Selasa, 28 Oktober 2008

GADIS CERPEN DAN KERETA TUA


Oleh. M. Yunis

Aku hanyalah sebuah cerpen, aku hidup dalm cerpen, ya cerita yang tanpa sengaja tergores dalam kertas putih. Saat aku menari bersama senja, aku menjadi sorotan sang pujangga, mereka mulai menggores tubuhku dengan ketajaman pena-pena batin, mereka pula yang menggrayangi harga diri tanpa busana perlindungan, ya aku bukannya tidak meronta, dan bukan pula tidak menolak saat aku diperlakukan seperti itu, tapi aku sendiri telah terlanjur ditelanjangi oleh pikiran-pikiran dunia sebelum diriku benar-benar ditampilkan seperti itu. Semula aku mulai dirangkai dalam bentuk bingkai,
Sesungguhnya mereka hanya memaksakan diri untuk hidup di bawah kukungan pena-pena adi kuasa. Mereka hanya berusaha bertahan dengan goresan kalam, kalaupun itu mendapat tempat di hati penikmat koran-koran kehidupan barulah aku berjaya, walau harus mengorbankan harga diriku sendiri tentunya.
Saat aku menari bersama ombak, akulah yang paling berkuasa di pinggiran pantai, aku jugalah yang paling baik, hanya saja terkadang aku jenuh dan aku rayapi semua tanah tepian, kemudian para pujangga juga menulis sepak terjangku, dimulai saat dari mana datangku, penyebab kedatanganku, kepergianku dengan sejumlah korban hingga bekas-bekas yang aku tinggalkan. Pujangga tetap saja menelanjangi diriku tak obahnya saat aku menjelma menjadi sebuah cerpen. Akhirnya aku memang benar-benar tercatat hanya di dalam cerpen-cerpen.
Saat aku bersiul bersama burung camar, aku pun menulis diriku sendiri karena aku sebuah cerpen, aku hanya ada di dunia cerpen. Tetapi yang kutulis bukanlah kepintaran burung camar bersiul, melainkan ketertarikan hatiku kepada dunia lain yang ada di sekeliling burung camar, sebab bagiku burung camar hanya bersiul saat lingkungan sudah mulai berubah, tenggelamnya transpormas, Iwan Fals juga menulis siulan burung camar dalam lirikan lagunya, tapi aku bukanlah seperti Iwan Fals, sebab aku tidak bisa menulis sebuah lagu pun, aku takut akan menjadi dendangan orang-orang yang putus asa akan ketidakadilan, biarlah aku di dalam sejarah cerpen agar aku selalu tercatat, dan bukan didendangkan seperti itu.Tapi anehnya saat aku tercatat, aku disayembarakan, pujangga-pujangga itu akan menerima kembali keuntungan yang aku hasilkan, tapi tidak mengapa karena pujangga juga aku ada dan dilahirkan, tapi pujangga harus sadar dia diadakan oleh sesuatu yang ada sendiri bukan diadakan seperti yang dia lakukan itu.
Di kala aku merantau kedunia syair, tubuhku dicincang oleh bait-bait puisi. Ada yang mengatasnamakan dirinya kemiskinan, ada yang menyebutnya ketidakadilan, ada yang menyerupai pahlawan, ada pula yang membayangi kebajikan yang seharusnya atau menjadikan dirinya sebuah perjuangan idelisme. Ya!..hanya itulah samurai beracun yang terbuat dari kata-kata, memedihkan, bahkan menyayat tapi tidak mampu menghapuskan bekas yang dia tinggalkan. Mereka menyebutnya bekas ketidakadilan, bekas kemelaratan atau bekas kehidupan alam fana. Lalu generasi ke 7 akan mengais rezki di antara puing-puing yang berasal dari dunia bekas, segala macam kehinaan bersatu padu di dalamnya, segala kenistaan menjadi semangat naluriah setiap insan-insan yang sementara singgah. Kemudian generasi ke 7 berkata, kenapa nenek moyang kami memakan habis tanah kami berpijak, sehingga kami terpaksa membuat rumah di atas angin, saat datang badai, rumah dan anak-anak kami diterbangkan bersama puting beliung. Kenapa pula sejarah kami sesat dari jalannya sehingga garis takdir kami terpaksa diukir dengan kanvas kemunafikan. Kenapa pula khalifah kami mengadaikan harga diri kami terhadap hawa nafsu sehingga tuhan kami tidak lagi berharga di mata kami. Hati ini perih saat syair itu tidakmmapu lagi membela hak-hak, batin ini tertahan pedih saat melihat pusaka samawi diinjak-injak, aku terpaksa melihat penderitaan itu dari jauh sesekali membuang aku muka yang sudah mulai kering.
