakil tuhan di tanah ini, aku dianugrahi pengetahuan yang luas akan kuajarkan kepada umat-umatku nanti!’’ tetapi dia sendiri bingung, siapa yang akan menerima ajaran dan anjurannya yang bernada angkuh itu, apakah manusia-manusia hyperealis akan mendengarkannya? Apa yang dia pikirkan sesungguhnya, bukankah dunia baru yang akan dihadang layaknya sama seperti dalam pikirannya bulat dan penuh dengan rimba larangan, aneh dan hanya satu tuhan seperti dirinya saja.
Namun, sudah hampir satu tahun dia hanya mampu berputar-putar di tepian, sebab belum juga jatuh titah dari sang raja penguasa siang dan malam, menguasa waktu dengan ruang, pembuat takdir hingga masa depan, itulah yang dia tunggu-tunggu, perintah untuk menyebrangi samudra mimpi-mimpi yang akan dia taklukan. Ia yakin dengan bekal yang dibawa akan meluluh lantakan bayangan-bayangan masa depan. Pas sembilan masa kejayaan dia lalui, dengan kesabaran menunggu dan terus menunggu, tanpa dapat melakukan permintaan dan harapan-harapan, dia yakin tidak ada lagi yang akan dipinta, semua sudah ada keculi satu yaitu izin penyebrangan, yakin hanya itu saja. Sesaat ubun-ubunnya megerinyit, ledakan maha dasyat mengguncang suasana rimba larangan menciptakan hempasan-hempasan yang menggentarkan nyalinya, berlutut itulah yang hanya bisa dia lakukan, ‘’Ampun hamba yang Maha Agung, hamba hanya insan yang Engkau utus, kalau Engaku buang hamba jauh, jika Engkau gantung hamba akan tinggi, jika Engkau memutus hamba mati!’’, rangkaian tabir-tabir itu membuka sekaligus tanda menyerah kalah yang muncrat dalam suasana gigilnya.
Seperti biasanya, raja malam itu hanya megirim suara-suara maut, ‘’Engkau! engkau yang akan menempuh dunia jasad! engkau yang akan melaksanakan titah! engkau juga yang akan menjadi paling takut hanya kepada-Ku! Mampukah engkau berjanji demi nama-Ku? Engkau yang akan menjadi jasad, apakah engkau siap menanggalkan seluruh identitasmu? Biarkanlah dia lepas sementara, biarkanlah dia menemui tempatnya sendiri karena Aku juga yang suka berbuat. Saat engkau pulang bawalah dia serta bersama luluhnya jasadmu, sementara jasadmu sangatlah Kularang menghadap kepada-Ku, sebab dia belumlah pantas menemui Aku, kutempatkan dia pada suatu tempat hanya Aku yang tahu. Engkau yang akan berjasad, kelak kedatanganmu bermacam bentuk rupa kepada-Ku, itu semua sangat tergantung kemampuan engkau untuk membawa seluruh identitasmu yang telah aku kirimkan pada tempatnya yang agung, berjanjikah engkau wahai yang akan berjasad?’’, Si mahluk yang belum berwujud menyambut, ‘’Hamba berjanji yang mulia!’’.
Ya! dia tidak lagi mampu menahan hasrat untuk segera menyebrang, pada tapal batas yang tidak bernama, dia menembus dan berpindah dari alam ilmu pengetahuan ke alam fenomena. Namun, apa yang terjadi tidaklah seperti yang dijanjikan oleh keyakinanya, teriakan tangisnya mengutuk, sementara orang-orang di sekeliling hanya mampu tertawa terbahak histeris, senang dan gembira akan kedatangannya, ya! wujudnya hanyalah seorang bayi, tanpa identitas, tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan dia sendiri tidak ingat apa yang sudah berlalu, selain menangis dan hanya menangis demi kepuasan orang-orang di sekeliling itu termaktubkan. Itulah yang dijanjikan untuk seluruh umat manusia. Ya! waktu tidak akan lama singgah untuk meninabobokan kemanjaan-kemanjaan yang sangat dibenci, terkutuk kejadianya di alam roh.
‘’Azam! Dia kan saya beri nama Azam, bagai mana menurutmu Fatma?’’, Rasul sumringah sambil memandang wajah Fatma yang landai.
‘’Terserah Uda, aku pernah melahirkan 3 orang anak sebelumnya tapi tidak seletih ini, aku ingin istirahat!’’.
Tapi kini Azam telah berumur 4 tahun, dia sering bertindak tanpa kendali sang ibu, Azam suka jalan keluar di saat pintu rumah di malam hari tidak terkunci. Tingkah laku Azam memang lebih agresif dari Syahrir. Syahrir penurut, sedangkan Azam suka komplen dan selalu betanya terhadap apa yang tidak diketahuinya. Di saat Azam bermain sepak tekong dengan anak tetangga, Ibunya sering membujuk agar berhenti main, Fatma takut Azam anaknya agak temprament.
‘’Azam sayang, mari Emak mandiin ya agar badan sehat dan jadi pintar!’’ Fatma membujuk Si kecil yang 4 tahun lalu yang hanya mampu menjerit sementara orang di sekelilingnya terbahak-bahak, sekarang Si kecil sudah maemasuki tahun ke 5 tapi sangat suka bercengkrama dengan kebodohan-kebodohan, sesekali dia menggigit puntungan rokok yang dipungut di depan rumah. Kesalahan Si Bapak ini selalu tercecerkan di sepanjang halaman rumah, entah berapa ribu puntung rokok yang menjerit ingin di tempatkan di tempat selayaknya.
‘’Fatma, puntung rokok itu tidak bisa bicara kalau di dipugut sama anakmu itu, sekarang anak mu saja yang kau pungut dari halaman!’’ ceoteh si lelaki paroh baya itu kepada istrinya. Mungkin si istri kesal saat mendapati sikecil tersendat saat memakan puntuh rokok Si Rasul.
‘’Tiap hari, tiap jam uang dibakar, coba Uda kumpulkan mungkin sudah bisa membeli mobil!’’.
‘’Fatma, kalau saya kumpulkan uang itu lalu saya membeli mobil nanti mobilnya akan terbakar, sekarang kamu didik saja anakmu itu menjadi orang, percuma diberi nama Ibrahim Azam kalau harus menjadi Bram, memangnya anakmu itu mau dijadikan ketua geng preman’’, cetus Rasul sambil berlalu. rupanya Si suami sudah dikirimi sinyal di meja warung sebrang, dia sudah ditunggu oleh beberapa orang yang akan siap mengadilinya dengan kertas remi dan koa. Di kalangan sejawat Rasul memang dijuluki oleh komplotannya dengan sebutan Dewa judi. Tetapi dia punya sebuah kelihaian, selama digebrek oleh petugas akhir bulan lalu dia selalu lolos, entah kenapa sesampai di semak-semak jasadnya menghilang begitu saja.
Azam kecil yang suka protes memang belum cukup umur melarang Ayahnya bermain judi, katanya hanya sekedar hobi tapi menghabiskan uang hingga jutaan rupiah. Hari jumat Rabiul Akhir Azam melihat Ayah tergopoh-gopoh pulang ke rumah, Azam menatap mata si Rasul dengan sayatan-sayatan tajam, seakan dia berkata ‘’Engkau si Ayah mahluk yang hina!’’, tapi Si Rasul yakin dia hanya seorang anak kecil kemaren sore yang kesasar memalui rahim istrinya, namun hatinya berbisik, ‘’Si Azam matanya sampaikan suatu makna kepadaku, apa gerangan amanat yang dibawanya, akankah pesan itu hanya untukku atau..., ah aku capek!’’ detak hatinya ditutup dengan rebahan di lantai rumah yang sudah separoh tanah.

3. KABUT PAGI

Matahari merangkak lamban, Gandoriah yang keriput ungu berjalan di pinggiran lintas Pariaman-Lubuk Alung, watak keras si Gandoriah menciptakan takdir Azam sebagai cucu yang kelewatan kewalahan, itu pula yang menjadi pangkal bala keharusannya mengekejar gerbang penghabisan, si nenek rela berkoraban apa saja untuk kepentingan orang banyak. Ya! Tentunya sebagai orang salapan di dalam Nagari, dia diserahi banyak tugas, mulai dari membuat joadah hingga mempersiapkan acara perhelatan pihak keluarga yang akan segera tayang, mereka menyebutnya saremonial. Realitas usang ini layak dihadirkan hidup di kampung Bukit Gadang, yang mana di sana sebuah raja kemasyarakatan sangatlah di kedepankan.
Sebagai orang yang dituakan di dalam kampung, Gandoriah merasa sangat bertanggung jawab atas kelancaran dan keberhasilan sebuah pesta anggota masyarakat yang berhajat, dia telah lupa bahwa dirinya juga seorang anggota masyarakat yang patut pula mendapatkan santunan di saat usianya yang uzur, berkali-kali Azam telah menegaskan.
’’Nek!, janganlah nenek lalaikan sholat, boleh menolong orang, tapi tunaikan dulu kewajiban ke pada tuhan!’’, kata-kata ini sering diulang-ulang Azam saat Gandoriah untuk kesekian kalinya pulang terlambat. Memang dasar si Nenek yang telah dilahirkan menjadi orang aneh, acuh seperti biasa dan pergi tanpa meninggalkan kata-kata dan tanpa alasan. Sebagai cucu yang disayang, Azam tidak punya kuasa memarahi neneknya itu, apalagi menghardik, tapi jalan ketabahan mampu menghantarkan Azam ke pintu pasrah, Azam berharap mudah-mudahan Si Nenek ditunjukan jalan gaib sehingga kesadarannya pulih kembali, sebab bagi Azam sendiri Gandoriah adalah orang yang sangat berjasa, saat Azam dimarahi ibu ataupun ayah, Gandoriah adalah tempat pelarian yang nyaman dari umbaran kesedihan yang mungkin merayap hingga berhari-hari. Azam masih ingat memorial awal saat mau masuk kuliah tahun 2002 dulu, Gandoriahlah satu-satunya dewa penyelamat, dia sanggup meruntuhkan tembok birokrasi yang berlindung di balik uang semester. Gandoriahlah yang membayar uang semester Azam untuk pertamakalinya.
Sebenarnya Azam pun tahu bahwa uang yang wujud aslinya adalah onggokan lidi-lidi daun kelapa, perhari, bulan, tahun sehingga wujud itu menjadi ada. Padahal sebelumnya tidak terbesit dalam ingatan Azam bahwa lidi-lidi itulah yang membopongnya ke bangku perkuliahan. Azam tidak pernah mengumpat kehadiran kedua orang tuanya, hasil ojek Ayah dan propesi Emak sebagai buruh sawah ketika itu tidak kuasa mengabulkan impin Azam, bisa berjalan di batas lingkaran perut saja sudah syukur, lalu apa salahnya Gandoriah mencangkok tugas tersebut?
Bagi Azam mungkin neneknya itu keterlaluan sabar, dia pernah dongengkan sejarah PRRI dan PKI dulu. Masa itu kakek Azam Wali Lansi dihadiahi gelar pahlawan gugur ditembak oleh tentara rimba. Sebagai pejabat Wali Nagari, suami Gandoriah ini juga diberi gelar orang terlibat, tragisnya kejadian berlangusng di rumah istri keduanya di Bukit Tengah yang berjarak 2 desa dari rumah Gandoriah, padahal sebelumnya sudah diberi wejangan dan beberapa pituah oleh Gandoriah.
‘’Uda! Hari sudah malam, suasana sedang panas sekarang, tentara rimba sedang menuntut balas atas kermatian Udin di lapau kemaren!’’.
‘’Lalu apa hubungannya dengan saya, saya tidak ikut-ikutan mengeroyok Si Udin itu!’’, cetus Wali Lansi.
‘’Iya! Memang Uda tidak ikut-ikutan, tapi Si Lekra, Ajai, Saparudin, Mahmud itukan teman Uda!, mereka siang malam bersama Uda? Siapapun akan berpikir bahwa dalangnya adalah Uda!’’, suaranya mulai keras dan miris.
Mungkin itu cara masyarakat tradisioanl merayu si suami agar tidak pergi meninggalkannya. Namun tidak bagi Lansi, seperti kebanyakan laki-laki Minang lain dia terlalu malas menanggapi omongan istri yang kian lama makin memudar dari penglihatannya.
‘’Gando! Saya ini orang berpengaruh di sini, Wali Nagari!, sudahlah! jangan berpikiran di luar kemampuan kamu itu! Besarkan saja anak-anakmu itu kelak dia juga akan menjadi pejuang dalam suasana dan masa yang lain!’’, cetusnya menutup. Berselang beberapa waktu, Lansi memenuhi janjinya dia pun berlalu menuju rumah istri keduanya. Memang 19:00 WIB di kampung Bukit Gadang sudah memasuki suasana mencekam, intipan kematian merambat dan siap mengitari siapa saja, letusan senapan menjadi pemula sebelum disahuti oleh raungan di tempat–tempat lain.
Ya! di zaman transisi itu Gandoriah memang selalu bergelut dengan kematian. Dulu, di depan rumahnya ada serdadu yang digorok, kepalanya tidak ditemukan, sepertinya serdadu pusat, paginya gerombolan serdadu mendatangi lokasi musibah, mungkin teman dari serdadu yang digorok, tanpa basa basi mereka membentak.
‘’Hei kamu! Kamu lihat kejadian ini?, kapan terjadinya?’’, serdadu itu membentak.
Sementara itu Gandoriah asyik dengan kesibukannya menyapu halaman yang penuh dengan sampah-sampah peluru, begitupula dengan bercak-bercak darah di dinding itu diusap bersih dengan air asam.
‘’Kenapa kamu diam saja! kamu mau ditembak.., hah?
‘’Dimana kamu sembunyikan kepala kawan kami? Siapa yang melakukannya?’’, sambung para serdadu.
Gandoriah hanya melirik sinis ke arah serdadu, mereka berpakaian hijau loreng, di bahu kanan tertempel warna merah dan putih, Gandoriah tidak tau apa arti lambang itu, tapi dia yakin gerombolan itu adalah orang suruhan pemerintah untuk membantai warga, suaminya pernah bilang bahwa ciri-ciri itu di miliki oleh serdadu pusat. Namun baginya, sebutan tentara terlalu halus untuk serdadu itu.
‘’Dasar pelacur arab!’’, umpat sardadu itu bengis.
Sejurus kemudian, moncong senapan lasar panjang sudah menempel di dahi Gando, letusan pertama akan membuat otaknya berantakan dan berhamburan keluar dari tengkoraknya, tapi kepasrahan membuat muntahan peluru itu nyasar setelah berhasil ditepis oleh munculnya parang orang asing yang datang tiba-tiba dari samping serdadu. Saat itu hanya lutut Gando yang jadi amukan timah panas senapan serdadu, sesaat Gando terjatuh dalam diam tanpa rintihan. Apa mungkin Gandoriah sudah bosan merintih? Sementara para serdadu tertegun terkesima dengan kemunculan penyelamat sekaligus saudara Gando, ’Buncit!’, begitulah Gando memanggilnya. Ya! Itu salah dia sendiri dilahirkan dengan perut gembung berisi.
Buncit yang tidak obahnya seperti pendekar dari Timur meraih kembali parang yang panjangnya dua depa, kokoh menancap di tanah merah. Belum sempat sepatah kata pun meloncat dari sela keterpanaan serdadu, besi pembasmi itu mengayun kembali membelah suasana, tapi lambang merah putih di pundak kanan serdadu itu membuat si Buncit tertegun.
‘’Kamu sekalian serdadu dikirim oleh pemerintah bukan untuk membantai kerabat saya, tapi untuk membersihkan sampah-sampah kemerdekaan, kalian hampir saja membunuh kakak saya! kalian tau? Dia itu istri Pak Wali di Bukit Gadang ini, tidak mungkin harus menyampahi kemerdekaan kalian!’’, sela Buncit ditengah keterpanaannya.
‘’Saudara!...saudara!, siapa Saudara?’’, Pimpinan serdadu sedikit gugup, walaupun moncong-moncong senapan mereka telah siap mencabik-cabik kenekatan si Buncit.
‘’Saya ipar Pak Wali, kalian mau menembak saya, berarti kalian siap meninggalkan negri ini selamanya!’’, teriaka Buncit bengis dan langsung mengangkat parang, ayunan ketiga Buncit berhasil memisahkan kepala pimpinan serdadu dari badannya. Plaass! Kepala itu jatuh seketika, kejadian itu membuat kawanan serdadu lamban angkat senapan, tebasan-tebasan yang memburu, mencerai beraikan keberuntungan para serdadu saat itu. Sudah kepalang tanggung, dua kali tebasan lagi tangan dua serdadu pun terputus dilengkapi erangan yang menyayat. Sejurus dengan itu, letusan senapan di sekeliling Buncit menyalak membabi buta, namun timah beracun itu hanya mampu mencabik-cabik seragam silat hitam yang dikenakan Buncit.
‘’Aduh sang hiang widi, orang ini tahan senapan!’’, ucap serdadu menahan gigil.
Seperti menemui jalan buntu, delapan serdadu mundur ke semak-semak di samping rumah Gandoriah. Si Buncit terus memburu para serdadu hingga bayangannya menghilang dari kejauhan. Ya! Gandoriah tidak lain hanyalah korban lampisan emosi komplotan serdadu, kini hanya mampu menyeret langkah-langkah kepiluan sebab sudah terlalu lama hatinya lebam, mungkin luka itu tidaklah sebanding dengan kaki kanan yang terlanjur dibanjiri darah. Sesaat situasi itu telah ciptakan kerumunan, ramai orang berlarian ke rumah Gandoriah dan menggotongnya ke tempat pembaringan. Sementara dari kejauhan, suara-sura senapan masih bersahutan, sesekali terselip erangan, entah erangan siapa, serdadu atau si Buncit, yang jelas erangan itu adalah erangan kematian.
Gandoriah tertegun dengan selaksa keheranan, entah dimana adiknya itu mempelajari ilmu kebal. Dua tahun menghilang kini muncul sebagai pahlawan-pemberontak atau pemberontak-pahlawan? Sekian gunjingan pernah mengabarkan, Si Buncit itu hanyalah saudara se ayah dengan Gando, jika tidak karena kemunculannya yang tiba-tiba, Gando sudah tercatat sebagai sampah kemerdekaan ketika itu. Sebenarnya Gando belum menginginkan kehadiran Si Buncit saat itu atau sekurang-kurangnya tidak sebagai orang kebal, sebab kehadiran yang seperti itu membahayakan siapa saja terutama pemimpin-pemimpin di zaman bergejolak. Kalaupun dia tidak melakukan sebuah kesalahan, maka di sanalah letak kesalahan itu, kesalahan atas kehadirannya yang kurang tepat dan juga kurang bermakna. Andai saja dia hadir agak lebih awal tentunya dia mampu memilih jalan kebenaran, serdadu rimba atau serdadu pusat, atau mungkin hanya betul-betul menjadi pahlawan? Mestinya dia tidak mengikuti jejak Gandoriah yang tercatat sebagai pewawaris sesat sejarah. Si Bucit tidak harus menjadi pembela rakyat. Dia juga tidak harus menjadi orang Asu.

4. GUGUR BUNGA

Seperti biasanya di pagi suasana perang, di saat bergejolaknya PRRI, Gandoriah berniat kembali membersihkan sampah-sampah peluru, maklumlah pemandangan pagi itu selalu menyuguhkan ceceran jejari tangan, entah tangan siapa, terkadang kepala serdadu, sesekali pejuang, memang begitu sarapan pagi se zaman Gandoriah. Seketika Gando ingat dentuman keras tadi malam bersumber dari arah dapur, semenit kemudian Gando sudah mendapati dirinya di dapur belakang, puing-puing dapur separoh arang adalah korban amukan perang tadi malam. Tidak jauh dari puing yang menghitam, Gando melihat sekelabat gundukan, lebih mirip jasad yang sudah menghitam. Menghampiri benda penghasil tanda tanya tersebut adalah pilihan tapat Gando saat itu, keingintahuan inilah yang mengantarkan Gando kepada sebuah nama yang dikenal dengan Mahmud, histeris dia menggigil memanggil Rubiah tetangga sebelah, namun panggilan itu hanya dijawab dengan tangisan pilu. Pagi itu Rubiah juga dikejutkan oleh potongan jasad paha ke atas di halaman rumahnya, muka separoh hancur. Di saat masih bernyawa di dalam buku nikah, jasad itu tercatat sebagai suaminya, Rubiah dipakasa pasrah, baginya sosok Lekra adalah pejuang sejati yang belum pantas tewas saat itu, sebab bayinya yang terakhir yang terlahir tidak normal itu masih membutuhkan kelucuan Si Lekra.
Semasa hidupnya Lekra sendiri tahu bahwa anak yang dinamai dengan Majnun bukanlah darah dagingnya, kejadian itu serba kebetulan. Pada jumat siang bulan Syafar Lekra menekuni rutinitas seperti biasa, pagi-pagi sekali dia bangun untuk Shubuh kemudian berangkat ke sawah yang memang tidak jauh dari rumah, tidak lama Lekra berlalu, sekelompok serdadu datang menanyakan Lekra, firasat Rubiah berpesan jika kereberadaan suaminya itu diberitahu, suaminya itu dijamin mati, lalu 3 anak-anaknya yang lahir dari hasil perkawinanya yang sah dengan Lekra akan menjadi yatim. Rubiah memilih kata-kata ‘tidak tahu’, seketika serdadu dengan lagak pahlawan itu menggertak disertai todongkan bedil ke kening Rubiah, sikap itu hanya dinanti dengan gigil oleh Rubiah, sebab selama hidung titempuh nafas baru pertama kalinya dia diperlakukan seperti itu. Namun, alkohol syahwat yang ditelan mentah-mentah oleh para serdadu, sudah tidak mampu lagi mendengar kata-kata ‘ampun’ dari getaran bibir Si Rubiah, walaupun sudah terselip kata, ‘’saya punya suami!’’.
Sejurus kemudian pahlawan itu terus menghardik, mendaki ketidakberdayaan Rubiah, sesaat kemudian mereka menggerayanyi apa yang menjadi pusat harga diri Rubiah. Memang pada saat itu Rubiah masih kelihatan masih ranum, hal itu pantas saja, Rubiah menempuh jenjang perkawinannya terlalu pagi dari perkiraan orang-orang di kampung, saat berumur 10 tahun Rubiah sudah dikaruniai anak pertama, hal ini adalah awal wujud kasih sayang Lekra yang nyata. Berdasarkan cerita Gandoriah, Rubiah diserang oleh 10 serdadu itu hingga dia tidak sadarkan diri, sore harinya Gando hanya menemukan Rubiah tanpa busana sama sekali.
Namun, sekarang Lekra yang dulu sangat dilindunginya hingga dia sendiri mengorbankan harga diri untuk kebejatannya para serdadu, kini tinggal potongan tubuh yang tidak berkaki, Rubiah hanya mampu menelan sisa tangis sambil menggendong bayi yang hampir genap berumur 1 tahun setengah itu. Rasa sakit yang teramat sangat itu terhenti dan diiringi kemunculan beberapa orang pemuda tanggung, mereka adalah petugas pembersihan setelah perang reda, mereka itu sudah 2 bulan mencari lindungan di bawah Laskar Pejuang Muda. Dengan segera potongan jenazah Lekra disemayankan di samping rumah Rubiah, memang itulah sebagian dari tugas Laskar Pejuang Muda. Gando hanya memandang hiba ke arah Si Rubiah, tiada pilihan lain dia hanya kembali pulang dan melanjutkan kerjaannya yang tertunda beberapa saat. Sesampai di rumah dilihatnya jasad Mahmud juga sudah tidak ada, mungkin telah dibawa kelompok pemuda-pemuda tadi, namun Gando sadar bahwa salah seorang tersebut biasa dipanggil oleh Lansi dengan panggilan Badrul, Gando sendiri menyaksikan sendiri sudah beberapa kali dia datang menemuil suaminya di rumah seusai sholat Jumat. Badrul juga tercatat sebagai anak asuhan Wali Lansi. Se ingat Gando, kesatuan pemuda itu masih tergabung di bawah lindungan Komando Keselamatan Rakyat (KKR) pimpinan Wali Lansi sendiri.
Di ujung keiklasan itu, Gandoriah hanya mampu menutupi rangkaian kepahitan dengan diam, dia dipaksa diam dan saatnya diam. Gandoriah hanyalah seorang perempuan yang ditakdirkan ada di zaman itu, sudah diperintahkan menjemput pilar-pilar dosa, agar bisa diwariskannya kepada anak serta cucu di kemudian kelak. Gando kembali menyapu halaman depan, onggokan-onggokan peluru telah berhasil dikumpulkan, tanpa sengaja tangkai sapu lidi tak bermata itu menyentuh sebuah plastik hitam di bawah jenjang Rumah Bagonjong, memang sedari tadi tidak diacuhkan Gando, mungkin itu hanyalah kantong yang diterbangkan angin atau memang sengaja dikirimkan sesorang, tapi bungkusannya yang rapi menandakan bahwa di dalamnya terdapat sebuah pesan, tangkai sapu yang masih dalam genggaman dilibaskan kekantong tersebut, keras dan sedikit berbau amis, sementara lalat-lalat hijau terus kerumuni simber bau. Rasa penasaran membopong Gando untuk membuka kantong tersebut, di dalamnya Gando mendapati bingkisan kain putih yang telah memerah oleh darah, sekilas dia membayangkan tanda di bahu serdadu yang juga merah putih, spontan dia terhenyak, seolah-olah lototan mata Si Buncit berpesan, ‘aku pulang Uni!. Lalu 3 lubang peluru masih menganga pada bagian kening, satu peluru di pelipis, potongan kepala Buncit membuat takwil mimpinya menuai fakta, dia tidak menyadari bahwa kejadian yang tidak diketahuinya itu mampu memanggil tangisnya kembali sejak raibnya saudara laki-lakinya yang pertama, jelas tanpa sebab yang pasti, orang kampung tega menusuknya dengan bambu runcing. Gando berharap ini hanyalah mimpi, tapi dia sendiri tidak pernah bangun dari mimpi buruk itu.
‘’Buncit kenapa engkau ikut pergi, siapa yang akan menjaga Uni? kamu bilang kamu tahan peluru, tidak akan mati oleh senapan-senapan itu, lalu sekarang apa?’’, rintih Gando menghiba.
‘’Hanya kepalanya yang bisa aku temukan di pasar Lubuk Alung, tubuhnya aku tidak tahu di mana!’’, suara serat mengejutkan Gando dari belakang.
‘’Raza’i!’’, Gando menoleh.
Laki-laki itu hanya menunduk.
‘’Saya sedang minum kopi siang di lapau Uni Darwis, kopi saya terlalu panas, saya pergi ke bandar untuk buang air, setelah saya kembali, saya lihat tubuh Uda sudah tidak ada, kepalanya terjungkal di bawah kolong meja. Kata Uni Darwis, 3 orang lelaki datang dari arah Barat, mereka mampir minum kopi, salah satu dari mereka membawa tali, katanya kerbau yang dibeli di pasar Kamis Pakandangan kemaren lepas, 2 orang di antara mereka memesan kopi, sementara yang satunya sibuk bolak balik ke belakang pasar yang memang tidak hari pasar. Dua orang laki-laki yang baru datang bercakap-cakap dengan Uda, sepertinya mereka sudah lama akrab, sesekali mereka menunjuk peta-peta perjuangan yang telah dibuat dengan tangannya sendiri, sejurus dengan itu Uda tercekik seulas tali kerbau yang dililitkan di lehernya dari belakang, kaki Uda terjuntai tidak menyentuh tanah, 2 orang laki-laki di depan Uda langsung menebas batang lehernya, dua kali tebasan kepalanya jatuh ke bawah, kemudian jasad Uda dibawa dengan karung menuju mudik pasar Lubuk Alung, sejam kemudian aku datang, meraka sudah tidak ada, begitulah ceritanya Ni!’’, Jelas Raza’i.
Gandoriah hanya bertumpu dengan diam, sementara itu matanya yang tajam memanah merah ke wajah Raza’i yang merah redam. Raza’i memperkuat keteranganya.
‘’Aku selamatkan kepala Uda, sesaat kulihat ada 3 lubang peluru, aku membungkusnya dengan kain putih yang aku ikatkan di leher, kemudian saya bawa ke sini!’’, Raza’i menutup keterangan dan berlalu.
Namun, pandangan Gando belum tuntas hingga tubuh Raza’i benar-benar menghilang dari kejauhan, dia kembali diam dan lebih memilih tidak memberi tahu sesuatu apapun kepada suaminya, pernah si Lansi bertanya tentang kehadiran kembali Si Buncit di dunia pergolakan.
‘’Si buncit telah pulang? di mana dia Ndo?’’
‘’Saya tidak tahu, dia perrgi lagi sebelum sempat bicara sama saya, dia pergi dengan temannya!’’, balas Gando acuh.
‘’Kamu sebaiknya di dalam rumah saja, jangan keluar rumah, kamu tidak tahan peluru seperti adikmu itu! sekarang situasi semakin memanas, saat Bung Karno menanggapi Trikora, serdadu pusat akan dikirim 2 kali lipat lebih banyak dari biasanya, sebagian besar terdiri dari prajurit Laskar Berani Mati dari Indonesia Timur dan Indonesia Bagian Selatan, kabar yang kudengar, serdadu itu sering salah orang, apa lagi melihat perempuan cantik, dia akan menganggap perempuan itu sasarannya, hati-hatilah mereka kaum itu kanibal!’’, nasehat Lansi.
‘’Kenapa mereka berbuat begitu?’’, desak Gando.
‘’Di dalam sejarah nanti akan tercatat 2 buah perang diponegoro, itupun kalau ada penulis yang mau mengungkapnya tapi bukan sejarahwan! Saya akan perintahkan Raza’i melihat rumah ini dari kejauhan, yang perlu kamu ketahui, di bawah lantai ini sudah kupersiapkan sebuah lobang, saat terjadi perang, kamu pergi ke bawah lantai itu, di sana ada kukira mampu menampung 5 orang, bawa serta anak-anakmu itu!’’, sambung Lansi melengkapi.
**
Senja itu, terlalu cepat untuk memulai sebuah perang besar, belum berlalu waktu magrib, senapan-senapan itu kembali meletus. Seperti nasehat Lansi sebelum kepergiannya ke rumah madunya Gando, Gando spontan hengkang ke bawah lantai rumah, di sana memang sudah disediakan lorong bawah tanah, Gando membawa serta si kecil Burhanundin, Si Hitam Suardi, Si Fatmawati dan Pamila. Dari Si Fatmawati inilah garis keturunan menyambung antara Azam dengan Gandoriah. Sebenarnya Gando masih mempunyai sepupu yang se nenek dia adalah Jalut tetapi sudah menetap di Buklit Luar. Pada saat yang bersamaan dengan usaha persembunyian Gando, letusan pertama tepat mengenai bagian bilik tengah, untung saja Gando beserta anak-anaknya sudah sampai di dalam lorong, kalau tidak dia akan menjadi salah satu bagian kepingan dari bilik itu. Di sela-sela letusan senapan ysang dilengkapi teriakan-teriakan perjuangan kian ramai terdengar, dalam suasana mencekam itu sekilas Gando masih sempat memikirkan takdir yang akan menimpa suaminya di perjalanan.
‘’Benar! dia dikawal oleh beberapa serdadu, tapi serdadu itu tetap seperti manusia, tidak tahan peluru, Si Buncit yang tahan peluru saja masih bisa kehilangan tubuhnya di Pasar Lubuk alung, lalu apa bedanyanya dengan serdadu itu dan juga Wali Lansi yang keras kepala itu! mudah-mudahan tuhan meluruskan jalannya!’’, umpatnya dalam hati.
Hingga subuh menjelang, suara letusan-letusan itu masih terdengar, pekikan kematian, perjuangan? siapa yang berjuang untuk siapa, semuanya menjadi samar, yang jelas setiap orang yang bernapas malam itu hanya berusaha untuk hidup tidak obahnya dengan Gando yang memilih lorong tanah. Lain halnya dengan orang-orang di luar sana, mereka berjuang melepaskan tembakan, pekikan, lemparan granat atau dengan mebunuh saudaranya sendiri, memang seperti itulah keheningan malam itu.Ya! keheningan yang bernodakan darah saudara, sanak famili handai tolan, sama-sama menjadi sampah kemerdekaan.

5. POLITIK SEJARAH

Genap 2 bulan setelah perang yang mengahancurkan hampir dari separoh rumahnya, Gando tidak lagi mendengar suara Alim yang selalu mengumandangkan azan di Surau kayu di depan Labuah Pedati. Kemaren, si Alim masih sempat azan sebelum lari ke rimba, hari Sabtu kepalamya sudah dipaku di tiang utama Surau. Dinding Surau itu diberi ukiran arit dan palu, warna dasarnya merah darah, tentunya darah si Alim, sebagian orang bilang lambang itu adalah simbol pembaharuan, sebagian lagi menyebutnya lambang organisasi kaum petani tertindas, sementara Rubiah mengatakan lambang itu adalah tanda yang dilihatnya di pakaian kebesaran suaminya saat dia pergi ke sawah, kalau tidak di bawahnya tertulis huruf I-B-T (Ikatan Buruh Tertindas) atau mungkin P-B-T (Persatuan buruh Tertindas), entahlah Rubiah itu memang tidak bisa membaca, yang jelas huruf yang seperti itu hanya ada di baju beberapa orang, Gando sendiri sebagai istri Wali Lansi tidak tahu arti huruf itu walaupun dia juga pernah melihat huruf yang sama di pakaian kerja si Alim saat dia datang menemui suaminya ke rumah. Saat itu Gando hanya mendengar sayup ucapan Alim dari halaman.
‘’Sudah bersih Pak!, tinggal lapau Uni Darwis di Lubuk Alung, di sana memang banyak sampah, tapi saya sudah menitip pesan pada Raza’i agar membersihkannya, terangnya dia juga punya teman yang bisa membantu!’’, ujar Alim dengan lagak pejuang yang sedang melapor kepada pimpinan.
Lansi tersenyum puas mendengar caranya kerjanya si Alim.
‘’Kamu menang ahli situasi, tapi ingat jangan sampai kerbau itu lepas lagi, jangan pula dia sampai berkubang lagi dengan tanah, dia akan menanduk perut-perut kalian!’’, nasehat Lansi.
Memang setahu Gando, suaminya itu selalu membagi-bagikan kartu berstempel kepada setiap orang yang ditemuinya, katanya para serdadu sering razia, siapa yang tidak punya kartu ditembak langsung oleh serdadu, Gando sendiri juga punya kartu itu, stasiun kereta api di Bukit Gadang adalah incaran utama para serdadu, kereta api di sana selalu singgah sebentar memuat penumpang menuju pasar Lubuk alung. Sebelum penumpang menaiki kereta para serdadu berbaju loreng lengkap dengan senapan laras panjang akan menghadang setiap menumpang kereta, siapa yang tidak punya kartu dibawa ke belakang stasiun, di sana sudah tersedia lubang galian sedalam 10 meter dan panjangnya entah berapa, lubang itu dulunya tembus ke daerah Asam Pulau Lubuk Alung, setelah suara letusan, serdadu itu akan kembali ke pintu penjagaan. Sabtu kemaren, ada 2 orang gadis cantik ingin ikut menaiki kereta api menuju Lubuk Alung, mereka itu baru datang dari Pariaman, ayahnya seorang saudagar kaya, mati terbunuh saat perang berkecamuk di Pasar Pariaman, ayahnya juga salah seorang Raja di pariaman, Datuak Amai Said begitu orang mengenalnya. Saat ayahnya ditembak tentara rimba, mereka dilarikan oleh pedagang pisang ke pasar Pauh Kambar, pedagang pisang itu berniat menjual mereka kepada Wali Nagari Pauh Kambar, namun kedua gadis itu berkesempatan kabur dengan menumpang pedati arah Nagari Bukit dan menuju stasiun.
Setelah sampai di stasiun dua gadis ini langsung disisihkan dari penumpang lain, sebab di tidak mempunyai kartu, semenit kemudian mereka dibawa ke dalam sebuah ruangan dalam stasiun, satu persatu serdadu bergantian keluar masuk ke dalam ruangan itu. Setelah beberapa jam, kedua gadis ini keluar dengan tampang kusut dan baju yang acak-acakan. Sementara kereta api yang belum lepas berangkat, masih diantri oleh banyak penumpang, terakhir menyusul 2 nenek pedagang kue. Sebenarnya nenek ini mempunyai kartu, tapi kedua kartu itu terlanjur direbut serdadu, kemudian menyerahkannya kepada kedua gadis ini dan mereka pun mengantri pada barisan terakhir. Sedangkan, kedua nenek itu terpaksa menyusul para korban lain yang tercatat sebagai sampah kemerdekaan. Terlepas dari berbagai macam kejadian itu, Wali Lansi sudah memperlihatkan itikad baik dalam mengendalikan perang agar terarah dan rapi. Yang jelas itulah tugas Lansi yang pernah terlihat oleh Gando, hanya membagi-bagikan kartu pelindung kepada penduduk.


6. LASKAR PEJUANG MUDA

Kabut murung di puncak Gunung Tandikek masih enggan beranjak, sementara itu burung murai batu terus berputar di atap Surau, sesekali terdengar keluhannya, ‘picieng!...picieng!’. Dalam waktu bersamaan dari sebelah Timur awan-awan gundul yang ber-arak spontan bergerak lamban saat bersentuhan dengan tower di tengah hamparan sawah pusaka. Seperti masa-masa sebelumnya, sebentar lagi gemuruh akan menggema menyerupai petir, sudah bisa ditebak bahwa tidak beberapa jam lagi akan turun hujan. Sejurus dengan itu, di tonggak tua rumah, Badrul masih tenggelam dalam lamunan panjang, sedih karena baru saja kehilangan kedua nenek. Berita tetangga yang baru saja diterima kemaren bahwa Sabtu siang kedua neneknya menekuni rutinitasnya berjualan kue ke pasar Lubuk Alung, saat menjelang tengah malam nenek tersebut belum juga hadir di rumah, Si Buyung resah, terkadang separoh yakin bahwa neneknya tertangkap atau jadi korban perjuangan hidup.
‘’Ah.., tidak mungkin, nenekan mempunyai ‘kartu bersih’ yang kemaren di kasih cuma-cuma oleh Pak Wali, lebih baik saya tanyakan langsung kepada Pak Wali!’’. Badrul segera manarik diri untuk bangkit dari terpaan lamunan, tanpa menunggu jam 11 siang dia pun berangkat ke rumah Wali Lansi, di rumah itu Badrul hanya mendapati Gandoriah yang saban hari membersihkan halaman dari sampah-sampah mesin. Badrul terpaksa memutar kincir-kicir kepala, berhadapan dengan Gandoriah samahalnya dengan menatap mata singa betina, sikap perempuan itu sudah melegenda di Bukit Gadang, sikapnya selalu dingin saat berhadapan dengan orang asing, tak terkecuali denghan suaminya Wali Lansi masih terasa asing di matanya. Memang Gandoriah adalah orang yang susah tafsirkan sikap maupun tingkah lakunya bak akan menerkam siapa saja dengan kebenciannya. Meskipun Badrul hanya mendapatkan cerita itu dari mulut ke mulut, namun Badrul tetap yakin bahwa Gandoriah cukup bernyali mengahadapi laki-laki, apalagi setelah kematian adiknya Si Buncit, hatinya bertambah beku.
Sesaat kemudian Badrul mengarahkan lirikannya kepada anak-anak Gando yang kebetulan siang itu sedang asyik main perang-perangan di semak belakang rumah. Badrul memberanikan diri membuka pembicaraan ketika itu.
‘’Akhir-akhir ini stasiun ramai ya Ni!’’
Gando hanya memperlakukan Badrul tak obahnya seperti serdadu yang datang kemaren, dia masih tetap meneruskan pekerjaannya.
‘’Uni! Sepertinya anak Uni itu sangat berbakat menjadi pejuang atau tentara!’’, sapa Badrul.
Gando spontan melotot kepada Badrul, memang benar-benart seperti singa betina yang siap menerkam siapa saja, mungkin Gandoriah marah atau ada hal lain yang akan disampaikannya terlebih dahulu. Begitu pula sebaliknya, wajah Badrul memerah kecemasan, Badrul tahu walaupun kelihatan kurus begitu, Gando masih mewarisi darah pendekar Japa yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Badrul juga pernah mencuri gunjingan tetangga bahwa Pendekar Japa itu orangnya kerdil tapi sangat lihai mengelakan serangan musuh, sebagian orang bilang Pandekar Japa punya ilmu tahan karasani , hilang sudah nyali Badrul seketika. Namun Badrul masih beruntung sebab apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi, entahlah apabila Gandoriah mengetahui siapa Badrul sebenarnya, Gando keburu angkat bicara.
‘’ Nenekmu sudah tiada, dia di perkosa di stasiun, hanya kue dagangannya yang ikut menaiki kereta, kamu mengenal gadis-gadis itu? Dua gadis berkulit putih itu telah merampas kehidupan 2 nenek kamu, gadis itu mungkin tidak mengira bahwa mereka harus menjadi pewaris kedua orang nenekmu itu, jangan heran kejadian itu di luar kemauan dan kuasa mereka!’’.
Mendengar keterangan Gandoriah, tensi darah Badrul spontan turun naik, kepalanya panas membara, mata berkunang, entah darimana Gandoriah mendapatkan berita tersebut. Harapan Badrul terhempas dihimpit kekejaman nafsu politik zaman.
‘’Kamu jangan pernah mempengaruhi anak-anaku, dia tidak akan menjadi pejuang ataupun tentara seperti yang akan kamu lakukan!’’, peringatan Gando.
Setelah mendengar berita tersebut, Badrul hanya mampu berjalan tertatih-tatih ke arah Jalan Pedati, pandangan sayup-sayup sampai lengang dari kejauhan, sesekali bulatan-bulatan pandangan di tujukannya ke arah pedati yang lalu lalang. Badrul baru menyadari bahwa situasi politik perang telah merenggut kedua nenek tercinta padahal badrul sendiri hafal sekali taktik tersebut, dia pun pernah mempergunakannya di saat nafsu lartanya memuncak, ya! Sikap binatangisme itu adalah senjata yang ampuh dalam megalihkan perhatian lawan maupun kawan. Kemudian Badrul berlalu bersama pedati kedua yang datang dari Barat.
‘’Mau kemana Yung?’’, tegur empunya pedati.
‘’Bisa Bapak membawa saya ke Bukit Tangah?’’, pinta Badrul.
‘’Iya.., saya juga mau menuju ke arah sana! apakah kamu mau ke rumah Wali Lansi? memangnya ada keperluan apa hingga mencari-cari Pak Wali?’’, berondong pemilik pedati.
‘’Darimana Bapak tau bahwa saya mau ke rumah Wali Lansi?’’, tanya badrul heran.
‘’Buyung! Tampangmu itu penuh amarah dan dendam, biasanya untuk mengobati tampang seperti itu adalah berhadapan dengan Wali Lansi, orang percaya bahwa dia mampu menyelesaikan semua masalah, tidak salah banyak orang menyebutnya good father!’’, jawab tukang pedati meyakinkan.
‘’Sudah lama nenek luput dari semua kesalahan, tapi kini sejarah kembali terulang. Serdadu di stasiun itu memilih kedua nenek saya sebagai pahlawan, kartu pelinudng nenek direbut serdadu stasiun itu dan kedua gadis itu serta merta hadir, kartu itu dipindahtangankan kepada mereka, kata orang kedua gadis anaknya Datuak Ami Said!’’, napas Badrul memburu.
‘’Oh.., rupanya gadis itu masih hidup, bukankah mereka sudah dijual Sutan Pandeglang Si Pedagang pisang di Pauh Kambar, seharusnya kubunuh saja sekalian waktu itu, biar mereka bisa menjaga bapaknya di alam sana!’’, gerutu tukang pedati dalam hati.
Tukang pedati yang sering dipanggil penumpang dengan sebutan Pak Rusli ini memang mempunyai dendam pribadi terhadap Datuak Amai Said, bibit dendam itu tumbuh subur dan memetiknya saat pasukannya mengpung pasar Pariaman. Memang sudah 3 bulan Rusli menjadi salah seorang tentara rimba, kelihaian bergaul dan tukang pedati yang dilakoninya mampu mengelabui masyarakat biasa, pedati tua yang dimilikinya mampu menutupi jejaknya sebagi tentara rimba, walau kadangkala terlihat hanya bolak balik dari Pariaman menuju pasar Lubuk Alung.
Awalnya Rusli berhutang sehelai sajadah kepada Ami Said sebagai bekal di dalam rimba. Bertepatan 3 minggu setelah penyerangan ke Kota Padang, dia kembali ke rumah, di rumah Rusli dihadiahi cerita menyakitkan oleh istrinya Fatma bahwa putrinya telah dinodai Dt. Amai Said, kemudian dijadikan istri ke-8. Amai Said bilang keinginannya itu sudah se izin Rusli, katanya Rusli sendirilah yang menjadikan putrinya itu sebagai jaminan hutang di saat jatuh tempo dua minggu dan teranyata Rusli belum bisa menepati janjinya.
Setengah jam berlalu dan juga sudah setengah jam pula Rusli terkenang kembali dendamnya yang belum tuntas, namun kedua laki-laki itu masih terdiam seribu makna di atas pedati.
‘’Anak muda, kamu orang yang bermasalah, hatimu penuh kemurkaan, tuntaskan hasratmu itu!’’, suara Rusli memecah keheningan.
‘’Pak tua! kendalikan saja kerbau Bapak itu, jangan ikut campur urusan saya, tau apa Bapak dengan perjuangan, tau apa Bapak dengan senjata, Bapak hanya seorang tukang pedati yang mengharapkan jasa upahan dari penumpang, jangan banyak omong, saya sudah memiliki senapan laras panjang, saya sengaja mencurinya dari serdadu senen siang kemaren!’’, kata-kata Badrul sedikit angkuh.
Rusli terdiam terhimpit oleh suasana hati Badrul yang tak menentu, namun hatinya berkata.
‘’Anak muda ini terlalu angkuh sebagai laki-laki seukuran dia, mungkin dendam kesumat yang telah membangunkan dewa kemarahannya, ah..lebih baik saya diam saja, terlalu banyak omong membuat jejak rimba saya tercium, kemudian tubuh ini akan terpisah-pisah di cincang serdadu pusat!’’.
Saat matahari tepat di ubun-ubun, sedang lapar-lapar anjing, dan saat ramai orang di Surau, Badrul sampai di Rumah Wali Lansi.
‘’Asalamualikum Pak Wali!’’, salam Badrul tergesa-gesa.
‘’Walaukum salam!’’
Belum sempat membuka pembicaraan, Wali Lansi mengeluarkan sebuah surat bercap stempel merah, agak mirip surat kuasa dan setengah surat perintah.
‘’Kamu saya perintahkan mengomandoi Laskar Muda, dengan sebuah Ikatan Pejuang Muda, tetapi di bawah Momorandumku, berapa orang anggotanya terserah kamu, rekrutlah sebanyak Mungkin!’’, perintah Wali Lansi.
‘’Tapi Pak Wali..?’’,
‘’Ini bukan saatnya kamu memprotes keputusanku, pasalnya sudah sudah ditetapkan di tingkat pusat, kamu mengerti?’’, hardik Wali Lansi.
‘’Tunggu pak Wali, tugas kami apa saja?’’, tanya Badrul memburu.
‘’Tugas kalian adalah membersihkan apa yang patut dibersihkan, sudah terlalu banyak sampah yang kehadirannya sangat mengganggu ketentraman dan kerbau-kerbau itu harus kamu lenyapkan, tapi tinggalkanlah kepalanya agar dapat disemayankan oleh keluarga mereka. Semoga ini dapat menjadi contoh bagi penduduk yang tidak mau di amankan!’’, terang Wali Lansi.
‘’Sejujurnya saya belum pernah membunuh Pak Wali, kalaupun saya membunuh saya tidak termasuk pembunuh yang baik’!’, pancing Badrul.
‘’Namanya pembunuh itu tidak ada yang baik, sekarang tidak ada orang yang baik bahkan pada masa yang akan datang. Suasananya seperti ini akan tetap kembali terulang, hanya saja zaman dan penamaannya sudah berbeda. Baiklah! kamu akan dilatih oleh 3 orang perwira dari pusat, sekarang dia sedang berusaha menyatu dengan masyarakat kita, mereka itu sudah lama menguasai bahasa daerah, Mayor Sugandhi dari seberang sudah menukar namnya dengan Yusuf, Kopral Suryadi sekarang dipanggil Pandai Sikek, dan terakir Kepala Polisi di Padang mayor Syafrudin kupanggil dia dengan sebutan Udin, sesegera mungkin kamu akan berinteraksi dengan mereka!’’, jelas Wali Lansi.
Badrul termanggu dan tertegun mendengar perintah dadakan itu, dia membayangkan sulitnya hidup di medan perang, dihantui rasa bersalah, takut mati, dan keputusasaan semuanya akan campur aduk.
‘’Jangan berpikir, tetapi lakukan segara, kamu mau hidup apa tidak? Kalau mau hidup kamu harus tegar, atau mungkin kamu lupa kepada kedua nenekmu itu?’’, pancing Wali Lansi.
Semangat Badrul kembali bangkit.
‘’Siap laksanakan Komandan! sekarang tugas pertama kami apa komandan?’’, berondong Badrul tidak sabar.
‘’Kamu bersihkan sampah-sampah di pasar Lubuk Alung, tapi ingat berpandai-pandai dengan penduduk!’’, jelas Wali Lansi.
‘’Siap bertugas komandan!’’, ujar Badrul memutus dan segera berlari-lari anjing ke arah kelompok yang sedari tadi sudah menanti kehadirannya.
‘’Kita siap bertugas komandan!’’, sambut angota laskar serentak.
‘’Siap!’’, sahut komandan baru dengan penuh kegagahan, yang notabenenya adalah Si Badrul yang dulu lugu, pemalu, sekarang hanya punya satu tujuan, yaitu perang.

