Selasa, 28 Oktober 2008

DANAU BUATAN


Oleh. M. Yunis

Laki-laki itu masih sibuk menghitung-hitung andai-andai hari, sesekali dia lemparkan kerikil runcing itu ke tengah danau buatan itu. Dia mengharapkan danau itu mengeluh atas kekesalan yang sedang menerpanya. Sepintas lalu laki-laki itu kelihatan gila atau mungkin sedang stres berat akbibat kebiadaban hidup. Bukan! Bukan itu yang mau dia ungkapkan, dia hanya ingin menulis sebuah kisah, ya kisah yang mencereritakan awal dunia dimulai hingga berakhir di ujung sangkakala. Ya ! kisah itu baru saja dimulainya, tapi dia bingung akhir dari cerita itu seperti apa. Apakah tokoh utama harus mengalahkan semua musuhnya atau mengalah sama sekali gagal dalam kekalahan? Dia tidak mampu menjawab gamblang duri-duri tanya yang menusuk batinnya itu. Dia tahu sebentar lagi dunia ini akan berakhir, hancur lebur seperti yang digambarkan Al kitab, tapi dia ingin menelusuri kehancuran itu secara terang-terangan, agar insan lain dapat melihat bagaimana kehancuran itu sebenarnya.
Saat dia pertama kali datang ke kota besar, itu karena jemu bernapas di lingkungan tradisi yang fakum dari kebenaran. Ketika dia berbuat suatu yang dianggap salah, masa lalu moyangnya diungkit dan dipreteli sedimikian rupa, satu kalimat yang masih dia ingat, ‘’kamu anak PKI!’’. Lingkungannya menganggap hala itu adalah hukum masyarakat yang harus berlaku turun-temurun di kampungnya itu, dia gerah diperlakukan seperti hewan yang tidak punya hak bernapas. Ketika dia disakiti sedemikian rupa, orang menganggap hukum alam yang wajar dia terima karena telah mewarisi dosa masa lalu. Padahal dia sendiri tidak pernah tahu wujud dosa warisan itu seperti apa. Satu-satunya pilihan yang tepat sekaligus terberat baginya adalah pergi meninggalkan negri tradisi itu dengan mencecerkan dosa-dosa itu di sepanjang perjalanan, tanpa sepengetahuannya ceceran itu dipungut oleh penjarah-penjarah hak asasi manusia, katanya dosa itu perlu dipertahankan agar persatuan dan kesatuan tetap utuh dan terjaga. Kemudian mereka itu bersentuhan dengan cerita binatangisme, wujudnya pun berubah menjadi ada, berkaki bertangan dan lengkap selayaknya seorang manusia asli. Agaknya wujud tiada itu pun hijrah meninggalkan tempat yang dihinggapi, ya! Ke kota besar melawan dunia orang, begitulah impian pagi mereka. Di suatu masa lain dosa yang mulai berwujud ada itu mampu memanjat tiang yang sangat agung yaitu 5 falsafah dasar negara, kemudian menyebar ke seluruh nadi-nadi yang masih berdenyut. Sepak terjangnya ganas, wajar setelah sekian lama terkukung dalam koloni pinggiran, telah dipisahkan dari haknya, dia pun menghisap darah para nelayan, petani hingga pegusaha. Tidak lama setelah masa itu kabar pun tersiar ke seluruh negri, tetapi dia hanya menjawab ‘’kami mencari keadilan bagi diri kami!’’.
Lalu nasib pun mempertemukan mereka kembali, dosa yang dulu tercecer kini telah berwujud ada menghadang pengembaraan laki-laki itu kembali. Layaknya sudah menjadi keharusan dengan laki untuk menuai ketidak beruntungan jika hidup sezaman itu, laki-laki itu berusha menentang, melawan kepongahan yang diciptakan yang kini binatangisme, namun sayangnya dia agak terlambat, sebab tembok penghalang lebih tinggi dan lebih kuat dari tembok berlin ataupun tembok besar Zulkarnain.
Kini si laki-laki berada di tepi danau itu, dia masih saja hanyut dalam perencanaan muluk-muluk, sedikit menyesalan menyeruak dari dalam dirinya telah mencecrkan doas itu di perjalanan, seharusnya dia mengubur di neraka terdalam di alam barzah. Namun niat itu urung dilakukannya, dengan harapan dosa itu menemukan pemilik sejarahnya yang masih hidup di zaman itu, tapi sat itu dia terlalu letih hingga dia pun tidak menyadari kefatalan yang ditimbulkan kemudian hari, sebuah kesalahan tanpa ditakdirkan oleh siapapun bahkan tanpa ditulis oleh kalamullah. Sesaat kemudian dari arah yang berlawanan sepoi angin menepuk pundak laki-laki itu yang memang sudah dua hari tidak bersuci. Dia pun menderu seiring berlalunya angin barat itu, dia berusaha mengejar laju angin tersebut, seperti kuda pacuan terkadang tersungkur, bangun dan tersungkur lagi. Entah angin mau mendengar berita yang dia kabarkan, tetapi dia tetap mulai memancing pembicaraan dengan sebuah kisah nun jauh di ujung sana.
‘’Dulu masa kejayaan Raja Amenhotep ke IX, mempunyai seorang putra mahkota yang akan mengantikannya memerintah sebagai Firaun. Tetapi putra mahkota itu sedikit berbeda haluan dengan raja, dia tidak mau menyembah tuhan yang dibuat Raja yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Raja murka, tapi tidak bisa berbuat banyak terhadap tindakan putra mahkota yang menyimpang itu, kelak putra mahkota itu di juluki Zulkarnain. Di saat Putra Mahkota itu bimbang, dia selalu menghadap temannya yang bernama Moses dan menceritakan semua apa yang tertanam dalam hati. Sementara Moses sendiri tidak bisa terang-terangan mengatakan bahwa yang menjadi sumber kebimbangan itu adalah keyakinan atas pencipta jagat raya. Tidak lama setelah itu Moses pun dimusuhi oleh Amenhotep IX dan terjadilah perang besar yang menenggelamkan Amenhotep IX di laut merah setelah Moses meminta tuhannya menurunkan Tsunami.
