Selasa, 28 Oktober 2008

DANAU BUATAN


Oleh. M. Yunis

Laki-laki itu masih sibuk menghitung-hitung andai-andai hari, sesekali dia lemparkan kerikil runcing itu ke tengah danau buatan itu. Dia mengharapkan danau itu mengeluh atas kekesalan yang sedang menerpanya. Sepintas lalu laki-laki itu kelihatan gila atau mungkin sedang stres berat akbibat kebiadaban hidup. Bukan! Bukan itu yang mau dia ungkapkan, dia hanya ingin menulis sebuah kisah, ya kisah yang mencereritakan awal dunia dimulai hingga berakhir di ujung sangkakala. Ya ! kisah itu baru saja dimulainya, tapi dia bingung akhir dari cerita itu seperti apa. Apakah tokoh utama harus mengalahkan semua musuhnya atau mengalah sama sekali gagal dalam kekalahan? Dia tidak mampu menjawab gamblang duri-duri tanya yang menusuk batinnya itu. Dia tahu sebentar lagi dunia ini akan berakhir, hancur lebur seperti yang digambarkan Al kitab, tapi dia ingin menelusuri kehancuran itu secara terang-terangan, agar insan lain dapat melihat bagaimana kehancuran itu sebenarnya.
Saat dia pertama kali datang ke kota besar, itu karena jemu bernapas di lingkungan tradisi yang fakum dari kebenaran. Ketika dia berbuat suatu yang dianggap salah, masa lalu moyangnya diungkit dan dipreteli sedimikian rupa, satu kalimat yang masih dia ingat, ‘’kamu anak PKI!’’. Lingkungannya menganggap hala itu adalah hukum masyarakat yang harus berlaku turun-temurun di kampungnya itu, dia gerah diperlakukan seperti hewan yang tidak punya hak bernapas. Ketika dia disakiti sedemikian rupa, orang menganggap hukum alam yang wajar dia terima karena telah mewarisi dosa masa lalu. Padahal dia sendiri tidak pernah tahu wujud dosa warisan itu seperti apa. Satu-satunya pilihan yang tepat sekaligus terberat baginya adalah pergi meninggalkan negri tradisi itu dengan mencecerkan dosa-dosa itu di sepanjang perjalanan, tanpa sepengetahuannya ceceran itu dipungut oleh penjarah-penjarah hak asasi manusia, katanya dosa itu perlu dipertahankan agar persatuan dan kesatuan tetap utuh dan terjaga. Kemudian mereka itu bersentuhan dengan cerita binatangisme, wujudnya pun berubah menjadi ada, berkaki bertangan dan lengkap selayaknya seorang manusia asli. Agaknya wujud tiada itu pun hijrah meninggalkan tempat yang dihinggapi, ya! Ke kota besar melawan dunia orang, begitulah impian pagi mereka. Di suatu masa lain dosa yang mulai berwujud ada itu mampu memanjat tiang yang sangat agung yaitu 5 falsafah dasar negara, kemudian menyebar ke seluruh nadi-nadi yang masih berdenyut. Sepak terjangnya ganas, wajar setelah sekian lama terkukung dalam koloni pinggiran, telah dipisahkan dari haknya, dia pun menghisap darah para nelayan, petani hingga pegusaha. Tidak lama setelah masa itu kabar pun tersiar ke seluruh negri, tetapi dia hanya menjawab ‘’kami mencari keadilan bagi diri kami!’’.
Lalu nasib pun mempertemukan mereka kembali, dosa yang dulu tercecer kini telah berwujud ada menghadang pengembaraan laki-laki itu kembali. Layaknya sudah menjadi keharusan dengan laki untuk menuai ketidak beruntungan jika hidup sezaman itu, laki-laki itu berusha menentang, melawan kepongahan yang diciptakan yang kini binatangisme, namun sayangnya dia agak terlambat, sebab tembok penghalang lebih tinggi dan lebih kuat dari tembok berlin ataupun tembok besar Zulkarnain.
Kini si laki-laki berada di tepi danau itu, dia masih saja hanyut dalam perencanaan muluk-muluk, sedikit menyesalan menyeruak dari dalam dirinya telah mencecrkan doas itu di perjalanan, seharusnya dia mengubur di neraka terdalam di alam barzah. Namun niat itu urung dilakukannya, dengan harapan dosa itu menemukan pemilik sejarahnya yang masih hidup di zaman itu, tapi sat itu dia terlalu letih hingga dia pun tidak menyadari kefatalan yang ditimbulkan kemudian hari, sebuah kesalahan tanpa ditakdirkan oleh siapapun bahkan tanpa ditulis oleh kalamullah. Sesaat kemudian dari arah yang berlawanan sepoi angin menepuk pundak laki-laki itu yang memang sudah dua hari tidak bersuci. Dia pun menderu seiring berlalunya angin barat itu, dia berusaha mengejar laju angin tersebut, seperti kuda pacuan terkadang tersungkur, bangun dan tersungkur lagi. Entah angin mau mendengar berita yang dia kabarkan, tetapi dia tetap mulai memancing pembicaraan dengan sebuah kisah nun jauh di ujung sana.
‘’Dulu masa kejayaan Raja Amenhotep ke IX, mempunyai seorang putra mahkota yang akan mengantikannya memerintah sebagai Firaun. Tetapi putra mahkota itu sedikit berbeda haluan dengan raja, dia tidak mau menyembah tuhan yang dibuat Raja yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Raja murka, tapi tidak bisa berbuat banyak terhadap tindakan putra mahkota yang menyimpang itu, kelak putra mahkota itu di juluki Zulkarnain. Di saat Putra Mahkota itu bimbang, dia selalu menghadap temannya yang bernama Moses dan menceritakan semua apa yang tertanam dalam hati. Sementara Moses sendiri tidak bisa terang-terangan mengatakan bahwa yang menjadi sumber kebimbangan itu adalah keyakinan atas pencipta jagat raya. Tidak lama setelah itu Moses pun dimusuhi oleh Amenhotep IX dan terjadilah perang besar yang menenggelamkan Amenhotep IX di laut merah setelah Moses meminta tuhannya menurunkan Tsunami.
Putra Mahkota itu bertambah linglung setelah kehilangan sahabat sejatinya Moses, dia melanjutkan usahanya mencari tuhan didambakan. Suatu hari dia bertemu matahari dan mengejar matahari itu hingga ke tempat peristirahatannya, di sana dia menemukan tuhan yang ada dalam dirinya lebih mirip tuhan Ibrahim dan tuhannya Muhammad. Tapi masa itu belum ada seorangpun yang mengakui keberadaan tuhan yang dia temukan, kecuali istrinya Ratu Arfiniti. Bahkan Firaun sendiri berusaha membuat pagoda yang maha tinggi untuk menuntut tuhan yang ditemukan anaknya. Usaha itu sia-sia belaka, pagoda itu luluh lantak ditelan sejarah masa lalu. Sementara Putra Mahkota itu lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan hingga ke negri Cina, dia tidak sedikitpin cemas terhadap nasib yang akan menimpa tuhannya, orang seperti Firaun tidak akan sanggup menyentuh tuhan yang dia temukan. Firaun menganggap tuhan Zulkarnain itu sebagai oposisi yang berbahaya dalam dunia ketuhanan.
Setelah menembus negri Cina, hawa kebangsawanannya tidak lepas begitu saja. Kebetulan pada masa itu Cina sedang dilanda ancaman besar, semua penduduk takut akan kebringasan bangsa Yajud dan Ma’jud. Sejarah mengatakan kedua bangsa ini melebihi kaum kanibal, telinganya panjang merah, postur tubuhnya pendek. Kedua bangsa itu akan mengahncurkan apa saja yang dia temukan, danau yang cukup luas akan kekeringan apabila diminum oleh satu rombongan saja sehingga rombongan kedua mengatakan, ‘’danau ini dulu masih ada airnya tapi kini sudah kering, sungguhnya telah terlalu lama kami dikurung dalam lembah itu!’’. Padahal air danau itu baru saja kering diminum oleh teman-temannya yang datang lebih dulu.
Ketakutan penduduk cina memuncak setelah dua bangsa itu berusaha memanjat tebing-tebing tinggi di lembah, keberadaan Putra Mahjota Firaun pun tercium oleh kaisar Cina. Tanpa menunggu waktu lama, kisar meminta Zulkarnain membuatkan tembok penghalang bagi kedua bangsa itu dan tentunya untuk melindungi negri dari keganasan bangsa kanibal tersebut. Pinta itu dikabulkan oleh Zulkarnain, besi dan tembaga ditempa menjadi sebuah tembok panjang yang mengelilingi negri cina, tembok itu kemudian dinamakan dengan tembok besar Cina. Atas jasa-jasa itu Zulkainan duduk sebagai kaisar dinasti Han. Dia mengatakan tembok itu tidak akan runtuh setelah datangnya kabut asap dari langit dan terlepasnya Dajjal dari belenggu yang maha agung, kekuatan tembok itu adalah rahmat dari Rabnya. Kemudian generasi Muhammad mengetahui berita tersebut hingga diperintahkan Al kitab, menuntut ilmu sampai kenegri cina’’.
Sekarang aku bertanya padamu wahai angin, kenapa harus kenegri cina? Apakah Zulkarnain membawa tuhannya ke negri Cina sehingga Cina dijadikan kiblat ilmu pengetahuan? Tidak, aku tahu tuhan tidak ikut bersamanya ke negri cina, tuhan masih ada di dalam dirinya dan di dalam diri siapa saja, tuhan tidak pernah keluar untuk sesuatu apapun, tuhan hanya cukup menyebutnya ‘KUN’’.
Angin kenapa engkau diam saja, tidakah kau mendengarkan ceritaku? Aku mencari tuhan persis seperti yang dilakukan Zulkarnain. Aku telah ditinggalkan tuhan, hatiku membatu telah dikutuk oleh ibu Malin Kundang? Aku tahu itu hanya ada di dalam cerita untuk menakut-nakuti anak-anak kecil di kampungku, tapi sekaranng aku takut, aku tida punya tempat untuk segalanya. Aku berusaha berteman dengamu tapi kamu terus saja berlalu, aku letih’’. Laki-laki itupun terhempas di pinggir sungai yang direnanginya sejak dari hulu, untung saja dia tidak berakhir di muara itu, bisa-bisa dia kembali ke lautan yang tidak bertepi itu.
Setelah berkisah panjang lebar pada angin yang baru saja menerpa jiwa lugunya, dia tetap tidak beranjak dari kebekuannya semula. Laki-laki tetap memilih duduk di pelataran parkir kampus Universitas Indonesia, entah apa yang dia pikirkan, tapi yang jelas dia membawa buku tulis yang cukup kusam. Dia membalik perlembar buku itu, mungkin sedang menulis catatan hariannya, kukira penafsiran itu sangat cocok baginya, sebab wajah yang kelihatan tua gersang diterpa terik mentari mengejawantahkan sejuta penderitaan. Bisa ditebak umurnya baru kira-kira 22 tahun lebih sedikit. Tapi kelakuannya aneh, apa yang dia perbuat di tepi danau buatan itu? lipatan kerut wajah itu memperjelas bahwa dia sedang meramal sesuatu atau mungkin meramal masa depan. Apakah dia salah satu mahasisawa di sini? Lalu apa yang dia lakukan di saat mahasiswa lain sedang meinmba ilmu di dalam kelas? Ku perhatikan dia hanya terus menulis sambil memandang sayu alam sekitar. Badannya sungguh tidak terawat, padahal kalau dia tahu dia adalah laki-laki yang cukup gagah, dadanya yang datar itu bisa membidang seprti laki-laki kebanyakan jika dia mau sedikit menyayanginya. Dia memang tidak menyadari dari jarak 100 meter ada seorang perempuan yang juga kusam sedang memperhatikannya, perempuan itu adalah aku.
Aku pun menghampirinya dan memberanikan diri untuk menyapanya.
‘’Maaf mas kalau aku mengganggu perenungannya!’’.
‘’Boleh saja!’’
‘’Aku tidak ikut campur urusan mas, tapi sedari tadi ku perhatikan mas kehilangan sesuatu!’’
‘’Bukan sesuatu, tapi aku banyak hal, hal yang unggap suci, kisah yang kupandang agung, kini hilang ditelan bayangan’’.
‘’Tapi perlu mas tahu, bayangan akan ada jika kita ada. Sementara mas sendiri belum ada, bagi saya mas adalah bayangan masa lalu’’.
‘’Aku sengaja menenggelamkan diriku ke dalam masa yang lalu, dengan harapan aku bisa merekontruksi wajah-wajah’’.
‘’Tapi kita tidak perlu menceritakan kisah untuk membohongi orang lain, angin barat tadi telah berusaha menyebarkan isu yang baru saja diciptakan’’.
‘’Aku tidak menciptakannya, tapi aku berusaha memberi tahu, karena diantara jenisku tiada lagi yang tahu kisah itu, bagimu kisah itu terlalu usang karena terjadi sudah ribuan tahun, tapi bagiku cerita itu baru dan baru saja terjadi sekarang, hanya saja Putra Mahkota tidak bernasib sama dengan kisah itu’’.
‘’Dia tidak mencari tuhan baru?’’
‘’Putra mahkota itu adalah aku’’.
Kami terdiam seribu satu bahasa dan terhunus ke dalam kenangan masa silam. Aku sendiri berusaha merenangi kisah yang dia ceritakan, apa saja yang dilaklukan Zulkarnain sehingga tokoh itu terlalu bermakna baginya? Siapa tuhan yang dia maksud? Tapi aku sangat menghargai jerih payahnya itu. Dulu sebelum aku menjadi seperti ini, aku hanya gadis ladang yang juga sering menerawang seperti dia. Aku beruntung, saat itu paman yang berekja di ladang mengeloniku pulang ke rumah. Memang sejak tinggal dengan paman 100 parsen hidupku berubah. Aku lebih banyak menyendiri dengan kertas dan pena seperti dia. Saat itu aku sadar, aku hanyalah sebuah cerpen, cerita yang tanpa sengaja tergores dalam kertas putih. Di kala aku menari bersama senja, aku menjadi sorotan sang pujangga, mereka mulai menggores tubuhku dengan ketajaman pena-pena batin, mereka pula yang menggrayangi harga diri tanpa busana perlindungan. Ya aku bukannya tidak meronta, dan bukan pula tidak menolak saat aku diperlakukan seperti itu, tapi aku sendiri telah terlanjur ditelanjangi oleh pikiran-pikiran dunia sebelum diriku benar-benar ditampilkan seperti itu. Semula aku mulai dirangkai dalam bentuk bingkai, tetapi merekalah yang memaksakan diri untuk hidup di bawah kukungan pena-pena adi kuasa. Mereka bertahan dengan goresan kalam, kalaupun itu mendapat tempat di hati penikmat koran-koran kehidupan barulah aku berjaya, walau harus mengorbankan harga diriku sendiri tentunya.
Saat aku menari bersama ombak, akulah yang paling berkuasa di pinggiran pantai, aku jugalah yang paling baik, hanya saja terkadang aku jenuh dan aku rayapi semua tanah tepian, kemudian para pujangga juga menulis sepak terjangku, dimulai saat dari mana datangku, penyebab kedatanganku, kepergianku dengan sejumlah korban hingga bekas-bekas yang aku tinggalkan. Pujangga tetap saja menelanjangi diriku tak obahnya saat aku menjelma menjadi sebuah cerpen. Akhirnya aku memang benar-benar tercatat hanya di dalam cerpen-cerpen.
Lalu aku bersiul bersama burung camar, aku pun menulis diriku sendiri karena aku sebuah cerpen, tetapi yang kutulis bukanlah kepintaran burung camar bersiul, melainkan ketertarikan hatiku kepada dunia lain yang ada di sekeliling burung camar, bagiku burung camar hanya bersiul saat lingkungan sudah mulai berubah. Tenggelamnya transpormas, Iwan Fals menulis siulan burung camar dalam lirik lagunya, aku bukanlah Iwan Fals, karena aku tidak bisa menulis sebuah lagu pun, aku takut akan menjadi dendangan orang-orang yang putus asa akan ketidakadilan. Biarlah aku di dalam sejarah cerpen agar aku selalu tercatat dan bukan didendangkan seperti itu. Tapi anehnya saat aku tercatat, aku disayembarakan, pujangga-pujangga itu kembali menerima keuntungan, bagiku tiada masalah karena pujangga itu aku ada dan dilahirkan, pujangga seharusnya menyadari bahwa dia diadakan oleh sesuatu yang ada sendiri bukan diadakan seperti yang dia lakukan itu.
