Selasa, 28 Oktober 2008

SISI LAIN DUNIA


Oleh. M. Yunis

Gemerisik laut-laut senja mecahkan ketenangn pantai, sesat dilalui seorang pengembara dari timur. Penghuninya kurang yakin, entah kenapa sang pengelana itu bisa selamat melewati rimba larangannya itu. Semua makhluk tahu bahwa rimba itu tidak bisa dilalui oleh siapapun yang tersebut bernyawa, aneh dan lebih banyak lagi keanehan yang tercatat dalam sepanjang sejarah hidup manusia. Jutaan abad lalu pernah datang juga manusia aneh dari barat melewati rimba keramat itu, tetapi yang sampai ke seberang hanyalah berita, mungkin dia telah mati terbunuh oleh penghuni-penghuni malam dirimba atau mungkin juga bersahabat dengan malam di sana dan diperbolehkan tinggal untuk beberapa waktu lama, tapi itu hanya perkiraan saja. Ini kali keduanya manusia aneh yang melewatinya dan bahkan sampai ke seberang dalam wujud roh bukan berita seperti kejadian tempo silam.
Atau munculnya berita yang berwujud jasad itu keturunan dari manusia aneh yang datang dari jutaan abad yang lalu, hanya saja waktu ini kesempatan baginya melihat tepian pulau, dia berkata ‘’akulah wakil tuhan di tanah ini, aku dianugrahi pengetahuan yang luas akan kuajarkan kepada umat-umatku nanti!’’ tetapi dia sendiri bingung, siapa yang akan menerima ajaran dan anjurannya yang bernada angkuh itu, apakah manusia-manusia hyperealis akan mendengarkannya? Apa yang dia pikirkan sesungguhnya, bukankah dunia baru yang akan dihadang, layaknya sama seperti dalam pikirannya yang bulat dan penuh dengan rimba larangan, aneh dan hanya satu tuhan seperti dirinya saja.
Namun, sudah hampir satu tahun dia hanya mampu berputar-putar di hanya tepian saja, sebab belum juga jatuh titah dari sang raja penguasa siang dan penjaga malam, pemilik waktu dengan ruang, pembuat takdir hingga masa depan, itulah yang dia tunggu-tunggu, perintah untuk menyebrang samudra mimpi-mimpi yang akan dia taklukan. Ia yakin dengan bekal yang dibawa akan meluluh lantakan bayangan-bayangan masa depan. Pas sembilan masa kejayaan dia lalui, dengan kesabaran menunggu dan terus menunggu, tanpa dapat melakukan permintaan dan harapan-harapan, dia yakin tidak ada lagi yang akan dipinta, semua sudah ada keculi satu dia adalah izin penyebrangan, yakin hanya itu saja. Sesaat ubun-ubunnya megerinyit, ledakan maha dasyat mengguncang suasana rimba larangan ciptakan hempasan-hempasan yang menggentarkan nyalinya, hanya berlutut itulah yang dia lakukan, ‘’ampun hamba yang maha agung, hamba hanya insan yang engkau utus, kalau engaku buang hamba jauh, jika engkau gantung hamba akan tinggi, jika engkau memutus hamba mati’’, rangkaian tabir-tabir itu membuka sekaligus tanda menyerah kalah yang muncrat dalam suasana gigilnya.
Seperti biasanya, raja malam itu hanya megirim suara-suara maut, ‘’Engkau! Engkau yang akan menempuh dunia jasad! Engkau yang akan melaksanakan titah! Engkau juga yang akan menjadi paling takut hanya kepada-Ku! Mampukah engkau berjanji demi nama-Ku? Engkau yang akan menjadi jasad, apakah engakau siap menanggalkan seluruh identitasmu? Biarkanlah dia lepas sementara, biarkanlah dia menemui tempatnya sendiri karena Aku juga yang suka berbuat, saat engkau pulang bawalah dia serta bersama luluhnya jasadmu, sementara jasadmu sangatlah Ku-larang menghadap kepada-Ku, sebab dia belumlah pantas menemui Aku, kutempatkan dia pada suatu tempat hanya Aku yang tahu, Engkau yang akan berjasad, kelak kedatanganmu bermacam bentuk rupa kepada-Ku, itu semua sangat tergantung kemampuan engkau untuk membawa seluruh identitasmu yang telah aku kirimkan pada tempatnya yang agung, berjanjikah engkau wahai yang akan berjasad?’’, si mahluk yang belum berwujud menyambut, ‘’hamba berjanji yang mulia!’’.