Lalu mereka masih sanggup mengucapkan takdir jatuh dari langit, apakah mereka sadar tuhan itu dibunuh oleh mereka itu sendiri? Lalu tahta-tahtanya dirampas habis, para malaikatnya diberhentikan dari jabatannya, iblis dibebas tugaskan, Adam dibangkitkan, Muhammad disingkirkan, lalu para jin dijadikan dia penasehat saat menduduki kursi ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian tuhan juga membuat dunianya sendiri dengan kata ‘KUN FAYAKUN!’, ciptakan alam baru tanpa mahluk manusia. Kiranya tuhan tobat melukis takdir yang sama, takut tercipta kembali tuan Tuhan yang memusuhinya.
Memang sengaja aku ukir beberapa kisah yang tidak akan pernah terungkap oleh para pujangga, tidak bisa dimaknai oleh para penyair, tidak bisa pula diganyang oleh para penulis dengan lidah artikel atau opini harian. Aku sendiri merasakan kehadiaranku di dalam denyut nadiku sendiri, terkadang sempat aku berpikir, apakah aku memang benar-benar ada atau ada tapi ditiadakan oleh penduduk se zaman?
Aku juga bisa menggambar kesombongan yang harus ditaklukan dengan kesombongan model baru, lalu kosombongan model baru juga dikalahan oleh kesombongan model baru. Kemudian aku tidak sengaja menciptakan lingkaran setan yang aku sendiri terjebak di dalamnya, aku melayang di laut tak bertuan, mengawang di langit tiada ujung, mengambang di alam entah berantah. Aku bertanya, adakah aku memang benar-benar ada? Atau hanya sekedar ilusi yang ditakwilkan oleh mimpi-mimpi? Kenapa aku bermimpi sementara aku sendiri tidak ada, aku sama sekali samar di dalam kenangan yang aku sendiri ragukan keberadaannya.
‘’Sudah kubilang, hubungi saudaramu di Sidorajo itu, iparnya jadi wartawan di sana! Sekarang kamu tanggung akibatnya Sendiri!’’, suara dari seberang pun berakhir. Akhir-akhir ini kata-kata itu sering diulang-ulang Ibu, aku menjadi tumpuan kekesalan yang tak terperi. Aku sengaja tuli karena aku tidak ingin dan tidak percaya apa yang dikabarkan burung, tapi sekarang keyakinan itu hanya tinggal 50,5 parsen. Kata paman hidup di kota itu susah, kota dikendalikan oleh beberapa orang pengusaha saja, hidup di kota harus pintar-pintar sebab orang pintar saja tidak mampu menaklukan kota. Orang pintar itu rumit, serat idealisme, jauh dari uang sogokan, uang pelicin atau uang takut. Orang pintar itu bodoh karena mau dibodohi, orang pintar janganlah pintar, hancurkan idealisme. Hal itu itu mungkin saja jika dilengkapi dengan uang atau link ke segala penjuru, berbeda denga orang miskin, bagi mereka idealisme adalah satau-satunya pusaka yang paling berharga, begitulah yang diajarkan kampus, kita harus menjadi intelektual yang mampu membawa bangsa ini ke arah pencerahan. Namun anehnya di saat kampus mengasilkan banyak entelek beridealis, jajaran akdemik terlebih dahulu membentengi diri dengan berbagai macam kekalahan, kampus sengaja menciptakan banyak musuh.
