Sabtu, 21 Mei 2011

BERBURU BABI DI KOTA

Cerpen. M. Yunis

Siang itu Mrs. Bib menyibukan diri di ladang gersang belakang rumah, dia tahu rumah kandangnya sudah terlalu rapuh, mungkin sebentar lagi roboh atau disapu angin kali.Barangkali! di ladang itu masih menjamur bebatuan, pasir, kerikil untuk mendirikan sebuah istana kokoh. Tidaklah, usaha itu tentu pula tidak hanya membutuhkan jangkauan tangannya yang dua pasang, ditambah dua pasang tangan Mr. Bib, plus tangan-tangan jahil. Tapi sekarang Mr. Bib sudah menjadi kenangan indah. Dulu ketika dia awal berjumpa dengan Mr. Bib, laki-laki itu berusaha mengujuknya, dia mengatasnamakan keterharuan yang amat sangat, namun kedangkalan wajahnya tidak menyimbolkan kedalaman apa-apa. Tidak begitu lama Mrs. Bib berpapaan dengan Mr. Bib, pesta kecil selaku mahluk kecil pun berlangsung.  Sakitnya, kisah tragis yang terjadi ketika itu, ulah si pemain sandiwara yang tersesat itu, tidak tau jalan pulang, memutar-mutar di sekeliling perpondokan para Bib Bib yang lain. Mr. dan Mrs. memang sudah mendengar laporan tentang itu, kata si pelapor terdapat seorang pemain sandiwara membawa bunga api yang panjang, tentunya itu dapat membantu memeriahkan pesta kecil malam itu. Namun, anak-anak ketakutan di saat melihat orang itu berjalan tegak dan tidak seperti Bib. Sebagai anggota masyarakat yang terpelajar, Mr. Dan Mrs. memberikan pengarahan kepada masayarakat.
‘’Jangan takut, pemain sandiwara memang berjalan tegak, tidak seperti kita. Kita juga bisa menjadi pemain sandiwara di karnaval esok’’
‘’Tetapi wajahnya dan kostum yang diapakainya Tuan Putri?’’, jawab Bib Wani.
‘’Apakah ada masalah dengan wajah atau kostumnya?’’
‘’Tidak juga, Cuma terliat lebih elegan dari kita’’, sela Mrs. Bib.
‘’Itu wajar saja, mereka para pemain, untuk menghibur kita’’, sambung Mr. Bib sambil berlalu.
Beselang waktu,  berselang letih Mr. Bib menghampiri pemain sandiwara yang terseasat itu dan mengundangnya duduk bersetumpu dengan kaki, Mrs. meminta pesandiwara memainkan kembang apinya, sementara para penikmat menari riuh gemulai sehingga suasana menjadi gemerlap ruap malam itu.
Kembang api itu dipancarkan pemain sandiwara, terbang lurus tepat memeriahi suasan dan mendarat di perut Mr. Bib, Mr. Bib terbahak-bahak dan terjatuh dan ikuti oleh gemercik tawa serta canda semua orang. Seorang anak menghampiri Mr. Bib yang terjatuh, diperhatikan perut Mr. Bib sudah basah, tubuhnya dingin kemudian anak tersebut lari menuju ibunya dan berkata.
’’Bu sampai kapan Mr. Bib tertidur, diakan mempelai laki-laki pada malam ini, kasihan Tuan Putri’’
‘’Dia terlalu banyak minum, tidak ingat bahwa pada hari ini dia sedang dinobatkan menjadi Tuan Muda, ya begitulah jika seseorang yang baru akan menginjak tampuk kuasa, kelakuannya sudah aneh’’
‘’Bu saya mau ke tempat Mr. Bib tidur, mana tahu saya mendapat wejangan dari Mr. Bib’’, anak itu menutup dan berlalu dari ibunya.
‘’Iya, hati-hati sayang’’
Si anak mendatangi kembali Mr. Bib, ternyata tubuh Mr. Bib sudah tidak ada, namun jejak basahnya masih dapat dirasakan di tempat itu.
‘’Apa mungkin Mr. Bib bersama Tuan Putri? Tidak juga Tuan Putri masih menari girang bersama Mbah Lopo, lalu kemana Mr. Bib pergi? Si pemain sandiwara itu juga sudah tidak ada. Ah dasar laki-laki, baru saja bertemu merasa cocok pergi dan menjadi teman, tidak pernah mengingat sedang ada acara penobatan’’, anak itu berbicara sendiri dan kemudian berlari menemui Mrs. Bib, sebab dia tidak suka melihat pemain sandiwra itu berteman dengan Mr. Bib. Mr. Bib orang terpandang di dalam kelompok itu, tidak sepantasnya dan tidak sewajarnya dia berteman terlalu bebas, lalu bagaimana nasib Mrs. Bib, jika kerjaannya suaminya selalu berteman dengan siapa pun. Ya, adat kebiasaan di kelompok itu agak kaku dan tradisional, seorang calon pemimpin harus dikekang apa lagi di saat pernikahan dengan orang terpandang seperti Mrs. Bib, jika diperhatikan Mrs. Bib juga masih keturunan bangsawan yang jarang keluar rumah, dia sengaja dipelihara oleh orang tuanya Mbah Lopo, dia satu-satunya pewaris yang akan melanjutkan Kerajaan Hegemoni waktu itu, siapa lagi? Sebab kelompok itu Ras putih yang hampir punah oleh keganasan alam. Teknologinya juga belum semaju di kota besar, tetapi cara berpikirnya sudah mumpuni.