Ya! dia tidak lagi mampu menahan hasrat untuk segera menyebrang, pada tapal batas yang tidak bernama, dia menembus dan berpindah dari alam ilmu pengetahuan ke alam fenomena. Namun, apa yang terjadi tidaklah seperti yang dijanjikan oleh keyakinanya, teriakan tangisnya mengutuk, sementara orang-orang di sekeliling hanya mampu tertawa terbahak histeris, senang dan gembira akan kedatangannya, ya wujudnya hanyalah seorang bayi, tanpa identitas, tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan dia sendiri tidak ingat apa ayng sudah berlalu, selain menangis dan hanya menangis demi kepusan orang-orang di sekeliling itu termaktubkan. Itulah yang dijanjikan untuk seluruh umat manusia. Ya..waktu tidak akan lama singgah untuk meninabobokan kemanjaan-kemanjaan yang sangat dibenci, terkutuk kejadianya di alam roh.
Kini identitas tersebut harus dia kumpulkan kembali sebelum pulang ke rumah yang sesungguhnya diharapkan. Sesaat dunia hayal itu samar setelah dikejutkan sura deringan HP Seluler yang dimilikinya.
‘’Asalmualikum! Maaf ada yang bisa saya bantu Mbak!’’, suara Azam terdengar sedikit tenang.
‘’Iya! Maaf Bapak! saya dari tempo intemedia, lamaran Bapak sudah kami terima! Untuk tahap selanjutnya ujian tertulis akan dilaksanakan 10 Januari besok, apakah Bapak bersedia datang ke Jakarta?’’, jelas Suara Ibu-ubu dari seberang.
‘’Insya Allah saya bersedia, alamt yang harus saya tuju dan jam berapa ya Buk?’’, tenya azam pasti.
‘’Jln. Salemba Raya no 29 Jakarta, jam 7 pagi tanggal 7 Januri! Bapak bisa memenuhinya?’’
‘’Bisa Buk!’’, tegas Azam.
‘’Terimaksih atas kerja sama Bapak, selamat sore!’’, telpon ditutup dari sebrang.
Azam msih terpaku, tida satupun kata yang dipersipkan untuk memuji peristiwa hebat yang akan menunggunya, lagi pula Azam hanya sendiri di meja komputer, tiada siapa pun yang bisa di ajak bicara, Pak Pembudi sudah beberpa hari ini tidak ke kampus, kata orang Pemudi dijangkiti tipus ganas dan sejenisnya, Azam tidak mengira bahwa orang seperti Pembudi mampu digerogoti Tipus ganas atau memang tikus ganas? Begitulah keseharian yang harus dilalui Azam tanpa kehadiran Pembudi, dinding-dinding yang mulai dirangkati lumut air, layar komputer, buku-buku, dan segunduk harapan yang membuat dia bertahan menyendiri di sudut gedung itu, meancarkan pesan kesedihan. Pak Ibrhim pernah bilang, bahwa sakitnya Azam sudah terlalu parah hingga harus menyepi di sudut gedeung angker sperti Universitas itu. Di saat-saat Pembudi masih rajin ke kampus Azam memiliki teman, dia memang sejati bagi Azam, sagala bisa, dia dapat dijadikan lawan dalam bertengkar ataupun teman saat bicara. Tapi akhir-akhir ini Pembudi seperti menghilang begitu saja ditelan akhir bulan.
Di sudut lain Kampus Zul Fakri juga merasakan situasi yang serupa, saat dia baru saja dipanggil orang tempo untuk tes tertulis kemaren, tapi sayangnya Zul Fakri tidak meblas panggilan itu berghubung sedang sholat Zuhur. Tanpa pikir panjang Azam berlari-lari anjing ke tempat Zul Fakri.

Sementara Zul Fakri sendiri sibuk mempbersihkan karpet-karpet yang selesai dipakai sholat jumat, kalupun tidak mendapat upah keringat dari itu, tetapi Zul telah menabung di Bank Pahala, begitulah kseharian Zul Fakri sebelum pergi ke kampus.
‘’Asalamualikum!’
Zu Fakri dikejutkan oleh suara salam dari luar.
‘’Waalaikum salam!’’, diringi langkahnya yang masih letih menuju sumber suara.
Oh.., Budayawan kritis! Tumben tidak seperti biasanya saudara datang ke rumah saya!’’, puji Zul.
‘’jangan berlebihanlah Zul, kita ini hanya manusia biasa yang dilahirkan serba sama, hanya saja ketamakan, kesombongan membuat kita itu berbeda-beda!’’