Putra Mahkota itu bertambah linglung setelah kehilangan sahabat sejatinya Moses, dia melanjutkan usahanya mencari tuhan didambakan. Suatu hari dia bertemu matahari dan mengejar matahari itu hingga ke tempat peristirahatannya, di sana dia menemukan tuhan yang ada dalam dirinya lebih mirip tuhan Ibrahim dan tuhannya Muhammad. Tapi masa itu belum ada seorangpun yang mengakui keberadaan tuhan yang dia temukan, kecuali istrinya Ratu Arfiniti. Bahkan Firaun sendiri berusaha membuat pagoda yang maha tinggi untuk menuntut tuhan yang ditemukan anaknya. Usaha itu sia-sia belaka, pagoda itu luluh lantak ditelan sejarah masa lalu. Sementara Putra Mahkota itu lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan hingga ke negri Cina, dia tidak sedikitpin cemas terhadap nasib yang akan menimpa tuhannya, orang seperti Firaun tidak akan sanggup menyentuh tuhan yang dia temukan. Firaun menganggap tuhan Zulkarnain itu sebagai oposisi yang berbahaya dalam dunia ketuhanan.
Setelah menembus negri Cina, hawa kebangsawanannya tidak lepas begitu saja. Kebetulan pada masa itu Cina sedang dilanda ancaman besar, semua penduduk takut akan kebringasan bangsa Yajud dan Ma’jud. Sejarah mengatakan kedua bangsa ini melebihi kaum kanibal, telinganya panjang merah, postur tubuhnya pendek. Kedua bangsa itu akan mengahncurkan apa saja yang dia temukan, danau yang cukup luas akan kekeringan apabila diminum oleh satu rombongan saja sehingga rombongan kedua mengatakan, ‘’danau ini dulu masih ada airnya tapi kini sudah kering, sungguhnya telah terlalu lama kami dikurung dalam lembah itu!’’. Padahal air danau itu baru saja kering diminum oleh teman-temannya yang datang lebih dulu.
Ketakutan penduduk cina memuncak setelah dua bangsa itu berusaha memanjat tebing-tebing tinggi di lembah, keberadaan Putra Mahjota Firaun pun tercium oleh kaisar Cina. Tanpa menunggu waktu lama, kisar meminta Zulkarnain membuatkan tembok penghalang bagi kedua bangsa itu dan tentunya untuk melindungi negri dari keganasan bangsa kanibal tersebut. Pinta itu dikabulkan oleh Zulkarnain, besi dan tembaga ditempa menjadi sebuah tembok panjang yang mengelilingi negri cina, tembok itu kemudian dinamakan dengan tembok besar Cina. Atas jasa-jasa itu Zulkainan duduk sebagai kaisar dinasti Han. Dia mengatakan tembok itu tidak akan runtuh setelah datangnya kabut asap dari langit dan terlepasnya Dajjal dari belenggu yang maha agung, kekuatan tembok itu adalah rahmat dari Rabnya. Kemudian generasi Muhammad mengetahui berita tersebut hingga diperintahkan Al kitab, menuntut ilmu sampai kenegri cina’’.
Sekarang aku bertanya padamu wahai angin, kenapa harus kenegri cina? Apakah Zulkarnain membawa tuhannya ke negri Cina sehingga Cina dijadikan kiblat ilmu pengetahuan? Tidak, aku tahu tuhan tidak ikut bersamanya ke negri cina, tuhan masih ada di dalam dirinya dan di dalam diri siapa saja, tuhan tidak pernah keluar untuk sesuatu apapun, tuhan hanya cukup menyebutnya ‘KUN’’.
Angin kenapa engkau diam saja, tidakah kau mendengarkan ceritaku? Aku mencari tuhan persis seperti yang dilakukan Zulkarnain. Aku telah ditinggalkan tuhan, hatiku membatu telah dikutuk oleh ibu Malin Kundang? Aku tahu itu hanya ada di dalam cerita untuk menakut-nakuti anak-anak kecil di kampungku, tapi sekaranng aku takut, aku tida punya tempat untuk segalanya. Aku berusaha berteman dengamu tapi kamu terus saja berlalu, aku letih’’. Laki-laki itupun terhempas di pinggir sungai yang direnanginya sejak dari hulu, untung saja dia tidak berakhir di muara itu, bisa-bisa dia kembali ke lautan yang tidak bertepi itu.
Setelah berkisah panjang lebar pada angin yang baru saja menerpa jiwa lugunya, dia tetap tidak beranjak dari kebekuannya semula. Laki-laki tetap memilih duduk di pelataran parkir kampus Universitas Indonesia, entah apa yang dia pikirkan, tapi yang jelas dia membawa buku tulis yang cukup kusam. Dia membalik perlembar buku itu, mungkin sedang menulis catatan hariannya, kukira penafsiran itu sangat cocok baginya, sebab wajah yang kelihatan tua gersang diterpa terik mentari mengejawantahkan sejuta penderitaan. Bisa ditebak umurnya baru kira-kira 22 tahun lebih sedikit. Tapi kelakuannya aneh, apa yang dia perbuat di tepi danau buatan itu? lipatan kerut wajah itu memperjelas bahwa dia sedang meramal sesuatu atau mungkin meramal masa depan. Apakah dia salah satu mahasisawa di sini? Lalu apa yang dia lakukan di saat mahasiswa lain sedang meinmba ilmu di dalam kelas? Ku perhatikan dia hanya terus menulis sambil memandang sayu alam sekitar. Badannya sungguh tidak terawat, padahal kalau dia tahu dia adalah laki-laki yang cukup gagah, dadanya yang datar itu bisa membidang seprti laki-laki kebanyakan jika dia mau sedikit menyayanginya. Dia memang tidak menyadari dari jarak 100 meter ada seorang perempuan yang juga kusam sedang memperhatikannya, perempuan itu adalah aku.
Aku pun menghampirinya dan memberanikan diri untuk menyapanya.
‘’Maaf mas kalau aku mengganggu perenungannya!’’.
‘’Boleh saja!’’
‘’Aku tidak ikut campur urusan mas, tapi sedari tadi ku perhatikan mas kehilangan sesuatu!’’
‘’Bukan sesuatu, tapi aku banyak hal, hal yang unggap suci, kisah yang kupandang agung, kini hilang ditelan bayangan’’.
‘’Tapi perlu mas tahu, bayangan akan ada jika kita ada. Sementara mas sendiri belum ada, bagi saya mas adalah bayangan masa lalu’’.
‘’Aku sengaja menenggelamkan diriku ke dalam masa yang lalu, dengan harapan aku bisa merekontruksi wajah-wajah’’.
‘’Tapi kita tidak perlu menceritakan kisah untuk membohongi orang lain, angin barat tadi telah berusaha menyebarkan isu yang baru saja diciptakan’’.