Anak kecil itu kemudian mendatangi Mbah Lopo dan mengadukan semua keteledoran Mr. Bib, sebagai sesepuh waktu itu Mbah Lopo marah dan mengamuk hingga menghancurkan dinding bambu pesta.
‘’Kurang ajar, dia sudah melecehkan aku dan juga pemain sandiwara itu, awas! aku hancurkan dia!. Anaku ini sengaja kupingit hanya untuk orang baik-baik, bukan untuk dipermainkan seperti ini, Bib kecil! coba kau cari jejaknya di kampung sebelah, mana tau dia melirik perawan lain!’’, perintahnya kepada sang anak.
‘’Baik Mbah!’’, anak itu pun berlari anjing ke kampung sebelah.
Mbah Lopo yang sedang mengamuk sudah sedikit tenang, semua orang termenung dan bertanya keheranan. Tapi tiada seorang pun yang memberanikan diri untuk bertanya termasuk Mrs. Bib, dia paham jika Mbah itu bisa kalap di saat marah, emosinya sedang labil perlu ketenangan untuk beberapa hari.
‘’Bib! Tolongkau ambilkan rantai saktiku di kamar kandang, aku akan pergi dan ingin menyaksikan sendiri apa saja yang dikerjakan Mr. Bib di kampung sebelah!’’
Tanpa berkata Mrs. Bib berlari ke dalam kamar uttuk mengambilkan pesanan Mbah Lopo. Benda ajaib itu tidak terlalu besar tetapi membutuhkan beberapa orang untuk membawanya, Mbah Lopo memerintahkan Bib Gading mengangkatnya, Bib Gading salah satu penduduk yang hadir pada malam itu, dia bertubuh besar. Bib Gadingpun mengangkat dengan sebelah taring dan menyerahkannya kepada Mbah Lopo.
‘’Bib! Pucuk pimpinan aku serahkan sementara padamu, jaga rakyatmu supaya selalu tentram, aku mau pergi mungkin dalam waktu yang cukup lama’’, ucapan Mbah Lopo kepada anaknya.
Kata-kata itu dipahami oleh Si Lidah Terjulur, sambil menelan senyumnya yang lapar dia berkata dalam hati.
‘’Nah, ini ksemapatan bagiku untuk menaikan statusku, aku akan pergi lebih dahulu dari pada Mbah Lopo, aku punya banyak cara untuk mengabulkan keinginanku!’’.
Lidah Terjulur memang sangat dibenci oleh masayarakat ketika itu, berhubung ada pesta dia diperbolehkan hadir oleh Mbah Lopo. Namun, lakahnya selalu diperhatikan oleh Mbah. Untuk mengantisipasi kekacauan, para penduduk tidak boleh berpergian sendiri, kecuali Mbah Lopo yang mempunyai rantai sakti. Sebab Lidah Terjulur badannya memang kecil tapi otaknya dan akalnya panjang, bisa memanfaatkan kesempatan apalagi kesempatan seperti ini.
**
Di kota memang ramai dengan aktivitas hidup, berdagang, berkelahi, politik dan segala macamnya. Semua permainan ada di sana dan semua penduduknya juga bisa bermain sandiwara. Bangunan sangat megah, rapi dan tertata makmur. Sering ditemui penduduknya tertawa renyah tidak seperti perkampungan Bib, di perkampungan Bib peraturan sengaja dibuat untuk tidak tertawa, kalaupun diperbolehkan tertawa, hal itu terjadi hanya di dalam pesta perkawinan, sebab kata Mbah Lopo terlalu banyak tertawa membuat kita lalai, terlalu banyak tertawa membuat kita lengah akan kedatangan musuh. Makanya acara tetawapun sangat sakral bagi perkampungan Bib. Masyarakat di sana sebenarnya rindu tertawa tetapi tabu bagi adat, jika kedapatan penduduk yang melanggar dia akan mendapat hukuman dari Mbah Lopo, dibuang sepanjang adat, dibuang kekampung sebelah, kampung Lidah Terjulur.