‘’sekarang apa pasal hingga kamu datang ke sini?’’
‘’kata kamu, kamu baru saja ditelpon orang Tempo, berarti lamaran kamu diterima, aku juga baru menjadapat telpon yang sama Zul!’’
‘’tapi saya belum yakin bahwa itu orang tempo Zam!’’
‘’sekarang kita cocokan kode wilayahnya, aku punya 0213916..!, coba lihat HP kamu Zul!’’
‘’iya! Saya punya 0213915...!’’
‘’Jelas kita ditelpon oleh perusahaan yang sama!, kamu siap bertempur Zul?’’
‘’kalau sudah jelas seperti ini, saya sangat siap Zam!’’
Setelah berpamitan Azam pergi ke Bank BNI terdekat, di sana masih ada uang hasil penelitian bersama Rivolt Institute minggu kemaren, Ya! Uang Rp. 500.000,00 dirasa cukup menerbangkan Azam ke Jakarta. Se saat Azam merasa sangat berdosa sekali dengan keputusan itu, sebab uang itu sudah diniatkan Azam untuk pembayaran les bahasa Inggris kedua adiknya di Engglish Student Centre (ISC) Lubuk Alung, namun kejadian itu terlalu mendesak dan tiba-tiba saja datang sebagai penyelamat, tanpa menyiapkan sedetik waktu bagi untuk Azam berpikir.
‘’Kalau tidak sekarang, kapan lagi, Ya! Aku harus keluar dari tembok penjara ini, jika tidak hidupku akan mencair di sini, lalu bagimana tanggungjawabku terhadap nenek? adik-adik, emak?’’, kata-kata hati Azam yang bergelora, mantap seketika.
Tetapi, sebenarnya Azam bukanlah seorang anak yang pintar, Cuma bekal penasaran yang mengantarnya hingga sejauh ini, sekarang dia baru mengerti, tanya itu adalah suatu hal yang tabu, keraguan adalah sebuah kelancangan, kejujuran untuknya adalah tiada penghormatan, dia bingung sendiri dengan kepolosannya sendiri, waktulah membopongnya kepada pencarian sendiri, terkadang di perjalanan dia selalu dihadang oleh orang-orang yang menciptakan realitas sendiri, mengklim bahwa merekalah yang paling benar, mereka ingin menguasai kehidupan orang lain dan mengendalikannya, tatkala Azam sendiri jenuh dengan penguasaan itu, pantaslah dia memberontak untuk meruntuhkan dinding-dinding kebenaran itu, di sini keinginannya hanya satu, melihat dunia sebenar-benarnya.
Azam, masih ingat cerita Agus Nor, kisah sarimin yang ditahan pak polisi, kesalahan sarimin karena menjadi orang yang benar. Padahal jika sarimin bersalah, sarimin bisa lebi dihargai. Jika tidak pengacara tidak bisa membela sarimin, sebab pengacara ada ketika adanya orang bersalah. Tapi Azam akhirnya sadar bahwa kakeknya dulu itu lengkapnya juga sarimin, hanya bedanya sarimin dulu dengan sarimin sekarang sangat tipis, kalau sarimin dulu itu bisa menjadi seorang pemimpin, sarimin sekarang tidak mampu menjadi pemimpin, bodoh atau mau dibodohi, tapi alangkah bodoh lagi sarimin dulu, dia ingin menjadi pahlawan selamanya dengan mengalihgenerasikan sebutan pahlawan dalam bentuk dosa hingga 7 turunan, lalu generasi berikut menjelma menjadi ’terlibat?’ tapi jujur saja antara Sarimin dulu dengan Sarimin sekarang hanya kenal-kenal anjing saja.