Aku nmuak, lalau aku merantau ke dunia syair, tubuhku dicincang oleh bait-bait puisi, ada yang mengatasnamakan dirinya kemiskinan, ada yang menyebutnya ketidakadilan, ada yang menyerupai pahlawan, dan ada pula yang membayangi kebajikan yang seharusnya atau menjadikan dirinya sebuah perjuangan idelisme. Ya!..hanya itulah samurai beracun yang terbuat dari kata-kata, memedihkan, bahkan menyayat tapi tidak mampu menghapuskan bekas yang ditinggalkan, mereka juga menyebutnya bekas kemelaratan atau bekas kehidupan alam fana. Lalu generasi ke 7 akan mengais rezki di antara puing-puing yang berasal dari dunia bekas, segala macam kehinaan bersatu padu di dalamnya, segala kenistaan menjadi semangat naluriah setiap insan-insan yang sementara singgah. Kemudian generasi ke 7 berkata, kenapa nenek moyang kami memakan habis tanah kami berpijak, sehingga kami terpaksa membuat rumah di atas angin, saat datang badai, rumah dan anak-anak kami diterbangkan bersama puting beliung. Kenapa pula sejarah kami sesat dari jalannya sehingga garis takdir kami terpaksa diukir dengan kanvas kemunafikan. Kenapa pula khalifah kami menggadaikan harga diri kami terhadap hawa nafsu sehingga tuhan kami tidak lagi berharga di mata kami. Tiada yang menyangka hatiku seperih ini, pusaka samawi diinjak-injak oleh pemiliknya sendiri, batinku tertahan di saat bangsa ini melebihi kanibalnya Yajud dan M’jud. Lalu mereka masih sanggup mengucapkan takdir jatuh dari langit, padahal tuhan telah dibunuh oleh diri mereka sendiri, tahta-tahta-Nya dirampas habis, para malaikat diberhentikan dari jabatannya, iblis dibebas tugaskan, Adam dan Muhammad disingkirkan, lalu para jin dijadikan penasehat disaat mereka menduduki kursi ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian tuhan juga membuat dunianya sendiri dengan kata ‘KUN FAYAKUN!’, ciptakan alam baru tanpa mahluk manusia. Kiranya tuhan tobat melukis takdir yang sama, takut lahir kembali tuan Tuhan yang memusuhinya.
Memang sengaja aku ukir beberapa kisah yang tidak akan pernah terungkap oleh para pujangga, tidak bisa dimaknai oleh penyair, tidak bisa pula diganyang oleh para penulis dengan lidah artikel atau opini harian. Aku sendiri merasakan kehadiaranku di dalam cerita itu, sempat aku berpikir apakah aku memang benar-benar ada atau ada tapi ditiadakan oleh penduduk se zaman? Aku juga bisa menggambar kesombongan yang harus ditaklukan dengan kesombongan model baru, lalu kosombongan model baru juga dikalahan oleh kesombongan model baru. Kemudian aku menciptakan lingkaran setan yang aku sendiri terjebak di dalamnya, aku telah melayang di laut tak bertuan, mengawang di langit tiada ujung, mengambang di alam entah berantah. Aku bertanya, adakah aku memang benar-benar ada? Atau hanya sekedar ilusi yang ditakwilkan oleh mimpi-mimpi? Kenapa aku bermimpi sementara aku sendiri tidak ada, aku sama sekali samar di dalam kenangan yang aku sendiri ragukan keberadaannya.
Itulah aku, aku yang kuciptakan sendiri dengan tangan-tangan ini tanpa sepengatahun bapak ibuku. Sebab ibuku bertengkar dengan bapak hanya karena aku adalah anak mereka. Bapakku bilang aku anak bapak, tapi ibuku bilang aku adalah anak ibuku, tapi aku menyebut diriku adalah anak alam. Aku diadakan oleh alam dalam kefanaan, saat sipenyair besar memanggilku aku akan mengahadap untuk selamanya hingga ke tiang Arasy sekalipun. Sementara laki-laki baru saja disesatkan oleh alam imajinasinya, keinginan yang tidak tercapai atau mimpi yang tertunda untuk selamanya bersatu simpul di dalam benaknya. Wajar saja dia disebut gila oleh siapa saja yang mau menoleh ke tepi danau itu. Laki-laki itu terus sibuk mengacak-acak takdir masa depan, tiada tawa yang menyelingi kesebdiriannya, perdebatan hingga siang itu beranjak menuju senja, senja berlalu mengususng malam, malam pergi menuai pagi dan malam saling menyalahkan mencari. Mereka mencari para tuhan untuk diadili.
Seminggu kemudian Anita kembali bertemu dengan laki-laki aneh itu, dia masih sendiri dan selalu akan sendiri selamanya, di tepi danau. Anita merasa risih saat melihat lelaki itu, bagaimana tidak setiap kali bertemu dia selalu berkisah tentang perjalanannya yang panjang, Anita kalut dan terbawa arus yang dia ciptakan, sudah berkali-kali Anita mencoba untuk tidak peduli tapi apalah daya, belaskasihan yang mendalam mengusungnya kembali menghampiri penunggu danau itu.
‘’Terkadang aku heran melihat permainan yang kau mainkan, sesekali kau tidak ku acuihkan, tapi apalah dayaku!’’, tegur Anita.
Lelaki itu tersenyum simpul dan melempar pandangannya ketengah danau.
‘’Kau jangan salahkan aku, aku selalu di sini menunggu malam, rumahku di sini! Salahmu sendiri memilih jalan ini untuk berpergian!’’.
Anita sadar, masih ada jalan selain jalan ditepi danau itu, tapi kenapa dia tidak melewati jalan lain tersebut. Anita sendiri binging dengan mafnet yang selalu menariknya ketepi danau itu, Anita merasa bodoh saat lelaki itu melontarkan kata-katanya, tapi Anita telah berusaha untuk tidak bertemu dengannya.
‘’Kamu berasal dari mana? Apa berita yang membuatmu samap[i di danau ini?’’
‘’Awalnya aku ingin ke tengah danau itu, ingin mendirikan istana di atas air, tapi danau ini terlalu kotor sekotor politikus negara, airnya kumuh sekumuh jiwa mereka yang menghisap keringat rakyat, akhirmnya aku duduk di sini!’’.
‘’Aku bisa membantumu membangun istana itu!’’.
‘’Tidak perlu, engkau seorang wanita yang masih butuh pengetahuan untuk menaklukan dirimu, belajarlah lebih banyak dari yang kau kira!’’
‘’Kenapa tidak engkau saja yanbg mengajari aku?’’
‘’Aku? Aku orang gila, tidak waras seperti kata hatimu itu, kamu jangan coba-coba menjebak aku, aku tidak akan meninggalkan danau ini!’’
Anita melempar mukanya kelangit biru, dia sadar telah dipermalukan dengan membaca isi hatinya, ‘’kenapa dia bisa tahu apa yang kusimpan jauh, apakah dia seorang utusan, ah itu tidak masuk akal, dia hanya seorang laki-laki yang kemaren kutemui menyendiri di sini’’.
‘’Engkau diam, berlagak tahu akan kejadian setelah ini’’, sambung laki-laki itu.
‘’Aku tidak menginginkan kamu gila!’’, pintas Aanita.
‘’Sekarang dengarkan kisahku!’’, laki-laki itu kembali bercerita tentang Ibu, sementara Anita memaksakan diri menampung keluh kesah yang dia gambarkan.
‘’Saat kedatanganku pertama kali ke kota ini, aku kepalang takjub. Bagaimana tidak, di sekelilingku berdiri gedung-gedung pencakar langit siap menyambut apa saja datang dari atas, kekokohannya laksana menggapai tuhan di tiang Arasy. Aku berdiri hormat memuji kekuasaan tangan-tangan lihai yang menciptakan ini. Entah berapa uang yang dihabiskan hingga pencakar langit ini berbentuk sedemikian rupa. Jutaan atau mungkin triliunan rupiah. Saking takjupnya, aku tidak merasakan bus yang kutumpangi sudah tiga kali melewati jalan yang sama. Tapi aku yakin tidak mungkin tersesat, sebab Kota Jakarta yang kukenal dari kejauhan itu besar, sudah sewajarnya rute yang ditempuh bus ini cukup jauh. Lagi pula belum ada terlihat tanda-tanda bahwa bus sudah melewati jalan Salemba Raya no 45. Tiba-tiba aku dikejutkan suara melengking hancur membawakan lagu ‘Jakarta’, aku tidak persis ingat siapa pencipta lagu itu, yang jelas nyanyian itu dibawakan oleh orang yang tak selayaknya bernyanyi, jika mau si penyanyi lebih pas menjadi buruh angkat di pelabuhan Tanjung Periuk, namun kata-kataku itu tidak wajar bila fasifkan. Kuanggap saja si penyanyi tidak berdosa, berjuang untuk hidup di tengah-tengah keganasan arus globalisasi lebih tepat untuknya.
Sudah sekian menit berlalu, si penyanyi mengakhiri nyanyiannya dengan kata asalamualikum yang kasar, tanpa menunggu tepuk tangan pun dia sudah terlanjur mengeluarkan kantong plastik bekas permen dari kantong celana depan, baginya kantong itu tidak hanya sekedar kantong permen biasa, kantong itu adalah tempat menampung rezki dari para hamba tuhan dimana saja yang dia inginkan. Secepat hebusan nafas secapat itu pula dia memalui tiga penompang baru dari depan, sasaran keempatnya adalah aku yang sedari tadi telah menyiapkan uang recehan lima ratus rupiah. Sesaat kemudian, tampungan kantong itu tepat berada di depan mataku, uang recehan itu langsung tenggelam ke dasar kantong. Hanya satu doaku saat itu, mudah-mudahan si pengamen lebih ramah bernyanyi dan lebih indah, itu yang kuinginkan. Namun, doaku itu disambut dengan lototan menusuk.
‘’Bos! Uang limaratus tidak cukup untuk membeli rokok ketengan!’’.
‘’Apakah suatu kewajiban mengasih lebih dari itu?’’, jawabku.
‘’Kalau ga punya uang jangan datang ke Jakarta!’’.
Emosiku mulai tersentuh saat mencerna kata-kata itu, mengamen koq maksa, dia pikir ini tanah nenek moyangnya, sampai-sampai aku dilarang ke Jakarta.
‘’Maaf bos! Jangan memaksa, uangku hanya segitu!’’, aku melotot lebih keras dari lototannya kepadaku.
‘’Kampungan!’’, pengamen itu berlalu di hadapanku.
Memang aku orang kampung, tapi bukan berarti aku suka dipaksa, apa lagi niatku seikhlas mungkin. Begitulah pengamen yang kujumpai di saat pertama kali bersentuhan dengan kota ini. Ternyata knek bus telah memperhatikan gerak geriku, mungkin juga dia melihatku seperti orang kampungan.
‘’Bang turun dimana? Bus ini sudah tiga kali berputar-putar, memangnya abang mau kemana?’’, sapanya agak ramah.
‘’Aku mau turun di jalan Salemba Raya Bang! Tapi belum kelihatan tanda-tanda jalan tersebut!’’, timpalku.
‘’Kalau Abang mau ke jalan Salemba Raya, Abang harus sambung angkot 2 kali lagi, bus ini hanya mengambil rute dari Pulau Gadung-Tanah Abang-ragunan!’’, jelasnya.
Massa Allah! Aku pikun, kenapa aku tidak menanyakan kepada knek itu terlebih dahulu, aku jelas tersesat.
‘’Abang turun di sini saja, di sini namanya jalan Gatot Subroto, Abang naik bus kota 112 arah Ragunan’’, ucapannya memotong penyesalanku.
Wajahku memerah redam seketika di saat sopir menghentikan kemudinya, aku pun turun dengan langkah serat-serat tidak pasti.
‘’Apakah saya bisa sampai di jalan Salemba Raya Bang?’’, tanyaku untuk terakhir kalinya.
‘’Abang naik saja bus itu, Abang bisa sampai ke tempat tujuan yang Abang inginkan’’, selanya dan bus itu pun melaju.
Tersesat adalah pengalaman pertama bagiku, tapi kini aku sudah berada di tempatku menginap di warung nasi padang Uni Darni, untung saja aku menyimpan nomor henponnya yang kubawa dari kampung, kalau tidak entah apa yang akan terjadi. Setahuku Uni Darni adalah tetangga yang baik, di kampung keluarga kami tinggal bersebelahan pagar. Si Jupri anak laki-lakinya itu sering mengajakku jalan-jalan dengan motor, jadi tidak terlalu aneh jika aku mulai sedikit tahu tentang Kota Jakarta. Untuk kedua kalinya Mingu siang aku pergi diboncengi Jupri ke Taman Mini Indonesia Indah, namun sayangnya kami urung masuk ke dalam, biaya tiket Rp.15.000 per orang membuat kami mundur. Akhirnya, perjalanan itu berakhir di grogol dan sempat pula memutar di Pantai Indah Kapuk dengan harapan kami bisa sampai di daerah pantai. Namun, ternyata apa yang kami cari tidak membuahkan hasil, kami tidak menemukan pantai di sana. Tetapi, Jupri sangat yakin di sana ada pantai, keyakinan Jupri yang tidak berdasar itu membuat aku terkenang kembali saat pertama kali tersesat. Tiba-tiba terbesit dalam ingatakanku untuk mrngajak Jupri pulang.
‘’Sebaiknya kita pulang Jup! Benar di sini memang ada pantainya, tapi itu dulu, sekarang sudah dibuat perumahan!’’.
‘’Dari mana Abang tau?’’, serobotnya.
‘’Aku banyak baca buku tentang geogravi!’’.
Padahal aku sendiri belum pernah melihat buku itu dan mungkin tiada seorang pun yang mau menulisnya.
‘’Kayaknya iya Bang! Di sini sudah tidak ada pantainya!’’, keinginan Jupri ke pantai surut dan kami pun melurusakn niat pulang ke rumah.
Di perjalanan pulang kami tertawa sekenanya, entah siapa menyindir siapa, tapi yang jelas tawa Jupri pecah saat kata-kata terakhirku berhamburan.
‘’Jupri! apabila ada kabar ataupun pamflet yang mencantumkan nama Pantai Indah Kapuk, itu tidak lain adalah perumahan, di belakangnya ada embel-embel indah, bisanya digunakan untuk perumahan, seperti komplek perumahan Kuala Nyiur Indah di Kota Padang dan Cemara indah di Kota Medan, padahal di sana tidak ada pohon cemara, di Kuala Nyiur pun tidak ada nyiur yang melambai seperti yang dibilang penyair itu, yang jelas letaknya persis berdekatan dengan kota. Kata-kata indah, kuala nyiur atau cemara sengaja digunakan untuk menarik perhatian pengontrak atau pengunjug seperti kita, walau kita tidak akan mengiontrak’’, jelasku.
Tawa kami mulai reda di saat motor berhenti di warung kaki lima di pinggiran jalan, dua teh botol mampu menghilangkan dahaga selama 6 jam perjalanan. Memang cukup jauh pertualangan akhir pekan itu, bertepatan menjelang magrib kami pun sampai di warung ibu Jupri. Sebenarnya Jupri tidak persis tahu bahwa kesukaanku jalan-jalan. Kuanggap saja semua perlakuannya itu sebagai penghargaan terhadap orang sekampung yang baru datang. Jupri memang arif aklan hal itu.
Sebagai orang baru di kota, aku tidak betah terlalu lama berdiam diri di rumah. Malam itu aku belum sempat istirahat, tapi keinginanku jalan-jalan kembali terhasrat, malam itu Jajang karyawan Jupri adalah sasaranku. Tiada disangka keinginan itu disambut hangat Jajang, tetapi niat tersebut bisa terwujud setelah jam 10 malam, jam segitu warung Jupri sudah ditutup.
‘’Jang! Rencananya ntar malam kita mau kemana?’’, tanyaku memburu.
‘’Kita kepasar Tanah Abang saja bang, di sana Abang bisa mendapatkan lebih banyak inspirasi bahkan inspirasi yang berwujud cewek cantik juga ada!’’, seloroh Jajang mendahului.