‘’Aku tidak menciptakannya, tapi aku berusaha memberi tahu, karena diantara jenisku tiada lagi yang tahu kisah itu, bagimu kisah itu terlalu usang karena terjadi sudah ribuan tahun, tapi bagiku cerita itu baru dan baru saja terjadi sekarang, hanya saja Putra Mahkota tidak bernasib sama dengan kisah itu’’.
‘’Dia tidak mencari tuhan baru?’’
‘’Putra mahkota itu adalah aku’’.
Kami terdiam seribu satu bahasa dan terhunus ke dalam kenangan masa silam. Aku sendiri berusaha merenangi kisah yang dia ceritakan, apa saja yang dilaklukan Zulkarnain sehingga tokoh itu terlalu bermakna baginya? Siapa tuhan yang dia maksud? Tapi aku sangat menghargai jerih payahnya itu. Dulu sebelum aku menjadi seperti ini, aku hanya gadis ladang yang juga sering menerawang seperti dia. Aku beruntung, saat itu paman yang berekja di ladang mengeloniku pulang ke rumah. Memang sejak tinggal dengan paman 100 parsen hidupku berubah. Aku lebih banyak menyendiri dengan kertas dan pena seperti dia. Saat itu aku sadar, aku hanyalah sebuah cerpen, cerita yang tanpa sengaja tergores dalam kertas putih. Di kala aku menari bersama senja, aku menjadi sorotan sang pujangga, mereka mulai menggores tubuhku dengan ketajaman pena-pena batin, mereka pula yang menggrayangi harga diri tanpa busana perlindungan. Ya aku bukannya tidak meronta, dan bukan pula tidak menolak saat aku diperlakukan seperti itu, tapi aku sendiri telah terlanjur ditelanjangi oleh pikiran-pikiran dunia sebelum diriku benar-benar ditampilkan seperti itu. Semula aku mulai dirangkai dalam bentuk bingkai, tetapi merekalah yang memaksakan diri untuk hidup di bawah kukungan pena-pena adi kuasa. Mereka bertahan dengan goresan kalam, kalaupun itu mendapat tempat di hati penikmat koran-koran kehidupan barulah aku berjaya, walau harus mengorbankan harga diriku sendiri tentunya.
Saat aku menari bersama ombak, akulah yang paling berkuasa di pinggiran pantai, aku jugalah yang paling baik, hanya saja terkadang aku jenuh dan aku rayapi semua tanah tepian, kemudian para pujangga juga menulis sepak terjangku, dimulai saat dari mana datangku, penyebab kedatanganku, kepergianku dengan sejumlah korban hingga bekas-bekas yang aku tinggalkan. Pujangga tetap saja menelanjangi diriku tak obahnya saat aku menjelma menjadi sebuah cerpen. Akhirnya aku memang benar-benar tercatat hanya di dalam cerpen-cerpen.
Lalu aku bersiul bersama burung camar, aku pun menulis diriku sendiri karena aku sebuah cerpen, tetapi yang kutulis bukanlah kepintaran burung camar bersiul, melainkan ketertarikan hatiku kepada dunia lain yang ada di sekeliling burung camar, bagiku burung camar hanya bersiul saat lingkungan sudah mulai berubah. Tenggelamnya transpormas, Iwan Fals menulis siulan burung camar dalam lirik lagunya, aku bukanlah Iwan Fals, karena aku tidak bisa menulis sebuah lagu pun, aku takut akan menjadi dendangan orang-orang yang putus asa akan ketidakadilan. Biarlah aku di dalam sejarah cerpen agar aku selalu tercatat dan bukan didendangkan seperti itu. Tapi anehnya saat aku tercatat, aku disayembarakan, pujangga-pujangga itu kembali menerima keuntungan, bagiku tiada masalah karena pujangga itu aku ada dan dilahirkan, pujangga seharusnya menyadari bahwa dia diadakan oleh sesuatu yang ada sendiri bukan diadakan seperti yang dia lakukan itu.
Aku nmuak, lalau aku merantau ke dunia syair, tubuhku dicincang oleh bait-bait puisi, ada yang mengatasnamakan dirinya kemiskinan, ada yang menyebutnya ketidakadilan, ada yang menyerupai pahlawan, dan ada pula yang membayangi kebajikan yang seharusnya atau menjadikan dirinya sebuah perjuangan idelisme. Ya!..hanya itulah samurai beracun yang terbuat dari kata-kata, memedihkan, bahkan menyayat tapi tidak mampu menghapuskan bekas yang ditinggalkan, mereka juga menyebutnya bekas kemelaratan atau bekas kehidupan alam fana. Lalu generasi ke 7 akan mengais rezki di antara puing-puing yang berasal dari dunia bekas, segala macam kehinaan bersatu padu di dalamnya, segala kenistaan menjadi semangat naluriah setiap insan-insan yang sementara singgah. Kemudian generasi ke 7 berkata, kenapa nenek moyang kami memakan habis tanah kami berpijak, sehingga kami terpaksa membuat rumah di atas angin, saat datang badai, rumah dan anak-anak kami diterbangkan bersama puting beliung. Kenapa pula sejarah kami sesat dari jalannya sehingga garis takdir kami terpaksa diukir dengan kanvas kemunafikan. Kenapa pula khalifah kami menggadaikan harga diri kami terhadap hawa nafsu sehingga tuhan kami tidak lagi berharga di mata kami. Tiada yang menyangka hatiku seperih ini, pusaka samawi diinjak-injak oleh pemiliknya sendiri, batinku tertahan di saat bangsa ini melebihi kanibalnya Yajud dan M’jud. Lalu mereka masih sanggup mengucapkan takdir jatuh dari langit, padahal tuhan telah dibunuh oleh diri mereka sendiri, tahta-tahta-Nya dirampas habis, para malaikat diberhentikan dari jabatannya, iblis dibebas tugaskan, Adam dan Muhammad disingkirkan, lalu para jin dijadikan penasehat disaat mereka menduduki kursi ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian tuhan juga membuat dunianya sendiri dengan kata ‘KUN FAYAKUN!’, ciptakan alam baru tanpa mahluk manusia. Kiranya tuhan tobat melukis takdir yang sama, takut lahir kembali tuan Tuhan yang memusuhinya.
