Kamis, 26 Maret 2009

Indang yang Nyaris Terbenam

OLEH Nasrul Azwar

Mentari baru saja menyurukkan wajahnya. Tak lama berselang, temaram cahaya membungkus nagari yang di tengahnya tampak dari jejauhan sebuah surau berdiri tegap yang usianya mungkin sama dengan usia nagari itu. Orang-orang mengalir seolah tertumpah ke sana. Suara bilal melantun dari pengeras suara yang kurang terawat. Magrib pun masuk.

Malam itu, beberapa waktu lalu, masyarakat Nagari Padang Bintungan, Kecamatan Nan Sabaris, Kabapaten Padangpariaman, Provinsi Sumatra Barat—sekitar 60 km dari Kota Padang—sejak Magrib telah memadati surau yang tidak demikian besar itu. Masyarakat dari kampung yang berdekatan juga sudah tampak berdatangan: Ada yang sengaja singgah di lapau (kedai) dan ada pula yang langsung menuju surau. Laki laki-perempuan, tua-muda, dan anak-anak, semua satu tujuan: melihat kesenian baindang.

Nagari Padang Bintungan memang sedang berhelat. Mereka menyebutnya Alek Nagari. Malam itu akan tampil seni indang. Ada indang tigo sagi (tiga segi) yang akan bermain indang, yaitu indang Sikabu dari Nagari Lubuak Aluang, Toboh Parupuak dari Nagari Toboh Gadang, dan indang Bayua dari Nagari Pauh Kamba. Semuanya dari Kapupaten Padangpariaman.

Malam terus bergerak, tak lama terdengar dari pengeras suara surau tadi dendang pemain indang: Piaman tadanga langang, baindang mangkonyo rami, tuan kanduang tadanga sanang, bao tompanglah badan kami. (Pariaman terdengan lengang, berindang makanya ramai, saudara terdengar senang, bawa jua badan kami).

Demikianlah masyarakat kecil merayakan sekaligus merawat seni dan budayanya dengan cara mereka sendiri. Tak ada seremonial seperti festival-festival seni yang digelar di kota-kota. Tak ada pejabat yang berpidato dengan janji melestarikan budaya dan seni. Mareka menghidupi seni dan budaya itu berangkat dari ketulusan hati dan ikhlas. Tak ada tendensi material. Walau eksistensi seni tradisi itu berada dalam ancaman organ tunggal, tapi ia tetap kokoh. Karena masyarakat sebagai pemiliknya, menjaga dan menumpahkan perhatian.

“Seni indang ini akan tetap hidup di tengah masyarakat, walau pemerintah kurang menyokongnya. Indang berfungsi memberikan ajaran agama Islam, sopan santun, dan nilai-nilai adat. Anak nagari terus bermain di surau-surau dan menjaganya agat seni mereka tak punah,” kata H Umar Datuak Alaiyah Cumano, salah tetua indang dan tokoh masyarakat Nagari Padang Bintungan.

Secara historis disebutkan bahwa kehadiran kesenian indang merupakan manifestasi pendidikan surau dan pengaruh budaya Islam di Minangkabau. Selain indang, seni tradisi lainnya, seperti zikir, barzanji, tabuik, salawaik, dan dabuih, juga tak lepas dari pengaruh Islam.

Kesenian indang merupakan hasil “perkawinan kultural” Minangkabau dengan peradaban Islam sekitar abad-14. Peradaban Islam diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Islam yang masuk dari Aceh melalui pesisir barat Pulau Sumatra dan selanjutnya membiak di Ulakan-Pariaman. Proses perkawinan kultural yang damai itu tampak pada nyanyian indang, seperti maqam, iqa’at, avaz, dan musik-musik gambus. Maqam merupakan ciri yang dapat menggambarkan tangga nada, struktur interval, ambitus, dan sebagainya. Iqa’at adalah ide tentang modus-modus atau pola-pola ritme pada musik Islam, seperti pola-pola ritme yang terdapat pada musik gambus. Avaz adalah ciri musik yang dipergunakan dalam musik Islam dalam bentuk melodi yang bergerak secara bebas tanpa birama. Kemudian modus-modus itu berpadu dengan budaya musik Minangkabau (Ediwar Chaniago, 2003).