Nah, di kota berbeda, adatnya sudah bebas, liberal, kapitalis, sudah banyak orang yang kaya, malahan ada yang mempunyai banyak uang membayar orang untuk berbuat tertawa. Menertawai hukum, orang kecil, keadilan hingga agama. Semua mampu dilakukan dengan oleh orang kota dengan uang. Inilah yang membuat Si Lidah Tejulur berubah menjadi picik, dia sering menyelinap ke kota, kadang bersahabat dengan orang kota, sekali jilatan orang kota akan percaya kepada Lidah Terjulur. Si Lidah Terjulur ingin hidup dan merubah suasana kampung menjadi kota, sudah lama dia memisahkan kelompoknya dari perkampungan Bib, hal itu pun sangat disetujui leh Mbah Lopo, sebab selama ini Si Lidah Terjulur selalu bertindak anarkis dan radikal, karena dia percaya dengan anarkis dan radikal mampu menciptakan revolusi total. Tetapi Mbah Lopo masih menolak cara itu, jika benar rovolusi dilakukan kita hanya akan berpindah masa saja, sementara perlakukan dan sikap terhadap kita akan lebih parah dari biasanya. Mbah belum yakin akan hal itu.
‘’Auh.. kota ini memang indah tapi kosong makna, apa yang bisa dibanggakan dengan hidup seperti ini?’’, Mbah Lopo bicara sendiri. Tetapi masih takut menembus cahaya siang itu, sebab jika jejaknya tercium bisa gawat, sudah melakukan kesalahan, sudah melanggar batas teritorial kawasan, hukuman gantung obatnya.
Sekian lama menunggu datang jugalah malam, tepatnya malam jumat kliwon, Mbah Lopo merangkak lambat menuju pusat kota, suananya mati tetapi keramaian masih terdengar dari dalam dinding, Mbah bingung bagaimana caranya untuk mengetahui berapa saja orang yang hadir di dalam dinding.
‘’Nah, itu ada tangga, mungkin bisa membantuku sementara’’, Mbah Lopo mengambil tangga itu dan didirikan tangga itu tepat mendidindingi tembok. Ekstra hati-hati Mbah Lopo mulai menaiki anak tangga satu persatu.
‘’Duh tinggi sekali pagar yang dibuat orang kota ini, kalau aku jatuh bisa gawat ini’’, umpatnya.
Pada anak tangga ke 10 Mbah Lopo sampai di batas tembok, jantungnya sesak, darahnya naik keubun-ubun.
‘’Begu ganjang! Kurang ajar, memang orang kota tidak belajar adat, tidak beragama, antu balawu, katumbuhan babegu!’’, umpatan itu diluncurkan Mbah Lopo tiba-tiba di saat menyaksikan fenomena di dalam tembok.
Mbah Lopo dendam, sakit hati melihat Bib kecil diperlakukan seperti itu, Bib kecil meraung di saat diganyang oleh Lidah Terjulur, sementara semua orang bertepuk tangan dengan senang, kebiasan biadab orang kota.
‘Si Lidah Terjulur itu, sejak kapan dia di sini lalu Bib kecilku yang malang, miris sekali takdirmu itu, kenapa kau datang ke kota, bukankah kau kusuruh ke kampung sebeleh, ke kampung Lidah Terjulur, kenapa kau ke sini?’’, Mbah Lopo menangis dalam hati dan terus kaku di atas tangga sambil dan matanya tidak penah lepas dari kejadian itu.
‘’Ha..ha..! waktu di perkampungan itu, bolehlah kau  bergembira, sekarang dagingmu akan kusantap habis, ha..ha..’’, ucap Lidah Terjulur penuh semangat.
‘’Dasar tidak berbudi, kau sudah lupa siapa yang menyelamatkan kamu saat berada di mulut Buaya hutan? Mbah aku kan? Tapi kenapa kau balas seperti ini? Lalu siapa orang-orang itu?’’, Bib kecil menangis.
‘’Mereka adalah tuanku semua, mereka senang aku jilati sebentar lagi separoh sentro kota ini menjadi bagian ku, ha..ha’’, Lidah Terjulur kembali menyerang Bib kecil dan diikuti tawa renyah penonton.
‘’Ayo cincang dagingnya....keluarkan ususnya binatang perusak itu..! teriak Wali Kota.
‘’Iya, ayo...cincang, dasar babi kecil....haram...!’’, sambung Ibu Wali Kota.
Tidak lama kemudian Bib kecil tidak berdaya terkapar dengan usus terburai, sebelah kakinya dilumat habis oleh Lidah Terjulur sambil melarikannya ke tepi lapangan. Sesaat itu, penjaga lapangan mengambil tubuh Bib yang sudah tidak bernyawaw dan berkata.
‘’Malam ini kita membuat babi panggang yang enak!’’.
