Jumat, 20 Mei 2011

Dirikan Dinas Kebudayaan

                           
 Selasa, 18 Januari 2011 01:21 
 Oleh. Herwandi

Pisahkan Pengelolaan dari Pariwisata

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari daya, cipta, karya, karsa manusia, baik yang berupa benda (tenggiblel) seperti rumah, meja, kursi, bendungan dan benda-benda lainnya, maupun yang tak benda (intenggible) berupa hasil pemikiran, ritual adat dan hal yang sejenisnya.

Artinya, kebudayaan adalah hasil kreativitas manusia yang melibatkan unsur fisik, kemauan, kemampuan otak dan rational manusia untuk mempermudah kehidupannya dipermukaan bumi ini. Dalam proses kelahirannya, berjalin berkulindan antara kemampuan fisik, kreativitas dan kemampuan rational manusia.

Oleh sebab itu kebudayaan selalu mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu. Baik yang benda maupun yang tak benda, pada intinya selalu mengendapkan dan berisi nilai-nilai budaya. Nilai-nilai itulah yang memberikan warna dan karakter masyarakat pendu­kungnya, sekaligus sebagai karakter sistem budaya itu, yang oleh manusia pendukungnya selalu dipelajarinya terus menerus dan diwariskan secara turun temurun.

Kalau dijabarkan lebih jauh, nilai-nilai kebudayaan selalu dipelajari, kemudian dijadikan pedoman oleh masyarakat pendukungnya untuk mempermudah mereka dalam menempuh kehidupan sesama masyarakat pendukung kebudayaan tersebut serta mengatur hubungan mereka dengan masyarakat di luar pendukung kebudayan itu.

Selanjutnya kebudayaan itu pada gilirannya harus diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya agar terdapat kesinambungan nilai. Akibat kebudayaan selalu dipelajari dan diwariskan secara terus menerus maka akan terpeliharalah nilai, dan dengan memelihara nilai berarti akan terpelihara pula karakter kebudayaan dan kemanusiaan dalam lingkup kebudayaan tersebut.

Oleh sebab itu, pada sisi tertentu kebudayaan sebetulnya berfungsi sebagai alat untuk pembentukan karakter suatu generasi manusia. Kebudayaaan mengajarkan kepada manusia untuk hidup berpola, bersopan santun, berkurenah, dan tidak menganggu kehidupan makhluk lain.  Kebudayaanlah yang berjasa menjadikan manusia menjadi manusia yang sesungguhnya.

Roh kebudayaan adalah nilai tersebut. Kalau nilai kebudayaan itu yang sudah hilang, maka berarti kebudayaan itu sudah kehilangan roh, dan kalau roh kebudayaan itu sudah tidak tak penting berarti pendukung kebudayaan itu tidak lagi memiliki karakter dan sudah tercerabut dari nilai-nilai budaya mereka. Berarti sistem budaya itu hanya menunggu untuk hilang dari bumi.

Kalau disimak lebih jauh, saat ini sedang terjadi dekadensi moral dan pemahaman nilai-nilai adat di tengah-tengah masyarakat. Apakah itu pertanda tidak lagi berlangsung pewarisan nilai-nilai moral dan adat? Atau memang telah terjadi kesalahkaprahan dalam pengelolaan kebudayaan di daerah ini?

Pengelolaan Kebudayaan yang Salah Kaprah

Pengelolaan kebudayaan di Sumatera Barat khususnya, berada di bawah komando Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Mulai dari tingkat nasional, penggabungan pengelolaan kebudayaan dengan pariwisata sudah lama dituduh sebagai tindakan yang salah kaprah, tidak terkecuali di Sumatera Barat.

Pengelolaan kebudayaan berada dalam titik yang berbahaya. Menyatukan pengelolaan budaya dengan pariwisata ibarat memasukkan durian dan mentimun ke dalam karung yang sama. Kebudayaan ibarat mentimun yang hancur oleh duri durian beragam kepentingan kepariwisataan. Paradigma pengelolaan kebudayaan seperti itu telah merusak terhadap kebersinambungan dan kelestarian kebudayaan secara keseluruhan. Pengelolaan kebudayaan seperti itu setidaknya memiliki sejumlah kesalahan beruntun.

Pertama adalah kesalahan menempatkan kebudayaan sebagai aset untuk mendukung dunia kepariwisataan. Meskipun berulang-ulang dinyatakan oleh pemangku kebijakan tentang kebudayaan dan pariwisata bahwa tugas dan fungsi dinas kebudayaan dan pariwisata ini selalu mendahulukan urusan kebudayaan. Namun dalam pelaksanaannya kebudayaan telah menjadi objek semena-mena kepentingan kepariwisataan dan pengelolaan kebudayaan yang seharusnya didahulukan justru cenderung dianak tirikan.