Pada awal perkembangannya, seni musik indang merupakan salah salah instrumen pengembangan ajaran Islam di tengah masyarakat. Isian dan muatan dalam musik indang juga terasa pada cara-cara berzikir, mengaji sifat Tuhan, riwayat Nabi, dan lain sebagianya. Pengajian biasanya dinyanyikan sembari duduk bersila dan mengoyangkan badan ke kiri, ke kanan, ke depan, dan ke belakang. Pengajian yang dilagukan itu diiringi dengan instrumen rapa’i (rebana ukuran kecil). Pada awalnya, seni indang mengunakan rapa’i ukuran besar, tapi karena perkembangan seni ini terus berubah, guru-guru di surau menukarnya dengan ukuran kecil. Tujuannya agar anak indang lebih lincah dan cepat dalam menari,

Pertunjukan kesenian indang dibagi atas kelompok-kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 7 orang pemain yang semuanya laki-laki. Pemain duduk secara bersyaf bersila yang sangat rapat, sambil memegang satu buah rapa’i, berpakaian rapi dan mengenakan sarung. Tujuh orang ini disebut anak indang. Anak indang dipimpin seorang guru yang disebut tukang zikir (tukang dikie).

Dalam alek nagari yang digelar di Nagari Padang Bintungan itu, tampil tiga kelompok kesenian indang dari nagari yang berbeda. Mereka akan bertanding selama dua malam. Sebelum memulai, masing-masing kelompok mengambil posisinya dengan membentuk segi tiga. Masing-masing kelompok duduk bersila dan berderet dengan jalan menghimpitkan paha kanan pada paha kiri temannya. Ketiga kelompok indang melakukan tanya-jawab atau sindir-menyindir berbagai persoalan yang terjadi saat pertunjukan berlangsung. Satu kali penampilan indang ketiga kelompok ini disebut sapanaiak.

Jumlah pemain indang setiap kelompok sekitar 8 hingga 22 orang. Satu orang tukang zikir dan lainnya yang berjumlah ganjil duduk berderet di depan tukang zikir itu. Dalam seni indang mereka ini disebut, tukang aliah, tukang apik, tukang pangga, dan tukang palang. Selain itu, ada pula tuo indang. Tuo indang bertugas menjaga keselamatan anggota pemain secara keseluruhan baik lahir maupun batin. Setiap penyajian indang selalu dimulai dengan basmalah berdoa untuk menyatukan diri menghadap Allah SWT. Maka dengan itu pula, pemain indang harus mampu memaparkan dan sekaligus menjalankan ajaran Islam dengan benar.

Banyak yang berpedapat bergesernya keberadaan kesenian indang di surau di Minangkabau disebabkan masuknya sistem pendidikan sekuler di ranah Minang. Surau tidak lagi satu-satunya pilihan bagi masyarakat untuk mengecap pendidikan. Hadirnya madrasah dan sekolah-sekolah yang mengadopsi kurikulum Barat, secara drastis menggeser fungsi surau. Selanjutnya menekan keberadaan kesenian indang dan juga seni lainnya.

Kesenian indang yang semula sarat dengan sajian yang bernapaskan syiar Islam, kisah Nabi, dan juga pujian pada Allah SWT, mencoba menggeser muatannya pada masalah adat istiadat, sosial, politik, dan juga ekonomi. Seni indang menyesuaikan dirinya dengan kondisi yang berkembang. Namun, akibat penyesuaian itu muncul dua kubu: kubu pertama tetap mempertahankan indang sesuai dengan napas Islam dan pertunjukannya di surau-surau, sedangkan yang kedua melakukan pertunjukan di luar surau dan kerap bermuatan hal-hal yang berkaitan dengan keduniawiaan.

Munculnya dua pola indang itu tidak serta merta menjadi dikotomik, malah memperkaya seni di wilayah yang membesarkannya di Padangpariaman. Dan kesenian indang akhirnya menuju perkembangan yang signifikans. Hal ini dapat dilihat banyaknya kelompok indang di nagari yang tumbuh. Alek nagari yang digelar masyarakat nagari Padang Bintungan diikuti 12 kelompok indang dari berbagai nagari di Padangpariaman.

Tampaknya, kesenian indang bukan jenis kesenian yang kaku. Semula indang bergerak di surau-surau kini telah masuk ruang-ruang publik, dan sudah melintas ke daerah-daerah sekitar, seperti Provinsi Riau, Sumatra Utara, dan lain sebagainya.

Kini, indang yang terus bergerak di nagari-nagari Padangpariaman, dan masyarakat terus merawatnya dengan baik, dapat dimaknai sebagai sebuah perjalanan kultural yang “berhasil”. Akan tetapi, soal akan jadi lain ketika pemerintah daerah (terutama Dinas Pariwisata) memaknai indang sebagai kekayaan tradisi yang harus dijual ke hotel-hotel untuk konsumsi wisatawan lokal atau mancanegara. Kecenderungan kebijakan dinas-dinas pariwisata di seluruh Indonesia, tampaknya memang seperti itu.

