Senin, 24 November 2008

Rabab Pariaman Dalam Situasi Kritis

Laporan Wartawan Kompas Yurnaldi

PADANG, KOMPAS--Kesenian rabab di daerah pesisir Sumatera Barat selain mengalami kemajuan pesat juga ada yang mundur dan berada dalam kondisi kritis. Jika di Kabupaten Pesisir Selatan kesenian rabab mengalami kemajuan pesat dan tukang rabab menjadi populer karena kaset-kaset mereka, di Kabupaten Padang Pariaman sebaliknya.

Kenyataan itu diungkapkan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat, Drs Ivan Adilla MSi, dalam Seminar Sejarah dan Budaya Sumatera Barat yang bertema "Revitalisasi Budaya Masyarakat Pesisir", di Padang, Kamis (7/9). "Kesenian rabab yang semula diapresiasi secara luas, sejalan dengan luasnya perantauan orang-orang Pariaman, sejak tahun 1950-an mengalami penurunan yang drastis," katanya.

Rabab adalah kesenian yang menggunakan alat musik petik rebab, yang kehadirannya berkaitan erat dengan masuknya Islam di Nusantara. Rebab merupakan salah satu sumbangan penting kebudayaan Islam. Di Pesisir Selatan dan Pariaman, rebab atau rabab digunakan untuk mengiringi kaba dan dendang yang telah hidup sebelumnya dalam masyarakat.

Ivan yang juga dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas ini menjelaskan, kini tukang (pemain rabab) merupakan sesuatu yang langka. Hanya di beberapa daerah saja kini ditampilkan rabab pada acara helat perkawinan. Rabab Pariaman kini berada dalam situasi kritis, karena tidak banyak pelanjut tradisi ini.

Menurut Ivan, pengamatan terhadap aspek historis kesenian di Pesisir Minangkabau memperlihatkan kemampuan masyarakatnya mengolah alat dan jenis seni yang berasal dari luar menjadi kesenian baru yang khas. Pengaruh luar dimanfaatkan dengan mempertimbangkan identitas asal. Sebaliknya ia memperkaya identitas masyarakat tersebut.

"Masyarakat pesisir juga telah memperlihatkan kemampuan mereka untuk melahirkan jenis kesenian baru berdasarkan aneka unsur kesenian yang terdapat pada berbagai etnis pendukungnya," ungkapnya.

Dengan kenyataan seperti itu, menurut Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat itu, perlu dipertimbangkan adanya strategi untuk mengembangkan dan memanfaatkan kesenian untuk kepentingan antaretnis. Kesenian dapat menjadi wadah yang efektif untuk membauran dan dialog, sebagai usaha mengimbangi globalisasi.

sumber: http://www2.kompas.com/ver1/Hiburan/0609/07/105948.htm

Realitas dan Mitos Sumpah Pemuda



sumber: Padang Ekspres, Selasa, 30-Oktober-2007, 10:09:40

oleh : Suryadi, Dosen Universitas Leiden, Belanda
Begitu tanggal 28 Oktober menjelang tiap tahun, bertebaran opini di koran-koran kita mengenai Sumpah Pemuda. Para kolomnis, yang hidup telah begitu jauh dari zaman ketika Soempah Pemoeda itu lahir, mencantelkan sedikit kenangan buram mereka tentang peristiwa ‘heroik’ itu untuk kaum muda kita.

Bahwa ada tiga ikrar yang diucapkan tgl. 28 Oktober 1928 oleh para pemuda dengan semangat merdeka membaja, di Betawi, ibukota Hindia Belanda. Selebihnya adalah debat apakah Sumpah Pemuda itu masih relevan untuk Indonesia masa kini, khususnya kaum mudanya. Ada yang bilang masih, yang lain mengatakan sudah tidak. Mungkin ada baiknya menayangkan sedikit ‘film hitam-putih’ itu, untuk sekadar membangkitkan kenangan historis para pemuda kita hari ini, yang sehari-hari melahap menu MTV, McDonald, dan HP made in Jepang. Jangan sesali kalau banyak di antara mereka, yang sehari-harinya sudah main komputer, pasar saham, dan nonton piala Eropa, mengalami amnesia sejarah.Sumpah Pemuda itu memang dahsyat, konon. Beberapa intelektual Belanda pada waktu itu kagum, tapi juga ada yang menyindir: tak mungkin mereka akan dapat bersatu (semacam peringatan kepada kita kini). Tapi sebaiknya Sumpah Pemuda itu jangan terlalu dimitoskan juga.

