Sabtu, 21 Mei 2011

Sastra Minangkabau: BERBURU BABI DI KOTA

Sastra Minangkabau: BERBURU BABI DI KOTA

http://www.facebook.com

BERBURU BABI DI KOTA

Cerpen. M. Yunis

Siang itu Mrs. Bib menyibukan diri di ladang gersang belakang rumah, dia tahu rumah kandangnya sudah terlalu rapuh, mungkin sebentar lagi roboh atau disapu angin kali.Barangkali! di ladang itu masih menjamur bebatuan, pasir, kerikil untuk mendirikan sebuah istana kokoh. Tidaklah, usaha itu tentu pula tidak hanya membutuhkan jangkauan tangannya yang dua pasang, ditambah dua pasang tangan Mr. Bib, plus tangan-tangan jahil. Tapi sekarang Mr. Bib sudah menjadi kenangan indah. Dulu ketika dia awal berjumpa dengan Mr. Bib, laki-laki itu berusaha mengujuknya, dia mengatasnamakan keterharuan yang amat sangat, namun kedangkalan wajahnya tidak menyimbolkan kedalaman apa-apa. Tidak begitu lama Mrs. Bib berpapaan dengan Mr. Bib, pesta kecil selaku mahluk kecil pun berlangsung.  Sakitnya, kisah tragis yang terjadi ketika itu, ulah si pemain sandiwara yang tersesat itu, tidak tau jalan pulang, memutar-mutar di sekeliling perpondokan para Bib Bib yang lain. Mr. dan Mrs. memang sudah mendengar laporan tentang itu, kata si pelapor terdapat seorang pemain sandiwara membawa bunga api yang panjang, tentunya itu dapat membantu memeriahkan pesta kecil malam itu. Namun, anak-anak ketakutan di saat melihat orang itu berjalan tegak dan tidak seperti Bib. Sebagai anggota masyarakat yang terpelajar, Mr. Dan Mrs. memberikan pengarahan kepada masayarakat.
‘’Jangan takut, pemain sandiwara memang berjalan tegak, tidak seperti kita. Kita juga bisa menjadi pemain sandiwara di karnaval esok’’
‘’Tetapi wajahnya dan kostum yang diapakainya Tuan Putri?’’, jawab Bib Wani.
‘’Apakah ada masalah dengan wajah atau kostumnya?’’
‘’Tidak juga, Cuma terliat lebih elegan dari kita’’, sela Mrs. Bib.
‘’Itu wajar saja, mereka para pemain, untuk menghibur kita’’, sambung Mr. Bib sambil berlalu.
Beselang waktu,  berselang letih Mr. Bib menghampiri pemain sandiwara yang terseasat itu dan mengundangnya duduk bersetumpu dengan kaki, Mrs. meminta pesandiwara memainkan kembang apinya, sementara para penikmat menari riuh gemulai sehingga suasana menjadi gemerlap ruap malam itu.
Kembang api itu dipancarkan pemain sandiwara, terbang lurus tepat memeriahi suasan dan mendarat di perut Mr. Bib, Mr. Bib terbahak-bahak dan terjatuh dan ikuti oleh gemercik tawa serta canda semua orang. Seorang anak menghampiri Mr. Bib yang terjatuh, diperhatikan perut Mr. Bib sudah basah, tubuhnya dingin kemudian anak tersebut lari menuju ibunya dan berkata.
’’Bu sampai kapan Mr. Bib tertidur, diakan mempelai laki-laki pada malam ini, kasihan Tuan Putri’’
‘’Dia terlalu banyak minum, tidak ingat bahwa pada hari ini dia sedang dinobatkan menjadi Tuan Muda, ya begitulah jika seseorang yang baru akan menginjak tampuk kuasa, kelakuannya sudah aneh’’
‘’Bu saya mau ke tempat Mr. Bib tidur, mana tahu saya mendapat wejangan dari Mr. Bib’’, anak itu menutup dan berlalu dari ibunya.
‘’Iya, hati-hati sayang’’
Si anak mendatangi kembali Mr. Bib, ternyata tubuh Mr. Bib sudah tidak ada, namun jejak basahnya masih dapat dirasakan di tempat itu.
‘’Apa mungkin Mr. Bib bersama Tuan Putri? Tidak juga Tuan Putri masih menari girang bersama Mbah Lopo, lalu kemana Mr. Bib pergi? Si pemain sandiwara itu juga sudah tidak ada. Ah dasar laki-laki, baru saja bertemu merasa cocok pergi dan menjadi teman, tidak pernah mengingat sedang ada acara penobatan’’, anak itu berbicara sendiri dan kemudian berlari menemui Mrs. Bib, sebab dia tidak suka melihat pemain sandiwra itu berteman dengan Mr. Bib. Mr. Bib orang terpandang di dalam kelompok itu, tidak sepantasnya dan tidak sewajarnya dia berteman terlalu bebas, lalu bagaimana nasib Mrs. Bib, jika kerjaannya suaminya selalu berteman dengan siapa pun. Ya, adat kebiasaan di kelompok itu agak kaku dan tradisional, seorang calon pemimpin harus dikekang apa lagi di saat pernikahan dengan orang terpandang seperti Mrs. Bib, jika diperhatikan Mrs. Bib juga masih keturunan bangsawan yang jarang keluar rumah, dia sengaja dipelihara oleh orang tuanya Mbah Lopo, dia satu-satunya pewaris yang akan melanjutkan Kerajaan Hegemoni waktu itu, siapa lagi? Sebab kelompok itu Ras putih yang hampir punah oleh keganasan alam. Teknologinya juga belum semaju di kota besar, tetapi cara berpikirnya sudah mumpuni.
Anak kecil itu kemudian mendatangi Mbah Lopo dan mengadukan semua keteledoran Mr. Bib, sebagai sesepuh waktu itu Mbah Lopo marah dan mengamuk hingga menghancurkan dinding bambu pesta.
‘’Kurang ajar, dia sudah melecehkan aku dan juga pemain sandiwara itu, awas! aku hancurkan dia!. Anaku ini sengaja kupingit hanya untuk orang baik-baik, bukan untuk dipermainkan seperti ini, Bib kecil! coba kau cari jejaknya di kampung sebelah, mana tau dia melirik perawan lain!’’, perintahnya kepada sang anak.
‘’Baik Mbah!’’, anak itu pun berlari anjing ke kampung sebelah.
Mbah Lopo yang sedang mengamuk sudah sedikit tenang, semua orang termenung dan bertanya keheranan. Tapi tiada seorang pun yang memberanikan diri untuk bertanya termasuk Mrs. Bib, dia paham jika Mbah itu bisa kalap di saat marah, emosinya sedang labil perlu ketenangan untuk beberapa hari.
‘’Bib! Tolongkau ambilkan rantai saktiku di kamar kandang, aku akan pergi dan ingin menyaksikan sendiri apa saja yang dikerjakan Mr. Bib di kampung sebelah!’’
Tanpa berkata Mrs. Bib berlari ke dalam kamar uttuk mengambilkan pesanan Mbah Lopo. Benda ajaib itu tidak terlalu besar tetapi membutuhkan beberapa orang untuk membawanya, Mbah Lopo memerintahkan Bib Gading mengangkatnya, Bib Gading salah satu penduduk yang hadir pada malam itu, dia bertubuh besar. Bib Gadingpun mengangkat dengan sebelah taring dan menyerahkannya kepada Mbah Lopo.
‘’Bib! Pucuk pimpinan aku serahkan sementara padamu, jaga rakyatmu supaya selalu tentram, aku mau pergi mungkin dalam waktu yang cukup lama’’, ucapan Mbah Lopo kepada anaknya.
Kata-kata itu dipahami oleh Si Lidah Terjulur, sambil menelan senyumnya yang lapar dia berkata dalam hati.
‘’Nah, ini ksemapatan bagiku untuk menaikan statusku, aku akan pergi lebih dahulu dari pada Mbah Lopo, aku punya banyak cara untuk mengabulkan keinginanku!’’.
Lidah Terjulur memang sangat dibenci oleh masayarakat ketika itu, berhubung ada pesta dia diperbolehkan hadir oleh Mbah Lopo. Namun, lakahnya selalu diperhatikan oleh Mbah. Untuk mengantisipasi kekacauan, para penduduk tidak boleh berpergian sendiri, kecuali Mbah Lopo yang mempunyai rantai sakti. Sebab Lidah Terjulur badannya memang kecil tapi otaknya dan akalnya panjang, bisa memanfaatkan kesempatan apalagi kesempatan seperti ini.
**
Di kota memang ramai dengan aktivitas hidup, berdagang, berkelahi, politik dan segala macamnya. Semua permainan ada di sana dan semua penduduknya juga bisa bermain sandiwara. Bangunan sangat megah, rapi dan tertata makmur. Sering ditemui penduduknya tertawa renyah tidak seperti perkampungan Bib, di perkampungan Bib peraturan sengaja dibuat untuk tidak tertawa, kalaupun diperbolehkan tertawa, hal itu terjadi hanya di dalam pesta perkawinan, sebab kata Mbah Lopo terlalu banyak tertawa membuat kita lalai, terlalu banyak tertawa membuat kita lengah akan kedatangan musuh. Makanya acara tetawapun sangat sakral bagi perkampungan Bib. Masyarakat di sana sebenarnya rindu tertawa tetapi tabu bagi adat, jika kedapatan penduduk yang melanggar dia akan mendapat hukuman dari Mbah Lopo, dibuang sepanjang adat, dibuang kekampung sebelah, kampung Lidah Terjulur.