Kesenian indang, dan juga seni tradisi lainnya yang ada di seluruh pelosok Tanah Air, bisa mengalami nasib “sial” dan hidup dalam negeri yang serakah mengisap darah seni tradisi itu. Fenomena yang kian berkembang di Provinsi Sumatra Barat, terutama di tingkat kaputaten dan kotanya, seni tradisi dibina, diberi bantuan untuk kepentingan kepariwisataan. Termasuk seni tradisi indang. Kesenian indang dikemas untuk selera penikmatnya yang baru, pertunjukan disesuaikan dengan selera wisatawan itu, dan ini terbukti, misalnya, ketika Pemerintah Provinsi Sumatra Barat menggelar Pekan Budaya Sumatra Barat pada 27 November– 3 Desember 2006.

Pada Pekan Budaya itu, semua kabupaten dan kota di Sumatra Barat mengirimkan kontingen kesenian mereka. Dengan pemikiran yang biasa merasuki para birokrat kebudayaan, kesenian tradisi dihadirkan ke tengah-tengah khalayak yang dinilai sebagai wisatawan, dengan kurang memahami konsep dan estetika kesenian tradisi itu sendiri. Padahal, kesenian tradisi memiliki konsepsi estetika dan kosmos tersendiri, yang dibutuhkan dalam kehidupan keseniannya. Perbedaan ini akan terlihat secara nyata bila kita melihat kesenian tradisi yang hidup dan ditampilkan di daerah dan masyarakat pendukungnya dengan kesenian tradisi yang ditampilkan dalam helat di hotel-hotel atau ruang lainnya.

Jalan tengahnya tentu saja tetap ada. Helat seni tradisi tetap dapat dibawa dan masuk dalam ruang di luarnya, namun ini membutuhkan penanganan dan kearifan pada seni tradisi itu sendiri. Birokrat kebudayaan, dan pemerintah secara umum, mesti memahami realitas ini. Konsepsi kebudayaan dan pariwisata dalam sebuah relasi yang harmonis harus dibangun dengan tanpa menghancurkan salah satunya. Hal ini sudah menjadi kekhawatiran banyak pihak, namun yang sering terjadi adalah pengabaian terhadap kekhawatiran ini. Kalau sudah begini, ya tunggu saja kehancuran budaya dan identitas kita. Dan ucapan H Umar Datuak Alaiyah Cumano, salah tetua indang dan tokoh masyarakat Nagari Padang Bintungan, menemukan pembenarannya. “Indang kami yang menghidupi, bukan orang lain.”***

Diposkan oleh Nasrul Azwar
http://mantagisme.blogspot.com/2007/02/indang-yang-nyaris-terbenam.html


Label: SENI di Jumat, Februari 16, 2007

Sabtu, 14 Maret 2009

Suryadi, Kekayaan Minangkabau di Negeri Orang

oleh : NasrulAzwar

SETIAP kali pulang ke Ranah Minang, Sumatera, isi tas ransel Suryadi selalu saja tambah padat. Ia seakan tak peduli dengan isi tas yang beratnya hampir setara dengan bobot badannya.
Ia mau berberat-berat karena isi tasnya sesuatu yang amat berharga dan
boleh dikatakan langka, yaitu sejumlah hasil penelitiannya tentang
"kekayaan" Minangkabau di negeri orang.Hasil penelitian yang membawanya meraih gelar master
of art di Universiteit Leiden, Belanda, tahun 2002, itu ingin
diterbitkan dalam bentuk buku, dibiayai sendiri dari uang tabungannya,
hasil "menularkan" ilmu di Faculteit der Letteren (Fakultas Sastra)
Universiteit Leiden. Dalam Syair Sunur: Suntingan Teks, Konteks, dan
Pengarang, Suryadi yang juga ahli transliterasi (penyalinan dengan
penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain dan dalam hal
ini dari abjad Arab (Melayu) ke abjad Latin) coba merekonstruksi imbas
gerakan Paderi (sekitar tahun 1803-1838) di pantai barat Sumatera,
khususnya di rantau Pariaman, jantung pertahanan kaum konservatif
(tarekat Syattariyah atau ordo Ulakan, sekitar 1785 dan 1790) di
Minangkabau.
Selain itu, Syair Sunur adalah syair yang cukup tua
berciri otobiografis yang pernah ditulis orang Minangkabau, yang dalam
konstruksi puitisnya masih memperlihatkan ciri sastra lisan (pantun)
Minangkabau di satu sisi dan pengaruh sastra Arab (Islam) di sisi lain.Di Jawa, misalnya, sudah lama terdengar keluhan
tentang kurangnya perhatian terhadap naskah pesisiran karena anggapan
bahwa naskah pesisiran yang beraksara pegon dinilai lebih rendah
nilainya daripada naskah keraton wilayah Yogyakarta dan Solo yang
dinilai adiluhung.
Dewasa ini, lanjutnya, di kalangan peneliti naskah Nusantara klasik,
khususnya kalangan filolog, naskah "pinggiran" seperti syair Melayu dan
genre singir yang berkembang di kalangan masyarakat santri di pantai
utara Jawa, belum dikenal luas.