Azam tidak akan menunggu lama, maklum hidup di Padang serba susah kalau saja ketahuan masih menghirup udara tanpa izin bisa-bisa akan menimbulkan masalah baru, Azam akan diamankan oleh orang-orangnya Good Father sebab Azam sendiri lebih memilih di bawah lindungan Good Father hingga Azam menemukan pintu kebebasan seperti yang dinantikan. Ya! Sudah satnya Azam neghapus jejak-sejarah, jejak-jejak pemikirannya yang keterlaluan revolusi, jejak kebudayaan tanpa pamrih, jejak persahabatan maupun jejak kekeluargaan, harus dilenyapakan dari para anjing pelacak pengendus pikiran siapa saja. Azam sendiri belumlah punya kemampuan ataupun kekuasan melenyapkan anjing yang ribuan ekor jumlahnya, sementara Azam sendiri akan menantang maut, untung-untung salah satu dari mereka akan ketakutan saat melihat taring Azam yang mengkilat, kalau tidak Azam sendiri akan menjadi korban kemunafikan, lemahnya pikiran, layunya kejujuran, matinya kretaivitas, hancurnya idealisme. Ya!Azam orang yang mau hidup seribu tahun lagi, tidak akan tega melihat teman tidurnya yang dijuluki idealisme mati sia-sia, sekarang ada sesorang yang ingin melindunginya, walau dalam wujud perjuangan. Azam belum mau berpikir apakah nantinya dia hanya akan berpindah nama ke dalam kuasa tuhan yang lain, bisa saja julukannya bako , Apak , kakak, andai saja Azam punya kakak di seberang sana, atau mungkin pergaulan, perempuan, narkoba, yang ini tidak lagi, dia telah dikalahkan Azam tempo dulu, jadi tidak mungkin dia, apa iya dia berwujud copet, penyamun seperti di Bukit Tambun Tulang, atau pedagang? Sesaat Azam mulai mencerna isi kepalanya, meraba-raba kbenaran hakiki dari pedagang.
‘’Pedagang itu lebih mulia dari pejabat, ataupun pegawai negri, pedagang lebih jarang berdosa dan jarang juga diumpat, didosai mungkin! Senang rasanya ketika bernapas tidak tergantung pada belaskasihan pemerintah, tidak bisa mandiri, hingga mandi pun harus dimandikan oleh pemrintah! Lalu mereka berkata akulah tuhan! Tapi maaf izinkan kami numpang di bawah payung langitmu! Maklum kami hanay berpura-pura menjadi tuhan, di rumah kami juga sholat seperti kamu-kamu, agar cara kami dilegalkan oleh tuhan!’’
Azam belum juga dapat menemukan siapa yang akan menjadi tuhannya di seberang sana.
‘’Rasanya seperti Rasul Ibrahim saja, kalau Ibrahim sih enak, dijamin masuk surga sebab tuhan yang dia cari tuhannya nabi Adam, tapi tuhan yang kita cari bukan tuhan seperti itu, dan bukan pula tuhan Rasul Muhammad, atau anaknya maryam, tuhan yang kebanykan dicri manusia tuhan yang fana, yang bersembunyi di balik berbagai macam simbol ketidakadilan, keangkuhan, kesombongan yang juga hidup dalam lindungan tuhan kekuasaan, apa mungkin orang seperti kita ini dijamin masuk surga, walau kita bersikeras mengatakan kita hafal 2 kalimat Shahadat? Kalau begitu terlalu baiklah tuhan Rasul Adam itu untuk kita!’’, pencarian itu tertutup seiring datangnya panggilan di ruang tunggu MIA
‘’Diberitahukan kepada para penumpang Batavia Air tujuan Jakarta, diharap memasuki pintu 4! Diberitahukan kepada para penumpang Batavia Air tujuan Jakarta, diharap memasuki pintu 4!’’.
Azam manut mendengar perintah mesin-mesin itu, kali ini wajib bagi Azam untuk mengalah, jika tidak mungkin pintu-pintu kebebasan itu tidak akan pernah terbuka lagi. Dulu ketika di Surabaya, Azam pernah merasakan deranya orang perantauan, baru saja satu bulan di sana dunia-dunia baru memburu Azam hingga ke Warung Nasi Padang tempat paman. Tidak bahnya seperti sarimin, azam dipaksa mengaku salah, azam diaharuskan minta ampun ataupun maaf tas tindakan azam yang lancang sebagai anak kampung, polosnya wajah Azam spontan menepis tuduhan yang jelas tidak bersahabat itu. Padahal dua hari yang lalu azam baru saja terkena imbas musibah, ini bukan salah siapa-siapa, hari-hari di warung nasi membuat azam sedikit betah, Azam suka mendengar kisah dari para pemulung yang numpang hidup di warung paman, memang Azam sendiri setelah menutup warung jam 3 pagi lebih memilih terkapar di meja warung yang telah disusun sebagi tempat tidurnya. Paman Azam sering bilang agar Azam pulang ke rumah dan tidur di rumah, sebab udara malam sangat berbahaya bagi kesehatan kita, tapi malahan paman yang jatuh sakit. Bukannya azam melawan paman, hal itu tidak terniat di hati Azam, Azam pernah pulang ke rumah sehabis jualan, Azam sendiri pernah membaca koran setempat tentang pembantaian para Kiyai dan Ustad, Dukun, ataupun orang gila, memang tahun 1998 itu isu Dukun Santet seperti api dalam sekam, sedikit saja penduduk Balong Sari Tama tersulut emosi, amarah kebrutalan segera berkobar.