Memang sengaja aku ukir beberapa kisah yang tidak akan pernah terungkap oleh para pujangga, tidak bisa dimaknai oleh penyair, tidak bisa pula diganyang oleh para penulis dengan lidah artikel atau opini harian. Aku sendiri merasakan kehadiaranku di dalam cerita itu, sempat aku berpikir apakah aku memang benar-benar ada atau ada tapi ditiadakan oleh penduduk se zaman? Aku juga bisa menggambar kesombongan yang harus ditaklukan dengan kesombongan model baru, lalu kosombongan model baru juga dikalahan oleh kesombongan model baru. Kemudian aku menciptakan lingkaran setan yang aku sendiri terjebak di dalamnya, aku telah melayang di laut tak bertuan, mengawang di langit tiada ujung, mengambang di alam entah berantah. Aku bertanya, adakah aku memang benar-benar ada? Atau hanya sekedar ilusi yang ditakwilkan oleh mimpi-mimpi? Kenapa aku bermimpi sementara aku sendiri tidak ada, aku sama sekali samar di dalam kenangan yang aku sendiri ragukan keberadaannya.
Itulah aku, aku yang kuciptakan sendiri dengan tangan-tangan ini tanpa sepengatahun bapak ibuku. Sebab ibuku bertengkar dengan bapak hanya karena aku adalah anak mereka. Bapakku bilang aku anak bapak, tapi ibuku bilang aku adalah anak ibuku, tapi aku menyebut diriku adalah anak alam. Aku diadakan oleh alam dalam kefanaan, saat sipenyair besar memanggilku aku akan mengahadap untuk selamanya hingga ke tiang Arasy sekalipun. Sementara laki-laki baru saja disesatkan oleh alam imajinasinya, keinginan yang tidak tercapai atau mimpi yang tertunda untuk selamanya bersatu simpul di dalam benaknya. Wajar saja dia disebut gila oleh siapa saja yang mau menoleh ke tepi danau itu. Laki-laki itu terus sibuk mengacak-acak takdir masa depan, tiada tawa yang menyelingi kesebdiriannya, perdebatan hingga siang itu beranjak menuju senja, senja berlalu mengususng malam, malam pergi menuai pagi dan malam saling menyalahkan mencari. Mereka mencari para tuhan untuk diadili.
Seminggu kemudian Anita kembali bertemu dengan laki-laki aneh itu, dia masih sendiri dan selalu akan sendiri selamanya, di tepi danau. Anita merasa risih saat melihat lelaki itu, bagaimana tidak setiap kali bertemu dia selalu berkisah tentang perjalanannya yang panjang, Anita kalut dan terbawa arus yang dia ciptakan, sudah berkali-kali Anita mencoba untuk tidak peduli tapi apalah daya, belaskasihan yang mendalam mengusungnya kembali menghampiri penunggu danau itu.
‘’Terkadang aku heran melihat permainan yang kau mainkan, sesekali kau tidak ku acuihkan, tapi apalah dayaku!’’, tegur Anita.
Lelaki itu tersenyum simpul dan melempar pandangannya ketengah danau.
‘’Kau jangan salahkan aku, aku selalu di sini menunggu malam, rumahku di sini! Salahmu sendiri memilih jalan ini untuk berpergian!’’.
Anita sadar, masih ada jalan selain jalan ditepi danau itu, tapi kenapa dia tidak melewati jalan lain tersebut. Anita sendiri binging dengan mafnet yang selalu menariknya ketepi danau itu, Anita merasa bodoh saat lelaki itu melontarkan kata-katanya, tapi Anita telah berusaha untuk tidak bertemu dengannya.
‘’Kamu berasal dari mana? Apa berita yang membuatmu samap[i di danau ini?’’
‘’Awalnya aku ingin ke tengah danau itu, ingin mendirikan istana di atas air, tapi danau ini terlalu kotor sekotor politikus negara, airnya kumuh sekumuh jiwa mereka yang menghisap keringat rakyat, akhirmnya aku duduk di sini!’’.
‘’Aku bisa membantumu membangun istana itu!’’.
‘’Tidak perlu, engkau seorang wanita yang masih butuh pengetahuan untuk menaklukan dirimu, belajarlah lebih banyak dari yang kau kira!’’
‘’Kenapa tidak engkau saja yanbg mengajari aku?’’
‘’Aku? Aku orang gila, tidak waras seperti kata hatimu itu, kamu jangan coba-coba menjebak aku, aku tidak akan meninggalkan danau ini!’’
Anita melempar mukanya kelangit biru, dia sadar telah dipermalukan dengan membaca isi hatinya, ‘’kenapa dia bisa tahu apa yang kusimpan jauh, apakah dia seorang utusan, ah itu tidak masuk akal, dia hanya seorang laki-laki yang kemaren kutemui menyendiri di sini’’.
‘’Engkau diam, berlagak tahu akan kejadian setelah ini’’, sambung laki-laki itu.
‘’Aku tidak menginginkan kamu gila!’’, pintas Aanita.
‘’Sekarang dengarkan kisahku!’’, laki-laki itu kembali bercerita tentang Ibu, sementara Anita memaksakan diri menampung keluh kesah yang dia gambarkan.
‘’Saat kedatanganku pertama kali ke kota ini, aku kepalang takjub. Bagaimana tidak, di sekelilingku berdiri gedung-gedung pencakar langit siap menyambut apa saja datang dari atas, kekokohannya laksana menggapai tuhan di tiang Arasy. Aku berdiri hormat memuji kekuasaan tangan-tangan lihai yang menciptakan ini. Entah berapa uang yang dihabiskan hingga pencakar langit ini berbentuk sedemikian rupa. Jutaan atau mungkin triliunan rupiah. Saking takjupnya, aku tidak merasakan bus yang kutumpangi sudah tiga kali melewati jalan yang sama. Tapi aku yakin tidak mungkin tersesat, sebab Kota Jakarta yang kukenal dari kejauhan itu besar, sudah sewajarnya rute yang ditempuh bus ini cukup jauh. Lagi pula belum ada terlihat tanda-tanda bahwa bus sudah melewati jalan Salemba Raya no 45. Tiba-tiba aku dikejutkan suara melengking hancur membawakan lagu ‘Jakarta’, aku tidak persis ingat siapa pencipta lagu itu, yang jelas nyanyian itu dibawakan oleh orang yang tak selayaknya bernyanyi, jika mau si penyanyi lebih pas menjadi buruh angkat di pelabuhan Tanjung Periuk, namun kata-kataku itu tidak wajar bila fasifkan. Kuanggap saja si penyanyi tidak berdosa, berjuang untuk hidup di tengah-tengah keganasan arus globalisasi lebih tepat untuknya.