Tepaty jam 10 malam kami mulai menelusuri jalanan malam di sekitar pasar, jalannya sedikit mendaki di sebelah kiri jalan terdapat jurang kehancuran dibumbui stelan hiburan kapitalis. Sesekali teguran penjaja malam mengagetkan langkahku yang sayup-sayup sampai.Tua muda, remaja hingga nenek-nenek ikut meramaikan suasana, namun malam itu semuanya terlihat cantik. Betul kata Jajang, ini dapat menjadi inspirasi tulisanku nanti. Bertepatan di jembatam yang menghubungkan jalan dengan gedung pasar kami berhenti, Jajang tertarik pada seorang cewek remaja yang menepuk pundaknya, akupun berdiri di samping Jajang. Saat itu, kupilih sasaran yang kukira tepat, ya kegiatan di sekelilingku terasa sangat asing, sementara si remaja sibuk bernegosisi dengan Jajang.
‘’Berapa uang dek?’’, Tanya Jajang.
‘’Tujuh puluh lima ribu bang!’’
‘’Mahal benget’’,
‘’Setiap orangkan tarifnya berbeda-beda bang!’’, si remaja tersenyum kecut sambil mempertahankan harja diri. Tapi aku yakin ini adalah jual beli daging mentah, aku sendiri tidak suka mencicipi daging mentah yang satu ini, disamping tidak bersih juga mengandung penyakit. Jangankan daging mentah, daging separoh matang saja perutku sudah mual dan muntah. Tetapi, ribuan mata lelaki di sini sangat keranjingan dengan hidangan malam tersebut. Aku berharap temanku yang satu ini tidak mencicipiya, sebab sedari tadi kuperhatikan mereka terus bernegosiasi hingga jam tanagnku menunjukan pukul 00:01 malam.
‘’Bang! Bagi rikok dong bang!’’, suara perempuan mengejutkan aku. Kulihat di depan mataku sudah berdiri perempuan 21 tahun, kutahu umur segitu cocok baginya yang masih cantik dan imut. Aku terpana sambil memperhatikan sekujur tubuhnya yang semu diterpa lampu remang jembatan. Tatkala aku tersentak, aku mengambilkan sebatang rokok sampoerna dengan tangan ku sendiri.
‘’Ini!’’.
Aku hanya heran, begitu beraninya cewek yang tidak kukenal ini meminta kepadaku. Apakah dia tahu aku suka mengasih? tidak mungkin dia tahu siapa aku, jangankan dia si Jupri saja yang masih satu latar belakang kebudayaan dengaku belum berani mengungkit-ungkit jati diriku. Jupri dengan aku itu berbeda, dia dibesarkan di tengah-tengah kota ini, sementara aku ditempa dam dibesarkan dengan sistem kebudayaan yang unik dan pelik hingga aku menjadi seperti ini adanya. Namun, sekarang semua orang ingin menjual kebudayaanku pada bangsa asing, aku tidak tahan dan tidak punya kuasa, pelarian sementara dari ranah kebudayaan itu adalah jalan terbaik, imbasnya aku datang ke kota ini. Anehnya saat aku berada di sini, di tempatku berdiri di jembatan ini, moral pun laku dijual, kata pamanku negara ini juga telah dijual. Tapi aku belum yakin sebelum menyaksikan langsung, jelasnya kedatanganku ini ingin melihat trnasaksi besar-besaran, walaupun aku harus mengawalinya dengan transaksi daging mentah. Toh aku tidak akan bisa berbuat apa-apa, aku hanya seorang penulis kawakan tanpa lembaga, beruntunglah saat tulisanku diterbitkan masyarakat akan membacanya, kalau tidak? Aku akan terus menulis, entah sampai kapan. Aku terus mengawangi alam bawah sadarku hingga aku hanyut di sungai yang tidak bermuara, tiba-tiba suara gemuruh spontan mendatangi tepian yang kurenangi.
‘’Bang ngamar yuk?’’, sapa perempuan itu ramah.
‘’Ngamar apanya?’’, logatku sekenanya..
Tapi kuperhatikan gerak kinetisnya sepertinya perempuan itu bingung, mungkin dia pikir aku sengaja mengulur waktu agar bisa transaksi murah. Padahal aku sengaja mengelak dari serangan prasangkanya yang membabi buta. Tapi tetap saja suasana itu begitu mencekam bagiku, tanpa memutar tubuh, ujung batinku telah kucampakan sejauh pandangan mataku yang sayu. Wajar aku tidak suka berdiri di ujung jembatan itu, bau amis nanah busuk menghentak-hentak lubang hidungku yang memang ditutupi rambut-rambut kasar. Saking menyengatnya, nikotin asap sampoerna pun kehilangan arti. Aku jijik dan muak, luapan-luapan amarah menekan-nekan tenggorokanku seketika, tapi aku sadar tiada seorang pun yang mau dan mampu menampung luapan amarah yang selalu kujaga itu selain pena dan buku tulis. Aku berpikir, haruskah kubertumpu pada dosa perempuan itu? Dia memang penjual daging mentah, tiada lagi dosa, neraka baginya poster indah kamar remang. Perempuan itu bisa meyumpal perutnya di pagi hari, di saat ada pelanggan di malam gari dan sisanya bisa dibelikan kalung emas atupun henpon genggam.
‘’Rp 50.000 saja bang!’’, perempuan itu menurunkan harga dirinya.
Aku semakin jijik dengan sikap perempuan itu, dia memang tidak tahu berapa harga yang pantas untuk menghargai dirinya. Aku gelisah, hingga menit itupun berlalu aku terus menguimpan dan mengutuk, entah siapa yang harus ku kutuk, aku sendiri pun tidak tahu. Seketika aku dan Jajang lebih memilih menuruni bawah jembatan itu, kami terus mengitari warung remang pinggiran pasar. Sebagai anak kota Jajang punya bnyak kenalan di sana, Jajang mengaku bahwa dia tercatat sebagai Alumni Universitas Malam di sana.
‘’Saya tamat coumlaude lo bang!’’, canda Jajang.
‘’Memangnya kamu tercepat meninggalakan tempat ini, itu maksudmu?’’, tanyaku menutup.
‘’Iya bang, aku takut penyakit. Ada teman lamaku di sini, umurnya sudah kepala 7 masih seperti dulu tapi satusnya berbeda. Dia memang sudah peot tapi kelihaian tangannya itu mampu menghilangkan rasa letih di warung’’, jelas Jajang.
‘’Aku tahu dia berprosesi sebagai tukang urut!’’, aku memahami.
‘’Betul! tapi dulu dia adalah bunga di antara pelanggan, saya pernah bertanya kepada beliau, apakah nenek tidak takut pada dosa? tapi dia hanya tersenyum manis sambil menjawab ‘hidup orang tergandung pada yang di atas’. Sejak saat itu saya tidak berani lagi mengungkit-ungkit tentang hidupnya. Saya juga tahu hidup saya juga dikendalikan oleh yang di atas, kita tinggal menjalaninya saja’’, tutup Jajang.
**
Hampir jam setengan empat pagi kami asyik-asyikan duduk di depan hotel bertingkat dua pinggiran pasar, sesekali ku melihat pasangan keluar masuk dari hotel. Terlalu pekat dunia malam di kota ini, pengamen anak jalanan, dan segala pernak pernik punya dunianya sendiri. Tetapi, perjalanan sehari penuh itu menyisakan catatan sendiri bagiku, aku memang tergolong baru mengenal dunia ini, ku perhatikan Jajang dan temannya si pemilik Hotel masih melampiskan rasa pertemanan yang dulu sempat tertunda. Tiba-tiba mendadak napasku tersendak saat mobil polisi muncul muncul di depanku.
‘’Ya tuhan! Jajang ada polisi jang!’’, mulutku bergetar. Tamatlah riwayatku, tiada lagi masa depan tiada lagi tulisan yang harus kutulis, berurusan dengan mereka sama saja berhadapan dengan singa di hutan belantara, pupuslah sudah harapan yang kubawa dari kampung. Anehnya, Jajang dan si pemilik hotel berlagak seolah-olah tidak akan terjadi apa-apa. Dengan sesungging senyum Jajang menenangkan aku yang sudah dibanjiri kecemasan.
‘’Tenang saja bos!dia hanya minta jatah!’’.
‘’Mereka PM, keamanan di sini!’’, ulas pemilik hotel.
Sipemilik hotel itu langsung mendekatai si pengemudi sembari mengeluarkan sesuatu dari kantong dan memberikan kepada keamanan tersebut. Mobil itu pun berlalu dari hadapan kami. Mungkin si pengemudi itu masih berumur 23 tahunan, lebih muda satu tahun dari aku. Sesegera mungkin kualihkan perhatian agar aku tidak merasa tersindir oleh ejekan Jajang dan temannya itu.
‘’Jang sudah jam 4 pagi, kita pulang saja Jang, besok kamu harus kerja!’’, tegurku.
Setelah bermaitan Jajang pun menuruti keinginnaku untuk pulang, saat itu kami mencari jalan tembus ke rumah, jalan di dalam pasar ternyata lebih dekat dari jalan yang kami lewati di awal tadi. Belum sempat mentari pagi mengetahui endapan kami, jam lima lewat sepuluh menit kami pun tergolek di peristirahatan. Aku merenung, meraung hingga kulutuliskan 2 coretan kisah, kisah si perindu dan si pungguk malam. Memang aku sedikit tertarik dengan dunia itu, tertarik akan awal kisah yang bermula dari sana. Harus kuakui tidak semua penulis punya kenekatan seperti aku, aku kenal dengan Ayu Utami lewat karyanya, di saat berpergian dia paling malas lewat di Tanah Abang atau mungkin karena dia juga seorang perempuan.
Aku tidak begitu lama menghabiskan umur di Tanah Abang, setelah kuketahui tidak diterima di jurnalis, hatiku sedikit musafir hingga kuturuti kemana arah garaknya mengarah. Tepat pada minggu ketiga dalam perantauan, aku menggerayangi lipatan otak. Aku kembali membalik-balik buku tulis peninggalan kuliah dulu, seketika kuingat tentang alamat sesorang yang mungkin bisa menampung sandaran sayapkku yang kuyup. Memang sebelum kupergi jauh, aku tidak pernah lupa mencatat alamat orang yang mengenal kelurgaku di kota yang kutuju, di bukuku terdapat tiga buah alamat yang tertera di bawah tulisanku yang masih tergantung. Memang banyak di antara tulisanklu yang separoh selesai namun sudah empat kali kututup dengan peta masa depan. Aku tidak akan melanjutkan tulisan itu sedini mungkin, yang kubutuhan hanya tempat bermalam walau semalam. Berbekal goresan mendadak tersebut akupun sampai di Rawasari. Kata Ayah di sana tinggal saudaranya yang se ayah. Di sana aku disambut hangat dan bersahabat, kata-kata silahkan duduk memaksa pinggulku terhenyak mantap di sofa biru. Sesaat kemudian tercium aroma intelektual dan pekat ideologi. Bagaimana tidak, dinding rumah yang menampungku terbuat dari buku-buku, entah berapa buku tapi yang jelas buku tersebut susah dicerna oleh orang yang seperti aku, sebab di antara buku-buku adalah karangan penulis terkenal, aku sadar telah sampai ketempat yang tepat.
Aku melirik salah satu buku yang tepat berada di samping kiriku, ya itu buku tafsir Al-Azar Hamka, Agus Salim, Syhrir, Yamin, Sumitro, Abu Jamin Rohan dan ratusan Al-kitab. Aku tahu Bapak yang kupanggil papi itu adalah penganut islam moderen, dialah satu-satunya murid Hamka yang tersisa. Dia juga tidak pernah absen dari seminar dan diskusi bertaraf nasional maupun internasional. Sebab saat hari H, dialah salah satunya orang yang paham materi tentang lintas agama.
Harus ku akui, aku belum mampu memamah dan mencerna isi buku-buku tersebut secara sempurna. Kualihkan saja perhatian pada koran-koran yang teronggok rapi di atas meja. Aku kesal dengan keterbatasan yang kumiliki, kulumat habis setiap koran pagi itu. Sejak itu aku sudah menjadi pembaca koran yang kesal. Dalam suasana baru itu, aku dikejutkan oleh berita yang dibawa Mbak Yulia pembantu rumah, katanya ada demontrasi di jalan raya, selanjutnya akan terjadi penggusuran besar-besran terhadap warung-warung dan toko-toko setengah permanen. Wali kota akan menyulap daerah itu menjadi taman terbuka hijau. Aksi itu berakhir dengan rusuh, kemudian ditutup dengan pembakaran warung-warung dan toko-toko tersebut. Banyak para pedagang terpekik histeris menyaksikan warungnya ludas dilalap si jago merah, tapi apalah daya mereka sebagai kalangan bawah.
Bertepatan menjelang diputuskannya kenaikan harga BBM jumat malam 23 Mai 2008, aku selesaikan mengedit buku papi yang ke 201. Aku putuskan kembali berkelana, tyernyata papi mengizinkan niatku dan akupun pergi dari dunia intelektual itu. Banyak kejadian aneh yang kujumpai di sepanjang perjalananku menuju Bekasi-Surabaya, Surabaya-Bekasi, pemandangan itu tidak begitu asing lagi di mataku. Aksi unjuk rasa hingga huru hara baik dari mahasiswa, LSM maupun masyarakat, dimulai dari demontarsi di jalan, mendatanggi kantor DPRD, mogok beroperasi oleh sopir angkot, hingga pembakaran gambar kartun sang pemimpin. Aksi tersebut disulut oleh isu kenaikan harga BBM. Bebagai kalangan menolak kebijakan tersebut, alasannya dampak dari kenaikan harga BBM sangat berpengaruh bagi masrakat bawah, 43 parsen dari penduduk menolak kenaikan harga BBM, 57 parsen menerima dengan terpaksa, di dalamnya 57 pasen terdapat 3 parsen yang benar-benar menerima kebijakan tersebut.
Memang selama aku masih di tempat saudara ayah aku sering membaca berita-berita isu koran maupun televisi. BBM ditimbun, harga kebutuhan pokok mulai merangkak naik, padahal belum ada kepastian seberapa besar harga BBM dinaikan. Sebagian masyarakat menyambut baik kenaikan harga BBM, pasalnya mereka akan kembali menerima BLT dari pemerintah. Lalu kejadiannya akan lain ketika program tersebut tidak dirasakan oleh seluruh rakyat miskin di Indonesia. Riskannya, data penduduk yang 19,4 juta rumah tanggga miskin yang berhak menerima bantuan kompensasi adalah data program BLT tahun 2005. Padahal masih banyak di antara penduduk miskin yang tidak terdata pada tahun 2005 tersebut, malahan warga yang tidak berhak mendapatkan BLT terdata sebagai penduduk miskin seperti guru dan honorer. Aku berpikir entah berapa korban lagi yang harus bergelimpangan saat harga BBM naikan. Mulai dari korban antrian panjang, korban ketidakadilan, pengangguran hingga korban penghianatan intelektual akan menunggu hari.
Aku mendengar bahwa aksi sepihak tersebut menuai berbagai macam kecaman, emosi nelayan di Muncar banyuwangi dan masyarakat bogor cukup menjadi penanda bahwa masyarakat indonesia tidaklah terlalu bodoh dan mudah terpedaya dengan rayuan uang yang sesaat. Bagi mereka, beban kebutuhan di saat melaut sangat tinggi, uang 300.000 sebulan tidak akan mampu membantu masa depan mereka. Aku salut, meskipun hanya berdemo di sekitar pantai, namun kecerdasan mereka tidaklah kalah dengan orang terpelajar.
Kuperhatikan berbagai macam penolakan tersebut masih bermakna sama bahwa program BLT tidak mencerdaskan masyarakat, malahan dapat memperbodoh masyarakat. Masyarakat hanya bisa nrimo tanpa berusaha. Akibat dari itu masayarakat akan selalu manja. Di sinilah awal terkikisnya perjuangan hidup, hancurnya idealisme. BLT dianggap hanya hiburan sesaat tak obahnya orang tua yang memberikan permen kepada seorang anak, setelah permen habis si anak terpakasa menggigit jari saat melihat anak tetangga terbisa membeli permen sendiri. Aku jadi heran, ternyata sistim tutup mulut sudah direalisasikan hingga ke tingkat akar rumput, nyatanya bantuan instan lebih logis daripada memuja tuhan.