Pengarang : Yurnaldi
Diterbitkan di: Oktober 13, 2007

MATINYA MAKNA RUNTUHNYA IDEOLOGI

Oleh. Dini Maulia

Apa yang dikemukan Barthes (dalam Andrew, 1999) atas matinya pengarang adalah benar. Di saat kemunculan pembaca di sanalah kematian bagi pengarang. Begitupun dengan Nitchzee dengan pernyataannya dengan kematian tuhan, namun hakikatrnya bukanlah tuhan sebenarnya dan bukan pula pengarang sebenarnya, tetapi yang ditekankan adalah kematian bagi makna itu sendiri. Bertepatan dengan itu pula manusia kehilangan tujuan, ketika tanda telah di terjemahkan melampoi batas-batas realitasnya, di sanalah kematian bagi makna. Pilliang mengatakan sebuah tanda dapat dikatakan ‘melampaui’, ketika ia telah keluar dari batas sifat, alam dan fungsi tanda yang ‘normal’ sebagai alat komu-nikasi dan penyampaian ‘informasi’. Tanda dapat berkembang ke arah kondisi yang ‘melampaui’, ketika ia telah kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya; dengan perkataan lain, ketika ia telah kehilangan fungsi informasinya. Hal tersebut telah menjadi dasar pemahaman bagi kita bahwa ketika kita berhadapan dengan sebuah tanda hipersemiotika, kita akan menemukan lagi makna dari tanda itu sendiri. Tanda tidak lagi memiliki sebuah fungsi yang
stabil yang dikonvensikan atas beberapa golongan masyarakat, seperti makna tanda yang dikembangkan oleh Saussure bahwa terhubungnya setiap penanda dengan sebuah petanda tertentu hanya dapat dimungkinkan oleh bekerjanya sebuah sistem relasi yang didasarkan atas kesepakatan (konvensi) (Cobley, 2002).
Sejalan dengan itu, dunia terus berkembang bersama pikiran-pikiran masyarakat di dalamnya. Sebuah realitas tidak dapat lagi menyanggupi ambisi manusia yang terdapat di dalamnya, dan realitas sendiri telah melampaui batas ‘hyper’ sehingga dapat disebut dengan hyperealitas yang erat kaitannya dengan hipersemiotik, seperti yang digambarkan oleh Baudrillard dalam Pilliang (2003:51) bahwa dunia hipersemiotika, dengan demikian, tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas - sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan bebas tanda-tanda yang melampaui batas (hyper-sign) – sebuah tanda yang melampaui prinsip, definisi, struktur dan fungsinya sendiri.
Dunia hyperealitas bersamaan dengan hypersign yang termuat di dalamnya telah menggiring banyak aspek untuk menjadi permasalahan di dalam ruang lingkup tanda. Salah satunya adalah ideologi.
Menurut KBBI (1989:319) ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, atau cara berpikir seseorang/golongan, atau paham, teori. Lebih khususnya, seperti yang diungkapkan oleh Riberu dalam Christomy (2004:194) bahwa menyatatakan ideologi diartikan sebagai system pemikiran yang menyeluruh dan bercita-cita menjelaskan wajah dunia sekaligus mengubahnya. Kemudian apabila kita lihat pengertian ideologyi yang digambarkan Sastrapredja dalam Christomy (2004:194) Ideologi sebagai keseluruhan prinsip atau norma yang berlaku di dalam suatu masyarakat yang meliputi beberapa aspek, seperti sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Jadi, ideologi merupakan seperangkat prinsip yang berwujud sebuah system pemikiran seseorang/golongan.
Aridus mengatakan dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Hipersemiotika 100 Hari” yang membahas makna “rakyat” dalam UUD 1945 dan membandingkan pelaksanaan makna “rakyat” tersebut dalam pelaksanaan Negara Republik Indonesia. Menurut “ rakyat” yang tertulis sebagai segenap penduduk suatu negara yang memiliki wakil yang disebut dengan “pemerintah” telah melampaui batas-batas simbol mereka dalam UUD 1945. Ketika “rakyat” dipuja dan diagungkan sebagai pendukung wakil mereka dalam pemerintahan, tetapi ketika wakil rakyat harus memutuskan sebuah kebijakan, “rakyat” tidak lagi diikutkan, bahkan dicampakkan jauh dari pengambilan keputusan mengenai kebijakan Negara. Di saat itu pula rakyat menjadi kuda pemikul untuk menanggung hutang-hutang Negara yang diciptakan oleh wakil mereka dengan pembebanan bermacam-macam pajak. Pajak-pajak yang menghimpit tersebut seperti sebuah konsekuensi bagi mereka dalam memilih wakil bagi golongan mereka. Di saat itu kata “rakyat” sebagai tanda yang merupakan ideologi dalam UUD sendiri telah kalah melawan hyperealitas yang sedang terjadi.