Azam ingin mencari suasana baru, dengan berjalan-jalan pada malam hari, yang hanya diketahui Azam awalnya jalan menuju rumah paman berjarak 10 Km dari warung, kira-kira 5 Km dari rumah Azam dicegat beberapa orang peronda yang langsung menempelkan clurit di leher Azam. Nyali Azam kecil luluh seketika, Ya! Siapa yang tidak akan gemetaran diaklungi clurit berkilat, hanya satu tarikan saja clurit itu mungkin telah memisahkan kepala Azam dari jasadnya, tapi untung saja kejadian itu ditenggangi oleh suara hardikan peronda.
‘’Sopo koe?
‘’Nandi Koe?’’, hardik para peronda.
Azam bengong karena tidak mengerti apa yang diucapkan peronda itu.
‘’Awak dari waruang Mak Adang! Awak jalan-jalan pulang! Indak ado oto lai! Tapaso jalan wak’’, jawab Azam dengan lugu.
‘’Lo! Piye iki!’’
‘’Edan koe!’’, mungkin peronda itu mengumpat karena keluguan Azam. Spontan peronda melepaskan kalungan cluritnya dari leher Azam, Azam pun menangis penuh kesyukuran, dia tidak tahu siapa yang menyelamatkannya.
‘’Kamu anak Bapak Padang?’’, tanya salah seorang peronda.
Kali ini Azam mengerti ucapan peronda, sebab yang digunakan peronda adalah bahasa yang juga digunakan gugu-gurunya dulu sewaktu di Sekolah Menengah Pertama.
‘’Iyo!’’, sambut Azam gembira.
‘’Ngapain sampean itu malam-malam masih keluyuran, lain kali kalau mau pulang jangan larut seperti ini, kalau tidak sampean bisa menjadi sasaran pemuda-pemuda sini! Sekarang saya antar sampean sampai kerumah!’’, ulas peronda. Azam pun diantar hingga pintu rumah paman.
Sekarang Azam tahu, siapa yang menjadi dewa penyelamat pada malam ganas itu, Ya! Keluguan sebagai orang kampung mampu menjelaskan kepada para peronda bahwa Azam tidak bermaksud jahat, dia hanya ingin pulang ke rumah, hanya saja Azam menganggap Surabaya sama dengan di kampung, apa lagi waktu mencari durian bersama si Yos, saat selesai ngaji Azam juga sering pulang malam-malam, di kampung itu aman, hanya saja yang sering menjadi musuh Azam waktu itu adalah trenggiling atau ular tanah, mahluk ini sering mengejutkan Azam kecil di kampung.
Kejadian itu membuat gentar Azam, karena itu dia lebih memilih tidur diwarung, selain itu Azam bisa jalan-jalan dengan arek-arek yang berjulan dekat dengan Paman Azam, yang sering mengajak jalan Azam ialah Rudy penjual Martabak Mesir di depan Warung Paman, Rudy memanggondrong tapi baik pada Azam, Azam sering diberi Martabak gratis begitupun Azam saat Rudy meminta segela Es Teh di watung Azam malah mengantarkannya langsung ke tempat Rudy yang sedang jualan. Terkadang Azam memang agak lasak , hal itu disebabkan rasa keingintahuan Azam yang tinggi, Azam pun jalan-jalan ke tempat Iso Roti Goreng, Azam ditawari Rori itu, Azam tanap basa basi langsung mengabulkan penawaran itu, keesokan harinya Azam jadi ketagihan bertandang ke sana, apa lagi saat-saat warung lagi sepi, Iso juga berjualan di sebarang jalan tidak jauh dari Warung Paman. Tapi Azam lebih suka ketika Mbak Pemulung berdongeng, dia cerita tentang Surabaya yang dia ketahui, kayanya dia belasal dari Manukan Surabaya juga.
‘’Zam kata orang Pariaman itu luas ya Zam! Tolong diceritakan apa maksud luasnya Zam!’’, pinta Mbak pemulung.
‘’Begiko Mbak, dulu ada orang Minang pergi ke Jawa, lalu jalan-jalan ke pantai lihat laut, dia minum air itu, rupanya asin, dia berkata, ‘rupanya Pariaman itu luas, di sini airnya juga masih asin’, terang Azam sedikit terbata-bata, memang Bahasa Azam belum sempurna. Spontan semua orang yang mendengar cerita Azam tertawa terbahak-bahak, paman Azam juga ikutan tertawa ketika itu.