Terkadang aku berpikir untuk melakukan hal serupa, kuhancurkan idealisme yang ku puja, niscaya aku akan menjadi setara dengan orang-orang itu, apalagi kakekku dulu juga seorang pejuang kemerdekaan, meskipun nasibnya tidak seberuntung pejuang lain tapi dia masih tetap dimakamkan di taman makam pahlawan. Jadi, aku bisa ambil peran menjual perbagian harta karun negara ini, kugadaikan juga bisa. Tapi aku kasihan pada anak-cucuku nanti, walau aku belum pernah tahu apakah aku akan punya anak atau cucu? Tapi kitakan bersaudara, punya persamaan nasib sepenanggungan, satu latar belakang sejarah yang sama, berarti cucu kalian juga cucuku, anak kalian juga anakku. Mungkin saja kalian tidak terlalu memikirkan nasib anak cucu kalian di kemudian kelak, karena kalian punya peninggalan harta melimpah ruah, ku pikir harta itu tidak akan habis hingga tujuh generasi, lalu generasi kedelapan akan mewarisi sekian bencana moral yang maha dasyat. Haruskah dosa-dosa itu diwarisi oleh mereka? Inngatlah, kalian tercatat sebagai nenek moyang mereka, sekrang-kurangnya begitulah yang termaktub dalam buku sejarah. Tapi, kenapa kalian tidak meninggalkan sesuatu yang berharaga untuk mereka?
Perjalanan ini masih jauh, lebih baik aku mengahayal saja, mengahayal tentang prabu siliwangi, majaahit atau pagaruyung. Konon kabarnya kerajaan itu rakyatnya sangat sejahtera, dalam hayalan aku memilih menjadi raja simbolis, biarlah para mentri yang terdiri dari rakyat jelata melaksanakan kebijakan. Hitung-hitung kereta ini akan sampai besok pukul 11 pagi di Jakarta, maklum aku membeli tiket kelas ekonomi. Sebenarnya tiket kereta cepat masih banyak, tapi aku wong ciclik sukanya yang susah-susah dan juga susah ditebak. Lagi pula aku tidak akan bisa terlelap di atas kereta tua ini, meskipun di sampingku duduk laki-laki ganteng, aku yakin tidak akan terpengaruh meskipun segunung rayuan ditaearkan padaku. Bicara soal pasangan hidup, aku sendiri sudah bosan pada siapa saja yang mencoba menghampiri hidupku. Dulu pacar pertama di SMP meninggalkan aku, dia lebih memeilih perempuan yang berdada, pacaraku yang kedua di SMA memilih orang tidak berdada sama sekali, dasar laki-laki homo! Lalu di waktu kuliah, aku pacaran dengan taman sekamarku, tapi rasanya percuama ku ajak dia menikah, kami tidak mampu menghasilkan bayi mungil seperti yang kuidamkam, jalinan kasih kami pun berakhir. Ya! masa laluku terlalu pelik dan simpel, tiada seorangpun yang sanggup memprotes perjalanan hidupku yang aneh itu. Terkadang aku berdoa pada tuhan tetapi dosenku yang marsis bilangh tuhan hanyalah hayalan orang-orang dewasa, akupun menuruti jejak marsisnya, namun dari belakang aku masih tetap berdoa agar dia mati cepat, bagiku orang seperti itu merusak tatanan sosial yang pernah ada. Tahun ke-4 aku resmi jadi sarjana, ku awali karirku dengan perjalanan panjang hingga aku mendapakan orang tua angkat, tahun berikutnya aku mengangkat oarang lain jadi orang tuaku, orang tua aangkatku cemburu lalu mengusirku. Dalam jiwaku sekalut itu aku datangi orang yang ku angkat menjadi orangtuaku, tapi dia ingin menikaiku, aku pun pergi dari sana, berkelana hingga ke ujung malam dan sekarang aku duduk di atas kereta ini. Kereta ini sudah tidak selayaknya beroperasi, kursinya keras terbuat dari plastik hingga pinggulku terasa menebal, apa lagi kereta sering ini berhenti di perjalanan. Masisnis bilang, kereta ini akan selalu berhenti jika ada kereta lain yang datang dari arah berlawanan, soalnya jalur kereta ini hanya satu. Pernah dulu kejadian kereta api tabrakan akabibat kelalaian masisnis, tabrakan di Bintaro misalnya, ratusan korban tidak bersalah menjadi tumbal demi menegur orang-orang tuli. Nah, tentunya masinis tidak ingin kejadian itu terulang kembali, ku tau masinis sedang belajar mendengar.