Sejurus dengan itu pula, apabila kita mengkaji lebih jauh lagi mengenai ideology Negara, sesungguhnya di sana terdapat kekalahan dan kehancuran ideologi dikarenakan hyperealitas. Proses Hypersemiotika dalam sebuah tanda ideologi Negara, bisa dilihat dalam sila kelima “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tanpa sadar telah dicabik-cabik, padahal besar perjuangan Bapak-bapak bangsa kita terdahulu untuk hanya sekedar merumuskan sebuah ideologi, yang selalu dikumandangkan di setiap upacara kebangsaan, bahkan secara bersama-sama diteriakkan secara lantang di hari senin pada upacara pengibaran bendera Merah Putih di kalangan sekolah-sekolah hingga sampai detik ini. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” khusus bagi yang ikut menanamkan modal triliyunan dollar pada perusahaan Amerika akan dijamin melalui bantuan dana Bank Indonesia dengan triliyunan pula. Ketika Negara harus menghadapi krisis dunia terhadap harga BBM, rakyat Indonesia “yang tidak pernah memiliki saham di perusahaan asing” hanya dijamin kesejahteraannya dengan uang Rp.300 ribu perbulannya, dengan begitu keadilan telah dilaksanakan, begitu sempitnya konsep keadian tersebut.
Pengagungkan kaum borjuis secara langsung telah mendeklarasian bahwa kemiskinan menjadi pihak yang salah sehingga tidak masuk ke dalam golongan yang berhak mendapat keadilan. Apakah adil bagi mereka, demi “keadilan sosial” kaum pemegang saham yang harus collapse karena krisis global akibat dampak jatuhnya perekonomian Amerika, tiga ratus ribu perbulan milik beberapa bagian dari golongan yang mendapat “keadilan sosial” yang lain harus dikecam dan dianggap lalai dalam pendataan demi menghemat kas Bank Indonesia dalam peluncuran bantuan 300 triliyun-an rupiah untuk saham para konglomerat yang berada di luar negeri. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Pancasila telah menjadi tanda yang melampaui prinsip, definisi dan fungsinya, dalam arti kata makna Pancasila sendiri telah mati ditangan oknum yang mengatas namakan dirinya penyelamat..
Sepenggal uraian di atas membawa kita kepada pendapat Baudrillard dalam Pilliang (2003:149) bahwa awal dari era hiperealitas ditandai dengan lenyapnya petanda, dan metafisika reresentasi; runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu sendiri, karena telah diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi. Menjadi sebuah penguat antara teori dan fakta bahwa dunia hiperealitas telah membawa kehancuran bagi ideologi.
Dengan nada yang sama, media juga sangat berperan katif dalam mentrasfer simulasi dunia hyper tersebut. Di bawah kukungan media, dunia hiperealitas semakin tidak terkendali, kepalsuan merajalela, yang lebih menyedihkannya terkadang kita tidak menyadari kepalsuan tersebut telah menanamkan ideolog-ideologi baru ke dalam pikiran masyarakat konsumer kita. Pilliang mengatakan, hiper-realitas media adalah kondisi ketika media membiarkan berbaurnya kebenaran/kepalsuan, faktualitas/ideologi, obyektivitas/subyektivitas; ketika media membiarkan berbaurnya tanda asli, tanda palsu, tanda menipu, tanda daur ulang dan tanda artifisial dalam satu pemberitaan media, tanpa ada upaya pihak media sendiri untuk menjelaskan logika, relasi, klasifikasi di balik tanda atau kata-kata yang ada; tanpa memberikan sikap kritis, atau analitis terhadap data yang ada, sehingga pembaca dibiarkan di dalam kondi-si ketidakpastian, kegalauan dan chaos.