Peristiwa itu hanyalah sebuah titik dalam garis sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu jelas banyak pemuda yang pintar, jenial, kritis, nasionalis, dan memikirkan masa depan bangsa dan tanah airnya. Tapi juga tak sedikit yang mbalelo, yang mati pucuk karena kemiskinan dan penjajahan, atau munafik menjadi kaki tangan penjajah. Persis seperti sekarang: ada pemuda yang juga pintar, brilian, kritis (walau sering dihambat oleh kekuasaan yang cenderung disetir oleh penua [kalau ada pemuda tentu ada penua]). Tapi juga ada yang suka miras, pesta sabu-sabu, yang otaknya hanya sampai pada mikirin hidup enak punya motor atau mobil, yang tak punya nyali untuk bertualang walau hanya dalam negaranya sendiri untuk menambah ilmu, mempelajari aneka budaya dan isi alam tanah airnya yang molek dan kaya ini.

Jadi, Sumpah Pemuda itu adalah kumpul-kumpul pemuda yang punya otak ‘urakan’ di akhir zaman penjajahan. Tapi ikrar yang tiga itu menggema jauh sampai ke masa kini. Mungkin ia lahir di zaman yang cocok, di mana kolonialisme memasuki senjakalanya. “Berhoeboeng dengan kabar congrés tsb. jang diadakan pada tanggal 27-28 Oct. jtl. di Betawi”, demikian tulis majalah Pandji Poestaka (No. 89, Tahoen XVI, 6 November1928, kolom ‘Kroniek’, hlm. 1501), “dikabarkan bahwa oleh congrés itoe diambil kepoetoesan seperti berikoet: Kami poetera Indonesia mengakoe: sama-sama bertoempah darah tanah Indonesia, berbangsa satoe, bangsa Indonesia, dan mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Kemoedian diharapkan soepaja perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia memperhatikan dasar persatoeannja, ja’ni: Kemaoean, sedjarah, bahasa, hoekoem, ‘adat, pendidikan dan pandoean”.Tapi majalah itu juga mengkritik. Dalam edisi No. 88 (Tahoen XVI, 2 November1928, hlm.1481) redaksinya menurunkan laporkan dengan sedikit cemeeh: “Bagi kami dalam kongrés itoe pemoeda-pemoeda tadi sedikit terlampau berpenting-penting. Dipandang seléwat ta’ ada bedanja dengan kongrés orang2 toea. Jang menghadirinja sebagian besar orang-orang toea poela, diantaranja dengan njonja, ada Lid2 [anggota; Suryadi] Volksraad; perspoen ada. Dimédja bestoer [pengurus; Suryadi] doedoek student-student pemimpin kongrés poela.

Kami melihat student-student berbitjara; bahkan jang berbitjara ada jang telah bergelar Mr. […]. Seandainja tidak ada anak-anak padvinder [pandu/pramuka; Suryadi] jang ketjil badannja dan moeda ‘oemoernja, tertjerai dikiri kanan kami, boléh djadi benar-benar kami merasa doedoek ditengah-tengah kongrés orang toea. Dalam programma kongrés antara lain terseboet, bahwa t[uan]. Kyai Hadjar Dewantoro (t. Soeardi Soerjaningrat) dari Djogja akan berpidato dari hal pendidikan. Beliau seorang goeroe (ondrwijsman) jang ada nama dan ada ‘oemoer dan ada pengalaman. Djadi patoet sekali berpidato dari hal pendidikan. Sajang beliau tidak bisa datang, karena beralangan. Maka hal pendidikan itoe laloe dibitjarakan sadja oleh pemoeda2 sendiri, jang rasanja masih lebih berpaédah seandainja pemoeda2 itoe mendengarkan pidato orang toea2 dan menghimpoenkan pengalaman2 daholoe.