‘’Lucu kamu itu Zam’’, sambung Rudy.
Pernah suatu pagi sangat menyakitkan bagi Azam, dua stel pakaian dan satu sarung Azam yang dijemur di belakang warung, raib, Azam lupa memindahakannya kedalam kamar di belakang rumah. Tapi Azam heram, siangnya pakian itu sudah dikenakan oleh Anto anak paman Azam. Azam sempat bertengkar mulut dengan anak pamannya itu, kemudian Anto menjelaskan.
‘’Baju ini saya beli dari si Mbak Rp. 5.000, 00 tadi pagi!’’, jelasnya.
Azam termenung.
‘’padahal kemaren saya asyik bercerita dengan si Mbak tentang piaman laweh, seperti biasanya setelah itu dia makan di warung Paman, tapi malamnya dia juga memakan pakian saya’’.
Rasa yang berkecamuk itu hanya disimpan dalam hati, Azam pun tidak berani nerkisah kepada paman, takut dimarahi paman lagi, lagi pula Azam kasihan juga melihat pemulung itu.
‘’Kalau di usir paman, lalu pemulung itu mau makan di mana?’’, begitulah cara berpikir Azam kecil.
Saat-saat yang menyusahkan azam ketika paman jatuh sakit, dari jam 8 pagi Azam sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk membuka warung, mulai dari membeli air dengan gerobak yang berisi 12 derijen kemudian di dorong Azam ke warung sendiri, selanjutnya Azam menata piring sambal di atas Steleng , setelah siap semua perlengkapan termasuk nasi dan samabal Azam akan disbukan oleh para pembeli hingga jam 2 siang. Menjelang jam dua ipar paman sudah membuka warung kopinya di samping warung Paman, dia agak bertingkah aneh, seskali dia membuka laci warung paman, Azam sendiri melihat bahwa ipar paman telah melanggar larangan emak sebelum Azam pergi ke surabaya. Emak pernah berkata,
‘’kamu jangan mengambil milik orang tanap se izin orang yang punya, apapun benda yang kamu ambil akan membawa kemelaratan bagi kamu, itu namanya mencuri, kamu dapat dosa dari tuhan!’’, nasehat Emak.
‘’Jadi ipar paman itu telah mencuri uang Paman, dia juga tidak bilang pada saya bahwa dia sudah mencuri, kata Emak orang seperti itu sudah berdosa, hidupnya akan melarat’’, ucap Azam dalam hati, sepertinya Azam tidak suka.
Namun 2 orang anak paman selalu mampir ke awrung sebelum menukar pakaiannya ke rumah, dia juga melakukan sikap yang sama dengan ipar paman, Azam menjadi bingung.
‘’Mungkinkah paman membolehkan kelakuan itu, anaknya juga melakukan tindakan itu, apa mungkin paman sendiri yang merintahkan?’’, tanya Azam dalam hari.
Sesaat azam melamun, Paman beserta istrinya datang ke warung, spada kesempatan itu Azam bisa agak sedikit santai sebab sejak dari tadi pagi Azam hanya sendirian melayani pembeli, Azam memilih bermain-main ke seberang jalan, tepatnya ke tempat Iso Roti Goreng. Sayup dari seberang jalan tepatnya dari warung paman terdenga pertengkaran paman dengan istrinya, sesekali azam mendengar mintuo bilang.
‘’Laci ini sudah bocor! Baru kemaren dia datang, sudah mau jadi orang maling!’’, sambil memandang ke arah Azam.
Azam tahu bahwa kata-kata itu ditujukan pada dirinya sendiri. Azam sendiri masih bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan keslahan yang telah dia lakukan, sehinggga mintuo marah kepadanya, apa lagi mintuo mengatakan Azam ingin jadi orang maling, itukan dosa menurut Emak di kampung.
‘’Apa mungkin di Surabaya ini maling bukan dosa, kalau tidak berdosa kenapa di kampung Emak bilang maling itu berdosa? Mungkin juga tidak berdosa, perbuatan maling menurutku juga dilakukan oleh ipar paman dan juga kedua anak laki-lakinya, sudah berkali-kali mereka melakukannya, berarti memang benar tidak berdosa. Jadi, kesimpulannya dosa itu tidak berlaku di Kota-kota, dosa mungkin hanya berlaku di kampung, itupun kalau kita melakukan perbuatan maling!’’, Lagak Azam seperti orang pintar.