Kalaupun ada kebijakan dan kegiatan yang lahir selalu kepentingan kebudayaan terkooptasi oleh kepentingan pariwisata. Kebudayaan ditempatkan sebagai alat untuk mendukung dunia kepariwisataan. Kebudayaan dianggap sebagai salah satu aset yang berpotensi untuk mendukung dunia pariwisata, sehingga semua unsur kebudayaan diarahkan untuk mendukung dunia periwisata tersebut. Muaranya adalah produk kebudayaan juga digiring untuk mendatangkan uang yang banyak, sumber pendapatan asli daerah (PAD). Cara berpikir seperti itu, akhir menggiring para pemangku kebijakan kebudayaan dan kepariwisataan untuk selalu membina kebudayaan dalam kapasitas untuk memajukan dunia kepariwisataan.

Cara berpikir seperti di atas pada gilirannya memunculkan kesalahan kedua, yaitu para pemangku kebijakan dan jajarannya berlomba-lomba menciptakan suatu produk kebudayaan baru yang sebetulnya sudah lari dari akar dan nilai-nilai budaya aslinya.  Sebagai contoh produk kesenian tradisional, seperti seni tradisi randai yang penuh dengan nilai-nilai tradisional Minangkabau, yang biasanya ditampilkan dalam durasi waktu yang panjang (bermalam-malam) karena memang ditujukan untuk menyampaikan pesan dan pengajaran adat kepada pemirsanya. Kemudian oleh dinas terkait sengaja diciptakan produk randai baru yang hanya disuguhkan dalam waktu hanya 5-10 menit saja. Produk randai baru ini hanya bisa menampilkan “anatomi” luar dari randai tersebut, dan mana mungkin dilakukan penyampaian nilai adat dalam durasi waktu yang sependek itu.  Celakanya lagi justru pembinaan terhadap produk randai yang seperti itulah yang mendapat tempat di kalangan pemangku kebijakan, bukan kepada randai yang sebenarnya. Pada hal randai baru pada gilirannya telah merusak terhadap randai tradisional.

Paradigama berpikir seperti itu diikuti pula oleh kesalahan ketiga, yaitu cara berpikir para pemangku kepentingan kebudayaan dan kepariwisataan yang melihat bahwa para wisatawan selalu berpikir “yang mewah dan wah lah yang memikat” dan sesuai dengan ukuran-ukuran dunia barat.

Pada hal kalau dilihat lebih jauh justru wisatawan itu sudah jengah dengan dunia mereka sendiri (yang mewah dan wah), dan ingin melihat sesuatu yang lain, yang baru selain yang ada di kampung halaman mereka sendiri. Artinya bagi mereka sebetulnya “yang orisinillah yang menarik”. Oleh sebab itu cara pandang “yang mewah dan wah lah yang menarik” tidaklah tepat. Yang benar itu seharusnya adalah “ yang asli dan orisinil lah yang memikiat”.

Cara pandang “yang mewah dan wah lah yang menarik” akan bermuara lahirnya beragam kebijakan bagi kalangan pemangku kebijakan kebudayaan dan pariwisata untuk menciptakan objek wisata (sekaligus menyediakan anggaran yang besar) yang mewah dan wah pula. Sehingga mereka berlomba-loma menciptakan objek wisata baru yang mewah dan wah tersebut.

Celakanya lagi tindakan seperti itu menurunkan kesalahan keempat, karena ada produk sejarah dan kebudayaan asli sengaja dipolesi sedemikian rupa dan objek wisata tidak jarang dibuat dan didirikan di lingkungan situs sejarah dan budaya atau merubah situs sejarah dan budaya menjadi lebih mewah.

Pada hal situs itu harus dipelihara keorisinilannya. Hasilnya, ketika wisatawan mancanegara datang berkunjung,  mereka merasa “heran” saja, setelah itu tak berniat lagi mengunjungi untuk kali kedua, meskipun sudah dilakukan promosi yang maha dahsyat. Sebaliknya kalau paradigma berpikir “yang asli dan orisinil lah yang memikat” yang diterapkan, maka sudah tentu hal tersebut tidak akan terjadi seperti itu. Menjaga keorisinilan situs budaya itu justru lebih penting, tatapi karena paradigma berpikir yang salah sehingga mengabaikan unsur pewarisan dan pelestarian kebudayaan.

Hal ini kemudian memunculkan kesalahan kelima, karena telah mengabaikan misi khusus pewarisan kebudayaan yang sekaligus sebagai sarana untuk menjaga karakter bangsa. Para pemangku kebijakan dalam hal ini lupa bahwa misi khusus dan togas pokok lembaga kebudayaan adalah menjaga karakter bangsa ini agar tetap eksis.

Marilah kita lihat, jarang kelihatan kegiatan dinas kebudayaan dan pariwisata yang benar-benar diarahkan kepada pembinaan terhadap pewarisan nilai-nilai adat di tengah-tengah masyarakat, khususnya kegiatan langsung terhadap kebudayaan dan kehidupan beradat ditingkat nagari.

Boleh dilihatlah ke semua daerah tingkat kabupaten dan kota, ada ndak kegiatan dinas terkait yang sengaja mengajarkan kembali “bakolah”, “mangaji adat” untuk kalangan muda sebagai bagian dari pewarisan dan pelestarian nilai adat sekaligus untuk membentuk karakter kalangan muda? Jangankan  di setiap nagari, di tingkat kabupaten dan kota saja jarang ditemukan.