Nah, di kota berbeda, adatnya sudah bebas, liberal, kapitalis, sudah banyak orang yang kaya, malahan ada yang mempunyai banyak uang membayar orang untuk berbuat tertawa. Menertawai hukum, orang kecil, keadilan hingga agama. Semua mampu dilakukan dengan oleh orang kota dengan uang. Inilah yang membuat Si Lidah Tejulur berubah menjadi picik, dia sering menyelinap ke kota, kadang bersahabat dengan orang kota, sekali jilatan orang kota akan percaya kepada Lidah Terjulur. Si Lidah Terjulur ingin hidup dan merubah suasana kampung menjadi kota, sudah lama dia memisahkan kelompoknya dari perkampungan Bib, hal itu pun sangat disetujui leh Mbah Lopo, sebab selama ini Si Lidah Terjulur selalu bertindak anarkis dan radikal, karena dia percaya dengan anarkis dan radikal mampu menciptakan revolusi total. Tetapi Mbah Lopo masih menolak cara itu, jika benar rovolusi dilakukan kita hanya akan berpindah masa saja, sementara perlakukan dan sikap terhadap kita akan lebih parah dari biasanya. Mbah belum yakin akan hal itu.
‘’Auh.. kota ini memang indah tapi kosong makna, apa yang bisa dibanggakan dengan hidup seperti ini?’’, Mbah Lopo bicara sendiri. Tetapi masih takut menembus cahaya siang itu, sebab jika jejaknya tercium bisa gawat, sudah melakukan kesalahan, sudah melanggar batas teritorial kawasan, hukuman gantung obatnya.
Sekian lama menunggu datang jugalah malam, tepatnya malam jumat kliwon, Mbah Lopo merangkak lambat menuju pusat kota, suananya mati tetapi keramaian masih terdengar dari dalam dinding, Mbah bingung bagaimana caranya untuk mengetahui berapa saja orang yang hadir di dalam dinding.
‘’Nah, itu ada tangga, mungkin bisa membantuku sementara’’, Mbah Lopo mengambil tangga itu dan didirikan tangga itu tepat mendidindingi tembok. Ekstra hati-hati Mbah Lopo mulai menaiki anak tangga satu persatu.
‘’Duh tinggi sekali pagar yang dibuat orang kota ini, kalau aku jatuh bisa gawat ini’’, umpatnya.
Pada anak tangga ke 10 Mbah Lopo sampai di batas tembok, jantungnya sesak, darahnya naik keubun-ubun.
‘’Begu ganjang! Kurang ajar, memang orang kota tidak belajar adat, tidak beragama, antu balawu, katumbuhan babegu!’’, umpatan itu diluncurkan Mbah Lopo tiba-tiba di saat menyaksikan fenomena di dalam tembok.
Mbah Lopo dendam, sakit hati melihat Bib kecil diperlakukan seperti itu, Bib kecil meraung di saat diganyang oleh Lidah Terjulur, sementara semua orang bertepuk tangan dengan senang, kebiasan biadab orang kota.
‘Si Lidah Terjulur itu, sejak kapan dia di sini lalu Bib kecilku yang malang, miris sekali takdirmu itu, kenapa kau datang ke kota, bukankah kau kusuruh ke kampung sebeleh, ke kampung Lidah Terjulur, kenapa kau ke sini?’’, Mbah Lopo menangis dalam hati dan terus kaku di atas tangga sambil dan matanya tidak penah lepas dari kejadian itu.
‘’Ha..ha..! waktu di perkampungan itu, bolehlah kau  bergembira, sekarang dagingmu akan kusantap habis, ha..ha..’’, ucap Lidah Terjulur penuh semangat.
‘’Dasar tidak berbudi, kau sudah lupa siapa yang menyelamatkan kamu saat berada di mulut Buaya hutan? Mbah aku kan? Tapi kenapa kau balas seperti ini? Lalu siapa orang-orang itu?’’, Bib kecil menangis.
‘’Mereka adalah tuanku semua, mereka senang aku jilati sebentar lagi separoh sentro kota ini menjadi bagian ku, ha..ha’’, Lidah Terjulur kembali menyerang Bib kecil dan diikuti tawa renyah penonton.
‘’Ayo cincang dagingnya....keluarkan ususnya binatang perusak itu..! teriak Wali Kota.
‘’Iya, ayo...cincang, dasar babi kecil....haram...!’’, sambung Ibu Wali Kota.
Tidak lama kemudian Bib kecil tidak berdaya terkapar dengan usus terburai, sebelah kakinya dilumat habis oleh Lidah Terjulur sambil melarikannya ke tepi lapangan. Sesaat itu, penjaga lapangan mengambil tubuh Bib yang sudah tidak bernyawaw dan berkata.
‘’Malam ini kita membuat babi panggang yang enak!’’.
Di sudut tembok itu, sosok Mbah Lopo kekekringan air mata, dia turun perlahan dari tangga, sisa langkahnya terus diserert menunju perkampungan Bib, entahlah, sesekali dia berhenti duduk menagis kembali, terus berjalan kembali berhenti kembali, begitulah seterusnya sehingga sampai di perkampungan.
**
Pagi itu salah seorang penduduk menemukan tubuh Mbah Lopo tidak berdaya, para penduduk behamburan keluar, menggotong tubuh itu ke rumah Tuan Putri. Selama Mbah pingsan semua orang saling bertatapan dan heran apa saja yang terjadi dengan Mbah yang sakti ini.
‘’Usss. Mabh batuk, berarti dia sudah sadar!’’, salah seorang dari mereka memecahkan suasana.
Mbah angkat bicara.
‘’Kita telah di tipu,  Kota Telah dibohongi!, diperdaya, dihianiti!’’.
Siapa yang berbuat seperti itu Mbah?’’, tanga Mr. Bib memburu.
‘’Lidah Terjulur! Bib Kecil sudah dipanggang, Wali Kota itu sedang pesta, Lidah Terjulur memakan kaki kanan Bib Kecil!’’
‘’Oh..tuhan ...malang benar nasib Bib kecil’’, semua orang meraung.
‘’Di kota! Ya di kota! Ke kota!’’, suara Mbah Polo terpuus.
‘’Ayo semua, kumpulkan perbekalan dan persenjataan kita, Mbah sedang sekarat, kita diperintahkan untuk merebut kembali hak kita yang sudah dikapling!’’, perintah Mrs. Bib.
‘’Kembalikan Bib kecil!’’
‘’Gantung lidah terjulur!’’
‘’Hancurkan Kota!’’
‘’Pangkas habis Liberalisme!’’
‘’Kapitalis!’’
‘’Neo imprealisme!’’
Semua orang berteriak dengan semangat berkobar.
‘’Tunggu dulu! Jangan tergesa-gesa, tunggu dulu hingga jumaat kliwon, biarkan mereka terlelap dulu, biarkan mereka menyelesaikan pesta itu!’’, sanggah Mbah Lopo.
Meskipun Mbah Lopo melarang serangan itu, para penduduk tidak sabar untuk membalas dendam tetap mempersiapkan penyerangan, sebagian termotivasi oleh kesenangan kota, harta, jabatan, kekayaan, wanita cantik, kursi, wali, kota.
‘’Aduh senangnya!’’, ungkap salah seorang penduduk.
Semua pasukan dan senjata lengkap sudah dipersiapkan, Mr. Elephan mngasah taringnya, Pak Bateg juga tidak ketinggalan, tenaganya kuat. Semua cula sudah dikasih racun mematikan. Tinggal menunggu kata, ‘’serang!’’.
‘’Semua sudah siap Tuan Putri!’’, lapor komandan perang.
‘’Laksanakan!’’, perintahpun jatuh dari tuan putri.
Serang!
Dengan farmasi kalajengking, pasukan pun berlarian menuju kota.
‘’Bib! Kamu bawa kalungku ini!’’, pesan Mbah Lopo sambil menyerahkan kalungnya kepada Mrs. Bib.
Suasana ketika itu sangat mengaharu biru, setelah pasukan sampai di perbatasan pada jumaat kliwon, tembok kota diruntuhkan oleh semangat pasukan Bib, di kota masing-masing pahlawan menyebar dan memangsa apa saja yang ditemui, ke rumah wali kota, kantor polisi, pemuka adat, pemuka agama, intelektual, peradilan, penjara. Semenatara Mrs. Bib menuju rumah wali kota dan menemukan Lidah Terjulur sedang menjilat kaki Wali Kota. Tanpa menunggu waktu Mrs. Bib pun menyerang Wali Kota lari tunggang langgang, Lidah Terjulur senyum picik atas kedatangan Mr. Bib.
‘’Langkahi jasadku dulu! baru kau dapatkan jasad tuanku!’’, ungkap Lidah Terjulur dengan sombong. Tanpa menunggu waktu terjadilah perkelahian itu, saling memukul, menggigit sehingga Lidah Terjulur terkapar kehabisan darah. Sesaat setelah itu terdengar teriakan.
‘’Wali Kota menyerah!’’
Mrs. Bib keluar dari pekarangan Wali Kota dan bicara kepada pasukannya, sementara sebagian yang lain membebaskan tawanan yang terdiri dari para Bib Bib pekerja.
‘’Mulai saat ini kita berjalan dengan dua kaki, itu aturan tidak boleh dilanggar! Mari kita bangun kota ini!’’, tutup Mrs. Bib.
Seminggu setelah penaklukan Kota Babi, berita itu meluas ke kota Rusa, Kota Srigala, dan menyebarlah virus babi itu kemana-mana.