Aku tahu yang kutinggalkan bertambah jauh, yang ku tuju bertambah dekat, tyapi tetap saja aku tidak tahan dengan para pedagang keliling dan pengamen itu, aku pusing mereka datang bak kereta api, kereta ini menjadi lebih padat. Ku tahu mereka hanya menunjukan sebuah cara mengais rezeki, berdagang sambil mencopet atau mencopet sambul berdagang, pekerjaan itu halal bagi mereka. Aku memang tidak bersentuhan langsung dengan meraka itu, sebab setiap kali naik kereta aku selalu memilih tempat duduk dekat jendela kaca kereta, selalu tiketku membaewa keberuntungan dapat tempat duduk sesuai dengan keinginananku, sebab aku selalu menjadi yang pertama mendapatkan kursi di saat berebutan. Jadi aku aman dari para pedagang maupum pengamen, kecuali saat aku ingin ke WC sesekali aku bersentuhan juga dengan mereka, aku memang harus lebih hati-hati.
Ya beginilah kereta yang sudah patut di musiumkan, tapi aku ingat perjuangan kakek melawan Belanda dulu., kakek berpangkat mayaor dengan beberapa pasukan, bersama para pejuang lainnya kakek merusak rel kereta sebelum kereta itu lewat. Kereta itu diisi para serdadu Belanda dari Sawah Lunto menuju Padang. Di antara para penumpang kereta itu terdapat seorang tawanan, dia salah seorang anggota pasukan kakek yang terangkap saat penyerbuan ke tambang Batu Bara Ombilin, sementara rekan-rekannya tewas tertembak. Kakek ingin membebaskan tawanan itu, tawanan itu bebbas setelah kereta batu bara itu terguling jam 10 malam.
Sekarang aku Belanada, Belanda yang menumpang kereta dari Surabaya -Jakarta, aku membawa tawanan diriku sendiri, waktu, ruang, harapan, impian melebur jadi satu, ialah ada dalam ketiadaan, tiada dalam dalam idiologi. Saat waktu mengalahkan ruang, dunia tiada berbatas, penderitaan, kebahagiaan adalah nama lain dari penjajahan. Belanda memang telah raib dalam dunia masa lalu, disebut sejarah yang berpura-pura baik demi kepentingan duniawi. Belanda telah menyatakan maaf di perjanjian KMB, ya! telah berlalu masanya ganti rugi kejahatan kemanusiaan, namun dosa terus di gali, dokomsumsi oleh para Belandaisme. Alhasil, waktuku dan kami dijajah para penggali kubur dosa. Ya! kamilah para tawanan detik waktu yang hilang itu, bersama sisa umur kami, pengamen, pedagang kopi, masisnis apa bedanya?
Tapi kekek diamanakah engkau sekarang? Mengapa kau tidur pulas, hadiah topi besi yang tertelungkup itu cukup untuk mengenang jasa-jasamu, gelar pahlawan yang diangung-agungkan itu tidak pernah kau rasakan. Engkau sendiri yang meminta, kelak engkau mati nanti ingin dimakamkan di makam keluarga. Tidak! itu bukan salahku, para serdadu itulah yang membawa jasadmu tanpa sepengetahuan keluarga, katanya engkau seorang pejuang kemerdekaan. Seandainya aku hidup lebih awal, akan kularang engkau mati sebagai pejuang, aku tidak suka kalau engkau hanya dipuja, untuk apa jika hanya dijadikan bulan-bulanan untuk menakut-nakuti kami agar kami tidak membantah kebijakan. Apakah engaku pantas tewas di medan pertempuran hanya untuk itu? Tidak aku tidak rela ideologimu itu dimakan cacing-cacing bawah tanah. Haruskah aku menteskan air mata dalam mengenangmu, di saat tangis itu tiada lagi? Baiaklah, aku teteskan dua butiran bening, tapi pada tetesan ketiga engkau janganlah memarahi aku, sebab aku punya sehelai sapu tangan. Sekarang kau di kereta tua yang dudlu engkau gulingklan itu.
Tanpa kusadari, dua hulu sungai itupun mengalir, deras seperti amarahnya para penyair ‘Aku’. Sementara kereta tua ini terus meraung memecah kesunyian malam perjalanan panjang.