Selanjutnya, ada ndak kegiatan pada dinas terkait yang sengaja memberikan pencerahan terhadap penghulu dan pemangku adat di nagari tentang pengetahuan adat yang mereka punyai? Selanjutnya, ada ndak kegiatan pada dinas terkait yang sengaja memberikan pemahaman dan pencerahan kepada pemangku kebijakan kebuda­yaan dan pariwisata tentang pemahahaman nilai-nilai kebudayaan itu? Lalu pertanyaannya apakah dinas terkait sendiri sudah “babana-bana” menyediakan sumber daya manusia yang tepat untuk mengelola kebudayaan?

Penulis bisa mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan itu sangat jarang, kalaupun ada hanya dilakukan dalam kualitas yang “sekadar” saja, tidak “babana-bana” untuk mengelola kebudayaan.

Miskin Pemahaman Kebudayaan

Permasalahan di atas semakin runyam karena diikuti kesalahan berikutnya, yaitu kenyataanya sumber daya manusia yang mengelola kebudayaan dan pariwisata dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi di bidang budaya dan pariwisata.

Boleh dilihat mulai dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tingkat provinsi apa lagi sampai ke kabupaten/kota,  tidak banyak (mungkin boleh dihitung dengan jari saja) pegawainya yang memiliki latar belakang pendidikan tentang kebudayaan. Selebihnya mereka berasal dari  beragam latar pendidikan yang notabene tidak mengerti tentang kebudayaan apalagi memahami nilai budaya sekaligus menghargai pewarisan nilai-nilai budaya tersebut.

Lebih parah lagi, pemerintah daerah pun tidak berusaha merekrut pegawai dari alumni perguruan tinggi yang memiliki latar belakang dan berkopetensi kebudayaan, khususnya kebudayaan Minangkabau. Di Sumatera Barat ini ada beberapa perguruan tinggi yang telah melahirkan lulusan yang memiliki kompetensi tentang pewarisan nilai-nilai budaya dan adat Minangkabau. Paling tidak jurusan dan program studi Sastra Minangkabau telah melahirkan sejumlah alumni yang memiliki kompetensi yang erat hubungannya dengan pewarisan nilai budaya dan adat Minangkabau. Tapi apakah ada penghormatan bagi pemerintah daerah terhadap mereka? Saya berani menya­takan bahwa mereka tidak dihargai, karena jarang (kalau tidak tepat menyatakan tidak ada) pemerintah daerah yang menyediakan formasi penerimaan pegawai untuk mereka.

Pada hal kami tahu, dalam struktur organisasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mulai dari tingat propinsi sampai tingkat kabupaten dan kota perlu ada pamong-pamong budaya, yang bertugas memberikan penyuluhan pembinaan kebudayaan kepada masyarakat, tatapi posisi itu dibiarkan kosong. Ini memperlihatkan bahwa pemerintah daerah ini tidak bersungguh-sungguh dalam hal pengelolaan kebudayaan.

Dirikan Dinas Kebudayaan

Sudah puluhan tahun daerah ini menggabung pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan pada satu dinas. Selama itu pula telah terjadi perusakan kebudayaan secara struktural karena telah sekian lama pula melaksanakan kesalahkaparahan. Selama itu hasilnya sudah dapat diterka dan wajar saja sampai saat ini telah terjadi dekadensi moral, adat dan kebudayaan karena pengelolaannya tidak untuk kepentingan pewarisan nilai dan pembentukan karakter masyarakat.

Wajar pula munculnya perusakan terhadap warisan sejarah dan kebudayaan, karena dikerjakan oleh manusia-manusia yang kurang tepat dan kepentingan kebudayaan itu bukan ditujukan untuk kepentingan kepariwisataan itu sendiri.

Oleh sebab itu, sudah saatnya pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan tidak lagi berada pada dinas yang sama. Sudah saatnya untuk dipisah sehingga tugas dan fungsi pengelolaan kebudayaan dapat dipilah secara jelas dan berjalan sebagaimana mestinya.

Pengelolaan kebudayaan sudah saaatnya diserahkan kepada tanaga-tenaga dan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi untuk mengelola kebudayaan daerah ini. Hal ini pada gilirannya pemerintah daerah pada setiap tingkat sudah harus merekrut tenaga kepegawaian dari alumni perguruan tinggi yang memang memiliki kompetensi untuk mengelola kebudayaan, khususnya sastra Minangkabau. Artinya pemerintah daerah harus menyediakan formasi penerimaan pegawai untuk alumni-alumni yang memiliki kompetensi mengenai pengelolaan kebudayaan.

Selanjutnya kalau pemerintah daerah tetap menyatukan pengelolaan kebudayaan dan pariwisata dalam satu dinas ibarat memasukkan durian dan mentimun kedalam karung yang sama: Kebudayaan dapat menjadi bertambah hancur.



(Dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas)
Dirikan Dinas Kebudayaan                              
Selasa, 18 Januari 2011 01:21

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987