*Pinggiran Malam, 10-06-09

LOWONGAN WARTAWAN

Oleh: Lindo Karsyah

Harian Pagi Vokal membutuhkan seorang pemimpin Redaksi dengan kualifikasi;
1. berpengalaman pada posisi yang ditawarkan skurang-kurang 2 tahun
2. punya daya lobi yang tinggi
3. mampu melipatgandakan energi dan sinergisitas dalam formula kerja tim
4. memiliki visi kejurnalistikan yang jelas dan terang

jika Anda yang kami cari, kontak Lindo Karsyah (081363292935)

Salam


sumber: http://www.facebook.com/?ref=home#!/home.php?sk=group_185675414805490&ap=1

LOWONGAN WARTAWAN

Oleh. Lindo Karsyah

Harian Pagi Vokal membutuhkan seorang pemimpin Redaksi dengan kualifikasi;
1. berpengalaman pada posisi yang ditawarkan skurang-kurang 2 tahun
2. punya daya lobi yang tinggi
3. mampu melipatgandakan energi dan sinergisitas dalam formula kerja tim
4. memiliki visi kejurnalistikan yang jelas dan terang

jika Anda yang kami cari, kontak Lindo Karsyah (081363292935)

Salam

Jumat, 20 Mei 2011

‘’CONSERVATION OF MANUSCRIPTS’’, DARI ELUMINASI HINGGA PENYELAMATAN ALAM SEMESTA

Oleh. M.Yunis* 
Pasca gempa 30 september 2009 di Sumatra barat, meninggalkan kisah pilu. Kepiluan itu tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tidak mempunyai rumah, seyogyanya peninggalan lama pun tidak luput dari lahapan gempa. Salah satu peninggalan maha karya tersebut adalah naskah lama yang ditulis oleh para pendahulu-pendahulu Minangkabau.
            Berkat kerja sama pemerintahan Jepang dengan Universitas Andalas, rasa pilu itu sedikit terobati. Bertepatan pula dengan ‘rencana gempa’ tanggal 25 november 2010, dan acara yang juga diinisiatifi oleh filolog-filolog Fakultas Sastra Universitas Andalas (Prof. Dr. Herwandi, M.Hum dan Pramono, SS, M.Si) Osaka University (Yumi Sugahara), NRICP Tokyo (Akiko Tashiro, Ikuko Nakajima, dan Itaru Aritomo) dan Manassa Sumbar (Dra. Adriyetti Amir, SU), kecintaan terhadap peninggalan lama itu diwujudkan dalam bentuk, ‘’Workshop on The Conservation of Manuscripts in Earthquake-Affected’’.  Seperti yang dikemukan oleh Yumi Sugahara (Osaka University) dan Itaru Aritomo (NRICP) bahwa kegiatan ini perlu, berhubung pasca gempa kegiatan ini belum terrealisai maka pada kesempatan inilah rencana itu bisa diwujudkan. Di samping melakukan konservasi, dalam workshop ini juga dilakukan eliminasi naskah yang sudah rusak dan tentunya kegiatan ini membutuhkan komitmen yang penuh, sehingga naskah lama bisa diselamatkan.
            Di sela-sela materi yang disampaiaknnya, Yumi Sugahara dan Itaru Aritomo menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara eliminasi  bergaya Eropa dengan eliminasi  ala Jepang. Ditegaskannya, bahwa eliminasi  bergaya Jepang dapat dilakukan dengan cara manual dan dengan mempergunakan mesin. Di Indonesia mesin eliminasi naskah itu terdapat di perpustakaan nasional Jakarta. Eliminasi ala Eropa lebih diidentikan dengan penggunaan lem yang terbuat, oleh karenannya naskah yang sudah selesai diperbaiki tidak bisa dibuka kembali. Sedangkan eliminasi  gaya Jepang lebih banyak menggunakan methanol sebagai pembunuh kuman dan air sebagai perekat naskah dengan serbuk Tisu Jepang, tujuannnya naskah bisa dibuka atau dipisahkan kembali dari tisu yang melindunginya. Cara ini disiyalir untuk menyesuaikan teknik eliminasi  dengan kemajuan teknologi yang akan datang. Jadi, naskah yang telah dilindungi tisu bisa dibuka kembali dan tentunya naskah tersebut disesuaikan dengan penemuan bahan pelindung terbaru. Gaya ini tentunya sangat berbeda dengan gaya Eropa, yang mana nashkah langsung direkatkan dengan tisu dengan sepenuhnya menggunakan lem, karenanya naskah tidak bisa lagi dipisahkan dari tisu yang melindunginya.
Dijelaskan oleh Yumi, bahwa penyebab kertas naskah cepat rusak dan mudah dimakan rayap sangat tergantung tingkat keasaman kertas naskah tersebut. Kertas Eropa yang memiliki tingkat keasamannnya tinggi mempercepat kerusakan naskah. Berbeda dengan kertas Jepang dan Daluang yang biasa digunakan dalam penulisan naskah Nusantara, kedua kertas tersebut bersifat netral dan sekarang kertas Daluang masih diproduksi di daerah Jawa Barat dan juga masih digunakan dalam penulisan-penulisan. Untuk kondisi naskah yang tidak terlalu rusak, naskah cukup dibersihkan dengan kuas yang terbuat dari bulu kuda. Naskah yang belum dieliminasi disarankannya disimpan dengan ditidurkan. Sebab kebanyakan dari naskah yang rusak sangat rapuh dan kondisi penyimpanan yang tidak selayaknya akan menambah kerontokan halaman nashkah.
Kegiatan konservasi ini dilakukan sudah untuk kesekian kalinya, kegiatan serupa juga pernah dilakukan, tanggal 20 April 2010 Fakultas Sastra Unand dan eliminasi naskah dilanjutkan di Surau Paseban Koto Tangah Kodya Padang, tetapi eliminasi naskah bercorak Eropa. Kegiatan tersebut dihadiri oleh filolog muda dari IAIN Imam Bonjol (Apria Putra). Di sela prsentasinya, Apria mampu menjelaskan penelusuran jejak Ulama di Minangkabau bersama naskah yang ditinggalkannya. Penelusuran itu baru dilakukan pada satu titik yaitu di Kumpulan Pasaman, jelasnya Simpang Tonang. Tetapi sayang sekali, kondisi naskah itu sudah banyak yang rusak, seperti pernyataan yang dikemukan oleh Pramono Filolog dari Sastra Minangkabau, bahwa naskah tersebut sampai sekarang masih banyak berada dan berserakan di lapangan. Seperti Surau Paseban, Surau-surau Kabupaten Padang Pariaman yang sekarang sudah banyak yang roboh, Payakumbuah, Lunang, dan daerah lain yang belum terdata. Di Pariaman sendiri masih banyak Naskah Lama yang dikoleksi secara pribadi, seperti kitab pengobatan orang kerasukan, palangkahan dan lain sebagainya. Kondisi yang sangat memperhatinkan ungkap Pramono, Naskah Kuno di Sungai Limau, di sana terdapat puluhan naskah yang mihrab ke langit. Kondisi ini diciptakan oleh alam, sebuah kondisi yang gawat darurat naskah tersebut tidak berhasil diselamatkan lagi karena tempat naskah itu ditumpuk telah dihancurkan oleh gempa 30 Desember 2009 yang lalu.