Apa yang bisa aku lakukan? begitu rumitnya penderitaan ibu pertiwi ini, kudengar lagi BUMN potensial akan segara dijual, 39,5 juta jiwa orang miskin mengembara di nusantara ini, 12 juta pengangguran, 30 juta setengah penganguran, lalu 3.000 orang meninggal karena jalan rusak. Begini hebat deritamu ibu hinggga jiwa ini terpanggil untuk menyaksikan penderitaanmu dari jarak paling dekat, dekat dengan hati dan nuraniku. Sebelum kudatang kepadamu teman-temanku pernah bilang aku anak ibu, aku mencintai ibu yang telah melahirkan aku. Namun, tiada yang mampu aku lakukan, maafkan aku ibu, aku hanya seorang penulis tapi kisahmu terlalu panjang. Aku tidak bisa penulis’’.
‘’Terlalu singkat kisah yang kau ceritakan!’’, tutup Anita.
‘’Sore telah datang, sebaiknya kamu pulang, aku harus bekerja!’’, lelaki itu berlalu meninggalkan Anita yang terpana memandang sayu ke matahari terbenam. Dia tahu penderitaan orang kecil, mengais rezeki di tumpukan sampah dan limbah-limbah orang kaya, petani desa yang dilahap habis para tengkulak kota, kota berubah menjadi mesin pembunuh nomor satu, disanalah matilah moral hilanglah etika dan tuhan melepaskan jabatannya sebagai tuhan seiring bermunculannya yuhan-tuhan baru. Tapi dia yakin esok pagi akan kembali setelah melagukan nyanyian hati seusai menarikan tarian jiwa di malam hari.

GADIS CERPEN DAN KERETA TUA


Oleh. M. Yunis

Aku hanyalah sebuah cerpen, aku hidup dalm cerpen, ya cerita yang tanpa sengaja tergores dalam kertas putih. Saat aku menari bersama senja, aku menjadi sorotan sang pujangga, mereka mulai menggores tubuhku dengan ketajaman pena-pena batin, mereka pula yang menggrayangi harga diri tanpa busana perlindungan, ya aku bukannya tidak meronta, dan bukan pula tidak menolak saat aku diperlakukan seperti itu, tapi aku sendiri telah terlanjur ditelanjangi oleh pikiran-pikiran dunia sebelum diriku benar-benar ditampilkan seperti itu. Semula aku mulai dirangkai dalam bentuk bingkai,
Sesungguhnya mereka hanya memaksakan diri untuk hidup di bawah kukungan pena-pena adi kuasa. Mereka hanya berusaha bertahan dengan goresan kalam, kalaupun itu mendapat tempat di hati penikmat koran-koran kehidupan barulah aku berjaya, walau harus mengorbankan harga diriku sendiri tentunya.
Saat aku menari bersama ombak, akulah yang paling berkuasa di pinggiran pantai, aku jugalah yang paling baik, hanya saja terkadang aku jenuh dan aku rayapi semua tanah tepian, kemudian para pujangga juga menulis sepak terjangku, dimulai saat dari mana datangku, penyebab kedatanganku, kepergianku dengan sejumlah korban hingga bekas-bekas yang aku tinggalkan. Pujangga tetap saja menelanjangi diriku tak obahnya saat aku menjelma menjadi sebuah cerpen. Akhirnya aku memang benar-benar tercatat hanya di dalam cerpen-cerpen.
Saat aku bersiul bersama burung camar, aku pun menulis diriku sendiri karena aku sebuah cerpen, aku hanya ada di dunia cerpen. Tetapi yang kutulis bukanlah kepintaran burung camar bersiul, melainkan ketertarikan hatiku kepada dunia lain yang ada di sekeliling burung camar, sebab bagiku burung camar hanya bersiul saat lingkungan sudah mulai berubah, tenggelamnya transpormas, Iwan Fals juga menulis siulan burung camar dalam lirikan lagunya, tapi aku bukanlah seperti Iwan Fals, sebab aku tidak bisa menulis sebuah lagu pun, aku takut akan menjadi dendangan orang-orang yang putus asa akan ketidakadilan, biarlah aku di dalam sejarah cerpen agar aku selalu tercatat, dan bukan didendangkan seperti itu.Tapi anehnya saat aku tercatat, aku disayembarakan, pujangga-pujangga itu akan menerima kembali keuntungan yang aku hasilkan, tapi tidak mengapa karena pujangga juga aku ada dan dilahirkan, tapi pujangga harus sadar dia diadakan oleh sesuatu yang ada sendiri bukan diadakan seperti yang dia lakukan itu.
Di kala aku merantau kedunia syair, tubuhku dicincang oleh bait-bait puisi. Ada yang mengatasnamakan dirinya kemiskinan, ada yang menyebutnya ketidakadilan, ada yang menyerupai pahlawan, ada pula yang membayangi kebajikan yang seharusnya atau menjadikan dirinya sebuah perjuangan idelisme. Ya!..hanya itulah samurai beracun yang terbuat dari kata-kata, memedihkan, bahkan menyayat tapi tidak mampu menghapuskan bekas yang dia tinggalkan. Mereka menyebutnya bekas ketidakadilan, bekas kemelaratan atau bekas kehidupan alam fana. Lalu generasi ke 7 akan mengais rezki di antara puing-puing yang berasal dari dunia bekas, segala macam kehinaan bersatu padu di dalamnya, segala kenistaan menjadi semangat naluriah setiap insan-insan yang sementara singgah. Kemudian generasi ke 7 berkata, kenapa nenek moyang kami memakan habis tanah kami berpijak, sehingga kami terpaksa membuat rumah di atas angin, saat datang badai, rumah dan anak-anak kami diterbangkan bersama puting beliung. Kenapa pula sejarah kami sesat dari jalannya sehingga garis takdir kami terpaksa diukir dengan kanvas kemunafikan. Kenapa pula khalifah kami mengadaikan harga diri kami terhadap hawa nafsu sehingga tuhan kami tidak lagi berharga di mata kami. Hati ini perih saat syair itu tidakmmapu lagi membela hak-hak, batin ini tertahan pedih saat melihat pusaka samawi diinjak-injak, aku terpaksa melihat penderitaan itu dari jauh sesekali membuang aku muka yang sudah mulai kering.
Lalu mereka masih sanggup mengucapkan takdir jatuh dari langit, apakah mereka sadar tuhan itu dibunuh oleh mereka itu sendiri? Lalu tahta-tahtanya dirampas habis, para malaikatnya diberhentikan dari jabatannya, iblis dibebas tugaskan, Adam dibangkitkan, Muhammad disingkirkan, lalu para jin dijadikan dia penasehat saat menduduki kursi ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian tuhan juga membuat dunianya sendiri dengan kata ‘KUN FAYAKUN!’, ciptakan alam baru tanpa mahluk manusia. Kiranya tuhan tobat melukis takdir yang sama, takut tercipta kembali tuan Tuhan yang memusuhinya.
Memang sengaja aku ukir beberapa kisah yang tidak akan pernah terungkap oleh para pujangga, tidak bisa dimaknai oleh para penyair, tidak bisa pula diganyang oleh para penulis dengan lidah artikel atau opini harian. Aku sendiri merasakan kehadiaranku di dalam denyut nadiku sendiri, terkadang sempat aku berpikir, apakah aku memang benar-benar ada atau ada tapi ditiadakan oleh penduduk se zaman?
Aku juga bisa menggambar kesombongan yang harus ditaklukan dengan kesombongan model baru, lalu kosombongan model baru juga dikalahan oleh kesombongan model baru. Kemudian aku tidak sengaja menciptakan lingkaran setan yang aku sendiri terjebak di dalamnya, aku melayang di laut tak bertuan, mengawang di langit tiada ujung, mengambang di alam entah berantah. Aku bertanya, adakah aku memang benar-benar ada? Atau hanya sekedar ilusi yang ditakwilkan oleh mimpi-mimpi? Kenapa aku bermimpi sementara aku sendiri tidak ada, aku sama sekali samar di dalam kenangan yang aku sendiri ragukan keberadaannya.
‘’Sudah kubilang, hubungi saudaramu di Sidorajo itu, iparnya jadi wartawan di sana! Sekarang kamu tanggung akibatnya Sendiri!’’, suara dari seberang pun berakhir. Akhir-akhir ini kata-kata itu sering diulang-ulang Ibu, aku menjadi tumpuan kekesalan yang tak terperi. Aku sengaja tuli karena aku tidak ingin dan tidak percaya apa yang dikabarkan burung, tapi sekarang keyakinan itu hanya tinggal 50,5 parsen. Kata paman hidup di kota itu susah, kota dikendalikan oleh beberapa orang pengusaha saja, hidup di kota harus pintar-pintar sebab orang pintar saja tidak mampu menaklukan kota. Orang pintar itu rumit, serat idealisme, jauh dari uang sogokan, uang pelicin atau uang takut. Orang pintar itu bodoh karena mau dibodohi, orang pintar janganlah pintar, hancurkan idealisme. Hal itu itu mungkin saja jika dilengkapi dengan uang atau link ke segala penjuru, berbeda denga orang miskin, bagi mereka idealisme adalah satau-satunya pusaka yang paling berharga, begitulah yang diajarkan kampus, kita harus menjadi intelektual yang mampu membawa bangsa ini ke arah pencerahan. Namun anehnya di saat kampus mengasilkan banyak entelek beridealis, jajaran akdemik terlebih dahulu membentengi diri dengan berbagai macam kekalahan, kampus sengaja menciptakan banyak musuh.
Terkadang aku berpikir untuk melakukan hal serupa, kuhancurkan idealisme yang ku puja, niscaya aku akan menjadi setara dengan orang-orang itu, apalagi kakekku dulu juga seorang pejuang kemerdekaan, meskipun nasibnya tidak seberuntung pejuang lain tapi dia masih tetap dimakamkan di taman makam pahlawan. Jadi, aku bisa ambil peran menjual perbagian harta karun negara ini, kugadaikan juga bisa. Tapi aku kasihan pada anak-cucuku nanti, walau aku belum pernah tahu apakah aku akan punya anak atau cucu? Tapi kitakan bersaudara, punya persamaan nasib sepenanggungan, satu latar belakang sejarah yang sama, berarti cucu kalian juga cucuku, anak kalian juga anakku. Mungkin saja kalian tidak terlalu memikirkan nasib anak cucu kalian di kemudian kelak, karena kalian punya peninggalan harta melimpah ruah, ku pikir harta itu tidak akan habis hingga tujuh generasi, lalu generasi kedelapan akan mewarisi sekian bencana moral yang maha dasyat. Haruskah dosa-dosa itu diwarisi oleh mereka? Inngatlah, kalian tercatat sebagai nenek moyang mereka, sekrang-kurangnya begitulah yang termaktub dalam buku sejarah. Tapi, kenapa kalian tidak meninggalkan sesuatu yang berharaga untuk mereka?
Perjalanan ini masih jauh, lebih baik aku mengahayal saja, mengahayal tentang prabu siliwangi, majaahit atau pagaruyung. Konon kabarnya kerajaan itu rakyatnya sangat sejahtera, dalam hayalan aku memilih menjadi raja simbolis, biarlah para mentri yang terdiri dari rakyat jelata melaksanakan kebijakan. Hitung-hitung kereta ini akan sampai besok pukul 11 pagi di Jakarta, maklum aku membeli tiket kelas ekonomi. Sebenarnya tiket kereta cepat masih banyak, tapi aku wong ciclik sukanya yang susah-susah dan juga susah ditebak. Lagi pula aku tidak akan bisa terlelap di atas kereta tua ini, meskipun di sampingku duduk laki-laki ganteng, aku yakin tidak akan terpengaruh meskipun segunung rayuan ditaearkan padaku. Bicara soal pasangan hidup, aku sendiri sudah bosan pada siapa saja yang mencoba menghampiri hidupku. Dulu pacar pertama di SMP meninggalkan aku, dia lebih memeilih perempuan yang berdada, pacaraku yang kedua di SMA memilih orang tidak berdada sama sekali, dasar laki-laki homo! Lalu di waktu kuliah, aku pacaran dengan taman sekamarku, tapi rasanya percuama ku ajak dia menikah, kami tidak mampu menghasilkan bayi mungil seperti yang kuidamkam, jalinan kasih kami pun berakhir. Ya! masa laluku terlalu pelik dan simpel, tiada seorangpun yang sanggup memprotes perjalanan hidupku yang aneh itu. Terkadang aku berdoa pada tuhan tetapi dosenku yang marsis bilangh tuhan hanyalah hayalan orang-orang dewasa, akupun menuruti jejak marsisnya, namun dari belakang aku masih tetap berdoa agar dia mati cepat, bagiku orang seperti itu merusak tatanan sosial yang pernah ada. Tahun ke-4 aku resmi jadi sarjana, ku awali karirku dengan perjalanan panjang hingga aku mendapakan orang tua angkat, tahun berikutnya aku mengangkat oarang lain jadi orang tuaku, orang tua aangkatku cemburu lalu mengusirku. Dalam jiwaku sekalut itu aku datangi orang yang ku angkat menjadi orangtuaku, tapi dia ingin menikaiku, aku pun pergi dari sana, berkelana hingga ke ujung malam dan sekarang aku duduk di atas kereta ini. Kereta ini sudah tidak selayaknya beroperasi, kursinya keras terbuat dari plastik hingga pinggulku terasa menebal, apa lagi kereta sering ini berhenti di perjalanan. Masisnis bilang, kereta ini akan selalu berhenti jika ada kereta lain yang datang dari arah berlawanan, soalnya jalur kereta ini hanya satu. Pernah dulu kejadian kereta api tabrakan akabibat kelalaian masisnis, tabrakan di Bintaro misalnya, ratusan korban tidak bersalah menjadi tumbal demi menegur orang-orang tuli. Nah, tentunya masinis tidak ingin kejadian itu terulang kembali, ku tau masinis sedang belajar mendengar.
Aku tahu yang kutinggalkan bertambah jauh, yang ku tuju bertambah dekat, tyapi tetap saja aku tidak tahan dengan para pedagang keliling dan pengamen itu, aku pusing mereka datang bak kereta api, kereta ini menjadi lebih padat. Ku tahu mereka hanya menunjukan sebuah cara mengais rezeki, berdagang sambil mencopet atau mencopet sambul berdagang, pekerjaan itu halal bagi mereka. Aku memang tidak bersentuhan langsung dengan meraka itu, sebab setiap kali naik kereta aku selalu memilih tempat duduk dekat jendela kaca kereta, selalu tiketku membaewa keberuntungan dapat tempat duduk sesuai dengan keinginananku, sebab aku selalu menjadi yang pertama mendapatkan kursi di saat berebutan. Jadi aku aman dari para pedagang maupum pengamen, kecuali saat aku ingin ke WC sesekali aku bersentuhan juga dengan mereka, aku memang harus lebih hati-hati.
Ya beginilah kereta yang sudah patut di musiumkan, tapi aku ingat perjuangan kakek melawan Belanda dulu., kakek berpangkat mayaor dengan beberapa pasukan, bersama para pejuang lainnya kakek merusak rel kereta sebelum kereta itu lewat. Kereta itu diisi para serdadu Belanda dari Sawah Lunto menuju Padang. Di antara para penumpang kereta itu terdapat seorang tawanan, dia salah seorang anggota pasukan kakek yang terangkap saat penyerbuan ke tambang Batu Bara Ombilin, sementara rekan-rekannya tewas tertembak. Kakek ingin membebaskan tawanan itu, tawanan itu bebbas setelah kereta batu bara itu terguling jam 10 malam.
Sekarang aku Belanada, Belanda yang menumpang kereta dari Surabaya -Jakarta, aku membawa tawanan diriku sendiri, waktu, ruang, harapan, impian melebur jadi satu, ialah ada dalam ketiadaan, tiada dalam dalam idiologi. Saat waktu mengalahkan ruang, dunia tiada berbatas, penderitaan, kebahagiaan adalah nama lain dari penjajahan. Belanda memang telah raib dalam dunia masa lalu, disebut sejarah yang berpura-pura baik demi kepentingan duniawi. Belanda telah menyatakan maaf di perjanjian KMB, ya! telah berlalu masanya ganti rugi kejahatan kemanusiaan, namun dosa terus di gali, dokomsumsi oleh para Belandaisme. Alhasil, waktuku dan kami dijajah para penggali kubur dosa. Ya! kamilah para tawanan detik waktu yang hilang itu, bersama sisa umur kami, pengamen, pedagang kopi, masisnis apa bedanya?