‘’Anita! Kamu jangan cengeng, kakek berjuang iklas untuk anak cucu kakek, bukan hanya kamu seorang cucu kakek, semua orang yang mengecap manisnya hidup ini adalah anak cucu kakek, mereka minum dari keringhat kakek, tidak masalah keringat kakek terasa manis bagi mereka, mendingan dari pada diminum cacing di dasar tanah ini, kekeh akan terus mengalir di dalam jiwa-jiwa mereka. Anita cucu kakek tersayang! Biarlah mereka berpura-pura menghormati kakek seadanya, mereka punya hidup, mereka juga pejuang, mereka juga pahlawan sama dengan kekek, walau mereka itu cukup menjadi pahlawan bagi diri mereka sendiri, itu lebih baik dari pada tidak sama sekali!’’, suara itu mengejutkan aku.
‘’Tapi kek, mereka menjual tanah pusaka peninggakan kakek tanpa sepengetahuan kami, mereka membodohi kami, kata mereka orang bodoh kalah oleh orang pintar, orang pintar sendiri kalah sama orang beruntung, berarti orang berintung adalah para orang bodoh. Lalu apa jadinya kehidupan ini jika kebijakan selalu di buat oleh orang bodoh-bodoh? Aku lebih suka Belanda dengan kehadiran kembali, aku ingin berkorban seperti kakek untuk meluruskan sejarah ini, lalu keringatku kuracuni agar mereka semua mati terkapar’’.
‘’Kamu kaum terpelajar Anita, tidak boleh seperti itu! Hidup ini perjuangan tanpa henti, dan perjuangan kamu sudah berbeda dengan kakek, kakek berjuang dengan senjata, kamu berjuanglah dengan segenap pikiran yang kamu punya, terangilah jalan ini dengan keikhlasan dan pencerahan. Kamu jangan terhanyut dalam banjir yang kamu ciptakan sendiri, itulah seharusnya yang kamu lakukan! Anita dengarkan kakek, kakek tidak mungkin lagi berjuang di duniamu tau mencongkel rel kereata itu seperti dulu, bagian tubuh kakek sekarang sudah dibagi-bagi,. Kakek yang salah, kakek lebih memilih tewas oleh peluru serdadu itu, tapi sebenarnya kakek belum ingin tewas agar bisa berjuang bersama-sama kamu, namun masa kita jauh dipisahkan oleh waktu, kereta yang dulu digulingkan sudah membangkai, ataupun Belanda-belanda sekarang kekek tidak akan mampu melawannnya, mereka terlalu buas cucuku, kakek takut kalau kereta yang kamu tumpangi sekarang digulingkan dengan merusak relnya kembali, itu sangat berbahaya, seradau itu tidak akan tinggal diam, mereka akan memakan rel kereta ini berikut dengan gerbongnya, nah! di dalam gerbong itu ada kamu cucuku!’’.
‘’Aku mengerti kek, kakek tidak mampu lagi melakukannya seperti dulu, tapi sekuarng-kurangnya kakek bantulah aku dengan cara gaip. Kata orang di kampung orang yang telah meninggal masih bisa berkunjung ke dunia saat hasratnya belum tercapai. Kakak dengarkan aku, perjuangan kakek belum berakhir, kakek masih setengah perjalanan, dan aku juga masih setengah perjalanan tapi aku tidak juga mampu menggulingkan kereta ini kek! Aku ingin kakek bersama-teman-teman kakek datang dan bantu aku merusak rel kereta tua ini’’.
‘’Kamu memang keras kepala....’’
Aku terbangun dan suara itu pun raib, jam telah menunjukan pukul 3 malam. Astaga, terbnyata aku bermimpi bertemu kakek, mimpi yang aneh. Kemudian kereta ini berhenti kembali di stasiun, oh ..buikan ini bukan stasiun, ini adalah makam para pahlawan, kulihat tpi bajanya sama dengan yang adadimakam kakek, hanya lampu remang-remang yang menerangi pembaringan para pejuang itu, tiada musik tiada tarian dan tiada pemujaan. Ya..persis sama dengan kakek. Ya tuhan, mimpi ku barusan kenyataan, kakek beserta pasukannya selalu ada menemani perjalananklu bersama kereta tua, ternyata kakek memang sesorang pejuang penyayang, berarti aku masih setnagh perjalan menuju Jakarta. Tapi apa lagi yang ditunggu para pejuang itu, kenbapa tidak segera dia kenakan tipi bajanya dan ambil senapan, apa mereka masih terlelap dengan gelar pahlawan pura-pura itu. Duh bnagaianan ini, sebentar lagi kereta mau berangkat, tapi sekurang-kurangnya ikytlah bersamaku kejalarta, dan kita rusak rel kereta ini agar belanda di dalamnnya berhamburan menyelamatkan diri. Tapi meteka merasa cukup nyaman tertidul di bawah batang kemboja itu,.