Sesuai dengan pendapat Prof. Razak (Malaysia), bahwa penyebab yang sangat signifikan kerusakan naskah di antaranya; pertama berkaitan dengan tempat penyimpanan naskah yang pengap udara. Cuaca panas, membuat udara yang ada di dalam tempat penyimpanan naskah memuai sehingga naskah menjadi sangat kering. Saat datangnya hujan, cuaca sangat dingin sehingga naskah menjadi lembab kemudian kering kembali. Dari fenomena ini dapat dibayangkan kondisi naskah setelah itu, apalagi naskah sudah disimpan selama berpuluh-puluh tahun. Kedua, kondisi naskah yang mengerenyut karena kertasnya sudah terlalu lama. Kondisi naskah yang seperti ini masih bisa diselamatkan dengan distrika dengan strika khusus naskah. Tetapi kendalanya, alat tersebut cukup mahal dan hanya tersedia di Korea. Ketiga, kondisi naskah yang hurufnya hancur, naskah seperti ini menurut Prof. Razak tidak perlu diselamatkan lagi.
Pendapat di atas juga dibenarkan oleh Yumi Sugahara dan menyarankan tidak menyimpan naskah di tempat yang terlalu pengap atau terlalu dingin, karena akan mempercepat kerusakan halaman naskah-naskah. Kondisi yang serupa juga penulis temukan saat berkelana dengan M. Yusuf dan Yusriwal (Alm)  yang juga Filolog dari Sastra Unand di daerah Sumani Solok. Kondisi seperti ini sangat berbahaya bagi pelindungan naskah, penyebab utamanya tempat penyimpanan naskah yang tidak layak, naskah itu ditumpuk naskah di simpan di atas loteng Surau, seperti fakta yang ditemukan di Surau Sumani Solok tahun 2002 yang lalu.
Terlepas dari masalah di atas, timbul pertanyaan, naskah kuno ini mau dibawa kemana dan fungsinya apa? Mengacu pada pendapat Apria Putra, melalui naskah kuno kita mampu menelusuri jejak Ulama di Minangkabau. Menurut penulis, keberhasilan usaha tersebut di atas hanya merupakan salah satu saja dari rahasia yang berhasil dungkap dan tersimpan di balik naskah lama. Menilik pada geneologi, latar belakang baik  kata, kalimat, huruf yang digunakan, masa ditulis, juga mempunyai latar belakang sendiri. Tulisan yang dugunakan kiranya juga mampu mengungkap latar belakang ideologi masyarakat, kebudayaan, dan kekuasaan yang berlaku ketika itu.
Penulis berpandangan, bahwa naskah lama sesungguhnya bisa dikaji melalui pendekatan ilmu bahasa (Linguistik). Senada dengan itu, Al-Fayyadl (2005) juga pernah menyatakan bahwa sesungguhnya Filologi itu adalah Linguistik dan dari sanalah Linguistik itu lahir. Filologi merupakan sebuah cabang ilmu bahasa, di dalam pengkajiannya juga bisa melibatkan ilmu bahasa makro, baik untuk melihat geneologi kata, bahasa, tulisan sehingga kehadirannya teks naskah itu perlu bagi perkembangan generasi. Filologi dalam pengkajian naskah tidak harus ending pada eliminasi, translitrasi dan suntingan teks saja tetapi dibalik teks tersbut kecendikiawanan, ide, pandangan hidup, dan lain-lain.
Berkaitan dengan itu, dirunut dari awal abad pertengahan hingga abad moderen, awal abad pertengahan mulai kehilangan pandangan tentang banyak ajaran kuno dan klasik. Naskah lebih banyak disimpan di tempat tertentu dan hanya orang tertentu yang boleh membacanya. Kemudian Eropa mengalihkan pandangannya ke Timur untuk menemukan kembali dokumen tua yang sudah lama hilang di dunia Barat. Dokumen itu tertulis dengan bahasa Yunani, bahasa Arab, dan Siria. Kebijaksanaan purba seperti Yunani (Plato dan Aristoteles) beberapa waktu tersimpan dalam masyarakat Islam. Oleh karena itu, Eropa ingin belajar kembali dengan melahirkan ‘renaisance’’ (kelahiran kembali). Di zaman itu banyak di antara pemikir kerasukan alkimia, sebab di antara mereka banyak yang menganggap alam sebagai sistem tanda yang suci. Tidak bertahan lama (Renaisance bertahan dari abad ke-14 hingga abad ke-16). Akibatnya, abad pencerahan dikritik dan digoyang awal abad ke-20 dengan datangnya para ‘’mordernis’’, dan kritikus gereja tahun 1910 hingga pecahnya perang dunia II. Para mordernis adalah murid sains yang mengharapkan dunia kuat dan baru, semuanya menggunakan teknologi dan matematika dalam desain mereka. Pada saat ini terjadi kemunduran zaman modern karena kealpaan masyarakat terhadap kebudayaannnya (O’donnill, 2009), kemunduran ini juga disebut oleh Gidden (2001) sebagai ‘tumbal modernitas’.
Alhasil, muncullah kritikus-kritikus penentang filsafat Barat seperti Friedrich Nietzsche dengan filsafat kehendak, kebenaran mutlak dibongkar oleh Derrida, sistem kapitalis dilawan oleh Karl Marx, hegemoni pengetahuan ditentang oleh Michel Foukoult. Nietzsche dengan nalar puitisnya bercerita tentang geneologi moral dalam satu ‘’kehendak untuk berkuasa’’, pengikutnya yang termasyur adalah Michel Foukoult, Jean Paul Sartre, Gileze Deleuze, dan Jacques Derrida. Di Timur sendiri lahir M. Iqbal beserta pemikirannya yang sangat cemerlang dalam menaklukkan kehendak berkuasa. Maka dari itu, Iqbal dikenal sebagai Nietzsche dari Timur. Untuk menanggulangi kerusakan, penganut modernitas kembali melirik Timur, karena di Timur banyak naskah lama masih tersimpan, tertulis dan asli. Usaha tersebut dilakukan untuk mencari jati diri dan kembali pada kosmologi alam. Ekspedisi ke Yunani membawa kaum modernis pada kekhasan naskah-naskah lama yang berbahasa Yunani dan katanya hanya mitos. Namun kesadarannya konensioanalnya mampu menaklukan keganasan, kengerian dan kekejaman alam semesta.  Faktanya iblis sebagai mahluk pengganggu disebutnya Satyr dan bertugas membantu orang manusia (Hamilton, 2009).
Tidak berbeda dengan naskah lama yang terdapat di dunia Timur, di antaranya bersi tentang falsafah hidup, etika terhadap alam semesta, etika pergaulan muda-mudi, dan lain-lain. Jika naskah tersebut diperlakuan dengan layak, polisi kehutanan tidak akan susah menggagalkan ilegal loging, penduduk aman dari ancaman banjir, tanah longsor, bibit-bibit fauna laut pantai selatan juga akan terjaga dari pukat harimau.

