
sumber: Padang Ekspres, Selasa, 30-Oktober-2007, 10:09:40
oleh : Suryadi, Dosen Universitas Leiden, Belanda
Begitu tanggal 28 Oktober menjelang tiap tahun, bertebaran opini di koran-koran kita mengenai Sumpah Pemuda. Para kolomnis, yang hidup telah begitu jauh dari zaman ketika Soempah Pemoeda itu lahir, mencantelkan sedikit kenangan buram mereka tentang peristiwa ‘heroik’ itu untuk kaum muda kita.
Bahwa ada tiga ikrar yang diucapkan tgl. 28 Oktober 1928 oleh para pemuda dengan semangat merdeka membaja, di Betawi, ibukota Hindia Belanda. Selebihnya adalah debat apakah Sumpah Pemuda itu masih relevan untuk Indonesia masa kini, khususnya kaum mudanya. Ada yang bilang masih, yang lain mengatakan sudah tidak. Mungkin ada baiknya menayangkan sedikit ‘film hitam-putih’ itu, untuk sekadar membangkitkan kenangan historis para pemuda kita hari ini, yang sehari-hari melahap menu MTV, McDonald, dan HP made in Jepang. Jangan sesali kalau banyak di antara mereka, yang sehari-harinya sudah main komputer, pasar saham, dan nonton piala Eropa, mengalami amnesia sejarah.Sumpah Pemuda itu memang dahsyat, konon. Beberapa intelektual Belanda pada waktu itu kagum, tapi juga ada yang menyindir: tak mungkin mereka akan dapat bersatu (semacam peringatan kepada kita kini). Tapi sebaiknya Sumpah Pemuda itu jangan terlalu dimitoskan juga.
Peristiwa itu hanyalah sebuah titik dalam garis sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu jelas banyak pemuda yang pintar, jenial, kritis, nasionalis, dan memikirkan masa depan bangsa dan tanah airnya. Tapi juga tak sedikit yang mbalelo, yang mati pucuk karena kemiskinan dan penjajahan, atau munafik menjadi kaki tangan penjajah. Persis seperti sekarang: ada pemuda yang juga pintar, brilian, kritis (walau sering dihambat oleh kekuasaan yang cenderung disetir oleh penua [kalau ada pemuda tentu ada penua]). Tapi juga ada yang suka miras, pesta sabu-sabu, yang otaknya hanya sampai pada mikirin hidup enak punya motor atau mobil, yang tak punya nyali untuk bertualang walau hanya dalam negaranya sendiri untuk menambah ilmu, mempelajari aneka budaya dan isi alam tanah airnya yang molek dan kaya ini.
Jadi, Sumpah Pemuda itu adalah kumpul-kumpul pemuda yang punya otak ‘urakan’ di akhir zaman penjajahan. Tapi ikrar yang tiga itu menggema jauh sampai ke masa kini. Mungkin ia lahir di zaman yang cocok, di mana kolonialisme memasuki senjakalanya. “Berhoeboeng dengan kabar congrés tsb. jang diadakan pada tanggal 27-28 Oct. jtl. di Betawi”, demikian tulis majalah Pandji Poestaka (No. 89, Tahoen XVI, 6 November1928, kolom ‘Kroniek’, hlm. 1501), “dikabarkan bahwa oleh congrés itoe diambil kepoetoesan seperti berikoet: Kami poetera Indonesia mengakoe: sama-sama bertoempah darah tanah Indonesia, berbangsa satoe, bangsa Indonesia, dan mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Kemoedian diharapkan soepaja perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia memperhatikan dasar persatoeannja, ja’ni: Kemaoean, sedjarah, bahasa, hoekoem, ‘adat, pendidikan dan pandoean”.Tapi majalah itu juga mengkritik. Dalam edisi No. 88 (Tahoen XVI, 2 November1928, hlm.1481) redaksinya menurunkan laporkan dengan sedikit cemeeh: “Bagi kami dalam kongrés itoe pemoeda-pemoeda tadi sedikit terlampau berpenting-penting. Dipandang seléwat ta’ ada bedanja dengan kongrés orang2 toea. Jang menghadirinja sebagian besar orang-orang toea poela, diantaranja dengan njonja, ada Lid2 [anggota; Suryadi] Volksraad; perspoen ada. Dimédja bestoer [pengurus; Suryadi] doedoek student-student pemimpin kongrés poela.
Kami melihat student-student berbitjara; bahkan jang berbitjara ada jang telah bergelar Mr. […]. Seandainja tidak ada anak-anak padvinder [pandu/pramuka; Suryadi] jang ketjil badannja dan moeda ‘oemoernja, tertjerai dikiri kanan kami, boléh djadi benar-benar kami merasa doedoek ditengah-tengah kongrés orang toea. Dalam programma kongrés antara lain terseboet, bahwa t[uan]. Kyai Hadjar Dewantoro (t. Soeardi Soerjaningrat) dari Djogja akan berpidato dari hal pendidikan. Beliau seorang goeroe (ondrwijsman) jang ada nama dan ada ‘oemoer dan ada pengalaman. Djadi patoet sekali berpidato dari hal pendidikan. Sajang beliau tidak bisa datang, karena beralangan. Maka hal pendidikan itoe laloe dibitjarakan sadja oleh pemoeda2 sendiri, jang rasanja masih lebih berpaédah seandainja pemoeda2 itoe mendengarkan pidato orang toea2 dan menghimpoenkan pengalaman2 daholoe.