Di sudut tembok itu, sosok Mbah Lopo kekekringan air mata, dia turun perlahan dari tangga, sisa langkahnya terus diserert menunju perkampungan Bib, entahlah, sesekali dia berhenti duduk menagis kembali, terus berjalan kembali berhenti kembali, begitulah seterusnya sehingga sampai di perkampungan.
**
Pagi itu salah seorang penduduk menemukan tubuh Mbah Lopo tidak berdaya, para penduduk behamburan keluar, menggotong tubuh itu ke rumah Tuan Putri. Selama Mbah pingsan semua orang saling bertatapan dan heran apa saja yang terjadi dengan Mbah yang sakti ini.
‘’Usss. Mabh batuk, berarti dia sudah sadar!’’, salah seorang dari mereka memecahkan suasana.
Mbah angkat bicara.
‘’Kita telah di tipu,  Kota Telah dibohongi!, diperdaya, dihianiti!’’.
Siapa yang berbuat seperti itu Mbah?’’, tanga Mr. Bib memburu.
‘’Lidah Terjulur! Bib Kecil sudah dipanggang, Wali Kota itu sedang pesta, Lidah Terjulur memakan kaki kanan Bib Kecil!’’
‘’Oh..tuhan ...malang benar nasib Bib kecil’’, semua orang meraung.
‘’Di kota! Ya di kota! Ke kota!’’, suara Mbah Polo terpuus.
‘’Ayo semua, kumpulkan perbekalan dan persenjataan kita, Mbah sedang sekarat, kita diperintahkan untuk merebut kembali hak kita yang sudah dikapling!’’, perintah Mrs. Bib.
‘’Kembalikan Bib kecil!’’
‘’Gantung lidah terjulur!’’
‘’Hancurkan Kota!’’
‘’Pangkas habis Liberalisme!’’
‘’Kapitalis!’’
‘’Neo imprealisme!’’
Semua orang berteriak dengan semangat berkobar.
‘’Tunggu dulu! Jangan tergesa-gesa, tunggu dulu hingga jumaat kliwon, biarkan mereka terlelap dulu, biarkan mereka menyelesaikan pesta itu!’’, sanggah Mbah Lopo.
Meskipun Mbah Lopo melarang serangan itu, para penduduk tidak sabar untuk membalas dendam tetap mempersiapkan penyerangan, sebagian termotivasi oleh kesenangan kota, harta, jabatan, kekayaan, wanita cantik, kursi, wali, kota.
‘’Aduh senangnya!’’, ungkap salah seorang penduduk.
Semua pasukan dan senjata lengkap sudah dipersiapkan, Mr. Elephan mngasah taringnya, Pak Bateg juga tidak ketinggalan, tenaganya kuat. Semua cula sudah dikasih racun mematikan. Tinggal menunggu kata, ‘’serang!’’.
‘’Semua sudah siap Tuan Putri!’’, lapor komandan perang.
‘’Laksanakan!’’, perintahpun jatuh dari tuan putri.
Serang!
Dengan farmasi kalajengking, pasukan pun berlarian menuju kota.
‘’Bib! Kamu bawa kalungku ini!’’, pesan Mbah Lopo sambil menyerahkan kalungnya kepada Mrs. Bib.
Suasana ketika itu sangat mengaharu biru, setelah pasukan sampai di perbatasan pada jumaat kliwon, tembok kota diruntuhkan oleh semangat pasukan Bib, di kota masing-masing pahlawan menyebar dan memangsa apa saja yang ditemui, ke rumah wali kota, kantor polisi, pemuka adat, pemuka agama, intelektual, peradilan, penjara. Semenatara Mrs. Bib menuju rumah wali kota dan menemukan Lidah Terjulur sedang menjilat kaki Wali Kota. Tanpa menunggu waktu Mrs. Bib pun menyerang Wali Kota lari tunggang langgang, Lidah Terjulur senyum picik atas kedatangan Mr. Bib.
‘’Langkahi jasadku dulu! baru kau dapatkan jasad tuanku!’’, ungkap Lidah Terjulur dengan sombong. Tanpa menunggu waktu terjadilah perkelahian itu, saling memukul, menggigit sehingga Lidah Terjulur terkapar kehabisan darah. Sesaat setelah itu terdengar teriakan.
‘’Wali Kota menyerah!’’
Mrs. Bib keluar dari pekarangan Wali Kota dan bicara kepada pasukannya, sementara sebagian yang lain membebaskan tawanan yang terdiri dari para Bib Bib pekerja.
‘’Mulai saat ini kita berjalan dengan dua kaki, itu aturan tidak boleh dilanggar! Mari kita bangun kota ini!’’, tutup Mrs. Bib.
Seminggu setelah penaklukan Kota Babi, berita itu meluas ke kota Rusa, Kota Srigala, dan menyebarlah virus babi itu kemana-mana.

*Pinggiran Malam, 10-06-09

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987