*Pemerhati Naskah Lama dan Panitia Pelaksana Workshop on The Conservation of Manuscripts in Earthquake-Affected. 

 catatan: Tulisan ini telah diterbitkan oleh padang ekspres.


Sungai di Dasar Laut Merupakan Bukti Kebenaran Al Qur’an

Maha Suci Allah yang Maha Menciptakan
Sungai dalam Laut

“Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran. Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu. ” (QS Fushshilat : 53)

“Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan) ; yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (Q.S Al Furqan:53)

Jika Anda termasuk orang yang gemar menonton rancangan TV `Discovery’ pasti kenal Mr.Jacques Yves Costeau , ia seorang ahli oceanografer dan ahli selam terkemuka dari Perancis. Orang tua yang berambut putih ini sepanjang hidupnya menyelam ke perbagai dasar samudera di seantero dunia dan membuat filem dokumentari tentang keindahan alam dasar laut untuk ditonton di seluruh dunia.

Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba ia menemui beberapa kumpulan mata air tawar-segar yang sangat sedap rasanya kerana tidak bercampur/tidak melebur dengan air laut yang masin di sekelilingnya, seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya.

Fenomena ganjil itu memeningkan Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari penyebab terpisahnya air tawar dari air masin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berfikir, jangan-jangan itu hanya halusinansi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak kunjung mendapatkan jawapan yang memuaskan tentang fenomena ganjil tersebut.

Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor Muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Al Quran tentang bertemunya dua lautan ( surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez . Ayat itu berbunyi “Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laa yabghiyaan.. .”Artinya: “Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak boleh ditembus.” Kemudian dibacakan surat Al Furqan ayat 53 di atas.

Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diertikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air masin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi “Yakhruju minhuma lu’lu`u wal marjaan” ertinya “Keluar dari keduanya mutiara dan marjan.” Padahal di muara sungai tidak
ditemukan mutiara.

Terpesonalah Mr. Costeau mendengar ayat-ayat Al Qur’an itu, melebihi kekagumannya melihat keajaiban pemandangan yang pernah dilihatnya di lautan yang dalam. Al Qur’an ini mustahil disusun oleh Muhammad yang hidup di abad ke tujuh, suatu zaman saat belum ada peralatan selam yang canggih untuk mencapai lokasi yang jauh terpencil di kedalaman samudera. Benar-benar suatu mukjizat, berita tentang fenomena ganjil 14 abad yang silam
akhirnya terbukti pada abad 20. Mr. Costeau pun berkata bahawa Al Qur’an memang sesungguhnya kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannya mutlak benar. Dengan seketika dia pun memeluk Islam.

Maha Suci Allah yang Maha Menciptakan
Sungai dalam Laut

“Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan) ; yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (Q.S Al Furqan:53)

Jika Anda termasuk orang yang gemar menonton rancangan TV `Discovery’ pasti kenal Mr.Jacques Yves Costeau , ia seorang ahli oceanografer dan ahli selam terkemuka dari Perancis. Orang tua yang berambut putih ini sepanjang hidupnya menyelam ke perbagai dasar samudera di seantero dunia dan membuat filem dokumentari tentang keindahan alam dasar laut untuk ditonton di seluruh dunia.

Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba ia menemui beberapa kumpulan mata air tawar-segar yang sangat sedap rasanya kerana tidak bercampur/tidak melebur dengan air laut yang masin di sekelilingnya, seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya.

Fenomena ganjil itu memeningkan Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari penyebab terpisahnya air tawar dari air masin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berfikir, jangan-jangan itu hanya halusinansi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak kunjung mendapatkan jawapan yang memuaskan tentang fenomena ganjil tersebut.

Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor Muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Al Quran tentang bertemunya dua lautan ( surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez . Ayat itu berbunyi “Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laa yabghiyaan.. .”Artinya: “Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak boleh ditembus.” Kemudian dibacakan surat Al Furqan ayat 53 di atas.

Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diertikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air masin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi “Yakhruju minhuma lu’lu`u wal marjaan” ertinya “Keluar dari keduanya mutiara dan marjan.” Padahal di muara sungai tidak
ditemukan mutiara.

Terpesonalah Mr. Costeau mendengar ayat-ayat Al Qur’an itu, melebihi kekagumannya melihat keajaiban pemandangan yang pernah dilihatnya di lautan yang dalam. Al Qur’an ini mustahil disusun oleh Muhammad yang hidup di abad ke tujuh, suatu zaman saat belum ada peralatan selam yang canggih untuk mencapai lokasi yang jauh terpencil di kedalaman samudera. Benar-benar suatu mukjizat, berita tentang fenomena ganjil 14 abad yang silam
akhirnya terbukti pada abad 20. Mr. Costeau pun berkata bahawa Al Qur’an memang sesungguhnya kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannyamutlak benar. Dengan seketika dia pun memeluk Islam.

Allahu Akbar…! Mr. Costeau mendapat hidayah melalui fenomena teknologi kelautan. Maha Benar Allah yang Maha Agung. Shadaqallahu Al `Azhim.Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya hati manusia akan berkarat sebagaimana besi yang dikaratkan oleh air.” Bila seorang bertanya, “Apakah caranya untuk menjadikan hati-hati ini bersih kembali?” Rasulullah s.a.w. bersabda, “Selalulah ingat mati dan membaca Al Quran.”