Tapi kekek diamanakah engkau sekarang? Mengapa kau tidur pulas, hadiah topi besi yang tertelungkup itu cukup untuk mengenang jasa-jasamu, gelar pahlawan yang diangung-agungkan itu tidak pernah kau rasakan. Engkau sendiri yang meminta, kelak engkau mati nanti ingin dimakamkan di makam keluarga. Tidak! itu bukan salahku, para serdadu itulah yang membawa jasadmu tanpa sepengetahuan keluarga, katanya engkau seorang pejuang kemerdekaan. Seandainya aku hidup lebih awal, akan kularang engkau mati sebagai pejuang, aku tidak suka kalau engkau hanya dipuja, untuk apa jika hanya dijadikan bulan-bulanan untuk menakut-nakuti kami agar kami tidak membantah kebijakan. Apakah engaku pantas tewas di medan pertempuran hanya untuk itu? Tidak aku tidak rela ideologimu itu dimakan cacing-cacing bawah tanah. Haruskah aku menteskan air mata dalam mengenangmu, di saat tangis itu tiada lagi? Baiaklah, aku teteskan dua butiran bening, tapi pada tetesan ketiga engkau janganlah memarahi aku, sebab aku punya sehelai sapu tangan. Sekarang kau di kereta tua yang dudlu engkau gulingklan itu.
Tanpa kusadari, dua hulu sungai itupun mengalir, deras seperti amarahnya para penyair ‘Aku’. Sementara kereta tua ini terus meraung memecah kesunyian malam perjalanan panjang.
‘’Anita! Kamu jangan cengeng, kakek berjuang iklas untuk anak cucu kakek, bukan hanya kamu seorang cucu kakek, semua orang yang mengecap manisnya hidup ini adalah anak cucu kakek, mereka minum dari keringhat kakek, tidak masalah keringat kakek terasa manis bagi mereka, mendingan dari pada diminum cacing di dasar tanah ini, kekeh akan terus mengalir di dalam jiwa-jiwa mereka. Anita cucu kakek tersayang! Biarlah mereka berpura-pura menghormati kakek seadanya, mereka punya hidup, mereka juga pejuang, mereka juga pahlawan sama dengan kekek, walau mereka itu cukup menjadi pahlawan bagi diri mereka sendiri, itu lebih baik dari pada tidak sama sekali!’’, suara itu mengejutkan aku.
‘’Tapi kek, mereka menjual tanah pusaka peninggakan kakek tanpa sepengetahuan kami, mereka membodohi kami, kata mereka orang bodoh kalah oleh orang pintar, orang pintar sendiri kalah sama orang beruntung, berarti orang berintung adalah para orang bodoh. Lalu apa jadinya kehidupan ini jika kebijakan selalu di buat oleh orang bodoh-bodoh? Aku lebih suka Belanda dengan kehadiran kembali, aku ingin berkorban seperti kakek untuk meluruskan sejarah ini, lalu keringatku kuracuni agar mereka semua mati terkapar’’.
‘’Kamu kaum terpelajar Anita, tidak boleh seperti itu! Hidup ini perjuangan tanpa henti, dan perjuangan kamu sudah berbeda dengan kakek, kakek berjuang dengan senjata, kamu berjuanglah dengan segenap pikiran yang kamu punya, terangilah jalan ini dengan keikhlasan dan pencerahan. Kamu jangan terhanyut dalam banjir yang kamu ciptakan sendiri, itulah seharusnya yang kamu lakukan! Anita dengarkan kakek, kakek tidak mungkin lagi berjuang di duniamu tau mencongkel rel kereata itu seperti dulu, bagian tubuh kakek sekarang sudah dibagi-bagi,. Kakek yang salah, kakek lebih memilih tewas oleh peluru serdadu itu, tapi sebenarnya kakek belum ingin tewas agar bisa berjuang bersama-sama kamu, namun masa kita jauh dipisahkan oleh waktu, kereta yang dulu digulingkan sudah membangkai, ataupun Belanda-belanda sekarang kekek tidak akan mampu melawannnya, mereka terlalu buas cucuku, kakek takut kalau kereta yang kamu tumpangi sekarang digulingkan dengan merusak relnya kembali, itu sangat berbahaya, seradau itu tidak akan tinggal diam, mereka akan memakan rel kereta ini berikut dengan gerbongnya, nah! di dalam gerbong itu ada kamu cucuku!’’.
‘’Aku mengerti kek, kakek tidak mampu lagi melakukannya seperti dulu, tapi sekuarng-kurangnya kakek bantulah aku dengan cara gaip. Kata orang di kampung orang yang telah meninggal masih bisa berkunjung ke dunia saat hasratnya belum tercapai. Kakak dengarkan aku, perjuangan kakek belum berakhir, kakek masih setengah perjalanan, dan aku juga masih setengah perjalanan tapi aku tidak juga mampu menggulingkan kereta ini kek! Aku ingin kakek bersama-teman-teman kakek datang dan bantu aku merusak rel kereta tua ini’’.
‘’Kamu memang keras kepala....’’
Aku terbangun dan suara itu pun raib, jam telah menunjukan pukul 3 malam. Astaga, terbnyata aku bermimpi bertemu kakek, mimpi yang aneh. Kemudian kereta ini berhenti kembali di stasiun, oh ..buikan ini bukan stasiun, ini adalah makam para pahlawan, kulihat tpi bajanya sama dengan yang adadimakam kakek, hanya lampu remang-remang yang menerangi pembaringan para pejuang itu, tiada musik tiada tarian dan tiada pemujaan. Ya..persis sama dengan kakek. Ya tuhan, mimpi ku barusan kenyataan, kakek beserta pasukannya selalu ada menemani perjalananklu bersama kereta tua, ternyata kakek memang sesorang pejuang penyayang, berarti aku masih setnagh perjalan menuju Jakarta. Tapi apa lagi yang ditunggu para pejuang itu, kenbapa tidak segera dia kenakan tipi bajanya dan ambil senapan, apa mereka masih terlelap dengan gelar pahlawan pura-pura itu. Duh bnagaianan ini, sebentar lagi kereta mau berangkat, tapi sekurang-kurangnya ikytlah bersamaku kejalarta, dan kita rusak rel kereta ini agar belanda di dalamnnya berhamburan menyelamatkan diri. Tapi meteka merasa cukup nyaman tertidul di bawah batang kemboja itu,.
‘’Ayo para pejuang, bangunlah, kita robohkan gerbong ini!’’, teriakku
Spontam ribuan pasangan mata tertuju padaku, mereka terheran-heran sembari menyeka mata yang masih perih.
‘’Kamu habis mimpi ya?’’, tegur pria teman sebangkuku
‘’Ma...maaf mas, aku bermimpi sedang di medan perang’’, belaku.
‘’Kamu anaknya pejuang?’, tanyaa padaku.
‘’Buak mas, aku bermimpi ikut perang bersama kakekku, aku bersama pasukan kakek, berniat menggulingkan kereta batu bara yang di tumpangi belanda’’.
‘’;Waduh patriotnya kamu, tapi kenapa kamu berterikan saat melihat makam itu, apa kakek kamu dikuburkan disana?’’ desak laki-laki itu.
‘’Bukan mas, akau hanya terharu saat melihat jasad itu terbujur kaku, padahal dulunya mereka itu sangat ditakuti para penjajah, tapi kini tiada seorangpun yang taku dan segan padanya, karena yang tersisa hanya tulang belulang. Sudahlah lupakan saja’’, aku menutup.
Kereta yang kutumpangi memang berjalan mundur tidak seperti biasanya, setahuku dari surabaya ke jakarta gerbongnya di depan bukan di belakang, begitu kuatnya kereta ini meskipun tua tapi masih mampu mendoromg ekornya. Tapi mimpiku sedikit aneh dari pada biasanya, kali ini seolah-olah aku bertemu kakek, padahal aku tidak pernah bertatap muka sama kakek semasa hidupnya. Waktu kakek tewas di tembak serdadu rimba PRRI, aku masih dalam tahap perencanaan ibu dengan ayahku atau meraka mungkin belum bertemu. Aku berusaha meraba-raba tawil mimpi itu, kali saja ada amanat yang kakek yang harus kutunaikan, mungkin aku harus ambil peran untuk mengurus kebijakan publik, tapi kurasa tidak mungkin, aku hanya wong cilik yangberasal dsari latar belakang kebudayaan enath berantah, apalagi kampung ku itu tidak masuk peta sejarah. Ah apa mungkin? Akau semakin mengawang dalam rabaan pribadiku atau sejenis angan-aqngan kukira.
Sementara itu kereta masih terus menjerit setiap kali meleawti persawangan sawah padahal sudah hampir pagi, kurasa kecil kemungkinan manusia masih berkeliaran di sekitar area rel kereta. Dasar nasib kereta dari dudlu memamng selalu histeris, siapapun penumpangnya, serdadu, orang bijak maupun pengamen, si kereta tidak pedulu, kereta selalu histeris demngan suara yang sama, sesekali diselingi suara anak-anak sekolah yang bercengkrama di atas gerbong, bagi mereka itu adalah suatau hobi, tapi bagiku itu adalah hoby yang tidak selayaknya diperjuangkan. Ya tidak berama lama lagi kereta ini akan samapi di Jati Negara, lalu aku akan turun derngan langkah pasti. Tetapi bayangan kakek selalu menghambat pandangan aku, kakek bergelayut di kelopak mata, semangatnya juga tidak mau sirna dari mimpiku padahal sebentar lagi aku akan meninggalkan kereta kakek ini tanpa harus mencongkel sambungan-sambungan relnya. Biarlah kereta ini aman hingga sampai tujuan,ya tujuan yang tidak lain adalah musium seperti kereta-kereta sebelumnya.
Aku tidak mau memikirkan semua itu, toh sebentar lagi aku akan terpenjara kembali, tapi tidak apalah setelah jam perkuliahan usai aku akan nyaman berada kembali di danau buatan itu. Aku bisa memancing apa saja di sana dan terkadang mengajak siapa saja yang mau ikut denganku, saat itulah kebebasanku.

SISI LAIN DUNIA


Oleh. M. Yunis

Gemerisik laut-laut senja mecahkan ketenangn pantai, sesat dilalui seorang pengembara dari timur. Penghuninya kurang yakin, entah kenapa sang pengelana itu bisa selamat melewati rimba larangannya itu. Semua makhluk tahu bahwa rimba itu tidak bisa dilalui oleh siapapun yang tersebut bernyawa, aneh dan lebih banyak lagi keanehan yang tercatat dalam sepanjang sejarah hidup manusia. Jutaan abad lalu pernah datang juga manusia aneh dari barat melewati rimba keramat itu, tetapi yang sampai ke seberang hanyalah berita, mungkin dia telah mati terbunuh oleh penghuni-penghuni malam dirimba atau mungkin juga bersahabat dengan malam di sana dan diperbolehkan tinggal untuk beberapa waktu lama, tapi itu hanya perkiraan saja. Ini kali keduanya manusia aneh yang melewatinya dan bahkan sampai ke seberang dalam wujud roh bukan berita seperti kejadian tempo silam.
Atau munculnya berita yang berwujud jasad itu keturunan dari manusia aneh yang datang dari jutaan abad yang lalu, hanya saja waktu ini kesempatan baginya melihat tepian pulau, dia berkata ‘’akulah wakil tuhan di tanah ini, aku dianugrahi pengetahuan yang luas akan kuajarkan kepada umat-umatku nanti!’’ tetapi dia sendiri bingung, siapa yang akan menerima ajaran dan anjurannya yang bernada angkuh itu, apakah manusia-manusia hyperealis akan mendengarkannya? Apa yang dia pikirkan sesungguhnya, bukankah dunia baru yang akan dihadang, layaknya sama seperti dalam pikirannya yang bulat dan penuh dengan rimba larangan, aneh dan hanya satu tuhan seperti dirinya saja.
Namun, sudah hampir satu tahun dia hanya mampu berputar-putar di hanya tepian saja, sebab belum juga jatuh titah dari sang raja penguasa siang dan penjaga malam, pemilik waktu dengan ruang, pembuat takdir hingga masa depan, itulah yang dia tunggu-tunggu, perintah untuk menyebrang samudra mimpi-mimpi yang akan dia taklukan. Ia yakin dengan bekal yang dibawa akan meluluh lantakan bayangan-bayangan masa depan. Pas sembilan masa kejayaan dia lalui, dengan kesabaran menunggu dan terus menunggu, tanpa dapat melakukan permintaan dan harapan-harapan, dia yakin tidak ada lagi yang akan dipinta, semua sudah ada keculi satu dia adalah izin penyebrangan, yakin hanya itu saja. Sesaat ubun-ubunnya megerinyit, ledakan maha dasyat mengguncang suasana rimba larangan ciptakan hempasan-hempasan yang menggentarkan nyalinya, hanya berlutut itulah yang dia lakukan, ‘’ampun hamba yang maha agung, hamba hanya insan yang engkau utus, kalau engaku buang hamba jauh, jika engkau gantung hamba akan tinggi, jika engkau memutus hamba mati’’, rangkaian tabir-tabir itu membuka sekaligus tanda menyerah kalah yang muncrat dalam suasana gigilnya.
Seperti biasanya, raja malam itu hanya megirim suara-suara maut, ‘’Engkau! Engkau yang akan menempuh dunia jasad! Engkau yang akan melaksanakan titah! Engkau juga yang akan menjadi paling takut hanya kepada-Ku! Mampukah engkau berjanji demi nama-Ku? Engkau yang akan menjadi jasad, apakah engakau siap menanggalkan seluruh identitasmu? Biarkanlah dia lepas sementara, biarkanlah dia menemui tempatnya sendiri karena Aku juga yang suka berbuat, saat engkau pulang bawalah dia serta bersama luluhnya jasadmu, sementara jasadmu sangatlah Ku-larang menghadap kepada-Ku, sebab dia belumlah pantas menemui Aku, kutempatkan dia pada suatu tempat hanya Aku yang tahu, Engkau yang akan berjasad, kelak kedatanganmu bermacam bentuk rupa kepada-Ku, itu semua sangat tergantung kemampuan engkau untuk membawa seluruh identitasmu yang telah aku kirimkan pada tempatnya yang agung, berjanjikah engkau wahai yang akan berjasad?’’, si mahluk yang belum berwujud menyambut, ‘’hamba berjanji yang mulia!’’.
Ya! dia tidak lagi mampu menahan hasrat untuk segera menyebrang, pada tapal batas yang tidak bernama, dia menembus dan berpindah dari alam ilmu pengetahuan ke alam fenomena. Namun, apa yang terjadi tidaklah seperti yang dijanjikan oleh keyakinanya, teriakan tangisnya mengutuk, sementara orang-orang di sekeliling hanya mampu tertawa terbahak histeris, senang dan gembira akan kedatangannya, ya wujudnya hanyalah seorang bayi, tanpa identitas, tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan dia sendiri tidak ingat apa ayng sudah berlalu, selain menangis dan hanya menangis demi kepusan orang-orang di sekeliling itu termaktubkan. Itulah yang dijanjikan untuk seluruh umat manusia. Ya..waktu tidak akan lama singgah untuk meninabobokan kemanjaan-kemanjaan yang sangat dibenci, terkutuk kejadianya di alam roh.
Kini identitas tersebut harus dia kumpulkan kembali sebelum pulang ke rumah yang sesungguhnya diharapkan. Sesaat dunia hayal itu samar setelah dikejutkan sura deringan HP Seluler yang dimilikinya.
‘’Asalmualikum! Maaf ada yang bisa saya bantu Mbak!’’, suara Azam terdengar sedikit tenang.
‘’Iya! Maaf Bapak! saya dari tempo intemedia, lamaran Bapak sudah kami terima! Untuk tahap selanjutnya ujian tertulis akan dilaksanakan 10 Januari besok, apakah Bapak bersedia datang ke Jakarta?’’, jelas Suara Ibu-ubu dari seberang.
‘’Insya Allah saya bersedia, alamt yang harus saya tuju dan jam berapa ya Buk?’’, tenya azam pasti.