7. PARA PAHLAWAN

Senja itu, Lansi memang berhasil lolos dari amukan senapan-senapan para pejuang, baik dari pejuang rimba maupun pejuang pemerintahan, listrik yang diharapkan masyarakat bisa menerangi suasana kampung telah diganti dengan percikan api-api dari mulut senapan, sesekali besar, saat apinya membesar penduduk malahan ketakukan, kapankah perang ini akan usai, seperti cita-citakan pejuang terdahulu.
Dulu waktu mengusir Belanada Lansi adalah orang pertama yang mampu mengobarkan semangat para pejuang, dia mau tampil paling depan di medan perang, kemampuan Lansi melempar bambu runcing dari jarak jauh telah menciupkan nyali musuh-musuh kemredekaan ketika itu, sempat pula Belanda menjuluki Lansi Pimpinan Inlander. Jika Belanda mengumandangkan ‘’impinan Inlander mengamuk’’ semua serdadu Belanda ketakukan, serdadu Belanda percaya bahwa Lansi tidak mempan ditembak dengan peluru biasa. Keluhan yang sama juga diderita oleh serdadu Jepang saat awal kehadirannya di Nagari Bukit, Jepang merasa kewalahan menghadapi Lansi, yang membuat Jepang kesal adalah kelicikan Lansi. Saat bergabung dengan tentara asuhan Jepang Lansi sering meminta kepada pimpinan pasukan Jepang agar pesukan Lansi juga diberi senjata lengkap, Lansi berjanji membantu Jepang membersihkan pemberontak ataupun invasi sekutu di daerah kekuasaannya, setelah Lansi memperoleh senjata Lansi berbalik menyerang Jepang hingga pasukan Jepang bercerai berai.
Kejadian ini sering terulang tetapi Lansi untuk kesekian kalinya berhasil meyakinkan Jepang, lagi-lagi lansi selalu berhasil meraih kembali kepercayaan Jepang. Suatu ketika Hokaido pemimpin pasukan Jepang di daerah Sumatra Barat marah besar terhadap Lansi, dia mengadakan sandiwara untuk menangkap lansi namun akhirnya Lansi masih tetap lolos dan bahkan sebaliknya, pasukan Lansi berhasil mengusir Jepang dari Nagari Bukit Gadang, kejadian itu berlangsung setelah Lansi berhasil mengubur lebih dari separoh serdadu Jepang di lobang satasiun galian Jepang sendiri. Saat itu 50 orang serdadu Jepang sedang berjaga-jaga di stasiun, Jepang memaksa para romusya membuat lorong bawah tanah yang panjang, rencananya terowongan itu akan tembus hingga ke Asam Pulau Lubuk Alung, Lansi pada waktu itu menjabat sebagai komando pekerja, Lansi memberi laporan kepada Jepang, bahwa terowongan itu sudah tembus ke seberang. Sesaat kemudian, serangan fajar kaum petani ke stasiun membuat Jepang lengah, 50 orang serdadu Jepang yang di tempatkan di stasiun kewalahan, saat seperti itu terowongan penyelamat sangat dibutuhakn oleh Jepang. Serdadu yang terkepung diasarankan Lansi masuk keterowongan. Petani yang mengamuk terus mendekati pusat serangan tepat berada di depan terowongan.
‘’Berhasil komandan!’’, salah seorang penyerang menyapa Lansi.
‘’Laksanakan segera, agar serdadu itu tahu bahwa kita ini bukanlah orang-orang bodoh!’’, Perintah Lansi.
Para kaum penyerang berdiri siap sedia di mulut terowongan, satu persatu serdadu Jepang tewas di pintu terowongan, Jepang yang menemui jalan buntu itu kembali keluar dan ada pula yang mati kehabisan napas, sebab terowongan itu belum sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran Jepang tetapi sesuai dengan taktik perjuangan Lansi ketika itu. Sorak sorai kemenangan ramaikan suasana di stasiun, tetapi Lansi tahu bahwa serdadu itu akan kembali menuntut balas atas kekalahannya.
‘’Dengar semuanya, ini adalah awal dari perang besar, kita harus siap dengan segala kemungkinan, sebab Jepang itu adalah bangsa Ainu, mereka juga salah satu pewaris bangsa Yajud dan Ma’jud, merekalah bangsa berkuda yang ganas, ingat kalian tembok besar cina, pagar penyelamat itu sengaja dibuat dari adonan besi oleh Zulkarnain putra Amenhotip ke IX Si Fir’aun yang telah menemukan kebenaran, wasiat itu atas permintaan bangsa Cina sendiri, artinya mereka akan kembali datang ke tanah ini!’’, peringatan Lansi mengakhiri.
Begitulah cerdiknya Lansi, sepertinya Lansi sendiri tidak kehabisan akal untuk mengahadapi serdadu penjarah. Tapi sekarang Lansi sedikit kewalahan menggagas taktik perangnya, dia tidak tahu siapa yang dia perangi dan perangnya untuk siapa, semuanya terjadi begitu cepat. Sejak Pariaman jatuh ke tangan serdadu rimba, Lansi menjadi orang yang paling dicari oleh siapa saja, siapa yang berhasil membawa kepala Lansi akan diangkat menjadi komandan pergerakan dan tentunnya akan menjadi cikal bakal pucuk pimpinan yang baru.
Selama perjalanan ke rumah istri keduaya, Lansi lebih memilih jalan setapak di pinggiran sawah, di perjalanan itu sering terjadi baku tembak antara pasukan pelindung Lansi dengan penyerang yang datang dari segala penjuru arah. Pukul 21:00 WIB Lansi sampai di rumah istri keduanya, saat Lansi memasuki rumah pasukan pengawal berjaga jaga di luar. Mereka adalah para remaja hasil didikan Lansi sendiri, kamanapun Lansi pergi selalu dikawal oleh meraka, pemuda yang paling lama mengikuti jejak Lansi adalah Saparudin, dia rela berkorban nyawa untuk Lansi, bagi Saparudin sendiri Lansi adalah orang yang paling berjasa, Lansi pernah menyelamatkan Saparudin sekeluarga dari kejaran serdadu tahun 1946, waktu itu Saparudin masih berumur 10 tahun, namun Saparudun sangat hafal wajah persahabatan Lansi ketika itu. Sekarang adalah kesempatan emas bagi Saparudin untuk membalas budi kepada Wali Lansi.
Lain pula halnya dengan Komaini, dia juga tergabung sebagai pasukan pelindung Lansi, awalnya dia hanya anak kecil yang dibawa Lansi dari daerah Tanjuang Barulak Tanah Datar. Lansi kasihan melihat Si Buyung ditinggal mati oleh keluarganya saat pembantaian besar-besaran terjadi di Batu Busuk, sengketa berawal saat salah satu warga Batu Busuk terlibat konflik dengan anak Raja Sumpur Kudus, sebenarnya keluarga buyung Komaini hanya korban salah sasaran, hanya saja bapak dan ibu Komaini dan juga 3 orang adik perempuan datang berkunjung ke rumah neneknya di Batu Busuk, Komaini saat itu sedang berada di Bukittinggi, tikar pandan buatan ibunya selalu dijual Komaini ke Bukittinggi, sepulang dari Bukittinggi Komaini membeli barang-barang pesanan ibunya, sesampai di rumah dia tidak lagi menemukan keluarganya, dia tahu bapak, ibuk dan adik-adiknya pergi kerumah nenek ke daerah Batu Busuk, namun Komaini keburu didatangi kabar bahwa kaum Raja Sumpur Kudus mengamuk di Batu Busuk, semua keluarga yang ada di sana dibantai, dia hanya bisa menangis dan pasrah.
Tiga hari setelah pembanataian itu dia jalan-jalan di Pasar Baru Tanjuang Barulak, di sinilah dia bertemu dengan Lansi, kebetulan sekali Lansi juga sedang mengunjungi pucuk pimpinan pergerakan di Tanjung Barulak, beliau juga selesai menjual cangkeh dari di Pasar Padang Panjang, saat yang bersamaan Komaini berpapasan dengan Wali Lansi, suasana yang memang ramai di Pasar Baru menarik minat Komaini menarik kambut yang terikat di pingggang Lansi, tarikan Komaini tidak terlalu kuat untuk seorang pencopet seukuran dia, dia terjatuh, Lansi membujuk agar Komaini bercerita kenapa dia sampai melakukan tindakan itu. Setelah mendengar cerita Komaini Lansi kasihan, lalu Komaini diajak ke Bukit Gadang. Sekarang Komaini yang berwajah seadanya itu tergabung dalam pasukan pelindung Wali Lansi.
Tidaklah begitu lama Lansi di dalam rumah, dia kembali melihat pengikut setianya, beberapa jenis makanan dibawa keluar lengkap dengan kopi panas. Sesampai di luar rumah Lansi terlambat menyadari, Saparudin, Komaini serta merta hilang ditelan pekat malam, dalam suasana penuh tawaduk Lansi tersungkur pasrah dengan tubuh bersimbah darah, separoh sadar Lansi masih sempat berpikir, dan berkata dalam hati.
‘’Inilah akhir perjalanan yang tak berujung itu, baiknya begini, perang! Ya! perang ini untuk siapa? perang melawan siapa?’’, hatinya perih.
Sejurus kemudian dentuman senapan terhenti diikuti dengan kemunculan Komaini dan Saripudin dari arah kepala Lansi yang menghadap kiblat.
‘’Mengapa Pak Wali tidak tetap berada di dalam rumah?’’, serobot Saripudin penuh sesal.
‘’Jika saya kembali ke dalam rumah, kalian juga akan membantai anak dan istriku, mereka sama sekali tidak tahu menahu, Saripudin dan kau juga Komaini!, kalian sudah cukup berjaya bagiku!’’, napas Lansi terputus-putus.
‘’Terimakasih komandan!’’, Saripudin terharu.
‘‘Tapi kalian harus tunaikan kewajiban kalian sebagi pejuang, jangan beritahu siapapun atas maut yang menjemputku!’’, kata-kata terakhir Lansi diikuti kemunculan puluhan pasukan dari sekeliling rumah.
‘’Saya mau kepala dia! Saripudin potong kepala tidak berguna itu!’’, komando pasukan bicara lantang, namun perintah itu terasa memaksa hingga Saripudin pun naik pitan.
‘’Saya bisa saja memerintahan semua pasukan berbalik membantaimu, saya juga bisa memotong kepalamu dan potongan tubuhmu akan jadi santapan anjing saya di pagi hari! hitung-hitung hari esok buru babi ditiadakan’’.
Spontan komandan pasukan itu menekankan mulut senapannya ke kepala Saripudin, belum sempat menarik pelatuk, Mayor Sugandhi ambruk, letusan mulut senapan Badrul tepat memecahkan otak belakang Mayor Sugandhi.
Dengan lantang Badrul bicara lantang, ‘’sekarang kita kembali ke pusat komando, untuk sementara jasad Pak Wali kita biarkan saja di sini, esok pagi kita kembali, kita akan urus jasad ini!’’.
Pasukan berangkat menuju Sintuk, sementara itu letusan kembali terdengar, dua jam perjalanan pasukan sampai di Simpang Sintuk, mereka kembali menyebar saat pekikan kematian kembali pecahkan kesunyian malam itu.
‘’Badrul! Kita telah diserang serdadu pusat, mereka salah sasaran!’’, teriak Saripudin.
‘’Kamu jangan bodoh! bagi sedadu pusat kita ini abu-abu, bisa dianggap serdadu rimba atau pasukan yang pro pemerintah, bagi mereka sama saja!’’, hardik Badrul menyadarkan Saparudin.
’’Betul! Tugas mereka membersihkan sampah kemerdekaan, kita ini sudah terlalu lama menjadi sampah kemerdekaan, tentara tidak, rakyat biasa pun tidak’’, sambung Komaini.
‘’Kita pertahankan hidup kita!’’, seru pasukan. Di akhir perlawanan maksimal, pesawat pengintai itupun jatuh setelah ekor belakangnya terbakar, berasap dan lebur bersama robohnya batang kelapa.
Anggota pasukan yang hanya tinggal 15 orang pun berhasil sampai di pusat komando, Badrul langsung mengambil alih pucuk pimpinan, langsung mengirim kawat ke Ibu Kota.

‘’Kerbau telah disemblih!
keadaan aman terkendali!’’

a.n. Pucuk Pimpinan Laskar Pejuang Muda, sdr. Badrul Kemal.

Kawat tersebut langsung ditanggapi setelah beberapa saat pasukan yang tersisa terakapar diselimuti letih di ruangan komando yang hanya diterangi lampu minyak tanah.

‘’Laporan diterima
semayankan layaknya pahlawan!’’

a.n. Brigjend.Urip Langsungkawa, sdr. Panco.


‘’Ayo bangun semua! Waktu subuh hampir habis, kewajiban kita menyemayankan Jenazah seorang pahlawan.
Bukit Tangah yang kini diterpa duka berimbas sudah ke bukit Ujung, kelihatan sekali wajah tenang yang dilakoni Gandoriah. Sebagai istri pertama hanya dua patah kata yang perlu disampaikan kepada madunya Wali Lansi tersebut.
‘’Janganlah terlalu menikmati kesedihan, itu hanya penamaan lain dari rasa gembira, kamu perhatikanlah ribuan wajah di sini, sepatutnya mereka itu tidak boleh sedih, karena tidak sesuai dengan rona wajah yang dipancarkan saat suasana perang!’’, terang Ganndoriah
‘’Perang untuk siapa Ni? Siapa yang diperangi? musuhnya siapa? Dan temannya juga siapa? Siapa yang menjadi tentara? Siapa pula yang pahlawan?’’, Sabai menelan tangisnya yang tersisa.
‘’Awalnya aku juga menciptakan pertanyaan seperti ini, namun lambat laun aku dipaksa mengerti, pertanyaan itu terjawab saat penganiayaan adikku yang pertama, Si Mahmud, Alim muazim Surau, kemudian kepala Si Buncit, sekarang kepergiannya’’, sambil memandangi jenajah yang terkapar pasrah.
Sejurus kemudian wajah-wajah pejuang pun datang dari mudik jalan, mereka itu adalah Laskar Pejuang Muda didikan Lansi sendiri. Mereka disambut Syukur oleh pimpinan pasukan pejuang Rimba Larangan, Kopral Suryadi. Sementara di lokasi duka sendiri, para pelayat menunjukan berbagai macam rona kesedihan, kesedihan bercampur sejuk, kesedihan akan kehilangan Dewa penolong, dan ada pula kesedihan penuh penyesalan. Terpaan matahari siang hari siang itu menyibak wajah Wali Lansi yang kaku, wajah pejuang yang nyaris tidak berbentuk, dadanya yang remuk belum mampu menandingi remuknya kerabat yang ditinggalkan, terlebih lagi Gandoriah. Sementara itu Badrul masih termanggu di kursi rotan halaman rumah, dia sadar betapa dasyatnya tokoh yang dilakoninya tadi malam.
‘’Berdasarkan pesan almarhum, jenazah dipusarakan di makam pahlawan Pariaman, karena bagi kami almarhum adalah seorang pejuang sejati!’’, suara komandan Suryadi menggema lantang.
‘’Betul! Sudah selayaknya seperti ini!’’, ulas Badrul.
Menjelang Zuhur merangkak naik, Jenazah dimandikan lalu dikafani layaknya orang meninggal, setelah disholatkan di Surau Tangah, Jenazah diusung ketempat peristirahatan terakhir. Di perjalanan menuju liang penghabisan itu, mars-mars perjuangan selalu dilantunkan. Untuk sesaat tiada lagi perang, tiada lagi permusuhan, dan tiada perjuangan, semua senjata hanya diarahkan kelangit biru, serentak letusan-letusan menyalak ke atas langit, seakan menuntut keadilan tuhan, akankah peluru-peluru panas itu menembus singasana tuhan di atas langit? Penghormatan-penghormatan terakhir dari segala penjuru berdatangan tanpa diminta. Serdadu rimba, serdadu pejuang sengaja keluar dari rimba untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Wali Lansi, tiada kata lain selain ungkapan berlangsungkawa.
Ya! Jenazah yang dipanggil Kakek oleh Azam itu dianugerahi dengan sebutan pahlawan, di kuburkan Taman Makam Pahlawan Pariaman. Belum genap satu minggu kepergian Wali Lansi, para pejuang kembali memperjuangkan apa yang patut diperjuangkan, baku tembak kembali terjadi, tetapi tidak separah saat Lansi masih menjadi pimpinan bahkan kehadiran serdadu pusat lebih terkontrol, mereka sering sekali datang Bukit Gadang, dan juga paling sering menangkapi orang-orang yang diduga terlibat, Gando sendiri tidak tahu apa artinya orang terlibat, apakah terlibat tentara rimba, laskar pejuang, PKI, terlibat sebagai rakyat, tapi yang jelas bagi mereka kata-kata terlibat adalah suatu perintah, yang membedakan mereka-mereka itu hanyalah masa dan waktu kehadiran mereka, jika tentara rimba dan laskar hadir setelah 1950, pasukannya itu akan termasuk angkatan bersenjata RI. Sebenarnya kehadiran mereka terlalu pagi, sehingga terlalu banyak pehlawan yang dijuluki pahlawan. Salah satunya kakek Azam yang pensiunan Mayor terpaksa menjadi pahlawan, tapi satu bulan setelah kepergiannya Gandoriah melihat Badrul berjualan beras di pasar Pauh Kambar, lalu Komaini menarik bendi. Mulai saat itu Gando sudah jarang mendengar suara letusan. Hanya saja 2 adik Gando yang masih belum terlihat batang hidungnya, masih mengungkit-ungkit jiwa penasaran. Si Burhan entah ikut pasukan apa di Pakan Baru, kemudian Nazrul, setelah dikeroyok penduduk, kabarnya masih hidup, berdasarkan kabar terakhir dari Badrul, dia pernah bertempur dengan Nazrul di rimba larangan, saat itu pasukan Badrul yang kalah jumlah terpakasa mundur ke daerah Tiku.
Setahun setelah zaman bergolak, Rusli mendatangi rumah Gandoriah dengan maksud melamar janda kembang tersebut, kedatangannya tersebut ditengarai oleh 2 perempuan muda, katanya dua gadis itu butuhkan pertolongan. Bulan kedua Gando resmi menikah dengan Rusli, dua perempuan itu dihibahi sebuah rumah layak huni oleh Rusli di atas tanah Gandoriah sendiri, rumah itu terletak di depan Jalan Pedati yang berhadapan langsung dengan kediaman Gandoriah, mereka itulah yang sering dijuluki si Cumbu dan Zaitun. Lalu kehadiran itu laki-laki tua yang ada di rumahnya sekarang itu dulunya seorang pedagang pisang di Pauh Kambar, dia salah satu korban penyelewengan sejarah setelah di cap PKI, masyarakat sekitar biasa memanggilnya Abdullah, sementara yang kesumat kepada setiap laki adalah Zaitun, dia rela tidak disentuh oleh laki-laki secara terang-terangan.
Lalu apakah yang dirasakan oleh sebagian orang, kebanggaan atau benci? Semuanya samar dan mengabur, tatapi bagi Gando mereka itu adalah pejuang yang ditakdirkan menjadi korban berdirinya sebuah Republik, agar bangsa ini kelihatan mempunyai sejarah yang rumit. Dengan begitu bangsa asing akan kesulitan untuk menaklukan Republik ini, tapi tidak juga, kenyataannya sekarang siapa saja diperbolehkan memperebutkan apa yang dia inginkan dari negara ini. Terlepas dari sejarah perjuangan, apakah kekeknya seorang pejuang atau sampah kemerdekaan.



8. CERITA MONYET

Sudah terhitung masa, telah terlukis peta masa depan, tapi tetap saja bahannya peluh dan keringat. Namun, kehadirannya menjelma seperti tinta kehidupan yang siap melukis takdir siapa saja. Kata orang ‘jalanilah hidup ini seperti air mengalir’, tapi sayangnya air terlalu bodoh dan penurut. Seharusnya, air berubah haluan mengalir ke atas, selama ini air hanya mampu merubah tepian mandi. Namun begitu, karena air manusia mampu bertahan di medan perang dan air pula yang membuat manusia tabah, terserah apakah air mata atau keringat air, maknanya tetap sama. Air mambasahi jauh berbeda dengan api, sifat api yang membakar adalah rekayasa dominan dalam kehidupan manusia. Masa selanjutnya akan berkembang menghancurkan segalanya, melahirkan dendam, memunculkan angkara murka, menciptakan nafsu serakah, dan api menciptakan para iblis. Namun, generasi Adam selanjutnya mempercayai api dapat melahirkan Cinta, kemudian menjelma menjadi api cinta, hingga di ujung perjalanan nanti akan menghanguskan rintang penghalang, baik orang tua, saudara, batas moral, dan etika. Cinta itu sendiri telah dibakar oleh sifat membaranya api. Sejarah cinta pun mencatat, ‘jangan pernah menyakiti orang yang jatuh cinta!’. Sementara cinta hanya mampu tertidur, dan apinya semakin membara.
Sedangkan tanah! apakah sifatnya selalu menanah? Tidak!, dia tidak akan selalu berada di bawah, suatu saat dia akan berada di atas, hal itu terjadi saat mahluk yang tercipta darinya ingkar. Lumpur-lumpur meluap di tanah Porong, hingga sekarang nafsu serakah kewalahan mengahadapi amarahnya itu, lalu longsor dan sejenisnya itu? Apa mungkin ini pengejawantahan dari wujud kemarahan? sesaat kemudian korban-korban ketidakadilan agungkan sebuah tuntutan, kembalikan rumah kami!
Angin! Unsur ini sedikit bersahabat, selalu ada dimana mahluk berada, dia selalu menyegarkan saat kegerahan, terkadang gerah karena terlalu gerah, konsekwensi dari mahluk yang dihidupinya telah ingkar terhadap asal-usul. KUN! jadilah ia puting beliung, topan, badai hingga lengkiasau .
Saat penguasa alam meyatukannya empat unsur itu dalam satu wujud berikut dinamakan dengan manusia, mahluk itu dianugrahi sebutan khalifah di alam fana. Masa itu, semuanya takluk terhadap perintah yang satu, tetapi tatkala wujud yang berupa ada dari ketiadaan itu pun menyalahgunakan amanah, kemudian muncul keserakahan, teguhnya kesombongan. Dialah tuannya tuhan, di saat keangkuhan membuat tahtanya sendiri, di kala keegoan merajai segala penjuru alam. Dasyatnya amukan 4 unsur tuhan!
Anggaplah bagian ini hanyalah penggalan kata-kata dalam novel atau mungkin pula pernyaataan orang gila yang baru saja mencuri berita dari langit. Tetapi kali ini dia memang terbakar, dia mulai merasakan terpaan api hanguskan seluruh jiwa, pemikiran yang telah masuk keliang jahannam meskipun jasad masih berbentuk. Azam sendiri menjadi korban dari kegilaan itu.
Kisah dimulai setelah Azam melewati rentetan panjang masa sulit hidup jauh dari orang tua, Azam bekerja di Aia Cama Kota Padang, dalam istilah Minang adalah air yang serakah, cama dimaknai dengan serakah. Tetapi padanan morfem itu tidak lagi dijumpai dalam kamus kehidupan bertepatan setelah pemerintah memindah patenkan maknanya ke dalam Air Cemar, berarti air yang tercemar. Memang benar-benar tercemar!
‘’Ah!.., biarkan saja seperti itu, lagi pula percuma memeras otak, dia harus sadar apalah yang mampu dilakukan sebagai salah seorang buruh jahitan di PT Yeni Jaya Gorden. Ya!, inilah api baginya, api yang selalu mengantar keperistirahatan di ranjang juang. Buruh Jahitan baginya bukan berarti buruh yang mau diperlakukan semaunya, dia yang membentuk, mempersiapkan dan menyenangkan hati para pelanggan. Alhasil, api itu sendiri berobah arti menjadi semangat, ya! ‘semangat hidup’ seperti itulah dia memaknainya.
Keberadaan Azam di Air Cemar memang belum tercium oleh para dewa di negri kincir angin, meskipun awalnya dia dibawa paman kerja di sana, tapi pamannya bukanlah seorang dewa, hanya saja Azam ada karena dia ada, katanya dia sudah lama bergabung sebagai buruh jahitan, kemudian menyusul anak-anak dewa lain, mumpung lagi menganggur di kampung. Satu persatu dari mereka jatuh berhasil, atau benar-benar jatuh hingga se dalam-dalamnya harga diri, lambat laun mereka menuai harapan hidup, Rosa jatuh saling dipersunting hidup bersama dengan dosa budaya Pesisir selatan, dia dikenal dengan nama Wendi. Sebulan pernikahan, mereka mampu menacapkan kuku yang baru saja tumbuh di antara tanah kelahiran mereka, tapi tetap jaya. Kemudian anak-anak malam seperti Pajuak, Ritra, Jon, Jupri masih senang hidup dalam bimbingan mesin jahit, mungkin mereka juga belum mau matang untuk menuai keberhasilan yang dijanjikan.
Lalu dia sendiri lebih memilih jalan sendiri, dia tentukan keberhasilan yang juga sendiri. Awal tahun ajaran baru, dia terjatuh ke dalam pengkaderan di Sekolah Menengah Atas, saat-saat libur panjang menjelang adalah saat yang paling menyenangkan, dia kembali ke Air Cemar. Orang bilang, ‘sedang mencemarkan diri dengan simbol perjuangan’. Berselang beberapa waktu, berkat kegigihan para buruh itu pada tahun 2001, perusahaan Yeni Jaya Gorden meniti tulang-tulang daun, para buruh mampu hadiahi Bos Kijang Kapsul, kesenangan memuncak saat bisa nebeng ke pasar bersama Bos. Tapi, suasana seperti itu tdaklah kekal lama hingga jatah makan dipersiapkan dalam rantang masing-masing. Baginya kejadian itu terlalu manis untuk dikenang, sebab pada saat yang bersamaan dia pun diberi rahmat, berwujud perhatian dari seseorang, dalam Faridha, pujinya dia salut dengan Azam.
‘’Aku salut dengan da Zam!’’
‘’Kenapa, Ida? Bukankah pakaian itu terlalu besar untuk aku?’’
‘’Maksud Uda?’’
‘’Iya, tidak seperti biasaya ada orang yang mau memakaikan kata-kata salut setelah namaku!’’
‘’Memangnya selama ini belum ada orang yang memuji Uda?’’
‘’Bukan dipuji maksuduku, aku tidak suka di puji-puji, jika itu aku nikmati, aku akan jatuh bergelimang ke dalam lembah kesombongan, tenggelam dalam lautan angkuh, akhirnya terhempas di atas gunung keegoan!’’
Farida terpaku, dalam omongan Azam yang sekenanya.
‘’Rupanmya Uda sastrawan juga, berarti sudah banyak pengalaman dong Udanya?’’
‘’Ah.., Ida kamu salah tebak, pengalamanku belumlah seberapa di bandingkan dengan tanah yang kuinjak, air yang kuminum, angin yang aku tiup dan api yang membakar semangat engkau dan aku, tetapi aku hanya berdiri di atas apa yang ada, dan bukan mengada-ngada, begitu saja!’’.
Farida menundukan pandangannya, ya! sebagai wanita muslim yang rada-rada alim, sikap seperti itu agak terlambat dia lakukan, tapi mungkin bukan hal itu yang membuatnya salah tingkah, Azam menyadari, dia terlalu lancang di ujung kata-katanya tadi, seharusnya dia tidak menggunakan kata, ‘engkau dan aku’.
‘’Biarkan saja, terserah dia menterjemahkannya seperti apa, yang penting aku tegap berdiri betul di posisiku!’’, ucap Azam teguh.
‘’Farida!’’, terdengar teriakan dari atas rumah.
‘’Oh tuhan!, tidaklah aku menyangka, kata-kata ini biasanya digunakan di kampung sebagai teguran, cukup ketiga kali telah sah dijatuhi hukuman dari yang memanggil’’, bisik Azam dalam hati.
‘’Oh, iya! hari sudah malam, baiknya Farida tidur, tuh.., sudah dipanggil nyonya, tidak enak, lagi pula sudah jam 10 malam, besok kita sambung dongengnya!’’, lanjut Azam.
Farida pun berlalu dari tempat duduk yang mumpuni di samping Azam, padahal Azam sendiri tahu dia telah merahasiakan sesungging senyum darinya.
‘’Biarlah seperti itu, kalau ia mau tersenyum saja sampai pagi, mudah-mudahan aku tidak peduli! tapi keanehan begitu, di kampungku dulu isu itu akan merambat menjadi fitnah, walaupun tidak pernah dan akan terjadi apa yang diinginkan’’, Azam termaktub.
Ya! Mereka memang kerja dan tinggal se rumah di tempat kerja, tapi buruh pekerja wanita mempunyai tempatnya sendiri untuk bergolek-golek, mereka yang laki-laki dipersilahkan bergelimpangan, hal ini menjadi kebiasaan apabila kantuk menyerang, langkah-langkah gaip pun mampu meridhoi mereka saat benar-benar terkapar lelah.
**
Azam sudah menawar-nawari dirinya yang kian langsing, mungkin sudah empat bulan dia kerja di sana terhitung semenjak dia lari dari Surabaya. Sebuah kebiasaan yang sama selalu dia ulang, sebagai hiburan pagi-pagi sekali dia meneriaki si Jupry.
‘‘Jupry!’’
‘’Jupry!’’
Sesaat kemudian Si Jupry berlari ke arah Azam, Jupry menjilati kaki Azam yang belum disentuh air pagi itu, senang punya banyak teman. Tapi Azam tidak menyangka, Si Jupri teman kerja se kampung sudah berada tepat di samping Azam.
‘’Ada apa Zam? Pagi-pagi teriak-teriak? Menggagngu istirahat orang saja, tidak selesai jahitan kemaren malam mau di bantuin?’’
‘’Jahitan apanya, jaga mulutmu itu, aku kemaren malam bersama Farida!’’.
Jupri pun tersedak dalam tawanyanya.
‘’Hei jangan ketawa, aku bukan memanggil kamu tapi Si Jupry itu!’’, sambil mengarahkan telunjuk kearah anjing piaran Bos dan nyonya. Semua orang yang ada di sana spontan tertawa, termasuk bos dan nyonya yang bangun agak kesiangan. Jupri merunduk, mungkin dia malu atau merasa dikalahkan. Tapi Azam sudah minta maaf padanya, karena Azam tidak ingin merusak hubungan pertemanan mereka sejak dari kecil di kampung.
Sebenarnya Azam menyesal sekali, sebulan setelah itu didapati Jupri lebih memeilih kembali ke kampung, Azam sendiri tidak tahu penyebabnya, dia menebak-nebak, mungkin Jupri kecewa, sebab zaman sekarang antara anjing dengan manusia tidak ada bedanya. Ya! tinggallah si Jupry seekor anjing yang terus diteriaki setiap pagi sebelum Azam mulai bekerja.
Tapi mereka tidak pernah bosan bekerja di sana, walau terkadang perlakuan yang mereka terima tidaklah sewajarnya terutama dari Si Julia dan adik-adinya. Memang mereka tercatat sebagai anak Bos, dia memperbolehkan setiap buruh berleha-leha selama siang menjelang sore hari. Di antara teman-teman sesama pekerja ada yang memilih jalan-jalan ke pantai padang seperti Farida misalnya, ada pula yang mengikuti jalannya anak Bos si Julia ke Matahari, seperti Ritra, Rosa, sebab matahari di Kota Padang tidak lagi panas. Sementara Azam, Pajuak, Jon, dan Buyung keponakan Bos lebih memelih ke pantai, terkadang Farida ikut menyertai mereka.
Waktu berlalu, Azam terperosok ke dalam hubungan tak bernama dengan Farida, ya! salah dia sendiri kenapa terlena dengan omongan ganjilnya Azam, sebab kata-kata itu sengaja dihafalkan Azam saat bertemu orang-orang baru, sayangnya Farida memaknai kata-kata Azam agak lebih mendalam. Sehingga Buyung keponakan Bos kurang suka dengan cara Azam menciptakan petalian itu, Azam sendiri tidak tahu bahwa Buyung siap mati demi Farida Pagai. Biasnya, Azam lebih memilih tidak terlalu menanggapi, baginya cara yang tidak berguna itu akan mengangu konsentarasi kerja. Tapi kian hari tingkah Si Buyung tulen kekanak-kanakan, Buyung kebakaran jenggot, hayalkan manjanya Farida saat berada di dekat Azam, ada saja pesolan yang harus selalu dibahas, Farida berkisah sejak awal kejadiannya kepada Azam.
Pada hari kedua bulan ramadhan Azam disuguhkan sebuah peristiwa lucu mengesalkan, Azam kehabisan benang, hanya Buyung yang bekerja di samping yang dapat menjadi tumpuan harapan Azam.
‘’Da Buyung, benangku habis, pinjam dulu benang Uda boleh tidak?’’
‘’Benang Bapakmu! Kalau habis beli saja ke pasar, kamu laki-laki berusahalah sendiri!’’
‘’Ya.., baiklah kalau tidak boleh, tidak apa-apa!’’
Azam pergi menemui Farida di meja bagian dalam ruangan.
‘’Farida! Apa kabarnya? Sehat-sehat sajakan?’’
‘’Ah.. ,uda! Kalau mau minta benang bilang saja, jangan sok-sok ngerayu gitu Uda!’’
‘’Iya.., Uda jadi malu, masak sebagai laki-laki harus minta tolong sama wanita!’’
‘’Ya!, tidak apa-apalah Uda! Udakan bukan orang lain! berapa benang yang Uda mau, 5 buah, atau 10?’’
‘’Uda minta benang satu saja tapi sekalian sama orangnya ya!’’.
‘’Idih.., Uda bisa saja!’’
‘’Thanks Honey!’’
Farida tersenyum mengiringi perlangkah Azam hingga berakhir di meja kerjanya. Azam mulai memuntar benang jahitan, si Buyung mendahem-dahem di meja samping, Azam mengerti maksud Buyung yang bertindak demikian, tapi lanjut bekerja adalah pilihan yang tepat bagi Azam. Sementara kulit Buyung yang putih spontan memerah, dia berdiri menginjak bekas luka bakar di kaki Azam kemaren malam.
‘’Aduh! Hati-hatilah Da! Iihatlah kakiku berdarah!’’
‘’Bapakmu!’’
Azam terdiam. Sejurus kemudian, kepalanya terbentur kaca yang beada tepat di belakang Azam. Azam berdiri siap-siap menerima serangan kedua dari Buyung.
‘’Kamu ingin menantang aku ?’’
‘’Tidak, saya tidak menantang Uda, tapi aku heran kenapa Uda memukul aku?’’
‘’Ini satu lagi!’
Buyung terus memukuli Azam, Azam terdesak di sela-sela meja jahitan, Farida berteriak.
‘’Bapak Kani! ada yang berantam! Uni Lena ada yang berkelahi!’’
Teriakan itu mengundang semua orang keluar dan meninggalkan aktifitasnya masing-masing, tergesa-gesa Bos keluar dari kamar peluh.
‘’Kalian itu memang ayam mati, tidak tahu sedang bulan puasa masih saja berantam, mau jadi jagoan apa?”
Buyung berbalik menatap Bos, Azam melompat keluar, kesadarannya memudar, darah yang keluar dari kaki telah merobah kain putih berwarna merah. Azam menyendiri di luar.
‘’Aduh! Sakit juga rasanya terinjak, apa lagi terinjak emosi!’’
Dalam waktu yang bersamaan, Farida datang dengan obat merahnya yang baru saja dibeli dari warung.
‘’Uda sabar saja ya! sekarangkan bulan puasa!”
‘’Percuma! aku tidak bisa lanjut puasa!’’
‘’Kenapa tidak bisa Da? Apakah Uda tidak ingin bertemu malam Lailatur Kadar?’’
‘’Bukan begitu Dek!, darahku sudah keluar, sekarang baru jam 12 siang, aku terpaksa Berbuka!’’
‘’Ya!.., untuk sekarang tidak apa-apa, besok Uda puasa lagikan?’’
‘’Insya Allah!’’
Dua tegukan air siang langsung membasahi kerongkongan Azam, resmilah dia berbuka puasa, untuk selanjutnya Azam menemui Buyung untuk memelas Maaf.
‘’Uda! Maafkan saya telah menyinggung persaan Uda!”, Azam mengulurkan tangan kanan, Buyung menerima dengan sebuah peringatan.
‘’Kalau kamu mau selamat, urungkan niatmu itu!’’
Azam tidak mengerti apa yang dimaksud, tapi dia setuju terhadap peringatan itu, mungkin keinginannya Azam harus menjauhi Farida atau berhenti bekerja?
‘’Biklah Uda Buyung!’’
Esok malamnya adalah kesempatan terakhir bagi Azam untuk bicara dengan Farida, malam berikutnya Farida terpaksa jujur. Azam bingung, kata-katanya sendiri yang membuatnya terjebak, mungkin daerah yang berjauhan menjadi alasan bagi Farida mengakhiri sebuah hubungan, sempat juga Azam sedih selama 2 hari, maklum saja Azam baru pertama ini menaruh hati kepada Farida. Kata orang cinta pertama sulit dilupakan, tapi Farida adalah cinta keduanya setelah Ritra, kejadian itu pernah berlalu di kampung. Azam heran, rasanya dia kurang rela melepas Farida. Kali ini perasaannya lebih kuat dibandingkan saat melepas Retra dulu, dulu yang lucu Azam senang dan puas saat melihat atap rumah Retra, untunglah Andi teman SD Azam meyakinkan.
‘’Itu namanya monyet Zam!”
‘’Maksudmu, aku monyet?’’
‘’Sebenarnya cinta monyet, tapi untuk kamu cocoknya monyet saja!’’
‘’Kamu menghina aku ya Andi?’’
‘’Bukan maksud menghina, tapi meluruskan! kamu kalau bercanda suka bertingkah aneh, kamu pernah menggigit tanganku siap ngaji di Surau, dan perhatikan juga kakimu itu terlalu banyak bulu!’’
Terkadang kata-kata Andi ada benarnya juga, apa lagi zaman sekarang orang lebih pandang bulu, kemenangan selalu ditenggarai oleh orang yang banyak bulu, tapi lain halnya dengan Azam, dia juga banyak bulu, namun Azam selalu dikalahkan atau tepatnya mengalah.
Namun analisanya memberi tanda, sejak menjalin hubungan dengan Farida, Ritra dengan Rosa berlagak aneh, dua sekawan itu sudah akrab sewaktu mereka di kampung. Ya! Azam pernah melihat tukikan mata Retra sinis kepada Azam, kejadian itu berawal saat makan sahur, sepertiga malam itu Azam duduk agak berdekatan dengan Farida, sementara buruh lain juga berada di kumpulan Azam, hanya 2 langkahan kaki Azam sampai di tempat Farida, baginya jarak seperti itu sudah cukup dekat.
**
Lebaran 98’ saat itu jatuh pada tanggal 26 Oktober, malam takbiran Azam hanya menghabiskan waktu bersalam-salaman dengan orang serumah, terakhir sama Farida, Azam melihat aliran air kesedihan di mata Farida, apa lagi saat Azam pernah bilang ‘aku tidak akan kembali lagi!, aku akan sekolah di kampung!’. Namun selama di kampung itu, Azam masih dapat kiriman berita dari tempat kerjanya itu, Rosa yang serius dengan Wendri, 3 hari setelah kedatangannya dari Pesisir, tepatnya sebelum kepulangan Azam, dia juga telah berhasil menjalin keseriusan dengan Rose, sementara Farida sendiri diusir bersama Buyung setelah kedapatan berbicara di kamar mandi belakang sambil mandi. Retra yang terjerumus di kampung, sebulan setelah itu akan dikawinkan bersamaan dengan pesta kakaknya yang laki-laki, ciek turun, ciek naiak (satu turun, satu naik) istilah orang kampung. Anehnya, Yos adik Azam yang pertama, malah ingin belajar menjahit di sana, katanya mau membuka usaha sendiri di kampung.