Sejurus dengan itu, Azam memberanikan diri bertanya kepada paman kejaidian yang sebenarnya sehingga mintuo marah pada Azam.
‘Paman tidak percaya kamu bisa melakukannya! Coba kamu ceritakan apa sajha kejadian yang ganjil selam paman tidak ada!’’, perintah Paman.
‘’Anu Mak! Gini, saya mau bertanya, di Surabaya maling tidak berdosa ya Mak?’’
‘’Maksud kamu itu apa? siapa yang maling?’’
‘’indak, kata Emak di kampung itu maling itu berdosa, mungkin Mamak tidak ngerti apa yang disebut maling, saya maklum mamak sudah lama di sisni! Begini Mak, maling itu adalah perbuatan mengambil barang orang lain tanpa se pengetahuan dan se izin pemilik barang!’’, dengan lugunya Azam menjelaskan arti maling kepada pamannya. Paman Azam ketawa seketika.
‘’Mana mungkin anak selugu ini bisa mengambil uang laci!’’, terawang Paman Azam dalam hati.
‘’Yang namnya maling itu dimanapun mita berada tetap saja berdosa Zam, Emak kamu itu tidak salah, baik di kampung maupun di Kota maling itu berdosa, karena telah membuat orang menderita, kelaparan dan juga menimbulkan fitnah!’’, jelas paman
‘’Jadi apa yang dilakukan ipar, dan anak-anak paman itu berdosa, apa mungkin kelakuan mereka itu diketahui oleh Paman?’’, azam masih menerawang.
‘’Ah mungkin saja! Merekakan orang-orang dekat paman’’, terawang Azam memutuskan.
‘’Sudah sekarang kamu makan sana, nanti kamu saki!’’, perintah paman.
Azam pergi ke belakang, rencananya mau mengisi perut dengan sepring nasi, tetapi mintuo masih saja mengoceh, sesekali dia bilang anak kampung tidak beradat!, segala macamlah, tapi azam tetap makan walau hanya dua suapan nasi yang mampu ditelan. Setelah itu Azam jatuh sakit, Azam disuruh istirahat di rumah oleh paman, namun hati azam tetap keras mau ikut jualan nasi sama paman, tetapi masih mendapat ocehan dari paman, Azam terasa gundah dan resah dengan pakain sedanya Azam peergi ke Sidoarjo, di sana ada family azam yang jnuga jualan nasi di terminal larangan. Namun dua hari di sana, mata azam kembali dibuka oleh sebuah fenomena baru. Awalnya Azam heran seketika melihat anak muda maupun tua ramai di rel kereta api di samping terminal pada malam hari, sementara pada pagi hari semua orang menghilang dan juga tenda-tenda yang didirikan itu, pagi itu hanya tinggal rumput-rumput mati dan bau amis. Azam juga memberanikan diri bertanya kepada Uni Defi yang tak lain adalah Family Azam yang jualan nasi, tapi malah dia memperingatkan.
‘’Kamu jangan pernah ke sana, kalau kamu kesana kamu tidak boleh numpang disini lagi, ngerti kamu’’, nasehat Uni agak keras.
Azam tambah penasaran terhadap apa yang terjadi di luar sana, hingga pada suatu malam setelah warung nasi Uni Defi tutup, azam mengendap-endap membuka pintu, kalu terdengar sama Uni bisa berbahaya, Setelah samapi di luar Azam mengunci puntu dari luar, sejurus kemudioan Azam semakin penasaran sebelum samapi direl kereta api tersebut. Azam berpikir memang asyik jalan-jalan keluar tengah malam, apa lagi di Sidoarjo, selalu ramai. Azam juga meilihat aneka ragam permainan di sana, mulai dari main Ocak kemudian dikenal oleh Azam main Remi, mainan Babi ya! mainan ini disebut orang kampung Azam dengan Koa, catur juga ada di sana, tapi di sini orang bermain dengan taruhan. Namun mata Azam tidak pernah terlepas dari orang-orang yang berteriak gembira, itu menandakan merka itu pemenangnya, sejurus dengan itu pemuda-pemuda pemenang itu pergi le arah pondok diujung sana, pondok itu hanya diterangi dengan lentera keci atu lilin. Azam pun mengikuti jejek pemuda itu, sesat Azam terkejut.