‘’Jln. Salemba Raya no 29 Jakarta, jam 7 pagi tanggal 7 Januri! Bapak bisa memenuhinya?’’
‘’Bisa Buk!’’, tegas Azam.
‘’Terimaksih atas kerja sama Bapak, selamat sore!’’, telpon ditutup dari sebrang.
Azam msih terpaku, tida satupun kata yang dipersipkan untuk memuji peristiwa hebat yang akan menunggunya, lagi pula Azam hanya sendiri di meja komputer, tiada siapa pun yang bisa di ajak bicara, Pak Pembudi sudah beberpa hari ini tidak ke kampus, kata orang Pemudi dijangkiti tipus ganas dan sejenisnya, Azam tidak mengira bahwa orang seperti Pembudi mampu digerogoti Tipus ganas atau memang tikus ganas? Begitulah keseharian yang harus dilalui Azam tanpa kehadiran Pembudi, dinding-dinding yang mulai dirangkati lumut air, layar komputer, buku-buku, dan segunduk harapan yang membuat dia bertahan menyendiri di sudut gedung itu, meancarkan pesan kesedihan. Pak Ibrhim pernah bilang, bahwa sakitnya Azam sudah terlalu parah hingga harus menyepi di sudut gedeung angker sperti Universitas itu. Di saat-saat Pembudi masih rajin ke kampus Azam memiliki teman, dia memang sejati bagi Azam, sagala bisa, dia dapat dijadikan lawan dalam bertengkar ataupun teman saat bicara. Tapi akhir-akhir ini Pembudi seperti menghilang begitu saja ditelan akhir bulan.
Di sudut lain Kampus Zul Fakri juga merasakan situasi yang serupa, saat dia baru saja dipanggil orang tempo untuk tes tertulis kemaren, tapi sayangnya Zul Fakri tidak meblas panggilan itu berghubung sedang sholat Zuhur. Tanpa pikir panjang Azam berlari-lari anjing ke tempat Zul Fakri.

Sementara Zul Fakri sendiri sibuk mempbersihkan karpet-karpet yang selesai dipakai sholat jumat, kalupun tidak mendapat upah keringat dari itu, tetapi Zul telah menabung di Bank Pahala, begitulah kseharian Zul Fakri sebelum pergi ke kampus.
‘’Asalamualikum!’
Zu Fakri dikejutkan oleh suara salam dari luar.
‘’Waalaikum salam!’’, diringi langkahnya yang masih letih menuju sumber suara.
Oh.., Budayawan kritis! Tumben tidak seperti biasanya saudara datang ke rumah saya!’’, puji Zul.
‘’jangan berlebihanlah Zul, kita ini hanya manusia biasa yang dilahirkan serba sama, hanya saja ketamakan, kesombongan membuat kita itu berbeda-beda!’’
‘’sekarang apa pasal hingga kamu datang ke sini?’’
‘’kata kamu, kamu baru saja ditelpon orang Tempo, berarti lamaran kamu diterima, aku juga baru menjadapat telpon yang sama Zul!’’
‘’tapi saya belum yakin bahwa itu orang tempo Zam!’’
‘’sekarang kita cocokan kode wilayahnya, aku punya 0213916..!, coba lihat HP kamu Zul!’’
‘’iya! Saya punya 0213915...!’’
‘’Jelas kita ditelpon oleh perusahaan yang sama!, kamu siap bertempur Zul?’’
‘’kalau sudah jelas seperti ini, saya sangat siap Zam!’’
Setelah berpamitan Azam pergi ke Bank BNI terdekat, di sana masih ada uang hasil penelitian bersama Rivolt Institute minggu kemaren, Ya! Uang Rp. 500.000,00 dirasa cukup menerbangkan Azam ke Jakarta. Se saat Azam merasa sangat berdosa sekali dengan keputusan itu, sebab uang itu sudah diniatkan Azam untuk pembayaran les bahasa Inggris kedua adiknya di Engglish Student Centre (ISC) Lubuk Alung, namun kejadian itu terlalu mendesak dan tiba-tiba saja datang sebagai penyelamat, tanpa menyiapkan sedetik waktu bagi untuk Azam berpikir.
‘’Kalau tidak sekarang, kapan lagi, Ya! Aku harus keluar dari tembok penjara ini, jika tidak hidupku akan mencair di sini, lalu bagimana tanggungjawabku terhadap nenek? adik-adik, emak?’’, kata-kata hati Azam yang bergelora, mantap seketika.
Tetapi, sebenarnya Azam bukanlah seorang anak yang pintar, Cuma bekal penasaran yang mengantarnya hingga sejauh ini, sekarang dia baru mengerti, tanya itu adalah suatu hal yang tabu, keraguan adalah sebuah kelancangan, kejujuran untuknya adalah tiada penghormatan, dia bingung sendiri dengan kepolosannya sendiri, waktulah membopongnya kepada pencarian sendiri, terkadang di perjalanan dia selalu dihadang oleh orang-orang yang menciptakan realitas sendiri, mengklim bahwa merekalah yang paling benar, mereka ingin menguasai kehidupan orang lain dan mengendalikannya, tatkala Azam sendiri jenuh dengan penguasaan itu, pantaslah dia memberontak untuk meruntuhkan dinding-dinding kebenaran itu, di sini keinginannya hanya satu, melihat dunia sebenar-benarnya.
Azam, masih ingat cerita Agus Nor, kisah sarimin yang ditahan pak polisi, kesalahan sarimin karena menjadi orang yang benar. Padahal jika sarimin bersalah, sarimin bisa lebi dihargai. Jika tidak pengacara tidak bisa membela sarimin, sebab pengacara ada ketika adanya orang bersalah. Tapi Azam akhirnya sadar bahwa kakeknya dulu itu lengkapnya juga sarimin, hanya bedanya sarimin dulu dengan sarimin sekarang sangat tipis, kalau sarimin dulu itu bisa menjadi seorang pemimpin, sarimin sekarang tidak mampu menjadi pemimpin, bodoh atau mau dibodohi, tapi alangkah bodoh lagi sarimin dulu, dia ingin menjadi pahlawan selamanya dengan mengalihgenerasikan sebutan pahlawan dalam bentuk dosa hingga 7 turunan, lalu generasi berikut menjelma menjadi ’terlibat?’ tapi jujur saja antara Sarimin dulu dengan Sarimin sekarang hanya kenal-kenal anjing saja.
Azam tidak akan menunggu lama, maklum hidup di Padang serba susah kalau saja ketahuan masih menghirup udara tanpa izin bisa-bisa akan menimbulkan masalah baru, Azam akan diamankan oleh orang-orangnya Good Father sebab Azam sendiri lebih memilih di bawah lindungan Good Father hingga Azam menemukan pintu kebebasan seperti yang dinantikan. Ya! Sudah satnya Azam neghapus jejak-sejarah, jejak-jejak pemikirannya yang keterlaluan revolusi, jejak kebudayaan tanpa pamrih, jejak persahabatan maupun jejak kekeluargaan, harus dilenyapakan dari para anjing pelacak pengendus pikiran siapa saja. Azam sendiri belumlah punya kemampuan ataupun kekuasan melenyapkan anjing yang ribuan ekor jumlahnya, sementara Azam sendiri akan menantang maut, untung-untung salah satu dari mereka akan ketakutan saat melihat taring Azam yang mengkilat, kalau tidak Azam sendiri akan menjadi korban kemunafikan, lemahnya pikiran, layunya kejujuran, matinya kretaivitas, hancurnya idealisme. Ya!Azam orang yang mau hidup seribu tahun lagi, tidak akan tega melihat teman tidurnya yang dijuluki idealisme mati sia-sia, sekarang ada sesorang yang ingin melindunginya, walau dalam wujud perjuangan. Azam belum mau berpikir apakah nantinya dia hanya akan berpindah nama ke dalam kuasa tuhan yang lain, bisa saja julukannya bako , Apak , kakak, andai saja Azam punya kakak di seberang sana, atau mungkin pergaulan, perempuan, narkoba, yang ini tidak lagi, dia telah dikalahkan Azam tempo dulu, jadi tidak mungkin dia, apa iya dia berwujud copet, penyamun seperti di Bukit Tambun Tulang, atau pedagang? Sesaat Azam mulai mencerna isi kepalanya, meraba-raba kbenaran hakiki dari pedagang.
‘’Pedagang itu lebih mulia dari pejabat, ataupun pegawai negri, pedagang lebih jarang berdosa dan jarang juga diumpat, didosai mungkin! Senang rasanya ketika bernapas tidak tergantung pada belaskasihan pemerintah, tidak bisa mandiri, hingga mandi pun harus dimandikan oleh pemrintah! Lalu mereka berkata akulah tuhan! Tapi maaf izinkan kami numpang di bawah payung langitmu! Maklum kami hanay berpura-pura menjadi tuhan, di rumah kami juga sholat seperti kamu-kamu, agar cara kami dilegalkan oleh tuhan!’’
Azam belum juga dapat menemukan siapa yang akan menjadi tuhannya di seberang sana.
‘’Rasanya seperti Rasul Ibrahim saja, kalau Ibrahim sih enak, dijamin masuk surga sebab tuhan yang dia cari tuhannya nabi Adam, tapi tuhan yang kita cari bukan tuhan seperti itu, dan bukan pula tuhan Rasul Muhammad, atau anaknya maryam, tuhan yang kebanykan dicri manusia tuhan yang fana, yang bersembunyi di balik berbagai macam simbol ketidakadilan, keangkuhan, kesombongan yang juga hidup dalam lindungan tuhan kekuasaan, apa mungkin orang seperti kita ini dijamin masuk surga, walau kita bersikeras mengatakan kita hafal 2 kalimat Shahadat? Kalau begitu terlalu baiklah tuhan Rasul Adam itu untuk kita!’’, pencarian itu tertutup seiring datangnya panggilan di ruang tunggu MIA
‘’Diberitahukan kepada para penumpang Batavia Air tujuan Jakarta, diharap memasuki pintu 4! Diberitahukan kepada para penumpang Batavia Air tujuan Jakarta, diharap memasuki pintu 4!’’.
Azam manut mendengar perintah mesin-mesin itu, kali ini wajib bagi Azam untuk mengalah, jika tidak mungkin pintu-pintu kebebasan itu tidak akan pernah terbuka lagi. Dulu ketika di Surabaya, Azam pernah merasakan deranya orang perantauan, baru saja satu bulan di sana dunia-dunia baru memburu Azam hingga ke Warung Nasi Padang tempat paman. Tidak bahnya seperti sarimin, azam dipaksa mengaku salah, azam diaharuskan minta ampun ataupun maaf tas tindakan azam yang lancang sebagai anak kampung, polosnya wajah Azam spontan menepis tuduhan yang jelas tidak bersahabat itu. Padahal dua hari yang lalu azam baru saja terkena imbas musibah, ini bukan salah siapa-siapa, hari-hari di warung nasi membuat azam sedikit betah, Azam suka mendengar kisah dari para pemulung yang numpang hidup di warung paman, memang Azam sendiri setelah menutup warung jam 3 pagi lebih memilih terkapar di meja warung yang telah disusun sebagi tempat tidurnya. Paman Azam sering bilang agar Azam pulang ke rumah dan tidur di rumah, sebab udara malam sangat berbahaya bagi kesehatan kita, tapi malahan paman yang jatuh sakit. Bukannya azam melawan paman, hal itu tidak terniat di hati Azam, Azam pernah pulang ke rumah sehabis jualan, Azam sendiri pernah membaca koran setempat tentang pembantaian para Kiyai dan Ustad, Dukun, ataupun orang gila, memang tahun 1998 itu isu Dukun Santet seperti api dalam sekam, sedikit saja penduduk Balong Sari Tama tersulut emosi, amarah kebrutalan segera berkobar.
Azam ingin mencari suasana baru, dengan berjalan-jalan pada malam hari, yang hanya diketahui Azam awalnya jalan menuju rumah paman berjarak 10 Km dari warung, kira-kira 5 Km dari rumah Azam dicegat beberapa orang peronda yang langsung menempelkan clurit di leher Azam. Nyali Azam kecil luluh seketika, Ya! Siapa yang tidak akan gemetaran diaklungi clurit berkilat, hanya satu tarikan saja clurit itu mungkin telah memisahkan kepala Azam dari jasadnya, tapi untung saja kejadian itu ditenggangi oleh suara hardikan peronda.
‘’Sopo koe?
‘’Nandi Koe?’’, hardik para peronda.
Azam bengong karena tidak mengerti apa yang diucapkan peronda itu.
‘’Awak dari waruang Mak Adang! Awak jalan-jalan pulang! Indak ado oto lai! Tapaso jalan wak’’, jawab Azam dengan lugu.
‘’Lo! Piye iki!’’
‘’Edan koe!’’, mungkin peronda itu mengumpat karena keluguan Azam. Spontan peronda melepaskan kalungan cluritnya dari leher Azam, Azam pun menangis penuh kesyukuran, dia tidak tahu siapa yang menyelamatkannya.
‘’Kamu anak Bapak Padang?’’, tanya salah seorang peronda.
Kali ini Azam mengerti ucapan peronda, sebab yang digunakan peronda adalah bahasa yang juga digunakan gugu-gurunya dulu sewaktu di Sekolah Menengah Pertama.
‘’Iyo!’’, sambut Azam gembira.
‘’Ngapain sampean itu malam-malam masih keluyuran, lain kali kalau mau pulang jangan larut seperti ini, kalau tidak sampean bisa menjadi sasaran pemuda-pemuda sini! Sekarang saya antar sampean sampai kerumah!’’, ulas peronda. Azam pun diantar hingga pintu rumah paman.
Sekarang Azam tahu, siapa yang menjadi dewa penyelamat pada malam ganas itu, Ya! Keluguan sebagai orang kampung mampu menjelaskan kepada para peronda bahwa Azam tidak bermaksud jahat, dia hanya ingin pulang ke rumah, hanya saja Azam menganggap Surabaya sama dengan di kampung, apa lagi waktu mencari durian bersama si Yos, saat selesai ngaji Azam juga sering pulang malam-malam, di kampung itu aman, hanya saja yang sering menjadi musuh Azam waktu itu adalah trenggiling atau ular tanah, mahluk ini sering mengejutkan Azam kecil di kampung.
Kejadian itu membuat gentar Azam, karena itu dia lebih memilih tidur diwarung, selain itu Azam bisa jalan-jalan dengan arek-arek yang berjulan dekat dengan Paman Azam, yang sering mengajak jalan Azam ialah Rudy penjual Martabak Mesir di depan Warung Paman, Rudy memanggondrong tapi baik pada Azam, Azam sering diberi Martabak gratis begitupun Azam saat Rudy meminta segela Es Teh di watung Azam malah mengantarkannya langsung ke tempat Rudy yang sedang jualan. Terkadang Azam memang agak lasak , hal itu disebabkan rasa keingintahuan Azam yang tinggi, Azam pun jalan-jalan ke tempat Iso Roti Goreng, Azam ditawari Rori itu, Azam tanap basa basi langsung mengabulkan penawaran itu, keesokan harinya Azam jadi ketagihan bertandang ke sana, apa lagi saat-saat warung lagi sepi, Iso juga berjualan di sebarang jalan tidak jauh dari Warung Paman. Tapi Azam lebih suka ketika Mbak Pemulung berdongeng, dia cerita tentang Surabaya yang dia ketahui, kayanya dia belasal dari Manukan Surabaya juga.
‘’Zam kata orang Pariaman itu luas ya Zam! Tolong diceritakan apa maksud luasnya Zam!’’, pinta Mbak pemulung.
‘’Begiko Mbak, dulu ada orang Minang pergi ke Jawa, lalu jalan-jalan ke pantai lihat laut, dia minum air itu, rupanya asin, dia berkata, ‘rupanya Pariaman itu luas, di sini airnya juga masih asin’, terang Azam sedikit terbata-bata, memang Bahasa Azam belum sempurna. Spontan semua orang yang mendengar cerita Azam tertawa terbahak-bahak, paman Azam juga ikutan tertawa ketika itu.
‘’Lucu kamu itu Zam’’, sambung Rudy.
Pernah suatu pagi sangat menyakitkan bagi Azam, dua stel pakaian dan satu sarung Azam yang dijemur di belakang warung, raib, Azam lupa memindahakannya kedalam kamar di belakang rumah. Tapi Azam heram, siangnya pakian itu sudah dikenakan oleh Anto anak paman Azam. Azam sempat bertengkar mulut dengan anak pamannya itu, kemudian Anto menjelaskan.