9. ORANG TERLIBAT

‘’Dasar PKI!, Lihat saja nanti, di antara keturunanmu itu tidak akan ada yang menjadi orang seorang pun, percayalah!, percuma kamu ke Surau, kalau sudah dasarnya PKI tetap saja PKI, tidak bertuhan, dasar perempuan PKI!’’, suara-suara itu spontan membangunkankan Azam terlalu pagi dari biasanya, padahal sejak tadi malam dia belum sempat tidur, ya! begitulah hidup di kampung, lagi pula Ery teman SMAnya itu buat acara terlalu mendadak, Azam mengira hari H-nya jatuh malam minggu besok, nyatanya minggu dini hari.
Azam sendiri harus meminjam motor kepada Ayah, setelah memenangkan perdebatan dengan adiknya Yos Ya! Azam sudah ditaksirkan menjadi anak yang tidak mau kalah, jangankan kalah draw saja dia tidak rela, ini terpaksa lakukannya sebab Ery tercatat sebagai teman setianya sewaktu masih duduk di bangku sekolah menengah tingkat atas. Dia msih ingat masa-masa MOS (Masa Oriantasi Siswa) di SMU 1 Lubuk Alung, awal karirnya di dunia penjelajahan, Dia sadar waktu satu tahun sudah terlalu lama untuk mengganggur, sebenarnya dia baru saja pulang dari Surabaya. Satu tahun di sana, Azam lari ke Kota Padang dan bekerja sebagai buruh jahitan hingga dia mendaftar di SMA.
Hari pertama masuk SMU itu Azam bertengkar dengan siswa kelas 3, katanya gaya Azam terlalu MPO alias Manusia Pendek Ongeh atau Menarik Prahtaian Orang, ya dia sadari itu, memang Azam terlalu bangga terhadap loyalitas kampung sebagai kampung anak orang bergolak. Cerita itu hanya didapat Azam dari nenek-nenek di kampung, pada zaman dulu orang Bukit Gadang sering berperang ke daerah lain, masalah sepele pun dapat memicu konflik, misalnya jika terdapat salah satu anggota masyarakat Bukit gadang yang terdiri dari 23 Jorong di aniaya oleh masyarakat luar Bukit Gadang, maka pecahlah perang hebat hingga pembunuhan. Lubuk Alung adalah salah satu tempat sasaran yang paling sering diperangi, lagi pula Preman-preman Lubuk Alung terlalu sering buat gara-gara dengan orang-orang baru, begitulah dongeng yang diterima Azam sebelum bergelut dibangku pendidikan. Hal tersebut membawa bias terhadap perkembangan kepribadian Azam, terkadang dinilai menarik perhatian orang, padahal yang ada dalam pikiran Azam hanya ingin sebatas mencari teman. Namun, anak kelas tiga kurang yang merasa menjadi sonior suka dengan gaya Azam yang sok akrab seperti itu. Azam pernah ditegur kasar oleh Munaf siswa kelas tiga.
‘’Hei..kamu jangan macam-macam di sini!’’
‘’Tidak Bang, saya hanya satu macam Bang! kalau Abang tidak percaya coba saja cari lagi orang semacam caya!’’.
‘’Menantang kamu rupanya!’’
‘’Tidak Bang, saya tidak menantang Abang, malu bang, masa iya saya baru masuk menantang sonior, kelas 3 lagi, takut saya Bang!’’
Spontan Munaf mangayunkan pukulan kewajah Azam, spontan pula Azam mengelak, ya Azam memang punya sedikit pengalaman mengelak saat belajar silat dengan pamannya di kampung, jadi sikap Azam yang biasa saja saat menanti pukulan menambah emosi Munaf seketika. Sejurus kemudian, dia menendang Azam dengan sepakan belakang, Azam kembali menghindar ke arah samping kiri, Azam sendiri tidak tahu, ternyata suniornya itu terjatuh hingga keningnya berdarah terbentur semen lantai, setengah kasihan Azam terpaksa tertawa, Munaf berdiri dan lari ke luar sekolah.
‘’Awas kamu! saya balas!’’
‘’Tunggu Bang! Sayakan tidak melakukan apa-apa Bang? bukannya Abang itu jatuh sendiri?’’
Namun Munaf tidak menggubris rujukan Azam, dia terus berlari-lari anjing menuju warung seberang jalan, dia terjatuh, mungkin pusing karena darah terlalu banyak keluar dari jidaknya yang bocor. Saat dia berdiri, kembali kakinya yang sedikit pincang terpeleset ke pinggir kolam di depan sekolah dan kolam itu pun menyambut pasrah. Azam yang sedari tadi keheranan, memang berniat menolong sonior itu, tapi pupus setelah Munaf berjuang keluar dari kolam, Azam terpana dan tidak tahu apa yang akan menimpanya setelah berhadapan dengan para tukang pelonco. Secepatnya pandangan Azam menembus bayangan Munaf, secepat itu pula Munaf sampai di warung Mak Etek sebrang jalan. Di warung itu Munaf dikerumuni oleh para siswa sonior, sesekali meunjuk ke Arah azam, sementara Azam sendiri masih berdiri mematung menatap kearah warung, Azam berpikir mungkin Munaf berusaha mengompori teman-temannya tersebut.
‘’Lihatlah gayanya itu, sepertinya dia menantang kita semua, ayo kita beri pelajaran!’’, ajak salah seorang siswa sonior.
Dari kejauhan, Azam melihat siswa yang berbadan kurus berjalan ke dalam sekolah, Azam hanya memperhatikan langkah demi langkah yang tertancap di sela-sela nafasnya yang tertahan, kurus badannya lebih dekil dari pada Azam, sejarak 5 langkah dari tempat Azam berdiri, dia segera mengarahkan telunjuk kanannya kemuka Azam, Azam sempat memperhatikan dari caranya berpakaian, lenggokan langkah hingga pundak sebelah kiri yang menempel simbol ‘STM YDB’. Azam sadar, ternyata siswa kurus ini bukan salah seorang dari soniornya, dia siswa sekolah YDB di dekat pasar. Kira-kira satu tendangan jaraknya dari Azam, siswa itu memberi tanda-tanda agar Azam mengikutinya keluar menuju warung, dengan jentelmen Azam pun mengikuti ajakan tersebut, sesampai di warung Mak Etek Azam dikelilingi oleh para siswa yang mengaku lebih sinior, entah sonior di bidang apa mereka siendiri pun tidak tahu, yang penting sonior itu tidak pernah salah. Bahkah di lingkungan mereka sudah dberlakukan 2 buah pasal yang tidak pernah salah. Pasal satu sonior tidak pernah salah, pasal dua jika sonior salah kembali ke pasal satu. Di hadapan mereka Azam mengangkat kepalanya ke atas untuk melihat muak-muka mereka yang memang agak terletak lebih tinggi dari leher..
‘’Wah besar-besar orangnya, seperti bangau!’’, ucapnya dalam hati.
‘’Hei anak kecil! kamu jangan macam-macam di sini, kamu pernah melihat gigi meraton?’’, gertak si jangkung.
‘’Belum bang, memangnya gigi bisa juga ikut turnamen!’’, jawan Azam sekenanya.
‘’Kamu mau merasakan?’’
‘’Tadi kata Abang melihat, koq merasakan?’’.
‘’Duh! idiot anak ini!’’, sumpah si jangkung.
‘’Sudah! hajar saja, tunggu apa lagi, nanti keburu sore!’’, ucap si gendut tidak sabar.
Sesaat kemudian, dari celah lingkaran mereka yang sengaja memagari Azam, terengah-engah menyelip seorang siswa berpotonagn cupak.
‘’Sebentar Bang!’’, serunya.
Para siswa sonior menoleh serentak kearah datangnya suara tersebut, mungkin siswa sonior sedikit terpana karena menyangka siswa itu salah seorang dari mereka.
‘’Kamu dari mana, kampungmu dimana, kesalahan kamu apa?’’, tanyanya memberondong.
‘’Aku dari Bukit Bang!, kesalahanku tiada kesalahan!’’, spontan siswa sonior adu pandanagan, ke kiri dan kanan, semenit kemudian satu-persatu dari mereka pergi membeli rokok, duduk dan kemudian menghilang. Entah beriata penting apa yang baru mereka dengar atau mereka takut dengan kedatangan si cupak atau taklut dengan keluguan Azam atau mungkin kata-kata bukit membuat mereka letih sebelum mendaki.
‘’Sekarang begini saja, sebaiknya kita duduk dulu di dalam rumah Metek, kita musyawarah saja!’’, ajak si jangkung ramah.
Azam manut masuk ke rumah Mak Etek, mengiring 6 orang yang berbadan besar, si cupak tepat dibelakang Azam, kemudian si cupak mengulurkan tangan kanan sebagai tanda persahabatan kepada Azam.
‘’Saya Ery, juga dari Bukit!’’ curinya setengah berbisik
‘’Azam!, kamu salah satu dari mereka?’’, ulas Azam
‘’Bukan, kebetulan pasar Lubuk Alung tempat permainanku sehari-hari, ayahku sering di pasar, aku sendiri pernah sekolah di SMP 2 Lubuk Alung’’, terangnya.
‘’Kamu kenal dengan mereka?’’
‘’Saya sih tidak kenal dengan mereka, tapi sering lihat wajah mereka, atau mungkin mereka kenal dengan aku, tapi yang jelas orang Lubuk Alung takut dengan orang Bukit!’’
‘’Itu aku juga tahu, tapi mereka tahu apa tidak dengan sejarah Bukit?’’
‘’Mungkin kamu belum tahu, sebelum kamu dapat masalah di sini, dulunya orang Bukit juga sering dapat masalah, tidak hanya orang Bukit, pokoknya semua anak baru yang masuk ke sini, jadi sonior kita yang berasal dari Tobohlah yang menciptakan sejarah itu di sini!’’
‘’Jadi mereka mulai gentar ketika saya menyebut kata-kata Bukit tadi rupanya!’’
‘’Persisnya, Iya!’’
‘’Apa maslahmu dengan munaf?’’, tanya sijangkung pada Azam.
‘’Sudah kujelaskan tadi, bahwa keslahan aku belum ada kesalahan’’, suara Azam agak meninggi, karena dia tahu, saat itu dia sudah mulai mengusai situasi.
‘’Santai saja dek! Kitakan musyawarah, Iyakan?’’, sela si Gemuk.
‘’Musyawarah, musyawarah Bang, kenapa semua pada kabur? takut? Karena kami hanya berdua? Atau takut sama nama kampung kami? jentelmenlah dong Bang!’’, emosinya mulai membakar.
‘’Sekarang kita berkenalan dulu! Saya Don!’’, aajak si Jangkung ramah.
‘’Saya Indra! di samping kiri saya, Baim, kedua Roy, terakhir Paiz! Kemudian di kanan saya, Riki dan kedua Budi!’’, sela si Gemuk menutup perkenalan.
‘’Lalu yang kabur tadi siapa saja namanya Bang?’’, emosinya mulai menurun.
‘’Oh! yang tadi? mereka anak rajin, mereka masuk lokal, nanti saja saya perkenalkan pada adek!’’
‘’Yang bocor kepalanya tadi di mana Bang, saya mau minta maaf atas ketidaksalahanku!’’
‘’Itu Munaf, dia lagi di tempat Bidan!’’
‘’Apa saja yang dia katakan sama Abang sehingga Abang-Abang semua membuat pagar betis di sekeliling aku?’’
‘’Tidak usah dibahas lagi, kami yang salah paham, mudah-mudahan tidak ada dendam di hati adekadek berdua!’’
‘’Aku? tidak bang! tapi Munaf kayaknya tidak senang karena terpeleset lalu keningnya berdarah, itu bukan salah Aku Bang, dia sendiri yang tidak hati-hati!’’
‘’Kami tahu! kami tahu! biar saya yang menerangkan pada dia besok!’’
‘’Oke!, kita bersalaman agar bisa menjadi teman baik nantinya!’’, sela si Gendut.
‘’Sama-sam ya Bang’’, balas Azam.
Mulai pada hari itu, Azam akrab dengan Ery, Azam selalu di antar Ery ke rumah setelah sekolah usai. Azam juga sering dijemput Ery saat mau berangkat. Spontan Azam dipanggil ketua oleh siwa laki-laki di sekolah, sementara Ery tetap lebih suka dipanggil dengan sebutan Ery, karena bagi Ery nama pemberian kedua orang tua adalah sebuah do’a.
Begitulah Azam sendiri susah melupakan Ery, walupun hanya sebatas teman bukan saudara, loyalias satu kampung telah mengikat hubungan mereka berdua. Sudah sepantasnya bagi Azam saat Ery melangsungkan pesta sang kakak pantang bagi Azam tidak menghadirinya.
‘’Gandoriah perempaun PKI! perempuan PKI! Neraka Jahanam tempatmu, cucumu si Azam yang sok berani itu! percuma dia sekolah! dia tidak akan jadi orang! kita lihat saja nanti!’’, suara-suara itu semakin menyayat hati Azam.
‘’Astaga! Kok namaku disebut-serbut, ah! jangan-jangan nenek lagi nenek lagi’’, Azam ngebut keluar, sekektika langkahnya terhenti di halaman, dari kejauhan dia melihat nenek sedang sibuk meladeni Rosni tetangga sebelah rumah Emak.
‘’Kamu memang anak si Jalut yang durhaka, memang aku masih ada hubungan darah dengan nenekmu, tapi hubungan kita sudah terlalu jauh karena ulah dan sikapmu itu membuat aku jenuh dan juga tolong sampaikan kepada saudaramu Si Rosna! Sekali lagi dia menyebutku orang datang akan kupatahkan tungkainya yang bengkok itu!’’
Iya! Itu betul nenek Gandoriah, nenek Azam yang keras kepala, dia dari dulu disebut orang kampung Kartini kampung, sebagian bilang disusupi arwah Rasuna Said.
‘’Sudahlah nek, mari kita pulang, sebaiknya orang waras jangan meladeni orang gila!’’, ajak Azam sembari menarik tangan nenek menuju rumah
‘’Lihat cucumu yang baik itu, dari tampangnya saja kejam jelas seperti PKI!’’, menutup celanya, kemudian berlalu.
Azam pun berbalik sambil menuntun tangan nenek menuju rumah.
‘’Zam!, besok nenek tinggal di Hilir saja, di rumah lama nenek, tak kuat nenek di hina terus di sini!’’, pinta nenek.
‘’Iya! tidak apa-apa, kalau nenek maunya di sana, tapi nenek sendirian di sana!’’
‘’Tidak apa-apalah Zam, ini salah kakekmu juga, mengapa juga dia terlibat dengan organisasi macam-macam itu, katanya perjuangan, entahlah dia berjuang untuk siapa dan musuhnya siapa, dia sendiri tidak tahu!, ujung-ujungnya si Buncit, Nazrul, dan Burhan jadi Korban, kalau tidak, mungkin saudara-saudara nenek masih hadir sekarang, tapi malahan si Jalut itu yang dihidupkan takdir, nenek pikir takdir telah diselewengkan oleh iblis, takdir juga menghadirkan mahluk ular seperti Rosna dan Rosni!’’
‘’Sudahlah nek!, kakek Nazrulkan belum meninggal, sedangkan kakek Burhan di Pekan Baru!’’
‘’Ya betul, tapi mereka itu tidak seperti dulu lagi, si Burhan sejak pergi ke Pakanbaru tidak lagi ingat kakanya ini, dia tidak ingat neneklah yang memandikan dan memasangkan popoknya sepeninggal Emak, sekarang dia lebih memilih menikah dengan orang Pekan Baru, katanya jadi tentara di sana. Lalu Si Nazrul sifat kelali-lakianya telah hilang sejak peristiwa itu, dia juga di panggil PKI oleh orang kampung!’’
‘’Biarlah nek!, mungkin itu sudah masanya!’’
‘’Tapi nenek bukan PKI, dan juga mereka yang gugur itu bukan PKI, menurut nenek mereka hanya berjuang untuk hidup, membela harga diri mereka yang diinjak-injak oleh serdadu pusat itu!’’
‘’Menurut nenek siapa yang PKI?’’
‘’Nenek tidak bisa menunjukan siapa yang PKI, tapi yang jelas munculnya kata ‘PKI’ ada kaitannya dengan sejarah bangsa ini, nenek pikir itu sangat politis, PKI hanya ada di pusat, bukan di sini, kampung kita hanya terkena biasnya saja, saat itu banyak bermunculan perlawananan atas ketidakadilan pemerintahan yang belum terorganisasi dan realisasi kemerdekaan meurut orang pusat sampai sekarang belum kelihatan hingga sekarang, alasannya penyebaran penduduk tidak merata, jadi terlalu banyak pengangguran, sebenarnya bukan penyebaran penduduk yang menjadi kendala tetapi kerakusan mereka yang terlalu menjadi-jadi!, kamu bisa perhatikan siapa yang berkorban untuk negara ini selain orang miskin? Yang terkena lonsor penduduk yang tinggal di lereng tebing atau gunung, kemudian banjir, korban penggusuran oleh aparat, ini bukan kesalahan mereka, mereka tinggal dan menacari hidup di sana karena tiada tempat lagi bagi meraka, kemudian kesempatan kerja hanya diberikan kepada orang-orang yang beruang, yang sanggup bayar lebih tinggi mereka yang beruntung, sementara simiskin yang otaknya encer tapi tidak beruang jangan pernah berharap yang muluk-muluk. Jadi kamu sempat kuliah, nasehat nenek jangan pernah bercita-cita menjadi PNS!’’.
‘’Wah! nenek cerdas juga kalau sedang emosi!’’
‘’Iya Zam, nenek lebih dahulu makan asam garam dari pada kamu!’’
‘’Tunggu Nek, kenapa saya tidak boleh bercita-cita jadi PNS?’’
‘’Kamu dikurung undang-undang buatan penguasa!’’, ucap nenek sambil berlalu.
Betul kata nenek, Azam juga teringat waktu di SD, waktu itu Azam bertengkar dengan Irwan anaknya Uni Azizah, dia juga diteriaki PKI, Azam sendiri tidak mengeri apa makananya PKI, padahal Irwan mencuri pensil Azam di bangku saat Azam berjualan tabu waktu istirahat, Azam pernah melihat Irwan memakai pensil itu, Irma juga bilang dia sendiri yang melihat Irwan mencuri pensil itu, tapi Irwan berkilah malah dia memukul Azam berkali-kali, Azam yang tubuhnya kecil tiada pilihan lain selain mengadu kepada Bapak Nadirman guru Agama, anehnya Pak Nadirman memaki Azam habis-habisan.
‘’Jangan sembarangan tuduh orang baik-baik apalagi tanpa bukti yang jelas!’’, vonis Pak Nadirman kasar.
‘’Irma melihat sendiri Pak!’’, jawab Azam bertahan.
‘’Irma itu juga bohong sama dengan kamu!’’
‘’Aku tidak bohong Pak!, nilai agamaku sama Bapak selalu dapat 9, mana mungkin aku berani bohong!’’
‘’Zam! nilai itu tidak mencerminkan tingkah laku seseorang, ngerti kamu!, sekarang kita keruangan Pak Kepala Sekolah!’’, ajak Pak Nadirman semabri menarik tangan Azam.
Dengan terpaksa Azam menuruti Pak Nadir keruangan Kepala Sekolah, sementara itu Irwan asyik bermain kelereng bersama Andi di lapangan tempat upacara. Sesampai di rungan Pak Kepala sekolah, Pak Nadir menceritakan kronologis kejadin kepada Pak Kepala Sekolah.
‘’Oh! jadi ini anak yang suka berantam itu, suka membuang sampah tebu di halam sekolah?’’, tuduh Kepala Sekolah.
Azam hanya terpaku dan menundukan kepala, saat itu tiada gunanya bagi Azam membela diri, semakin membela diri akan bertambah fatal dan hukum akan dijatuhakan akan bertambah berat. Setelah di sidang di ruangan Kepala Sekolah itu Azam diskor selama 2 hari. Azam sedih, dia memeilih tidak pulang ke rumah Emak, melainkan dia merajuk ke rumah nenek yang 10 meter jaraknya dari SD itu, Azam menceritakan peristiwa yang baru saja menimpanya di sekolah kepada nenek, mendengar perlakuan tersebut nenek hanya menelan ludah, sebab nenek sendiri apa yang menjadi penyebab kejadian yang mendera cucunya itu.
‘’Sabar ya Zam!, nanti kelak kamu akan mejadi orang yang beridealis, tapi sekali lagi, jangan bercita-cita menjadi pegawai negri, kamu tidak akan bisa mencapainya!’’, bujuk nenek.
Azam hanya mampu menangis di pelukan nenek yang keriput hingga tertidur pulas. Azam baru bisa memahami ucapan nenek setelah dia memasuki jenjang SLTA. Hal itu juga berawal dari kejadian miris saat Azam mendapat beasiswa dari sekolahan, awal sekolah di SLTA di Lubuk Alung Azam giat belajar, Azam dapat meraih peringkat ke-III di dalam kelas, itupun didukung dengan nilainya waktu SMP dan SD. Saat Azam mendaftar, dia terhalang oleh surat keterangan miskin dari Wali Nagari. Azam tidak tahu bagaimana cara mengurusnya, dia mengabarkan keluhan itu kepada Emak dan Ayah, Emak dan Ayah malah sedih mendengar berita baik tersebut.
‘’Kamu belajar saja dengan serius, selama Emak dan Ayah kamu mampu membiayai, kamu jangan khawatir, tapi kamu sekolah hingga SLTA ini saja, untuk selnjutnya mungkin Emak dan Ayah tidak akan mampu lagi!’’.
‘’Emak kok mematahkan semangat aku? Apa salahnya kita mencoba dulu, Emak yang nguruskan surat ke Wali Nagari, biar aku yang mengurus pendaftaran beasiswanya di sekolah, gimana?’’
‘’Kamu masih belum mengerti!, kamu tahu kakek kamu itu seperti kebanyakan orang bilang adalah orang terlibat!’’
‘’Baiklah Mak, katakanlah kakek terlibat, tapi apakah dosa-dosa kakek selama itu harus aku tanggung?’’
‘’Ya! kenyataannya seperti itu, hanya itu yang diwariskan kakekmu, bukan kita saja yang mendapat warisan itu, semua orang yang dicap terlibat di kampung ini, tidak akan bisa berdekatan dengan pemerintahan, apalagi menjadi bagian dari pemerintah, kamu mengertiZam? Boro-boro mengaharapkan besiswa segala, mimpi di siang bolong!’’
‘’Pokoknya aku harus coba, sebab aku juga punya tuhan yang sama dengan mereka itu, Emak tahukan tuhan kita masih sama dengan mereka?’’
‘’Kamu salah Zam, tuhan mereka sudah tidak ada, sebab mereka itu sendiri telah melakukan kudeta kepada tuhan, jabatan tuhan sudah diperebutkan oleh manusia-manusia sombong, mereka berpikir mampu menjadi tuhan, kita lihat saja nanti!’’
Sejurus kemudian, Emak diam seribu bahasa, entah dia mengalah berdebat dengan Azam atau ada suatu yang lain yang membuat dia tutup mulut. Tapi yang jelas Emak memang kecewa, tapi entah kecewa pada siapa, Azam pun tidak tahu persis.
‘’Emak aku harus mendaftar beasiswa, kalau tidak aku kembali ke Surabaya, biar aku jadi preman lagi di sana!’’, Azam mengancam.
Esokan adalah hari selasa, Emak terpaksa pergi ke kantor Wali Nagari, tapi Emak tidak berhasil membawa surat keterangan miskin itu, kata Emak kita tidak mempunyai Kartu Kelurga, kita harus mengurus dulu KK lalu ke Kecamatan minta Paraf. Hari Rabu Azam sengaja tidak masuk sekolah, dia pergi membonceng Emak ke Kantor Wali Nagari mengurus KK, jarak 12 Km dari rumah memang tidak terlalu jauh jika menggunakan motor ke Kantor Wali Nagari, setengah jam perjalanan mereka sampai di Kantor Wali Nagari, sementara itu jam di dinding kantor sudah menunjukan jam setengah 11 siang.
‘’Asalamualikum!’’
‘’Walaikum salam!, ada apa Uni, tidak seperti biasanya datang ke sini, mau ngurus keterangan miskin lagi? Kemarenkan sudah saya bilang harus pakai KK!’’, sambut Dian Sekretaris Nagari agak cuek.
‘’Begini Dik Dian, saya mau membuat KK dulu, setelah itu baru surat keterangan miskin!’’, balas Emak.
‘’Sebentar ya Uni!, saya bicara dulu dengan Pak Wali Nagari di ruangnnya!’’, Dian berlalu menuju ruangan Wali Nagari.
Di susdut ruangan lain, terdapat fasilitas yang serba lengkap, telpon, seperangkat komputer Fax dan kursi tamu, baian tengah adalah kursi Wali Nagari.
‘’Asalamulaikum Pak!’’, pinta dewi.
‘’Walaikum salam, ada apa dek Dian?’’, Pak Wali menyambut kedatangan Dian.
‘’Ini pak, Uni Fatmawati mau mengurus KK, dibolehkan Pak? Soalnya diakan,.....!’’, ucapan Dian Terputus.
‘’Saya tahu itu, layani saja tapi hanya sebatas KK saja ya Dek!’’.
‘’Baik Pak!’’, Dian kembali menjumpai Azam dan Emak.
Dian terus mengintrogasi Emak mengenai jumlah keuarga, anak, pekerjaan, keturunan dan segala macamnya.
‘’Uni KK nya di ambil besok saja ya Ni, sekarang Uni bayar Administrasinya dulu Rp, 50.000!’’.
‘’Kok sebesar itu, kemaren Uni Baidar hanya membayar Rp, 15.000.!’’ lirihnya Emak dalam hati.
‘’Bagaimana ini Zam, Emak tidak punya uang sebanyak itu, ada uang Emak tapi hanya cukup untuk belanja dapur besok!’’.
‘’Berikan saja itu dulu Mak!’’
‘’Nanti kita makan apa? Kamu tahukan Ayahmu hanya tukang ojek, sekarang jelas dia tidak mengojek, motornya kita pakai, apa kamu mau makan dengan cabe rebus atau garam?”
‘’Mau Mak asal halal!’’
‘’Baiklah kalau begitu!’’
Emak langsung menyodorkan uang Rp, 50.000 kepada Dian.
‘’Besok dijemput ya Ni!’’, ulas Dian.
Kemudian Dian berlalu memasuki Ruangan Pak Wali. Sementara itu Emak dan Azam menuju motor yang terbakar terik matahari di parkiran halaman kantor.
‘’Tunggu Mak, sandal saya ketukar!’’, Azam kembali ke depan ruangan Sekretaris Wali Nagari, tanpa sengaja Azam melihat Wali Nagari sedang mengitung helaian uang, lalu memberikan Uang Ribuan kepada Dian, kira-kira 20 lembar uang ribuan. Azam berceloteh dalam hati, ‘’Ah itu bukan urusan aku!’’, sesaat kemudian Azam kembali ke parkiran, di sana Emak sudah kelelahan menunggu Azam, kemudian tanpa sepatah kata pun mereka berlalu dari kantor Wali Nagari Bukit Gadang.
‘’Mak! pegawai negri biasanya terima gaji tanggal berapa ya Mak?’’
‘’Kenapa pertanyaanmu seperti itu?’’
‘’Ah! tidak apa-apa Mak, hanya ingin tahu saja!’’
‘’Biasanya tanggal 1, memangnya kenapa?’’
‘’Tidak mak, sekarang tanggal 16 Agustus ya Mak?’’
‘’Iya, ah.., sudah konsentrasi saja bawa motornya!’’
Esokya emak kembali ke Kantor Wali Nagari sendiri mengih janji Sekretaris Wali Nagari, sekalian mengurus surat keterangan Miskin yang dibutuhkan Azam. Sementara itu Azam sendiri pagi-pagi sekali sudah dijemput Ery kesekolahan, Ery memang belum cukup lama tinggal di Bukit Parupuak cukup jauh juga dari rumah Azam dari Bukit Luar, tapi Motor Supra yang diganakannya sehari-hari memutus jarak tersebut meskipun Ery harus berbalik arah dari arah sekolahan. Tidak begitu lama Azam disekolahan, jam 13:30 Azam sudah berada di rumah, memang tidak seperti biasanya pulang sekolah Azam langsung pulang kerumah, namu Ery pahan kegembiraan yang dirasakan Azam saat itu, belum sempat menukar seragam putih abu-abu, Azam langsung mencari Emak, ternyata Emak tertidur letih diterpa terik matahari siang yang membakar, seketika Azam mendapati Emak sedang bergolek di kamar depan.
‘’Bagaimana Mak? dapat KK dan suratnya?’’, serbunya.
Seketika Emak berbalik dari baringannya.
‘’Sudahlah Zam, lupakan saja harapanmu itu!’’, balas Emak kecewa.
Azam kaget dengan perkataan Emak yang begitu tiba-tiab, sesaat Azam memperhatikan mata Emak bengkak, bola matanya kelihatan memerah, mulai saat itu Azam semakin pahami situasi yang menghilangkan harapannya, Azam tidak mau lagi mendesak Emak terhadap hal-hal yang dianggap tridak mungkin, begitu pula dengan nenek, dan Ayah.
‘’Zam tamat SLTA kamu berdagang saja, kamu bisa sekolahkan Si Yos, Novembri, Anita, Annisa , Pedri, dan Ibrahim kalau bisa!’’, Emak mengulas dengan harapan.
‘’Insya Allah ya Mak, tapi aku butuh doa Emak dan Ayah!’’
‘’Emak selalu berdoa untuk keberhasilan kamu dan adek-adek kamu!’’
‘’Semoga Emak!’’
Namun Azam sendiri tidak pernah merasa tenang saat mendengar kata-kata PKI yang dilemparkan kepada keluarganya, di saat suasana sekusyuk apapun jika mendengar kata-kata PKI dia selalu terkejut seolah-lah kata-kata itu hanya ditujukan untuk dirinya. Pagi berikutnya, Azam memaksakan diri turun ke halaman rumah, sorot matanya yang masih kabur melihat sosok nenek sedang yang sedang membela diri, sesekali tetangga sebelah memperagakan pantatnya kepada Nenek.
‘’Kamu sama dengan ini!’’, Rosni tetanggang sebelah menggoyangkan pinggul sambil mengangkat kain sarungnya ke arah nenek.
Emosi nenek memuncak, bambu yang masih ada dalam genggaman nenek rencananya akan digunakannya untuk mengambil buah nangka di depan rumah Emak, kini dilemparkan ke arah tetangga.
Se segera mungkin Azam membujuk nenek untuk kembali pulang.
‘’Sudahlah Nek! untung saja bambu itu tidak mengenai kepalanya, kalau kena bisa berdarah, Nenek masuk penjara!’’, bujuk Azam.
‘’Tidak sepantasnya dia seperti itu, nenekan orang tua, sementara dia itu masih jalan anak bagi Nenek!’’.
‘’Iya! Azam tahu nek! tapi sebaiknya jangan nenek layani dia, kan sudah Azam bilang dia itu orang gila kalau dilayani kita lebih gila lagi dari pada dia, sebagai orang waras, kita harus mengalah! kenapa Nenek bisa bertengkar lagi dengan Mak Rosni itu?’’
‘’Dia telah mencuri kelapa yang nenek kumpulkan kemaren, padahal tanah ini sudah dibagi-bagi, tapi dia masih juga mau merampas apa yang menjadi hak kita!’’
‘’Biarkan saja! kita masih punya banyak kelapa!”
‘’Iya kita masih banyak kelapa! tapi sikap penjajahnya itu membuat nenek kesal Zam! Zam kamu tahu tidak! sebenarnya tanah ini dibagi dua, kita mendapat separoh dari pembagian dari Uda Bakarudin, nenek kasihan dia juga juag punya adik perempuan si Rosna, nenek rela tanah ini dibagi tiga!’’
‘’Sekarang nenek mandi, makan, lalu nenek pergi ke Surau, Nenekkan sedang sembayang 40 , biarkan saja dia sendiri yang sesat!’’
Ya! Sekeras-kerasnya hati nenek, saat Azam bicara lembut sikap keras nenek luluh lantak, tiada pilihan lain selalin mengikuti saran Azam dan pergi ke surau.

10. BULAN SABIT TANJUNG MEDAN

Sepenggalan tahun 99, Sabtu Rabiul Awal, Tanjung Medan semarak. Gemintang berkedip, gelombang awan terlihat cukup jelas dipantuli cahaya bulan sabit. Saat seperti ini biasanya ada bintang jatuh, jika ini terjadi penduduk Tanjung Medan terkesima, kegiatan dihentikan, selorohan ditutup, hentakan batu domino dimeja-meja lapau tertegun seketika, kartu-kartu joker berserakan di atas tikar pandan lusuh milik Pak Adi. Semua memohon sebuah pinta kepada Bintang yang jatuh atau kepada bulan sabit merah malam itu. Entah apa saja yang diharapkan dari benda langit itu, tetapi begitulah kejadian yang sangat ditunggu-tunggu penduduk kampung.
Sementara Puji lebih memilih duduk menunggu di atas lantai teras tanah di depan rumahnya, dia tidak peduli dengan seringai jangkrik ataupun bintang jatuh yang memecahkan lamunannya ketika itu. Baginya bintang jatuh hanyalah sebuah mitos yag diwariskan kaum animisme dan dinamisme masa lalu, sekarang sudah abad moderen, dan dia membenci terhadap masyarakatnya masih percaya akan kemangkusan mitos tersebut. Terkadang masyarakat tradisional mengatakan bahwa itu suatu petanda baik jika dipandang baik, sebagian bilang itu petanda buruk ketika kita memikirkan hal yang terburuk. Bagi Puji itu sama saja, sebab dia sudah menciptakan tapakan jalan sendiri untuk menuju impiannya, ya dia ingin menyempurnakan rumah yang terbengkalai, sebab sebagai seorang suami ayang baru saja di karuniai seorang putra, mempunyai tanggup jawab masa depan yang besar terhadap keluarga batihnya. Terkadang dia berhayal ingin hidup di masa lalu.
Andai saja kakek buyutnya tidak dibunuh oleh tentara rimba itu, andai saja harta-hartanya tidak diganyangi Tukang Pisang Pauh Kambar itu, tentu hidupnya tidak sedera sekarang. Mungkin gelar Dt. Raja. Amai Said akan jatuh ke tangannya, dan juga harta-hartanya itu, padahal dia sendiri tidak sadar hayalan itu telalu mustahil baginya, sebab Harta Pusaka tinggi hanya akan jatuh kepada keponakan Amai Said. Lalu dua orang nenek perempuannya memilih kabur bersama tentara pusat, ingin dia rajam sejadi-jadinya, Puji menganggap dua orang pelacur itulah yang menebarkan wabah dalam keluarganya, sampai sekarang Puji tidak tahu muara tumpuan hanyut, dan rimba tempat berkuburnya. Apakah mereka itu masih hidup atau keturunannya masih diperlakukan sama seperti dulu, Puji sendiri tidak akan pernah tahu dan lebih memilih tidak mau tahu. Dia mengangap dua orang perempuan masa lalu itu tidak pernah tercatat dalam sejarah keluarganya.
Di saat malam kian merangkak naik, puji gelisah, awalnya dia yakin banyak pasiennya yang akan datang malam minggu itu, jika tidak dia kehabisan akal dan juga kehabisan bekal membeli pasokan susu untuk si Puji muda. Malam inilah andalah satu-satunya.
‘’Aduh, Si Azam, sudah segini malam belum juga muncul, tidak tahu orang sudah sekarat!’’, umpatnya Puji.
‘’Bang tidak makan dulu bang?’’, ajak sang istrinya dari dalam rumah.
‘’Belum lapar Tun, duluan saja!’’
‘’Tapi nasinya keburu dingin Bang!’’
‘’Tidak masalah, nasi basi pun Abang santap, si Buyung bagaimana? sudah kamu suapin?’’
‘’Sudah Bang, tapi baru separoh!’’
‘’Kenapa separoh, apa buburnya tidak cukup Dik?’’
‘Bukan Bang, lenteranya mati, mungkin kehabisan minyak, tapi tidak apa Bang, si Buyung sudah tertidur!’’
‘’Sebaiknya kamu juga tidur! Biarkan aku bekerja!’’
Si Istri manut dengan perintah suaminya itu. Sesaat Puji melirik penunjuk waktu yang tertera di Nokia 330 miliknya, waktu memang sudah berjalan kira-kira separoh malam.
‘’Ya.., sudah jam 12 malam tapi mereka masih juga muncul, sialan itu anak!’’
‘’Dasar keturunan orang terlibat, suka tidak tepat janji!’’
Sementara di sudut kampung lain, Azam masih saja asyik bercengkrama dengan Anton, kegembiraan itu dilengkapi Pil BK yang diselipkan Anton di Kaos kakinya saat di atas bus menuju Bukit gadang. Anton bercerita masa-masa diuber-uber oleh polisi gadungan di Medan hingga dia diselamatkan oleh banci yang kebetulan sedang susah mendapat pelanggan, Anton menjadi penikmat babi panggang di Tepian Samosir Sumatra Utara.
‘’Kamu tau Mbel? waktu di Medan kemaren BB ini sudah menjadi barang harian, teman saya punya 5 hektar perkebunan, enaknya jika saja datang mengunjunginya akhir pekan, saya selalu ketiban rezeki!’’
‘’Rezki apa Mbel?’’, Azam menyela
‘’Kamu memang begok ya Zam? Ya.., BB lah, masak BK!’’
‘’Sekarang kamu punya BB? saya lagi butuh 1 garis!’’, pinta citok pada Anton.
‘’Sekarang sih tidak ada, BK ini beruntung tidak aku buang, saat pulisi hutan razia di Ujuang Batu kemaren Malam!’’, jelas Anton.
‘’Kamu tertangkap?’’, Azam penasaran
‘’Dasar Gembel! Kalau tertangkap tidak mungkin aku ada di depan kalian semua sekarang, begok.., begoook!’’
Azam sakit hati dengan gaya Anton agak kekota-kotaan, padahal Azam tahu Anton dulunya anak yang paling bodoh di Gunung Ujung, dia selalu menangis saat kepalanya di pukul Azam, tapi sekarang malah dia yang sok jawara, Azam lebih memilih membisu, Azam takut Pukulannya melayang, apalagi setengah teler seperti itu.
Udara malam semakin terasa, itu petanda malam sudah mulai merangkak turun, tetapi anak muda itu belum juga sadar bahwa di lapau sebelah dua anak muda berjas hitam terus memerhatikan mereka. Di suasana yang semakin sunyi itu, tidak ada lagi bintang yang jatuh, bulan sabit juga sudah mulai dibayangi awan-awan malam. Citok dan Azam lupa bahwa Puji telah menunggu lama di Tanjung Medan, Azam sadar walaupun setengah teler, Citok sendiri memang sudah ngawur, dia ketawa sendiri, tidak ingat lagi kepada Jupri yang sejak siang minta pertolongan untuk dicarikan BB satu garis, barang itu berguna bagi Jupri meramaikan pesta perkawinan kakak perempuanya yang pertama. Tetapi Azam cepat sadar walau sudah agak terlambat bertepatan dengan munculnya Jupri dengan RX KING.
‘’Citok! Sialan kamu, mana uang aku?’’, tuntut Jupri.
Citok hanya tertawa.
‘’Sudahlah Jup! biarkan saja dia, uangnya saya yang menyimpan, biar saya saja yang ke tempat Bang Puji!’’
‘’Ah.., tidak usah lagi, tamu-tamuku sudah minum Vodka yang dibeli kakakaku!’’ , Jupri agak kecewa
‘’Aku mengerti perasaanmu Jup! sekarang juga aku akan pergi dengan Gembel ini!’’, Azam menunjuk Anton.
‘’Siapa dia?’’
‘’Dia Anton, dia baru saja turun dari Gumarang, terus langsung bergabung dengan kami!’’
‘’Anton!’’, Antin mengulurkan tangan kanannya ke arah Jupri.
‘’Namaku kamu sudah tahu, kamu jangan macam-macam di sini!’’, peringatan Jupri.
‘’Baik lah Jup, Kami berangkat sekarang!’’, Azam pamit
‘’Setengah jam lagi kalian harus sampai di rumahku!’’, gertak Jupri.
‘’Mudah-mudahan!’’, Azam berlalu.
Astrea star itu melaju menelusuru jalan raya Pariaman, angin malam memang sangat menusuk tulang malam itu, beruntunglah mereka berdua selalu mengenakan jeket murahan. Laju motor itu semakin dipercepat saat Azam melihat simpang 4 Pauh Kambar, diperemapatan jalan mereka belok kiri mengarah ke dalam pasar, laju motor terpaksa diperlambat kembali saat bertemu segerombolan pemabuk yang sedang bergoyang-goyang di kesunyian pasar ikan, mereka sepertinya sangat menikmati malam minggu yang merah itu.
Tiiit!..Tiiit!.., klason motor butut menyapa preman tersebut, mereka angkat tangan tanda penghormatan, tidak lama setelah melewati pasar Pauh Kambar motor melewati perwasangan sawah, dinginnya lebih mencekam, sebab hembusan angin di persawangan sawah tiada pengahalang. Tetapi tiba-tiba perasaan Azam tidak enak, filing Azam seketika beraksi saat melihat 2 pemuda tanggung berjeket di simpang Bukit tadi.
‘’Mbel, kamu rasakan sesuatu apa tidak?’’
‘’Tidak! Kamu baru telan 2 pil saja sudah mabuk, ah payah kamu Mbel, biar aku yang bawa motornya!’’
‘’Tidak usah dan aku tidak mabuk, kamu jangan terlalu melecehkan aku Mbel!’’, pinta Azam
‘’Maaf, saya tidak bermaksud melecehkan kamu Mbel, saya memang kebiasan seperti itu!’’, nyali Anton agak menciut
‘’Pokoknya, saat memasuki rumah Bang Puji nanti, kamu diam saja, kamu jangan banyak komentar, sebab kamu belum tahu daerah di sini, mereka bisa ada di mana-mana, kapan saja, dan siapa saja!’’
‘’Maksudmu apa sih?’’
‘’Pokokny mulai sekarang tutup mulutmu yang busuk itu, jika kamu ingin selamat!’’
‘’Okelah kalau begitu!’’
‘’Nah sekarang kita sudah sampai di Tanjung Medan, kamu plaster mulutmu, oke!’’, perintah Azam.
Motor Azam terus menelusuri pertigaan sebelah kanan pasar Medan Baik, kira-kira 2 kilo perjalanan mereka sampai di rumah Puji Tanjung Medan. Jalan yang mereka lalui sudah dibasahi embun-embun pagi hari, dililiriknya arloji yang mencakar ditangan kiri, sudah menunjukan pukul setengah 3 pagi. Namun, ketabahan mereka mengahadapi dinginnya malam Bukit Gadang dan Pauh Kamabr akhirnya sampai juga di Tanjung Medan. 10 meter jarak ke rumah Puji, mereka dikejutkan oleh suara agak kasar tapi berwibawa dari atas motor yang datang tiba-tiba dari depan.
‘’Bang numpang tanya bang!’’
‘’Iya.., ada apa Bang?’’, jawan Anton.
‘’Bang Puji kemana ya?’’
‘’Oh, dia lagi di rumah , kamu juga mau ke sana?’’
Azam terpaku dengan sikap Anton, Azam sudah memperingatkan Anton berkali-kali, tapi Azam tidak bisa berbuat banyak di hadapan 2 orang pria berjeket hitam itu. Mulutnya seperti terpaku, rasa kecut mulai mengusai dirinya, tapi dia tetap kelihatan seperti laki-laki.
‘’Terimakasih ya Bang!’’, dua pria itu berlalu dari mereka, tetapi bukan berbalik kerumah Puji, mereka mengarah meninggalkan Azam dan Anton. Azam masih terpaku dalam emosi, tiba-tiba sebuah pukulan dilayangkan ke muka Anton, seketika Anton berteriak menahan sakit, mungkin pelipisnya pecah.
‘’Bangsat kamu Mbel! sudah berkali-kali kutegaskan, kunci mulutmu itu!’’, hardik Azam kasar.
Namun anton hanya heran dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan tidak akan terjadi apa-apa, tetapi Azam lebih hafal situasi, dia lebih pahan apa yang akan terjadi, kebinasan yang akan menimpa mereka kian dekat. Dengan bandan separo gigil, Azam tacap gas menuju rumah Puji, seperti biasa Azam menyodorkan uang Rp. 120.000 kepada Puji, dan Puji un menyodorkan satu buah bungkusan kecil, tanpa basa-basi Azam kembali kemotor dan berniat untuk berlalu sesegera mungkin, namun Anton menahan dengan deheman, Anton ingin berkenalan dengan Puji. Namun bagi Azam Anton hanyalah mahluk tidak berguna.
‘’Terimakasih Bang!’’, nada suara Azam bergeletar. Sesaat kemudian mereka langsung tancap gas. Azam sama sekali tidak memikirkan perasaan yang menimpa Puji yang sudah lama menunggunya hingga Puji pun rela melewati kesaksian bintang jatuh, dan melepas kepergian bulan sabit yang membelakanginya.
‘’Tadi siapa Mbel?’’, tanya Anton memecahkan suasana hening.
‘’Bapakmu yang bangkit dari kubur!’’
Azam terus melaju motornya, dari kaca sopion kanan Azam bisa menyaksikan sebuah motor supra X mengikutinya, awalnya pelan tapi setelah azam memeprcepat lajunya motor, si penguntit juga mempercepat laju kendaraannya, sementara Anton belum juga sadar apa yang akan terjadi.
‘’Baiklah Mbel! saya akan tanya kamu baik-baik!’’, Anton memiringkan mukanya ke belakang.
‘’Mbel sepertinya ada yang mengikuti kita!’’, potong Anton.
‘’Nah sekarang kamu menyadari, apa sebenarnya yang terjadi, pegangan yang kuat dan tutup mulutmu, sebelum kamu bertanya kembali, biar saya jelaskan, sekarang kamu yang Goblok, idiot dan sialan. Mereka itu malaikat maut yang kapan saja siap memborgol tangan kamu, jika kamu mau berteman dengan mereka, kamu turun saja di sini!’’, terang Azam
‘’Lebih cepat lagi Zam’’, Anton mulai dikuasai gigil ngeri.
Kondisisi kejar-kejaran tersebut berlangsung hingga ke Pauh Kambar, tiada jalan lain, Azam menyelip ke jalan setapak dan mematikan lampu motor seketika. Di tengah kebutaan malam itu, motor Azam menubruk kerbau yang sedang tidur, mereka berdua terjun bebas ke dalam rawa yang menganga di samping re kereta api menyusul motor yang mereka pakai. Namun, alam keberuntungan masih memihak kepada Azam dan Antun, kedua pria berjeket hitam itu kehilangan jejak setelah memasuki jalan setapak yang di halangi kerbau yang sedang terkejut marah. Kerbau itu mengira bahwa yang menggangu lelap tidurnya adalah orang yang baru datang tersebut, kerbau mendengus-dengus ke arah pemuda yeng berjeket hitam. Sesaat kemudian mereka berbalik arah.
Sementara Azam dan Anton semakin ditarik oleh lumpur deriata di dalam rawa, mereka harus segera keluar kalau tidak ingin dihisap habis oleh lumpur rawa itu. Dengan segenap tenaga yang masih sisa mereka berusaha menarik motor dan melaju untuk pulang. Terasa sia-sia sudah jerih payah mereka menemui Puji, bingkisan hasil penukaran uang dengan Puji sudah lenyap entah kemana, badan yang terasa seperti manusia lumpur, ciptakan makna tersendiri bagi mereka berdua. Ya!.., malam itu, Dewi Fortuna masih sayang kepada mereka berdua, sekurang-kurangnya kepada Azam, dia sempat sekelabat sempat menyaksikan bintang jatuh tadi, setengah percaya Azam coba-coba memohon sebuah permintaan. Saat ribuan tanda tanya yang tumbuh di hatinya, Azam yang lelah langsung menuju rumah orang tuanya di Bukit Ujung. Sementara Anton sendiri ditinggalkan di Simpang Bukit dengan kesal.
Azam sadar bulan sabit yang jatuh di pelataran tadi, kini telah berubah menjadi bulan sabit jatuh ke dalam lumpur..., kemalangan atau kemenangan yang cukup membingungkan.
**

‘’Azam! Azam! Sudah jam 11 siang, kamu mau tidur sampai kapan? Kamu tolonglah Ayahmu buat persemaian di sawah, jangan tidur saja kerjaan kamu itu! Anak tidak tahu di untung!’’, sauara itu sangat dia kenal, Ya! Itu suara Emak yang sedari tadi membangunkan Azam. Azam memaksakan mengangkat badannya dari tempat tidur bilik belakang, padahal persendianya masih terasa sakit, bilik belakang inilah yang dijadikan Azam sebagai tempat peristirahatan terkhir. Bilik ini memang jarang dipakai, biasanya Emak menggunakanya sebagai tempat menyimpan kerupuk jengkol hasil buatannya sebelum digoreng. Siang itu tubuh Azam benar-benar berbau jengkol bercampu lumpur. Azam mencuci mukanya yang kusut masai, di dalam separoh sadar itu Azam mendengar berita yang dibacakan Mutia Hafid presenter SCTV.
‘’Seorang pengedar tertangkap basah....saat..!’’, berita itu terputus-putus. Azam segera menuju ruang tengah, diruangan tengah Azam mendapai presenter itu sedang menyemapikan kronologis berita.
‘’Seorang mngedar ganja di Tanjung Medan di Dor Tim Serse Pauh Kambar! kejadian itu berlangusng jam 3 pagi di Rumah tersangka......! Pria yang yang dikenal dengan Panggilan Puji itu meninggalkan seorang Istri dan bayi yang masih berumur 3 bulan...............!, Anna Rosa Repoter SCTV, melaporkan dari Padang!’’
Ya.., Azam baru sadar Abang Puji baru saja diganyang berita BUSER Minggu pagi ini. Lalu apa yang mampu dia lakukan selain Azam merenung, mengawang, dan berkelana di alam imajinasi, penyesalan yang bertubi-tubi, mungkinkah tuhan masih mau menunjukan jalan terbaik untuknya, dialah yang sama sekali sedang didera kebutaan...., akhlak, kepribadin dan harga diri.