Karena itoe maka kongrés itoe tampak sendikit terlampau perpenting-penting. Ada satoe hal jang menjebabkan kongrés itoe sepanjang rasa kami koerang lengkap. Ja’ni kami tidak melihat di sitoe sifat kepemoedaan. Tidak ada apa-apa jang meriangkan hati, pemoeda2 tidak tampak keratjakannya. Melainkan sekaliannja mengeroetkan dahi dan menjamboeng alis kiri dan kanan, mendengarkan pidato atau debat jang berat-berat. Voordracht [pidato; Suryadi], lazing [lezing/ceramah; Suryadi], toneel, kluchtspel (pertoendjoekan perintang-rintang hati), tidak ada. Sedang dalam kongrés perkoempoelan pemoeda2 itoe sendiri2, seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen dll., kelihatan meréka pandai djoega bersoeka-soeka. Poen student2 pemoeka kongrés ada jang toeroet pésta ontgroening [perpeloncoan Suryadi], dan biasanja student2 itoe tidak kepoetoesan djalan akan beriang-riang hati.

Tentang keriangan hati dalam kongrés pemoeda itoe soenji sekali. Barangkali satoe-satoenja jang melitjinkan keroet koelit dahi dan memoetoes perhoeboengan alis, hanjalah larangan polisi sadja.

Oleh polisi dilarng: tidak boléh dipakai perkataan: kemerdekaan. Kalau perkataan itoe dipakai, oléh polisi kongrés itoe dipandang kongrés politik, dan tidak boléh dikoendjoengi oléh orang-orang dibawah ‘oemoer 18 tahoen.Barangkali dikongrés pemoeda jang akan datang sifat kepemoedaan itoe akan lebih kelihatan.”

Menarik juga laporan Pandji Poestaka itu, terutama kalimat “Sedang dalam kongrés perkoempoelan pemoeda2 itoe sendiri2, seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen dll., kelihatan meréka pandai djoega bersoeka-soeka.” Artinya Kongres Pemuda yang pertama itu, yang melahirkan Sumpah Pemuda, berlangsung dalam suasana yang masih kaku.

Kohesi dan semangat kebersamaan di antara para peserta yang berasal berbagai organisasi pemuda itu – walau kenyataannya dihadiri oleh lebih banyak orang tua – belum kompak dan hangat. Jadi, dapat juga dimengerti mengapa sampai pada masa revolusi, kaum muda masih terbelah dalam beberapa faksi yang kadang saling bertentangan ideologi. Tapi setiap peristiwa sejarah yang menyebut nama kaum muda bergaung gemanya sampai jauh.‘Kaum Muda’ adalah kata yang ‘sakti’, oleh karenanya sering juga dimanipulasi oleh Kaum Tua. Sumpah Pemuda adalah salah satu contoh nyata. Gema ikrar yang tiga itu meluncur deras menggoyahkan sendi-sendi penjajahan Belanda di Indonesia yang oleh menteri jajahannya yang sombong, Colijn, diibaratkan “kuat seperti duduknya Mount Blanc di atas Pegunungan Alpen”. Menyusul Sumpah Pemuda itu Bahasa Melayu menjadi bumerang bagi penjajah Belanda.

Ia memperoleh nama baru: Bahasa Indonesia, mengakibatkan terjadinya ‘language violence’ terhadap Bahasa Belanda milik penjajah, yang bergengsi dan bernilai tinggi itu. Kaum nasionalis menyerukan agar dalam acara-acara resmi pemerintah wakil-wakil pribumi menyampaikan pidato dan pikirannya dalam Bahasa Indonesia. Wakil faksi nasionalis di Volksraad tak segan-segan lagi berpidato dalam Bahasa Indonesia, yang membuat orang-orang Belanda dalam Dewan itu merasa tersinggung, terhina, dan marah. Hal itu diikuti oleh anggota faksi nasionalis di beberapa dewan kota (antara lain Bogor, Semarang, Batavia, Padang, dan Medan) yang kebanyakan digerakkan oleh wakil-wakil Parindra (Partai Indonesia Raya).