Sudah sekian menit berlalu, si penyanyi mengakhiri nyanyiannya dengan kata asalamualikum yang kasar, tanpa menunggu tepuk tangan pun dia sudah terlanjur mengeluarkan kantong plastik bekas permen dari kantong celana depan, baginya kantong itu tidak hanya sekedar kantong permen biasa, kantong itu adalah tempat menampung rezki dari para hamba tuhan dimana saja yang dia inginkan. Secepat hebusan nafas secapat itu pula dia memalui tiga penompang baru dari depan, sasaran keempatnya adalah aku yang sedari tadi telah menyiapkan uang recehan lima ratus rupiah. Sesaat kemudian, tampungan kantong itu tepat berada di depan mataku, uang recehan itu langsung tenggelam ke dasar kantong. Hanya satu doaku saat itu, mudah-mudahan si pengamen lebih ramah bernyanyi dan lebih indah, itu yang kuinginkan. Namun, doaku itu disambut dengan lototan menusuk.
‘’Bos! Uang limaratus tidak cukup untuk membeli rokok ketengan!’’.
‘’Apakah suatu kewajiban mengasih lebih dari itu?’’, jawabku.
‘’Kalau ga punya uang jangan datang ke Jakarta!’’.
Emosiku mulai tersentuh saat mencerna kata-kata itu, mengamen koq maksa, dia pikir ini tanah nenek moyangnya, sampai-sampai aku dilarang ke Jakarta.
‘’Maaf bos! Jangan memaksa, uangku hanya segitu!’’, aku melotot lebih keras dari lototannya kepadaku.
‘’Kampungan!’’, pengamen itu berlalu di hadapanku.
Memang aku orang kampung, tapi bukan berarti aku suka dipaksa, apa lagi niatku seikhlas mungkin. Begitulah pengamen yang kujumpai di saat pertama kali bersentuhan dengan kota ini. Ternyata knek bus telah memperhatikan gerak geriku, mungkin juga dia melihatku seperti orang kampungan.
‘’Bang turun dimana? Bus ini sudah tiga kali berputar-putar, memangnya abang mau kemana?’’, sapanya agak ramah.
‘’Aku mau turun di jalan Salemba Raya Bang! Tapi belum kelihatan tanda-tanda jalan tersebut!’’, timpalku.
‘’Kalau Abang mau ke jalan Salemba Raya, Abang harus sambung angkot 2 kali lagi, bus ini hanya mengambil rute dari Pulau Gadung-Tanah Abang-ragunan!’’, jelasnya.
Massa Allah! Aku pikun, kenapa aku tidak menanyakan kepada knek itu terlebih dahulu, aku jelas tersesat.
‘’Abang turun di sini saja, di sini namanya jalan Gatot Subroto, Abang naik bus kota 112 arah Ragunan’’, ucapannya memotong penyesalanku.
Wajahku memerah redam seketika di saat sopir menghentikan kemudinya, aku pun turun dengan langkah serat-serat tidak pasti.
‘’Apakah saya bisa sampai di jalan Salemba Raya Bang?’’, tanyaku untuk terakhir kalinya.
‘’Abang naik saja bus itu, Abang bisa sampai ke tempat tujuan yang Abang inginkan’’, selanya dan bus itu pun melaju.
Tersesat adalah pengalaman pertama bagiku, tapi kini aku sudah berada di tempatku menginap di warung nasi padang Uni Darni, untung saja aku menyimpan nomor henponnya yang kubawa dari kampung, kalau tidak entah apa yang akan terjadi. Setahuku Uni Darni adalah tetangga yang baik, di kampung keluarga kami tinggal bersebelahan pagar. Si Jupri anak laki-lakinya itu sering mengajakku jalan-jalan dengan motor, jadi tidak terlalu aneh jika aku mulai sedikit tahu tentang Kota Jakarta. Untuk kedua kalinya Mingu siang aku pergi diboncengi Jupri ke Taman Mini Indonesia Indah, namun sayangnya kami urung masuk ke dalam, biaya tiket Rp.15.000 per orang membuat kami mundur. Akhirnya, perjalanan itu berakhir di grogol dan sempat pula memutar di Pantai Indah Kapuk dengan harapan kami bisa sampai di daerah pantai. Namun, ternyata apa yang kami cari tidak membuahkan hasil, kami tidak menemukan pantai di sana. Tetapi, Jupri sangat yakin di sana ada pantai, keyakinan Jupri yang tidak berdasar itu membuat aku terkenang kembali saat pertama kali tersesat. Tiba-tiba terbesit dalam ingatakanku untuk mrngajak Jupri pulang.
‘’Sebaiknya kita pulang Jup! Benar di sini memang ada pantainya, tapi itu dulu, sekarang sudah dibuat perumahan!’’.
‘’Dari mana Abang tau?’’, serobotnya.
‘’Aku banyak baca buku tentang geogravi!’’.
Padahal aku sendiri belum pernah melihat buku itu dan mungkin tiada seorang pun yang mau menulisnya.
‘’Kayaknya iya Bang! Di sini sudah tidak ada pantainya!’’, keinginan Jupri ke pantai surut dan kami pun melurusakn niat pulang ke rumah.
Di perjalanan pulang kami tertawa sekenanya, entah siapa menyindir siapa, tapi yang jelas tawa Jupri pecah saat kata-kata terakhirku berhamburan.
‘’Jupri! apabila ada kabar ataupun pamflet yang mencantumkan nama Pantai Indah Kapuk, itu tidak lain adalah perumahan, di belakangnya ada embel-embel indah, bisanya digunakan untuk perumahan, seperti komplek perumahan Kuala Nyiur Indah di Kota Padang dan Cemara indah di Kota Medan, padahal di sana tidak ada pohon cemara, di Kuala Nyiur pun tidak ada nyiur yang melambai seperti yang dibilang penyair itu, yang jelas letaknya persis berdekatan dengan kota. Kata-kata indah, kuala nyiur atau cemara sengaja digunakan untuk menarik perhatian pengontrak atau pengunjug seperti kita, walau kita tidak akan mengiontrak’’, jelasku.