11. POTONGAN SAJADAH

Terpaan terik mentari pagi menembus kaca-kaca beranda rumah, terasa sejuk, saat itu pula dera menghilang tanpa jejak, ingin rasanya Azam berceloteh bersama embun-embun menjelang kepergiannnya untuk kesekian kali. Di dalam hidupnya, suasana pagi ini begitu lain dari pagi sebelumnya, sangat istimiwa baradu imajinasi atau tenggtelam kedalam dunia sejuta hayal, menggapai mimipi-mimpi yang datang tidak teratur, menyeka peluh-peluh pagi, membelai sinar mentari, atau mati di perkosa malam untuk selamanya. Ya!.., pagi itu sebuah karunia bagi Azam, dia merasakan ada sesuatu dorangan dalam dirinya menuntut sebuah reformasi, Azam tidak tahu gerangan-gerangan terbaru yang akan muncul setelah paginya berlalu. Tapi Azam yakin esok atau lusa, pagi mungkin akan menjelang, dia mengharapkan suasananya masih sama, embun-embun, mentari, cicit burung pipit padi akan selalu menemani sejuknya lamunan, ya lamuan pencarian makna, begitulah yang dia rasakan.
Perasaan yang sama terus membuai, menjanjikian mimpi-mimpi silam yang belum perah terwujud, tanpa terbesit sedikitpun bahwa di hatinya masih terdapat rongga kosong tiada berpenghuni, sering azam menanyai diri, rongga itu milik siapa? Akankah tumbuh di dalamnya sebuah bibit kemulyaan, sungguh tiada dapat mengerti, rongga-rongga itu hanya dihujani puluhan pertanyaan Azam yang tercipta masih di sekitar rahim onggokan daging tersebut.
Hari itu hanya senen yang cerah, azam mulai memanjakan diri dengan lebih cepat merasakan dinginnya pagi, sedikit malu dia melirik sumber detang di dinding depan, dia tidak tahu waktu ketika itu sedang asyik mencandainya, lihatlah putaran teratur dari jarum-jarum halus itu telah mampu mengelabui pandangan siapa saja, padahal tanpa dia sadari jarum pendek dan jarum panjang yang lain sudah menempel terlebih dahulu sebelum kedatangan Azam. Azam tahu benda waktu itu masih bergulir seperti amanah yang telah dititipkan kepadanya, dia takut kalah dengan jam dinding di depan rumah itu, entah apa yang dia pikirkan, dia hanya mampu mebuntuti desahan-desahan hati kecilnya itu, semenit kemudian azam telah menadapti dirinya di kamar mandi.
‘’Nawaitul Wudlu Liraf ’il Hadaisil Askhari, Fardan Lillali Ta’ala’’, Azam berucap seperti orang-orang aneh, Ya!.., ucapan yang sama juga dia ucapkan dulu sewaktu belajar membaca Al Quran di Surau. Ucapan itu juga yang sering didendangkan orang di kala subuh menerobos mimipi-mimpi, dalam hayalan-halayan yang tidak bertepi. Sekarang azam kembali mengucapkan masih dengan nada yang serupa, sesaat dia kembali dibuaikan oloeh bayangan masa kecil, main galah setelah usai mengaji, sembar lakon, kelereng hingga menonjok teman-temanya yang usil. Azam berhasrat mengulang kekanak-kanakan itu, tetapi setelah dilihat dirinya di cermin, kumisnya semakin bercokol, jakunnya membesar, suaranya menggelegar terkadang tidak bisa ramah. Azam tahu waktu itu tidak akan bisa diputar kembali, sebab jarum-jarum jam dinding yang menempel di dinding rumahnya hanya mempunyai satu tujuan, yaitu mengikuti jarum halus yang selalu melenggok santai.
Azam membentangkan sajadah bolong pemberian Nenek, mungkin Azam mempunyai harapan lain terhadap sajadah itu, seperti Emak, Ayah, dan nenek terhadap Azam. Ya!, azam bertingkah laku lebih aneh lagi, dia tegap menyerupai orang menyembah dalam ketakutan, sesekali membungkuk, kemudian bersujud dengan seribu pinta, dua kali peristiwa itu diulangi Azam. Sejurus dengan kejadian itu, azam menengadah ingin melihat sesuatu di ruang kosong, tetapi adannya selalu ada, dan bukan diadakan oleh siapapun, azam menampung kedua tangan meminta sesuatu, kali itu azam tidak bisa bersuara lantang seperti meminta kepada Ayah atau Emak, Azam, begitu lembut, miris namun penuh harapan. Lalu azam menyapukan berkah yang dia dapat pagi itu kemuka yag sudah sedikit kasar berlobang.
Yos bilang kepada Emak dan Ayah, bahwa Abangnya bertingkah aneh di kamar belakang. Emak pergi mendapati azam di kamar berlakang, tirai pintu transparan yang dibakar lampu pagi itu, tidak mampu menyembunyikan bayangan azam dari prnglihatan Emak. Emak memang tidak menyempatkan diri masuk ke kamar itu, emak yang baru tersadar dengan kejadian itu, haru bercampur gembira, Emak kembali keruang tengah.
‘’Abang sedang mengapa Mak?’’, buru Yos penasaran.
‘’Abangmu itu sembahyang!’’
‘’Oh.. iya, aku juga pernah belajar melakukannya di surau, aku juga di ajari Uni Fazri, tapi mengapa Uni Fazri menyebutnya dengan sholat ya mak?’’
‘’Sembayang istilah kami-kami ini, sholat itu istilah kalian sekarang, kamu bisa perhatikan gerakannya yang sama, yang diucapkan juga sama!’
‘’Mengapa bisa sama ya Mak?’’
‘’Kerena tuhan kita masih sama!’’, ulas Emak.
Emak berlalu menuju dapur.
‘’Ah! Emak buat asap lagi, emak selalu begitu selalu buat orang batuk-batuk, memang orang tua kalau pagi-pagi hobinya tidak ada selain ciptakan asap!’’, oceh Yos kecil.
Sementara Azam belum juga berhasrat keluar dari kamar belakang, padahal asap-asap yang pekat sudah menyesakan bilik itu yang hanya dibatasi oleh tirplek papan tipis. Di kamar itu, Azam memotong sejadah pemberian nenek dan membuang potongan bagian bawah yang berlobang, kata nenek dulunya sajadah ini pemberian kakek waktu mengucapkan akad nikah, Al Qurannya juga masih ada sampai sekarang, tapi kitab itu ditulis dengan tulisan tangan biasa, sekarang tidak bisa dibaca lagi, isinya juga bolong-bolong, ya! begitulah orang-orang dulu, selalu mewariskan peninggalan yang sudah kurang sempurna.
Tetapi kejadianya berbeda apabila pewarisnya Azam, azam terang-terangan sudah memotong sebagian dari sejadah itu dan membuangnya keonggokan kain bekas di dalam bilik. Azam yakin sebagian dari sajadah itu sudah sudah dipergunakan oleh nenek dan sekarang hanya tinggal sebagian saja dalam genggaman azam, ya! itulah pemberian nenek kesayangannya, potongan sajadah. Azam tersenyum bebas penuh kemenangan sementara. Kini potongan sajadah itu menjadi barang yang paling berharaga bagi Azam.
Jam tujuh senen pagi itu Azam berangkat kesekolah, seperti biasanya, azam di jemput oleh Ery, temannya itu tidak tahu apa yang terjadi dengan azam pagi buta barusan, bagi Ery Azam masih ketua yang dihoramati teman maupun lawan, Ery tidak perrnah berpikir bahwa jabatan itu akan terasa sangat menggangu, sebab kelas 3 SMU adalah masa yang cukup tua bagi mereka untuk berleha atau memukul orang hingga tawuran seperti biasa.
Berbeda dengan Azam sendiri, panggilan ketua yang sangat dihormati itu hanya kebetulan saja, nama Nagari Bukit gadang yang telah menjadi simbol kegentaran masyarakat sekitar, berpapasan dengan sikapnya yang keras kepala, tidak mau kalah, bahkan Azam anak Bukit Gadang selalu sering menjadi payung perlindungan bagi setiap siswa yang menggunakan namanya di saat berkelahi. Rutin satu kali dalam seminggu perekalahian antar siswa pasti terjadi di Kota Kecil Lubuk Alung, ujung-ujungnya nama Azam tercatat di dalam buku Kuning sekolah-sekolah hingga kapolsek Lubuk Alung, hanya saja Kapolsek setempat belum berani meringkus Azam sang ketua, sebab bagi pihak keamanan ini mereka belum cukup bukti melnyapkan loyalitas yang dimiliki Azam secara kebetulan.
Dua tahun yang lalu, saat nama azam mulai melejit di seluruh sentro Lubuk Alung, Azam hanyalah salah seorang siswa polos dari Bukit Gadang yang, kalau tidak bisa dikatakan anak yang jujur. Hanya bermodal kemauan untuk meberubah jati dirinya saja, namun kesempatan emas yang datang tiba-tiba membuat azam kembali menunjukkan taringnya, awalnya dia tidak mengubris kesemapatan itu, tetapi peristiwa bersama Wali Nagari dan harapannya yang terkubur bersama kekecewaan, membuat dia kehilangn beasiswa. Awalnya azam sangat menggantungkan harapannya pada budi baik pemerintah itu, tetapi dosa yang diwariskan kakek terhadapnya terlalu hitam sehingga menyatu dengan warna kulitnya yang legam atau terbakar terik mentari saat mencangkul di Sawah, apa bedanya bagi Azam antara sawah dengan sekolah.
Apa lagi sejak Puji diganyang Undang-undang di dalam program Buser SCTV, nyali Azam menciut saat itu, namun takdir memapah azam kewacana lain namun masih di dalam makna yang sama. Untuk kesekian kalinya Azam langsung menjadi kakitangan penyalur dari Medan. Persitiwa itu bermula saat kperkenalan Azam dengan Erik. Pertemuan yang tidak disengaja saat Azam pulang sekolah. Sabtu Siang, Azam seperti biasanya seusai pulang sekolah selalu mampir di Warung Predy di pinggiran kali Pasar Lubuk Alung, kebetulan sekali Ery sahabat setia Azam tidak masuk sekolah, jadi azam terpaksa pulang sendiri, di pelataran Warung Predy Azam sedang menikmati Jus Jeruk yang selalu sudah tersedia saat Predy meliaht Azam dari kejauhan.
‘’Tumben Ketua, Ery kemana?’’, Sapa predy bersahabat.
‘’Bang sebenarnya Ery itu punya jalan yang sedikit berbeda dengan aku!’’
‘’Kenapa, kelihatannya hubungan kalian sejati sebagai teman.’’
‘’Iya, aku tahu, tapi terkadang Ery timbul kemanjaannya, saat seperti itu aku kurang suka pada Ery!’’
‘’Memangny Ery ada acara Ketua?’’
‘’Ery selalu punya acara saat dia mendapatkan motor Bapaknya sering tidak dipakai, sekarang Bapaknya lagi perlu Motor, jadi dia tidak berangkat sekolah!’’
‘’Bapak Erykan punya motor Yupiter, ketua?’’
‘’Iya aku juga tahu, dan aku juga tahu Bapaknya itu orang ternama di sini!’’
‘’Saya juga tahu itu ketua, kemaren di warung depan Pasar itu ada sebuah rapat, Bapak Ery langsung sebagai pimpinannya, saya tidak tahu persis hasil pembicaraan rapat itu, tapi isu yang saya dengar, mereka akan melakukan pembersihan, termasuk di sekolah-sekolah. Aku juga baca berita di TV, menonton berita radio, dan mendengar berita koran, seorang TO berhasil kabur dari Medan, kata orang dia lari ke Padang, tapi entahlah, saya juga tidak tahu apakah ini hanya sekedar isu politik atau bukan, yang jelas dalam waktu dekat Pemilu akan dilaksanakan!.’’
‘’Kalau mendengar Abang bicara, aku berhak menyebut bahwa Abang salah pilih jalan!’’
‘’Kok begitu ketua?’’
‘’Seharusnya Abang itu menjadi salah satu bagian dari mereka!’’
‘’Maksud ketua?’’
‘’Otak Abang terlalu encer bagi orang setingkat kami, seharusnya Abang ikut serta memperebutkan kursi di tingkat pusat, paling rendah di tingkat propinsi atau kabupaten!’’
‘’Ah, ketua bisa saja, janganlah terlalu meuji, saya hanya penjual Es Jeruk di pinggir kali ini!’’
‘’Itulah sebenarnya kesalahan Abang!’’
‘’Biarlah Ketua, enak jadi orang miskin seperti saya, semua terasa aman dan damai!’’
‘’Tapi sayangnya Abang hanya memikirkan perut sendiri!’’, ucap Azam sedikit meninggi.
‘’Ketua! Pernah mendengar kalimat ini? Kata orang adakalanya kita itu diam dan ada juga kalanya kita itu berteriak!’’
‘’Tetapi diam bukanlah suatu soluis, sampai kapan? Sebenarnya Abang lebih beruntung dari pada aku, 3 tahun setengah, terlalu mudah bagi Abang untuk menyelesaikan study di Iniversitas terbaik, tapi hasilnya hanya seorang penjual Jeruk, maaf ya Bang!, aku sedikit kesal, karena Abang tidak mau jujur padaku, aku tahu Abang itu mahasiswa berprestasi dulunya!’’
Sebenarnya Predy mengakui kekalahannya tersebut, ya! waktu 3 setengah tahun terlalu cepat menamatkan study du Fakultas Hukum Negri tersebut, tetapi keadaan, ketidak adilan dimana-mana membuat Predy mundur teratur dari perjuangannya. Pernah dulu Predy mendaftar di Kejaksaan, nama Predy tercatat di dalam papan pengumuman dan juga di Harian Umum Kota Padang, tetapi setelah predi mengejarnya ke Jakarta, kekecewaan telah menghanyutkannya kembali ke muara keputus asaan. Masih terngiang ucapan menjaga meja.
‘’Maaf Pak, tempat itu sudah di isi oleh Predy, Bapak siapa dan Predi yang mana?’’
‘’Ini nomor penadaftaran saya Pak, 1388729 atas nama Predy dari Sumatra Barat’’, tegas predy.
‘’Tunggu sebentar Pak, saya cek dulu!’’, penjaga meja itu pergi keruang kepala. Setengah jam kemudian dia kembali membawa harapan seperti impian Predy.
‘‘Bagaimana Pak?’’
‘’Maaf Pak! Yang dimaksud Predy yang berasal dari daerah Surakarta, kalau Bapakan Predi dari Sumbar, setahu kami nama Bapak tidak tercatat dalam daftar kami, hanya nama Syarifudin yang tercatat di dari Sumbar, Bapak mau mengisi jabatan Syarifudin!, kebetulan Syarifudin tidak mendaftar, tukar dulu identitas Bapak, nama asli hingga nama orangtua sesuai dengan daftar Syarifudin, bagimana pendapat Bapak?’’, ajak Penjaga meja setengah membujuk.
‘’Terimakasih Pak, saya tidak perlu menukar identitas saya, saya mencari pendapatan sendiri saja, bersyukurlah Bapak negara ini masih sayang sama Bapak, mungkin leluhur Bapak seorang pejuang kemerdekaan, jadi Bapak mempunyai tempat bergantung yang tepat!’’, cetus predy menyindir. Sejurus kemudian Predy berbalik arah menuju Sidoarjo, tidak lama hidup di sana predi Pulang Ke Padang, katanya dia tidak tahan iman melihat dunia pinggiran Rel di terminal larangan.
Dua tetes banyu bening menyeruak di sudut mata predy.
‘’Bang predy! Kenapa Abang bersikap seperti itu?’’, hardik Azam
‘’Maaf ketua saya teringat kenangan lama!’’.
Sementara di ujung pelataran warung Predy, seorang laki-laki berjeket levis, celana robek di lutut sesekali melirikan mata sipitnya kearah mereka berdua, sendal jepit yang sudah dijahit memperjelas bahwa dia seorang pemuda terlantar atau pelarian. Tetapi dengan cara duduknya yang santai memperlihatkan bahwa dia seorang yang berwibawa, caranya memetik rokok, ramah tamahnya terhadap Predy saat memesan minuman, lengkap menjadi petanda terdapatnya segudang pengalaman yang dirahasiakan. Gembel unik itu berkata di dalam hati.
‘’Remaja ini bisa diolah sebagai ladang bisnisku yang sempat terhenti, ya, ini kesempatan emas, dia juga memiliki link yang cukup membuaikan, aku kira aku aman jka bersahabat denganya!’’, kepalanya mengangguk-angguk puas.
‘’Maaf saudaraku! Boleh bergabung?’’, sapanya bersahabat.
‘’Oh.., tentu!’’, jawab Azam.
‘’Saya Erik!’’
‘’Azam!’’
‘’Predy!”
‘‘Sepertinya Abang habis dari perjalan jauh?’’, selidik Azam.
‘’Tidak juga, saya sebenarnya dari Pasar, terus saya lihat di sini ada Es Jeruk, kebetulan sekali keronggkokangan saya sangat kering, lalu saya istirahat di sini!’’
‘’Memangnya kegiatan apa di Pasar?’’, lanjut Predy.
‘’Itu tadi ada kakak mau berangkat ke Jakarta, saya membantu menggkat barang bawaan dari rumah!’’
‘’Sepertinya kampung Abang juga jauh dari sini, kalau boleh tahu Abang berasal dari mana?’’, predy terus mengintrogasi dengan akarab. Sepertrinya Predy lebih simpati dari pada Azam, mungkin mereka merasa cocok, sedangkan Azam hanya sebuah idiologi yang sedang berpakaian SMA. Namun, cara serobot Predy yang sok akrab membuat Pemuda itu mengalihkan pandangannya ke arah Azam, sesekali dia balas juga celotehan Predy dengan sesungging senyum yang meluncur dari bibirnya yang sumbing. Pemuda itu sangat berharap kepada Azam, entah apa yang dia harapkan predy dan Azam tidak mengerti, tapi yang jelas pemuda yang bernama Erik itu ingin memperluas pergaulannya sebagai orang yang baru datang.
‘’Sebenarnya saya mengelola usaha motor Boot di Pulau Samosir, tetapi usaha itu saya hentikan karena Ibu saya meninggal di kampung, baru jumat kemaren di kuburkan di Bukit Apar!’’, lanjut Erik.
‘’O.., jadi Abang juga dari Bukit?’’, sambung Azam menunggu jawaban Erik.
‘’Iya!’’
Setelah tiga jam bercengkarama, suasana yang mendukung membuat mereka cepat akrab, sesekali diselingi dengan tawa-tawa kecil dari ketiga pemuda itu. Setelah sore menjelang Azam pamit untuk pulang kepada Predy, kali ini Azam bukan bersama Ery tetapi Erik, baginya Erik cukup dewasa bagi siswa seusia dia.
Setelah 2 minggu jalan bersama, Azam dapat dengan cepat memahami karakter Erik, begitu juga sebaliknya. Azam telah lupa isu yang dia dengar dari Predi dua minggu yang lalu. Erik juga telah menerangkan beisnis sebenarnya yang dia geluti, Azam pun menyambut baik keinginan Erik untuk menjadikan Azam kaki tangan Untuk daerah Sumbar, awalnya di mulai di sekitar Lubuk Alung.
Tanpa sepengetahuan Ery Azam pun melancarkan bisbsi barunya si sekolahan, 2 minggu berjalan pasien Azam sudah banyak, bahkan ada yang meminta dikirimi barang yang benyak, katanya juga ingin menjalankan usaha yang menggiurkan itu, tetapi Erik belum memberikan izin sebelum Erik sendiri bertemu muka dengan mereka yang berharap tersebut. Sementara Ery yang tidak begitu dihiraukan Azam bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan yang terjadi dengan persahabatan mereka, setahu Ery tidak terjadi apa-apa antara mereka berdua, tapi kenapa Azam bersikap agak berbeda, kalu tidak bisa dikatakan dingin.
Di suatu siang di warung Mak Etek Ery melamun, perasaannya kurang Enak, rasanya semakin hari tteman-teman semakin jauh, Azam yang selalu menjadi pendamping setianya sudah jarang dia temukan di Warung Mak Etek, kadang-kadang dia menemukan Azam berjalan tergesa-gesa, lalu hanya tersenyum terhadap Ery. Di sela lamunannya da sebuah aktiviotas yang sangat menarik perhatian Eri di warung Mak Etek, setiap istirahat siang selalu ada 2pemuda yang berjeket kulit hitam singgah membeli rokok di warung itu, lalu disusul oleh seorang siswa dari dalam sekolah, mereka bertiga berbincang-bincang, kadang tawanya terdengar renyah, sementara siswa itu yang menjadi teman berbincang pemuda itu adalah anngogota kelompok Azam dan juga Ery sendiri, dia adalah Setia Budi, katanya dia berasal dari padang. Budi sebagai orang luiar mempunyai hubungan baik dengan Eri dan juga Azam, pernah dulu Budi di keroyok preman di pasar Lubuk Alung, esoknya Budi minta bantuanAzam dan Ery, setelah itu preman yang ada di pasar lari tunggang langgang setelah dikejar siswa SMA tempat Azam dan Ery menuntut ilmu. Sampai sekarang Budi sangat aman dan nyaman di bawah lindungan Ery dan Azam. Ery berpikir mungkin pria berjeket itu teman Budi atau saudara Budi dari Padang, sebab kehadiran dua orang pemuda itu pas sehari setelah Budi di keroyok preman.
Namun kedatangan 2 orang pemuda anewh itu juga tercium oleh Azam, walau sesudahnya Ery tetap mengabrkannya kepada Azam. Tatapi Azam menegaskan kepada Ery bahwa hal itu biasa saja terjadi sebab Budi baru saja di keroyok preman, mungkin saudara, teman atau famili Budi dari Padang. Namun, aktivitas Budi dengan kedua pemuda berjeket itu tidak terlepas dari pengamatan Azam, dia tetap memberi peringatkan kepada pasien-pasiennya, Ery sebagai tulang punggung Azam untuk informasimasi terbaru seputar Lubuk Alung masih bersedia menjalani takdirnya sebagi teman sejati Azam, walu Ery sendiri tidak pernaha tahu dan tidak mau tahu aktivitas rahasia Azam.
Bertepatan dengan acara perpisahan kelas tiga, peristiwa itu terjadi. Ape bersifat play boy berkelahi dengan siswa YPP yang bertepatan bercokol di sampaing kanan warung Mak Etek, Ape babak belur dihajar siwa YPP saat penampilan kabaret berlangsung di SMA Standar, peristiwa tersebut diketehaui Azam dan Ery setelah Mak Etek sendiri mengabarkan kepa mereka.
‘’Dimana Ape skarangMak Etek?’’, desak Azam
‘’dia aman istirahat di rumah Mak Etek’’, sambutnya.
Tanpa semapt berpikir panjang Azam dan Ery meninggalkan acara kabret sekolahan di SMA standar. Mereka tidak sabar ingin segera mengetahui keadaan Ape, sesaat kemudian mereka telah sampai di kamar rumah Mak Etek.
‘’Ape! Kenapa kamu bisa babak belur begini’’, serobot Ery
‘’Saya bertengkar dengan Si Don, sebenarnya sih perang mulut saja, tapi begibilah akhirnya’’, jelas ape.
‘’kamu dikeroyok?’’, sambung Azam
‘’tepatnya iya’’
‘’kamu jangan bertele-tele Pe!’’, hadik Azam
‘’sekarang aku sendiri pergi ke YPP itu, dimana si Don?’’, tanya Azam.
‘’dia masih di YPP’’
‘’kamu bisa berdiri Pe?’’, ulas Ery
‘’kayaknya kaki saya terkilir’’
Azam dan Ery bertatapan keheranan, padahal si Don sendiri siswa SMA Standar, danmasih tercatat salah sati siswa yang mih minta perlindungan Azam di saat berkelahahi, Nah, sekarang di menganiya temannya sendiri, lalu meinta perlindungan kepada siswa YPP, padahal lebih dari separoh siswa YPP masih termasuk komplotan Azam dan Ery. Azam memeras otak, menrjemahkan makna-makna di dalam otaknya.
‘’sekarang begini saja, kmu Ape kami antar dulu ke tempat pengobatan, sebaiknya ketempat H. Khaidir Saja, rumahnya di Bukit Apar, sepertinya kaki kamu patah, bukan terkilir’’, jelas Azam. Setelah mengantar Ape ketempat ahli tulang, Azam minta bantuan Ery menemani Ape di malam pertamnanya di rumah pengobatan. Sementara dia sendiri pergi entah kemana, tapi yang jelas sejak kejadian itu Azam terus menguras otaknya, Ery menajdi kasihan melihat Azam.
Senen pagi di sekolah Ery dan Azam di panggil kepala sekolah, taidak lama di ruangan Kepsek, Ery kembali kekelas, saat itu hanya Azam yang dintrogasi oleh Kepala Sekolah, mulai dari perkelahian yan terjadi tiap minggu, ado jotos di sekolah hingga permasalahan Ape. Azam dihardik-hardik oleh para guru yang memang sengaja datang mendengar pengakuan Azam.
‘’kamu dipanggil ketua di dalam kelompok kamu, iya apa tidak?’’, serobot Kepesek
‘’tapi saya tidak meminta mereka memanggu aku seperti itu Pak’’ ‘’Kamu menjadi dalang tawuran-tawuran itu Azam?’’
‘’Aku juga koraban dari dalang-dalang yang lebih besar Pak!’’
‘’Kamu juga membaut siswa perempuan takut Azam?’’
‘’Mereka hanya meinta perindungan Pak Kepala sekolah!’’
‘’kami punya aturan sendiri untuk membuat para siswa kami tentram’’
‘’saya juga siswa Bapak!’’
‘’kamu membuat masyarakat sekitar was-was dan cemas Zam!’’, hardik guru Agama di samping Azam
‘’itu karena setiap hari minggu saya dan teman-teman datang ke sini untuk kerja bakti Pak!’’
‘’kamu mematahkan kaki anak Pak Buzar Guru Olah Raga Kita’’
‘’aku hanya meneylamatkan santi yang hampir diperkosa Pak’’
‘’sudah dibilang,kami punya aturan sendiri!’’, hardik Kep sek
‘’aturan memperbolehkan memperkosa belum ada Pak!’’
‘’Tutup mulutmu!’’, Hardik Pak Buzar.
‘’tutup saja mata batin Bapak!’’
‘’Ape teman kamu sendiri, kenapa kamu tega menganiaya Zam”
‘’itu rekayasa Pak!’’
‘’kamu siap menanggung resiko apabila permasalahan yang sama terulang lagi?’’, desak Kepsek
‘’Vonis berhenti saja dia Pak’’, jawab para guru di rungan Kep Sek.
‘’surat ini adalah surat segel dari Kapolsek setempat, jika masalah terulang lagi, kamu kami relakan dibawa polisi’’, gertak Kepsek.
Setelah dintrogasi habis-habisan Azam masuk kelas, sementara di dalam kelas sedang berlanggsung palajaran PPKN kalu dulu namany PMP. Buk Nadya guru PPKN bercerita sejarah perjuangan merebut kemerdekaan dengan titik darah pengahbisan, sehimngga tahun 1945.
‘’Tanggal 17 Agustus 1945 negera ini terbebas dari penjajahan. Untuk itu, kita wajib membela negara kita, kita wajib mengisi kemerdekaan ini dengan belajar, dengan kejujuran, idealisme, sehingga memperpersempit celah terjadinya KKN, bagi yang menjadi pejabat nantinya berlakulah adil kepada masyarakat, bantulah orang yang tidak mampu, fakir miskin anak-anak terlantar, dan hamba sahaya. Kemerdekaan ini selalu di uji, mulai dari pemebrontyaan PKI dimadium hingga menjalas ke darah-daerah, presiden kirta Bpak Suharto trelah berjasa untuk mempertahan negara ini, dialah satu sayunya pahlawan kita, dia berhasil mengahncurkan Partai Komunis Indonesia Hingga keakar-akarnya. Untuk menajaga kejadian itu tidak terulang lagi, dibuat undang-undang, agar tidak mengangkat PNS orang yang berhubungan lanmgsung dengan sejarah PKI’’.
‘’Maksud Ibu, bagai mana, saya tidak mengerti’’, tanya Badawi dikursi belakang.
‘’Begini, kalau ada nenek atau kakaek, ayah, saudaranya dahulu terlibat membanti pekerjaan ataupun misi PKI di Indonesi ini, dilarang menajdi PNS, ini demi menjaga keutuhan negar kesatuan kita, termasuk orang yang keturunan langsung dari antek-antek PKI’’, tegas Bu Guru.
Sementara Azam di kursi belakang diam seribu bahasa, kata-kata seperti itu sudah sering dia dengar, dia sendiri samapi sekarang harus menanggung dosa bawaan dario sang kakek sewaktu menjadi Wali Nagari Bukit Gadang, pemerintahan Pusat mengahdiahkan Gelar pahalawan kepada kakeknya setrelah kekek rela dicap sebagai nateknya PKI. Iya, pengorbanan kakek Azam terlalu besai untuk kelancaran perpolitikan di negara ini dulunya, namun dosanya mungkin terlalu banyak hingga Azaam dan keluarganya harus menanggung keburukan itu, dapatkah azam diberikan gelar pahlawan oleh Pemerintahan?Azam sendiri tidak tahu.
Jam 13:30, pelajaran di sekolah hari rabu itu selesai, menjelang pulang Azam dan Ery mampir di Loker Koran di Pasar Lubuk Alung, tetapi Azam tidak juga menemukan Si Don di Pasar, koran itu belum dia baca, rencananya mau mampir melihat kondisi Ape. Sampai di sana, ternyata Ape telah dipindahkan oleh orangtaunya entah kemana, begitulah keterangan yang diberikan H. Khaidir kepada Azam dan Ery. Dalam perjalanan pulang itu, Azam menyempatkan melihat halaman utaama Koran. Azam sekelabat melihat 2 pemuda orang pemuda berjeket sedang berbicara dengan salah seorang Warga Bukit Apar, tapi mereka tidak menyedari bahwa Azam telah melewati mereka, merekalah pemuda yang selalu datang ke Warung Mak Etek, dan juga datang ketempat Jupri dulu.
‘’Asataga! Ry, kita putar haluan ke Lubuk Alung, tapi kita lewat jalan setapak di Pantai!’’, pinta Azam
‘’ada apag Zam’’, tanya Ery penasaran
‘’sudah nanti aku terangkan’’
Hanya butuh waktu setengah jama lewat seperempat bagi Ery untuk mencapai Rumah Beben di Asam Pulau, lubuk Alung, dengan kecepatan 120 Km/Jam membuat mesin motor supra itu berasap menelusuri jalan bebatuan terkadang hanya berbentuk tanah di pinggiran pantai. Setelah sampai di tempat Beni, di Azam berbisik kepada Beni. Kaget bercampur linglung, Beni mengambil kendaraan dan memacunya kearah pasar.
‘’Ry kita pulang saja!’’
‘’sebenarnya apa yang terjadi Zam?’’
‘’demi kselamatan kamu, sebaiknya kamu jangan mengetahui’’, suara Azam meninggi. Y!.., jiak suara Azam sudah seperti ini sulit bagi Ery untuk berusaha membuka mulutnya, ribuan tanda tanya bernaung dalam pikirab Ery, tapi apa boleh buat, setelah mengantar Azam, Ery melaju Pulang ke Bukit Parupuak.
**
Azam masih memutar otak, dan berusaha menghubungkan tanda-tanda, yang ada di dalam benaknya adalah Puji mati tertembak-Si Budi akrab dengan 2 pemuda berjaket kulit-Ape di keroyok si Don-Aku diintrogasi Kepsek-Nenek Zaitun punya cucu yang dinas di Kepolisian-trerlibat-Wali nagari-Erik alias Komar juga akan mati-dua pemuda yang sama-REKAYASA!-Predy! Mungkinkah?
Azam telah berhasil mempertemukan tanda-tanda, dia minta sama Ery agar tidak di jemput dan juga tidak diantar hingga situasi aman kembali, ‘’kalau perlu kamu jauhu sya dahulu, demi keamanan dsan keselamatan kamu’’, pinta Azam kepada Eri dio Wartel. Kali ini Azam pergi ke sekolah menaiki angkot, sesmapi disekolah suasana beriubah total, dia menguping pembicaraan para Guru, persoalan tertangkapnya Si Komar TO yang kabur dari Medan ke Padang.
‘’Berdasarkan informasi terbaru dari koran Harian Umum Kota Padang, ada lagi jaringan lanjutan Si Komar di Lubuk Alung ini ya Buk?’’, cerita Buk Wati kepada Buk Nadya Guru Agama SMA standar.
Azam yang dikejar kerisauan masih memutar otak, memang tidak seberapa siwa yang masuk sekolah waktu itu, terlebih lagi siswa yang laki-laki, Azam sendiri pahan dengan kondisi itu, tetapi Azam hanya melihat-melihat perubahan situasi, dia sendiri memilih tidak bergabung dalam mata pelajaran yang disuguhkan, warung Mak Etek pun sudah dipandang Azam tidak lagi steril-SMA-nya Azam?
Sejak kejadian ini, Azam terus mengembang potongan sajadah hadiah dari nenek, dari sana Azam dapat melihat cahaya kebenaran Hakiki yang serta merta hadir bersamaan kabut masa lalu, di balik sejadah usang itu pula gerbang-gerbang perjuangan baru, suasana baru mulai terbuka. Tapi terkadang Azam masih gamang setelah menyaksikan fatmorgana-fatamorgana hidup, azam sendiri berpikir bahwa dia terlalu muda untuk mengetahui itu semua.
SeIring berlalunya waktu, pagi-paginya Azam selalu mengarahkan kecerahan, walau terkadang awan hitam selalu muncul dari salah sudut kegamnangannya. Tapi dia masih yakin terhadap keterangan-keterangan pagi yang tersembul di balik hadiah keikhlasan nenek tersebut. Pada catur wulan ketiga di kelas III/IPS 2, Azam mencapai peringkat ke III di kelasnya. Namun Azam sendiri menginginkan kehadiran isu tersebut tidak mempengaruhi setiap orang yang mengenalnya, ternyata doa Azam terkabul, bertepatan dengan pemebrian hadiah dari sekolah setelah upacara bendera hari senen, nama siswa yang memiliki peringkat dipanggil satu persatu ke depan lapangan uapacar. Setelah beberapa urutan nama, maka tibalah saatnya urutan III /IPS 2.
‘’Sekarang bagi siswa kami Lokal III/IPS 2 yang dibacakan namanya diharap maju kedepan’’, pinta Protokol
‘’Juara ke-III kelas III/IPS 2, Ramadhatual Azam! Juara ke-II kelas III/IPS 2, Rizki Saputra! Juara ke-I kelas III/IPS 2, Sridinul Putri!. Bagi siswa kami yang disebutka namnya ini, dipersilahkan maju ke depan!’’, perintah protokol tegas.
Semua siswa yang dibacakan tersebut sudah tampil dalam bersaf di hadapn semua murid yang hadir pada waktu upacara, sekarang mereka seperti ikan asin yang dijemur ditengah teriknya matahari, kecuali seorang yang tidak tampil, protokol sudah berkali-kali membacakan nama yang sama, namun Azam masih tetap pada penderiannya, Azam hany bilang dalam hati.
‘’Aku belum berhak menyandang jura apapun dan tidak akan pernah men yandang juara apapun, selama kepicikan masih bercokol di Bumi ini’’, lirihnya.
Hanya seorang guru yang percaya bahwa yang bernama Azam layak tampil didepan seperti siswa yang lain, dia terssebur adalah Ibu Armeni wali kelas Azam sendiri. Semenentara di susut yang lain, seiswa-siswa lain seakan terpukau, tidak percaya bahwa Azam seorang yang dinilai berwatak buruk, keras, suka berkelahi dan membuat onar tiba-tiba namanya dibacakan berulang-ulang dihadapan khalayak ramai.
Sejurus dengan itu mereka yang menjadi teman Azam atau berpura-pura menjadi teman Azam terharu akan teguhan pendirian Azam, padahal sebenarnya Azam merasa malu dan belum pantas menyandang Juara tersebut. Namun diantara mereka tiada seorang pun yang mampu mengusik kekhusukan Azam ketika itu, mereka masih takut bercampur segan, ada sebagian yang hormat, dan ada pula sebagin yang benci.
Setelah hadiah dibagikan kepada masing-masing juara, semua murid masuk kelas, sudah bisa ditebak apa yang terjadi kemudian. Para guru mulai menggunjingkan nama Azam di dalam kantor, ada sebagai bilang tidak yakin dengan juaranya Azam, jangan-jangan hasil rekayasa belaka, ada yang menyebut Azam anak yang putut dikeluarkan dari sekolah ini, dan ada juga yang membilang preman pasar, mafia, dan segala macamnya. Tapi bagi Azam sembilu-sembilu itu sudah tidak mampu menoreh kulit Azam, hujan di daun, semuanya telah berlalu, selesai sudah studinya di SMA itu. Sekarang Azam ingin melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negri di Kota Padang.
Sebelum Azam menuju rumah, sendiri, Azam masih menyempatkan diri untuk mampir ke tempat predy, tapi yang ditemuinya di sana hanya Ani, adik predy yang perempun, seperti biasanya Azam selalu minum es jeruk tapi kali ini Azam sendiri yang meminta kepada Ani. Azam memulai pembicaraan.
‘’Maaf, ini adik Abang Predy yang bernama Ani ya?’’
‘’Iya.., Bang! Kok tahu?’’
‘’Abangmu pernah cerita! Sekarag Abang Predy dimana?’’
‘’Abang ketinggalan informasi, sekarang Bang predy direkrut oleh BIN, sekarang Bang predy mengikuti tes tahap terkhir di sana!’’
‘’Oh.., begitu!, terimakasih ya! Ani, berapa semua?’’, ucap Azam sayup dan sedikit lirih
‘’Rp. 2000, 00 saja Bang!’’
Azam mengeluarkan uang ribuan dua buah, kemudian memberikannya kepada Ani.
‘’sekali lagi terimakasih ya Ani’’, Azam pun berlalu.
‘’Oh.., iya Bang, Abang Predy kirim terimakasih pada Abang’’, teriak Ani dari kejauhan.
‘’sama-sama’’, timpal Azam.
Entah apalagi yang dirasakan pemuda itu, semua orang mau ..., ya! semua orang mau berhasil, begitulah kata-kata terkhir yang terbesit dalam hati Azam.


12. MENDUNG

Di suatu pagi awal tahun 2002, Desi asyik bercengkrama dengan Ririt, memang udara dipagi hari itu tidak terlalu dingin, apalagi Universitas Andalas terletak diperbukitan yang jauh dari pusat kota, jadi terhindar dari segala kebisingan. Segala macam pepohonan tumbuh disana, dimulai dari pohon beringin, pohon karimuntiang, pohon rambutan, hingga kepohon idealisme. Bukit karimuntiang begitulah tempat itu dinamakan oleh masyarakat setempat. Yang paling membut mahasiswa betah berlama-lam di kampus adalah udara sejuknya selalu berhembus membelai sehingga mahasiswa banyak yang terbawa kantuk saat sore menjelang.
Persoalan sarana tidak diragukan lagi, komputer, internet, perpustakan yang terbesar di Kota Padang yang setengah jadi, 23 bus kampus selalu siap sedia mengantarkan mahasiswa kekelas masing-masing, asyiknya lagi bus ini juga diperbolehkan disewa oleh masyarakat setempat, ada yang menyewa hanya sekedar jalan-jalan, run away, hingga takziah apabila ada salah seorag mahasiswa yang sakit atau meninggal dunia. Staf pengajar yang berskala nasional maupun internasional tersedia ini kampus ini. Hingga saat itu tercatat pada masing-masing fakultas diasuh oleh 10 orang guru besar, semuanya lulusan luar negri. Aduh betapa nikamtnya mengecap pendidikan tinggi di Universitas ini. Di masing-masing fakultas juga terdapat perpustakaan, tempat ini selalu diramaikan oleh mahasiswa yang mau bikin tugas, buku-bukunya banyak, sumber dana petama adalah dari sumbangan sonior-sonior yang akan diwisuda.
‘’Rit? Tau nggak, saya pernah mendengar omongan teman-teman mahasiswa lain di atas bus kampus tadi pagi!’’, pancing Desy menghilangkan kantuknya, kemaren malam Desy memang kurang tidur.
‘’memangnya mereka bialang apa Ci?’’, timpal Ririt.
‘’katanya jika ada orang yang bertanya kamu kuliah di mana? Kita menjawab kuliah di Unes, mereka bilang, Eh.., bisa tu?’’, katanya
‘’trus!’’
‘’jika kita menjawab kuliah di UBH, mereka bilang, Eh.., kaya tu?’’
‘’Trus!’’
‘’jika kita menjawab kuliah di Universitas Negri Padang , mereka bilang, Eh.., Guru tu? Katanya’’
‘’Trus!’’
‘’jika kita menjawab kuliah di Universitas Andalas, mereka bilang, Eh.., pintar tu? kata mereka’’
‘’trus!’’
‘’Ih.., kamu terus!, terus! Terus kemana? Nanti tabrakan!’’
‘’Ih.., Cici bisa aja!’’
‘’Habis terus!, terus!, gak ada belokannya!, jalan ke kampus kita kan banyak belokannya!’’
‘’Ha..!....ha...ha..!’’, mereka larut dalam tawa.
‘’Iyalah Ci, kampus kitakan no 2 di Sumatra, dari dulu tamatan Universitas ini sangat dihargai orang di manapun, kalau tidak, tidak mungkin dijuluki Universitas Andalan, memang andalan semua orang’’, cetus Ririt.
‘’Iya, kampus kita termegah di Asia Tenggara, betul gak?’’
Sem,entara itu di pelataran parkir yang tidak jauh dari Rektorat Kampus, terlihat sosok laki-laki yang tinggi semampai, kulit sawo matang mengkilat diterpa sinar tengah hari. Kemejanya yang putih kini kuyup oleh keringat yang membanjiri seluruh pori-pori tubuh. Terlihat warnanya agak menguning karena sering dipakai, tapi baginya baju itu adalah hadiah terindah yang pernah di milikinya setelah ditinggal pergi sang Ayah untuk selamanya, kecelakaan maut di ujung Desember 2001 itu telah merenggut tulang punggung satu-satunya, padahal masih banyak orang yang bergantung di pundak tua tersebut, 3 orang adik perempuan yang masih perlu kasih sayang sang Ayah sekarang masih duduk dibangku SMA, SLTP, SD dan juga termasuk dirinya sendiri. Pilunya kejadian itu menyusup hingga ke seluruh persendian tulang belulang, namun ada secercah cahaya yang sangat dia dambakan, jalan terang itu mulai tampak setelah mendapatkan PMDK di Sastra Indonesia Universitas Andalas.
Tetapi hanya kemeja putih itu yang dimilikinya saat memasuki kelas pertama, sebab terhitung tahun 2002 mahasiswa yang berpakaian kaos oblong dan bersandal jepit tidak dibenarkan memasuki ruang kelas, apalagi ke Dekanat Fakultas. Dia tidak mau memikirkan apa yang akan terjadi esok, yang jelas setiap pulang kuliah dia selalu mencuci kemeja itu lalu menggantungnya dengan anger yang dipinjam dari teman satu tempat tinggal di musolla. Sebenarnya kemeja itu adalah pemberian ayahnya di Pasar Banto Bukittinggi, kata Ayahnya baju itu untung penjualan cengkeh yang dipetik kemaren. Sekarang baju itu telah menguning, pundaknya sudah sedikit robek dimakan asinnya keringat.
Sesampai di Fakultas, dia langsung melancong ke perpustakaan sebab perpustakaan baginya adalah sebaiknya tempat untuk melumat ide dan memutar otak. Dia mengambil sebuah koran yang berlabel Harian Umum Singgalang, dibolak baliklah koran tersebut hingga lusush, ya! masih di meja yang sama terdapat pula koran Padang Ekspres, Republika, semuanya telah dibaca dan dipejari.
‘’Oh.., bisa ya!’’, ucapnya tiba-tiba, ‘’ternyata di koran-koran ini menyediakan kolom-kolom bagi penulis lepas’’, ujarnya dalam hati dan kemudian diiringi dengan angguk-anggukan kecil. Seketika dia teringat kembali kepada 3 orang adik perempuannya, semangatnya seakan sempurna pulih, walau dia sendiri tidak tahu akan bertahan sampai kapan.
‘’Akan saya kuliahkan kalian semua, adek-adekku sayang!’’, matanya meleleh.
‘’Kenapa Zul? kamu sedih?’’, tegur lelaki berjenggot yang muncul tiba-tiba dari belakangnya.
‘’Ah.., tidak, hanya teringat adek-adek saya yang masih di kampung, kamu sendiri sedang mencari apa Das?’’
‘’saya sedang perlu Koran Republika, minggu kemaren saya mengirim cerpen keredaksi, saya tidak tahu apakah diterbitkan atau tidak!’’
‘’Ini yang kamu cari?’’, sambil memberikan koran Republika.
‘’Oh.., terimakasih, Alhamdulillah Cerpen saya diterbitkan Redaksi!’’
‘’jadi Darman Putra itu kamu?’’
‘’Iya, Zul, Alhamdulillah bisa untuk ansuran bayar tunggakan SPP’’
‘’Zul, sebenarnya saya juga ingin menulis seperti kamu itu, tapi saya masih bingung dari mana harus memulainya, apa kamu mau menunjuk ajari saya Das?’’
‘’Ah.., kamu jangan terlalu meuji, aku takut menjadi sombong’’
‘’Das ini serius! Saya mempunyai adek perempuan 3 orang mereka masih membutuhkan bantuan biaya, Ibu tidak akan sanggup membiayai mereke bertiga, Ibu saya petani’’, Zulfakri menunduk.
‘’Memangnya Ayah kamu Di mana?’’
‘’Ayah kami meninggal ditempat saat kecelakaan maut menimpanya sepulang dari pasar Banto!’’
‘’Innalillah!, maaf ya Zul, saya tidak menyangka, saya pikir saya mahasiswa yang paling susah di Fakultas ini, ternyata masih ada orang yang lebih susah dari pada saya’’
‘’Tidak apa Das, saya mau belajar menulis’’
‘’kamu bisa pasti bisa Zul, semua orang pasti bisa, kata orang belum lengkap menjadi mahasiswa sastra kalu tidak bisa menulis, saya akan meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan kamu’’
‘’terimakasih ya Das’’
‘’Oh.., ya! Besok kamu kemana Zul, kalau tidak ada acara datang ya ke Taman Budaya, disana ada bedah buku menepis ombak, karya Suryadi, saya pamit dulu ya Zul, ada kuliah jam 14;30!’’
‘’sekali lagi teimakasih ya Das’’
‘’Iya, sama-sama, Asalamualikum!’’
‘’Waalaikumussalam!’’
‘’Tidak percuma saya jalan kaki dari musalla ke kampus ini, ternyata saya temukan jalan baru di sini’’, hatinya girang.
Sementara di Dekanat fakultas, seorang laki-laki berkulit hitam, mondar-mandir membawa surat-surat. Dia mengetuk-ngetukan telunjuk ke kepalanya, hal itu menandakan bahwa dia sedang memikirkan jalan keluar. Sesaat dia kembeli kedalam Dekanat, setengah mengemis dia memohon kepada Bapak Badrul bagian Akademik.
‘’Pak, saya benar-benar minta bantuan Bapak!’’
‘’Tetapi saudara tidak ada tanda slip setoran dari Bank BNI, Saudara harus mempunyai slip setoran itu dulu’’
‘’tapi waktu pendaftaran tinggal sehari lagi Pak!’’
‘’Y saudara kan bisa meminjam uang dulu sama teman atau jemput kekampung dulu!’’
‘’Terimakasih ya Pak’’
‘’Iya, sama-sama, tapi besok hari jumat, tapi saya akan tunggu saudara sampai jam 3 sore’’
‘’Sekali lagi terimakasih ya Pak’’, sambil berlalu dari hadapan Pak Badrul. Dengan wajah sedikit kecewa dan penasaran dia keluar dari Dekanat, sepertinya dia tergesa-gesa, sehingga tanpa disengaja bersenggolan dengan laki-laki yang ber kemeja Putih.
‘’Aduh!’’
‘’Maaf Bang!’’, wajahnya yang hitamnya bertambah hitam karena malu.
‘’Ga apa-apa!, maaf seperinya saudara tergesa-gesa sekali ada apa? Atau mungkin saya bisa membantu!’’, ucap laki-laki berkemeja putih, sebab baginya ini adala cara yang terbaik untuk mencari persahabatan.
‘’Begini.., Eh .. maaf saya Azam dari Bukit gadang Pariaman!’’, Azam mengacungkan salam persahabatan.
‘’saya Zul bahkri dari Bukittinggi!’’
‘’Aku punya masalah yang agak rumit, samua belum bayar uang POTMAS, jadi saya belum bisa mengembalikan KRS ini, pengembaliannya terakhir besok! Saya bingung Zul’’, ucapnya lirih.
‘’POTMAS kan Rp 200.000, 00, kamu sudah coba sampikan keluhan itu kepada PA kamu?’’
‘’Belum Zul, saya malu! Itu menyangkut persoalan uang, hatiku agak berat untuk meminta bantuan pada orang lain’’
‘’kanapa harus malu, kamukan tidak mencuri! Coba saja dulu, mana tahu dia PA bisa bantu kamu! atau kamu pulang kampung saja dulu’’
‘’Sulit Zul, hutang gadai tanah kemaren belum ditebus!’’
‘’Kok kamu sampai menggadai tanah Zam?’’
‘’Biaya pendaftaran kemaren 1.500.000, 00, itupun sudah digabungkan dengan uang Nenek Rp. 500.000, 00’’
‘’kalau kamu mau, saya mau menemani kamu menemui PA!’’
‘’PA saya sekarang lagi di dalam kelas, jam 13:00 baru keluar Zul!’’
‘’kita tunggu saja hingga dia keluar kelas, PA kamu siapa? kalau saya boleh tahu?’’
‘’PA saya Drs. Muchlis A, Zul!’’
‘’Oh.., kamu mahasiswa Sastra Minangkabau?’’
‘’Iya Zul, itulah jurusan yang saya mampu kejar di waktu SPMB dulu!’’
‘’kamu jangan sedih begitu Zam, kamu kenal Suryadi? Dia sekarang di Belanda lagi mengambil Program Doktor di sana! kamu tahu tidak dia Alumni dan Jurusan apa?’’
‘’Tidak Zul, sayakan orang baru di sini!’’
‘’saya juga orang baru, tapi kebetulan teman saya Das menyampaikan kepada saya bahwa dia Alumni Sastra Minangkabau angkatan 86, kebetulan sekali besok di Taman Budaya ada acara bedah buku menantang ombak, dialah penulisnya, kalau kamu tidak sibuk kita bisa berangkat bersama besok! Saya penasaran ingin melihatnya!’’
‘’Baiklah kalau begitu, kita barengan saja besok!’’
‘’Zul! itu Pak Muchlis!’’
‘’betul, saya akan temui dia, terimaksih ya Zul, besok saya tunggu di Pasar Baru jam 9 pagi!’’
‘’Baiklah kalau begitu, saya duluan pulang ya Zam?’’
‘’Hati-hati ya Zul!
Azam berlari-lari kecil menemui Pak Muchlis di dalam ruangan Jurusan Sastra Minangkabau, sementara Zul berjalan kaki menuju musolla yang terletak di bawah gerbang Universitas Andalan.
**
Seperti biasa, selesai kuliah di gedung C, menunggu singgahnya mendung di sore hari, Azam berkumpul bersama teman-teman barunya di pelataran Gedung C, mereka kelihatan akrab, maklum baru saja berpindah dari sekolah menengah ke perguruan tinggi. Keakraban ini wajar saja terjadi di saat awal masuk kuliah. Entah esok, lusa, sebulan atau setahun lagi keakraban yang serupa akan terasa sangat langka bagi mereka yang sudah mempuyai kesibukan masing-masing, organisasi, pacaran, dan bahkan kerja sambil kuliah pun kerap dialami mahasiswa di kampus ini, hal ini mereka lakukan untuk memenuhi biaya persemester atau biaya kos. Azam ialah salah satu mahasiswa yang bekerja sambil kuliah, selesai kuliah di sore hari Azam langsung menuju Air Cemar, ini adalah salah satu tempat bagi Azam untuk menutupi biaya perkuliahannya, sebab janji ini tidak bisa tidak, harus ditunaikan Azam, jika tidak karena janji ini, Azam belum tentu sampai ke kampus termegah ini. Karena janji itu pula Azam diizinkan oleh kedua orangtuanya melanjutkan pendidikan. Sengaja, kegiatan Azam yang dipandang rendahan oleh sebagian mahasiswa ini disembunyikan dari teman-teman sesama mahasiswa. Bukan malu yang ditakuti Azam, tetapi fitnah yang dapat menghancurkannya seperti dulu.
Tetapi, ketahanan tubuh Azam yang makin melemah, mengundang tipus untuk menjanggiti tubuhnya, hal itu memaksa Azam meninggalkan pintu rezkinya Air Cemar. Namun harapan tidak terhenti hanya sampai di situ, Azam yang sudah terbiasa memutar otak sekarang berpikir terbalik, dia mulai memikirkan lumbung uang yang dihasilkan dengan pikiran dan bukan dengan fisik lagi, sebab bagaimanapun juga Azam harus membiasakan dirinya seperti itu, Ya! Azam harus jadi pemikir yang mampu melahirkan ide-ide cemerlang.
‘’Ya! Aku harus jadi yang terbaik!’’, teriak Azam dalam hati.
Dalam suasana tunggu itu, tiba-tiba onggokan mahasiswa itu dikejutkan oleh suara halilintar disambut dengan hujan desar yang diiringi badai. Paramahasiswa berhamburan menacar tempat berteduh, kelompok Azam bersama teman-temannya juga tidak luput dari amukan cuaca di sore itu. Halilintar yang sambar menyambar sebarkan tanda-tanda bemberontakan, ketidakrelaan, pilu namun penuh pertualangan.
Belum sampai satu jam hujan membasahi bumi karimuntiang, tanah-tanah perbukitan yang bercampur itu telah memberi mewarnai awal kehidupan Azam, air-air yang mengalair di sepanjang jalan yang lereng, seakan menyapu semua ketidakadilan yang mulai menapakan kakinya di dunia intelektual. Azam terus saja menghisap rokok sampoerna yang hanya tinggal sebatang, maklum dinginnya angin sore tidaklah seperti biasanya, kali ini angin menyampai kabar-kabar yang masih jauh dari jangkauan, sesekali merunduk kemudian kembaliu terbang memutar-mutar kepada siapa saja yang pantas menerima kabar itu. Sejurus kemudian, kabar itu menjelma menjadi sebuah berita, ia terhenti tepat di hadapan Azam. Azam kaget dan jiwanya membaur bersama kebimbangan, saat dikejutkan oleh munculnya suara laki-laki dari belakang. Wajahnya sedikit kusut, jiwanya kuyup walau hujan sudah mulai reda.
‘’Zam!’’, tegurnya, canda teman-teman Azam terhenti spontan, saat nama Azam dipanggil oleh laki-laki itu, dia pun menoleh ke belakang.
‘’Oh.., Bang Mansyur!’’, wajah Azam keheranan, namun di dalam batinnya ribuan tanda tanya meronta.
‘’Begini Zam, Emakmu tadi terjatuh, sekarang dia berada di Rumah Sakit Jati, dia tidak apa-apa, kamu bisa ikut dengan saya sekarang’’, ucap Mansyur memapah.
Tapi Azam sudah mulai merangkai tanda-tanda alam yang sedari tadi bertubi-tubi telah dikirimkan kepadanya, kata tidak apa-apa mempunyai makna lain bagi Azam, Azam pamit kepada teman-teman sekelas, kemudian menguntiti Mansyur dari belakang. Sepanjang perjalanan Azam hanya memaku diri, tiada satu katapun yang mampu diungkapankan, tiada satu puisi pun yang mampu dia rangkai, atau sekurang-kurangnya untuk merangkai langkah kaki yang semakin berserakan. Sementara, Mansyur sendiri agak sedikit cemas melihat Azam, dimulai perubahan raut muka hingga gemetar yang dia rasakan saat memegang pergelangan tangan Azam diwaktu melintasi jalan raya. Mansyur menyetop sebuah angkot, mereka berdua naik menuji Rumah Sakit jati, Azam semakin dingin saat sorot matanya tajam membelah kepura-puraan Mansyur.
‘’Bang! Kejadiannya seperti apa? Bisa Abang jelaskan kepada say sekarang?’’, pinta Azam.
‘’Zam tenangkan dirimu, dia tidak apa-apa, berdoalah!’’
Azam semakin diaduk oleh 51% kemungkinan, dia tahu dikampung sedang musim durian, biasanya konflik sering terjadi sebab durian tersebut tumbuh berdekatan dengan Tanah Nenek Zaitun dan nenek Cumbu, jika Durian sedang berbuah anak-anak dan cucu-cucu mereka sering bertingkah aneh, mengesalkan penunggu durian lain seperi adek-adek Azam, kemudian fenomena sengketa tanah yang sudah mulai tercium oleh Azam saat pulang kampung minggu kemaren, Azam belum mau berpikir sejauh itu. Ya! Kemaren nenek Cumbu memnyumpahi adik Azam Novembri dengan cucu orang menompang.
‘’Hei.., cecunguk kemarikan durian itu!, ini bukan tanah pusaka kamu tau apa tidak?’’, hardiknya kepada Novembri. Sesaat kemudian didapati Novembri telah tersedu-sedu saat duriannya itu direbut paksa hingga tangannya berdarah. Nenek sebagai orang yang tertua tinggal di tanah pusaka itu, menasehati Nenek Cumbu, tetapi nenek Zaitun ikut kebakaran jenggot, sambil menunjuk-nunjuk ke arah nenek.
‘’Uni! Tolong di ajari cucu Uni itu, masak durian sudah ada di tangan Si Cumbu mau diambil juga, ajari dia bagaimana bersikap jangan seperti PKI!.’’
Jantung nenek mulai terbakar, tapi nenek tidak mau meladeni mereka berdua, Nenek masih ingat masa lalu, karena nenek ada mereka itu ada, kalau saja tidak dibawa oleh suaminya.., entahlah. Memang tanah yang ditinggali nenek ialah Tanah Pusaka hibah dari DT. Sati penghulu suku Jambak yang tak lain adalah penghulu suku nenek sendiri.
‘’Mudah-mudahan hayalan saya tidak terwujud’’, ucap Azam tiba-tiba.
‘’Maksumu apa Zam?’’, tanya Mansyur.
‘’Ah.., tidak!’’, nada suara Azam sudah agak sedikit datar.
Setengah jam kemudian, Azam menadapati dirinya bersama Symasul berada di depan Unit Gawat Darurat, disana sudah menunggu paman Azam dan Emak, wajah mereka yang sunyi memancarkan aura kesediahan, hampir tidak ada harapan yang digambarkan oleh wajah-wajah tua itu. Azam sadar, bahwa neneklah yang terkena musibah dan bukan emak seperti dikatakan Mansyur, Azam juga memperhatikan wajah Mansyur yang kelelahan, Ya! Telah terjadi Miss Komunikasi antara Mansyur dengan Paman si penyampai berita. Bersamaan dengan datang berita, Mansyur saat itu sedang berada di Air Cemar, dia hanya menerima kabar dari Paman Azam melalui telpon.
‘’Nenek kamu sedang dioperasi sekarang, kakinya terluka sedikit!’’, sambut Emak.
‘’Cerita bagaimana Mak?’’
‘’seperti kamu tahu, dia keras kepala, sudah kubilang, tunggu pagi agak terang baru berangkat ketempat perhelatan! Tapi dia pergi juga!’’
‘’Lalu!’’
‘’Dia ditabrak motor Salim dari belakang! Saat itu tiada satupun orang berai menolong, kata nya takut melihat darahnya yang keluar banyak, setelah 5 menit Junaidi mengangkat nenek dan membawanya ke rumah H. Khaidir, dia memberikan rujukan agar nenek dibawa kerumah sakit ini!’’.
Azam larut ke dalam ketidak berdayaannya.
‘’Mengapa Salim seorang anak yang idiot, tidak bisa membawa motor bisa menabrak nenek, bukankah Si Salim kemaren habis memukul Novembri saat berebut durian yang Jatuh?’’, terawang Azam. Azam mulai tersedu-sedu di ujung kursi ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat.
Tiga hari di dalam ruangan Gawat Darurat adalah waktu maksimal bagi pasien melewati masa-masa kritis, kata sebagin orang kita harus banyak berdoa dan baca Surat Yasin pada hari ketiga ini. Rabu Malm Jumadil Akhir, Azam mengeluarkan Al Quran kecil yang terbungkus oleh potongan sajadah tipsr dari dalam tas sandang, Azam pun melakukan seerti yang ditakwilkan orang-orang, Azam pun tertidur kelelahan di koridor Instalasi Gawat Darurat. Sementara Paman Azam masih menerawang sambil menghisap rokok Panama yang dibelikan ibi sesampai di rmah sakit, entah berapa batang Panama lagi yang harus dihabiskan paman, hingga jiwanya benar-benar menyatu dengan tubunyanya yang ringan. Emak sendiri sudah bersikap kedokter-dokteran, dia terus memandangi senyum Nenek dalam ketidaksadarannya.
Sepertiga malam mulai turun, seorang dokter muda keluar dari ruangan Intalasi Gawat Darurat.
‘’Keluarga Gandoriah?’’, suara dokter terdengar sayup.
Azam tersintak diikuti Emak dan Paman, mereka saling berpandangan cemas.
‘’Saya Dok!’’, tangkis Paman.
‘’Ibu Anda sudah beristrihat damai, baru saja sang pemilik datang berkunjung, kemudian membawanya serta’’.
‘’Innalilalhi Wainnailahi Rajiun’’, ucap mereka serentak.
Tiada seorang pun yang melepas kepergian nenek untuk selamanya, tangis-tangis ketidakberdayaaan tertahan membuat nafas mereka sesak, namun senyum nenek yang terkhir memaksa Emak, Paman, dan Azam untuk rela.
‘’Tuhan lebih sayang nenek!, tuhan lebih mampu menjaga nenek dari segala dera dan derita dibanding kita’’, ucap azam lirih.