Inilah momen penting pendemitefikasian keagungan Bahasa Belanda yang selama ratusan tahun akses untuk mempelajarinya oleh kaum pribumi dibatasi oleh penjajah. Bintang Bahasa Indonesia waktu itu bermunculan, termasuk wakil Minangkabau di Volksraad, Jahja Datoek Kajo, mantan demang Padang Panjang (Suryadi 2006). Pidatonya yang berapi-api dalam Bahasa Indonesia di Volksraad membuat wakil-wakil Belanda marah. Koran-koran pribumi memberinya gelar “Djago Bahasa Indonesia di Volksrad” (lihat Pedoman Masjarakat, 23 Februari 1938, hlm.160). Konsekuensinya: ia hanya menduduki jabatan satu periode di ‘Dewan Rakyat’ itu. Ia berhenti atau mungkin diberhentikan. Begitu juga Haji Agus Salim: ia berpidato dalam Bahasa Indonesia di sidang Volksraad, yang menyebabkan ketuanyanya ‘Tuan Bergemeyer” merah telinga (M. Hatta dalam Salam 1963:31-2).

Sumpah Pemuda, yang setiap tahun akan semakin menjauhi masa kini bangsa Indonesia, akan bermakna antara lain jika kaum muda negeri ini mengimplementasikan semangat nasionalisme Bahasa Indonesia dalam kehidupan mereka. Mereka boleh pintar berbahasa asing, tapi tetap mencintai bahasa nasionalnya. Jika mereka dapat mengutarakan pikiran dan ide, baik lisan maupun tulisan, dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, itu saja sudah menunjukkan bahwa Sumpah Pemuda masih cukup relevan dan berarti dalam kehidupan kaum muda Indonesia di zaman ini. Dirgahayu ke-79 Sumpah Pemuda: 28 Oktober 1928 – 28 Oktober 2007. (***)

Suryadi, Pengelana dari Pariaman (Ahli Filologi Minang Yang Berkarir di Leiden)



Kompas, Jumat, 17 Oktober 2008 (Rubrik Sosok)

Dia percaya pada takdir. Jalan hidupnya yang penuh onak dan duri diyakini bukanlah kebetulan. Ada semacam garis nasib yang membentang antara kampung halaman di pedalaman Pariaman, Sumatera Barat, hingga Leiden, Belanda, tempat ia bermukim sejak 10 tahun terakhir.

Suryadi memang tipikal perantau Minang. Ulet dan tahan banting. Hanya saja, sebagai perantau, ia tak menekuni sektor informal, sebagaimana profesi urang awak perantauan umumnya. Ia memilih jalur keilmuan melalui dunia akademik. Bidang yang ia tekuni pun tak terlalu umum: naskah-naskah lama!

Menjadi penelaah naskah dan buku klasik (bahasa kerennya filolog) memang bukan profesi yang bisa mengantarkannya menjadi selebritas, seperti fenomena para ”komentator” bidang ekonomi, politik, dan hukum di Tanah Air. Dari aspek ekonomi pun, profesi ini jauh dari menjanjikan kehidupan mewah dan berkecukupan.

Namun, di balik dunia yang sepi itu, ketika larut bersama naskah tua yang ia kaji di pojok perpustakaan di berbagai perguruan tinggi di Eropa, Suryadi mengaku menemukan ”dunia kecil”-nya itu justru luas membentang. Jalan kehidupan dia kian terbuka lebar.

”Ternyata saya tidak sendiri. Ada juga orang lain yang menyukai bidang ini, yang bisa menjadi teman dalam satu network keilmuan,” tuturnya.

Hasil penelitian yang ia publikasikan di sejumlah jurnal internasional banyak mendapat tanggapan. Kajiannya atas surat raja-raja Buton, Bima, Gowa, dan Minangkabau, misalnya, dimasukkan dalam satu proyek (Malay Concordance Project) yang berpusat di Australian National University, Camberra, Australia.

Berkat penelitiannya atas naskah-naskah lama itu pula ia kerap diundang menjadi pemakalah seminar di mancanegara. Suryadi bahkan dipercaya memimpin satu proyek pernaskahan yang didanai the British Library.