Tawa kami mulai reda di saat motor berhenti di warung kaki lima di pinggiran jalan, dua teh botol mampu menghilangkan dahaga selama 6 jam perjalanan. Memang cukup jauh pertualangan akhir pekan itu, bertepatan menjelang magrib kami pun sampai di warung ibu Jupri. Sebenarnya Jupri tidak persis tahu bahwa kesukaanku jalan-jalan. Kuanggap saja semua perlakuannya itu sebagai penghargaan terhadap orang sekampung yang baru datang. Jupri memang arif aklan hal itu.
Sebagai orang baru di kota, aku tidak betah terlalu lama berdiam diri di rumah. Malam itu aku belum sempat istirahat, tapi keinginanku jalan-jalan kembali terhasrat, malam itu Jajang karyawan Jupri adalah sasaranku. Tiada disangka keinginan itu disambut hangat Jajang, tetapi niat tersebut bisa terwujud setelah jam 10 malam, jam segitu warung Jupri sudah ditutup.
‘’Jang! Rencananya ntar malam kita mau kemana?’’, tanyaku memburu.
‘’Kita kepasar Tanah Abang saja bang, di sana Abang bisa mendapatkan lebih banyak inspirasi bahkan inspirasi yang berwujud cewek cantik juga ada!’’, seloroh Jajang mendahului.
Tepaty jam 10 malam kami mulai menelusuri jalanan malam di sekitar pasar, jalannya sedikit mendaki di sebelah kiri jalan terdapat jurang kehancuran dibumbui stelan hiburan kapitalis. Sesekali teguran penjaja malam mengagetkan langkahku yang sayup-sayup sampai.Tua muda, remaja hingga nenek-nenek ikut meramaikan suasana, namun malam itu semuanya terlihat cantik. Betul kata Jajang, ini dapat menjadi inspirasi tulisanku nanti. Bertepatan di jembatam yang menghubungkan jalan dengan gedung pasar kami berhenti, Jajang tertarik pada seorang cewek remaja yang menepuk pundaknya, akupun berdiri di samping Jajang. Saat itu, kupilih sasaran yang kukira tepat, ya kegiatan di sekelilingku terasa sangat asing, sementara si remaja sibuk bernegosisi dengan Jajang.
‘’Berapa uang dek?’’, Tanya Jajang.
‘’Tujuh puluh lima ribu bang!’’
‘’Mahal benget’’,
‘’Setiap orangkan tarifnya berbeda-beda bang!’’, si remaja tersenyum kecut sambil mempertahankan harja diri. Tapi aku yakin ini adalah jual beli daging mentah, aku sendiri tidak suka mencicipi daging mentah yang satu ini, disamping tidak bersih juga mengandung penyakit. Jangankan daging mentah, daging separoh matang saja perutku sudah mual dan muntah. Tetapi, ribuan mata lelaki di sini sangat keranjingan dengan hidangan malam tersebut. Aku berharap temanku yang satu ini tidak mencicipiya, sebab sedari tadi kuperhatikan mereka terus bernegosiasi hingga jam tanagnku menunjukan pukul 00:01 malam.
‘’Bang! Bagi rikok dong bang!’’, suara perempuan mengejutkan aku. Kulihat di depan mataku sudah berdiri perempuan 21 tahun, kutahu umur segitu cocok baginya yang masih cantik dan imut. Aku terpana sambil memperhatikan sekujur tubuhnya yang semu diterpa lampu remang jembatan. Tatkala aku tersentak, aku mengambilkan sebatang rokok sampoerna dengan tangan ku sendiri.
‘’Ini!’’.
Aku hanya heran, begitu beraninya cewek yang tidak kukenal ini meminta kepadaku. Apakah dia tahu aku suka mengasih? tidak mungkin dia tahu siapa aku, jangankan dia si Jupri saja yang masih satu latar belakang kebudayaan dengaku belum berani mengungkit-ungkit jati diriku. Jupri dengan aku itu berbeda, dia dibesarkan di tengah-tengah kota ini, sementara aku ditempa dam dibesarkan dengan sistem kebudayaan yang unik dan pelik hingga aku menjadi seperti ini adanya. Namun, sekarang semua orang ingin menjual kebudayaanku pada bangsa asing, aku tidak tahan dan tidak punya kuasa, pelarian sementara dari ranah kebudayaan itu adalah jalan terbaik, imbasnya aku datang ke kota ini. Anehnya saat aku berada di sini, di tempatku berdiri di jembatan ini, moral pun laku dijual, kata pamanku negara ini juga telah dijual. Tapi aku belum yakin sebelum menyaksikan langsung, jelasnya kedatanganku ini ingin melihat trnasaksi besar-besaran, walaupun aku harus mengawalinya dengan transaksi daging mentah. Toh aku tidak akan bisa berbuat apa-apa, aku hanya seorang penulis kawakan tanpa lembaga, beruntunglah saat tulisanku diterbitkan masyarakat akan membacanya, kalau tidak? Aku akan terus menulis, entah sampai kapan. Aku terus mengawangi alam bawah sadarku hingga aku hanyut di sungai yang tidak bermuara, tiba-tiba suara gemuruh spontan mendatangi tepian yang kurenangi.
‘’Bang ngamar yuk?’’, sapa perempuan itu ramah.
‘’Ngamar apanya?’’, logatku sekenanya..
Tapi kuperhatikan gerak kinetisnya sepertinya perempuan itu bingung, mungkin dia pikir aku sengaja mengulur waktu agar bisa transaksi murah. Padahal aku sengaja mengelak dari serangan prasangkanya yang membabi buta. Tapi tetap saja suasana itu begitu mencekam bagiku, tanpa memutar tubuh, ujung batinku telah kucampakan sejauh pandangan mataku yang sayu. Wajar aku tidak suka berdiri di ujung jembatan itu, bau amis nanah busuk menghentak-hentak lubang hidungku yang memang ditutupi rambut-rambut kasar. Saking menyengatnya, nikotin asap sampoerna pun kehilangan arti. Aku jijik dan muak, luapan-luapan amarah menekan-nekan tenggorokanku seketika, tapi aku sadar tiada seorang pun yang mau dan mampu menampung luapan amarah yang selalu kujaga itu selain pena dan buku tulis. Aku berpikir, haruskah kubertumpu pada dosa perempuan itu? Dia memang penjual daging mentah, tiada lagi dosa, neraka baginya poster indah kamar remang. Perempuan itu bisa meyumpal perutnya di pagi hari, di saat ada pelanggan di malam gari dan sisanya bisa dibelikan kalung emas atupun henpon genggam.
‘’Rp 50.000 saja bang!’’, perempuan itu menurunkan harga dirinya.