13. SENGKETA TANAH

Minggu pagi itu, mentari terbangun agak lambat dari hari biasa, terpaan angin perkampungan membuat orang-orang malas beraktifitas. Sepertinya akan datang badai lalu disusuli oleh hujan. Sebagai daerah yang tergolong tradisisonal, masyarakat percaya tanda-tanda alam, seperti dalam pepatahnya, ‘’gabak di hulu tando ka hujan’’ (mendung di langit petanda akan datang hujan). Kenyataan seperti itu memang berlaku di Nagari Bukit Gadang hingga sekarang, berdasarkan perkembangan zaman kepercayaan seperti itu sudah mulai tidak mangkus. Sebab kondisi lapisan ozon yang telah menipis, gundulnya hutan, dan pembuangan sampah di mana saja, mampu mengalihkan makna dari kepercayaan itu menjadi sebuah mitos atau mungkin jatuh ke arah Syirik. Tetapi generasi penerus yang telah menyecap pendidikan tinggi jauh dari kampung terkadang selalu menenggelamkan pengertian ke dalam hal-hal yang logis menurut pandangannya sendiri, baginya tanda-tanda alam seperti ini dianggap tidak pernah ada. Begitulah dua moderen selalu membuang jasa, jasa yang perenah memebesarkannya, jasa yang membuat dia ada dan mengada-ngada.
Ya! Kehidupan kampung memang damai, tentram, gemah ripah loh jenawai, untuk sekedar makan kita tidak perlu mengemis di kampung, sebab kampung adalah ladangnya beras, tetapi kampung pulalah yang melahirkan kemunafikan, ketamakan, keangkuhan, hingga lambat laun dia menjadi sebuah realita yang mengganas.
Nenek cumbu bersaudara merasa puas tinggal di kampung, apa yang dubutuhkan segala ada, tersedia dalam berbagai bentuk dan berbagai rupa. Satu harapan yang membuat dia mungkin bahagia, kepulangan cucu yang baru hanya baru berupa kabar yang dia terima. Kata anggrani anaknya yang pertama, cucunya itu cantik, di pinggiran Jakarta Tanah Abang, cucunya itu sekuntum bunga anggrek bulan, sering dikejar laki-laki yang tau dengan keindahan, sekarang dia berhasil menamatkan studinya di Universitas terbaik di Jakarta. Nenek cumbu rindu dan ingin rasanya membandingkan kecantikan cucunya itu dengan usianya di waktu muda dulu hingga dirinya berakhir di tangan laki-laki yang terpaksa dia cintai seumur hidupnya.
Di usia yang sudah uzur itu, nenek cumbu tidak mau berhenti berharap akan nasib baik akan menjemput dan membawa seluruh kepahitanya. Ternyata doa yang terpatah-patah itu berkhir hari Sabtu kemaren, saat-saat dia benar-benar menyaksikan Dwiyanti cucunya yang tercantik. Memang di kampung sakral itu belum ada seorang gadis pun yang mampu menyetarai dirinya. Ya! Dwiyanti sudah mendapatkan anugrah yang terlalu agung dari yang maha kuasa, sebagai seorang gadis muda lahir dan besar di Kota Besar, dia juga ditakdirkan sekreatif mungkin dalam menjalani hidup ini. Entah apa yang terbesit di hati Nenek cumbu waktu itu, akhirnya terpaksa mengurungkan niat ciptakan perbandingan kecantikan, dia merasa tidak pantas mengatakan bahwa dia dulu itu cantik, diminati banyak jejaka muda yang kaya-kaya lagi gagah. Sesungguhnya tiada yang kurang dimiliki oleh Nenek cumbu, harta pusaka, sawah yang berhektar-hektar, kuturunan yang banyak meski hidup diperantauan, hingga suku Jambak yang diwarisi anak cucunya didapat dari hasil kasih sayang Buyung Labai si suami yang berawal dari penjual Pisang Pauh Kambar. Berbeda dengan saudaranya Nenek Zaitun, dia terlahir kembar bersama si Cumbu, namun jalan hidup yang dia pilih adalah wujud kekecewaan yang mendalam dari kehidupan, yang dia mampu lakukan hanya hidup menumpang dari keringat Nenek cumbu, dia memang tidak berminat dengan keduniawian, tidak pula iri kepada si Cumbu menikah dengan Yung Labai, baginya kasih sayang Yung Labai hanyalah tanggung jawab seorang manusia ke pada sesama, jadi wajar saja situasi itu dia nikmati.
Sekarang Nenek zaitun juga mendapat kelimpahan rasa bahagia, meskipun Dwiyanti taidak berasal langsung dari rahimnya. Baginya kehadiran Dwiyanti di hari-hari yang senja seumpama mendapat maina baru. Semua kisah yang telah dilalui telah didongengkan kepada Dwiyanti, mulai dari kisah pelarian, bertemu sipenjual pisang, di gagahi sebelum naik kereta, hinga hadir di tanah pusaka suku jambak.
Namun bagi Dwiyanti itu hanyalah kisah sejarah buruk yang kadang-kadang membuatnya getir tapi tidak gentar, dia tahu kecantikannya tetapi tidak ada sesuatu apapun yang membawa dirinya kepada kesombongan. Baru saja 1 bulan sampai dikampung, Dwi sudah akrab dengan masyarakat sekitar, termasuk tertua-tertua adat, pejabat hingga politisi Kabupaten. Seperti kebiasan orang kota setiap pagi Dwi harus keluar dari rumah, dia bisa jalan-jalan ke tempat-tempat wisata, kepasar, sepertinya dia ingin menaklukan seluruh wilayah. Inilah bakat petualangan yang di pelajarinya sewaktu bergabung dengan Aktifis HMI. Sering orang terpikat dengan cara dia berbicara, sikap yang membuat orang penarasan. Hanya satu kekurang Dwi, dia tidak bisa memasak.
Dwiyanti juga mendengar nenek cumbu bercerita tentang tanah pusaka yang dia dapatkan dari suku jambak, kata nenek Cumbu dudlunya tanah yang dia tempati sangatlah luas, setelah Pik Uniang menadi kepoakan di Bawah Lutut dari suku jambak, dia juga diterima tinggal di tanah pusaka jambak, akhirnya jatah Nenek cumbu berkurang. Bagi nenek cumbu Nenek Uniang datang setelah bebarapa tahun setelah kedatangannya, diawali pembersihan besar-besaran yang dilakukan pemerintah.
‘’Suku jambak kasihan melihat nasib yang menimpa Nenek Uniang!’’, jelas Nenek Cumbu.
‘’Kasihan kenapa Nek?’’, tanya Dwi Penasaran.
‘’Dulu dia itu dikategorikan orang buangan, suaminya terlibat’’
Ya! Kata-kata terlibar bagi Dwi sudah sering didengarnya, walau dia jauh dari kampung.
‘’terlibatkan sudah kata-kata umum, disamakan dengan antek-anteknya PKI ya Nek?’’
‘’Iya, tami tidak menggunakan kata itu di sini, kami masih menghargai pertobatannya’’
Mulai saat itu, Dwi membenci tetangga yang bersebelahan dengan neneknya itu, dia menjadi dendam, karena dialah neneknya menderita seperti ini, kalau tidak Kakek buyutnya mungkin masih hidup samapi sekarang.
‘’Saya ingin mengusir mereka dari sini!, sebab mereka sudah mempunyai tanah di Gunung Besi’’, tegas nenek
‘’tapi kenapa mereka masih meilih tinggal di sisni nek?’’
‘’itu karena sifatnya sudah seperti itu, kamu lupa dia itu siapa? Setiap kali durian berbuah mereka selalu meu meiliki, dia perintahkan anak cucunya untuk turut serta menunggu durian, padahal yang menanam durian itu adalah kakek kamu, memang sebagian batang durian itu sudah berada di tanahnya mereka, tapi itu karena batang durian itu sudah lama dan besar, jadi uratnya yang tunggang merambat ke tanah mereka, Eh.., enak saja mereka mengatakan bahwa durian itu kekek mereka yang menanam, malahan kita yang dikatakan orang yang menompang, sakit hati nenek!’’
‘’Iya, Dwi sudah mengerti’’, diiringi dengan anggukan-anggukan kecil.
Lambat laun, sikap Dwiyanti sudah mulai mengendus-endus, dia berusaha mencari data dari masyarakat kampung, jawabannya hampir bersamaan. Dwi sendiri pernah melihat nenek cumbu berebut durian dengan si Yos, tangn Yos berdarah, dia mengadu sama neneknya, saat itu m,ulailah pertengkaran-perengkaran kecil, sudah bisa di tebak siapa yang menang, jelas orang yang mempunyai batang durian. Bahkan samapi buah durian itu habis pertengkaran terus terjadi, akata nenek hal itu terjadi setiap kali durain berbuah, sehingga nenek cumbu jenuh, ujung-ujungnya nenek cumbu mengadukan kejadian itu kepada Wali Nagari, tetapi jawab wali nagari itu keitu saja, ‘’tenang saja dia tidak akan berani!’’. Tetapi di saat Dwi mendatangi Pak Wali kerumahnya ucapan Pak Wali sudah berubah, ‘’tenang saja semua bisa di atur!’’, tetapi realisasinya tidak kunjung terjadi. Dwi bingunging sehinga di nekat menghubungi kakanya yang sudah pinadh tugas di jakarta, dulunya kakanya itu seorang Intel Polisi yang ditudaskan di Kabupaten, namun lambat laun karirnya melambung lalu ditarik ke Jakarta. Tetapi saat di Dwi menmghubungi kakak, tapi si kakak hanya membeikan sebuah nama yang harus di ubungi, dia adalah Bapak Harun di Kabupaten. Padahal keinginan Dwi kakaknya itu pulang dan mengurusnya secara Hukum, tetapi Dwi tidak putus Asa, dia juga tamatan Hukum, dia tahu hukum-hukum yang wajib mengayominya.
Sementara di ujung kampung Bukik Bandar, hidup sebuah keluarga yang sederhana, dialah anak ke 3 dari 6 orang bersaudara terlahir dari rahim Nenek uniang. Kondisi yang entah berantah memaksa dia hidup mengikuti suami yang berasal dari Bukit Bandar. Dia juga sudah membuat rumah di sana, resminya dia pun berpindah kampung. Dia memang tidak terlalu suka tinggal bersama nenek Uniang, di samping menyusahkan, gunjingan-gunjungan kerap dia dengar dari tetangga-tetangganya yang iri. Kadang-kadang dia mengajak Ibunya Nenek Uniang tinggal bersama, tetapi nenek uniang orangnya tidak mau diatur kadang tinggal di sana kadang kembali kerumahnya di Bukit Ujuang. Cucunya Si Azam sering memperingatkan, setiap Azam pulang dari padang, Azam selalu melihat nenek uniang ke Bukit Ujung dan mengajalnya ke Bukit Bandar, tetapi setelah Azam kepadang nenek kembali seperti sedia kala. Senangnya diwaktu neneknya itu mengikuti sembayang 40 , si nenek membawa kasur ke surau, jadi Azam bertambah dekat sama nenek, sebab surau tersebut terletak sepadan dengan kedua kampung itu.
Terkadang Azam sendiri kesal dengan neneknya itu, orangnya terlalu sosial, semua orang yang membutuhkan bantuan selalu dikhabulkan, dia tidak peduli kalau sikapnya itu akan bisa membahayakan. Mungkin itu cara bagi nenek Azam untuk hidup bermasyarakat. Nenek itu sendiri merasa senang melakukan tugas-tugas kemasyarakatan sehingga dia diberi jabatan sebagai orang salapan , waktu itu nenek Azam menjabat sebagai pimpinan. Jadi setiap kegiatan sosial di dalam masyarakat digelar, mulai dari kenduri perkawinan, pengangkatan penghulu dan sejenisnya, nenek Azam selalu menjadi orang yang terdepan. Tanpa disadari, Azam juga mewariusi sikap yang dimiliki nenek, hanya saja Azam kurang suk dengan sikap nenk yang sudah keterlaluan, sholatnya sering lalai demi kepentingan orang lain, Azam benci saat mendengar jawaban Wali Kampung, Azam hanya minta agar neneknya diistrirahatkan dari jabatannya, sebab neneknya itu sudah tua, tidak akan mampu lagi mengemban tugasnya yang terlalu berat, bagi Azam ini sudah termasuk exploitasi.
Minggu pagi itu nenek Azam datang marah-marah, Azam berpikir neneknya bertengkar lagi dengan tetangga.
‘’Ada apa nek, kok nenek marah-marah lagi?”, tanya azam
‘’itu si Cumbu itu, kurang ajar sekali dia, lihat adikmu ini, tangannya berdarah, padahal durian itu anaknya hanya ketika dikerongkongan saja, tetapi malahan di aniaya orang yang belum tahu apa-apa!’’
Azam melihat tangan Yos sudah dibalut dengan kain, sisatangsinya yang tertahan masih tergambar dari wajahnya yang polos.
‘’Yos! Kamu diapakan sama mereka?’’
‘’saya dapat durian, lalu tiba-tiba datang nenek cumbu bersama cucunya yang hiyam itu, durian ditanganku langsung direbut dari belakang, aku terjatuh!’’, terang Yos.
‘’lalu kepalamu yang bengkak kemaren, itu karena siapa?’’
‘’itu bukan karena durian, tapi dipukul Topik sam rudi!’’
Darah Azam turun naik seketika mendenga keterngan adiknya itu.
‘’kenapa kamu tidak bilang sama Uda? Kenapa kamu sembunyikan itu dari kami?’’
‘’Aku tidak mau mengadukan maslah perkelahian kepada siapa pun ,termasuk sam kelurga!’’
‘’tapi kamu sudah dikeroyok oleh anak cucu si cumbu itu!’’
‘’tapi aku yang salah!’’
‘’Salahmu apa?’’
‘’aku dikejar anjing si rudi, lalu aku pukul dengan kayu, kelihatan sama topik, dia adukan sama rudi, kemudian mereka mencariku di sekolah, mereka langsung memukul aku dari belakang, juga sitopik, setelah itu datang nenek mereka, dia juga ikut memukul punggungku dengan bambu!’’
Azam makin terbakar, azm tidak menerima perlakukan itu, sebab kejadian itu sudah berulang-ulang menimpa adiknya itu, Azam tidak pikiir panjang, dia langsung pergi kerumah Nenek cumbu mrina pertanggung jawaban. Keinginan Azam itu tidak tercegah oleh nenek, namun setelah Azam mendekati rumah nenek cumbu dia melihat sanak keluarga nenek cumbu reme duduk di luar, Azam pun membelokan langkahnya ke rumah neneknya, di sanapun sudah berantakan, batang pisang sudah roboh bekas ditebas parang, anak kelapa yang baru ditananm sudah terbongkar, dinding rimah nenek juga ditulis dengan huruf PKI, ikan-ikan di kolam peliharaannya sudang mengapung. Azam pun memberanikan diri ketempat nenk cumbu, sesampai di sana dia telah di hadang denga sebuah parang mengkilat di tangan Zinaldi anak nenek cumbu yang tertua.
‘’kamu mau mati kesini?’’, serobotnya seketika.
‘’Maaf da! Sebenarnya apa yang terjadi?’’, tanya Azam.
‘’jangan berlagak pilon! Kurang ajar sekali kamu itu, sudah dianggap saudara, malahan kamu itu ingin minta lebih!’’
‘’saya tidak mengeri maksud ud!’’
‘’sebenarnya keluarga kamu yang datang menumpang di sini, bukan kami, jadi alanghkah lebih baiknya jaga mulut kamu itu, tapi sekarang sudah terlambat, kamu dan keluarga kamu harus angkat kaki dari tanah kami ini!”, sambil mengayunkan parangnya ke arah azam, namun azam segera menghindar dan mengambil bambu yang ada di kainya untuk melindungi diri. Perkelahan tidak seimbang itu terjadi, azam mundur berlalri menyelamatkan diri, semetara keluarga nenek cumbu terus mengejar Azam hingga kerumah nenek, azam terus berlari, ruah nenek di robohkan mereka bersama-sama, Azam hanya terus berlari sesekali lmelirik kebelakang, kemudian api melahp rumah nenek yang terbuat dari kayu.
Sementara dari lejauhan terlihat sosok perempuan yang datang bergegas.
‘’Bagimana dwi, ketemu Bapak itu?’’, tanya Topik
‘’Ketemu!’’, imbuh Dewi dengan nada sedikit penyesalan.
‘’kamu istrirahat saja di dalam, suasana sedang panas!’’, perintah Rudi.
Di dalam kamarnya yang empuk, Dwi menangis mengingat kejadian yang baru saja menimpanya. Dia ingat sambutan ramah istri Pak Harun, anak-anaknya, tetapi setelah mereka istrinya pergi ke pasar, anak-anaknya juga pergi, kami tinggal berdua dengan Pak Harun, Dwi mengajukan keluhannya. Awalnya Bapak itu menanggapi dengan serius, tapi Dwi tidak menyanghka, lirikan mata Bapak Harun itu membuahkan petaka.
‘’Dek zaman sekarang idealisme itu akan kalah, setiap kerjaan ada upahnya, begitu juga pekerjaan yang harus akau lakukan, tentu ada upahnya, ngerti kamu?’’, ucap Bapak Harun.
‘’Maksud Bapak?’’, Dwi keheranan.
‘’kamu jangan berlagak begok begitu, kamukan anak Jakarta, seharusnya kamu lebih mengerti, kamu cantik’’, jakun Pak Harun naik turun. Pak harun dengan sigap telah menangkap Dwi dan memapahnya ke kamar istrinya. Dwi menangis, tetapi Dwi harus melakukan itu, dia cinta kepada neneknya, juag pada keluarganya, dia harus membahagiakan sang nenek. Dwi terhenti dari tangisnya dan ikut berkumpul dengan keluarga yang lair di halaman, sepertinya dwi juga siap menghadapi kemungkinan yang akan terjadi.
Semetara Azam yang masih dikejar rasa takut, hanya mampu mengunci diri dalam kamar, dia berusaha menenangkan dirinya, sesekali terbayang kilatan-kilatan parang dari keluarga nenek cumbu, lalu rumah nenek yang terbakar, ikan yang mati dan setelah itu apa lagi. Sesaat pinti diketok dari luar.
‘’Zam, kamu tidak kuliah besok, kapan berangkat ke padang?’’, tanya emak.
Azam hanya diam, dia benar-benar tidur, dia takut buakn karena parang, tetapi takut dia membunuh orang, dia pucat bukan karena kurang darah, darah itu sendiri sudah berkumpul di kepala, sesaat bisa meledak jika saja tidak segera dinetralkan. Sejurus dengan itu, suara ribut-ribut sudah meramaikan ruang tengah rumah Azam, azam mendengar paman mengocek, nenek menangis, dan emak histeris, namun Azam tidak mau keluar dari perenungannya.
‘’sudah keterlaluan sekali, tidak bisa di kasih amapun!’’, ucap paman kesal.
‘’kamu jangan salah bertindak, kamu cari pamanmu di Bukit Mansi, bawa datang dia ke sini, lalu kamu Pik, kamu terponlah paman kamu yang dipekan baru itu, kalau perlu kakakmu yang di Surabaya itu suruh datang segera, ini sudah gawat, mereka bisa saja datang ke sini dan membenatai kita semua, aku sudah hafal sekali situasi seperti ini, sebab aku sudah mengalaminyanya juga dulu, sementara biarkan saja Azam di kamar, anak yang satu itu jiwanya sama dengan si Buncit, kalau dia dipakasa keluar, dia pasti kembali ke sana, dia pasti mati, mereka jumlahnya banyak dan laki-laki dan perempuan memegang parang!’’, perintah nenek bijak.
Meskipun nenek sudah tua, tetapi kebijakannya ini masih didengarkan oleh anak-anaknya, karena nenek sudah terbiasa mengahadapi hal yang sesulit apapun. Setelah paman pergi dan emak juga pergi, nenek menemui penghulu suku Jambak, kemudian nenek juga mengunjungi saksi-saksi sejarah yang semasa dengannya.
Matahari sudah lama berada di ubun-ubun, azam sudah berada du teras ruamah, netanh berapa batang rokok sampoerna yang dihabiskan, Azam tidak bisa berpikir jernih, tangis yang tertahan membuatnya tersiksa, entah kapan situasiitu berakhir, dia yakin sudah pasti kuliahnya akan terganggu.
‘’Ya! Allah aku ingin menjadi orang baik-baik!’’, hanya kata-kata itu yang keluar dari sela-sela tangisnya yang tertahan. Azampun tertidur di kursi plastik di teras rumah.
Sejurus dengan itu, saudara nenek yang tinggal di Bukit Mansi datang, dia tidak berani membangunkan Azam, kemudian disusul Emak, nenek, Dt. Sati penghulu Suku, paman, dan juga saudara-saudara sesuku yang bersimpati. Azam masih tertidur dikursi luar.
‘’bangunkan dia’’, perintah paman kepada Emak.
‘’biarkan saja, kalau dia bangun dia tidak akan kenal kalian, bisa-bisa kalian yang jadi sasarannya’’, cegah Nenek
‘’sekarang bagaimana? Rumah telah terbakar, pisang telah ditebang, kolam sudah ditimbun!’’, ucap Emak lirih.
‘’sekarang begini, kita selesaikan dengan pikiran jernih!, saudara kamu yang di Pekan Baru bagaimana Ning?’’, tanya Penghulu.
‘’kalaupun dia pulang, dia akan memihak kepada mereka, aku lebih tahu sifatnya dari dulu, dari dulu dia suka sama Zaitun itu, tapi aku tidak mengizin Burhan menikahi Zitun itu!’’, jelas nenek.
‘’Biar saya yang memngatur, akau tahu betul sejarahnya’’, sambung Bpak Punai.
Sere hari mejelang kedua belah pihak yang bermasalah berkumpul di Rumah Penghulu suku, termasuk saksi sejarah dan Juga Burhan dari Pekan Baru. Beberapa saat musyawarah berlangsung, Azam datang dan ikut bergabung dalam musayawarah, Topik yang masih emosi langsung berdiri melihat kedatangan Azam, dia langsung mengejar Azam, sementara Azam sudah menyiapkan diri dengan segala kemungkinan, Kakek Azam dari Pekan baru berdiri dan mencekik leher Azam, sementara Topik dihalangi langsung oleh Dt. Zubir saudara kerabat jauh nenek. Akibat kejadian itu, rapat tidak bisa dituntaskan. Azam yang kembali terpancin emosi, memilih pergi ke Padang.
‘’Rapat dilanjutkan minggu depan, pihak yang bertikai diharap bersabar dan menahan diri, saya bisa saj mengambil tanah itu kembali’’, Peringatan penghulu kepada kedua belah pihak.
Nenek terpaksa pulang ke Bukit Bandar bersama emak, untuk sementara, pihak keluarga Nenek Cumbu berkuasa penuh atas tanah nenek. Namun hari kedua setelah rapat, nenek mencium gelagat aneh, nenek sudah berkali-kali melihat pejabat kabupaten keluar dari jalan yang menuju rumah nenek cumbu, nenek tidak tahu siapa namannya, tapi dari baju yang dia kenakan dan mobil plat merah yang dipakai, jelas menunjukan bahwa orang itu dari pemerintahan.
Azam sendiri memang sudah berada di Padang, hal itu lebih baik bagi Nenek, sebab nenek melihat sikap Azam yang keras kepala akan memeprsulit keadaan, Azam memiliki kesamaan sifat dengan si Buncit saudaranya itu. Untuk sementara, nenek sudah sedikit lega, nenek kembali pada aktivitasnya membuat joadah yang tertunda di ruamh salah satu warga yang akan melangsungkan prosesi perkawinan di Bukit Ujung. Namun sebelum kepergian Azam ke padang, nenek masih sempat membuatkan sambal rendang untuk Azam, Azam telah melarang, tapi nenek tetap bersikeras membuat sambal itu.
‘’Sudahlah nek! Nenek sedang banyak kerjaan, saya bisa saja buat samabal di Padag nanti!’’, tolak Azam.
‘’Kali ini kamu jangan menolak, ini mungkin yang terkhir bagi nenek, bisa membuatkan sambal untuk kamu!’’.
‘’terkhie maksud nenek? Nenek seperti orang meninggalkan perangai saja!’’, sambung Azam.
‘’Maksud nenek, mungkin setelah ini Nenek akan sibuk sekali, hingga ketemu kamu pun nenek tidak akan sempat!’’.
‘’Baiklah kaalu begitu, tapi jangan banyak-banyak, syaratya saja ya nek!’’.
‘’Tunggu kira-kira setengah Jam!’’.
‘’Baik nek!’’.
Setelah menerima bingkisan dari nenek, Azam masih mendapat teguran dari nenek.
‘’Oh, iya sejadah nenek masih adakan, jangan beli sajadah lagi, akai saja yang itu dulu!’’.
‘’Iya nek, masih ada, Asalamualaikum!’’, ucap Azam sambil berlalu dan Nenek kembali kerutinitas hariannya.
Rabu pagi itu, Nenek bangun lebih pagi dari biasa, setelah menuanikan kewajibannya kepada tuahn, nenak mempersiapakna baranng-barang yag akan dibawa ke rumah orang yang akan melangsungkan prosesi, nenek tahu masih terlalu pagi untuk memulai aktifitas, se saat dilihatnya jam dinding sudah menunjukan jam setengah tujuh, nenek berpikir jika pembuatan joadah dikerjakan lebih cepat selesainya akn cepat pula, tanpa pikir panjang nenek pergi berjalan kaki, kira-kira 10 menit dengan jarak 15 meter menyusuri jalan lintas, nenek akan sampai di lokasi. Begitulah cara berpikir nenek, sehingga cepat diterima dalam hidup bermasyarakat, ulet, gigih, dan terlalu jujur, kerena keterlaluan kejujur itu pulalah nenek selalu menerima perlakukan tidak enak sebagai balasannya, tetapi yang dipikirkan nenek tidaklah imbas balik terhadap dirinya, yang panting nagi nenek pekerjaan yangdia lakukan membawa kepuasan tersendiri bagi batinnya.
Setelah memakai kain sarung batik nenek langsung menuju ruamah tujuan, nenek lebih meilih sebelah kanan jalan lintas arah Qiblat, nenek tidak pernah menoleh kebelakang, sebab sering menoleh adalah keragu-raguan, akhirnya pekerjaan kurang maksimal hasilnya. Setelah beberapa langkah berjalan, tiba-tiba motor Sogun yang datang kencang dari belakang ,menubruk tubuh nenek hingga terpental dan terhempas ke aspal jalan, kaki nenek menyusup kejari-jari motor, kaki neneklah yang menjadi rem mendadak motor itu setelah beberapa meter menarik tubuh nenek 5 meter dari tempat nenek berjalan. Suasana hening seketika, semua orang seperti terpukau, tidak mampu berbuat, berkata-kata, bertindak, sedih maupun menangis, jelasnya tiada seorang pun yang mengira paginya kejadian itu, kemaren si nenek yang masih punya keberanian mempertahankan jati dirinya, kini terbaring dengan tubuh bersimbah darah. Namun keheningan itu pecah setelah tubuh nenek diangkat oleh seorang anak muda yang kebuetulan lewat bersama motornya menuju lubuk Alung. Semua tersintak, sadar dengan kejadian pagi itu. Nenek di bawa ke tempat ahli tulang H. Khaidir, namun luka nenek sudah benyak mengeluarkan darah, H. Khaidir merujuknya ke RSU. M. Jamil Padang.
Ya! Kejadin pagi itu, membawa berkah bagi sebagin orang dan sudah barang tentu membawa duka yang mendalam di pihak nenek Uniang. Tiga hari nenek di Rumah sakit, nenek pun dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Azam, Emak, paman, dan kakek-kakek lain tidak menyangka, Nenek yang dulunya terjebak di lobang perang, nenek yang dulunya berhadapan langsung dengan serdadu pusat, kini berbaring lemas dibalut kain kafan. Azam berpikir, siapakah yang akan meneruskan cita-cita nenek untuk keluar dari gelar pahlawan suaminya yang tak lain adalah kakek Azam sendiri?
**
Suasana di rumah Azam masih diliputi awan kesedihan, kapan saja hujan-hujan air ata siap membanjiri seketika. Namun ustad di kampug pernah bilang, tidak boleh menangisi si mayat, karena itu akan membawa penderitaan baginya di alam barzah.
‘’Simayat sudah selamat dan sudah usai tugasnya di dunia, panjang pejalannanya, singkat permintaannya, yang memiliki datang menjemput, yang menanam datang mencabut, sekarang telah berpulang ke rahmatullah. Sekarang yang harus dipikirkan adalah kita yang masih hidup, apakah kita sudah siap untuk mengahadapi kematian yang datang seperti siluman, seperti simayat contohnya, dulu waktu dia masih hidup dia adalah sosok perempuan yang tangguh mengahadapi situasi sekarat, dia pernah terkurung dalam lobang yang mana di atas kepalanya berdentunam granat-granat dan muntahan peluru, karena masa itu belum takdir baginya, dia masih bisa bertahan hingga rabu kemaren. Nah, sekarang dia pergi, tabarakan hanya sabagai salah satu penyebat dari dari kepergianya, kalu pun tidak karena tabrakan dia akan tetap pergi seperti yang telah dijanjikan dan seperti yang tercatat dalm buku takdir!’’, ustad berusaha menenangkan hati keluarga yang ditinggalkan.
Tetapi bagi azam perjuangan nenek belumlah selesai selama dosa kepahlawanan benar-benar terhapus dari keluarganya, perjuangan itu aan berlanjut entah sampai kapan.
Wali kampung tidak membiarkan suasana khusyuk itu berlama-lama, 7 hari kemetain nenek, Wali kampung mempelopori pertemaun kedua belah pihak, tempat nya masih dirumah Penghulu Suku.
‘’sudah panjang perlangkahannya, sudah singkat permintaannya, yang punya datang menjemput, yang menanam datang menacabut, Almarhum yag bernama Gandoriah telah kembali ke rahmatullah, kecelakan lalu lintas hanya sebagai penyebabnya saja, bukan begitu Pak Harun?’’, uacap Wali kampung sambil mengarahkan pandangannya ke arah Bapak Harun yang duduk bersebelahan dengan Dt. Zubir.
‘’Pik, keluarkan semua kwitansi pengobatan, seluruh biaya termasuk uang Azam yang terpakai’’, sambung Paman Azam dari Surabaya.
‘’total semua Rp. 5.000.0000,00 dan itu sudah dibantu dengan askes’’, jelas emak.
‘’tapi Motor kami ditahan polisi, si Salim juga cedera dikaki, Jinun boncengan tetapi dia juga cedera!’’, jelas Emak Salim.
‘’Sekarang begini saja, uang pengobatan di bagi tiga, pihak korban membayar spertiga, sepertiga pihak Salim, dan spertiga pihak Jinun!’’, sabung Nawazir paman Salim.
Azam spontan langsung mininggalkan rapat, samapi di luar ruangan, dia membakar sebatang rokok Ji Sam Su, sementra kerabat lain terus menenangkan Azam.
‘’Kalau begini bagaimana? Kami keluarkan motor yang ditahan polisi, biarlah kami yang membayar biaya rumah sakit, hitung-hitung amal bagi kami!’’, jelas Paman Azam dari Surabaya.
Seketika suasana berubah terlebih lagi pihak keluarga Salim, menggambarkan rona kecerahan.
‘’Tapi!’’, sambung Paman Azam.
‘’Tapi! Tolong hidupkan orang tua kami!’’, tegas paman.
Semua spontan bersuara, mata-mata terbelalak, sebagian kerabat nenek azam satu persatu sudah hilang dari rapat.
‘’Rapat apa ini? Sekarang saya bertanya kepada hadirin, memangnya si koraban ini yang menabrak motor salim yang sedang berjalan? Tidakan? Lalu kenapa biaya pengobatan harus dibagi tiga? Pantas saja anaknya bicara seperti itu, tidak apa kalu kalian sanggup menghidupkan orang tuanya!’’, ucap DT. Zubir membela. Setelah situasi kembali dikuasai oleh kesabaran, pihak salim mengalah, dia membayar seluruh biata rumah sakit dan mempertanggung jawabkan kejadian itu di kantor polisi setempat atas nama kecelakaan lalu lintas. Ya! Secara lahir maslah itu sudah selelsai, namun di dalam batin masing-masing siapa yang tahu. Sebab setelah itu akan menyusul masalah tanah yang mana pelaku masih orang yang sama.
Namun 40 hari setelah kematian nenek rapat sengketa tanah pun dilangsungkan, piha Azam dengan keluarganya kalah dalam rapat, tanah milik nenek Azam terpakasa di bagi dua dengan Nenek cumbu yang juga nenek kandung dari Salim. Sementara saksi kunci telah meninggal dan saksi sejarah raib entah kemana. Setelah kejadian itu Pak Harun lebih sering datang ke tempat Nenek Cumbu.

14. ANAK DURHAKA

Seperti biasanya pagi itu Fatma pergi mengantar Sala Lawuak ke warung-warung, memang begitulah cara sampingan bagi Fatma mencari nafkah, lagi pula hasil ojek suaminya tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari, kebutuhan akan biaya hidup semakin berat saat menyekolahkan 6 orang anaknya. Fatma memang tidak semapia menamatkan Sekolah Dasar, tapi dia ingin anak-anaknya itu tidak memilih jalan seperti dia, lagi pula keenam orang anaknya itu cukup pentar di sekolah mereka. Si Azaam yang sekarang menimba ilmu diperguruan tinggi di Kota Padang memang tidak terlalu membebani karena dia sudah mendapatan beasiswa dari kampusnya. Secara tidak langsung biaya Azam tidak terlalu dipikirkannya, Fatma menganggap Azam bisa cari uang sendiri, sebab Azam pernah berjanji sebelum measuk kuliah bahwa dia kan kerja sambil kuliah, kenyatan itu benar-benar dipenuhi Azam tetapi dalam penamaan lain. Anaknya yang nomor dua juga sudah bisa buka usaha sendiri, tapi dia terlalu lugu dan terlalu jujur, cepat percaya kepada orang lain. Dulu saai dia menjalin bisnis dengan orang Kolos asal Tanah Datar, dia ditipu. Orang itu yang berperan sebagai pemasok kain yang akan di olah menjadi ordeng pintu kaca, saat lebaran menjelang upah jahitan di terima Yoserizal hanya Rp. 2.000.000, 00, padahal berdasakan Notta seharusnya Yoserizal menerima Rp. 6.000.000, 00. Tetapi orang Kolos itu berjanji akan membayar lunas setelah lebaran, Yoserizal yang merasa tidak akan tejadi apa-apa menuruti, lagi pula uang 2 juta itu sudah mampu membayar gaji karyawannya selama bulan puasa, lebihnya yang Rp. 200.000 sebagai uang jajan saat lebaran.
Namun setelah 3 bulan berlalu setelah lebaran, janji orang Kolos itu tidak kunjung dipenuhinya, sudah berkali-kali Yoserizal menagih kepadang, jawabnya belum ada uang. Untuk menbghindari konflik Yoserizal terpaksa merelakan uang tersebut setelah 2 tahun tidak juga dilunasi orang Kolos itu, akan lebih parah lagi saat berita tersebut diketahui Azam, kakaknya yang satu itu masih tersebut oranggila meskipun dia sudah kuliah, dia memang tidak suka keluarganya disakiti. Saat Azam bertanya persoalan uang tersebut Yoserizal mejawab uang itu sudah dulunasi. Fatam geram dengan sikap Yoserizal yang seperti itu, tapi apa mau dikata itu adalah keputusan tebaik bagi mereka. Kemudan anaknya yang msih duduk di bangku MAN, satu orang yang duduk di MTSN dan 2 orang masih Sekolah Dasar cukup membuat kantong Fatma dan suaminya kering kerontang meradang.
Namun yang mejadi buah pikiran Fatma sekeluarga tidak hanya sebatas itu, sikap orang kampung yang kurang bersahabat selalu menyisishkan keluarga ini, fitnah dan gunjingan masyarakat selalu menimpa keluarga ini. Sebenarnya sebagain msayarakat telah memaafkan kesalahan yang tidak pernah dilakukannya itu, tetapi saudara se moyang yang tingal bersebalahan dengannya itu yang menjadi bianmg keladi, oarang menjulukinya kacang miang, yaitu tetumbuhan yang berbulu gatalgatal, apa bila tersentuh dengan tumbuhan itu sekujur tubuh gatal semua, begitulah sikap tetangga yang satu itu dulu sebelum Indonesia belum merdeka hingga sekarang. Benar kata pepatah bahwa buah tidak akan jatuh jauh dari batangnya. Persis sikap dan perangai orang tua dan nenek mereka dulu yang telah diawrisinya. Pertengkaran antara kedua keluarga ini sudah menjadi rutinitas keseharian, bahkan tokoh masyarakat pun sudah pernah terlibat dalam penyelesaian.
Sepulang dari warung biasanya Fatma pergi melihat padi di sawah, padi yang ditanam 3 bulan yang lau itu kelihatan sudah agak menguning tetapi sebagian dari petak pertma sudah habis oleh hama tikus, 2 petaknya lagi diperbutkan hama walang sangit dam burung, namun Fatma tetap memiliki semangat tangguh, dia tidak akan menyerah begitu saja terhadap nasib yang mempermainkan hidup keluarganya, dia tidak pernah mengeluh dan menyalahkan orang lain atau sejarah masa lalu. Baginya hidup itu adalah perjuangan, jika berani hidup harus berani berjuang, tidak berani berjuang mati saja, begitulah konsep yang selama ini diterapkannya.
Di perjalanan menuju rumah Fatma meleawati rumah Rosna, Fatma mendengar suari ribut dan pekikan histeris dari dalam rumah itu, tidak asing lagi itu adalah suara Rosna yang sedang ketakukan. Semenit kemudian Fatma melihat seorang laki-lakikeluar dari dapur rumah dengan parang terhunus, dia mengacungkan telunjuknya kepada Fatma yang sedang lewat, tapi terus saja berlalu dengan mempercepat langkah kakinya. Fatma tahu dia adalah anak dari Rosna, dia itu orang gila, suka membuat keonaran denmgan siapa saja termasuk dengan orang tuanya sendiri. Sebulan yang lalu pernah terjadi ribut-ribut di warung depan surau, di sana terjadi baju hantam antara pemuda dengan sesorang yang terperosok kebawah meja, sementara sebilah parang tertancap di tanah depan warung, ternyata seseorang itu adalah anak Rosna tersebut, mukanya dipenuhi dengan darah setelah diopor-opor oleh pemuda setempat, entah apa masalahnya Fatma tidak tahu persis. Tapi sekarang keributan itu terjadi dengan orang tuanya sendiri,mungkin saja orang tua itu di tampar atau di sepak Fatma juga tidak tahu.
Setelah sampai di rumah Fatma terus memperhaatikan rumah yang menimbulkan bising tersebut, Fatma melihat Rosna lari keluar rumah dan di susul oleh anak laki-lakinya dengan parang terhunis, Rosna terus histeris memohon pertolongan dari siapa saja yang mendengar rintihannya.Dia terus berlari menuju jalan raya hingga kedua bayangan itu hilang, entah apa yang terjadi kemudian tiada seorangpun yang tahu.
‘’Ah biarkan saja, kalupun dia mati itu akan mengurangi bebanku, lagi pula kalau aku ikut campur, aku akan menjadi korban kedua setelah orag tua itu’’, ucap Fatma dalam hati. Fatma memang menyimpan kesan yang tidak baik terhadap keluarga Rosna, bagaimana tidak, keluarga itu selalu ciptakan gosip dan membeberkan kejelekan keluiarga Fatma dimana saja, lebih-lebih si Rosna itu selalu mengadudomba Fatma dengan sudara-saudaranya sehingga Fatma dijauhi oleh saudara-saudaranya dan yang paling menyakitkan dikucilkan oleh orang sekampung. Begitulah kehidupan Fatma di kampung Bukit Luar Banda, selalu dipandang sebelah mata, karena itupulalah Fatma dan suaminya beringinan semua anaknya sekolah tinggi, kecuali Yoserizal yang memang tidak berminat untuk melanjutkan studynya. Setelah kejadian itu berlalu Fatma pun berniat pergi ke sawah di kampung Bukit Ujung. Semua peralatan sudah disiapkan, termasuk topi, arit, sebungkus nasi dan satu botol air mineral.
Ketika itu Fatma sendirian di rumah, suaminya pergi mengojek, anak-anak mereka pergi menekuni rutinitasnya masing-masing. Sepinya rumah itu terasa asri, tenang dan damai. Namun kenyamanan itu terusik setelah suara burung murai batu yang memutari rumahnya, semenit kemudian sosok laki-laki sudah berdiri di depan pintu masuk rumah, Fatma tertegun dan tanap sadar Fatma telah menjatuhkan barang bawaannya. Dia melihat Bujang anak Rosna itu kembali, kini berada di rumahnya dengan parang terhunus, jantung Fatma berdetak kencang saat laki-laki itu mendekartinya.
‘’Kamu jangan macam-macam, kamu belum tahu siapa aku?’’, laki-laki itu meraung bagaikan harimau lapar sembari mengacungkan parang berkilat ke arah Fatma.
Fatam berusaha bersikap tenang walaupun dia belum tahu nasib yang akan segera menimpanya.
‘’Ma...maksdumu apa Jang?’’.
‘’Kamu yang bilang samaorang kampung bahwa kau telah mencuri buah pinangmu di belakang rumah!’’.
‘’Saya tidak ngomong apa-apa walaupun saya sewndiri melihat kamu mengambil buah pinang itu, tapi saya demi Allah tidak melakukan itu’’, tepis Fatma.
‘’Jangan berlagaj pilon, aku sendiri mendengar keterangan Ibuku kemaren bahwa kamu yang menyebut saja maling, aku bunuh kamu!’’, laki-laki itu mulai mendekati Fatma, sementara Fatma menggil ketakutan. Dia ingat 7 orang anak yang akan di tinggalkan, dia bangkit dan lari kearah dapur, laki-laki itu terus mengejar dengan parang, sementara Fatma sudah berada diluar rumah dan terus berlari kearah Jalan raya sekencang mungkin.
‘’Ibu ku saja mau kubunuh, apa lagi kamu hanya saudara sepupu dengan ibuku, pantangku abaikan’’, laki-laki itu terus mengoceh.
‘’Ampun Jang! Ampun Jang! Jangan bunbuh saya, anak saya banyak, mereka adik-adik kamu juga’’, Fatma meohion disela larinya yang kian singkat, namun laki-laki itu terus mengejar, Fatma tersunbgkur setelah menerima tendangan laki-laki itu dari belakang, saat Fatma bangkit tamparan pun mendarat di pelipis Fatma, Fatma hany menjerit kepada apa saja yang mampu mendengarnya. Laki-laki itu mewngayunkan parang itu ke kepala Fatma, untung saja Fatma cepat bengakit dan terus mengambil langkah seribu. Laki-laki itu masih belum mau mengalah, sepertinya dia bernafsu sekali untuk mengaakhiri hidup Fatma. Berkat perjuangan yang membabi buta, Fatma pun samapi di Jalan Raya, sementara laki-laki itu raib entah kemana. Mungkin dia takut mengejar Fatma hingga kejalan raya, takut kebiadabanya dijhadang pemuda di warung.
Kejadian sian itu membuat Fatma terhanyut dalam lamunan panjang, dia masih ingat kejadian siang tadi, jiksa asaaja Fatma tidak bangkit dan lari sepenuh tenaga, Fatma tidak akan sempat menghirup napas amalam itu. Sekujur tubuhnya perih, punggung dan pelipisnya biru lebam, kejadian ini sudah berkali-kali dia lakukan, tapi hanya sumi dan anak-anaknya yang kecil-kecil yang mengetahui. Jika saja anaknya yang di Kota Padang mencium bverita itu, persoalannya akan lain, salh satu anggota keluarag dari kedua keluarga itu akan menangung akibatnya. Fatma terus berpikir, menimbang untuk memberi tahu anaknya Azam, keraguan memuncak ketika itu.
‘’Uda! Bagaimana kita beritahu Azam temntang kejadian ini?’’, Fatma berusaha membvuka pembicaraan dengan suaminya.
‘’Kamu jang gila, anadinya Azam tahu kejadian ini, ada dua kejadian yang akan menimpa keluarga kita!’’.
‘’Maksud Uda?’’.
‘’Akupun belum sanggup mebayangkannya, kuliah Azam akan berantakan, dan salah satu dari mereka akn menebusnya, kalau tidak Azam yang menjadi korban, si Bujang itu yang alkan menemui ajalnya. Kamu kan tahu sifat anakmu yang stu itu?’’
‘’Aku tahu dengan sifat anak itu, tapi jika tidak diberi tahu, kejadian ini akan terulang lagi, apakah uda ingin melihat aku mati terlebih dahulu?’’.
‘’Sebaiknya kamu pikirkan dulu, sebelum mengabil keputusan’’, seuminya itupun berlalu dan keheningan pun memuncak seketika.
Fatma berpikir untuk kedua kalinya meberi tahu anak itu, Fatma tahu anatara Azam dengan Bujang itu sam-sama gila, tapi anaknya itu gila hanya karena membela kelurga sedangkan Bujang malah sebaliknnya.
**
Senja itu tidak terlalu sejuk dan tidak juga terlalu panas, Azam tidak perlu menghidupkan kipas angin kecil dikamarnya sebelum mulai menikmati pujaan hatinya. Azam sangat bernafsu disaat kekasihnya itu sudah menunggu di kamar tidur, jika didunia ini ada laki-laki yang tidak pernah merasa puas ia adalah Azam. Memang sebagain dari buku itu telah dia baca kemaren siang, hanya saja pada halaman 205 konsentrasi Azam sudah terganggu karena kedatangan Mbak Nina, dia itu selalu berbuat usil, terkadang Azam sendiri tidak luput dari sikapnya yang keterlalaun, katanya hanya sekedar bercanda tetapi tetap saja bikin sakit hatii. Wajar, Azam belum terlalu lama tinggal dan dianggap anak oleh orang yang punya rumah, saat pertama kali Azam datang kerumah itu dia telah melihat kehadiran Mbak Nina di sana. Azam suka bercanda tapi dia tidak suka dicandai di saat serius. Siang itu terpkaska kisah Dee dihempaskan begitu saja di atas dipan kayu kamar itu.
Akibat angan tidak kesampaian, biasnya malm itu dia harus mengabaikan segala aktivitas rutin, melanjkan jelajah yang tertunda tadi siang. Ya, aroma kisah supernova itu telah menggugah pengalaman spiritualnya yang kelabu, novel itu lebih mendekati taswuf moderen atau sejenis filsafat gaya baru, hanya saja cerita itu belum semua orang yang mampu memamahnya, tak terkecuali Azam namun Azam teruis memaksakan diri, biasanya dengan cara seperti itu akan membuahkan hasil, meskipun dia tidak akan mencapai level sufi. Jika saja Azam mau melanjutkan ilmu kebatinan yang dia pelajari di kapung tentu saja tidak terlalu sulit baginya untuk mencerna isi novel itu, tapi masa itu sudah jauh berlalu, kira-kira sudah 3 tahun lebih peride itu terleawti, Sekarang dia harus mengetahui ilmu kebatinan versi si Dee, si pengarang nasional.
Azam kembali mebuka halaman 205, dia mulai membaca kata perkata hinga mencapai satu paragraf. Baginya halaman ini terlalu sulit dipahami, Dee bercerita tentang Gen. Keringat dingin mulai berjatuhan dari keningnya yang licin hanya kata-kata gen yang dia temuai di halanan tersebut, tetapi pemahaman menerawang begitu saja, seketika dia ingat keadaan keluarganya dikampung. Spontan buku itu kembali dibanting, sungguh menderitanya buku itu, jika perbuatannya ini diketahui Dee sudah pasti Azam tidak akan termaafkan oleh penulis Best Seller itu.
‘’Buk! Saya pinjam telpon rumah sebentar, boleh Buk?’’, kata-kata Azam meminta belas kasihan yang empunya rumah.
‘’Mau telpon kemana Zam’’.
‘’Kekampung Buk, perasaan saya tidak enak!’’
‘’Silahkan!’’
Azam pun menuju ruang tengah dan menjumpai telpon yang bersandikan dinding biru muda. Gagangnya masi kelihatan asri sebab sepeninggal Almarhum Bapak Charles telpon itu memang jarang dipakai dan jarang pula meneriam telpin dari luar. Berdasarkan pengakuan Ibu Ramona istri Almarhun sekaligus ibu angkat bagi Azam, telpon itu jarang dilirik apalagi dipergunakan, katanya dia selalu ingat kenangan bersama almarhum suaminya dulu. Sebenarnya kepergian Pak Charles itu terlalu cepat bagi Azam, dia orangnya baik, penyayang, perhatian kepada siapa saja yang mebutuhkan pertolongan, sebelum Azam diangkat anak oleh mereka, terdapat 9 orang anak angkat yang mereka miliki, semuanya telah menempuh hidupnya masing-masing, pada umumnya mereka itu berhasil selama menompang hidup pada Bapak Charles dan Ibu Ramona. Sebab di rumah itu mau tidak mau kita harus membaca apa saja yang patut dibaca, taiada hiburan selain segunduk buku yang terpampang rapi di perpustakaan, kadang kala berlaku perlombaan menulis artikel ataupun cerpen, Azam menyadari bahwa dia berada di sarang intelektual hingga rasa malu itu bertunas dari dirinya, ‘’Aku harus jadi seperti mereka, mereka bisa kenapa aku tidak? Aku harus jadi penulis!’’, kata-kata itu tiba-tiba muncul. Azam pun memulai karir sebagai penulis, bertepatan dengan itu pula Pak Charles pergi untuk selamanya, saat itu Azam nyaris seperti anak ayam kehilangan induk, jiwanya terguncang, berbulan-bulan Azam menyendiri, tanpa berkata sesuatu apa pun. Dia pergi dari rumah itu, sungguh berat baginya untuk tetap di sana, seakan bayangan itu selalu hadir menyapanya di waktu pagi, ‘Sudah ngopi Zam?’’, sapaan itu akrab bagi azam, kali terakhir kata-kata itu diucapkan Pak Charles Senen pagi sebelum di berangkat ke Aceh dan tanggal 26 Desember 2004 terjdilah musibah itu.
Selama 6 bulan rumah itu sepi, sunyi tiada terperi, hanya Bang Remon yang selalu menjaga rumah itu dan membersihkan buku-buku di perpustakaan rumah, biasanya tugas itu di borong oleh Azam, sementara Ibu Ramona linglung terkadang tidak bangun dari tidurnya, kalaupun bangun tetapi hanya untuk pulang kekampung di Bukittinggi. Entah apa yang dia rasakan oleh janda Pak Charles itu, semuanya pergi tidak terkecuali Azam yang terpaksa menjadi anak bungsu termuda di keluarga itu. Bang remon sebagai anak tertua tidak bisa berbuat banyak, dia terus menyibukan diri dengan rutinitas di Dewan Kesenian Sumatra Barat dengan harapan dia mampu menepis kenangan bersama Pak Charles yang seketika muncul. Mereka semua merasa kehilangan, kehilangan kenangan dan cita-cita yang ingin dicapai bersama, mengembalikan pusat intelektual ke Minangkabau begitulah harapan Pak Charles kedepan. Tetapi siapakah yang akan meneruskan mimpi itu sepeninggalnya pergi, Azam sudah tiada, Rendra lebih memilih tinggal di kampungnya di Payakumbuh, sedangkan Mbka nina sudah 5 bulan belakang tiada terlihat lagi batang hidungnya, lalu Betran, Ayu, Rifki, dan Sriyanti lebih memilih hidup di kos yang berdekatan dengan tempat mereka.
Kesedihan ehilangan segalanya juga dirasakan Azam di rumah kosan di dekat kampus, dia ingat semua, terkenang dengan Ibu Ramona yang penyayang, lembut hati, rindu dengan Bang Remon yang selalu setia melayani debatannya. Jalan satu-satunya hanya kembali menjejaki kenangan itu, Azam takut dicap anak durhaka walau posisinya hanya sebagai orang tua angkat, tapi bagi Azam orang tua tetap orang tua yang masing-masingnya mempunyai jasa telah menyanginya. Azam pun pergi ke hulu kenangan itu, dimana tempat kenangan itu mulai mengalir.
‘’Asalamualikum, Ibu?’’, suara Azam sedikit serat-serat basah.
Dari dama rumah terdengar sebuah jawaban, tapi dia tidak menoleh
‘’Walikum salam’’.
‘’Ibu sehat-sehat saja?’’
‘’Ya Tuhan! Kamu Azam, mari masuk, sudah makan?’’, kata-kata itu diringi tangis yang mengharu biru. Azam menekurkan kepalanya, mata air itupun tidak terbendung, lima menit kemudian mereka sadar, kenangan itu bukan untuk ditangisi, melainkan untuk dilanjutkan mengejar mimpi yang terlebih dahulu diciptakan. Ya! Kenangan itu kembali tersambung seperti sedia kala, hanay satu yang tiada, sesuatu yang kiranya mampu melengkapi kenangan masa depan itu, Bapak Charles.
‘’Azam, kamu tidak jadi menelpon, kalau tidak jadi ngamain melamun di sana?’’, suara itu memecah lamunan Azam di sudut kiri gagang telpon.
‘’Ya! Tuhan, aku telah hanyut terlalu jauh hampir saja terwaba arus ke muara itu, untung saja’’, umpatnya dalam hati sembari menepuk-nepuk kepalanya, ‘’Ya Buk, saya mau nelpon sekarang’’, balas Azam. Azam langsung menekan nomor tujuan, terpon berdering di sebarang sana, seaat kemudian terdengar suara,
‘’Hallo!’’.
‘’Hallo! Asalamualikum!’’.
‘’Walaikum salam! Ini siapa ya?’’.
‘’Saya Azam Pak! Apakah ini rumah Pak Mansyur?’’
‘’Iya saya sendiri, kamu Zam, ada apa Zam?’’
‘’Ini Pak, saya mau tahu keadaan dikampung setelah gempa kemaren, di Padang banyak bangunan yang roboh, apakah dikampung baik-baik saja Pak?’’
‘’Alhamdulillah di sini aman, kamu hati-hati saja di Padang ya Zam!’’.
‘’Ibu dan bapak saya bagaimana Pak?’’
‘’Di siah baik juga, tapi...’’
‘’Tapi Apa Pak?’’
‘’Ibumu itu, kemaren dimarahi Bujang!’’
‘’Dimarahi bagaimana Pak?’’
‘’Ya begitulah Ibu dengan anak, dia juga masih jalan kakak sepupu dengan kamu’’
‘’Saya tahu Pak, tapi apa yang dialakukan pada ibu saya?’’
‘’Sebenarnya....’’, Bapak mansur mulai sedikit ragu untuk beerterus terang, namun Azam terus mendesak.
‘’Sebenarnya apa Pak?’’
‘’Ibumu di pukul oleh Bujang, tapi sudah gak apa-apa, masalahnya sudah diselesaikan paman kamu, kamu tenang saja, konsentrasi saja sam kuliah kamu ya Zam?’’.
‘’Iya terimakasih Pak Mansyur, asalamualikum’’, gagang telpon itu kembali pada posisinya semula, rasa itu tidak tertahan lagi Azam geram, marah dan sekaligus dendam.
‘’Bajingan tengik, kamu mulai lagi, rasakan pembalasan aku’’, umpatnya dalam hati. Dia memaksakan diri beranjak dari ruang tengah, mukanya yang kusam menarik perhatin Ibu Ramona.
‘’Ada apa Zam, kok wajahmu seperti terbakar?’’
‘’Anu Buk.., anu...’’.
‘’Anu anu apa? Zam dengharkan ibu, dari semenjak Zaman rasulullah samapi sekarang yang namanya Anu orang tidak pernah tahu!’’.
‘’Ibu saya dikampung di pukul oarng, sebenarnya orang itu masih saudara dengan saya’’.
‘’Kalau memang saudara denganb kamu, kenapa dia memukul Ibumu’’, Ibu Ramona pun naik pitam.
‘’Saudara sepupu dengan saya, ibunya dengan ibuku saudara sepupu, neneknya dengan nenek saya juga saudara sepupu’’.
‘’Sam saja Zam, saudara itu tetap saudara, tidak boileh menyakiti orang tua, atau mungkin dia mau menjadi Malin Kundang? Sekarang kamu istirahat dulu dan jangan kemana-mana dulu, besok saja kamu jenguk Ibumu bagaimana keadaannnya!’’.
Azampun menuruti saran Ibu Ramona, saat itu seuta rasa harus dibawanya ketempat tidur, malam itu dia harus tidur dengan mata terbuka hingga pagi menjelang. Ya! Pagi itu Azam sudah bersiap untuk pulang kampung, dia tidak melupakan tas sandang pungnya di dalamn kamar dengan sejumlah buku bacaan, buku itu itu belum mungkin dibaca sewaktu dikampung nanti, tetapi baginya kemanpun dia pergi selalu diikuti bebetrapa buku di dalam tas.
‘’Saya pamit Buk!’’, pintanyua kepada Ibu Ramona.
‘’Tidak sarapan dulu Zam?’’.
‘’Gak usah Buk, nanti saja di kampung’’.
‘’ingat ya Zam, kamu jangan lawan dengan emosi, ingat kamu seorang calon intelektual masa depan, kamu harus dahulukan logika, selesaikan dulu secara kekeluargaan, ini sedikit untuk bekal kamu di jalan’’, Ibu Ramona memberikan sehelai uang lima puluh ribuan, memang negitulah sifat dari dulu, di saat Azam mau pergi selalu dikasih uang, katany sebagai bekal di jalan padahal perjalanan yang akan ditempuh tidask terlalu jauh. Azam terpaksa menerima uang itu, katanya kalau menolak sama halnya dengan menolak doa orang tua.
‘’Terimaksih Buk, Asalamualikum’’
‘’Walaikum salam, hati-hati di jalan ya nak!’’, pesan Ibu Ramona dari dalam rumah dan Azam pun berlalu menuju Jalan Raya, lima menit kemudian Azam sampai di tempat perhentian bus dan langsung menaiki Bus Alisma yang menuju Pariaman. Jasad masih berada di dalam bus namun rihnya Azam sudah bergentayangan menuntut balas terhadap musibah yang baru saja menimpa Ibunya, rasany dia ingin mencincang si Bujang itu, lalu membaginya menjadi 4 bagian,, tiap sudud dikampung itu endapat satu bagian dari tubuh Bujang. Sudah berkali-kali dia menyaki orang tua itu, tetapi orang kampung hany diam seolah-olah tidak terjadi apa-apa padahal disana perangkat pemerintahan masih lengkap. Setelah satu jam di perjalanan bus itu berhenti tepat di depan surau kampung Bukit Luar, kampung Azam sendiri. Dengan langkah tergesa-gesa Azam turun, dia tidak pedulu dengan mobil yang lalu lalang didepannya, dia tetap melintas sambil berlali kesebrang jalan, jika saj nasibnya terlalu naas mungkin Azam sudah diulindas oleh truk bermuatan batu itu. Azam tidak pedulu yang ada di dalam pikirannya hanya wajah Bujang yang sedang tertawa. ‘’Bangsat, keparat, kubunuh kau?’’, dia terus saja mengumpat sembari berlari-lari anjing, bahkan teguran teman-teman sejawat dikwarung pun tidak dipedulikannya.
Tidak butuh terlalu lama bagi Azam untuk samapai di rumahnya di belakang rel kereta api belakang surau, napas yang terengah-rengah bercampur emosi dipaksakannya mencari sesorang yang di rumah itu, kebetulan sekali Ibunya sedang berada di rumah sendirian. Ibunya terkejut saat mendapati anaknya sudah berada dihadapannya.
‘’Zam! Kamu..? kamu kok berada di sini, kamu tidak kuliah?’’, ucapannya sedikit gugup.
‘’Ibu jangan bersandiwara! Sudahlah Bu! Tolong ceritakan bagaimana kejadiannya?’’.
‘’Kejadian apa?’’
Azam negatub-nghatubkan giginya, ibunya tahu bahwa semosi anak itu sudah berada di puncaknya.
‘’Dari mana kamu tahu Zam’’, ulas ibunya.
‘’Itu tidak penting, yang penting sekarang ibu ceritakan kejadiannya!’’
Kemudian ibunya menceritakan kejadian itu, dimuali sat dia melewati rumah Rosna hingga dia dikejar si Bujang dengan parang itu, Azam bertambah geram mendengar cerita itu, tanpa ragu-ragu Azam meletakan tas sandangnya di atas kursi ruang tengah, langkahnya yang pasti pun menuntun menuju kembali kejalan raya, keinginan hati hanya menuntut balas kepada Bujang. Ibu itu menangais lirih terhadap apa yang akan menimpa anaknya itu, ‘’jika tidak Bujang mati, azam yang mati, lalu bagaimana kuliah dan cita-citanya’’, kata-kata itulah yang terucap disela-sela tangis Ibu paroh baya tersebut.
**
Azam masih berdiri di simpang tiga itu, preman kampung menamakan simpang itu simpang tugu sebab tengah-tengah perduan ketiga simpang terdaat sebuah tunggu setinggi 10 meter, tugu itu diyakini untuk memperingati para pahlawan yang gugur dimedan perang saat berhadapn dengan tentara pusat, kebanyakan pejuang yang gugur terdiri dari mahasisawa yang hanya 1 minggu di ajari menembak sementara lawan dalam pertempuran adalah serdadu yang persenjataannya lengkap dengan tank baja. Awalnya ketidak puasan terhadap pimpinan pusat yang sentralistik, terlalu jawaisme, mereka itu mewmakai politik bodohisme, orang pintar disingkirkan kalu perlu kuburnya tidak perlu dikunjungi orang atau mungkin harus dibuat dua kuburan satu untuk kepala satunya lagi untuk jasad. Semua daerah mnuntut keadilan yang merata, megosisi tidak berlaku lagi hingga mulut penduduk berbusa, masyarakat angkat sewnjata yang masih mereka simpan di saat mengusir penjajahan sekutu dulu, senajat yang digunakan untuk membantai serdadu jepang dulu atau bambu runcing untuk memukul pendudukan tentra Belnda, semuaya masih tersimpan dan awt di dalam sanubari setiap orang yang tertindas hingga sekarang. Hanay tugu itu sebagai hadiah unntuk para pejuang tersebut, di saat para pejuang itu tercatat sebagai pahlawan di administrasi kepemrintahan diatas makamnya diletungkupkan sebuah topi baja, terletak tepat menutupu telinga sang mayat agar tidak mendengar lagi apa yang terjadi di bumi ibu pertiwi, malangnya nasip para pahlawan itu, sudah mati di ujung peluru penjajah masih juga menderita dan dianggap lawan yang harus di singkirkan.
Sekarang dosa-dosa masa lalu haruis diwarisi oleh anak itu, ya anak yang msih berdiri di tugu itu, entah apa yang dia harapakn dari dirinya, Cuma dendam yang masih bercokol dalam hatinya yang membatu akan esabaran lama. Dai yakin kekeknya mati karena kesabaran itu, kesbaran mau di bododho, kesabaran mau didosai untuk selamanya. Dai mulai beranjak dari puosisi berdiri, dan me;aju seped motor kedalam simpang menuju kampung Mesjid, di snalah harapannya yang terakhir untuk menjumpai Bujang.
Sementara itu di rumah Ibunya Azam Bujang memutari sekeliling pagar tanah pusaka itu, dia bilang kepada setiap ibu-ibu yang ditemuinya bahwa dia akan membunbuh Azam secepat mungkin dan meminum darahnya, parangnya yang berkilat membuat mata perih saat parang itu diterpa sinar matahari siang. Persis seperi oaran ggila yang baru kabus dari rumah sakit jiwa dia mengayun-ayunkan parang itu kebatang kelapa sehingga kulit batang kelapa itu terkelupas akibat amukan benda tajam. Di sisi lain Rosna asyik menyerang ibunya Azam dengan kata seribu makian, sumpah serapah dan mengutuk.
‘’Lihat saja generasi terakhir PKI itu sebentar lagi akan mati di tangan Bujang, kamu lihat itu Fattma Si Bujang yang sedari tadi mencari anakmu itu?’’.
‘’Ibu Haji yang terhormat, sebaiknya Ibu Haji bertobat dan perbanyak sembahyang,’’, balas Fatma.
‘’Tutup mulutmu itu PKI! Jangan sok suci, dengar ya Fatma aku yang berhak diam di tanah ini, untung saja nenekku kasihan melihat hidupmu yang melarat itu! ’’.
‘’Kalau begituu terimakasih bayak atas kebaikan nenek Bu Haji’’.
Tidak obahnya seperti anjing dengan kucing, mereka masih terus berbalas berebut kata hingga soere menjelang, sementara Azam mesih mencari keberadaan Bujang, dia heran di tempat istrinya di kampung Mesjid Bujang pun tidak ada, ‘’kemana di orang gila itu?’’, Azam terus mencari dan mengobrak abrik tempat-tempat yang diduga sebagai keseharian Bujang. Setiap orang yanga di jumpai Azam bersikap seperti es balok, dingin dan angkuh, ada pula sebagian yang kasihan melihat Azam, mereka khawatir Azam tidak bisa meneruskan cita-citanya, namun beberapa orang berharap Azam membunuh Bujang hari itu juga, sebab bagi mereka kehadiran Bujang seperti duri di dasar tulang, dicongkel sakit dibiarkan berbahaya, namun tiada seorang pun yang berani menentang Bujang kecuali Azam.
Di sisi lain, Azam selalu menjelajahi sudut kampung namun yag dicari tak kunjung ada, dia letih, lelah karena dendamnya sendiri, sore harinya Azam pergi kerumah saudara Ibunya di Kampung Bukit Ujung tepatnya dimana Gandoriah dulu tinggal semasa hidup, disana Azam menemukan rumah ksosong tiada orang, bibi yang diharapkan ada di rumah pergi entah kkemana, Azam memilih bergolekan dilantau papan rumah, matanya tak mau terlelap selalu terbayang wajah Bujang yang terbahak-bahak memuja kemenangannya. Satu jam kemudian si Bbik pulang dari pasar Mangga Dua, dia paham apa saja yang baru menimpa leponakannya itu, dengan berlagak iontelektual si Bibi langsung mendekati Azam, yang tergolek lunglai di lantai rumah.
‘’Zam sebaiknya kamu pikirkan lagi, sandainya Bujang itu mati ditanganmu apa kamu sudah memikirkan resikonya Zam? Kuliahmui tidak akan sampai, cita-citamu kandas diusung dendam, kamu terpenjara untuk sekian tahun, jika kamu yang mati, orang-orang yang menmyayangimu juga akan berkecil hati dalam kesedihan! ’’.
‘’Biarlah Bi! Jika dibiarkan terus, sikapnya akn menjadi-jadi, untuk apa kuliah jika tidak bisa membela keluarga Bi?’’.
Si Bibi tidak mau banyak beicara, dia tahui emosi Azam tidak stabil,, dia harus mencari akal utuk mencegah tindakan Azam yang telah diusung amarah, si Bibi pun berlalu dari Azam.
‘’Bibi pergi dulu ya, terserah kamu kalu itu memang keputusan kamu’’.
Azam berpikir, apa yang sesungguhnya yang dicari banghku perkuliahn itu? Seandainya dia tetap membunuh Bujang, lalu apa bedanya dia dengan orang yang tidak kuliah, toh kuliah itu bukan hanya untuk menacari mencari pekerjaan, yang lebih penting dalam kuliah itu bagaimana cara perpikir kira berubah dari tradisional meuju pencerahan, perkuliahn itu untuk merubah cara berpikir kita. Azam pahan rahsia itu, emosinya stabil seketika, dia bangkit menuju rumah Ibu dio Kampung Bukit Luar Banda. Sesampai dirumah dia menyaksikan wajah-wajah cemas dirumah itu, di sana sudah menunggu Ibi, Ayah, Bibik dan adik-adiknya yang masih usia sekolah. Azam langsung angkat bicara.
‘’Emak! Sekarang saya mau mengajak Emak kenator polisi, Emak harus mau! Percayalah saya tidak akan membunuh Bujang itu, biar pihak yang berwajib yang memngambil alih’’.
Spontan wajah-wajah gembvira sumringah dalam rumah itu, mereka saling pandang terhadapperubahan mendasar dari Azam.
‘’Kapan kita pergi Zam?’’, sapa Emak.
‘’Siap Magrip nanti Mak Emak siap-siap saja dengan segala barang bukti pengaduannya’’, sela Azam.
Setelah selesai Sholat Magrib Azam dan Emak pergi mengendarai Motor Ayah menuju Kecamatan di Pasar Lubuk alung, di sana terdapat Kapolsek yang selalu siap menerima pengaduan masyarakat. Tidak terlalu lama di di perjalanan, kira-kira setengah jam perjalanan mereka sudah sampai diambang pintu Kapolsek, Azam langsung memarkir motor di sebelah kiri pintu koridor.
‘’Selamat malampak!’’, sapa Azam kepada penjaga.
‘’Malam! Ada yang bissa kami bantu Pak?’’, sambut polisi penjaga itu.
‘’ Benar Pak, saya mau membuat pengaduan, pengaduan penyaniayaan Pak!’’.
‘’Oh silahkan isi buku tamu, dan langsung kemeja piket itu!’’
‘’Baik pak!’’, Azam mengisi buku tsmu dan juga Fatma, sesusi perintah Polisi penjaga merteka pun masuk menemui meja piket di koridor.
‘’Selamat malam Bapak dan Ibuk! Ada yang bisa kami bantu’’, sapa piket ramah.
Azam menceritakan kronologis cerita yang baru saja menimpa Ibunya Fatma, mulai dari penyebab, jam kejadian hingga korban menderita penganiayaan.
‘’Ini mungkin cukup menjadi bukti Pak’’, sambi menunjuk bahu Ibunya yang biru lebam dan sedikit pada bagian pelipis.
‘’Baiklah! Besok kami datangi kampung itu dan kami akan ringkus tersangka!’’, sambung polisi piket.
Usai presentasi kasus tersebut, Azam dan Ibunya pun berpamitan untuk pulang ke rumah, separoh perjalan mereka diguyur hujan lebat deselingi angin kencang yang datang dari arah Barat. Berdasarkan penadapt masarakat tradsional dikampung merek itu adalah petanda yang tidak baik, orang sering bilang jika kiota dalam masalah lalu di dalam perjalanan terdapat hujan bercampur angin aitu petanda tidak baik, tapi Azam kurang yakin dengan kepercaayan itu, begitu pula Ibunya Azam yang berboncengan di belakang, dia begitu yakin akan tanda-tanda alam tersebut. Sebagai orang lama, dia sering menjumapi tanda-tanda itu, algi pula waktu berangkat tadi, motor mereka sudah dilintasi seekor ular, hal ini memperkuat pikiran Fatma bahwa usahanya itu tidak akan berhasil, namun Fatma tetap menuruti keinginan Azam, dengan kata lain agar Azam tidak menghancurkan masa depan dan cita-citanya kelak dengan membunuh Bujang.
Di perjalanan pulang itu, Azam memilih memberhentikan motor di warung pasar Lubuk Alung, dia kasihan melihat ibunya kedinginan, setelah hujan agak reja mereka melanjutkan perjalanan hingga mereka sampai diruamh pukul 10 malam. Sat itu batin Azam puas dan tertunaikan segala amarahnya, meskipun tidak harus membunuh Bujang. Esok hari adalah waktu yang ditunggu-tunggu, si Bujang akan diringkus oleh polisi dan amanlah kampung itu dari tindakan anarkis orang gila tersebut. Esok hari bangun pagi akan terasa nyaman bagi Azam, siangnya dia kan berangkat ke padangdan kuliah seperti biasanya, dia yakin bahwa keluarganya sudah terbebas dari masalah yang mencekam.
Benar adanya, pagi itu Azam sumringah, siap bersih-besih badan Azam duduk diruang tengah rumashnya sembali memetik sebatang Sampoerna Mild.
‘’Nyamannya hari ini, masalah yang seudah lam terpendam selesai dalam satu hari, hari itu adalah hari ini, oh betapa bahagianya hati terbebas dari beban berat ini’’, hatinya terus bernyanyi, sesaat kemudian dia dikejutkan Suara Emak yang berpamitan pergi ke sawah.
‘’Zam Emak kesawah dulu, kamu kapan kepadang? Kalau kamu pergi nanti kunci rumah kamu simpan saja di bawah tumpukan kain isang yang ada di bawah pohon jeruk itu! Biasanya juga di sana kami letakkan!’’.
‘’Iya maka, saya mau nyantai duilu, sebentar lagi saya berangkat, hati-hati di jalan Mak, kalau dapat jangan lewati dulu rumah Ibunya Si Bujang itu, takutnya emak diserang lagi sama Bu Haji itu’’.
‘’Iya..Iya Zam, Emak pergi dulu ya!’’.