Jika anda seorang penyelam, maka anda harus mengunjungi Cenote Angelita, Mexico. Disana ada sebuah gua. Jika anda menyelam sampai kedalaman 30 meter, airnya air segar (tawar), namun jika anda menyelam sampai kedalaman lebih dari 60 meter, airnya menjadi air asin, lalu anda dapat melihat sebuah “sungai” di dasarnya, lengkap dengan pohon dan daun daunan.

Setengah pengkaji mengatakan, itu bukanlah sungai biasa, itu adalah lapisan hidrogen sulfida, nampak seperti sungai… luar biasa bukan? Lihatlah betapa hebatnya ciptaan Allah SWT.

Sumber : http://ivandrio.wordpress.com/2010/03/07/subhanallah-ada-sungai-dalam-laut/

Universitas yang Tidur dalam Kemewahan

Sabtu, 20 November 2010 | 09:45 WIB
Oleh: Wannofri Samry

KOMPAS.com - Paling tidak lima tahun terakhir universitas-universitas di Indonesia secara serentak menslogankan ”universitas kelas dunia” seperti nyanyi vokal yang tidak jelas bunyi awal dan akhirnya. Bunyi nyanyi itu indah didengar dan dibayangkan, tetapi buruk dilihat dan pahit dirasakan. Realitasnya, universitas-universitas di Indonesia tidak pernah menduduki peringkat puncak di Asia, bahkan di Asia Tenggara.

Dibandingkan dua jirannya, Malaysia dan Singapura, keterpurukan itu terlihat jelas. Beberapa universitas Malaysia dan Singapura pernah menduduki posisi puncak Asia. National University Singapura, misalnya, di ranking ketiga Asia tahun 2009, Universiti Malaya di ranking ke-4 Asia (2004), dan Universitas Kebangsaan Malaysia masuk 200 dunia pada 2006.

Tahun ini, dari ranking versi QS (London), Indonesia secara keseluruhan belum mencatat capaian impresif, betapapun banyak komentar subyektif mengagulkan diri dari pejabat perguruan tinggi. Ketika Malaysia menempatkan lima universitasnya dalam 100 terbaik Asia, Indonesia hanya menempatkan dua universitas.

Universiti Malaya (Malaysia) di ranking 42 Asia, turun setingkat dari 2009, Universiti Kebangsaan Malaysia (58), Universiti Sains Malaysia (69), Universiti Putra Malaysia (77) dan Universiti Teknologi Malaysia (90). Sementara Indonesia, posisi terbaik dicapai Universitas Indonesia (UI) yang masuk 50 besar Asia dan Universitas Gajah Mada (UGM, 85). Selebihnya di luar angka 100.

Institut Teknologi Bandung (ITB) terlempar ke peringkat 113 Asia, kalah dari Universitas Airlangga (Unair, 109). Sementara Institut Pertanian Bogor (IPB) di peringkat 119 dan Universitas Padjadjaran (Unpad) serta Universitas Diponegoro (Undip) di ranking 161.

Universitas luar Jawa yang tertua, Universitas Andalas Padang dan Universitas Makassar tidak masuk 200 Asia. Apa sebenarnya kunci di balik sukses dan ”sukses” para universitas di atas? Perbandingan bisa menjadi salah satu ilustrasi.

Lemah basis pustaka

Adalah kenyataan, di Indonesia universitas yang masuk peringkat 200 besar Asia adalah universitas yang ada di Pulau Jawa. Maknanya, pembangunan pendidikan tinggi ternyata masih berfokus di pusat-pusat kekuasaan. Satu warisan sentralisme sejak awal republik, bahkan sejak kolonial. Di luar itu, universitas-universitas di Indonesia juga belum memiliki satu kebijakan pendidikan yang progresif dan reformatif untuk—katakanlah—membangun sistem dan fasilitas pendidikan berkelas dunia.

Di Malaysia, fasilitas dunia segera tampak hampir di semua fasilitasnya, mulai laboratorium, ruang kuliah, perpustakaan, sampai anggaran operasionalnya. Sementara di Indonesia, dari segi perpustakaan saja, Universitas Indonesia (kini masuk 50 Asia) hanya bisa meminjamkan lima buku ke tiap mahasiswa, durasi 15 hari, dengan perpanjangan 45 hari. Sistem peminjaman dan pengadaannya juga umumnya bersifat lokal, bahkan manual.

Di Malaysia, semua mahasiswa bisa meminjam 20 buku per kartu, masa pinjam 40 hari dan bisa diperpanjang sampai 140 hari. Semua dilengkapi sistem jejaring elektronik dan dapat bertukar akses dengan berbagai perguruan tinggi dunia.

Perguruan tinggi di Malaysia amat sadar akan pentingnya buku. Itu terlihat dari upaya keras mereka meningkatkan kuantitas koleksi tiap tahun. Mereka punya tim pemburu buku dan jaringan pemesanan buku di berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia. Tidak salah jika berbagai terbitan dan kliping Indonesia disimpan di sejumlah universitas Malaysia. Kita dengan mudah menemukan koleksi lengkap majalah Editor, Tempo, Pandji Masyarakat, Suara Mesjid, Horison, dan majalah yang (mungkin) dianggap tak penting di Indonesia seperti Aneka Minang—terbit tahun 1970-an. Kita pun bisa mendapat majalah terbitan Hindia Belanda seperti Indische Verslag, Koloniale Studien, De journalistiek van Indie, dan Kroniek Oostkust van Sumatra Instituut, sekadar contoh.

Semua majalah itu disimpan bersama ribuan jurnal lama dan terbaru dari berbagai disiplin ilmu yang terbit dari berbagai sudut dunia, dari berbagai universitas terkemuka dunia. Perpustakaan mereka dilengkapi ruang audio visual, yang menyimpan dokumen mikrofilm, CD-DVD, kaset, dan film. Juga disediakan ruangan untuk mahasiswa peneliti, ruang diskusi, dan ruang laboratorium komputer-cyber, serta bioskop mini untuk memutar film.

Tidak salah jika mahasiswa Muslim Asia berbondong-bondong ke Malaysia untuk melanjutkan studi, termasuk dari Indonesia. Semua bisa mendapat beasiswa dan menjadi asisten riset. Gajinya jelas lebih besar dari gaji dosen golongan IVa di Indonesia.

Di Indonesia

Indonesia dengan kebijakan hebat meningkatkan porsi anggaran pendidikan hingga 20 persen, ternyata malah cenderung menswastakan universitas negeri. Artinya, memindahkan beban yang harus dipikul negara ke rakyat banyak. Dengan PDB tertinggi di ASEAN, sekitar 5.000 triliun rupiah, porsi 20 persen dari APBN tentu sangat signifikan. Namun, mengapa justru perguruan tinggi makin menguatkan diri sebagai komoditas mewah yang bisa diakses hanya oleh sebagian kecil penduduk?

Sebenarnya Indonesia hingga saat ini—walau diam-diam—masih jadi acuan utama bagi Malaysia, dan mungkin bagi sebagian negara ASEAN. Bangsa Indonesia disukai karena dianggap lebih dinamis, kreatif, dan egaliter—ini sangat disenangi dosen-dosen Malaysia.

Bangsa Indonesia memiliki dasar historis dan basis budaya pendidikan yang kuat dibandingkan Malaysia atau negara lain. Gairah intelektualnya lebih dahulu muncul dibandingkan Malaysia. Kondisi geografis, politis, historis, hingga kultural Indonesia menempati posisi tersendiri karena kekayaan, kebesaran, dan kematangannya.

Namun, sayang, semua itu tidak dijadikan dasar kuat membuat perguruan tinggi yang bisa menjadi acuan terbaik. Kita ingat, di abad ke-7, di masa Sriwijaya, kita sudah punya universitas yang jadi acuan banyak negara. Mungkin itu salah satu universitas tertua di dunia.