‘’Ayo para pejuang, bangunlah, kita robohkan gerbong ini!’’, teriakku
Spontam ribuan pasangan mata tertuju padaku, mereka terheran-heran sembari menyeka mata yang masih perih.
‘’Kamu habis mimpi ya?’’, tegur pria teman sebangkuku
‘’Ma...maaf mas, aku bermimpi sedang di medan perang’’, belaku.
‘’Kamu anaknya pejuang?’, tanyaa padaku.
‘’Buak mas, aku bermimpi ikut perang bersama kakekku, aku bersama pasukan kakek, berniat menggulingkan kereta batu bara yang di tumpangi belanda’’.
‘’;Waduh patriotnya kamu, tapi kenapa kamu berterikan saat melihat makam itu, apa kakek kamu dikuburkan disana?’’ desak laki-laki itu.
‘’Bukan mas, akau hanya terharu saat melihat jasad itu terbujur kaku, padahal dulunya mereka itu sangat ditakuti para penjajah, tapi kini tiada seorangpun yang taku dan segan padanya, karena yang tersisa hanya tulang belulang. Sudahlah lupakan saja’’, aku menutup.
Kereta yang kutumpangi memang berjalan mundur tidak seperti biasanya, setahuku dari surabaya ke jakarta gerbongnya di depan bukan di belakang, begitu kuatnya kereta ini meskipun tua tapi masih mampu mendoromg ekornya. Tapi mimpiku sedikit aneh dari pada biasanya, kali ini seolah-olah aku bertemu kakek, padahal aku tidak pernah bertatap muka sama kakek semasa hidupnya. Waktu kakek tewas di tembak serdadu rimba PRRI, aku masih dalam tahap perencanaan ibu dengan ayahku atau meraka mungkin belum bertemu. Aku berusaha meraba-raba tawil mimpi itu, kali saja ada amanat yang kakek yang harus kutunaikan, mungkin aku harus ambil peran untuk mengurus kebijakan publik, tapi kurasa tidak mungkin, aku hanya wong cilik yangberasal dsari latar belakang kebudayaan enath berantah, apalagi kampung ku itu tidak masuk peta sejarah. Ah apa mungkin? Akau semakin mengawang dalam rabaan pribadiku atau sejenis angan-aqngan kukira.
Sementara itu kereta masih terus menjerit setiap kali meleawti persawangan sawah padahal sudah hampir pagi, kurasa kecil kemungkinan manusia masih berkeliaran di sekitar area rel kereta. Dasar nasib kereta dari dudlu memamng selalu histeris, siapapun penumpangnya, serdadu, orang bijak maupun pengamen, si kereta tidak pedulu, kereta selalu histeris demngan suara yang sama, sesekali diselingi suara anak-anak sekolah yang bercengkrama di atas gerbong, bagi mereka itu adalah suatau hobi, tapi bagiku itu adalah hoby yang tidak selayaknya diperjuangkan. Ya tidak berama lama lagi kereta ini akan samapi di Jati Negara, lalu aku akan turun derngan langkah pasti. Tetapi bayangan kakek selalu menghambat pandangan aku, kakek bergelayut di kelopak mata, semangatnya juga tidak mau sirna dari mimpiku padahal sebentar lagi aku akan meninggalkan kereta kakek ini tanpa harus mencongkel sambungan-sambungan relnya. Biarlah kereta ini aman hingga sampai tujuan,ya tujuan yang tidak lain adalah musium seperti kereta-kereta sebelumnya.
Aku tidak mau memikirkan semua itu, toh sebentar lagi aku akan terpenjara kembali, tapi tidak apalah setelah jam perkuliahan usai aku akan nyaman berada kembali di danau buatan itu. Aku bisa memancing apa saja di sana dan terkadang mengajak siapa saja yang mau ikut denganku, saat itulah kebebasanku.

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987