15. HUJAN AGUSTUS

Pagi itu cahaya matahari sedikit buram, bagian hilir langir sedang digerogiti mendung sebuah petanda yang cukup lama dikampung bahwa sebentar lagi bumi ini akan duguyur hujan lebat, tidak seperti biasanya ini bulan Agustus, biasanya musim hujan datang pada sepetem hingga desember kalu tidak awal januari. Lagi-lagi petanda tidak baik bagi masyarakat kampung.
Kapolsek itu memang tidak terlalu jauh dati pasar Lubuk Alung, kita bisa sampai di sana dengan angkot menuju pasar Sicincin, kira-kira 1000 ongkos dari pasar Ungku Saliah itu kita bisa sudah mencapainya, kantor tepat berada di tanah Sungai Abang, 20 meter ke seberang jalan berdiri sebuah SLTA ngetop, orang menyebutnya SMA standar. Di sana pernah sekolah seorang anak yang bernama Ramadatul Azam, namun sekolah itu terlihat sepi di saat para murid belajar dalam kelas, jauh berbeda dengan dulu, saat Azam masih di sini, meskipun jam pelajaran belum usai masih ramai oleh murid-murid yang nongkrong diwarung depan ataupun di warung Andunag di belakang sekolah tepatnya sejauh tiga petakaan sawah warung lontong itu berdiri. Pemilinya sudah cukup tua, kira-kira berumur 65 tahun sekarang, namun dia dianggap penyayang oleh murid yang suka bolos, sebab disaat guru olah raga mengejar mereka yang bolos orang tua itulah yang menyembunyikan para siswa tersebut di dalam ruang tengah rumahnya. Kini warung itu sudah dibasmi hanya tinggal puing-puing lama yang telah dimamah rayap atau mungkin oarang tua penjual lontong itu telah berpulang.
Sementara warung seberang jalan di depan sekolah adalah warung yang bersejarah bagi para siswa metal, dulu warung itu dukuasai oleh Genk Pemburu, Genk itu pertama kali ada setelah Azam menjadi siswa yang disegani oleh seluruh sentro Lubuk Alung, tanpa disangka Azam dijuluki ketua oleh para siswa yang mengaku takluk dan meminta perlindungan terhadap loyaliasnbya Azam. Hal itu berlaku selama mereka tersebut engakui keberdaan Azam sebagai ketua. Namun itu dulu, setelah kepergian Azam dari sekolah itu sepintas lalu terlihat damai dan asri. Azam yakin terdapat Genk oposisi di skolah itu, sebab bertepatan dengan perpisahan anak kelas 3 dulu Azam dengan sangat arif membubarkan Genk yang dia pimpim meskipun gelar ketua masih sering di tujukan kepadanya sampai sekarang. Azam mengganggap Genk tersebut hanya membuat kekacauan, dia ingin kembali kefitrahnya sebagai manusia biasa tabpa harus menjadi ayah dari banyak orang yang meminta perlindunghan dari preman Lubuk Alung.
Kapolsek itu memang sejak dari dulu sudah berdiri di dfekat sekolah itu, Azamm pun pernah dipanggil kesana setelah tawuran pelajar yang terjadi antara Siswa macho SMA standar dengan SMA YPP, waktu itu banyak korban luka-luka abibat lemparan batu dan keroyokan. Dia sempat ditahan selama 3 jam sebelum disuruh pulang oleh kepala polisi. Sekarang kapolsek itu telah berubah, bangunannya kantir diperlebar keluar, polisi yang berjaga disanan sekarang juga sudah rame tidak seperti dulu yanghanya dua orang, tapi apakah birokrasinya masih seperti dulu? Tiada seorang pun yang tahu.
Tetapi ada sesuatu kejadian yang sedang berlangsung di Kantor tersebut, di sana hadir Wali Nagari Kampung Gadang dan dua orang Wali Kampung Jorong Bukit Ujung dan Bukit Luar Banda. Tiga tokoh masyarakat tersebut asyik berseloroh dengan kepala polisi, sesekali mereka menhirup suguhan kopi panas di atas meja piket, sekarang 3 tokoh itu menyerupai polisi yang sedang piket dari pengaduan masyarakat. Entah sampai kapan mereka sanggup membuang-buang waktu, sementara tuga-tuga polisi tersebut makin bertumpuk, kadar luasa dan hilang begitu saja. Akhirnya jam 2 siang 3 tokoh masyarakat tersebut enyah dari Kapolsek menuju rutinitas mereka yang sempat tertunda sesaat.
Sementara di Kampung Bukit Luar Bandar, seorang laki-laki muda masih menunggu berita kedatangan pihak keamaan yang akan meringkus penjahat kelas kampung, sesuai dengan perjanjin keamaan itu akan datang jam 9 pagi, tapi sekarang jarum jam sudah menunnjukan jam 2 lewat seperempat. Azam tidak mau melewatkan ujian Mid semester Hukum Masyarakat di kampus jam 4 sore.
‘’Sebaiknya aku bersiapp kepadang, sudah jam 2 lebih, mungkin sudah menjadi kebiasaan janji karet mereka’’. Azam mengunci seluru pintu ruamh dan menunaikan semua perintah ibunya sewaktu mau berangkat ke sawah tadi pagi, kemudian dia pun berlalu menuju jalan lintas. Di perjalanan itu Azam bertemu dengan Ibu Rosna sembari tyersenyum runcing kepada Azam.
‘’Kenapa terlambat anak mahasiswa? Sibuk menunggu polisi? Percayalah mereka tidak akan datang sebab bayaranku lebih tinggi dari pada bayaran kamu itu!’’, sapanya menyindir.
Azam tetap berlalu tanpa satu kata pun, dia berpikir tentang ucapan Rosna barusan, ‘’Apa makna yang tertuang dalam kata-kata si Rosna itu, dia bicara bayar membayar, dia membayar siapa dan aku membayar siapa? Atau mungkin dia sudah gila, ah! biarkan saja semoga hajinya bertambah Mabrur’’. Sesaat Azam berhenti di dipinggir jalan, dia ingat kemaren malam dia membuat pengaduan ke kapolsek, sementara samapi sekarang keaman itu tidakkunjung datang lalu si Rosna menyebut persoalan bayar membayar.
‘’Aku tahu, keamanb itu tidak terlambat tapi sengaja tidak datang karena telah dibayar oleh Rosna! Tapi kapan si Rosana itu pergi kekantor polisi? Atau mungkin dia punya orang suruhan! Oh tuhan aku gagal lagi menyelamatkan keluargaku, aku berserah diri dari godaan syetan yang berwujud manuisia ya tuhan, semoga mereka itu masih mempunyai akal sehat dan keluagaku tidak diganggu lagi!’’, dia terus melantunkan puji-pujian dan meminta kepada pemilik jagat raya hingga dia benar-benar raib di telan bus Kawan yang ditumpanginya tersebut.
**
‘’Saya tahu usaha Azam itu tidak akan berhasil!’’, Fatma memandang ke arah suaminya.
‘’Kalau kamu tahu untuk apa kamu datang ke polisis itu?’’.
‘’Saya hanya ingin menenangkan Azam, dengan cara tersendiri, lebih berbahaya jika anak itu menusuk Bujang dengan belati itu, kita yang akan menanbgung semuanya!’’.
‘’Ya sudah, lain kali kamu jangan terlalu agresif terhadap sikap Rosna itu, biarkan saja dia gila sendiri, jika diladeni kita juga ikutan gila, dia itu Haji yang gila darii Mekkah makanya dia mau menurunkan sifat gilanya kepada kita semua agar kita menjadi pengikutnya, benar-benart sifat Dajal yang dimilikinya’’.
‘’Uda sudah mendengar berita?’’
‘’Berita apa?’’
‘’Itu anak Sriningsih keponakan orang Tanjung masuk lulus ter polisi!’’.
‘’Seharusnya kamu senang, merekakan Bako kamu!’’
‘’Iya saya senang, semoga saja tidak seperti yang lain’’.
‘’Memangnya mereka bayar berapa?’’
‘’Berdasarkan keterangan yang saya dapat, Sriningsih membayar 40 juta hingga lulus!’’.
‘’40 juta itu sedikit, di waktu aku dijakarta dulu temanku memberikan 100 juta untuk anaknya hingga dinas di Polda Metro Jaya, tapi mereka itu orang kaya keturunan Tiongha campuran jawa’’.
‘’Di kota dengann dikampung itu jelas berbeda Uda! Disana Kota Besar sementara di sini kampung yang masyarakatnya kampungan tradidional!’’.
‘’Kapan ya kita bisa seperti ini sehingga kelurga kita bisa lebih sedikit diharga oleh masyarakat?’’
‘’Jangan menghayal muluk-muluk Da, dapat makan saja sudah syukur’’, ucapan Fatma menutup sembari berlalu menuju dapur.


16. HIKAYAT TUHAN

Walaupun sudah 6 bulan kepergian nenek, Azam yang masih dalam tekat yang utuh tetap meneruskan cita-cita nenek. Pada semester pertama dalam tahun akdemi 2002/2003 di Universitas Andalas, Azam meraih nilai tertingggi di angkatannnya, IP 3, 91, memapah Azam kenuju pintu beasiswa, kali pertama itu Azam benar-benar merasakan nikmatnya uang sumbangan pemerintah. Azam kerap menjadi gunjingan di kalangan teman-teman sejawat maupun sonior. Tidak ada lagi kejelekan Azam yang menjadi buah gunjingan ataupun kata-kata pembuka gurauan desi dengan Ririt, tidak ada lagi kata-kata banci yang keluar dari mulut Yance dan juga tidak ada lagi ketinggalan jaman yang dihadiahkan Ilham saat kemping bersama. Semuan seakan hilang sirna terkubur bersama jasad sang nenek. Lalu bagaimana dosa kepahlawanan yang diembankan di pundak Azam? Akankah julukan anak orang terlibat sirna bersama datangnya pengakuan pemerintah dalam wujud beasiswa?
Azam masih terus mencari jati dirinya, melalui organisasi Fakultas mulai dari Forum Study Islam yang ditawarkan Zul Fakri, Bengkel seni Tradisional Minangkabau yang menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa Sastra Minangkabau, teater, BEM fakultas, semuanya diganyang oleh Azam. Di Bengkel seni Azam pernah mengikuti festival teater tradisional Randai se Sumbar, dalam vestifal tersebut grup teater yang menjadai lembaga pelindung Azam berhasil meraih juara 1 di Sumatra Barat, Azam sebagai tokoh pertama dalam cerita randai, ‘’merantau’’. Bersama itu pula Azam, Zul Fakri, Dasrizal yang tergabung dalam aktifis muda berani buka-bukaan di koran kota padang. Terlalu banyak ide yang harus di tulis, mulai dari maslah budaya, sosial kemasyarakatan, akademik, dan kehidupan mahasiswa. Setu minggu penuh nama-nama mereka muncul bergantian di Koran Kota Padang sebagai penulis.
Zul Fakri yang lebih banyak terfokus terhadap cerpen berhasil meraih Aword di Koran Kota Padang, sementara Dasrizal sendiri berhasil merampungkan bukunya yang berjudul, ‘’Demontrasi Ala Mahasiswa’’, Amin Rais sebagai pengantar. Lambat laun Azam mulai dekat kepada para dosen-dosen di fakultas, malahan Azam maupun Zul sering diajak dosen penelttian ke daerah Bengkulu, jambi, Medan hingga ke Banda Aceh. Di sisni Azam memperoleh pengetahuan yang tidak didapatnya di dalam kelas. Awalnya Azam dekat dengan Drs. Ibrahim, M. Hum, Pak Ibrahim adalah orang yang berpengaruh di tingkat universitas, ata-katanya sangat didengar oleh pejabat rektorat. Hubungan keakraban ini terjadi saat Pak Ibrahim yang ditemani Bapak Pier Carles datang ke rumah Azam di kampung, kedua bapak-bapak itu memang bergerak di bidang Filem dokumenter, saat itu bertepatan dengan maulit nabi di kampung Azam, entah siapa yang memberikan informasi mereka langsung mengetahui rumah Azam, sementara Azam sendiri belum mengetahui siapa yang dinamakan dengan Pak Ibrahim dan Pak Charle Pierce tersebut. Kali keduanya pertualangan dimuali, Azam diajak langsung oelh kedua bapak-bapak tersebut, mereka cepat akrab dan cocok sebagai petualang ilmu pengetahuan. Azam yang sudah mulai agak suka bicara dan paling suka bertanya, menapilkan gambaran sosok Azam yang lugu di hadapan mereka sekaligus menambah perhatiannya kepada Azam, kemana pun mereka pergi Azam selalu ditawari, jika tidak kuliah Azam memilih ikut berpetualan hingga akhirnya Bapak Pier menganggap Azam sebagai anak sendiri, Azam pun sering dibawa Bapak Pier ke rumahnya, saat Azam tidak datang ke rumah Pak Pier, istri Pak Pier selalu menanyakan keadaan Azam, Azam sendiri salut kepada kedua orang itu. Ya! Bapak Pier memang mempunyai banyak anak angkat, mereka selalu berhasil meniti karir selama belajar bersama dengan Bapak Pier. Namun, kedekatan hubungan Bapak-anak berakhir di ujung musibah yang menimpa Bapak Pier saat meliput tsunami di Aceh, jasad Pak peir tidak ditemukan, mungkin telah dikuburkan secara masal oleh relawan yang datang sesudah kejadian.
Bapak Ibrahaim sebagai orang yang terdekat Bapak Pier sedih melihat perubahan sikap Azam yang sering melamun, dengan segala macam cara Bapak Ibrahim berhasil membujuk Azam agar kembali menjadi dirinya. Usaha itu berhasil sehingga Azam kembali meraih beasiswa dan berhasil menamatkan kuliahnya dalam jangka waktu 3, 5 tahun dengan IPK 3, 95 Bapak Ibrahim sendiri sebagai pembimbing satunya Azam ketika itu.
Kini Azam menjadi seorang Sarjana beridealis, cita-citanya hanya satu yaitu ingi memanfaatkan ilmu yang diperoleh bagi kemaslahatan umat. Waktu wisuada seluruh keluarga Azam datang kekampus, Emak, Adek-adek Azam, Paman, tetangga kecuali nenek yang telah lebih dahulu mengahadap kekasihnya. Semuanya ikut merasakan keghembiraan itu, tidak terlepas bidang studi maupun Fakultas Azam sendiri. Awalnya sosok seperti Azam ini yang sangat diharapankan untuk kemajuan fakultas di masa depan, Azam diminta mengapdi kepada almamaternya oleh pimpinan fakultas. Keinginan itu disambut syukur oleh Azam, terbuka lberlah pintu bagi Azam untuk memanfaatkan ilmu yang ditimba di sana, Azam juga dapat lebih banyak belajar, apalagi saat Azam dipercaya memegang kunci Pusat Study olha Dosen yang tidak pernah mengajarnya diwaktu kuliah, bagi Azam tidaklah masaah karena status kedetakan baru itu, menjanjikan akan pershabatan kekal Antara Pak Drs. Pembudi, M. Hum dengan Azam. Tidak berbeda dengan Pak Ibrahim, Pak Pembudi juga mempuinyai jaringan yang cukup kuat di seluruh Indonesia hingga ke luar nergri. Pak Pembudi juga termasuk salah satu orang yang berpenagruh di Universitas, kata-katanya tidak satupun yang dapat membanatah maupun mengkritik.
Azam sendiri mengatakan bahwa Pak pembudi bukanlah seorang Dosen tetapi orang lapangan, bayangkan saja seluruh NGO yang ada di seluruh Indonesia berada di bawah kendalinya, Azam sendiri baru tahu setelah Pembudi memperkenalkan jaringan-jaringan tersebut dan sekalisgus cara-cara kerjanya. Pak Pembudi memang tidak perlu ikut partai politik, tetapi setiap suasana politik dimulai dari pencarian kader hingga terpilihnya calon-calon, Pak Pembudilah salah satu oranng paling sibuk menentukan petaperpolitikan masa depan. Setiap kader politik harus memalui izin Pak Pembudi. Jika Pak Pembudi ingin mangangakat atau memeberhentikan rektor di seluruh universitas, hal itu bisa saja dilakukan Pak Pembudi, dia cukup menggerakan salah satu jaringannya yang bekerja untuk itu. Hanya satu kekalahan yang diakui oleh Pak Pembudi, dia tidak bisa menulis di Koran. Namun, kekurangan itu tidaklah terlalu berpengaruh bagi Pak Pembudi, seluruh media masa juga berada di bawah tangan Pak pembudi, tepatnya Pak Pembudi memang sempurna dibandingkan Dosen-dosen lain yang hanya mengajar lalu pulang.
Tetapi yang membuat Azam bingung,, setelah 1 bulan dekat dengan Pak Pembudi, persaan Azam mulai berubah, dia telah berani menaruh rasa terhadap seseorang mahasiswa Universitas Swasta. Tapi setelah kisah tersebut diceritakan kepada Pak Pembudi, Azam mendapat dukungan sehingga hubungan antara Azam dengan pembudi tidak bisa dipisahkan lagi, diamana ada Pembudi di sana ada Azam, Pembudi budi Junior adalah pangilan baru bagi Azam di NGO.
Suasana yang sangat bersahabat itu, membuat Azam melupakan segala penderitaannnya, Azam lupa dengan Pak Ibrahim yang dulu pernah ada di hatinya, namun setelah Pak Ibrahim menghianati Azam beberapa kali, Azam mulai menjauhi Pak Ibrahim, malahan tindak-tanduk Pak Ibrahim sering menjadi inspirasi tulisan Azam di koran. Sebenarnya antara Pak Pembudi dengan Pak Ibrahim kurang cocok, mereka berdua selalu bersaing, mulai dari keluarga hingga ke jaringan-yang dimiliki oleh masing-masingnya. Zul sendiri direkrut oleh Pak Ibrahim sebagai staf barunya di Pusat kajian perfileman yang dia miliki, Pak Ibrahim bilang kepada Zul, bahwa nanti ada penerimaan staf pengajar muda, Zul adalah calon tunggal yang akan dipertahankan di tingkat universitas. Selanjutnya Zul akan di S2-kan oleh Pak Ibrhim.
Sementara itu Zam sendiri pun mendapat harapan yang sama dari Pak Pembudi, kalau Pak Pembudi bicara pejabat akan menuruti, jadi untuk mengeuliahkan Azam ke tinggkat Master bagi Pak Pembudi tidaklah terlalu sulit, cukup dengan menggerakan salah satu jaringan saja, semua akan klir.
Antara Pembudi dengan Ibrahim adalah sosok-sosok manusia pembaharu yang sangat dibutuhkan bangsa ini, Pembudi berpikiran marxisme memepunyai gaya dan taktik sendiri untuk menundukan semua lawan, sedangkan Pak Ibrahim yang terjun ke dalam tarekat Naqsabadiyah separo jalan, membuatnya sering agak Kapitalis. Tetapi terlepas dari semua itu, kedua orang itu tetap menjadi sosok yang ditakuti oleh teman maupun lawan, kalau saja keduanya menyatakan perang secara terbuka, maka rusaklah seluruh tatanan sosial yang ada ketika itu. Kini Azam sendiri sudah memiliki kemerdekaan, Azam mersa berhak menggunakan fasilitas pemerintah yang ada baik di Universitas maupun di mana saja, jika Azam mendapat kesulitan Azam cukup menyebut nama Pembudi 3 kali, semua akan normal seperti sediakala.
Kebebasan yang dimiliki Azam itu difokuskan kepada menulis, sudah berbagai macam kritikan yang sudah ditulis Azam, muali dari esai, artikel, cerpen, syair maupun berita-berita penting. Tiada seorang pun yang mampu menghentikan kehausan Azam terhadap pemikiran baru, termasuk Pak Pembudi sendiri. Dengan tidak segan-segan Azam berani menyebutkan nama lembaga yang menjadi sorotan di dalam tulisannya, termasuk lembaga tempat bernaungnya sendiri, sebab bagi Azam siapapun punya hak yang sama untuk berpikir dan menumbuhkan ide-ide kreatif utnuk membangun sebuah bangsa yang benar-benar merdeka dari seluruh bentuk penjajahan termasuk penjajahan oleh diri sendiri. NGO-NGO yang sudah menjadi sahabatnya sendiri tidak luput dari sasaran empuk tulisan-tulisannya. Pernah hari minggu Akhir Agustus pimpinan NGO di Kota Padang menemui Pembudi di temapt kediamannya di Indarung, namun saat itu wajah pimpinan NGO tersbut sudah kekurangan cahaya saat berpapasan dengan kehadiran Azam. Azam pernah mencari tahu perihal kejadian itu, namun hanya dibalas dengan satu senyuman oleh Pak Pembudi.
Azam memperhatikan bahwa akhir-akhir minggu itu, Pembudi sibuk terkadang jarang muncul dikampus sehingga dosen-dosen yang membutuhkan saran Pak Pembudi menemui Azam dan mereka merasa cukup mendengar saran dari Azam. Di suatu hari tepatnya di usia ke-70 tahun Universitas, Pak Pembudi menginginkan seluruh dosen menulis naskah buku, kata Pak Pembudi akan diterbitkan seiring diperingatainya acara lustrum. Keinginan Pak Pembudi itu disambut baik oleh pihak universitas, Azam langsung menjadi penerima dan mengumpulkan naskah yang telah layak terbit.
Azam terpaksa melupakan tulisan untuk koran, mau tidak mau Azam harus fokus terhadap penerbitan buku-buku, sebab acara lustrum universitas hanya tinggal 2 bulan lagi, maulai saat ide itu digagas semua panitia sibuk, Azam dan Pembudi sendiri sering menjadi orang jalanan tidur sambil bekerja, bekerja sambil tidur. Masalah sesulit apapun sudah menjadi biasa bagi azam, mulia dari hinaan, harga diri yang dilecehkan, tekakan, semuanya menjadi sarapan pagi Azam. Di sini pekerjaan sungguh benar-benar serabutan, mulai dari tukang angkat buku hingga ke meja komputer shingga Azam sendiri sering terlena di dalam dunia maya. Saat itu pula Azam pertama kalinya melihat uang sejumlah Rp. 700.000.000,00 secara langsung, Azam sendiri yang membawa dan mengembilnya dari BNI dan menyerahkannya ketangan Pembudi. Uang itu dicairkan Universitas untuk pembiayaan penerbitan 65 judul buku. Buku-buku itu pas terbit dan diluncurkan pada hari H lustrum, setelah itu Pak Pembudi tercatat sebagai penerima penghargaan dari MURI, Pembudi senang dan sekaligus bangga setengah mati, sikapnya yang sedikit ceplos-ceplos menyebabkan munculnya penilaian yang jelek dari orang-orang yang belum betul-betul mengenalnya, tapi Pembudi hanya tertawa renyah saat orang mulai mempergunjingkannya. Ya! Saat itu Pembudi menang telak dari Pak Ibrahim, namun tindakan itu berhasil dibalas oleh Ibrahim setelah dia menadapatkan dana penelitian 600.000.000, 00 dari British Council. Proyek pernaskahan yang dikomandoi oleh Pak Ibrahim dihargai mahal oleh jaringannya yang ada di Inggris, kejadian ini tentu saja membuat Pembudi terkejut.
Ya! Pembudi juga tidak senang terhadap sikap Ibrahim yang tiba-tiba pongah, berbeda lain dengan Azam, Azam membenci tindakan Pak Ibrahim karena Pak Ibrahim telah melakukan tindakan fatal. Pak Ibrhim telah menjual kebudayaannya sendiri ke pada orang asing, Azam sendiri telah membayangkan dampak yang akan ditimbulkan kemudian hari, yaitu penjajahan gaya baru yang akan dilakukan oleh pihak asing terhadap Indonesia. Keluhan ini menjadi inspirasi tulisan Azam, tetapi tiada seorang pun yang mau menanggapi, walapun pihak koran masih menerbitkannya, setiap orang yang memebaca tulisan Azam, dan teman sesama penulis pun sering memeperringatkan Azam atas kritikannya yang tajam.
‘’Kamu mengehendaki lawan yang tidak sebanding Zam!’’
Azam sendiri tidak mau meikirkan itu, sebab Azam telah merasa bisa melakukan apa yang dilakukan orang lain, jika jalannya sudah seperti Pak Ibrahim maka Azam sebagai salah seorang yang dibesarkan dengan idealisme berhak bersuara. Azam terus menulis, hingga tulisan-tulisannya dipublukasikan di Internet dan di Blognya sendiri. Seperti halnya pembudi, tiada siapapun yang mampu menghalangi Azam untuk menulis.
‘’Kecuali dengan kepergian Azam dari lembaga, itupun hanya akan memerlambat perjuangan Azam dan bukan untuk menghentikan’’, ujar Ketua Senat dalam suatiu rapat.
‘’Tapi Azam merdeka karena diberi kemerdekaan oleh Good Father!’’, sambut senat 1.
‘’Kita tunggu saat Azam menyerang si Good Father!’’.
‘’Betul dia lebih tahu apa yang harus dilakukan!’’, sambung hadirin yang hadir ketika itu, kemudian rapat senat yang kedua usai.
‘’Sebenarnya Azam telah beberapa kali menyerang Good Fathet dalam tulisannya! Bapak-Ibu pernah membaca tulisan ‘kelicikan intelektual dan pelacur akademik’, di Koran, penulis menggunakan nama samaran ‘YM. Langsung Kawa, di bawahnya tertulis Komunitas Jalan Lurus’, satu-satunya penulis yang bernyali seperti itu hanyalah Azam, dari gayanya bercerita jelas tergambar!’’, terang senat 2.
‘’Ya! godfather pernah menelusuri berita itu kepada ajudannya yang berada di kumunitas kepenulisan, memang Kumintas Jalan Lurus itu tidak ada di Sumbar ini!’’, lanjut senat 3
‘’Ya! Sebaiknya kita serahkan kepada Good Father!’’, senat 5 menutup pembicaraan.
Setelah beberapa saat setelah rapat senat Azam masih sempat bekerja menerbitkan buku-buku kesusastraan bersama Pembudi. Sejurus dengan itu Azam mulai mulai dilanda berbagai musibah, Azam diusir ibu angkat dari rumah, karena Azam berani berjalan berpapasan dengan gadis cantik, laporan sesorang ternyata telah berhasil meracuni pikiran Ibu Zulaikha Ibu angkat Azam. Selanjutnya Azam diselamatkan oleh temannya yang kebetulan seorang doktor, belum sempat azam memperbaiki tempat berdiri, Azam pun dilanda musibah yang sama, lagi-lagi laporan yang mengancam keutuhan dan nama Baik Pak Dr. Syaifullah sekeluarga. Berita ini pun didengar oleh Pak Pembudi, Azam diselamatkan, waktu itu Azam dirumahkan koskan lebih dekat dari Universitas, Pak Pembudi langsung membayar uang kos Azam selama 6 bulan ke depan.
Sementara itu, di kesempatan lain di sudut fakutas, Goog Father Asyik berbincang-bencang dengan beberapa utusan penting.
‘’Kamu Nurul! Kamu persiapkan segala sesuatu dan buat benteng sekuat mungkin untuk kepentingan NGO-mu itu!’’, jelas Good Father kepada pimpinan NGO.
‘’Baik Pak!’, sambungnya.
‘’Sementara waktu, bagi semua utusan-utusan di sini, kembalilah bekerja seperti sediakala, dia sudah berada di bawah perlindungan saya, mungkin dia sedang mempersiapkan serangan balasan atau gantung diri sebagai akibat kekalahannya oleh situasi, janganlah kalian begitu cemas, dia hanya sendiri, dulu dia pernah cerita bahwa kakeknyanya orang terlibat, julukan itu terpaksa diakui oleh kakeknya, sebagai gantinya si kakek itu dihadiahi gelar pahlawan tanpa penghargaan apa pun!’’, lanjut Good Father.
‘’Untuk Saudara Ibrahim saya harap saudara jangan pergi dulu, ada hal penting yang harus saya diskusikan dengan saudara!’’, cegah Good Father.
Sejurus kemudian, pembicaraan dewan syuro pun berakhir, tinggalah Good Father dengan Ibrahim. Ya! Di masa itu Good Father adalah tuhan yang baru saja datang dari ketidaksadaran seorang manusia, kelebihan-kelebihan itu sengaja dijelmakan ke dalam dirinya. Lihatlah dunia yang diciptakannya sendiri, firmannya yang tegas, perintahkan jaringan-jaringan sebagai malaikat, tapi sayangnya masih menggunakan kolong langit yang sama dengan orang seperti Azam ataupun Zul Fakri, mungkin Azam dan Zul Zul yang lain.