Aku semakin jijik dengan sikap perempuan itu, dia memang tidak tahu berapa harga yang pantas untuk menghargai dirinya. Aku gelisah, hingga menit itupun berlalu aku terus menguimpan dan mengutuk, entah siapa yang harus ku kutuk, aku sendiri pun tidak tahu. Seketika aku dan Jajang lebih memilih menuruni bawah jembatan itu, kami terus mengitari warung remang pinggiran pasar. Sebagai anak kota Jajang punya bnyak kenalan di sana, Jajang mengaku bahwa dia tercatat sebagai Alumni Universitas Malam di sana.
‘’Saya tamat coumlaude lo bang!’’, canda Jajang.
‘’Memangnya kamu tercepat meninggalakan tempat ini, itu maksudmu?’’, tanyaku menutup.
‘’Iya bang, aku takut penyakit. Ada teman lamaku di sini, umurnya sudah kepala 7 masih seperti dulu tapi satusnya berbeda. Dia memang sudah peot tapi kelihaian tangannya itu mampu menghilangkan rasa letih di warung’’, jelas Jajang.
‘’Aku tahu dia berprosesi sebagai tukang urut!’’, aku memahami.
‘’Betul! tapi dulu dia adalah bunga di antara pelanggan, saya pernah bertanya kepada beliau, apakah nenek tidak takut pada dosa? tapi dia hanya tersenyum manis sambil menjawab ‘hidup orang tergandung pada yang di atas’. Sejak saat itu saya tidak berani lagi mengungkit-ungkit tentang hidupnya. Saya juga tahu hidup saya juga dikendalikan oleh yang di atas, kita tinggal menjalaninya saja’’, tutup Jajang.
**
Hampir jam setengan empat pagi kami asyik-asyikan duduk di depan hotel bertingkat dua pinggiran pasar, sesekali ku melihat pasangan keluar masuk dari hotel. Terlalu pekat dunia malam di kota ini, pengamen anak jalanan, dan segala pernak pernik punya dunianya sendiri. Tetapi, perjalanan sehari penuh itu menyisakan catatan sendiri bagiku, aku memang tergolong baru mengenal dunia ini, ku perhatikan Jajang dan temannya si pemilik Hotel masih melampiskan rasa pertemanan yang dulu sempat tertunda. Tiba-tiba mendadak napasku tersendak saat mobil polisi muncul muncul di depanku.
‘’Ya tuhan! Jajang ada polisi jang!’’, mulutku bergetar. Tamatlah riwayatku, tiada lagi masa depan tiada lagi tulisan yang harus kutulis, berurusan dengan mereka sama saja berhadapan dengan singa di hutan belantara, pupuslah sudah harapan yang kubawa dari kampung. Anehnya, Jajang dan si pemilik hotel berlagak seolah-olah tidak akan terjadi apa-apa. Dengan sesungging senyum Jajang menenangkan aku yang sudah dibanjiri kecemasan.
‘’Tenang saja bos!dia hanya minta jatah!’’.
‘’Mereka PM, keamanan di sini!’’, ulas pemilik hotel.
Sipemilik hotel itu langsung mendekatai si pengemudi sembari mengeluarkan sesuatu dari kantong dan memberikan kepada keamanan tersebut. Mobil itu pun berlalu dari hadapan kami. Mungkin si pengemudi itu masih berumur 23 tahunan, lebih muda satu tahun dari aku. Sesegera mungkin kualihkan perhatian agar aku tidak merasa tersindir oleh ejekan Jajang dan temannya itu.
‘’Jang sudah jam 4 pagi, kita pulang saja Jang, besok kamu harus kerja!’’, tegurku.
Setelah bermaitan Jajang pun menuruti keinginnaku untuk pulang, saat itu kami mencari jalan tembus ke rumah, jalan di dalam pasar ternyata lebih dekat dari jalan yang kami lewati di awal tadi. Belum sempat mentari pagi mengetahui endapan kami, jam lima lewat sepuluh menit kami pun tergolek di peristirahatan. Aku merenung, meraung hingga kulutuliskan 2 coretan kisah, kisah si perindu dan si pungguk malam. Memang aku sedikit tertarik dengan dunia itu, tertarik akan awal kisah yang bermula dari sana. Harus kuakui tidak semua penulis punya kenekatan seperti aku, aku kenal dengan Ayu Utami lewat karyanya, di saat berpergian dia paling malas lewat di Tanah Abang atau mungkin karena dia juga seorang perempuan.
Aku tidak begitu lama menghabiskan umur di Tanah Abang, setelah kuketahui tidak diterima di jurnalis, hatiku sedikit musafir hingga kuturuti kemana arah garaknya mengarah. Tepat pada minggu ketiga dalam perantauan, aku menggerayangi lipatan otak. Aku kembali membalik-balik buku tulis peninggalan kuliah dulu, seketika kuingat tentang alamat sesorang yang mungkin bisa menampung sandaran sayapkku yang kuyup. Memang sebelum kupergi jauh, aku tidak pernah lupa mencatat alamat orang yang mengenal kelurgaku di kota yang kutuju, di bukuku terdapat tiga buah alamat yang tertera di bawah tulisanku yang masih tergantung. Memang banyak di antara tulisanklu yang separoh selesai namun sudah empat kali kututup dengan peta masa depan. Aku tidak akan melanjutkan tulisan itu sedini mungkin, yang kubutuhan hanya tempat bermalam walau semalam. Berbekal goresan mendadak tersebut akupun sampai di Rawasari. Kata Ayah di sana tinggal saudaranya yang se ayah. Di sana aku disambut hangat dan bersahabat, kata-kata silahkan duduk memaksa pinggulku terhenyak mantap di sofa biru. Sesaat kemudian tercium aroma intelektual dan pekat ideologi. Bagaimana tidak, dinding rumah yang menampungku terbuat dari buku-buku, entah berapa buku tapi yang jelas buku tersebut susah dicerna oleh orang yang seperti aku, sebab di antara buku-buku adalah karangan penulis terkenal, aku sadar telah sampai ketempat yang tepat.
Aku melirik salah satu buku yang tepat berada di samping kiriku, ya itu buku tafsir Al-Azar Hamka, Agus Salim, Syhrir, Yamin, Sumitro, Abu Jamin Rohan dan ratusan Al-kitab. Aku tahu Bapak yang kupanggil papi itu adalah penganut islam moderen, dialah satu-satunya murid Hamka yang tersisa. Dia juga tidak pernah absen dari seminar dan diskusi bertaraf nasional maupun internasional. Sebab saat hari H, dialah salah satunya orang yang paham materi tentang lintas agama.