‘’Astaga! Mereka itu suami istri! Aku telah berdosa! Aku telah mengintip!’’, Azam sadar lalu segera berbalik pulang. Setelah sampai di rumah azam masih berpikir.
“Kok suami istri tinggal di tempat amis itu, lalu rumah-rumah kecil itu apa dirobohkan pada siang hari? Bagaimana Kepala Kota di sini? Kok warganya dibiarkan tidur di tempat kumuh, seharusnya pemerintah kasihan, sedangkan warga laki-laki dibirkan bermain di rel, apa mungkin tidak ada lagi tempat untuk mereka?’’
Mulai sat itu Azam mulai menjadi anak yang suak kasihan melihat penderitaan orang-orang di sekelilingnya. Tidak lama setekah itu Paman Azam datang ke Sidoarjo, Azam sendiri tidak nisa menolak saat dari bawa kembali ke Balong Sari. Susana itupun tidak berlangsung lama, Azam kabur lagi dari Warung Paman, dia bergaul dengan Arek-Arek Suroboyo, entah apa yang dia lakukan setelah itu, dia sendiri tidak sadar, yang dia tahu minum lalu mabuk bersama teman-teman, hura-hura dan suami istri yang tidur di samping rel Kereta Api terminal larangan itu, kemudian hari dikenal dengan sebutan WTS, dilanjutkan dengan perbuatan ipar paman serta anak-anaknya sehingga Azam terusir dari perlindungan paman. Ya! Lambat laun Azam sendiri mengerti pernak pernik malam di dunia Surabaya, lalu selanjutnya apa?
Azam kecil, yang lugu, serta merta polos, ternyata berubah total menjadi sosok yang ingin dikenal, sesekali terlintas harapan yang tertancap sejak bertanam niat di kampung, entah angin apa yang mengantar kesadaran Azam kembali, Azam teringat kembali kata-kata Emak yang hampir dia lupakan.
‘’Kamu jangan melakukan perbuatan dosa, apa bila perbuatan yang akan kamu lakukan bertentangan dengan batin kamu, maka itu adalah dosa!.”
Dengan segenap tenaga, Azam berusaha bangkit dari lembah itu, dia tinggalkan semua sahabat, dan tingkah laku yang dulunya di pandang aneh. Azam merenung saat sepertiga malam menjelang, hatinya berteriak, ‘’Aku hanya seorang anak SMP yang polos dan lugu! Ya Tuhan aku tidak mau dikenang dan dikenal oleh siapapun, cukup hanya Engkau yang kutahu!’’. Di awali kejadian itu, Azam memilih menjadi karyawan Warung Nasi Padang di Manukan, saat itu baginya hidup ini adalah pilihan, jika tidak mampu memilih tidak bisa hidup, tidak mau hidup mati saja. Azam meluruskan niatnya kembali, pergi ke Surabaya karena ingin bersekolah di sana, namun sayang sekali paman dalam keadaan bangkrut sebab lacinya sudah bocor dan sekarang paman Azam sakit-sakitan.
Setelah cukup mengumpulkan ongkos, Azam pulang ke kampung lalu, perjuangan dilanjutkan pada sebuah perusahan Gorden di Kota Padang, sekarang perusahaan itu dikenal dengan nama PT Yeni Jaya Gorden tepatnya berada di Air Cemar. Namun, sekarang perantauan itu kembali terulang, tapi kali ini rantau bagi Azam adalah pintu kebebasan dari cengkraman tuhan-tuhan yang hidup di Kota Padang. Azam menjaga agar niat itu tetap lurus.
Sementara Zul Fakri sendiri belum mampu bangkit dari tempat tidurnya, saat-saat keberangkatan itu Zul masih berjuang melawan penyakit yang sudah 3 hari mengayomi tubuhnya. Tubuhnya yang kurus, memperlihatkan bahwa dia sedang berjuang untuk hidup, pikiran Zul hanya tertumpu pada ongkos terbang ke Jakarta, honor tulisan yang telah dikumpulkan Rp 800.000, 00 dari koran di Kota Padang terlanjur diberikan kepada adik-adiknya yang baru menginjakan kaki di perguruan tinggi.
Namun kedua bersahabat itu tetap bertemu di lokasi ujian hari selasa 9 januari, sudah ditakdirkan senasib seperuntungan akhirnya merak sama-sama gagal dalam persaingan, Zul Fakri pergi ke Pamulang, dia bekerja sebagai editor filem dokumenter di Production House, sementara Azam sendiri berlalu menuju Tanah Abang, saat itu pengembaraan kebebasan Azam baru akan dimulai.

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987