Kajian komprehensif atas Syair Lampung Karam—satu-satunya sumber pribumi tentang letusan Gunung Krakatau tahun 1883, yang diikuti gelombang tsunami dan memorak-porandakan wilayah sekitar Selat Sunda (Kompas, 12 September 2008)—hanya satu dari sekian banyak teks Melayu klasik yang sudah ia teliti.

Syair dalam tulisan Arab-Melayu alias Jawi itu kemudian ia transliterasikan ke teks beraksara Latin, sebelum dibandingkannya dengan pandangan para penulis asing (baca: Eropa).

Menggeluti naskah lama atau buku-buku klasik mengenai Nusantara ternyata memberi keasyikan tersendiri bagi Suryadi. Perpustakaan KITLV dan Universiteitsbibliotheek Leiden menjadi rumah kedua, tempat ia ”bersemedi”, intens menekuni ribuan naskah tentang Indonesia yang pada zaman kolonial diangkut ke negeri Belanda.

”Saya seperti menyelam ke masa lalu. Banyak hal menarik dari bangsa kita yang terekam dari naskah-naskah lama. Kadang, sewaktu membaca, saya tertawa sendiri,” ujarnya.

Honor seadanya

Tahun 1998 menjadi semacam titik balik bagi Suryadi. Sejak September 1998 ia menetap di Belanda, negeri tempat naskah-naskah lama tentang Nusantara menumpuk. Ia memulai bekerja sebagai pengajar di Universiteit Leiden untuk penutur asli bahasa Indonesia .

Jalan menuju ke Leiden penuh tikungan. Setelah menunggu tanpa kepastian sebagai asisten dosen di Universitas Indonesia (UI, 1994-1998), pada pertengahan 1998 lowongan (vacature) mengajar di Universiteit Leiden datang. Peluang itu langsung ia tangkap. Lamarannya diterima.

”Ini sebenarnya soal jalan hidup saja. Soal pilihan,” kata Suryadi terkait kepergiannya dari UI.

Menunggu tanpa kepastian—juga tanpa masa depan yang jelas—seperti dilakoninya semasa menjadi asisten dosen di UI, bukan hal baru. Sebelumnya, saat diajak Lukman Ali (alm)—dan didukung filolog senior Achadiati Ikram—untuk merintis pengembangan studi Bahasa dan Sastra Minangkabau di UI, Suryadi sudah tiga tahun diterima sebagai asisten dosen di almamaternya: Universitas Andalas (Unand) di Padang.

Seperti halnya saat meninggalkan UI, di Unand pun ia menunggu tanpa kepastian kapan diangkat menjadi dosen tetap. Tentang hal ini, ia hanya berkata, ”Konon, kata mereka, karena tak ada posisi. Tapi anehnya, yang belakangan lulus dari saya diangkat jadi dosen. Saya tidak tahu kenapa?”

Begitu pun di UI. Hidup di Jakarta dari honor sebagai asisten dosen tentu sulit dibayangkan. Di tahun terakhirnya di UI , ia menerima Rp 70.000-an sebulan. Ini pun jauh lebih baik mengingat pada tahun awal ia mendapat honor Rp 35.000 sebulan.

Untuk biaya kontrak rumah saja tak cukup. Menyiasati keadaan ini, Suryadi mendekati teman-teman sesama asisten dosen. Dengan semangat gotong royong ia bersama empat teman bisa menyewa rumah kontrakan di Gang Fatimah, Depok, Jawa Barat.

Bagaimana untuk hidup sehari-hari? ”Saya terpaksa mencari obyekan. Misalnya, selama beberapa tahun saya membantu Ibu Pudentia di Asosiasi Tradisi Lisan. Barangkali memang tidak ada suratan tangan saya menjadi pegawai negeri,” katanya.

Masa kecil

Hidup di tengah penderitaan bukan hal baru baginya. Terlahir sebagai anak petani kebanyakan di Nagari Sunur, Pariaman, sejak kecil Suryadi hidup hanya dengan ibunya, Syamsiar. Orangtuanya bercerai. Ibunya kawin lagi, tetapi perkawinan itu pun bubar setelah memberi Suryadi satu adik lelaki bernama Mulyadi.