Harus ku akui, aku belum mampu memamah dan mencerna isi buku-buku tersebut secara sempurna. Kualihkan saja perhatian pada koran-koran yang teronggok rapi di atas meja. Aku kesal dengan keterbatasan yang kumiliki, kulumat habis setiap koran pagi itu. Sejak itu aku sudah menjadi pembaca koran yang kesal. Dalam suasana baru itu, aku dikejutkan oleh berita yang dibawa Mbak Yulia pembantu rumah, katanya ada demontrasi di jalan raya, selanjutnya akan terjadi penggusuran besar-besran terhadap warung-warung dan toko-toko setengah permanen. Wali kota akan menyulap daerah itu menjadi taman terbuka hijau. Aksi itu berakhir dengan rusuh, kemudian ditutup dengan pembakaran warung-warung dan toko-toko tersebut. Banyak para pedagang terpekik histeris menyaksikan warungnya ludas dilalap si jago merah, tapi apalah daya mereka sebagai kalangan bawah.
Bertepatan menjelang diputuskannya kenaikan harga BBM jumat malam 23 Mai 2008, aku selesaikan mengedit buku papi yang ke 201. Aku putuskan kembali berkelana, tyernyata papi mengizinkan niatku dan akupun pergi dari dunia intelektual itu. Banyak kejadian aneh yang kujumpai di sepanjang perjalananku menuju Bekasi-Surabaya, Surabaya-Bekasi, pemandangan itu tidak begitu asing lagi di mataku. Aksi unjuk rasa hingga huru hara baik dari mahasiswa, LSM maupun masyarakat, dimulai dari demontarsi di jalan, mendatanggi kantor DPRD, mogok beroperasi oleh sopir angkot, hingga pembakaran gambar kartun sang pemimpin. Aksi tersebut disulut oleh isu kenaikan harga BBM. Bebagai kalangan menolak kebijakan tersebut, alasannya dampak dari kenaikan harga BBM sangat berpengaruh bagi masrakat bawah, 43 parsen dari penduduk menolak kenaikan harga BBM, 57 parsen menerima dengan terpaksa, di dalamnya 57 pasen terdapat 3 parsen yang benar-benar menerima kebijakan tersebut.
Memang selama aku masih di tempat saudara ayah aku sering membaca berita-berita isu koran maupun televisi. BBM ditimbun, harga kebutuhan pokok mulai merangkak naik, padahal belum ada kepastian seberapa besar harga BBM dinaikan. Sebagian masyarakat menyambut baik kenaikan harga BBM, pasalnya mereka akan kembali menerima BLT dari pemerintah. Lalu kejadiannya akan lain ketika program tersebut tidak dirasakan oleh seluruh rakyat miskin di Indonesia. Riskannya, data penduduk yang 19,4 juta rumah tanggga miskin yang berhak menerima bantuan kompensasi adalah data program BLT tahun 2005. Padahal masih banyak di antara penduduk miskin yang tidak terdata pada tahun 2005 tersebut, malahan warga yang tidak berhak mendapatkan BLT terdata sebagai penduduk miskin seperti guru dan honorer. Aku berpikir entah berapa korban lagi yang harus bergelimpangan saat harga BBM naikan. Mulai dari korban antrian panjang, korban ketidakadilan, pengangguran hingga korban penghianatan intelektual akan menunggu hari.
Aku mendengar bahwa aksi sepihak tersebut menuai berbagai macam kecaman, emosi nelayan di Muncar banyuwangi dan masyarakat bogor cukup menjadi penanda bahwa masyarakat indonesia tidaklah terlalu bodoh dan mudah terpedaya dengan rayuan uang yang sesaat. Bagi mereka, beban kebutuhan di saat melaut sangat tinggi, uang 300.000 sebulan tidak akan mampu membantu masa depan mereka. Aku salut, meskipun hanya berdemo di sekitar pantai, namun kecerdasan mereka tidaklah kalah dengan orang terpelajar.
Kuperhatikan berbagai macam penolakan tersebut masih bermakna sama bahwa program BLT tidak mencerdaskan masyarakat, malahan dapat memperbodoh masyarakat. Masyarakat hanya bisa nrimo tanpa berusaha. Akibat dari itu masayarakat akan selalu manja. Di sinilah awal terkikisnya perjuangan hidup, hancurnya idealisme. BLT dianggap hanya hiburan sesaat tak obahnya orang tua yang memberikan permen kepada seorang anak, setelah permen habis si anak terpakasa menggigit jari saat melihat anak tetangga terbisa membeli permen sendiri. Aku jadi heran, ternyata sistim tutup mulut sudah direalisasikan hingga ke tingkat akar rumput, nyatanya bantuan instan lebih logis daripada memuja tuhan.
Apa yang bisa aku lakukan? begitu rumitnya penderitaan ibu pertiwi ini, kudengar lagi BUMN potensial akan segara dijual, 39,5 juta jiwa orang miskin mengembara di nusantara ini, 12 juta pengangguran, 30 juta setengah penganguran, lalu 3.000 orang meninggal karena jalan rusak. Begini hebat deritamu ibu hinggga jiwa ini terpanggil untuk menyaksikan penderitaanmu dari jarak paling dekat, dekat dengan hati dan nuraniku. Sebelum kudatang kepadamu teman-temanku pernah bilang aku anak ibu, aku mencintai ibu yang telah melahirkan aku. Namun, tiada yang mampu aku lakukan, maafkan aku ibu, aku hanya seorang penulis tapi kisahmu terlalu panjang. Aku tidak bisa penulis’’.
‘’Terlalu singkat kisah yang kau ceritakan!’’, tutup Anita.
‘’Sore telah datang, sebaiknya kamu pulang, aku harus bekerja!’’, lelaki itu berlalu meninggalkan Anita yang terpana memandang sayu ke matahari terbenam. Dia tahu penderitaan orang kecil, mengais rezeki di tumpukan sampah dan limbah-limbah orang kaya, petani desa yang dilahap habis para tengkulak kota, kota berubah menjadi mesin pembunuh nomor satu, disanalah matilah moral hilanglah etika dan tuhan melepaskan jabatannya sebagai tuhan seiring bermunculannya yuhan-tuhan baru. Tapi dia yakin esok pagi akan kembali setelah melagukan nyanyian hati seusai menarikan tarian jiwa di malam hari.

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987