17. SISI LAIN DUNIA

Gemerisik laut-laut senja mecahkan ketenangn pantai, sesat dilalui seorang pengembara dari timur. Penghuninya kurang yakin, entah kenapa sang pengelana itu bisa selamat melewati rimba larangannya itu. Semua makhluk tahu bahwa rimba itu tidak bisa dilalui oleh siapapun yang tersebut bernyawa, aneh dan lebih banyak lagi keanehan yang tercatat dalam sepanjang sejarah hidup manusia. Jutaan abad lalu pernah datang juga manusia aneh dari barat melewati rimba keramat itu, tetapi yang sampai ke seberang hanyalah berita, mungkin dia telah mati terbunuh oleh penghuni-penghuni malam dirimba atau mungkin juga bersahabat dengan malam di sana dan diperbolehkan tinggal untuk beberapa waktu lama, tapi itu hanya perkiraan saja. Ini kali keduanya manusia aneh yang melewatinya dan bahkan sampai ke seberang dalam wujud roh bukan berita seperti kejadian tempo silam.
Atau munculnya berita yang berwujud jasad itu keturunan dari manusia aneh yang datang dari jutaan abad yang lalu, hanya saja waktu ini kesempatan baginya melihat tepian pulau, dia berkata ‘’akulah wakil tuhan di tanah ini, aku dianugrahi pengetahuan yang luas akan kuajarkan kepada umat-umatku nanti!’’ tetapi dia sendiri bingung, siapa yang akan menerima ajaran dan anjurannya yang bernada angkuh itu, apakah manusia-manusia hyperealis akan mendengarkannya? Apa yang dia pikirkan sesungguhnya, bukankah dunia baru yang akan dihadang, layaknya sama seperti dalam pikirannya yang bulat dan penuh dengan rimba larangan, aneh dan hanya satu tuhan seperti dirinya saja.
Namun, sudah hampir satu tahun dia hanya mampu berputar-putar di hanya tepian saja, sebab belum juga jatuh titah dari sang raja penguasa siang dan penjaga malam, pemilik waktu dengan ruang, pembuat takdir hingga masa depan, itulah yang dia tunggu-tunggu, perintah untuk menyebrang samudra mimpi-mimpi yang akan dia taklukan. Ia yakin dengan bekal yang dibawa akan meluluh lantakan bayangan-bayangan masa depan. Pas sembilan masa kejayaan dia lalui, dengan kesabaran menunggu dan terus menunggu, tanpa dapat melakukan permintaan dan harapan-harapan, dia yakin tidak ada lagi yang akan dipinta, semua sudah ada keculi satu dia adalah izin penyebrangan, yakin hanya itu saja. Sesaat ubun-ubunnya megerinyit, ledakan maha dasyat mengguncang suasana rimba larangan ciptakan hempasan-hempasan yang menggentarkan nyalinya, hanya berlutut itulah yang dia lakukan, ‘’ampun hamba yang maha agung, hamba hanya insan yang engkau utus, kalau engaku buang hamba jauh, jika engkau gantung hamba akan tinggi, jika engkau memutus hamba mati’’, rangkaian tabir-tabir itu membuka sekaligus tanda menyerah kalah yang muncrat dalam suasana gigilnya.
Seperti biasanya, raja malam itu hanya megirim suara-suara maut, ‘’Engkau! Engkau yang akan menempuh dunia jasad! Engkau yang akan melaksanakan titah! Engkau juga yang akan menjadi paling takut hanya kepada-Ku! Mampukah engkau berjanji demi nama-Ku? Engkau yang akan menjadi jasad, apakah engakau siap menanggalkan seluruh identitasmu? Biarkanlah dia lepas sementara, biarkanlah dia menemui tempatnya sendiri karena Aku juga yang suka berbuat, saat engkau pulang bawalah dia serta bersama luluhnya jasadmu, sementara jasadmu sangatlah Ku-larang menghadap kepada-Ku, sebab dia belumlah pantas menemui Aku, kutempatkan dia pada suatu tempat hanya Aku yang tahu, Engkau yang akan berjasad, kelak kedatanganmu bermacam bentuk rupa kepada-Ku, itu semua sangat tergantung kemampuan engkau untuk membawa seluruh identitasmu yang telah aku kirimkan pada tempatnya yang agung, berjanjikah engkau wahai yang akan berjasad?’’, si mahluk yang belum berwujud menyambut, ‘’hamba berjanji yang mulia!’’.
Ya! dia tidak lagi mampu menahan hasrat untuk segera menyebrang, pada tapal batas yang tidak bernama, dia menembus dan berpindah dari alam ilmu pengetahuan ke alam fenomena. Namun, apa yang terjadi tidaklah seperti yang dijanjikan oleh keyakinanya, teriakan tangisnya mengutuk, sementara orang-orang di sekeliling hanya mampu tertawa terbahak histeris, senang dan gembira akan kedatangannya, ya wujudnya hanyalah seorang bayi, tanpa identitas, tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan dia sendiri tidak ingat apa ayng sudah berlalu, selain menangis dan hanya menangis demi kepusan orang-orang di sekeliling itu termaktubkan. Itulah yang dijanjikan untuk seluruh umat manusia. Ya..waktu tidak akan lama singgah untuk meninabobokan kemanjaan-kemanjaan yang sangat dibenci, terkutuk kejadianya di alam roh.
Kini identitas tersebut harus dia kumpulkan kembali sebelum pulang ke rumah yang sesungguhnya diharapkan. Sesaat dunia hayal itu samar setelah dikejutkan sura deringan HP Seluler yang dimilikinya.
‘’Asalmualikum! Maaf ada yang bisa saya bantu Mbak!’’, suara Azam terdengar sedikit tenang.
‘’Iya! Maaf Bapak! saya dari tempo intemedia, lamaran Bapak sudah kami terima! Untuk tahap selanjutnya ujian tertulis akan dilaksanakan 10 Januari besok, apakah Bapak bersedia datang ke Jakarta?’’, jelas Suara Ibu-ubu dari seberang.
‘’Insya Allah saya bersedia, alamt yang harus saya tuju dan jam berapa ya Buk?’’, tenya azam pasti.
‘’Jln. Salemba Raya no 29 Jakarta, jam 7 pagi tanggal 7 Januri! Bapak bisa memenuhinya?’’
‘’Bisa Buk!’’, tegas Azam.
‘’Terimaksih atas kerja sama Bapak, selamat sore!’’, telpon ditutup dari sebrang.
Azam msih terpaku, tida satupun kata yang dipersipkan untuk memuji peristiwa hebat yang akan menunggunya, lagi pula Azam hanya sendiri di meja komputer, tiada siapa pun yang bisa di ajak bicara, Pak Pembudi sudah beberpa hari ini tidak ke kampus, kata orang Pemudi dijangkiti tipus ganas dan sejenisnya, Azam tidak mengira bahwa orang seperti Pembudi mampu digerogoti Tipus ganas atau memang tikus ganas? Begitulah keseharian yang harus dilalui Azam tanpa kehadiran Pembudi, dinding-dinding yang mulai dirangkati lumut air, layar komputer, buku-buku, dan segunduk harapan yang membuat dia bertahan menyendiri di sudut gedung itu, meancarkan pesan kesedihan. Pak Ibrhim pernah bilang, bahwa sakitnya Azam sudah terlalu parah hingga harus menyepi di sudut gedeung angker sperti Universitas itu. Di saat-saat Pembudi masih rajin ke kampus Azam memiliki teman, dia memang sejati bagi Azam, sagala bisa, dia dapat dijadikan lawan dalam bertengkar ataupun teman saat bicara. Tapi akhir-akhir ini Pembudi seperti menghilang begitu saja ditelan akhir bulan.
Di sudut lain Kampus Zul Fakri juga merasakan situasi yang serupa, saat dia baru saja dipanggil orang tempo untuk tes tertulis kemaren, tapi sayangnya Zul Fakri tidak meblas panggilan itu berghubung sedang sholat Zuhur. Tanpa pikir panjang Azam berlari-lari anjing ke tempat Zul Fakri.
Sementara Zul Fakri sendiri sibuk mempbersihkan karpet-karpet yang selesai dipakai sholat jumat, kalupun tidak mendapat upah keringat dari itu, tetapi Zul telah menabung di Bank Pahala, begitulah kseharian Zul Fakri sebelum pergi ke kampus.
‘’Asalamualikum!’
Zu Fakri dikejutkan oleh suara salam dari luar.
‘’Waalaikum salam!’’, diringi langkahnya yang masih letih menuju sumber suara.
Oh.., Budayawan kritis! Tumben tidak seperti biasanya saudara datang ke rumah saya!’’, puji Zul.
‘’jangan berlebihanlah Zul, kita ini hanya manusia biasa yang dilahirkan serba sama, hanya saja ketamakan, kesombongan membuat kita itu berbeda-beda!’’
‘’sekarang apa pasal hingga kamu datang ke sini?’’
‘’kata kamu, kamu baru saja ditelpon orang Tempo, berarti lamaran kamu diterima, aku juga baru menjadapat telpon yang sama Zul!’’
‘’tapi saya belum yakin bahwa itu orang tempo Zam!’’
‘’sekarang kita cocokan kode wilayahnya, aku punya 0213916..!, coba lihat HP kamu Zul!’’
‘’iya! Saya punya 0213915...!’’
‘’Jelas kita ditelpon oleh perusahaan yang sama!, kamu siap bertempur Zul?’’
‘’kalau sudah jelas seperti ini, saya sangat siap Zam!’’
Setelah berpamitan Azam pergi ke Bank BNI terdekat, di sana masih ada uang hasil penelitian bersama Rivolt Institute minggu kemaren, Ya! Uang Rp. 500.000,00 dirasa cukup menerbangkan Azam ke Jakarta. Se saat Azam merasa sangat berdosa sekali dengan keputusan itu, sebab uang itu sudah diniatkan Azam untuk pembayaran les bahasa Inggris kedua adiknya di Engglish Student Centre (ISC) Lubuk Alung, namun kejadian itu terlalu mendesak dan tiba-tiba saja datang sebagai penyelamat, tanpa menyiapkan sedetik waktu bagi untuk Azam berpikir.
‘’Kalau tidak sekarang, kapan lagi, Ya! Aku harus keluar dari tembok penjara ini, jika tidak hidupku akan mencair di sini, lalu bagimana tanggungjawabku terhadap nenek? adik-adik, emak?’’, kata-kata hati Azam yang bergelora, mantap seketika.
Tetapi, sebenarnya Azam bukanlah seorang anak yang pintar, Cuma bekal penasaran yang mengantarnya hingga sejauh ini, sekarang dia baru mengerti, tanya itu adalah suatu hal yang tabu, keraguan adalah sebuah kelancangan, kejujuran untuknya adalah tiada penghormatan, dia bingung sendiri dengan kepolosannya sendiri, waktulah membopongnya kepada pencarian sendiri, terkadang di perjalanan dia selalu dihadang oleh orang-orang yang menciptakan realitas sendiri, mengklim bahwa merekalah yang paling benar, mereka ingin menguasai kehidupan orang lain dan mengendalikannya, tatkala Azam sendiri jenuh dengan penguasaan itu, pantaslah dia memberontak untuk meruntuhkan dinding-dinding kebenaran itu, di sini keinginannya hanya satu, melihat dunia sebenar-benarnya.
Azam, masih ingat cerita Agus Nor, kisah sarimin yang ditahan pak polisi, kesalahan sarimin karena menjadi orang yang benar. Padahal jika sarimin bersalah, sarimin bisa lebi dihargai. Jika tidak pengacara tidak bisa membela sarimin, sebab pengacara ada ketika adanya orang bersalah. Tapi Azam akhirnya sadar bahwa kakeknya dulu itu lengkapnya juga sarimin, hanya bedanya sarimin dulu dengan sarimin sekarang sangat tipis, kalau sarimin dulu itu bisa menjadi seorang pemimpin, sarimin sekarang tidak mampu menjadi pemimpin, bodoh atau mau dibodohi, tapi alangkah bodoh lagi sarimin dulu, dia ingin menjadi pahlawan selamanya dengan mengalihgenerasikan sebutan pahlawan dalam bentuk dosa hingga 7 turunan, lalu generasi berikut menjelma menjadi ’terlibat?’ tapi jujur saja antara Sarimin dulu dengan Sarimin sekarang hanya kenal-kenal anjing saja.
Azam tidak akan menunggu lama, maklum hidup di Padang serba susah kalau saja ketahuan masih menghirup udara tanpa izin bisa-bisa akan menimbulkan masalah baru, Azam akan diamankan oleh orang-orangnya Good Father sebab Azam sendiri lebih memilih di bawah lindungan Good Father hingga Azam menemukan pintu kebebasan seperti yang dinantikan. Ya! Sudah satnya Azam neghapus jejak-sejarah, jejak-jejak pemikirannya yang keterlaluan revolusi, jejak kebudayaan tanpa pamrih, jejak persahabatan maupun jejak kekeluargaan, harus dilenyapakan dari para anjing pelacak pengendus pikiran siapa saja. Azam sendiri belumlah punya kemampuan ataupun kekuasan melenyapkan anjing yang ribuan ekor jumlahnya, sementara Azam sendiri akan menantang maut, untung-untung salah satu dari mereka akan ketakutan saat melihat taring Azam yang mengkilat, kalau tidak Azam sendiri akan menjadi korban kemunafikan, lemahnya pikiran, layunya kejujuran, matinya kretaivitas, hancurnya idealisme. Ya!Azam orang yang mau hidup seribu tahun lagi, tidak akan tega melihat teman tidurnya yang dijuluki idealisme mati sia-sia, sekarang ada sesorang yang ingin melindunginya, walau dalam wujud perjuangan. Azam belum mau berpikir apakah nantinya dia hanya akan berpindah nama ke dalam kuasa tuhan yang lain, bisa saja julukannya bako , Apak , kakak, andai saja Azam punya kakak di seberang sana, atau mungkin pergaulan, perempuan, narkoba, yang ini tidak lagi, dia telah dikalahkan Azam tempo dulu, jadi tidak mungkin dia, apa iya dia berwujud copet, penyamun seperti di Bukit Tambun Tulang, atau pedagang? Sesaat Azam mulai mencerna isi kepalanya, meraba-raba kbenaran hakiki dari pedagang.
‘’Pedagang itu lebih mulia dari pejabat, ataupun pegawai negri, pedagang lebih jarang berdosa dan jarang juga diumpat, didosai mungkin! Senang rasanya ketika bernapas tidak tergantung pada belaskasihan pemerintah, tidak bisa mandiri, hingga mandi pun harus dimandikan oleh pemrintah! Lalu mereka berkata akulah tuhan! Tapi maaf izinkan kami numpang di bawah payung langitmu! Maklum kami hanay berpura-pura menjadi tuhan, di rumah kami juga sholat seperti kamu-kamu, agar cara kami dilegalkan oleh tuhan!’’
Azam belum juga dapat menemukan siapa yang akan menjadi tuhannya di seberang sana.
‘’Rasanya seperti Rasul Ibrahim saja, kalau Ibrahim sih enak, dijamin masuk surga sebab tuhan yang dia cari tuhannya nabi Adam, tapi tuhan yang kita cari bukan tuhan seperti itu, dan bukan pula tuhan Rasul Muhammad, atau anaknya maryam, tuhan yang kebanykan dicri manusia tuhan yang fana, yang bersembunyi di balik berbagai macam simbol ketidakadilan, keangkuhan, kesombongan yang juga hidup dalam lindungan tuhan kekuasaan, apa mungkin orang seperti kita ini dijamin masuk surga, walau kita bersikeras mengatakan kita hafal 2 kalimat Shahadat? Kalau begitu terlalu baiklah tuhan Rasul Adam itu untuk kita!’’, pencarian itu tertutup seiring datangnya panggilan di ruang tunggu MIA
‘’Diberitahukan kepada para penumpang Batavia Air tujuan Jakarta, diharap memasuki pintu 4! Diberitahukan kepada para penumpang Batavia Air tujuan Jakarta, diharap memasuki pintu 4!’’.
Azam manut mendengar perintah mesin-mesin itu, kali ini wajib bagi Azam untuk mengalah, jika tidak mungkin pintu-pintu kebebasan itu tidak akan pernah terbuka lagi. Dulu ketika di Surabaya, Azam pernah merasakan deranya orang perantauan, baru saja satu bulan di sana dunia-dunia baru memburu Azam hingga ke Warung Nasi Padang tempat paman. Tidak bahnya seperti sarimin, azam dipaksa mengaku salah, azam diaharuskan minta ampun ataupun maaf tas tindakan azam yang lancang sebagai anak kampung, polosnya wajah Azam spontan menepis tuduhan yang jelas tidak bersahabat itu. Padahal dua hari yang lalu azam baru saja terkena imbas musibah, ini bukan salah siapa-siapa, hari-hari di warung nasi membuat azam sedikit betah, Azam suka mendengar kisah dari para pemulung yang numpang hidup di warung paman, memang Azam sendiri setelah menutup warung jam 3 pagi lebih memilih terkapar di meja warung yang telah disusun sebagi tempat tidurnya. Paman Azam sering bilang agar Azam pulang ke rumah dan tidur di rumah, sebab udara malam sangat berbahaya bagi kesehatan kita, tapi malahan paman yang jatuh sakit. Bukannya azam melawan paman, hal itu tidak terniat di hati Azam, Azam pernah pulang ke rumah sehabis jualan, Azam sendiri pernah membaca koran setempat tentang pembantaian para Kiyai dan Ustad, Dukun, ataupun orang gila, memang tahun 1998 itu isu Dukun Santet seperti api dalam sekam, sedikit saja penduduk Balong Sari Tama tersulut emosi, amarah kebrutalan segera berkobar.
Azam ingin mencari suasana baru, dengan berjalan-jalan pada malam hari, yang hanya diketahui Azam awalnya jalan menuju rumah paman berjarak 10 Km dari warung, kira-kira 5 Km dari rumah Azam dicegat beberapa orang peronda yang langsung menempelkan clurit di leher Azam. Nyali Azam kecil luluh seketika, Ya! Siapa yang tidak akan gemetaran diaklungi clurit berkilat, hanya satu tarikan saja clurit itu mungkin telah memisahkan kepala Azam dari jasadnya, tapi untung saja kejadian itu ditenggangi oleh suara hardikan peronda.
‘’Sopo koe?
‘’Nandi Koe?’’, hardik para peronda.
Azam bengong karena tidak mengerti apa yang diucapkan peronda itu.
‘’Awak dari waruang Mak Adang! Awak jalan-jalan pulang! Indak ado oto lai! Tapaso jalan wak’’, jawab Azam dengan lugu.
‘’Lo! Piye iki!’’
‘’Edan koe!’’, mungkin peronda itu mengumpat karena keluguan Azam. Spontan peronda melepaskan kalungan cluritnya dari leher Azam, Azam pun menangis penuh kesyukuran, dia tidak tahu siapa yang menyelamatkannya.
‘’Kamu anak Bapak Padang?’’, tanya salah seorang peronda.
Kali ini Azam mengerti ucapan peronda, sebab yang digunakan peronda adalah bahasa yang juga digunakan gugu-gurunya dulu sewaktu di Sekolah Menengah Pertama.
‘’Iyo!’’, sambut Azam gembira.
‘’Ngapain sampean itu malam-malam masih keluyuran, lain kali kalau mau pulang jangan larut seperti ini, kalau tidak sampean bisa menjadi sasaran pemuda-pemuda sini! Sekarang saya antar sampean sampai kerumah!’’, ulas peronda. Azam pun diantar hingga pintu rumah paman.
Sekarang Azam tahu, siapa yang menjadi dewa penyelamat pada malam ganas itu, Ya! Keluguan sebagai orang kampung mampu menjelaskan kepada para peronda bahwa Azam tidak bermaksud jahat, dia hanya ingin pulang ke rumah, hanya saja Azam menganggap Surabaya sama dengan di kampung, apa lagi waktu mencari durian bersama si Yos, saat selesai ngaji Azam juga sering pulang malam-malam, di kampung itu aman, hanya saja yang sering menjadi musuh Azam waktu itu adalah trenggiling atau ular tanah, mahluk ini sering mengejutkan Azam kecil di kampung.
Kejadian itu membuat gentar Azam, karena itu dia lebih memilih tidur diwarung, selain itu Azam bisa jalan-jalan dengan arek-arek yang berjulan dekat dengan Paman Azam, yang sering mengajak jalan Azam ialah Rudy penjual Martabak Mesir di depan Warung Paman, Rudy memanggondrong tapi baik pada Azam, Azam sering diberi Martabak gratis begitupun Azam saat Rudy meminta segela Es Teh di watung Azam malah mengantarkannya langsung ke tempat Rudy yang sedang jualan. Terkadang Azam memang agak lasak , hal itu disebabkan rasa keingintahuan Azam yang tinggi, Azam pun jalan-jalan ke tempat Iso Roti Goreng, Azam ditawari Rori itu, Azam tanap basa basi langsung mengabulkan penawaran itu, keesokan harinya Azam jadi ketagihan bertandang ke sana, apa lagi saat-saat warung lagi sepi, Iso juga berjualan di sebarang jalan tidak jauh dari Warung Paman. Tapi Azam lebih suka ketika Mbak Pemulung berdongeng, dia cerita tentang Surabaya yang dia ketahui, kayanya dia belasal dari Manukan Surabaya juga.
‘’Zam kata orang Pariaman itu luas ya Zam! Tolong diceritakan apa maksud luasnya Zam!’’, pinta Mbak pemulung.
‘’Begiko Mbak, dulu ada orang Minang pergi ke Jawa, lalu jalan-jalan ke pantai lihat laut, dia minum air itu, rupanya asin, dia berkata, ‘rupanya Pariaman itu luas, di sini airnya juga masih asin’, terang Azam sedikit terbata-bata, memang Bahasa Azam belum sempurna. Spontan semua orang yang mendengar cerita Azam tertawa terbahak-bahak, paman Azam juga ikutan tertawa ketika itu.
‘’Lucu kamu itu Zam’’, sambung Rudy.
Pernah suatu pagi sangat menyakitkan bagi Azam, dua stel pakaian dan satu sarung Azam yang dijemur di belakang warung, raib, Azam lupa memindahakannya kedalam kamar di belakang rumah. Tapi Azam heram, siangnya pakian itu sudah dikenakan oleh Anto anak paman Azam. Azam sempat bertengkar mulut dengan anak pamannya itu, kemudian Anto menjelaskan.
‘’Baju ini saya beli dari si Mbak Rp. 5.000, 00 tadi pagi!’’, jelasnya.
Azam termenung.
‘’padahal kemaren saya asyik bercerita dengan si Mbak tentang piaman laweh, seperti biasanya setelah itu dia makan di warung Paman, tapi malamnya dia juga memakan pakian saya’’.
Rasa yang berkecamuk itu hanya disimpan dalam hati, Azam pun tidak berani nerkisah kepada paman, takut dimarahi paman lagi, lagi pula Azam kasihan juga melihat pemulung itu.
‘’Kalau di usir paman, lalu pemulung itu mau makan di mana?’’, begitulah cara berpikir Azam kecil.
Saat-saat yang menyusahkan azam ketika paman jatuh sakit, dari jam 8 pagi Azam sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk membuka warung, mulai dari membeli air dengan gerobak yang berisi 12 derijen kemudian di dorong Azam ke warung sendiri, selanjutnya Azam menata piring sambal di atas Steleng , setelah siap semua perlengkapan termasuk nasi dan samabal Azam akan disbukan oleh para pembeli hingga jam 2 siang. Menjelang jam dua ipar paman sudah membuka warung kopinya di samping warung Paman, dia agak bertingkah aneh, seskali dia membuka laci warung paman, Azam sendiri melihat bahwa ipar paman telah melanggar larangan emak sebelum Azam pergi ke surabaya. Emak pernah berkata,
‘’kamu jangan mengambil milik orang tanap se izin orang yang punya, apapun benda yang kamu ambil akan membawa kemelaratan bagi kamu, itu namanya mencuri, kamu dapat dosa dari tuhan!’’, nasehat Emak.
‘’Jadi ipar paman itu telah mencuri uang Paman, dia juga tidak bilang pada saya bahwa dia sudah mencuri, kata Emak orang seperti itu sudah berdosa, hidupnya akan melarat’’, ucap Azam dalam hati, sepertinya Azam tidak suka.
Namun 2 orang anak paman selalu mampir ke awrung sebelum menukar pakaiannya ke rumah, dia juga melakukan sikap yang sama dengan ipar paman, Azam menjadi bingung.
‘’Mungkinkah paman membolehkan kelakuan itu, anaknya juga melakukan tindakan itu, apa mungkin paman sendiri yang merintahkan?’’, tanya Azam dalam hari.
Sesaat azam melamun, Paman beserta istrinya datang ke warung, spada kesempatan itu Azam bisa agak sedikit santai sebab sejak dari tadi pagi Azam hanya sendirian melayani pembeli, Azam memilih bermain-main ke seberang jalan, tepatnya ke tempat Iso Roti Goreng. Sayup dari seberang jalan tepatnya dari warung paman terdenga pertengkaran paman dengan istrinya, sesekali azam mendengar mintuo bilang.
‘’Laci ini sudah bocor! Baru kemaren dia datang, sudah mau jadi orang maling!’’, sambil memandang ke arah Azam.
Azam tahu bahwa kata-kata itu ditujukan pada dirinya sendiri. Azam sendiri masih bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan keslahan yang telah dia lakukan, sehinggga mintuo marah kepadanya, apa lagi mintuo mengatakan Azam ingin jadi orang maling, itukan dosa menurut Emak di kampung.
‘’Apa mungkin di Surabaya ini maling bukan dosa, kalau tidak berdosa kenapa di kampung Emak bilang maling itu berdosa? Mungkin juga tidak berdosa, perbuatan maling menurutku juga dilakukan oleh ipar paman dan juga kedua anak laki-lakinya, sudah berkali-kali mereka melakukannya, berarti memang benar tidak berdosa. Jadi, kesimpulannya dosa itu tidak berlaku di Kota-kota, dosa mungkin hanya berlaku di kampung, itupun kalau kita melakukan perbuatan maling!’’, Lagak Azam seperti orang pintar.
Sejurus dengan itu, Azam memberanikan diri bertanya kepada paman kejaidian yang sebenarnya sehingga mintuo marah pada Azam.
‘Paman tidak percaya kamu bisa melakukannya! Coba kamu ceritakan apa sajha kejadian yang ganjil selam paman tidak ada!’’, perintah Paman.
‘’Anu Mak! Gini, saya mau bertanya, di Surabaya maling tidak berdosa ya Mak?’’
‘’Maksud kamu itu apa? siapa yang maling?’’
‘’indak, kata Emak di kampung itu maling itu berdosa, mungkin Mamak tidak ngerti apa yang disebut maling, saya maklum mamak sudah lama di sisni! Begini Mak, maling itu adalah perbuatan mengambil barang orang lain tanpa se pengetahuan dan se izin pemilik barang!’’, dengan lugunya Azam menjelaskan arti maling kepada pamannya. Paman Azam ketawa seketika.
‘’Mana mungkin anak selugu ini bisa mengambil uang laci!’’, terawang Paman Azam dalam hati.
‘’Yang namnya maling itu dimanapun mita berada tetap saja berdosa Zam, Emak kamu itu tidak salah, baik di kampung maupun di Kota maling itu berdosa, karena telah membuat orang menderita, kelaparan dan juga menimbulkan fitnah!’’, jelas paman
‘’Jadi apa yang dilakukan ipar, dan anak-anak paman itu berdosa, apa mungkin kelakuan mereka itu diketahui oleh Paman?’’, azam masih menerawang.
‘’Ah mungkin saja! Merekakan orang-orang dekat paman’’, terawang Azam memutuskan.
‘’Sudah sekarang kamu makan sana, nanti kamu saki!’’, perintah paman.
Azam pergi ke belakang, rencananya mau mengisi perut dengan sepring nasi, tetapi mintuo masih saja mengoceh, sesekali dia bilang anak kampung tidak beradat!, segala macamlah, tapi azam tetap makan walau hanya dua suapan nasi yang mampu ditelan. Setelah itu Azam jatuh sakit, Azam disuruh istirahat di rumah oleh paman, namun hati azam tetap keras mau ikut jualan nasi sama paman, tetapi masih mendapat ocehan dari paman, Azam terasa gundah dan resah dengan pakain sedanya Azam peergi ke Sidoarjo, di sana ada family azam yang jnuga jualan nasi di terminal larangan. Namun dua hari di sana, mata azam kembali dibuka oleh sebuah fenomena baru. Awalnya Azam heran seketika melihat anak muda maupun tua ramai di rel kereta api di samping terminal pada malam hari, sementara pada pagi hari semua orang menghilang dan juga tenda-tenda yang didirikan itu, pagi itu hanya tinggal rumput-rumput mati dan bau amis. Azam juga memberanikan diri bertanya kepada Uni Defi yang tak lain adalah Family Azam yang jualan nasi, tapi malah dia memperingatkan.
‘’Kamu jangan pernah ke sana, kalau kamu kesana kamu tidak boleh numpang disini lagi, ngerti kamu’’, nasehat Uni agak keras.
Azam tambah penasaran terhadap apa yang terjadi di luar sana, hingga pada suatu malam setelah warung nasi Uni Defi tutup, azam mengendap-endap membuka pintu, kalu terdengar sama Uni bisa berbahaya, Setelah samapi di luar Azam mengunci puntu dari luar, sejurus kemudioan Azam semakin penasaran sebelum samapi direl kereta api tersebut. Azam berpikir memang asyik jalan-jalan keluar tengah malam, apa lagi di Sidoarjo, selalu ramai. Azam juga meilihat aneka ragam permainan di sana, mulai dari main Ocak kemudian dikenal oleh Azam main Remi, mainan Babi ya! mainan ini disebut orang kampung Azam dengan Koa, catur juga ada di sana, tapi di sini orang bermain dengan taruhan. Namun mata Azam tidak pernah terlepas dari orang-orang yang berteriak gembira, itu menandakan merka itu pemenangnya, sejurus dengan itu pemuda-pemuda pemenang itu pergi le arah pondok diujung sana, pondok itu hanya diterangi dengan lentera keci atu lilin. Azam pun mengikuti jejek pemuda itu, sesat Azam terkejut.
‘’Astaga! Mereka itu suami istri! Aku telah berdosa! Aku telah mengintip!’’, Azam sadar lalu segera berbalik pulang. Setelah sampai di rumah azam masih berpikir.
“Kok suami istri tinggal di tempat amis itu, lalu rumah-rumah kecil itu apa dirobohkan pada siang hari? Bagaimana Kepala Kota di sini? Kok warganya dibiarkan tidur di tempat kumuh, seharusnya pemerintah kasihan, sedangkan warga laki-laki dibirkan bermain di rel, apa mungkin tidak ada lagi tempat untuk mereka?’’
Mulai sat itu Azam mulai menjadi anak yang suak kasihan melihat penderitaan orang-orang di sekelilingnya. Tidak lama setekah itu Paman Azam datang ke Sidoarjo, Azam sendiri tidak nisa menolak saat dari bawa kembali ke Balong Sari. Susana itupun tidak berlangsung lama, Azam kabur lagi dari Warung Paman, dia bergaul dengan Arek-Arek Suroboyo, entah apa yang dia lakukan setelah itu, dia sendiri tidak sadar, yang dia tahu minum lalu mabuk bersama teman-teman, hura-hura dan suami istri yang tidur di samping rel Kereta Api terminal larangan itu, kemudian hari dikenal dengan sebutan WTS, dilanjutkan dengan perbuatan ipar paman serta anak-anaknya sehingga Azam terusir dari perlindungan paman. Ya! Lambat laun Azam sendiri mengerti pernak pernik malam di dunia Surabaya, lalu selanjutnya apa?
Azam kecil, yang lugu, serta merta polos, ternyata berubah total menjadi sosok yang ingin dikenal, sesekali terlintas harapan yang tertancap sejak bertanam niat di kampung, entah angin apa yang mengantar kesadaran Azam kembali, Azam teringat kembali kata-kata Emak yang hampir dia lupakan.
‘’Kamu jangan melakukan perbuatan dosa, apa bila perbuatan yang akan kamu lakukan bertentangan dengan batin kamu, maka itu adalah dosa!.”
Dengan segenap tenaga, Azam berusaha bangkit dari lembah itu, dia tinggalkan semua sahabat, dan tingkah laku yang dulunya di pandang aneh. Azam merenung saat sepertiga malam menjelang, hatinya berteriak, ‘’Aku hanya seorang anak SMP yang polos dan lugu! Ya Tuhan aku tidak mau dikenang dan dikenal oleh siapapun, cukup hanya Engkau yang kutahu!’’. Di awali kejadian itu, Azam memilih menjadi karyawan Warung Nasi Padang di Manukan, saat itu baginya hidup ini adalah pilihan, jika tidak mampu memilih tidak bisa hidup, tidak mau hidup mati saja. Azam meluruskan niatnya kembali, pergi ke Surabaya karena ingin bersekolah di sana, namun sayang sekali paman dalam keadaan bangkrut sebab lacinya sudah bocor dan sekarang paman Azam sakit-sakitan.
Setelah cukup mengumpulkan ongkos, Azam pulang ke kampung lalu, perjuangan dilanjutkan pada sebuah perusahan Gorden di Kota Padang, sekarang perusahaan itu dikenal dengan nama PT Yeni Jaya Gorden tepatnya berada di Air Cemar. Namun, sekarang perantauan itu kembali terulang, tapi kali ini rantau bagi Azam adalah pintu kebebasan dari cengkraman tuhan-tuhan yang hidup di Kota Padang. Azam menjaga agar niat itu tetap lurus.
Sementara Zul Fakri sendiri belum mampu bangkit dari tempat tidurnya, saat-saat keberangkatan itu Zul masih berjuang melawan penyakit yang sudah 3 hari mengayomi tubuhnya. Tubuhnya yang kurus, memperlihatkan bahwa dia sedang berjuang untuk hidup, pikiran Zul hanya tertumpu pada ongkos terbang ke Jakarta, honor tulisan yang telah dikumpulkan Rp 800.000, 00 dari koran di Kota Padang terlanjur diberikan kepada adik-adiknya yang baru menginjakan kaki di perguruan tinggi.
Namun kedua bersahabat itu tetap bertemu di lokasi ujian hari selasa 9 januari, sudah ditakdirkan senasib seperuntungan akhirnya merak sama-sama gagal dalam persaingan, Zul Fakri pergi ke Pamulang, dia bekerja sebagai editor filem dokumenter di Production House, sementara Azam sendiri berlalu menuju Tanah Abang, saat itu pengembaraan kebebasan Azam baru akan dimulai.


18. GADIS CERPEN DAN KERETA TUA

Aku hanyalah sebuah cerpen, aku hidup dalm cerpen, ya cerita yang tanpa sengaja tergores dalam kertas putih. Saat aku menari bersama senja, aku menjadi sorotan sang pujangga, mereka mulai menggores tubuhku dengan ketajaman pena-pena batin, mereka pula yang menggrayangi harga diri tanpa busana perlindungan, ya aku bukannya tidak meronta, dan bukan pula tidak menolak saat aku diperlakukan seperti itu, tapi aku sendiri telah terlanjur ditelanjangi oleh pikiran-pikiran dunia sebelum diriku benar-benar ditampilkan seperti itu. Semula aku mulai dirangkai dalam bentuk bingkai,
Sesungguhnya mereka hanya memaksakan diri untuk hidup di bawah kukungan pena-pena adi kuasa. Mereka hanya berusaha bertahan dengan goresan kalam, kalaupun itu mendapat tempat di hati penikmat koran-koran kehidupan barulah aku berjaya, walau harus mengorbankan harga diriku sendiri tentunya.
Saat aku menari bersama ombak, akulah yang paling berkuasa di pinggiran pantai, aku jugalah yang paling baik, hanya saja terkadang aku jenuh dan aku rayapi semua tanah tepian, kemudian para pujangga juga menulis sepak terjangku, dimulai saat dari mana datangku, penyebab kedatanganku, kepergianku dengan sejumlah korban hingga bekas-bekas yang aku tinggalkan. Pujangga tetap saja menelanjangi diriku tak obahnya saat aku menjelma menjadi sebuah cerpen. Akhirnya aku memang benar-benar tercatat hanya di dalam cerpen-cerpen.
Saat aku bersiul bersama burung camar, aku pun menulis diriku sendiri karena aku sebuah cerpen, aku hanya ada di dunia cerpen. Tetapi yang kutulis bukanlah kepintaran burung camar bersiul, melainkan ketertarikan hatiku kepada dunia lain yang ada di sekeliling burung camar, sebab bagiku burung camar hanya bersiul saat lingkungan sudah mulai berubah, tenggelamnya transpormas, Iwan Fals juga menulis siulan burung camar dalam lirikan lagunya, tapi aku bukanlah seperti Iwan Fals, sebab aku tidak bisa menulis sebuah lagu pun, aku takut akan menjadi dendangan orang-orang yang putus asa akan ketidakadilan, biarlah aku di dalam sejarah cerpen agar aku selalu tercatat, dan bukan didendangkan seperti itu.Tapi anehnya saat aku tercatat, aku disayembarakan, pujangga-pujangga itu akan menerima kembali keuntungan yang aku hasilkan, tapi tidak mengapa karena pujangga juga aku ada dan dilahirkan, tapi pujangga harus sadar dia diadakan oleh sesuatu yang ada sendiri bukan diadakan seperti yang dia lakukan itu.
Di kala aku merantau kedunia syair, tubuhku dicincang oleh bait-bait puisi. Ada yang mengatasnamakan dirinya kemiskinan, ada yang menyebutnya ketidakadilan, ada yang menyerupai pahlawan, ada pula yang membayangi kebajikan yang seharusnya atau menjadikan dirinya sebuah perjuangan idelisme. Ya!..hanya itulah samurai beracun yang terbuat dari kata-kata, memedihkan, bahkan menyayat tapi tidak mampu menghapuskan bekas yang dia tinggalkan. Mereka menyebutnya bekas ketidakadilan, bekas kemelaratan atau bekas kehidupan alam fana. Lalu generasi ke 7 akan mengais rezki di antara puing-puing yang berasal dari dunia bekas, segala macam kehinaan bersatu padu di dalamnya, segala kenistaan menjadi semangat naluriah setiap insan-insan yang sementara singgah. Kemudian generasi ke 7 berkata, kenapa nenek moyang kami memakan habis tanah kami berpijak, sehingga kami terpaksa membuat rumah di atas angin, saat datang badai, rumah dan anak-anak kami diterbangkan bersama puting beliung. Kenapa pula sejarah kami sesat dari jalannya sehingga garis takdir kami terpaksa diukir dengan kanvas kemunafikan. Kenapa pula khalifah kami mengadaikan harga diri kami terhadap hawa nafsu sehingga tuhan kami tidak lagi berharga di mata kami. Hati ini perih saat syair itu tidakmmapu lagi membela hak-hak, batin ini tertahan pedih saat melihat pusaka samawi diinjak-injak, aku terpaksa melihat penderitaan itu dari jauh sesekali membuang aku muka yang sudah mulai kering.
Lalu mereka masih sanggup mengucapkan takdir jatuh dari langit, apakah mereka sadar tuhan itu dibunuh oleh mereka itu sendiri? Lalu tahta-tahtanya dirampas habis, para malaikatnya diberhentikan dari jabatannya, iblis dibebas tugaskan, Adam dibangkitkan, Muhammad disingkirkan, lalu para jin dijadikan dia penasehat saat menduduki kursi ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian tuhan juga membuat dunianya sendiri dengan kata ‘KUN FAYAKUN!’, ciptakan alam baru tanpa mahluk manusia. Kiranya tuhan tobat melukis takdir yang sama, takut tercipta kembali tuan Tuhan yang memusuhinya.
Memang sengaja aku ukir beberapa kisah yang tidak akan pernah terungkap oleh para pujangga, tidak bisa dimaknai oleh para penyair, tidak bisa pula diganyang oleh para penulis dengan lidah artikel atau opini harian. Aku sendiri merasakan kehadiaranku di dalam denyut nadiku sendiri, terkadang sempat aku berpikir, apakah aku memang benar-benar ada atau ada tapi ditiadakan oleh penduduk se zaman?
Aku juga bisa menggambar kesombongan yang harus ditaklukan dengan kesombongan model baru, lalu kosombongan model baru juga dikalahan oleh kesombongan model baru. Kemudian aku tidak sengaja menciptakan lingkaran setan yang aku sendiri terjebak di dalamnya, aku melayang di laut tak bertuan, mengawang di langit tiada ujung, mengambang di alam entah berantah. Aku bertanya, adakah aku memang benar-benar ada? Atau hanya sekedar ilusi yang ditakwilkan oleh mimpi-mimpi? Kenapa aku bermimpi sementara aku sendiri tidak ada, aku sama sekali samar di dalam kenangan yang aku sendiri ragukan keberadaannya.
‘’Sudah kubilang, hubungi saudaramu di Sidorajo itu, iparnya jadi wartawan di sana! Sekarang kamu tanggung akibatnya Sendiri!’’, suara dari seberang pun berakhir. Akhir-akhir ini kata-kata itu sering diulang-ulang Ibu, aku menjadi tumpuan kekesalan yang tak terperi. Aku sengaja tuli karena aku tidak ingin dan tidak percaya apa yang dikabarkan burung, tapi sekarang keyakinan itu hanya tinggal 50,5 parsen. Kata paman hidup di kota itu susah, kota dikendalikan oleh beberapa orang pengusaha saja, hidup di kota harus pintar-pintar sebab orang pintar saja tidak mampu menaklukan kota. Orang pintar itu rumit, serat idealisme, jauh dari uang sogokan, uang pelicin atau uang takut. Orang pintar itu bodoh karena mau dibodohi, orang pintar janganlah pintar, hancurkan idealisme. Hal itu itu mungkin saja jika dilengkapi dengan uang atau link ke segala penjuru, berbeda denga orang miskin, bagi mereka idealisme adalah satau-satunya pusaka yang paling berharga, begitulah yang diajarkan kampus, kita harus menjadi intelektual yang mampu membawa bangsa ini ke arah pencerahan. Namun anehnya di saat kampus mengasilkan banyak entelek beridealis, jajaran akdemik terlebih dahulu membentengi diri dengan berbagai macam kekalahan, kampus sengaja menciptakan banyak musuh.
Terkadang aku berpikir untuk melakukan hal serupa, kuhancurkan idealisme yang ku puja, niscaya aku akan menjadi setara dengan orang-orang itu, apalagi kakekku dulu juga seorang pejuang kemerdekaan, meskipun nasibnya tidak seberuntung pejuang lain tapi dia masih tetap dimakamkan di taman makam pahlawan. Jadi, aku bisa ambil peran menjual perbagian harta karun negara ini, kugadaikan juga bisa. Tapi aku kasihan pada anak-cucuku nanti, walau aku belum pernah tahu apakah aku akan punya anak atau cucu? Tapi kitakan bersaudara, punya persamaan nasib sepenanggungan, satu latar belakang sejarah yang sama, berarti cucu kalian juga cucuku, anak kalian juga anakku. Mungkin saja kalian tidak terlalu memikirkan nasib anak cucu kalian di kemudian kelak, karena kalian punya peninggalan harta melimpah ruah, ku pikir harta itu tidak akan habis hingga tujuh generasi, lalu generasi kedelapan akan mewarisi sekian bencana moral yang maha dasyat. Haruskah dosa-dosa itu diwarisi oleh mereka? Inngatlah, kalian tercatat sebagai nenek moyang mereka, sekrang-kurangnya begitulah yang termaktub dalam buku sejarah. Tapi, kenapa kalian tidak meninggalkan sesuatu yang berharaga untuk mereka?
Perjalanan ini masih jauh, lebih baik aku mengahayal saja, mengahayal tentang prabu siliwangi, majaahit atau pagaruyung. Konon kabarnya kerajaan itu rakyatnya sangat sejahtera, dalam hayalan aku memilih menjadi raja simbolis, biarlah para mentri yang terdiri dari rakyat jelata melaksanakan kebijakan. Hitung-hitung kereta ini akan sampai besok pukul 11 pagi di Jakarta, maklum aku membeli tiket kelas ekonomi. Sebenarnya tiket kereta cepat masih banyak, tapi aku wong ciclik sukanya yang susah-susah dan juga susah ditebak. Lagi pula aku tidak akan bisa terlelap di atas kereta tua ini, meskipun di sampingku duduk laki-laki ganteng, aku yakin tidak akan terpengaruh meskipun segunung rayuan ditaearkan padaku. Bicara soal pasangan hidup, aku sendiri sudah bosan pada siapa saja yang mencoba menghampiri hidupku. Dulu pacar pertama di SMP meninggalkan aku, dia lebih memeilih perempuan yang berdada, pacaraku yang kedua di SMA memilih orang tidak berdada sama sekali, dasar laki-laki homo! Lalu di waktu kuliah, aku pacaran dengan taman sekamarku, tapi rasanya percuama ku ajak dia menikah, kami tidak mampu menghasilkan bayi mungil seperti yang kuidamkam, jalinan kasih kami pun berakhir. Ya! masa laluku terlalu pelik dan simpel, tiada seorangpun yang sanggup memprotes perjalanan hidupku yang aneh itu. Terkadang aku berdoa pada tuhan tetapi dosenku yang marsis bilangh tuhan hanyalah hayalan orang-orang dewasa, akupun menuruti jejak marsisnya, namun dari belakang aku masih tetap berdoa agar dia mati cepat, bagiku orang seperti itu merusak tatanan sosial yang pernah ada. Tahun ke-4 aku resmi jadi sarjana, ku awali karirku dengan perjalanan panjang hingga aku mendapakan orang tua angkat, tahun berikutnya aku mengangkat oarang lain jadi orang tuaku, orang tua aangkatku cemburu lalu mengusirku. Dalam jiwaku sekalut itu aku datangi orang yang ku angkat menjadi orangtuaku, tapi dia ingin menikaiku, aku pun pergi dari sana, berkelana hingga ke ujung malam dan sekarang aku duduk di atas kereta ini. Kereta ini sudah tidak selayaknya beroperasi, kursinya keras terbuat dari plastik hingga pinggulku terasa menebal, apa lagi kereta sering ini berhenti di perjalanan. Masisnis bilang, kereta ini akan selalu berhenti jika ada kereta lain yang datang dari arah berlawanan, soalnya jalur kereta ini hanya satu. Pernah dulu kejadian kereta api tabrakan akabibat kelalaian masisnis, tabrakan di Bintaro misalnya, ratusan korban tidak bersalah menjadi tumbal demi menegur orang-orang tuli. Nah, tentunya masinis tidak ingin kejadian itu terulang kembali, ku tau masinis sedang belajar mendengar.
Aku tahu yang kutinggalkan bertambah jauh, yang ku tuju bertambah dekat, tyapi tetap saja aku tidak tahan dengan para pedagang keliling dan pengamen itu, aku pusing mereka datang bak kereta api, kereta ini menjadi lebih padat. Ku tahu mereka hanya menunjukan sebuah cara mengais rezeki, berdagang sambil mencopet atau mencopet sambul berdagang, pekerjaan itu halal bagi mereka. Aku memang tidak bersentuhan langsung dengan meraka itu, sebab setiap kali naik kereta aku selalu memilih tempat duduk dekat jendela kaca kereta, selalu tiketku membaewa keberuntungan dapat tempat duduk sesuai dengan keinginananku, sebab aku selalu menjadi yang pertama mendapatkan kursi di saat berebutan. Jadi aku aman dari para pedagang maupum pengamen, kecuali saat aku ingin ke WC sesekali aku bersentuhan juga dengan mereka, aku memang harus lebih hati-hati.
Ya beginilah kereta yang sudah patut di musiumkan, tapi aku ingat perjuangan kakek melawan Belanda dulu., kakek berpangkat mayaor dengan beberapa pasukan, bersama para pejuang lainnya kakek merusak rel kereta sebelum kereta itu lewat. Kereta itu diisi para serdadu Belanda dari Sawah Lunto menuju Padang. Di antara para penumpang kereta itu terdapat seorang tawanan, dia salah seorang anggota pasukan kakek yang terangkap saat penyerbuan ke tambang Batu Bara Ombilin, sementara rekan-rekannya tewas tertembak. Kakek ingin membebaskan tawanan itu, tawanan itu bebbas setelah kereta batu bara itu terguling jam 10 malam.
Sekarang aku Belanada, Belanda yang menumpang kereta dari Surabaya -Jakarta, aku membawa tawanan diriku sendiri, waktu, ruang, harapan, impian melebur jadi satu, ialah ada dalam ketiadaan, tiada dalam dalam idiologi. Saat waktu mengalahkan ruang, dunia tiada berbatas, penderitaan, kebahagiaan adalah nama lain dari penjajahan. Belanda memang telah raib dalam dunia masa lalu, disebut sejarah yang berpura-pura baik demi kepentingan duniawi. Belanda telah menyatakan maaf di perjanjian KMB, ya! telah berlalu masanya ganti rugi kejahatan kemanusiaan, namun dosa terus di gali, dokomsumsi oleh para Belandaisme. Alhasil, waktuku dan kami dijajah para penggali kubur dosa. Ya! kamilah para tawanan detik waktu yang hilang itu, bersama sisa umur kami, pengamen, pedagang kopi, masisnis apa bedanya?
Tapi kekek diamanakah engkau sekarang? Mengapa kau tidur pulas, hadiah topi besi yang tertelungkup itu cukup untuk mengenang jasa-jasamu, gelar pahlawan yang diangung-agungkan itu tidak pernah kau rasakan. Engkau sendiri yang meminta, kelak engkau mati nanti ingin dimakamkan di makam keluarga. Tidak! itu bukan salahku, para serdadu itulah yang membawa jasadmu tanpa sepengetahuan keluarga, katanya engkau seorang pejuang kemerdekaan. Seandainya aku hidup lebih awal, akan kularang engkau mati sebagai pejuang, aku tidak suka kalau engkau hanya dipuja, untuk apa jika hanya dijadikan bulan-bulanan untuk menakut-nakuti kami agar kami tidak membantah kebijakan. Apakah engaku pantas tewas di medan pertempuran hanya untuk itu? Tidak aku tidak rela ideologimu itu dimakan cacing-cacing bawah tanah. Haruskah aku menteskan air mata dalam mengenangmu, di saat tangis itu tiada lagi? Baiaklah, aku teteskan dua butiran bening, tapi pada tetesan ketiga engkau janganlah memarahi aku, sebab aku punya sehelai sapu tangan. Sekarang kau di kereta tua yang dudlu engkau gulingklan itu.
Tanpa kusadari, dua hulu sungai itupun mengalir, deras seperti amarahnya para penyair ‘Aku’. Sementara kereta tua ini terus meraung memecah kesunyian malam perjalanan panjang.
‘’Anita! Kamu jangan cengeng, kakek berjuang iklas untuk anak cucu kakek, bukan hanya kamu seorang cucu kakek, semua orang yang mengecap manisnya hidup ini adalah anak cucu kakek, mereka minum dari keringhat kakek, tidak masalah keringat kakek terasa manis bagi mereka, mendingan dari pada diminum cacing di dasar tanah ini, kekeh akan terus mengalir di dalam jiwa-jiwa mereka. Anita cucu kakek tersayang! Biarlah mereka berpura-pura menghormati kakek seadanya, mereka punya hidup, mereka juga pejuang, mereka juga pahlawan sama dengan kekek, walau mereka itu cukup menjadi pahlawan bagi diri mereka sendiri, itu lebih baik dari pada tidak sama sekali!’’, suara itu mengejutkan aku.
‘’Tapi kek, mereka menjual tanah pusaka peninggakan kakek tanpa sepengetahuan kami, mereka membodohi kami, kata mereka orang bodoh kalah oleh orang pintar, orang pintar sendiri kalah sama orang beruntung, berarti orang berintung adalah para orang bodoh. Lalu apa jadinya kehidupan ini jika kebijakan selalu di buat oleh orang bodoh-bodoh? Aku lebih suka Belanda dengan kehadiran kembali, aku ingin berkorban seperti kakek untuk meluruskan sejarah ini, lalu keringatku kuracuni agar mereka semua mati terkapar’’.
‘’Kamu kaum terpelajar Anita, tidak boleh seperti itu! Hidup ini perjuangan tanpa henti, dan perjuangan kamu sudah berbeda dengan kakek, kakek berjuang dengan senjata, kamu berjuanglah dengan segenap pikiran yang kamu punya, terangilah jalan ini dengan keikhlasan dan pencerahan. Kamu jangan terhanyut dalam banjir yang kamu ciptakan sendiri, itulah seharusnya yang kamu lakukan! Anita dengarkan kakek, kakek tidak mungkin lagi berjuang di duniamu tau mencongkel rel kereata itu seperti dulu, bagian tubuh kakek sekarang sudah dibagi-bagi,. Kakek yang salah, kakek lebih memilih tewas oleh peluru serdadu itu, tapi sebenarnya kakek belum ingin tewas agar bisa berjuang bersama-sama kamu, namun masa kita jauh dipisahkan oleh waktu, kereta yang dulu digulingkan sudah membangkai, ataupun Belanda-belanda sekarang kekek tidak akan mampu melawannnya, mereka terlalu buas cucuku, kakek takut kalau kereta yang kamu tumpangi sekarang digulingkan dengan merusak relnya kembali, itu sangat berbahaya, seradau itu tidak akan tinggal diam, mereka akan memakan rel kereta ini berikut dengan gerbongnya, nah! di dalam gerbong itu ada kamu cucuku!’’.
‘’Aku mengerti kek, kakek tidak mampu lagi melakukannya seperti dulu, tapi sekuarng-kurangnya kakek bantulah aku dengan cara gaip. Kata orang di kampung orang yang telah meninggal masih bisa berkunjung ke dunia saat hasratnya belum tercapai. Kakak dengarkan aku, perjuangan kakek belum berakhir, kakek masih setengah perjalanan, dan aku juga masih setengah perjalanan tapi aku tidak juga mampu menggulingkan kereta ini kek! Aku ingin kakek bersama-teman-teman kakek datang dan bantu aku merusak rel kereta tua ini’’.
‘’Kamu memang keras kepala....’’
Aku terbangun dan suara itu pun raib, jam telah menunjukan pukul 3 malam. Astaga, terbnyata aku bermimpi bertemu kakek, mimpi yang aneh. Kemudian kereta ini berhenti kembali di stasiun, oh ..buikan ini bukan stasiun, ini adalah makam para pahlawan, kulihat tpi bajanya sama dengan yang adadimakam kakek, hanya lampu remang-remang yang menerangi pembaringan para pejuang itu, tiada musik tiada tarian dan tiada pemujaan. Ya..persis sama dengan kakek. Ya tuhan, mimpi ku barusan kenyataan, kakek beserta pasukannya selalu ada menemani perjalananklu bersama kereta tua, ternyata kakek memang sesorang pejuang penyayang, berarti aku masih setnagh perjalan menuju Jakarta. Tapi apa lagi yang ditunggu para pejuang itu, kenbapa tidak segera dia kenakan tipi bajanya dan ambil senapan, apa mereka masih terlelap dengan gelar pahlawan pura-pura itu. Duh bnagaianan ini, sebentar lagi kereta mau berangkat, tapi sekurang-kurangnya ikytlah bersamaku kejalarta, dan kita rusak rel kereta ini agar belanda di dalamnnya berhamburan menyelamatkan diri. Tapi meteka merasa cukup nyaman tertidul di bawah batang kemboja itu,.
‘’Ayo para pejuang, bangunlah, kita robohkan gerbong ini!’’, teriakku
Spontam ribuan pasangan mata tertuju padaku, mereka terheran-heran sembari menyeka mata yang masih perih.
‘’Kamu habis mimpi ya?’’, tegur pria teman sebangkuku
‘’Ma...maaf mas, aku bermimpi sedang di medan perang’’, belaku.
‘’Kamu anaknya pejuang?’, tanyaa padaku.
‘’Buak mas, aku bermimpi ikut perang bersama kakekku, aku bersama pasukan kakek, berniat menggulingkan kereta batu bara yang di tumpangi belanda’’.
‘’;Waduh patriotnya kamu, tapi kenapa kamu berterikan saat melihat makam itu, apa kakek kamu dikuburkan disana?’’ desak laki-laki itu.
‘’Bukan mas, akau hanya terharu saat melihat jasad itu terbujur kaku, padahal dulunya mereka itu sangat ditakuti para penjajah, tapi kini tiada seorangpun yang taku dan segan padanya, karena yang tersisa hanya tulang belulang. Sudahlah lupakan saja’’, aku menutup.
Kereta yang kutumpangi memang berjalan mundur tidak seperti biasanya, setahuku dari surabaya ke jakarta gerbongnya di depan bukan di belakang, begitu kuatnya kereta ini meskipun tua tapi masih mampu mendoromg ekornya. Tapi mimpiku sedikit aneh dari pada biasanya, kali ini seolah-olah aku bertemu kakek, padahal aku tidak pernah bertatap muka sama kakek semasa hidupnya. Waktu kakek tewas di tembak serdadu rimba PRRI, aku masih dalam tahap perencanaan ibu dengan ayahku atau meraka mungkin belum bertemu. Aku berusaha meraba-raba tawil mimpi itu, kali saja ada amanat yang kakek yang harus kutunaikan, mungkin aku harus ambil peran untuk mengurus kebijakan publik, tapi kurasa tidak mungkin, aku hanya wong cilik yangberasal dsari latar belakang kebudayaan enath berantah, apalagi kampung ku itu tidak masuk peta sejarah. Ah apa mungkin? Akau semakin mengawang dalam rabaan pribadiku atau sejenis angan-aqngan kukira.
Sementara itu kereta masih terus menjerit setiap kali meleawti persawangan sawah padahal sudah hampir pagi, kurasa kecil kemungkinan manusia masih berkeliaran di sekitar area rel kereta. Dasar nasib kereta dari dudlu memamng selalu histeris, siapapun penumpangnya, serdadu, orang bijak maupun pengamen, si kereta tidak pedulu, kereta selalu histeris demngan suara yang sama, sesekali diselingi suara anak-anak sekolah yang bercengkrama di atas gerbong, bagi mereka itu adalah suatau hobi, tapi bagiku itu adalah hoby yang tidak selayaknya diperjuangkan. Ya tidak berama lama lagi kereta ini akan samapi di Jati Negara, lalu aku akan turun derngan langkah pasti. Tetapi bayangan kakek selalu menghambat pandangan aku, kakek bergelayut di kelopak mata, semangatnya juga tidak mau sirna dari mimpiku padahal sebentar lagi aku akan meninggalkan kereta kakek ini tanpa harus mencongkel sambungan-sambungan relnya. Biarlah kereta ini aman hingga sampai tujuan,ya tujuan yang tidak lain adalah musium seperti kereta-kereta sebelumnya.
Aku tidak mau memikirkan semua itu, toh sebentar lagi aku akan terpenjara kembali, tapi tidak apalah setelah jam perkuliahan usai aku akan nyaman berada kembali di danau buatan itu. Aku bisa memancing apa saja di sana dan terkadang mengajak siapa saja yang mau ikut denganku, saat itulah kebebasanku.