‘’Baju ini saya beli dari si Mbak Rp. 5.000, 00 tadi pagi!’’, jelasnya.
Azam termenung.
‘’padahal kemaren saya asyik bercerita dengan si Mbak tentang piaman laweh, seperti biasanya setelah itu dia makan di warung Paman, tapi malamnya dia juga memakan pakian saya’’.
Rasa yang berkecamuk itu hanya disimpan dalam hati, Azam pun tidak berani nerkisah kepada paman, takut dimarahi paman lagi, lagi pula Azam kasihan juga melihat pemulung itu.
‘’Kalau di usir paman, lalu pemulung itu mau makan di mana?’’, begitulah cara berpikir Azam kecil.
Saat-saat yang menyusahkan azam ketika paman jatuh sakit, dari jam 8 pagi Azam sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk membuka warung, mulai dari membeli air dengan gerobak yang berisi 12 derijen kemudian di dorong Azam ke warung sendiri, selanjutnya Azam menata piring sambal di atas Steleng , setelah siap semua perlengkapan termasuk nasi dan samabal Azam akan disbukan oleh para pembeli hingga jam 2 siang. Menjelang jam dua ipar paman sudah membuka warung kopinya di samping warung Paman, dia agak bertingkah aneh, seskali dia membuka laci warung paman, Azam sendiri melihat bahwa ipar paman telah melanggar larangan emak sebelum Azam pergi ke surabaya. Emak pernah berkata,
‘’kamu jangan mengambil milik orang tanap se izin orang yang punya, apapun benda yang kamu ambil akan membawa kemelaratan bagi kamu, itu namanya mencuri, kamu dapat dosa dari tuhan!’’, nasehat Emak.
‘’Jadi ipar paman itu telah mencuri uang Paman, dia juga tidak bilang pada saya bahwa dia sudah mencuri, kata Emak orang seperti itu sudah berdosa, hidupnya akan melarat’’, ucap Azam dalam hati, sepertinya Azam tidak suka.
Namun 2 orang anak paman selalu mampir ke awrung sebelum menukar pakaiannya ke rumah, dia juga melakukan sikap yang sama dengan ipar paman, Azam menjadi bingung.
‘’Mungkinkah paman membolehkan kelakuan itu, anaknya juga melakukan tindakan itu, apa mungkin paman sendiri yang merintahkan?’’, tanya Azam dalam hari.
Sesaat azam melamun, Paman beserta istrinya datang ke warung, spada kesempatan itu Azam bisa agak sedikit santai sebab sejak dari tadi pagi Azam hanya sendirian melayani pembeli, Azam memilih bermain-main ke seberang jalan, tepatnya ke tempat Iso Roti Goreng. Sayup dari seberang jalan tepatnya dari warung paman terdenga pertengkaran paman dengan istrinya, sesekali azam mendengar mintuo bilang.
‘’Laci ini sudah bocor! Baru kemaren dia datang, sudah mau jadi orang maling!’’, sambil memandang ke arah Azam.
Azam tahu bahwa kata-kata itu ditujukan pada dirinya sendiri. Azam sendiri masih bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan keslahan yang telah dia lakukan, sehinggga mintuo marah kepadanya, apa lagi mintuo mengatakan Azam ingin jadi orang maling, itukan dosa menurut Emak di kampung.
‘’Apa mungkin di Surabaya ini maling bukan dosa, kalau tidak berdosa kenapa di kampung Emak bilang maling itu berdosa? Mungkin juga tidak berdosa, perbuatan maling menurutku juga dilakukan oleh ipar paman dan juga kedua anak laki-lakinya, sudah berkali-kali mereka melakukannya, berarti memang benar tidak berdosa. Jadi, kesimpulannya dosa itu tidak berlaku di Kota-kota, dosa mungkin hanya berlaku di kampung, itupun kalau kita melakukan perbuatan maling!’’, Lagak Azam seperti orang pintar.
Sejurus dengan itu, Azam memberanikan diri bertanya kepada paman kejaidian yang sebenarnya sehingga mintuo marah pada Azam.
‘Paman tidak percaya kamu bisa melakukannya! Coba kamu ceritakan apa sajha kejadian yang ganjil selam paman tidak ada!’’, perintah Paman.
‘’Anu Mak! Gini, saya mau bertanya, di Surabaya maling tidak berdosa ya Mak?’’
‘’Maksud kamu itu apa? siapa yang maling?’’
‘’indak, kata Emak di kampung itu maling itu berdosa, mungkin Mamak tidak ngerti apa yang disebut maling, saya maklum mamak sudah lama di sisni! Begini Mak, maling itu adalah perbuatan mengambil barang orang lain tanpa se pengetahuan dan se izin pemilik barang!’’, dengan lugunya Azam menjelaskan arti maling kepada pamannya. Paman Azam ketawa seketika.
‘’Mana mungkin anak selugu ini bisa mengambil uang laci!’’, terawang Paman Azam dalam hati.
‘’Yang namnya maling itu dimanapun mita berada tetap saja berdosa Zam, Emak kamu itu tidak salah, baik di kampung maupun di Kota maling itu berdosa, karena telah membuat orang menderita, kelaparan dan juga menimbulkan fitnah!’’, jelas paman
‘’Jadi apa yang dilakukan ipar, dan anak-anak paman itu berdosa, apa mungkin kelakuan mereka itu diketahui oleh Paman?’’, azam masih menerawang.
‘’Ah mungkin saja! Merekakan orang-orang dekat paman’’, terawang Azam memutuskan.
‘’Sudah sekarang kamu makan sana, nanti kamu saki!’’, perintah paman.
Azam pergi ke belakang, rencananya mau mengisi perut dengan sepring nasi, tetapi mintuo masih saja mengoceh, sesekali dia bilang anak kampung tidak beradat!, segala macamlah, tapi azam tetap makan walau hanya dua suapan nasi yang mampu ditelan. Setelah itu Azam jatuh sakit, Azam disuruh istirahat di rumah oleh paman, namun hati azam tetap keras mau ikut jualan nasi sama paman, tetapi masih mendapat ocehan dari paman, Azam terasa gundah dan resah dengan pakain sedanya Azam peergi ke Sidoarjo, di sana ada family azam yang jnuga jualan nasi di terminal larangan. Namun dua hari di sana, mata azam kembali dibuka oleh sebuah fenomena baru. Awalnya Azam heran seketika melihat anak muda maupun tua ramai di rel kereta api di samping terminal pada malam hari, sementara pada pagi hari semua orang menghilang dan juga tenda-tenda yang didirikan itu, pagi itu hanya tinggal rumput-rumput mati dan bau amis. Azam juga memberanikan diri bertanya kepada Uni Defi yang tak lain adalah Family Azam yang jualan nasi, tapi malah dia memperingatkan.
‘’Kamu jangan pernah ke sana, kalau kamu kesana kamu tidak boleh numpang disini lagi, ngerti kamu’’, nasehat Uni agak keras.
Azam tambah penasaran terhadap apa yang terjadi di luar sana, hingga pada suatu malam setelah warung nasi Uni Defi tutup, azam mengendap-endap membuka pintu, kalu terdengar sama Uni bisa berbahaya, Setelah samapi di luar Azam mengunci puntu dari luar, sejurus kemudioan Azam semakin penasaran sebelum samapi direl kereta api tersebut. Azam berpikir memang asyik jalan-jalan keluar tengah malam, apa lagi di Sidoarjo, selalu ramai. Azam juga meilihat aneka ragam permainan di sana, mulai dari main Ocak kemudian dikenal oleh Azam main Remi, mainan Babi ya! mainan ini disebut orang kampung Azam dengan Koa, catur juga ada di sana, tapi di sini orang bermain dengan taruhan. Namun mata Azam tidak pernah terlepas dari orang-orang yang berteriak gembira, itu menandakan merka itu pemenangnya, sejurus dengan itu pemuda-pemuda pemenang itu pergi le arah pondok diujung sana, pondok itu hanya diterangi dengan lentera keci atu lilin. Azam pun mengikuti jejek pemuda itu, sesat Azam terkejut.
‘’Astaga! Mereka itu suami istri! Aku telah berdosa! Aku telah mengintip!’’, Azam sadar lalu segera berbalik pulang. Setelah sampai di rumah azam masih berpikir.
“Kok suami istri tinggal di tempat amis itu, lalu rumah-rumah kecil itu apa dirobohkan pada siang hari? Bagaimana Kepala Kota di sini? Kok warganya dibiarkan tidur di tempat kumuh, seharusnya pemerintah kasihan, sedangkan warga laki-laki dibirkan bermain di rel, apa mungkin tidak ada lagi tempat untuk mereka?’’
Mulai sat itu Azam mulai menjadi anak yang suak kasihan melihat penderitaan orang-orang di sekelilingnya. Tidak lama setekah itu Paman Azam datang ke Sidoarjo, Azam sendiri tidak nisa menolak saat dari bawa kembali ke Balong Sari. Susana itupun tidak berlangsung lama, Azam kabur lagi dari Warung Paman, dia bergaul dengan Arek-Arek Suroboyo, entah apa yang dia lakukan setelah itu, dia sendiri tidak sadar, yang dia tahu minum lalu mabuk bersama teman-teman, hura-hura dan suami istri yang tidur di samping rel Kereta Api terminal larangan itu, kemudian hari dikenal dengan sebutan WTS, dilanjutkan dengan perbuatan ipar paman serta anak-anaknya sehingga Azam terusir dari perlindungan paman. Ya! Lambat laun Azam sendiri mengerti pernak pernik malam di dunia Surabaya, lalu selanjutnya apa?
Azam kecil, yang lugu, serta merta polos, ternyata berubah total menjadi sosok yang ingin dikenal, sesekali terlintas harapan yang tertancap sejak bertanam niat di kampung, entah angin apa yang mengantar kesadaran Azam kembali, Azam teringat kembali kata-kata Emak yang hampir dia lupakan.
‘’Kamu jangan melakukan perbuatan dosa, apa bila perbuatan yang akan kamu lakukan bertentangan dengan batin kamu, maka itu adalah dosa!.”
Dengan segenap tenaga, Azam berusaha bangkit dari lembah itu, dia tinggalkan semua sahabat, dan tingkah laku yang dulunya di pandang aneh. Azam merenung saat sepertiga malam menjelang, hatinya berteriak, ‘’Aku hanya seorang anak SMP yang polos dan lugu! Ya Tuhan aku tidak mau dikenang dan dikenal oleh siapapun, cukup hanya Engkau yang kutahu!’’. Di awali kejadian itu, Azam memilih menjadi karyawan Warung Nasi Padang di Manukan, saat itu baginya hidup ini adalah pilihan, jika tidak mampu memilih tidak bisa hidup, tidak mau hidup mati saja. Azam meluruskan niatnya kembali, pergi ke Surabaya karena ingin bersekolah di sana, namun sayang sekali paman dalam keadaan bangkrut sebab lacinya sudah bocor dan sekarang paman Azam sakit-sakitan.
Setelah cukup mengumpulkan ongkos, Azam pulang ke kampung lalu, perjuangan dilanjutkan pada sebuah perusahan Gorden di Kota Padang, sekarang perusahaan itu dikenal dengan nama PT Yeni Jaya Gorden tepatnya berada di Air Cemar. Namun, sekarang perantauan itu kembali terulang, tapi kali ini rantau bagi Azam adalah pintu kebebasan dari cengkraman tuhan-tuhan yang hidup di Kota Padang. Azam menjaga agar niat itu tetap lurus.
Sementara Zul Fakri sendiri belum mampu bangkit dari tempat tidurnya, saat-saat keberangkatan itu Zul masih berjuang melawan penyakit yang sudah 3 hari mengayomi tubuhnya. Tubuhnya yang kurus, memperlihatkan bahwa dia sedang berjuang untuk hidup, pikiran Zul hanya tertumpu pada ongkos terbang ke Jakarta, honor tulisan yang telah dikumpulkan Rp 800.000, 00 dari koran di Kota Padang terlanjur diberikan kepada adik-adiknya yang baru menginjakan kaki di perguruan tinggi.
Namun kedua bersahabat itu tetap bertemu di lokasi ujian hari selasa 9 januari, sudah ditakdirkan senasib seperuntungan akhirnya merak sama-sama gagal dalam persaingan, Zul Fakri pergi ke Pamulang, dia bekerja sebagai editor filem dokumenter di Production House, sementara Azam sendiri berlalu menuju Tanah Abang, saat itu pengembaraan kebebasan Azam baru akan dimulai.

HIKAYAT TUHAN


Oleh. M. Yunis

Walaupun sudah 6 bulan kepergian nenek, Azam yang masih dalam tekat yang utuh tetap meneruskan cita-cita nenek. Pada semester pertama dalam tahun akdemi 2002/2003 di Universitas Andalas, Azam meraih nilai tertingggi di angkatannnya, IP 3, 91, memapah Azam kenuju pintu beasiswa, kali pertama itu Azam benar-benar merasakan nikmatnya uang sumbangan pemerintah. Azam kerap menjadi gunjingan di kalangan teman-teman sejawat maupun sonior. Tidak ada lagi kejelekan Azam yang menjadi buah gunjingan ataupun kata-kata pembuka gurauan desi dengan Ririt, tidak ada lagi kata-kata banci yang keluar dari mulut Yance dan juga tidak ada lagi ketinggalan jaman yang dihadiahkan Ilham saat kemping bersama. Semuan seakan hilang sirna terkubur bersama jasad sang nenek. Lalu bagaimana dosa kepahlawanan yang diembankan di pundak Azam? Akankah julukan anak orang terlibat sirna bersama datangnya pengakuan pemerintah dalam wujud beasiswa?
Azam masih terus mencari jati dirinya, melalui organisasi Fakultas mulai dari Forum Study Islam yang ditawarkan Zul Fakri, Bengkel seni Tradisional Minangkabau yang menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa Sastra Minangkabau, teater, BEM fakultas, semuanya diganyang oleh Azam. Di Bengkel seni Azam pernah mengikuti festival teater tradisional Randai se Sumbar, dalam vestifal tersebut grup teater yang menjadai lembaga pelindung Azam berhasil meraih juara 1 di Sumatra Barat, Azam sebagai tokoh pertama dalam cerita randai, ‘’merantau’’. Bersama itu pula Azam, Zul Fakri, Dasrizal yang tergabung dalam aktifis muda berani buka-bukaan di koran kota padang. Terlalu banyak ide yang harus di tulis, mulai dari maslah budaya, sosial kemasyarakatan, akademik, dan kehidupan mahasiswa. Setu minggu penuh nama-nama mereka muncul bergantian di Koran Kota Padang sebagai penulis.
Zul Fakri yang lebih banyak terfokus terhadap cerpen berhasil meraih Aword di Koran Kota Padang, sementara Dasrizal sendiri berhasil merampungkan bukunya yang berjudul, ‘’Demontrasi Ala Mahasiswa’’, Amin Rais sebagai pengantar. Lambat laun Azam mulai dekat kepada para dosen-dosen di fakultas, malahan Azam maupun Zul sering diajak dosen penelttian ke daerah Bengkulu, jambi, Medan hingga ke Banda Aceh. Di sisni Azam memperoleh pengetahuan yang tidak didapatnya di dalam kelas. Awalnya Azam dekat dengan Drs. Ibrahim, M. Hum, Pak Ibrahim adalah orang yang berpengaruh di tingkat universitas, ata-katanya sangat didengar oleh pejabat rektorat. Hubungan keakraban ini terjadi saat Pak Ibrahim yang ditemani Bapak Pier Carles datang ke rumah Azam di kampung, kedua bapak-bapak itu memang bergerak di bidang Filem dokumenter, saat itu bertepatan dengan maulit nabi di kampung Azam, entah siapa yang memberikan informasi mereka langsung mengetahui rumah Azam, sementara Azam sendiri belum mengetahui siapa yang dinamakan dengan Pak Ibrahim dan Pak Charle Pierce tersebut. Kali keduanya pertualangan dimuali, Azam diajak langsung oelh kedua bapak-bapak tersebut, mereka cepat akrab dan cocok sebagai petualang ilmu pengetahuan. Azam yang sudah mulai agak suka bicara dan paling suka bertanya, menapilkan gambaran sosok Azam yang lugu di hadapan mereka sekaligus menambah perhatiannya kepada Azam, kemana pun mereka pergi Azam selalu ditawari, jika tidak kuliah Azam memilih ikut berpetualan hingga akhirnya Bapak Pier menganggap Azam sebagai anak sendiri, Azam pun sering dibawa Bapak Pier ke rumahnya, saat Azam tidak datang ke rumah Pak Pier, istri Pak Pier selalu menanyakan keadaan Azam, Azam sendiri salut kepada kedua orang itu. Ya! Bapak Pier memang mempunyai banyak anak angkat, mereka selalu berhasil meniti karir selama belajar bersama dengan Bapak Pier. Namun, kedekatan hubungan Bapak-anak berakhir di ujung musibah yang menimpa Bapak Pier saat meliput tsunami di Aceh, jasad Pak peir tidak ditemukan, mungkin telah dikuburkan secara masal oleh relawan yang datang sesudah kejadian.