Siapa yang tidak kenal dengan Neil Amstrong, ditelusuri foto Neil Amstrong ketika menginjakkan kaki di bulan merupakan hiperealitas sepanjang masa yang telah menipu masyarakat di dunia. Neil Amstrong yang difoto bersama bendera Amerika yang berkibar di sebelahnya dinobatkan menjadi orang pertama di dunia yang menginjakkan kakinya di bulan. Di tahun 1969 dengan mengendarai Apollo 11, Neil Amstrong membuat catatan sejarah terhebat di dunia hingga saat ini. Dalam hal ini ternnyata media menjadi pengantar kepalsuan yang merebak luas dalam bidang ilmu pengetahuan. Banyak pembuktian yang telah dilakukan dan didapatkan hasil bahwa bukti gambar pendaratan di bulan tersebut adalah palsu. Foto Neil bertindak sebagai tanda hipersemiotik yang telah mendustai masyarakat di seluruh dunia, sekaligus telah menanamkan ideologi mengenai kehebatan negara Amerika. Media terlibat sebagai peran utama yang mengaburkan pandangan kita tentang kebenaran yang sesungguhnya dan menjebak kita dalam dunia hiperealitas yang menanamkan ideologi di bawah alam sadar manusia.
Sejalan dengan itu, Pilliang mengaskan (2003:59) bahwa budaya konsumerisme – yang merupakan jantung dari kapitalisme – adalah sebuah budaya, yang di dalamnya berbagai bentuk dusta, ilusi, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas, kedangkalan, permukaan dikemas dalam wujud komoditi, lewat strategi hipersemiotika dan imagologi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial – lewat komunikasi ekonomi (iklan, show, dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme – sehingga pada akhirnya membentuk kesadaran diri (self conciouness) yang sesungguhnya adalah palsu. Tentunya media menjadi peran utama dalam hal ini. Perhatikan lihat iklan di televisi, dimana para wanita telah terdoktrin bahwa wanita yang berkulit putih jauh lebih menarik bagi pria akibat kemunculan begitu banyak iklan pemutih. Secara logika, itu dapat dibenarkan, tapi lebih jauh lagi apakah hanya dengan memiliki warna kulit yang putih kita menjadi wanita yang terlihat menarik? Pada tahap ini dapat dikatakan masyarakat telah menanamkan sebuah kedangkalan dalam cara berpikir. Iklan “hand and body lotion Marina”, di sana digambarkan seorang perempuan yang memiliki kulit yang gelap kelihatan tidak menarik, kemudian diperlihatkan perempuan tersebut menggunakan hand and body lotion Marina dan hanya dalam beberapa hari kulitnya menjadi putih, iklan tersebut diakhiri dengan segerombolan pria yang mengikutinya. Pada tahap ini masyarakat telah terjebak dalam strategi hipersemiotika berbentuk dusta.
Realitas yang tergambar dari iklan di atas adalah sebuah hal yang tidak mungkin, Marina dapat memutihkan warna kulit dalam waktu beberapa hari, Marina tidak akan penah merubah warna kulit asli orang Papua sebagai konsumen eksperimen yang memiliki kulit berwarna hitam dari keturunan nenek moyangnya. Ternyata iklan-iklan yang muncul melalui media telah membawa kita menjadi bagian dari hiperealitas dan telah menanamkan ideologi dangkal di dalam diri kita sendiri bahwa “untuk dapat terlihat menarik, kita harus berkulit putih”. Begitulah pada akhirnya kita tidak menyadari bahwa kita telah larut di dalam dunia di luar realitas yang semu. Dalam hal ini kita dapat mengatakan hubungan antara hipersemiotik dan ideologi tidak menunjukkan kekalahan bagi pihak ideologi, melainkan hipersemiotik digunakan media sebagai alat untuk menanamkan ideologi-ideologi tertentu sebagai jalan memperoleh suatu tujuan yang menguntungkan bagi pihak produsen.
Maka dari itu jelas terlihat, bahwa manusia semakin tunduk dengan hasrat dan keinginan yang tidak terkendali yang kemudian membawanya beberapa di antaranya ke dunia hiperealitas, dan realitas telah terjepit oleh hypersigns.