Sayang sekali, kita seperti tertidur dalam kemewahan warisan hebat di atas. Adakah karena kebijakan dan sistem yang tidak cerdas atau manusianya yang tidak cerdas. Jawabannya harus kita dapatkan bersama. Bersama-sama.

Penulis adalah Dosen Universitas Andalas, Mahasiswa Doktoral Universiti Kebangsaan Malaysia

Dirikan Dinas Kebudayaan

                           
 Selasa, 18 Januari 2011 01:21 
 Oleh. Herwandi

Pisahkan Pengelolaan dari Pariwisata

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari daya, cipta, karya, karsa manusia, baik yang berupa benda (tenggiblel) seperti rumah, meja, kursi, bendungan dan benda-benda lainnya, maupun yang tak benda (intenggible) berupa hasil pemikiran, ritual adat dan hal yang sejenisnya.

Artinya, kebudayaan adalah hasil kreativitas manusia yang melibatkan unsur fisik, kemauan, kemampuan otak dan rational manusia untuk mempermudah kehidupannya dipermukaan bumi ini. Dalam proses kelahirannya, berjalin berkulindan antara kemampuan fisik, kreativitas dan kemampuan rational manusia.

Oleh sebab itu kebudayaan selalu mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu. Baik yang benda maupun yang tak benda, pada intinya selalu mengendapkan dan berisi nilai-nilai budaya. Nilai-nilai itulah yang memberikan warna dan karakter masyarakat pendu­kungnya, sekaligus sebagai karakter sistem budaya itu, yang oleh manusia pendukungnya selalu dipelajarinya terus menerus dan diwariskan secara turun temurun.

Kalau dijabarkan lebih jauh, nilai-nilai kebudayaan selalu dipelajari, kemudian dijadikan pedoman oleh masyarakat pendukungnya untuk mempermudah mereka dalam menempuh kehidupan sesama masyarakat pendukung kebudayaan tersebut serta mengatur hubungan mereka dengan masyarakat di luar pendukung kebudayan itu.

Selanjutnya kebudayaan itu pada gilirannya harus diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya agar terdapat kesinambungan nilai. Akibat kebudayaan selalu dipelajari dan diwariskan secara terus menerus maka akan terpeliharalah nilai, dan dengan memelihara nilai berarti akan terpelihara pula karakter kebudayaan dan kemanusiaan dalam lingkup kebudayaan tersebut.

Oleh sebab itu, pada sisi tertentu kebudayaan sebetulnya berfungsi sebagai alat untuk pembentukan karakter suatu generasi manusia. Kebudayaaan mengajarkan kepada manusia untuk hidup berpola, bersopan santun, berkurenah, dan tidak menganggu kehidupan makhluk lain.  Kebudayaanlah yang berjasa menjadikan manusia menjadi manusia yang sesungguhnya.

Roh kebudayaan adalah nilai tersebut. Kalau nilai kebudayaan itu yang sudah hilang, maka berarti kebudayaan itu sudah kehilangan roh, dan kalau roh kebudayaan itu sudah tidak tak penting berarti pendukung kebudayaan itu tidak lagi memiliki karakter dan sudah tercerabut dari nilai-nilai budaya mereka. Berarti sistem budaya itu hanya menunggu untuk hilang dari bumi.

Kalau disimak lebih jauh, saat ini sedang terjadi dekadensi moral dan pemahaman nilai-nilai adat di tengah-tengah masyarakat. Apakah itu pertanda tidak lagi berlangsung pewarisan nilai-nilai moral dan adat? Atau memang telah terjadi kesalahkaprahan dalam pengelolaan kebudayaan di daerah ini?

Pengelolaan Kebudayaan yang Salah Kaprah

Pengelolaan kebudayaan di Sumatera Barat khususnya, berada di bawah komando Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Mulai dari tingkat nasional, penggabungan pengelolaan kebudayaan dengan pariwisata sudah lama dituduh sebagai tindakan yang salah kaprah, tidak terkecuali di Sumatera Barat.

Pengelolaan kebudayaan berada dalam titik yang berbahaya. Menyatukan pengelolaan budaya dengan pariwisata ibarat memasukkan durian dan mentimun ke dalam karung yang sama. Kebudayaan ibarat mentimun yang hancur oleh duri durian beragam kepentingan kepariwisataan. Paradigma pengelolaan kebudayaan seperti itu telah merusak terhadap kebersinambungan dan kelestarian kebudayaan secara keseluruhan. Pengelolaan kebudayaan seperti itu setidaknya memiliki sejumlah kesalahan beruntun.

Pertama adalah kesalahan menempatkan kebudayaan sebagai aset untuk mendukung dunia kepariwisataan. Meskipun berulang-ulang dinyatakan oleh pemangku kebijakan tentang kebudayaan dan pariwisata bahwa tugas dan fungsi dinas kebudayaan dan pariwisata ini selalu mendahulukan urusan kebudayaan. Namun dalam pelaksanaannya kebudayaan telah menjadi objek semena-mena kepentingan kepariwisataan dan pengelolaan kebudayaan yang seharusnya didahulukan justru cenderung dianak tirikan.

Kalaupun ada kebijakan dan kegiatan yang lahir selalu kepentingan kebudayaan terkooptasi oleh kepentingan pariwisata. Kebudayaan ditempatkan sebagai alat untuk mendukung dunia kepariwisataan. Kebudayaan dianggap sebagai salah satu aset yang berpotensi untuk mendukung dunia pariwisata, sehingga semua unsur kebudayaan diarahkan untuk mendukung dunia periwisata tersebut. Muaranya adalah produk kebudayaan juga digiring untuk mendatangkan uang yang banyak, sumber pendapatan asli daerah (PAD). Cara berpikir seperti itu, akhir menggiring para pemangku kebijakan kebudayaan dan kepariwisataan untuk selalu membina kebudayaan dalam kapasitas untuk memajukan dunia kepariwisataan.

Cara berpikir seperti di atas pada gilirannya memunculkan kesalahan kedua, yaitu para pemangku kebijakan dan jajarannya berlomba-lomba menciptakan suatu produk kebudayaan baru yang sebetulnya sudah lari dari akar dan nilai-nilai budaya aslinya.  Sebagai contoh produk kesenian tradisional, seperti seni tradisi randai yang penuh dengan nilai-nilai tradisional Minangkabau, yang biasanya ditampilkan dalam durasi waktu yang panjang (bermalam-malam) karena memang ditujukan untuk menyampaikan pesan dan pengajaran adat kepada pemirsanya. Kemudian oleh dinas terkait sengaja diciptakan produk randai baru yang hanya disuguhkan dalam waktu hanya 5-10 menit saja. Produk randai baru ini hanya bisa menampilkan “anatomi” luar dari randai tersebut, dan mana mungkin dilakukan penyampaian nilai adat dalam durasi waktu yang sependek itu.  Celakanya lagi justru pembinaan terhadap produk randai yang seperti itulah yang mendapat tempat di kalangan pemangku kebijakan, bukan kepada randai yang sebenarnya. Pada hal randai baru pada gilirannya telah merusak terhadap randai tradisional.

Paradigama berpikir seperti itu diikuti pula oleh kesalahan ketiga, yaitu cara berpikir para pemangku kepentingan kebudayaan dan kepariwisataan yang melihat bahwa para wisatawan selalu berpikir “yang mewah dan wah lah yang memikat” dan sesuai dengan ukuran-ukuran dunia barat.