Bapak Ibrahaim sebagai orang yang terdekat Bapak Pier sedih melihat perubahan sikap Azam yang sering melamun, dengan segala macam cara Bapak Ibrahim berhasil membujuk Azam agar kembali menjadi dirinya. Usaha itu berhasil sehingga Azam kembali meraih beasiswa dan berhasil menamatkan kuliahnya dalam jangka waktu 3, 5 tahun dengan IPK 3, 95 Bapak Ibrahim sendiri sebagai pembimbing satunya Azam ketika itu.
Kini Azam menjadi seorang Sarjana beridealis, cita-citanya hanya satu yaitu ingi memanfaatkan ilmu yang diperoleh bagi kemaslahatan umat. Waktu wisuada seluruh keluarga Azam datang kekampus, Emak, Adek-adek Azam, Paman, tetangga kecuali nenek yang telah lebih dahulu mengahadap kekasihnya. Semuanya ikut merasakan keghembiraan itu, tidak terlepas bidang studi maupun Fakultas Azam sendiri. Awalnya sosok seperti Azam ini yang sangat diharapankan untuk kemajuan fakultas di masa depan, Azam diminta mengapdi kepada almamaternya oleh pimpinan fakultas. Keinginan itu disambut syukur oleh Azam, terbuka lberlah pintu bagi Azam untuk memanfaatkan ilmu yang ditimba di sana, Azam juga dapat lebih banyak belajar, apalagi saat Azam dipercaya memegang kunci Pusat Study olha Dosen yang tidak pernah mengajarnya diwaktu kuliah, bagi Azam tidaklah masaah karena status kedetakan baru itu, menjanjikan akan pershabatan kekal Antara Pak Drs. Pembudi, M. Hum dengan Azam. Tidak berbeda dengan Pak Ibrahim, Pak Pembudi juga mempuinyai jaringan yang cukup kuat di seluruh Indonesia hingga ke luar nergri. Pak Pembudi juga termasuk salah satu orang yang berpenagruh di Universitas, kata-katanya tidak satupun yang dapat membanatah maupun mengkritik.
Azam sendiri mengatakan bahwa Pak pembudi bukanlah seorang Dosen tetapi orang lapangan, bayangkan saja seluruh NGO yang ada di seluruh Indonesia berada di bawah kendalinya, Azam sendiri baru tahu setelah Pembudi memperkenalkan jaringan-jaringan tersebut dan sekalisgus cara-cara kerjanya. Pak Pembudi memang tidak perlu ikut partai politik, tetapi setiap suasana politik dimulai dari pencarian kader hingga terpilihnya calon-calon, Pak Pembudilah salah satu oranng paling sibuk menentukan petaperpolitikan masa depan. Setiap kader politik harus memalui izin Pak Pembudi. Jika Pak Pembudi ingin mangangakat atau memeberhentikan rektor di seluruh universitas, hal itu bisa saja dilakukan Pak Pembudi, dia cukup menggerakan salah satu jaringannya yang bekerja untuk itu. Hanya satu kekalahan yang diakui oleh Pak Pembudi, dia tidak bisa menulis di Koran. Namun, kekurangan itu tidaklah terlalu berpengaruh bagi Pak Pembudi, seluruh media masa juga berada di bawah tangan Pak pembudi, tepatnya Pak Pembudi memang sempurna dibandingkan Dosen-dosen lain yang hanya mengajar lalu pulang.
Tetapi yang membuat Azam bingung,, setelah 1 bulan dekat dengan Pak Pembudi, persaan Azam mulai berubah, dia telah berani menaruh rasa terhadap seseorang mahasiswa Universitas Swasta. Tapi setelah kisah tersebut diceritakan kepada Pak Pembudi, Azam mendapat dukungan sehingga hubungan antara Azam dengan pembudi tidak bisa dipisahkan lagi, diamana ada Pembudi di sana ada Azam, Pembudi budi Junior adalah pangilan baru bagi Azam di NGO.
Suasana yang sangat bersahabat itu, membuat Azam melupakan segala penderitaannnya, Azam lupa dengan Pak Ibrahim yang dulu pernah ada di hatinya, namun setelah Pak Ibrahim menghianati Azam beberapa kali, Azam mulai menjauhi Pak Ibrahim, malahan tindak-tanduk Pak Ibrahim sering menjadi inspirasi tulisan Azam di koran. Sebenarnya antara Pak Pembudi dengan Pak Ibrahim kurang cocok, mereka berdua selalu bersaing, mulai dari keluarga hingga ke jaringan-yang dimiliki oleh masing-masingnya. Zul sendiri direkrut oleh Pak Ibrahim sebagai staf barunya di Pusat kajian perfileman yang dia miliki, Pak Ibrahim bilang kepada Zul, bahwa nanti ada penerimaan staf pengajar muda, Zul adalah calon tunggal yang akan dipertahankan di tingkat universitas. Selanjutnya Zul akan di S2-kan oleh Pak Ibrhim.
Sementara itu Zam sendiri pun mendapat harapan yang sama dari Pak Pembudi, kalau Pak Pembudi bicara pejabat akan menuruti, jadi untuk mengeuliahkan Azam ke tinggkat Master bagi Pak Pembudi tidaklah terlalu sulit, cukup dengan menggerakan salah satu jaringan saja, semua akan klir.
Antara Pembudi dengan Ibrahim adalah sosok-sosok manusia pembaharu yang sangat dibutuhkan bangsa ini, Pembudi berpikiran marxisme memepunyai gaya dan taktik sendiri untuk menundukan semua lawan, sedangkan Pak Ibrahim yang terjun ke dalam tarekat Naqsabadiyah separo jalan, membuatnya sering agak Kapitalis. Tetapi terlepas dari semua itu, kedua orang itu tetap menjadi sosok yang ditakuti oleh teman maupun lawan, kalau saja keduanya menyatakan perang secara terbuka, maka rusaklah seluruh tatanan sosial yang ada ketika itu. Kini Azam sendiri sudah memiliki kemerdekaan, Azam mersa berhak menggunakan fasilitas pemerintah yang ada baik di Universitas maupun di mana saja, jika Azam mendapat kesulitan Azam cukup menyebut nama Pembudi 3 kali, semua akan normal seperti sediakala.
Kebebasan yang dimiliki Azam itu difokuskan kepada menulis, sudah berbagai macam kritikan yang sudah ditulis Azam, muali dari esai, artikel, cerpen, syair maupun berita-berita penting. Tiada seorang pun yang mampu menghentikan kehausan Azam terhadap pemikiran baru, termasuk Pak Pembudi sendiri. Dengan tidak segan-segan Azam berani menyebutkan nama lembaga yang menjadi sorotan di dalam tulisannya, termasuk lembaga tempat bernaungnya sendiri, sebab bagi Azam siapapun punya hak yang sama untuk berpikir dan menumbuhkan ide-ide kreatif utnuk membangun sebuah bangsa yang benar-benar merdeka dari seluruh bentuk penjajahan termasuk penjajahan oleh diri sendiri. NGO-NGO yang sudah menjadi sahabatnya sendiri tidak luput dari sasaran empuk tulisan-tulisannya. Pernah hari minggu Akhir Agustus pimpinan NGO di Kota Padang menemui Pembudi di temapt kediamannya di Indarung, namun saat itu wajah pimpinan NGO tersbut sudah kekurangan cahaya saat berpapasan dengan kehadiran Azam. Azam pernah mencari tahu perihal kejadian itu, namun hanya dibalas dengan satu senyuman oleh Pak Pembudi.
Azam memperhatikan bahwa akhir-akhir minggu itu, Pembudi sibuk terkadang jarang muncul dikampus sehingga dosen-dosen yang membutuhkan saran Pak Pembudi menemui Azam dan mereka merasa cukup mendengar saran dari Azam. Di suatu hari tepatnya di usia ke-70 tahun Universitas, Pak Pembudi menginginkan seluruh dosen menulis naskah buku, kata Pak Pembudi akan diterbitkan seiring diperingatainya acara lustrum. Keinginan Pak Pembudi itu disambut baik oleh pihak universitas, Azam langsung menjadi penerima dan mengumpulkan naskah yang telah layak terbit.
Azam terpaksa melupakan tulisan untuk koran, mau tidak mau Azam harus fokus terhadap penerbitan buku-buku, sebab acara lustrum universitas hanya tinggal 2 bulan lagi, maulai saat ide itu digagas semua panitia sibuk, Azam dan Pembudi sendiri sering menjadi orang jalanan tidur sambil bekerja, bekerja sambil tidur. Masalah sesulit apapun sudah menjadi biasa bagi azam, mulia dari hinaan, harga diri yang dilecehkan, tekakan, semuanya menjadi sarapan pagi Azam. Di sini pekerjaan sungguh benar-benar serabutan, mulai dari tukang angkat buku hingga ke meja komputer shingga Azam sendiri sering terlena di dalam dunia maya. Saat itu pula Azam pertama kalinya melihat uang sejumlah Rp. 700.000.000,00 secara langsung, Azam sendiri yang membawa dan mengembilnya dari BNI dan menyerahkannya ketangan Pembudi. Uang itu dicairkan Universitas untuk pembiayaan penerbitan 65 judul buku. Buku-buku itu pas terbit dan diluncurkan pada hari H lustrum, setelah itu Pak Pembudi tercatat sebagai penerima penghargaan dari MURI, Pembudi senang dan sekaligus bangga setengah mati, sikapnya yang sedikit ceplos-ceplos menyebabkan munculnya penilaian yang jelek dari orang-orang yang belum betul-betul mengenalnya, tapi Pembudi hanya tertawa renyah saat orang mulai mempergunjingkannya. Ya! Saat itu Pembudi menang telak dari Pak Ibrahim, namun tindakan itu berhasil dibalas oleh Ibrahim setelah dia menadapatkan dana penelitian 600.000.000, 00 dari British Council. Proyek pernaskahan yang dikomandoi oleh Pak Ibrahim dihargai mahal oleh jaringannya yang ada di Inggris, kejadian ini tentu saja membuat Pembudi terkejut.
Ya! Pembudi juga tidak senang terhadap sikap Ibrahim yang tiba-tiba pongah, berbeda lain dengan Azam, Azam membenci tindakan Pak Ibrahim karena Pak Ibrahim telah melakukan tindakan fatal. Pak Ibrhim telah menjual kebudayaannya sendiri ke pada orang asing, Azam sendiri telah membayangkan dampak yang akan ditimbulkan kemudian hari, yaitu penjajahan gaya baru yang akan dilakukan oleh pihak asing terhadap Indonesia. Keluhan ini menjadi inspirasi tulisan Azam, tetapi tiada seorang pun yang mau menanggapi, walapun pihak koran masih menerbitkannya, setiap orang yang memebaca tulisan Azam, dan teman sesama penulis pun sering memeperringatkan Azam atas kritikannya yang tajam.
‘’Kamu mengehendaki lawan yang tidak sebanding Zam!’’
Azam sendiri tidak mau meikirkan itu, sebab Azam telah merasa bisa melakukan apa yang dilakukan orang lain, jika jalannya sudah seperti Pak Ibrahim maka Azam sebagai salah seorang yang dibesarkan dengan idealisme berhak bersuara. Azam terus menulis, hingga tulisan-tulisannya dipublukasikan di Internet dan di Blognya sendiri. Seperti halnya pembudi, tiada siapapun yang mampu menghalangi Azam untuk menulis.
‘’Kecuali dengan kepergian Azam dari lembaga, itupun hanya akan memerlambat perjuangan Azam dan bukan untuk menghentikan’’, ujar Ketua Senat dalam suatiu rapat.
‘’Tapi Azam merdeka karena diberi kemerdekaan oleh Good Father!’’, sambut senat 1.
‘’Kita tunggu saat Azam menyerang si Good Father!’’.
‘’Betul dia lebih tahu apa yang harus dilakukan!’’, sambung hadirin yang hadir ketika itu, kemudian rapat senat yang kedua usai.
‘’Sebenarnya Azam telah beberapa kali menyerang Good Fathet dalam tulisannya! Bapak-Ibu pernah membaca tulisan ‘kelicikan intelektual dan pelacur akademik’, di Koran, penulis menggunakan nama samaran ‘YM. Langsung Kawa, di bawahnya tertulis Komunitas Jalan Lurus’, satu-satunya penulis yang bernyali seperti itu hanyalah Azam, dari gayanya bercerita jelas tergambar!’’, terang senat 2.
‘’Ya! Good Father pernah menelusuri berita itu kepada ajudannya yang berada di kumunitas kepenulisan, memang Kumintas Jalan Lurus itu tidak ada di Sumbar ini!’’, lanjut senat 3
‘’Ya! Sebaiknya kita serahkan kepada Good Father!’’, senat 5 menutup pembicaraan.
Setelah beberapa saat setelah rapat senat Azam masih sempat bekerja menerbitkan buku-buku kesusastraan bersama Pembudi. Sejurus dengan itu Azam mulai mulai dilanda berbagai musibah, Azam diusir ibu angkat dari rumah, karena Azam berani berjalan berpapasan dengan gadis cantik, laporan sesorang ternyata telah berhasil meracuni pikiran Ibu Zulaikha Ibu angkat Azam. Selanjutnya Azam diselamatkan oleh temannya yang kebetulan seorang doktor, belum sempat azam memperbaiki tempat berdiri, Azam pun dilanda musibah yang sama, lagi-lagi laporan yang mengancam keutuhan dan nama Baik Pak Dr. Syaifullah sekeluarga. Berita ini pun didengar oleh Pak Pembudi, Azam diselamatkan, waktu itu Azam dirumahkan koskan lebih dekat dari Universitas, Pak Pembudi langsung membayar uang kos Azam selama 6 bulan ke depan.
Sementara itu, di kesempatan lain di sudut fakutas, Goog Father Asyik berbincang-bencang dengan beberapa utusan penting.
‘’Kamu Nurul! Kamu persiapkan segala sesuatu dan buat benteng sekuat mungkin untuk kepentingan NGO-mu itu!’’, jelas Good Father kepada pimpinan NGO.
‘’Baik Pak!’, sambungnya.
‘’Sementara waktu, bagi semua utusan-utusan di sini, kembalilah bekerja seperti sediakala, dia sudah berada di bawah perlindungan saya, mungkin dia sedang mempersiapkan serangan balasan atau gantung diri sebagai akibat kekalahannya oleh situasi, janganlah kalian begitu cemas, dia hanya sendiri, dulu dia pernah cerita bahwa kakeknyanya orang terlibat, julukan itu terpaksa diakui oleh kakeknya, sebagai gantinya si kakek itu dihadiahi gelar pahlawan tanpa penghargaan apa pun!’’, lanjut Good Father.
‘’Untuk Saudara Ibrahim saya harap saudara jangan pergi dulu, ada hal penting yang harus saya diskusikan dengan saudara!’’, cegah Good Father.
Sejurus kemudian, pembicaraan dewan syuro pun berakhir, tinggalah Good Father dengan Ibrahim. Ya! Di masa itu Good Father adalah tuhan yang baru saja datang dari ketidaksadaran seorang manusia, kelebihan-kelebihan itu sengaja dijelmakan ke dalam dirinya. Lihatlah dunia yang diciptakannya sendiri, firmannya yang tegas, perintahkan jaringan-jaringan sebagai malaikat, tapi sayangnya masih menggunakan kolong langit yang sama dengan orang seperti Azam ataupun Zul Fakri, mungkin Azam dan Zul Zul yang lain.

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987