DAFTAR PUSTAKA
Milner, Andrew. 1991. Teori kebudayaan kontenporer. Padang: AKSI
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotiiaka, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jala Sutra.
Untung dan Cristomy. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.

Penulis adalah Dosen Sastra Jepang Fakultas Sastra Unand, sekarang sedang melanjutkan study di pasca Linguistik Kebudayaan Unand

Rekonstruksi Budaya yang Tiada Akhir

Oleh: M. Yunis*

Mobilisasi terus melaju tanpa siapa pun sanggup membendung, secara berangsur-unsur mobilitas itu telah melindas kebudayaan Minangkabau yang cenderung hanya dipertahankan oleh orang tua-tua. Sejauh ini telah berlaku praktek-praktek deviant di tubuh kebudayaan itu sendiri, dimulai dari melemahnya system mufakat, hilangnya prinsip kekeluargaan kegotongroyongan terus kepada kerapuhan jati diri. Alhasil, menimbulkan dampak yang hampir sempurna buruknya, sebutlah dengan adanya KKN di tubuh DPRD, pendekatan emosional dalam mencari pekerjaan hingga pelacuran anak kemenakan sampai kepada anak jalannan di lampu merah di seluruh sudut Minangkabau. Tidak salah lagi, bahwa Sumatra Barat sebagai bagian dari Minangkabau diberi peringatan berkali-kali, masih pada peringatan yang sama, ‘’ancaman tsunami’’.

Sangat fenomenogis, liatlah rumah rumah gadang yang bocor, mayat yang dibujurkan di tengah rumah, gadih gadang kawin sendiri karena harta pusaka sudah habis dijual oleh penghulu kaum. Siapa yang akan mengira Minangkabau nan jaya berakhir seperti ini. Kalau dulu, harta pusaka hanya boleh digadaikan ketika tiga perkara, ‘’rumah gadan katirisan, mayat tabujua di ateh rumah, dan gadih gadang alun balaki’’. Seharusnya harta pusaka hanya turun pada pihak yang telah ditentukan oleh adat, namun sekarang harta pusaka tersebut ditentukan oleh uang dan gelar datuak sendiri sudah jadi barang bisnis.

Jangan heran, parahnya krisis kebudayaan sesungguhnya disebabkan hilangnya loyalitas kepemimpinan yang dapat dijadikan panutan dalam masyarakat. Seingga menumbuhkan benih-benih individualisme di dalam tubuh individu sebagai anggota masyarakat, sebab rasa keputusasaan yang telah menghimpit individu, melahirkan sikap merasa mampu mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain, akhirnya pemimpin yang dulu mereka pilih hanya menjadi simbol belaka. Waktu kampanye beribu janji telah diucapkan untuk menyenangkan hati masyarakat, namun setelah terpilih bagaikan burung lupa akan sarangnya. Kemudian keputusan-keputusan yang diciptakan hanya menguntungkan segelintir orang, sementara rakyat bawah akan terus bernasib sama, dijajah oleh teman sendiri, saudara sendiri, dijajah oleh adat sendiri, bahkan diajajah oleh bangsa sendiri.

Sejalan dengan itu, digagaslah sistim kembali ke nagari, sebab krisiskebudayaan yang terjadi mendorong masyarakat Minang untuk introspeksi diri. Mengingat bahwa Minangkabau dulunya adalah daerah yang paling jaya serta tangguh melawan dunia urang (marantau). Sitem pemerintahan desa kembali dihapuskan republik kecil direkontruksi. Selanjutnya kembali ke surau, guna untuk melaksanakan adat basandi syarak syarak basandi kitabullah seperti tempo dulu. Seperti itulah kerinduan orang Minang akan kenyamanan, kebersamaan, dan kekeluargaan yang nyatanya telah mampu membawa Minangkabau kepuncak kejayaan dan kecerahaan.

Namun, itu semua kesannya terlalu dipaksakan sehingga apa yang diharapkan tidak terealisasikan. Kita menerapkan kembali kenagari mungkin secara administrasi oke-oke saja, sebab yang harus dilakukan adalah mengangkat wali nagari serta jajarannya yang berdasarkan keinginan masyarakat. Setelah itu, pemerintahan nagari tetap melaksanakan praktek-praktek yang tidak sehat, birokrasi yang berbelit-belit, para pejabatnya yang tidak tepat waktu, biaya adminstrasi yang terlalu besar, sehingga kekecewaan kembali merundung rakyat bawah.