Di tengah kondisi serba pas-pasan, ia menamatkan SD di Sunur (1977). Kesulitan hidup juga menyertainya saat di SMP Negeri 3 Pariaman di Kurai Taji (1981). Begitu pun ketika menyelesaikan pendidikan lanjutannya di SMA Negeri 2 Pariaman (1985).

Akibat kesulitan biaya hidup, setamat SMA Suryadi tak bisa langsung kuliah. Setahun ia menganggur, sebelum masuk Unand di Padang. ”Saya masih ingat, Ibu menjual cincin satu-satunya untuk membayar uang masuk kuliah saya.”

Selama kuliah, ia mondok di rumah saudara ibunya, Emi. Suami Emi, Duski Sirun—yang dipanggil Suryadi dengan sebutan Apak—punya beberapa toko kain di Pasar Raya Padang . Di sinilah Suryadi kerja, membantu Apak-nya sambil kuliah. Tak ada gaji, kecuali imbalan tinggal dan makan gratis di rumah sang Apak, serta dibayarkan uang kuliah.

Begitulah selama lima tahun ia kerja siang-malam, termasuk kuliah. Pagi sekitar pukul 05.00 ia bangun dan segera ke pasar untuk membuka toko. ”Kalau ada kuliah, saya ’lari’ ke kampus, lalu kembali ke toko. Malam hari, di tengah rasa capek, saya ulangi pelajaran. Kadang sampai larut, padahal pagi-pagi saya harus bangun dan ke pasar membuka toko,” ujarnya.

Hidup memang butuh perjuangan. Pengelanaannya hingga bermukim di Leiden , meretas tradisi pengajar tamu bagi penutur asli bahasa Indonesia di Leiden yang maksimal lima tahun, tetap saja membutuhkan perjuangan baru. Ia merasa seperti pengelana (wanderer) yang tak punya rumah tetap, tempat berdiam.

Tak ingin pulang? ”Pasti saya tidak selamanya di Leiden . Suatu saat saya dan keluarga tentu pulang ke Indonesia , atau mungkin pindah rantau ke negara lain. Biasanya seorang wanderer selamanya akan jadi wanderer,” tambahnya.

Itulah Suryadi. Berbeda dengan slogan seorang politisi masa kini bahwa hidup adalah perbuatan, ia masih dibelenggu masa lalu: hidup adalah perjuangan! Entah sampai kapan….

sumber: http://mersi.wordpress.com/2008/10/17/suryadi-pengelana-dari-pariaman-ahli-filologi-minang-yang-berkarir-di-leiden/

Alek Nagari Marunggi (Pariaman Folk Festival)



17 – 26 Juni 2007
Menyambut HUT Kota Pariaman ke 5

Kerjasama Masyarakat Nagari Marunggi dengan dukungan Pemda Kota Pariaman dan Aliansi Indonesia Festival (ALIF)
A. LATAR BELAKANG

Tradisi budaya dalam masyarakat Minangkabau, baik di daerah pedalaman maupun di pesisiran, umumnya ditopang oleh tradisi sosial yang berakar kuat di dalam masyarakat pendukungnya. Dapat dikatakan tradisi budaya, termasuk tradisi kesenian merupakan bagian yang integral dari suatu masyarakat, terutama yang hidup di daerah pedesaan atau nagari.

Menurut para ahli, seni tradisi merupakan wadah pengikat solidaritas sosial dan penyampai nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat pendukungnya, di samping menjadi media hiburan. Dengan demikian fungsi seni tradisi dalam masyarakat begitu penting, dan patut untuk diberikan perhatian oleh semua pihak.

Kota Pariaman sebagai Kota Pantai, yang terletak di pantai barat Sumatera, merupakan suatu wilayah budaya yang memiliki berbagai budaya dan seni tradisi yang unik. Dari daerah ini tumbuh tradisi kesenian seperti Ulu Ambek, Indang, Gandang Tambua, yang menjadi identitas budaya Pariaman.