19. DANAU BUATAN

Laki-laki itu masih sibuk menghitung-hitung andai-andai hari, sesekali dia lemparkan kerikil runcing itu ke tengah danau buatan itu. Dia mengharapkan danau itu mengeluh atas kekesalan yang sedang menerpanya. Sepintas lalu laki-laki itu kelihatan gila atau mungkin sedang stres berat akbibat kebiadaban hidup. Bukan! Bukan itu yang mau dia ungkapkan, dia hanya ingin menulis sebuah kisah, ya kisah yang mencereritakan awal dunia dimulai hingga berakhir di ujung sangkakala. Ya ! kisah itu baru saja dimulainya, tapi dia bingung akhir dari cerita itu seperti apa. Apakah tokoh utama harus mengalahkan semua musuhnya atau mengalah sama sekali gagal dalam kekalahan? Dia tidak mampu menjawab gamblang duri-duri tanya yang menusuk batinnya itu. Dia tahu sebentar lagi dunia ini akan berakhir, hancur lebur seperti yang digambarkan Al kitab, tapi dia ingin menelusuri kehancuran itu secara terang-terangan, agar insan lain dapat melihat bagaimana kehancuran itu sebenarnya.
Saat dia pertama kali datang ke kota besar, itu karena jemu bernapas di lingkungan tradisi yang fakum dari kebenaran. Ketika dia berbuat suatu yang dianggap salah, masa lalu moyangnya diungkit dan dipreteli sedimikian rupa, satu kalimat yang masih dia ingat, ‘’kamu anak PKI!’’. Lingkungannya menganggap hala itu adalah hukum masyarakat yang harus berlaku turun-temurun di kampungnya itu, dia gerah diperlakukan seperti hewan yang tidak punya hak bernapas. Ketika dia disakiti sedemikian rupa, orang menganggap hukum alam yang wajar dia terima karena telah mewarisi dosa masa lalu. Padahal dia sendiri tidak pernah tahu wujud dosa warisan itu seperti apa. Satu-satunya pilihan yang tepat sekaligus terberat baginya adalah pergi meninggalkan negri tradisi itu dengan mencecerkan dosa-dosa itu di sepanjang perjalanan, tanpa sepengetahuannya ceceran itu dipungut oleh penjarah-penjarah hak asasi manusia, katanya dosa itu perlu dipertahankan agar persatuan dan kesatuan tetap utuh dan terjaga. Kemudian mereka itu bersentuhan dengan cerita binatangisme, wujudnya pun berubah menjadi ada, berkaki bertangan dan lengkap selayaknya seorang manusia asli. Agaknya wujud tiada itu pun hijrah meninggalkan tempat yang dihinggapi, ya! Ke kota besar melawan dunia orang, begitulah impian pagi mereka. Di suatu masa lain dosa yang mulai berwujud ada itu mampu memanjat tiang yang sangat agung yaitu 5 falsafah dasar negara, kemudian menyebar ke seluruh nadi-nadi yang masih berdenyut. Sepak terjangnya ganas, wajar setelah sekian lama terkukung dalam koloni pinggiran, telah dipisahkan dari haknya, dia pun menghisap darah para nelayan, petani hingga pegusaha. Tidak lama setelah masa itu kabar pun tersiar ke seluruh negri, tetapi dia hanya menjawab ‘’kami mencari keadilan bagi diri kami!’’.
Lalu nasib pun mempertemukan mereka kembali, dosa yang dulu tercecer kini telah berwujud ada menghadang pengembaraan laki-laki itu kembali. Layaknya sudah menjadi keharusan dengan laki untuk menuai ketidak beruntungan jika hidup sezaman itu, laki-laki itu berusha menentang, melawan kepongahan yang diciptakan yang kini binatangisme, namun sayangnya dia agak terlambat, sebab tembok penghalang lebih tinggi dan lebih kuat dari tembok berlin ataupun tembok besar Zulkarnain.
Kini si laki-laki berada di tepi danau itu, dia masih saja hanyut dalam perencanaan muluk-muluk, sedikit menyesalan menyeruak dari dalam dirinya telah mencecrkan doas itu di perjalanan, seharusnya dia mengubur di neraka terdalam di alam barzah. Namun niat itu urung dilakukannya, dengan harapan dosa itu menemukan pemilik sejarahnya yang masih hidup di zaman itu, tapi sat itu dia terlalu letih hingga dia pun tidak menyadari kefatalan yang ditimbulkan kemudian hari, sebuah kesalahan tanpa ditakdirkan oleh siapapun bahkan tanpa ditulis oleh kalamullah. Sesaat kemudian dari arah yang berlawanan sepoi angin menepuk pundak laki-laki itu yang memang sudah dua hari tidak bersuci. Dia pun menderu seiring berlalunya angin barat itu, dia berusaha mengejar laju angin tersebut, seperti kuda pacuan terkadang tersungkur, bangun dan tersungkur lagi. Entah angin mau mendengar berita yang dia kabarkan, tetapi dia tetap mulai memancing pembicaraan dengan sebuah kisah nun jauh di ujung sana.
‘’Dulu masa kejayaan Raja Amenhotep ke IX, mempunyai seorang putra mahkota yang akan mengantikannya memerintah sebagai Firaun. Tetapi putra mahkota itu sedikit berbeda haluan dengan raja, dia tidak mau menyembah tuhan yang dibuat Raja yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Raja murka, tapi tidak bisa berbuat banyak terhadap tindakan putra mahkota yang menyimpang itu, kelak putra mahkota itu di juluki Zulkarnain. Di saat Putra Mahkota itu bimbang, dia selalu menghadap temannya yang bernama Moses dan menceritakan semua apa yang tertanam dalam hati. Sementara Moses sendiri tidak bisa terang-terangan mengatakan bahwa yang menjadi sumber kebimbangan itu adalah keyakinan atas pencipta jagat raya. Tidak lama setelah itu Moses pun dimusuhi oleh Amenhotep IX dan terjadilah perang besar yang menenggelamkan Amenhotep IX di laut merah setelah Moses meminta tuhannya menurunkan Tsunami.
Putra Mahkota itu bertambah linglung setelah kehilangan sahabat sejatinya Moses, dia melanjutkan usahanya mencari tuhan didambakan. Suatu hari dia bertemu matahari dan mengejar matahari itu hingga ke tempat peristirahatannya, di sana dia menemukan tuhan yang ada dalam dirinya lebih mirip tuhan Ibrahim dan tuhannya Muhammad. Tapi masa itu belum ada seorangpun yang mengakui keberadaan tuhan yang dia temukan, kecuali istrinya Ratu Arfiniti. Bahkan Firaun sendiri berusaha membuat pagoda yang maha tinggi untuk menuntut tuhan yang ditemukan anaknya. Usaha itu sia-sia belaka, pagoda itu luluh lantak ditelan sejarah masa lalu. Sementara Putra Mahkota itu lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan hingga ke negri Cina, dia tidak sedikitpin cemas terhadap nasib yang akan menimpa tuhannya, orang seperti Firaun tidak akan sanggup menyentuh tuhan yang dia temukan. Firaun menganggap tuhan Zulkarnain itu sebagai oposisi yang berbahaya dalam dunia ketuhanan.
Setelah menembus negri Cina, hawa kebangsawanannya tidak lepas begitu saja. Kebetulan pada masa itu Cina sedang dilanda ancaman besar, semua penduduk takut akan kebringasan bangsa Yajud dan Ma’jud. Sejarah mengatakan kedua bangsa ini melebihi kaum kanibal, telinganya panjang merah, postur tubuhnya pendek. Kedua bangsa itu akan mengahncurkan apa saja yang dia temukan, danau yang cukup luas akan kekeringan apabila diminum oleh satu rombongan saja sehingga rombongan kedua mengatakan, ‘’danau ini dulu masih ada airnya tapi kini sudah kering, sungguhnya telah terlalu lama kami dikurung dalam lembah itu!’’. Padahal air danau itu baru saja kering diminum oleh teman-temannya yang datang lebih dulu.
Ketakutan penduduk cina memuncak setelah dua bangsa itu berusaha memanjat tebing-tebing tinggi di lembah, keberadaan Putra Mahjota Firaun pun tercium oleh kaisar Cina. Tanpa menunggu waktu lama, kisar meminta Zulkarnain membuatkan tembok penghalang bagi kedua bangsa itu dan tentunya untuk melindungi negri dari keganasan bangsa kanibal tersebut. Pinta itu dikabulkan oleh Zulkarnain, besi dan tembaga ditempa menjadi sebuah tembok panjang yang mengelilingi negri cina, tembok itu kemudian dinamakan dengan tembok besar Cina. Atas jasa-jasa itu Zulkainan duduk sebagai kaisar dinasti Han. Dia mengatakan tembok itu tidak akan runtuh setelah datangnya kabut asap dari langit dan terlepasnya Dajjal dari belenggu yang maha agung, kekuatan tembok itu adalah rahmat dari Rabnya. Kemudian generasi Muhammad mengetahui berita tersebut hingga diperintahkan Al kitab, menuntut ilmu sampai kenegri cina’’.
Sekarang aku bertanya padamu wahai angin, kenapa harus kenegri cina? Apakah Zulkarnain membawa tuhannya ke negri Cina sehingga Cina dijadikan kiblat ilmu pengetahuan? Tidak, aku tahu tuhan tidak ikut bersamanya ke negri cina, tuhan masih ada di dalam dirinya dan di dalam diri siapa saja, tuhan tidak pernah keluar untuk sesuatu apapun, tuhan hanya cukup menyebutnya ‘KUN’’.
Angin kenapa engkau diam saja, tidakah kau mendengarkan ceritaku? Aku mencari tuhan persis seperti yang dilakukan Zulkarnain. Aku telah ditinggalkan tuhan, hatiku membatu telah dikutuk oleh ibu Malin Kundang? Aku tahu itu hanya ada di dalam cerita untuk menakut-nakuti anak-anak kecil di kampungku, tapi sekaranng aku takut, aku tida punya tempat untuk segalanya. Aku berusaha berteman dengamu tapi kamu terus saja berlalu, aku letih’’. Laki-laki itupun terhempas di pinggir sungai yang direnanginya sejak dari hulu, untung saja dia tidak berakhir di muara itu, bisa-bisa dia kembali ke lautan yang tidak bertepi itu.
Setelah berkisah panjang lebar pada angin yang baru saja menerpa jiwa lugunya, dia tetap tidak beranjak dari kebekuannya semula. Laki-laki tetap memilih duduk di pelataran parkir kampus Universitas Indonesia, entah apa yang dia pikirkan, tapi yang jelas dia membawa buku tulis yang cukup kusam. Dia membalik perlembar buku itu, mungkin sedang menulis catatan hariannya, kukira penafsiran itu sangat cocok baginya, sebab wajah yang kelihatan tua gersang diterpa terik mentari mengejawantahkan sejuta penderitaan. Bisa ditebak umurnya baru kira-kira 22 tahun lebih sedikit. Tapi kelakuannya aneh, apa yang dia perbuat di tepi danau buatan itu? lipatan kerut wajah itu memperjelas bahwa dia sedang meramal sesuatu atau mungkin meramal masa depan. Apakah dia salah satu mahasisawa di sini? Lalu apa yang dia lakukan di saat mahasiswa lain sedang meinmba ilmu di dalam kelas? Ku perhatikan dia hanya terus menulis sambil memandang sayu alam sekitar. Badannya sungguh tidak terawat, padahal kalau dia tahu dia adalah laki-laki yang cukup gagah, dadanya yang datar itu bisa membidang seprti laki-laki kebanyakan jika dia mau sedikit menyayanginya. Dia memang tidak menyadari dari jarak 100 meter ada seorang perempuan yang juga kusam sedang memperhatikannya, perempuan itu adalah aku.
Aku pun menghampirinya dan memberanikan diri untuk menyapanya.
‘’Maaf mas kalau aku mengganggu perenungannya!’’.
‘’Boleh saja!’’
‘’Aku tidak ikut campur urusan mas, tapi sedari tadi ku perhatikan mas kehilangan sesuatu!’’
‘’Bukan sesuatu, tapi aku banyak hal, hal yang unggap suci, kisah yang kupandang agung, kini hilang ditelan bayangan’’.
‘’Tapi perlu mas tahu, bayangan akan ada jika kita ada. Sementara mas sendiri belum ada, bagi saya mas adalah bayangan masa lalu’’.
‘’Aku sengaja menenggelamkan diriku ke dalam masa yang lalu, dengan harapan aku bisa merekontruksi wajah-wajah’’.
‘’Tapi kita tidak perlu menceritakan kisah untuk membohongi orang lain, angin barat tadi telah berusaha menyebarkan isu yang baru saja diciptakan’’.
‘’Aku tidak menciptakannya, tapi aku berusaha memberi tahu, karena diantara jenisku tiada lagi yang tahu kisah itu, bagimu kisah itu terlalu usang karena terjadi sudah ribuan tahun, tapi bagiku cerita itu baru dan baru saja terjadi sekarang, hanya saja Putra Mahkota tidak bernasib sama dengan kisah itu’’.
‘’Dia tidak mencari tuhan baru?’’
‘’Putra mahkota itu adalah aku’’.
Kami terdiam seribu satu bahasa dan terhunus ke dalam kenangan masa silam. Aku sendiri berusaha merenangi kisah yang dia ceritakan, apa saja yang dilaklukan Zulkarnain sehingga tokoh itu terlalu bermakna baginya? Siapa tuhan yang dia maksud? Tapi aku sangat menghargai jerih payahnya itu. Dulu sebelum aku menjadi seperti ini, aku hanya gadis ladang yang juga sering menerawang seperti dia. Aku beruntung, saat itu paman yang berekja di ladang mengeloniku pulang ke rumah. Memang sejak tinggal dengan paman 100 parsen hidupku berubah. Aku lebih banyak menyendiri dengan kertas dan pena seperti dia. Saat itu aku sadar, aku hanyalah sebuah cerpen, cerita yang tanpa sengaja tergores dalam kertas putih. Di kala aku menari bersama senja, aku menjadi sorotan sang pujangga, mereka mulai menggores tubuhku dengan ketajaman pena-pena batin, mereka pula yang menggrayangi harga diri tanpa busana perlindungan. Ya aku bukannya tidak meronta, dan bukan pula tidak menolak saat aku diperlakukan seperti itu, tapi aku sendiri telah terlanjur ditelanjangi oleh pikiran-pikiran dunia sebelum diriku benar-benar ditampilkan seperti itu. Semula aku mulai dirangkai dalam bentuk bingkai, tetapi merekalah yang memaksakan diri untuk hidup di bawah kukungan pena-pena adi kuasa. Mereka bertahan dengan goresan kalam, kalaupun itu mendapat tempat di hati penikmat koran-koran kehidupan barulah aku berjaya, walau harus mengorbankan harga diriku sendiri tentunya.
Saat aku menari bersama ombak, akulah yang paling berkuasa di pinggiran pantai, aku jugalah yang paling baik, hanya saja terkadang aku jenuh dan aku rayapi semua tanah tepian, kemudian para pujangga juga menulis sepak terjangku, dimulai saat dari mana datangku, penyebab kedatanganku, kepergianku dengan sejumlah korban hingga bekas-bekas yang aku tinggalkan. Pujangga tetap saja menelanjangi diriku tak obahnya saat aku menjelma menjadi sebuah cerpen. Akhirnya aku memang benar-benar tercatat hanya di dalam cerpen-cerpen.
Lalu aku bersiul bersama burung camar, aku pun menulis diriku sendiri karena aku sebuah cerpen, tetapi yang kutulis bukanlah kepintaran burung camar bersiul, melainkan ketertarikan hatiku kepada dunia lain yang ada di sekeliling burung camar, bagiku burung camar hanya bersiul saat lingkungan sudah mulai berubah. Tenggelamnya transpormas, Iwan Fals menulis siulan burung camar dalam lirik lagunya, aku bukanlah Iwan Fals, karena aku tidak bisa menulis sebuah lagu pun, aku takut akan menjadi dendangan orang-orang yang putus asa akan ketidakadilan. Biarlah aku di dalam sejarah cerpen agar aku selalu tercatat dan bukan didendangkan seperti itu. Tapi anehnya saat aku tercatat, aku disayembarakan, pujangga-pujangga itu kembali menerima keuntungan, bagiku tiada masalah karena pujangga itu aku ada dan dilahirkan, pujangga seharusnya menyadari bahwa dia diadakan oleh sesuatu yang ada sendiri bukan diadakan seperti yang dia lakukan itu.
Aku nmuak, lalau aku merantau ke dunia syair, tubuhku dicincang oleh bait-bait puisi, ada yang mengatasnamakan dirinya kemiskinan, ada yang menyebutnya ketidakadilan, ada yang menyerupai pahlawan, dan ada pula yang membayangi kebajikan yang seharusnya atau menjadikan dirinya sebuah perjuangan idelisme. Ya!..hanya itulah samurai beracun yang terbuat dari kata-kata, memedihkan, bahkan menyayat tapi tidak mampu menghapuskan bekas yang ditinggalkan, mereka juga menyebutnya bekas kemelaratan atau bekas kehidupan alam fana. Lalu generasi ke 7 akan mengais rezki di antara puing-puing yang berasal dari dunia bekas, segala macam kehinaan bersatu padu di dalamnya, segala kenistaan menjadi semangat naluriah setiap insan-insan yang sementara singgah. Kemudian generasi ke 7 berkata, kenapa nenek moyang kami memakan habis tanah kami berpijak, sehingga kami terpaksa membuat rumah di atas angin, saat datang badai, rumah dan anak-anak kami diterbangkan bersama puting beliung. Kenapa pula sejarah kami sesat dari jalannya sehingga garis takdir kami terpaksa diukir dengan kanvas kemunafikan. Kenapa pula khalifah kami menggadaikan harga diri kami terhadap hawa nafsu sehingga tuhan kami tidak lagi berharga di mata kami. Tiada yang menyangka hatiku seperih ini, pusaka samawi diinjak-injak oleh pemiliknya sendiri, batinku tertahan di saat bangsa ini melebihi kanibalnya Yajud dan M’jud. Lalu mereka masih sanggup mengucapkan takdir jatuh dari langit, padahal tuhan telah dibunuh oleh diri mereka sendiri, tahta-tahta-Nya dirampas habis, para malaikat diberhentikan dari jabatannya, iblis dibebas tugaskan, Adam dan Muhammad disingkirkan, lalu para jin dijadikan penasehat disaat mereka menduduki kursi ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian tuhan juga membuat dunianya sendiri dengan kata ‘KUN FAYAKUN!’, ciptakan alam baru tanpa mahluk manusia. Kiranya tuhan tobat melukis takdir yang sama, takut lahir kembali tuan Tuhan yang memusuhinya.
Memang sengaja aku ukir beberapa kisah yang tidak akan pernah terungkap oleh para pujangga, tidak bisa dimaknai oleh penyair, tidak bisa pula diganyang oleh para penulis dengan lidah artikel atau opini harian. Aku sendiri merasakan kehadiaranku di dalam cerita itu, sempat aku berpikir apakah aku memang benar-benar ada atau ada tapi ditiadakan oleh penduduk se zaman? Aku juga bisa menggambar kesombongan yang harus ditaklukan dengan kesombongan model baru, lalu kosombongan model baru juga dikalahan oleh kesombongan model baru. Kemudian aku menciptakan lingkaran setan yang aku sendiri terjebak di dalamnya, aku telah melayang di laut tak bertuan, mengawang di langit tiada ujung, mengambang di alam entah berantah. Aku bertanya, adakah aku memang benar-benar ada? Atau hanya sekedar ilusi yang ditakwilkan oleh mimpi-mimpi? Kenapa aku bermimpi sementara aku sendiri tidak ada, aku sama sekali samar di dalam kenangan yang aku sendiri ragukan keberadaannya.
Itulah aku, aku yang kuciptakan sendiri dengan tangan-tangan ini tanpa sepengatahun bapak ibuku. Sebab ibuku bertengkar dengan bapak hanya karena aku adalah anak mereka. Bapakku bilang aku anak bapak, tapi ibuku bilang aku adalah anak ibuku, tapi aku menyebut diriku adalah anak alam. Aku diadakan oleh alam dalam kefanaan, saat sipenyair besar memanggilku aku akan mengahadap untuk selamanya hingga ke tiang Arasy sekalipun. Sementara laki-laki baru saja disesatkan oleh alam imajinasinya, keinginan yang tidak tercapai atau mimpi yang tertunda untuk selamanya bersatu simpul di dalam benaknya. Wajar saja dia disebut gila oleh siapa saja yang mau menoleh ke tepi danau itu. Laki-laki itu terus sibuk mengacak-acak takdir masa depan, tiada tawa yang menyelingi kesebdiriannya, perdebatan hingga siang itu beranjak menuju senja, senja berlalu mengususng malam, malam pergi menuai pagi dan malam saling menyalahkan mencari. Mereka mencari para tuhan untuk diadili.
Seminggu kemudian Anita kembali bertemu dengan laki-laki aneh itu, dia masih sendiri dan selalu akan sendiri selamanya, di tepi danau. Anita merasa risih saat melihat lelaki itu, bagaimana tidak setiap kali bertemu dia selalu berkisah tentang perjalanannya yang panjang, Anita kalut dan terbawa arus yang dia ciptakan, sudah berkali-kali Anita mencoba untuk tidak peduli tapi apalah daya, belaskasihan yang mendalam mengusungnya kembali menghampiri penunggu danau itu.
‘’Terkadang aku heran melihat permainan yang kau mainkan, sesekali kau tidak ku acuihkan, tapi apalah dayaku!’’, tegur Anita.
Lelaki itu tersenyum simpul dan melempar pandangannya ketengah danau.
‘’Kau jangan salahkan aku, aku selalu di sini menunggu malam, rumahku di sini! Salahmu sendiri memilih jalan ini untuk berpergian!’’.
Anita sadar, masih ada jalan selain jalan ditepi danau itu, tapi kenapa dia tidak melewati jalan lain tersebut. Anita sendiri binging dengan mafnet yang selalu menariknya ketepi danau itu, Anita merasa bodoh saat lelaki itu melontarkan kata-katanya, tapi Anita telah berusaha untuk tidak bertemu dengannya.
‘’Kamu berasal dari mana? Apa berita yang membuatmu samap[i di danau ini?’’
‘’Awalnya aku ingin ke tengah danau itu, ingin mendirikan istana di atas air, tapi danau ini terlalu kotor sekotor politikus negara, airnya kumuh sekumuh jiwa mereka yang menghisap keringat rakyat, akhirmnya aku duduk di sini!’’.
‘’Aku bisa membantumu membangun istana itu!’’.
‘’Tidak perlu, engkau seorang wanita yang masih butuh pengetahuan untuk menaklukan dirimu, belajarlah lebih banyak dari yang kau kira!’’
‘’Kenapa tidak engkau saja yanbg mengajari aku?’’
‘’Aku? Aku orang gila, tidak waras seperti kata hatimu itu, kamu jangan coba-coba menjebak aku, aku tidak akan meninggalkan danau ini!’’
Anita melempar mukanya kelangit biru, dia sadar telah dipermalukan dengan membaca isi hatinya, ‘’kenapa dia bisa tahu apa yang kusimpan jauh, apakah dia seorang utusan, ah itu tidak masuk akal, dia hanya seorang laki-laki yang kemaren kutemui menyendiri di sini’’.
‘’Engkau diam, berlagak tahu akan kejadian setelah ini’’, sambung laki-laki itu.
‘’Aku tidak menginginkan kamu gila!’’, pintas Aanita.
‘’Sekarang dengarkan kisahku!’’, laki-laki itu kembali bercerita tentang Ibu, sementara Anita memaksakan diri menampung keluh kesah yang dia gambarkan.
‘’Saat kedatanganku pertama kali ke kota ini, aku kepalang takjub. Bagaimana tidak, di sekelilingku berdiri gedung-gedung pencakar langit siap menyambut apa saja datang dari atas, kekokohannya laksana menggapai tuhan di tiang Arasy. Aku berdiri hormat memuji kekuasaan tangan-tangan lihai yang menciptakan ini. Entah berapa uang yang dihabiskan hingga pencakar langit ini berbentuk sedemikian rupa. Jutaan atau mungkin triliunan rupiah. Saking takjupnya, aku tidak merasakan bus yang kutumpangi sudah tiga kali melewati jalan yang sama. Tapi aku yakin tidak mungkin tersesat, sebab Kota Jakarta yang kukenal dari kejauhan itu besar, sudah sewajarnya rute yang ditempuh bus ini cukup jauh. Lagi pula belum ada terlihat tanda-tanda bahwa bus sudah melewati jalan Salemba Raya no 45. Tiba-tiba aku dikejutkan suara melengking hancur membawakan lagu ‘Jakarta’, aku tidak persis ingat siapa pencipta lagu itu, yang jelas nyanyian itu dibawakan oleh orang yang tak selayaknya bernyanyi, jika mau si penyanyi lebih pas menjadi buruh angkat di pelabuhan Tanjung Periuk, namun kata-kataku itu tidak wajar bila fasifkan. Kuanggap saja si penyanyi tidak berdosa, berjuang untuk hidup di tengah-tengah keganasan arus globalisasi lebih tepat untuknya.
Sudah sekian menit berlalu, si penyanyi mengakhiri nyanyiannya dengan kata asalamualikum yang kasar, tanpa menunggu tepuk tangan pun dia sudah terlanjur mengeluarkan kantong plastik bekas permen dari kantong celana depan, baginya kantong itu tidak hanya sekedar kantong permen biasa, kantong itu adalah tempat menampung rezki dari para hamba tuhan dimana saja yang dia inginkan. Secepat hebusan nafas secapat itu pula dia memalui tiga penompang baru dari depan, sasaran keempatnya adalah aku yang sedari tadi telah menyiapkan uang recehan lima ratus rupiah. Sesaat kemudian, tampungan kantong itu tepat berada di depan mataku, uang recehan itu langsung tenggelam ke dasar kantong. Hanya satu doaku saat itu, mudah-mudahan si pengamen lebih ramah bernyanyi dan lebih indah, itu yang kuinginkan. Namun, doaku itu disambut dengan lototan menusuk.
‘’Bos! Uang limaratus tidak cukup untuk membeli rokok ketengan!’’.
‘’Apakah suatu kewajiban mengasih lebih dari itu?’’, jawabku.
‘’Kalau ga punya uang jangan datang ke Jakarta!’’.
Emosiku mulai tersentuh saat mencerna kata-kata itu, mengamen koq maksa, dia pikir ini tanah nenek moyangnya, sampai-sampai aku dilarang ke Jakarta.
‘’Maaf bos! Jangan memaksa, uangku hanya segitu!’’, aku melotot lebih keras dari lototannya kepadaku.
‘’Kampungan!’’, pengamen itu berlalu di hadapanku.
Memang aku orang kampung, tapi bukan berarti aku suka dipaksa, apa lagi niatku seikhlas mungkin. Begitulah pengamen yang kujumpai di saat pertama kali bersentuhan dengan kota ini. Ternyata knek bus telah memperhatikan gerak geriku, mungkin juga dia melihatku seperti orang kampungan.
‘’Bang turun dimana? Bus ini sudah tiga kali berputar-putar, memangnya abang mau kemana?’’, sapanya agak ramah.
‘’Aku mau turun di jalan Salemba Raya Bang! Tapi belum kelihatan tanda-tanda jalan tersebut!’’, timpalku.
‘’Kalau Abang mau ke jalan Salemba Raya, Abang harus sambung angkot 2 kali lagi, bus ini hanya mengambil rute dari Pulau Gadung-Tanah Abang-ragunan!’’, jelasnya.
Massa Allah! Aku pikun, kenapa aku tidak menanyakan kepada knek itu terlebih dahulu, aku jelas tersesat.
‘’Abang turun di sini saja, di sini namanya jalan Gatot Subroto, Abang naik bus kota 112 arah Ragunan’’, ucapannya memotong penyesalanku.
Wajahku memerah redam seketika di saat sopir menghentikan kemudinya, aku pun turun dengan langkah serat-serat tidak pasti.
‘’Apakah saya bisa sampai di jalan Salemba Raya Bang?’’, tanyaku untuk terakhir kalinya.
‘’Abang naik saja bus itu, Abang bisa sampai ke tempat tujuan yang Abang inginkan’’, selanya dan bus itu pun melaju.
Tersesat adalah pengalaman pertama bagiku, tapi kini aku sudah berada di tempatku menginap di warung nasi padang Uni Darni, untung saja aku menyimpan nomor henponnya yang kubawa dari kampung, kalau tidak entah apa yang akan terjadi. Setahuku Uni Darni adalah tetangga yang baik, di kampung keluarga kami tinggal bersebelahan pagar. Si Jupri anak laki-lakinya itu sering mengajakku jalan-jalan dengan motor, jadi tidak terlalu aneh jika aku mulai sedikit tahu tentang Kota Jakarta. Untuk kedua kalinya Mingu siang aku pergi diboncengi Jupri ke Taman Mini Indonesia Indah, namun sayangnya kami urung masuk ke dalam, biaya tiket Rp.15.000 per orang membuat kami mundur. Akhirnya, perjalanan itu berakhir di grogol dan sempat pula memutar di Pantai Indah Kapuk dengan harapan kami bisa sampai di daerah pantai. Namun, ternyata apa yang kami cari tidak membuahkan hasil, kami tidak menemukan pantai di sana. Tetapi, Jupri sangat yakin di sana ada pantai, keyakinan Jupri yang tidak berdasar itu membuat aku terkenang kembali saat pertama kali tersesat. Tiba-tiba terbesit dalam ingatakanku untuk mrngajak Jupri pulang.
‘’Sebaiknya kita pulang Jup! Benar di sini memang ada pantainya, tapi itu dulu, sekarang sudah dibuat perumahan!’’.
‘’Dari mana Abang tau?’’, serobotnya.
‘’Aku banyak baca buku tentang geogravi!’’.
Padahal aku sendiri belum pernah melihat buku itu dan mungkin tiada seorang pun yang mau menulisnya.
‘’Kayaknya iya Bang! Di sini sudah tidak ada pantainya!’’, keinginan Jupri ke pantai surut dan kami pun melurusakn niat pulang ke rumah.
Di perjalanan pulang kami tertawa sekenanya, entah siapa menyindir siapa, tapi yang jelas tawa Jupri pecah saat kata-kata terakhirku berhamburan.
‘’Jupri! apabila ada kabar ataupun pamflet yang mencantumkan nama Pantai Indah Kapuk, itu tidak lain adalah perumahan, di belakangnya ada embel-embel indah, bisanya digunakan untuk perumahan, seperti komplek perumahan Kuala Nyiur Indah di Kota Padang dan Cemara indah di Kota Medan, padahal di sana tidak ada pohon cemara, di Kuala Nyiur pun tidak ada nyiur yang melambai seperti yang dibilang penyair itu, yang jelas letaknya persis berdekatan dengan kota. Kata-kata indah, kuala nyiur atau cemara sengaja digunakan untuk menarik perhatian pengontrak atau pengunjug seperti kita, walau kita tidak akan mengiontrak’’, jelasku.
Tawa kami mulai reda di saat motor berhenti di warung kaki lima di pinggiran jalan, dua teh botol mampu menghilangkan dahaga selama 6 jam perjalanan. Memang cukup jauh pertualangan akhir pekan itu, bertepatan menjelang magrib kami pun sampai di warung ibu Jupri. Sebenarnya Jupri tidak persis tahu bahwa kesukaanku jalan-jalan. Kuanggap saja semua perlakuannya itu sebagai penghargaan terhadap orang sekampung yang baru datang. Jupri memang arif aklan hal itu.
Sebagai orang baru di kota, aku tidak betah terlalu lama berdiam diri di rumah. Malam itu aku belum sempat istirahat, tapi keinginanku jalan-jalan kembali terhasrat, malam itu Jajang karyawan Jupri adalah sasaranku. Tiada disangka keinginan itu disambut hangat Jajang, tetapi niat tersebut bisa terwujud setelah jam 10 malam, jam segitu warung Jupri sudah ditutup.
‘’Jang! Rencananya ntar malam kita mau kemana?’’, tanyaku memburu.
‘’Kita kepasar Tanah Abang saja bang, di sana Abang bisa mendapatkan lebih banyak inspirasi bahkan inspirasi yang berwujud cewek cantik juga ada!’’, seloroh Jajang mendahului.
Tepaty jam 10 malam kami mulai menelusuri jalanan malam di sekitar pasar, jalannya sedikit mendaki di sebelah kiri jalan terdapat jurang kehancuran dibumbui stelan hiburan kapitalis. Sesekali teguran penjaja malam mengagetkan langkahku yang sayup-sayup sampai.Tua muda, remaja hingga nenek-nenek ikut meramaikan suasana, namun malam itu semuanya terlihat cantik. Betul kata Jajang, ini dapat menjadi inspirasi tulisanku nanti. Bertepatan di jembatam yang menghubungkan jalan dengan gedung pasar kami berhenti, Jajang tertarik pada seorang cewek remaja yang menepuk pundaknya, akupun berdiri di samping Jajang. Saat itu, kupilih sasaran yang kukira tepat, ya kegiatan di sekelilingku terasa sangat asing, sementara si remaja sibuk bernegosisi dengan Jajang.
‘’Berapa uang dek?’’, Tanya Jajang.
‘’Tujuh puluh lima ribu bang!’’
‘’Mahal benget’’,
‘’Setiap orangkan tarifnya berbeda-beda bang!’’, si remaja tersenyum kecut sambil mempertahankan harja diri. Tapi aku yakin ini adalah jual beli daging mentah, aku sendiri tidak suka mencicipi daging mentah yang satu ini, disamping tidak bersih juga mengandung penyakit. Jangankan daging mentah, daging separoh matang saja perutku sudah mual dan muntah. Tetapi, ribuan mata lelaki di sini sangat keranjingan dengan hidangan malam tersebut. Aku berharap temanku yang satu ini tidak mencicipiya, sebab sedari tadi kuperhatikan mereka terus bernegosiasi hingga jam tanagnku menunjukan pukul 00:01 malam.
‘’Bang! Bagi rikok dong bang!’’, suara perempuan mengejutkan aku. Kulihat di depan mataku sudah berdiri perempuan 21 tahun, kutahu umur segitu cocok baginya yang masih cantik dan imut. Aku terpana sambil memperhatikan sekujur tubuhnya yang semu diterpa lampu remang jembatan. Tatkala aku tersentak, aku mengambilkan sebatang rokok sampoerna dengan tangan ku sendiri.
‘’Ini!’’.
Aku hanya heran, begitu beraninya cewek yang tidak kukenal ini meminta kepadaku. Apakah dia tahu aku suka mengasih? tidak mungkin dia tahu siapa aku, jangankan dia si Jupri saja yang masih satu latar belakang kebudayaan dengaku belum berani mengungkit-ungkit jati diriku. Jupri dengan aku itu berbeda, dia dibesarkan di tengah-tengah kota ini, sementara aku ditempa dam dibesarkan dengan sistem kebudayaan yang unik dan pelik hingga aku menjadi seperti ini adanya. Namun, sekarang semua orang ingin menjual kebudayaanku pada bangsa asing, aku tidak tahan dan tidak punya kuasa, pelarian sementara dari ranah kebudayaan itu adalah jalan terbaik, imbasnya aku datang ke kota ini. Anehnya saat aku berada di sini, di tempatku berdiri di jembatan ini, moral pun laku dijual, kata pamanku negara ini juga telah dijual. Tapi aku belum yakin sebelum menyaksikan langsung, jelasnya kedatanganku ini ingin melihat trnasaksi besar-besaran, walaupun aku harus mengawalinya dengan transaksi daging mentah. Toh aku tidak akan bisa berbuat apa-apa, aku hanya seorang penulis kawakan tanpa lembaga, beruntunglah saat tulisanku diterbitkan masyarakat akan membacanya, kalau tidak? Aku akan terus menulis, entah sampai kapan. Aku terus mengawangi alam bawah sadarku hingga aku hanyut di sungai yang tidak bermuara, tiba-tiba suara gemuruh spontan mendatangi tepian yang kurenangi.
‘’Bang ngamar yuk?’’, sapa perempuan itu ramah.
‘’Ngamar apanya?’’, logatku sekenanya..
Tapi kuperhatikan gerak kinetisnya sepertinya perempuan itu bingung, mungkin dia pikir aku sengaja mengulur waktu agar bisa transaksi murah. Padahal aku sengaja mengelak dari serangan prasangkanya yang membabi buta. Tapi tetap saja suasana itu begitu mencekam bagiku, tanpa memutar tubuh, ujung batinku telah kucampakan sejauh pandangan mataku yang sayu. Wajar aku tidak suka berdiri di ujung jembatan itu, bau amis nanah busuk menghentak-hentak lubang hidungku yang memang ditutupi rambut-rambut kasar. Saking menyengatnya, nikotin asap sampoerna pun kehilangan arti. Aku jijik dan muak, luapan-luapan amarah menekan-nekan tenggorokanku seketika, tapi aku sadar tiada seorang pun yang mau dan mampu menampung luapan amarah yang selalu kujaga itu selain pena dan buku tulis. Aku berpikir, haruskah kubertumpu pada dosa perempuan itu? Dia memang penjual daging mentah, tiada lagi dosa, neraka baginya poster indah kamar remang. Perempuan itu bisa meyumpal perutnya di pagi hari, di saat ada pelanggan di malam gari dan sisanya bisa dibelikan kalung emas atupun henpon genggam.
‘’Rp 50.000 saja bang!’’, perempuan itu menurunkan harga dirinya.
Aku semakin jijik dengan sikap perempuan itu, dia memang tidak tahu berapa harga yang pantas untuk menghargai dirinya. Aku gelisah, hingga menit itupun berlalu aku terus menguimpan dan mengutuk, entah siapa yang harus ku kutuk, aku sendiri pun tidak tahu. Seketika aku dan Jajang lebih memilih menuruni bawah jembatan itu, kami terus mengitari warung remang pinggiran pasar. Sebagai anak kota Jajang punya bnyak kenalan di sana, Jajang mengaku bahwa dia tercatat sebagai Alumni Universitas Malam di sana.
‘’Saya tamat coumlaude lo bang!’’, canda Jajang.
‘’Memangnya kamu tercepat meninggalakan tempat ini, itu maksudmu?’’, tanyaku menutup.
‘’Iya bang, aku takut penyakit. Ada teman lamaku di sini, umurnya sudah kepala 7 masih seperti dulu tapi satusnya berbeda. Dia memang sudah peot tapi kelihaian tangannya itu mampu menghilangkan rasa letih di warung’’, jelas Jajang.
‘’Aku tahu dia berprosesi sebagai tukang urut!’’, aku memahami.
‘’Betul! tapi dulu dia adalah bunga di antara pelanggan, saya pernah bertanya kepada beliau, apakah nenek tidak takut pada dosa? tapi dia hanya tersenyum manis sambil menjawab ‘hidup orang tergandung pada yang di atas’. Sejak saat itu saya tidak berani lagi mengungkit-ungkit tentang hidupnya. Saya juga tahu hidup saya juga dikendalikan oleh yang di atas, kita tinggal menjalaninya saja’’, tutup Jajang.
**
Hampir jam setengan empat pagi kami asyik-asyikan duduk di depan hotel bertingkat dua pinggiran pasar, sesekali ku melihat pasangan keluar masuk dari hotel. Terlalu pekat dunia malam di kota ini, pengamen anak jalanan, dan segala pernak pernik punya dunianya sendiri. Tetapi, perjalanan sehari penuh itu menyisakan catatan sendiri bagiku, aku memang tergolong baru mengenal dunia ini, ku perhatikan Jajang dan temannya si pemilik Hotel masih melampiskan rasa pertemanan yang dulu sempat tertunda. Tiba-tiba mendadak napasku tersendak saat mobil polisi muncul muncul di depanku.
‘’Ya tuhan! Jajang ada polisi jang!’’, mulutku bergetar. Tamatlah riwayatku, tiada lagi masa depan tiada lagi tulisan yang harus kutulis, berurusan dengan mereka sama saja berhadapan dengan singa di hutan belantara, pupuslah sudah harapan yang kubawa dari kampung. Anehnya, Jajang dan si pemilik hotel berlagak seolah-olah tidak akan terjadi apa-apa. Dengan sesungging senyum Jajang menenangkan aku yang sudah dibanjiri kecemasan.
‘’Tenang saja bos!dia hanya minta jatah!’’.
‘’Mereka PM, keamanan di sini!’’, ulas pemilik hotel.
Sipemilik hotel itu langsung mendekatai si pengemudi sembari mengeluarkan sesuatu dari kantong dan memberikan kepada keamanan tersebut. Mobil itu pun berlalu dari hadapan kami. Mungkin si pengemudi itu masih berumur 23 tahunan, lebih muda satu tahun dari aku. Sesegera mungkin kualihkan perhatian agar aku tidak merasa tersindir oleh ejekan Jajang dan temannya itu.
‘’Jang sudah jam 4 pagi, kita pulang saja Jang, besok kamu harus kerja!’’, tegurku.
Setelah bermaitan Jajang pun menuruti keinginnaku untuk pulang, saat itu kami mencari jalan tembus ke rumah, jalan di dalam pasar ternyata lebih dekat dari jalan yang kami lewati di awal tadi. Belum sempat mentari pagi mengetahui endapan kami, jam lima lewat sepuluh menit kami pun tergolek di peristirahatan. Aku merenung, meraung hingga kulutuliskan 2 coretan kisah, kisah si perindu dan si pungguk malam. Memang aku sedikit tertarik dengan dunia itu, tertarik akan awal kisah yang bermula dari sana. Harus kuakui tidak semua penulis punya kenekatan seperti aku, aku kenal dengan Ayu Utami lewat karyanya, di saat berpergian dia paling malas lewat di Tanah Abang atau mungkin karena dia juga seorang perempuan.
Aku tidak begitu lama menghabiskan umur di Tanah Abang, setelah kuketahui tidak diterima di jurnalis, hatiku sedikit musafir hingga kuturuti kemana arah garaknya mengarah. Tepat pada minggu ketiga dalam perantauan, aku menggerayangi lipatan otak. Aku kembali membalik-balik buku tulis peninggalan kuliah dulu, seketika kuingat tentang alamat sesorang yang mungkin bisa menampung sandaran sayapkku yang kuyup. Memang sebelum kupergi jauh, aku tidak pernah lupa mencatat alamat orang yang mengenal kelurgaku di kota yang kutuju, di bukuku terdapat tiga buah alamat yang tertera di bawah tulisanku yang masih tergantung. Memang banyak di antara tulisanklu yang separoh selesai namun sudah empat kali kututup dengan peta masa depan. Aku tidak akan melanjutkan tulisan itu sedini mungkin, yang kubutuhan hanya tempat bermalam walau semalam. Berbekal goresan mendadak tersebut akupun sampai di Rawasari. Kata Ayah di sana tinggal saudaranya yang se ayah. Di sana aku disambut hangat dan bersahabat, kata-kata silahkan duduk memaksa pinggulku terhenyak mantap di sofa biru. Sesaat kemudian tercium aroma intelektual dan pekat ideologi. Bagaimana tidak, dinding rumah yang menampungku terbuat dari buku-buku, entah berapa buku tapi yang jelas buku tersebut susah dicerna oleh orang yang seperti aku, sebab di antara buku-buku adalah karangan penulis terkenal, aku sadar telah sampai ketempat yang tepat.
Aku melirik salah satu buku yang tepat berada di samping kiriku, ya itu buku tafsir Al-Azar Hamka, Agus Salim, Syhrir, Yamin, Sumitro, Abu Jamin Rohan dan ratusan Al-kitab. Aku tahu Bapak yang kupanggil papi itu adalah penganut islam moderen, dialah satu-satunya murid Hamka yang tersisa. Dia juga tidak pernah absen dari seminar dan diskusi bertaraf nasional maupun internasional. Sebab saat hari H, dialah salah satunya orang yang paham materi tentang lintas agama.
Harus ku akui, aku belum mampu memamah dan mencerna isi buku-buku tersebut secara sempurna. Kualihkan saja perhatian pada koran-koran yang teronggok rapi di atas meja. Aku kesal dengan keterbatasan yang kumiliki, kulumat habis setiap koran pagi itu. Sejak itu aku sudah menjadi pembaca koran yang kesal. Dalam suasana baru itu, aku dikejutkan oleh berita yang dibawa Mbak Yulia pembantu rumah, katanya ada demontrasi di jalan raya, selanjutnya akan terjadi penggusuran besar-besran terhadap warung-warung dan toko-toko setengah permanen. Wali kota akan menyulap daerah itu menjadi taman terbuka hijau. Aksi itu berakhir dengan rusuh, kemudian ditutup dengan pembakaran warung-warung dan toko-toko tersebut. Banyak para pedagang terpekik histeris menyaksikan warungnya ludas dilalap si jago merah, tapi apalah daya mereka sebagai kalangan bawah.
Bertepatan menjelang diputuskannya kenaikan harga BBM jumat malam 23 Mai 2008, aku selesaikan mengedit buku papi yang ke 201. Aku putuskan kembali berkelana, tyernyata papi mengizinkan niatku dan akupun pergi dari dunia intelektual itu. Banyak kejadian aneh yang kujumpai di sepanjang perjalananku menuju Bekasi-Surabaya, Surabaya-Bekasi, pemandangan itu tidak begitu asing lagi di mataku. Aksi unjuk rasa hingga huru hara baik dari mahasiswa, LSM maupun masyarakat, dimulai dari demontarsi di jalan, mendatanggi kantor DPRD, mogok beroperasi oleh sopir angkot, hingga pembakaran gambar kartun sang pemimpin. Aksi tersebut disulut oleh isu kenaikan harga BBM. Bebagai kalangan menolak kebijakan tersebut, alasannya dampak dari kenaikan harga BBM sangat berpengaruh bagi masrakat bawah, 43 parsen dari penduduk menolak kenaikan harga BBM, 57 parsen menerima dengan terpaksa, di dalamnya 57 pasen terdapat 3 parsen yang benar-benar menerima kebijakan tersebut.
Memang selama aku masih di tempat saudara ayah aku sering membaca berita-berita isu koran maupun televisi. BBM ditimbun, harga kebutuhan pokok mulai merangkak naik, padahal belum ada kepastian seberapa besar harga BBM dinaikan. Sebagian masyarakat menyambut baik kenaikan harga BBM, pasalnya mereka akan kembali menerima BLT dari pemerintah. Lalu kejadiannya akan lain ketika program tersebut tidak dirasakan oleh seluruh rakyat miskin di Indonesia. Riskannya, data penduduk yang 19,4 juta rumah tanggga miskin yang berhak menerima bantuan kompensasi adalah data program BLT tahun 2005. Padahal masih banyak di antara penduduk miskin yang tidak terdata pada tahun 2005 tersebut, malahan warga yang tidak berhak mendapatkan BLT terdata sebagai penduduk miskin seperti guru dan honorer. Aku berpikir entah berapa korban lagi yang harus bergelimpangan saat harga BBM naikan. Mulai dari korban antrian panjang, korban ketidakadilan, pengangguran hingga korban penghianatan intelektual akan menunggu hari.
Aku mendengar bahwa aksi sepihak tersebut menuai berbagai macam kecaman, emosi nelayan di Muncar banyuwangi dan masyarakat bogor cukup menjadi penanda bahwa masyarakat indonesia tidaklah terlalu bodoh dan mudah terpedaya dengan rayuan uang yang sesaat. Bagi mereka, beban kebutuhan di saat melaut sangat tinggi, uang 300.000 sebulan tidak akan mampu membantu masa depan mereka. Aku salut, meskipun hanya berdemo di sekitar pantai, namun kecerdasan mereka tidaklah kalah dengan orang terpelajar.
Kuperhatikan berbagai macam penolakan tersebut masih bermakna sama bahwa program BLT tidak mencerdaskan masyarakat, malahan dapat memperbodoh masyarakat. Masyarakat hanya bisa nrimo tanpa berusaha. Akibat dari itu masayarakat akan selalu manja. Di sinilah awal terkikisnya perjuangan hidup, hancurnya idealisme. BLT dianggap hanya hiburan sesaat tak obahnya orang tua yang memberikan permen kepada seorang anak, setelah permen habis si anak terpakasa menggigit jari saat melihat anak tetangga terbisa membeli permen sendiri. Aku jadi heran, ternyata sistim tutup mulut sudah direalisasikan hingga ke tingkat akar rumput, nyatanya bantuan instan lebih logis daripada memuja tuhan.
Apa yang bisa aku lakukan? begitu rumitnya penderitaan ibu pertiwi ini, kudengar lagi BUMN potensial akan segara dijual, 39,5 juta jiwa orang miskin mengembara di nusantara ini, 12 juta pengangguran, 30 juta setengah penganguran, lalu 3.000 orang meninggal karena jalan rusak. Begini hebat deritamu ibu hinggga jiwa ini terpanggil untuk menyaksikan penderitaanmu dari jarak paling dekat, dekat dengan hati dan nuraniku. Sebelum kudatang kepadamu teman-temanku pernah bilang aku anak ibu, aku mencintai ibu yang telah melahirkan aku. Namun, tiada yang mampu aku lakukan, maafkan aku ibu, aku hanya seorang penulis tapi kisahmu terlalu panjang. Aku tidak bisa penulis’’.
‘’Terlalu singkat kisah yang kau ceritakan!’’, tutup Anita.
‘’Sore telah datang, sebaiknya kamu pulang, aku harus bekerja!’’, lelaki itu berlalu meninggalkan Anita yang terpana memandang sayu ke matahari terbenam. Dia tahu penderitaan orang kecil, mengais rezeki di tumpukan sampah dan limbah-limbah orang kaya, petani desa yang dilahap habis para tengkulak kota, kota berubah menjadi mesin pembunuh nomor satu, disanalah matilah moral hilanglah etika dan tuhan melepaskan jabatannya sebagai tuhan seiring bermunculannya yuhan-tuhan baru. Tapi dia yakin esok pagi akan kembali setelah melagukan nyanyian hati seusai menarikan tarian jiwa di malam hari.


Bersambung...
sebab ceritanya hilang dan mengawang pada situasi ini...
Mohon masukan dan kritikan sebanyak-banyaknya..

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987