Pada hal kalau dilihat lebih jauh justru wisatawan itu sudah jengah dengan dunia mereka sendiri (yang mewah dan wah), dan ingin melihat sesuatu yang lain, yang baru selain yang ada di kampung halaman mereka sendiri. Artinya bagi mereka sebetulnya “yang orisinillah yang menarik”. Oleh sebab itu cara pandang “yang mewah dan wah lah yang menarik” tidaklah tepat. Yang benar itu seharusnya adalah “ yang asli dan orisinil lah yang memikiat”.

Cara pandang “yang mewah dan wah lah yang menarik” akan bermuara lahirnya beragam kebijakan bagi kalangan pemangku kebijakan kebudayaan dan pariwisata untuk menciptakan objek wisata (sekaligus menyediakan anggaran yang besar) yang mewah dan wah pula. Sehingga mereka berlomba-loma menciptakan objek wisata baru yang mewah dan wah tersebut.

Celakanya lagi tindakan seperti itu menurunkan kesalahan keempat, karena ada produk sejarah dan kebudayaan asli sengaja dipolesi sedemikian rupa dan objek wisata tidak jarang dibuat dan didirikan di lingkungan situs sejarah dan budaya atau merubah situs sejarah dan budaya menjadi lebih mewah.

Pada hal situs itu harus dipelihara keorisinilannya. Hasilnya, ketika wisatawan mancanegara datang berkunjung,  mereka merasa “heran” saja, setelah itu tak berniat lagi mengunjungi untuk kali kedua, meskipun sudah dilakukan promosi yang maha dahsyat. Sebaliknya kalau paradigma berpikir “yang asli dan orisinil lah yang memikat” yang diterapkan, maka sudah tentu hal tersebut tidak akan terjadi seperti itu. Menjaga keorisinilan situs budaya itu justru lebih penting, tatapi karena paradigma berpikir yang salah sehingga mengabaikan unsur pewarisan dan pelestarian kebudayaan.

Hal ini kemudian memunculkan kesalahan kelima, karena telah mengabaikan misi khusus pewarisan kebudayaan yang sekaligus sebagai sarana untuk menjaga karakter bangsa. Para pemangku kebijakan dalam hal ini lupa bahwa misi khusus dan togas pokok lembaga kebudayaan adalah menjaga karakter bangsa ini agar tetap eksis.

Marilah kita lihat, jarang kelihatan kegiatan dinas kebudayaan dan pariwisata yang benar-benar diarahkan kepada pembinaan terhadap pewarisan nilai-nilai adat di tengah-tengah masyarakat, khususnya kegiatan langsung terhadap kebudayaan dan kehidupan beradat ditingkat nagari.

Boleh dilihatlah ke semua daerah tingkat kabupaten dan kota, ada ndak kegiatan dinas terkait yang sengaja mengajarkan kembali “bakolah”, “mangaji adat” untuk kalangan muda sebagai bagian dari pewarisan dan pelestarian nilai adat sekaligus untuk membentuk karakter kalangan muda? Jangankan  di setiap nagari, di tingkat kabupaten dan kota saja jarang ditemukan.

Selanjutnya, ada ndak kegiatan pada dinas terkait yang sengaja memberikan pencerahan terhadap penghulu dan pemangku adat di nagari tentang pengetahuan adat yang mereka punyai? Selanjutnya, ada ndak kegiatan pada dinas terkait yang sengaja memberikan pemahaman dan pencerahan kepada pemangku kebijakan kebuda­yaan dan pariwisata tentang pemahahaman nilai-nilai kebudayaan itu? Lalu pertanyaannya apakah dinas terkait sendiri sudah “babana-bana” menyediakan sumber daya manusia yang tepat untuk mengelola kebudayaan?

Penulis bisa mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan itu sangat jarang, kalaupun ada hanya dilakukan dalam kualitas yang “sekadar” saja, tidak “babana-bana” untuk mengelola kebudayaan.

Miskin Pemahaman Kebudayaan

Permasalahan di atas semakin runyam karena diikuti kesalahan berikutnya, yaitu kenyataanya sumber daya manusia yang mengelola kebudayaan dan pariwisata dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi di bidang budaya dan pariwisata.

Boleh dilihat mulai dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tingkat provinsi apa lagi sampai ke kabupaten/kota,  tidak banyak (mungkin boleh dihitung dengan jari saja) pegawainya yang memiliki latar belakang pendidikan tentang kebudayaan. Selebihnya mereka berasal dari  beragam latar pendidikan yang notabene tidak mengerti tentang kebudayaan apalagi memahami nilai budaya sekaligus menghargai pewarisan nilai-nilai budaya tersebut.

Lebih parah lagi, pemerintah daerah pun tidak berusaha merekrut pegawai dari alumni perguruan tinggi yang memiliki latar belakang dan berkopetensi kebudayaan, khususnya kebudayaan Minangkabau. Di Sumatera Barat ini ada beberapa perguruan tinggi yang telah melahirkan lulusan yang memiliki kompetensi tentang pewarisan nilai-nilai budaya dan adat Minangkabau. Paling tidak jurusan dan program studi Sastra Minangkabau telah melahirkan sejumlah alumni yang memiliki kompetensi yang erat hubungannya dengan pewarisan nilai budaya dan adat Minangkabau. Tapi apakah ada penghormatan bagi pemerintah daerah terhadap mereka? Saya berani menya­takan bahwa mereka tidak dihargai, karena jarang (kalau tidak tepat menyatakan tidak ada) pemerintah daerah yang menyediakan formasi penerimaan pegawai untuk mereka.

Pada hal kami tahu, dalam struktur organisasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mulai dari tingat propinsi sampai tingkat kabupaten dan kota perlu ada pamong-pamong budaya, yang bertugas memberikan penyuluhan pembinaan kebudayaan kepada masyarakat, tatapi posisi itu dibiarkan kosong. Ini memperlihatkan bahwa pemerintah daerah ini tidak bersungguh-sungguh dalam hal pengelolaan kebudayaan.

Dirikan Dinas Kebudayaan

Sudah puluhan tahun daerah ini menggabung pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan pada satu dinas. Selama itu pula telah terjadi perusakan kebudayaan secara struktural karena telah sekian lama pula melaksanakan kesalahkaparahan. Selama itu hasilnya sudah dapat diterka dan wajar saja sampai saat ini telah terjadi dekadensi moral, adat dan kebudayaan karena pengelolaannya tidak untuk kepentingan pewarisan nilai dan pembentukan karakter masyarakat.

Wajar pula munculnya perusakan terhadap warisan sejarah dan kebudayaan, karena dikerjakan oleh manusia-manusia yang kurang tepat dan kepentingan kebudayaan itu bukan ditujukan untuk kepentingan kepariwisataan itu sendiri.

Oleh sebab itu, sudah saatnya pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan tidak lagi berada pada dinas yang sama. Sudah saatnya untuk dipisah sehingga tugas dan fungsi pengelolaan kebudayaan dapat dipilah secara jelas dan berjalan sebagaimana mestinya.

Pengelolaan kebudayaan sudah saaatnya diserahkan kepada tanaga-tenaga dan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi untuk mengelola kebudayaan daerah ini. Hal ini pada gilirannya pemerintah daerah pada setiap tingkat sudah harus merekrut tenaga kepegawaian dari alumni perguruan tinggi yang memang memiliki kompetensi untuk mengelola kebudayaan, khususnya sastra Minangkabau. Artinya pemerintah daerah harus menyediakan formasi penerimaan pegawai untuk alumni-alumni yang memiliki kompetensi mengenai pengelolaan kebudayaan.

Selanjutnya kalau pemerintah daerah tetap menyatukan pengelolaan kebudayaan dan pariwisata dalam satu dinas ibarat memasukkan durian dan mentimun kedalam karung yang sama: Kebudayaan dapat menjadi bertambah hancur.



(Dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas)
Dirikan Dinas Kebudayaan                              
Selasa, 18 Januari 2011 01:21

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987