Berbagai seni tradisi tersebut biasanya ditampilkan dalam acara Alek Nagari, yang merupakan sebuah institusi budaya yang sangat penting dalam masyarakat Minangkabau. Alek Nagari atau dapat juga disebut dengan Festival Rakyat (Folk Festival), merupakan simpul untuk masyarakat nagari (anak nagari) untuk menjalin silaturahmi budaya secara partisipatif dan berkelanjutan. Dalam konteks kebudayaan Minangkabau Alek Nagari, selain berfungsi sebagai jembatan silaturahmi, sekaligus juga berperan sebagai ruang ekspresi untuk mempertahankan dan mengembangkan spirit budaya yang mereka miliki.

Dengan alasan ini pulalah, Alek Nagari Marunggi kembali dirancang dan direvitalisasi, sebagai bagian dari upaya menghidupkan semangat dan tradisi budaya yang ada di Kota Pariaman.

B. TUJUAN

Alek Nagari Marunggi (Pariaman Folk Festival) secara umum bertujuan untuk:

Menampilkan berbagai keunikan budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Kota Pariaman, sebagai bagian yang penting dari budaya Indonesia.
Merevitalisasi kelembagaan budaya “Alek Nagari” yang pernah tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Nagari Marunggi kususnya dan Kota Pariaman umumnya.
Mengembangkan seni tradisi sebagai media pendidikan budaya dari berbagai generasi yang hidup di dalam masyarakat Pariaman, baik yang tinggal di kampung maupun di rantau.
Mengembangkan jaringan budaya antar masyarakat nagari (anak nagari) di Kota Pariaman.
Mendukung program Pemda Kota Pariaman dalam menggerakkan pariwisata budaya berbasiskan masyarakat.


C. PROGRAM

Kegiatan yang akan ditampilkan selama Alek Nagari Marunggi ini akan mempertunjukan berbagai kesenian anak nagari yang hidup di Kota Pariaman, antara lain:
Pertunjukan silat tradisional khas Pariaman Ulu Ambek
Pertunjukan Seni Bernuansa Islam, Baindang
Pertunjukan musik tradisional Pariaman, Gandang Tambua
Pertunjukan Silat antar perguruan Silat
Pertunjukan sastra tutur Minangkabau Pasambahan
Pertunjukan tradisi penyambutan Silat Galombang

D. JADWAL DAN TEMPAT

Alek Nagari Marunggi (Pariaman Folk Festival) dilaksanakan antara 17 Juni – 26 Juni 2007, bertempat di Desa Marunggi Kenagarian Sunua Kurai Taji, Kecamatan Pariaman Selatan. Kegiatan pertunjukan dilaksanakan siang malam sesuai dengan tradisi Alek Nagari yang tumbuh dan berkembang di Pariaman.

E. PESERTA

Peserta Alek Nagari Marunggi ini adalah berasal dari Nagari-nagari yang ada di Kota Pariaman, yang merupakan perwakilan komunitas budaya dari setiap nagari tersebut. Komunitas budaya (seni) yang terlibat dalam Alek Nagari Marunggi ini antara lain kelompok Silat Ulu Ambek, Kelompok Indang, Kelompok Silat, Kelompok Musik Gandang Tambua dan musik saluang dan dendang.

F. ORGANISASI PELAKSANA

Pensipnya Alek Nagari Marunggi dilaksanakan oleh masyarakat nagari setempat dengan dukungan Pemda Kota Pariaman, yang difasilitasi oleh Edy Utama dan Nursyam saleh. Masyarakat Nagari Marunggi pada dasarnya telah memiliki institusi Alek Nagari dan ruang budaya yang disebut sebagai Laga-Laga, namun dalam beberapa tahun belakangan ini tidak dilaksanakan lagi. Penyelenggaraan Alek Nagari Marunggi diharapkan akan dikelola secara mandiri oleh Anak Nagari Marunggi bersama pimpinan masyarakat yang ada di sana.
Kontak Person
Edy Utama
Perumahan Unand BIII/04/02
Ulu Gadut-Padang
Sumatra Barat-INDONESIA
Telp. 0751-73164 Fax 0751-35667
HP. 0811660108

Kamis 14 Juni 2007

Sumber: http://mantagisme.blogspot.com/2007/06/alek-nagari-marunggi-pariaman-folk.html

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987