Karena itoe maka kongrés itoe tampak sendikit terlampau perpenting-penting. Ada satoe hal jang menjebabkan kongrés itoe sepanjang rasa kami koerang lengkap. Ja’ni kami tidak melihat di sitoe sifat kepemoedaan. Tidak ada apa-apa jang meriangkan hati, pemoeda2 tidak tampak keratjakannya. Melainkan sekaliannja mengeroetkan dahi dan menjamboeng alis kiri dan kanan, mendengarkan pidato atau debat jang berat-berat. Voordracht [pidato; Suryadi], lazing [lezing/ceramah; Suryadi], toneel, kluchtspel (pertoendjoekan perintang-rintang hati), tidak ada. Sedang dalam kongrés perkoempoelan pemoeda2 itoe sendiri2, seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen dll., kelihatan meréka pandai djoega bersoeka-soeka. Poen student2 pemoeka kongrés ada jang toeroet pésta ontgroening [perpeloncoan Suryadi], dan biasanja student2 itoe tidak kepoetoesan djalan akan beriang-riang hati.
Tentang keriangan hati dalam kongrés pemoeda itoe soenji sekali. Barangkali satoe-satoenja jang melitjinkan keroet koelit dahi dan memoetoes perhoeboengan alis, hanjalah larangan polisi sadja.
Oleh polisi dilarng: tidak boléh dipakai perkataan: kemerdekaan. Kalau perkataan itoe dipakai, oléh polisi kongrés itoe dipandang kongrés politik, dan tidak boléh dikoendjoengi oléh orang-orang dibawah ‘oemoer 18 tahoen.Barangkali dikongrés pemoeda jang akan datang sifat kepemoedaan itoe akan lebih kelihatan.”
Menarik juga laporan Pandji Poestaka itu, terutama kalimat “Sedang dalam kongrés perkoempoelan pemoeda2 itoe sendiri2, seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen dll., kelihatan meréka pandai djoega bersoeka-soeka.” Artinya Kongres Pemuda yang pertama itu, yang melahirkan Sumpah Pemuda, berlangsung dalam suasana yang masih kaku.
Kohesi dan semangat kebersamaan di antara para peserta yang berasal berbagai organisasi pemuda itu – walau kenyataannya dihadiri oleh lebih banyak orang tua – belum kompak dan hangat. Jadi, dapat juga dimengerti mengapa sampai pada masa revolusi, kaum muda masih terbelah dalam beberapa faksi yang kadang saling bertentangan ideologi. Tapi setiap peristiwa sejarah yang menyebut nama kaum muda bergaung gemanya sampai jauh.‘Kaum Muda’ adalah kata yang ‘sakti’, oleh karenanya sering juga dimanipulasi oleh Kaum Tua. Sumpah Pemuda adalah salah satu contoh nyata. Gema ikrar yang tiga itu meluncur deras menggoyahkan sendi-sendi penjajahan Belanda di Indonesia yang oleh menteri jajahannya yang sombong, Colijn, diibaratkan “kuat seperti duduknya Mount Blanc di atas Pegunungan Alpen”. Menyusul Sumpah Pemuda itu Bahasa Melayu menjadi bumerang bagi penjajah Belanda.
Ia memperoleh nama baru: Bahasa Indonesia, mengakibatkan terjadinya ‘language violence’ terhadap Bahasa Belanda milik penjajah, yang bergengsi dan bernilai tinggi itu. Kaum nasionalis menyerukan agar dalam acara-acara resmi pemerintah wakil-wakil pribumi menyampaikan pidato dan pikirannya dalam Bahasa Indonesia. Wakil faksi nasionalis di Volksraad tak segan-segan lagi berpidato dalam Bahasa Indonesia, yang membuat orang-orang Belanda dalam Dewan itu merasa tersinggung, terhina, dan marah. Hal itu diikuti oleh anggota faksi nasionalis di beberapa dewan kota (antara lain Bogor, Semarang, Batavia, Padang, dan Medan) yang kebanyakan digerakkan oleh wakil-wakil Parindra (Partai Indonesia Raya).
Inilah momen penting pendemitefikasian keagungan Bahasa Belanda yang selama ratusan tahun akses untuk mempelajarinya oleh kaum pribumi dibatasi oleh penjajah. Bintang Bahasa Indonesia waktu itu bermunculan, termasuk wakil Minangkabau di Volksraad, Jahja Datoek Kajo, mantan demang Padang Panjang (Suryadi 2006). Pidatonya yang berapi-api dalam Bahasa Indonesia di Volksraad membuat wakil-wakil Belanda marah. Koran-koran pribumi memberinya gelar “Djago Bahasa Indonesia di Volksrad” (lihat Pedoman Masjarakat, 23 Februari 1938, hlm.160). Konsekuensinya: ia hanya menduduki jabatan satu periode di ‘Dewan Rakyat’ itu. Ia berhenti atau mungkin diberhentikan. Begitu juga Haji Agus Salim: ia berpidato dalam Bahasa Indonesia di sidang Volksraad, yang menyebabkan ketuanyanya ‘Tuan Bergemeyer” merah telinga (M. Hatta dalam Salam 1963:31-2).
Sumpah Pemuda, yang setiap tahun akan semakin menjauhi masa kini bangsa Indonesia, akan bermakna antara lain jika kaum muda negeri ini mengimplementasikan semangat nasionalisme Bahasa Indonesia dalam kehidupan mereka. Mereka boleh pintar berbahasa asing, tapi tetap mencintai bahasa nasionalnya. Jika mereka dapat mengutarakan pikiran dan ide, baik lisan maupun tulisan, dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, itu saja sudah menunjukkan bahwa Sumpah Pemuda masih cukup relevan dan berarti dalam kehidupan kaum muda Indonesia di zaman ini. Dirgahayu ke-79 Sumpah Pemuda: 28 Oktober 1928 – 28 Oktober 2007. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar