Jumat, 20 Mei 2011

Universitas yang Tidur dalam Kemewahan

Sabtu, 20 November 2010 | 09:45 WIB
Oleh: Wannofri Samry

KOMPAS.com - Paling tidak lima tahun terakhir universitas-universitas di Indonesia secara serentak menslogankan ”universitas kelas dunia” seperti nyanyi vokal yang tidak jelas bunyi awal dan akhirnya. Bunyi nyanyi itu indah didengar dan dibayangkan, tetapi buruk dilihat dan pahit dirasakan. Realitasnya, universitas-universitas di Indonesia tidak pernah menduduki peringkat puncak di Asia, bahkan di Asia Tenggara.

Dibandingkan dua jirannya, Malaysia dan Singapura, keterpurukan itu terlihat jelas. Beberapa universitas Malaysia dan Singapura pernah menduduki posisi puncak Asia. National University Singapura, misalnya, di ranking ketiga Asia tahun 2009, Universiti Malaya di ranking ke-4 Asia (2004), dan Universitas Kebangsaan Malaysia masuk 200 dunia pada 2006.

Tahun ini, dari ranking versi QS (London), Indonesia secara keseluruhan belum mencatat capaian impresif, betapapun banyak komentar subyektif mengagulkan diri dari pejabat perguruan tinggi. Ketika Malaysia menempatkan lima universitasnya dalam 100 terbaik Asia, Indonesia hanya menempatkan dua universitas.

Universiti Malaya (Malaysia) di ranking 42 Asia, turun setingkat dari 2009, Universiti Kebangsaan Malaysia (58), Universiti Sains Malaysia (69), Universiti Putra Malaysia (77) dan Universiti Teknologi Malaysia (90). Sementara Indonesia, posisi terbaik dicapai Universitas Indonesia (UI) yang masuk 50 besar Asia dan Universitas Gajah Mada (UGM, 85). Selebihnya di luar angka 100.

Institut Teknologi Bandung (ITB) terlempar ke peringkat 113 Asia, kalah dari Universitas Airlangga (Unair, 109). Sementara Institut Pertanian Bogor (IPB) di peringkat 119 dan Universitas Padjadjaran (Unpad) serta Universitas Diponegoro (Undip) di ranking 161.

Universitas luar Jawa yang tertua, Universitas Andalas Padang dan Universitas Makassar tidak masuk 200 Asia. Apa sebenarnya kunci di balik sukses dan ”sukses” para universitas di atas? Perbandingan bisa menjadi salah satu ilustrasi.

Lemah basis pustaka

Adalah kenyataan, di Indonesia universitas yang masuk peringkat 200 besar Asia adalah universitas yang ada di Pulau Jawa. Maknanya, pembangunan pendidikan tinggi ternyata masih berfokus di pusat-pusat kekuasaan. Satu warisan sentralisme sejak awal republik, bahkan sejak kolonial. Di luar itu, universitas-universitas di Indonesia juga belum memiliki satu kebijakan pendidikan yang progresif dan reformatif untuk—katakanlah—membangun sistem dan fasilitas pendidikan berkelas dunia.

Di Malaysia, fasilitas dunia segera tampak hampir di semua fasilitasnya, mulai laboratorium, ruang kuliah, perpustakaan, sampai anggaran operasionalnya. Sementara di Indonesia, dari segi perpustakaan saja, Universitas Indonesia (kini masuk 50 Asia) hanya bisa meminjamkan lima buku ke tiap mahasiswa, durasi 15 hari, dengan perpanjangan 45 hari. Sistem peminjaman dan pengadaannya juga umumnya bersifat lokal, bahkan manual.

Di Malaysia, semua mahasiswa bisa meminjam 20 buku per kartu, masa pinjam 40 hari dan bisa diperpanjang sampai 140 hari. Semua dilengkapi sistem jejaring elektronik dan dapat bertukar akses dengan berbagai perguruan tinggi dunia.

Perguruan tinggi di Malaysia amat sadar akan pentingnya buku. Itu terlihat dari upaya keras mereka meningkatkan kuantitas koleksi tiap tahun. Mereka punya tim pemburu buku dan jaringan pemesanan buku di berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia. Tidak salah jika berbagai terbitan dan kliping Indonesia disimpan di sejumlah universitas Malaysia. Kita dengan mudah menemukan koleksi lengkap majalah Editor, Tempo, Pandji Masyarakat, Suara Mesjid, Horison, dan majalah yang (mungkin) dianggap tak penting di Indonesia seperti Aneka Minang—terbit tahun 1970-an. Kita pun bisa mendapat majalah terbitan Hindia Belanda seperti Indische Verslag, Koloniale Studien, De journalistiek van Indie, dan Kroniek Oostkust van Sumatra Instituut, sekadar contoh.

Semua majalah itu disimpan bersama ribuan jurnal lama dan terbaru dari berbagai disiplin ilmu yang terbit dari berbagai sudut dunia, dari berbagai universitas terkemuka dunia. Perpustakaan mereka dilengkapi ruang audio visual, yang menyimpan dokumen mikrofilm, CD-DVD, kaset, dan film. Juga disediakan ruangan untuk mahasiswa peneliti, ruang diskusi, dan ruang laboratorium komputer-cyber, serta bioskop mini untuk memutar film.

Tidak salah jika mahasiswa Muslim Asia berbondong-bondong ke Malaysia untuk melanjutkan studi, termasuk dari Indonesia. Semua bisa mendapat beasiswa dan menjadi asisten riset. Gajinya jelas lebih besar dari gaji dosen golongan IVa di Indonesia.

Di Indonesia

Indonesia dengan kebijakan hebat meningkatkan porsi anggaran pendidikan hingga 20 persen, ternyata malah cenderung menswastakan universitas negeri. Artinya, memindahkan beban yang harus dipikul negara ke rakyat banyak. Dengan PDB tertinggi di ASEAN, sekitar 5.000 triliun rupiah, porsi 20 persen dari APBN tentu sangat signifikan. Namun, mengapa justru perguruan tinggi makin menguatkan diri sebagai komoditas mewah yang bisa diakses hanya oleh sebagian kecil penduduk?

Sebenarnya Indonesia hingga saat ini—walau diam-diam—masih jadi acuan utama bagi Malaysia, dan mungkin bagi sebagian negara ASEAN. Bangsa Indonesia disukai karena dianggap lebih dinamis, kreatif, dan egaliter—ini sangat disenangi dosen-dosen Malaysia.

Bangsa Indonesia memiliki dasar historis dan basis budaya pendidikan yang kuat dibandingkan Malaysia atau negara lain. Gairah intelektualnya lebih dahulu muncul dibandingkan Malaysia. Kondisi geografis, politis, historis, hingga kultural Indonesia menempati posisi tersendiri karena kekayaan, kebesaran, dan kematangannya.

Namun, sayang, semua itu tidak dijadikan dasar kuat membuat perguruan tinggi yang bisa menjadi acuan terbaik. Kita ingat, di abad ke-7, di masa Sriwijaya, kita sudah punya universitas yang jadi acuan banyak negara. Mungkin itu salah satu universitas tertua di dunia.

Sayang sekali, kita seperti tertidur dalam kemewahan warisan hebat di atas. Adakah karena kebijakan dan sistem yang tidak cerdas atau manusianya yang tidak cerdas. Jawabannya harus kita dapatkan bersama. Bersama-sama.

Penulis adalah Dosen Universitas Andalas, Mahasiswa Doktoral Universiti Kebangsaan Malaysia

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987