Lain lagi dengan kembali ke surau, apakah kembali tidur di surau? Sebab dulu surau selain tempat bernaungnya laki-laki Minangkabau yang belum menikah, fungsi utama surau adalah sebagai tempat pembelajaran bagi generasi muda baik ilmu agama dan ilmu kehidupan. Tidak hanya bagi para remaja, anak-anak yang berumur 6 tahun keatas sudah menjadikan surau sebagai rumahnya. Di surau ini dipelajari Alquran, adat sitiadat, skill, dan ilmu bela diri. Di samping itu di surau ini anak muda ditempa, dilatih dengan kebijaksanaan dan jiwa kepemimpinan, sebab di surau sudah biasa berlakunya hukum alam, contohnya jika kita yang tidur di surau melakukan kesalahan seperti buang air kecil di celana maka pemuda yang lebih besar dari kita akan memerintah membersihkan hasil perbuatan tersebut. Begitulah didikan yang diberikan kepada generasi muda seakan-akan terjadi sangat alamiah. Kerinduan seperti di atas sangat didambakan oleh Masyarakat Minang sekarang.

Untuk mewujudkan keinginan itu digemborkan kembali kenagari dengan harapan mampu menerapkan kembali adat istiadat Minangkabau, segala macam usaha telah dilakukan mulai dari diskusi kecil hingga ke seminar yang lingkupnya internasional, berarti kita sebagai orang Minang sudah tidak mampu lagi menyelesaikan permasalahannya sendiri sehingga harus membutuhkan bantuan dari dunia internasional. Jalan ini tersebut ternyata semakin membuka pintu bagi orang luar untuk lalu lalang di dalam kebudayaan Minangkabau, penelitian-penelitin tentang Minangkabau sudah banyak mereka lakukan.

Mulai dari kesenian randai oleh Kristin Pauka, Silat dengan seluruh alirannya, makanan khas kepunyan Minang, dan hubungan rantau dengan daerah asal yang akan dilakukan oleh Mariana dari Ceko tahun 2008 besok di Sumaniak dan Rao-rao Tanah Datar. Belum lagi ulu ambek, rabab, kaba, indang, naskah kuno, dan segala macamnya kepunyaan orang Minang, sebentar lagi akan habis terjual.

Namun, yang mereka lakukan tidaklah salah, sebab ilmu pengetahuan itu sifatnya universal, tetapi anehnya orang Minang sendiri tetap diam dengan seribu gagasannya, sekurang-kurangnya untuk melakukan hal yang serupa, nyatanya hanya tinggal ide-ide yang membeku.
Lalu langkah apa yang harus ditempuh? Penulis pikir dari pada menyibukan diri dengan seminar-seminar, lebih baik ciptakan ide yang kritis seperti yang dilakukan oleh masyarakat sumaniak idul fitri 2007 kemaren, acara pulang basamo yang digalakan mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Kepulangan tersebut juga disambut langsung oleh bupati Tanah Datar, di sini tidak ada perbedaan, baik yang berhasil di rantau ataupun tidak, mereka semua semua sama, dan sama bercita-cita membangun kampung dari rantau, fasilitas-fasilitas dan sarana-sarana di Nagari diperbaiki oleh orang rantau.

Melalui Ikatan Keluarga Smanaik (IKS) ini ternyata telah mampu membawa masyarakat Sumaniak kearah yang lebih baik. Bapak Uwan sebagai ketua Pulang basamo yang ada di Nagari Sumaniak mengatakan, ‘’kami melakukan kontak dengan keluarga Sumaniak sebulan sebelum acara pulang basamo diadakan, acara ini diadakan setiap tahunnya, kami telah berhasil membuat jalan-jalan, rencananya sekarang akan membuat irigasi, mengingat di Sumaniak hanya mengaharapkan air hujan, panen hanya sekali setahun’’ (wawancara tanggal 28 Oektober). Pak Uwan juga menegaskan bahwa di Sumaniak terdapat banyak rumah yang kosong, ada sebagain rumah dihuni dengan orang upahan, berdasarkan data yang diberikan 75 % orang Sumaniak berada di rantau, kalau pulang semua nagari akan penuh.

Mungkin apa yang dilakukan oleh orang Sumaniak hanya kegiatan kecil tetapi berdampak sangat bersar bagi perkembangan Nagari, penulis pikir perlu dikritisi sebab dengan cara seperti itu ternyata telah mampu membangun Nagari Sumaniak. Sekarang giliran seluruh Nagari yang ada di Sumatra Barat untuk membangun sendiri nagarinya tanpa mengaharapkan bantuan dari pihak luar.

*Penulis adalah Alumni Sastra Minangkabau dan sekarang peneliti muda di Pusat Study Humaniora Universitas Andalas Padang. Sedang menempuh Program Pasca Sarjana Linguistik Kebudayaan Unand

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987