Sabtu, 14 Maret 2009

MATINYA MAKNA RUNTUHNYA IDEOLOGI

Oleh. Dini Maulia

Apa yang dikemukan Barthes (dalam Andrew, 1999) atas matinya pengarang adalah benar. Di saat kemunculan pembaca di sanalah kematian bagi pengarang. Begitupun dengan Nitchzee dengan pernyataannya dengan kematian tuhan, namun hakikatrnya bukanlah tuhan sebenarnya dan bukan pula pengarang sebenarnya, tetapi yang ditekankan adalah kematian bagi makna itu sendiri. Bertepatan dengan itu pula manusia kehilangan tujuan, ketika tanda telah di terjemahkan melampoi batas-batas realitasnya, di sanalah kematian bagi makna. Pilliang mengatakan sebuah tanda dapat dikatakan ‘melampaui’, ketika ia telah keluar dari batas sifat, alam dan fungsi tanda yang ‘normal’ sebagai alat komu-nikasi dan penyampaian ‘informasi’. Tanda dapat berkembang ke arah kondisi yang ‘melampaui’, ketika ia telah kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya; dengan perkataan lain, ketika ia telah kehilangan fungsi informasinya. Hal tersebut telah menjadi dasar pemahaman bagi kita bahwa ketika kita berhadapan dengan sebuah tanda hipersemiotika, kita akan menemukan lagi makna dari tanda itu sendiri. Tanda tidak lagi memiliki sebuah fungsi yang
stabil yang dikonvensikan atas beberapa golongan masyarakat, seperti makna tanda yang dikembangkan oleh Saussure bahwa terhubungnya setiap penanda dengan sebuah petanda tertentu hanya dapat dimungkinkan oleh bekerjanya sebuah sistem relasi yang didasarkan atas kesepakatan (konvensi) (Cobley, 2002).
Sejalan dengan itu, dunia terus berkembang bersama pikiran-pikiran masyarakat di dalamnya. Sebuah realitas tidak dapat lagi menyanggupi ambisi manusia yang terdapat di dalamnya, dan realitas sendiri telah melampaui batas ‘hyper’ sehingga dapat disebut dengan hyperealitas yang erat kaitannya dengan hipersemiotik, seperti yang digambarkan oleh Baudrillard dalam Pilliang (2003:51) bahwa dunia hipersemiotika, dengan demikian, tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas - sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan bebas tanda-tanda yang melampaui batas (hyper-sign) – sebuah tanda yang melampaui prinsip, definisi, struktur dan fungsinya sendiri.
Dunia hyperealitas bersamaan dengan hypersign yang termuat di dalamnya telah menggiring banyak aspek untuk menjadi permasalahan di dalam ruang lingkup tanda. Salah satunya adalah ideologi.
Menurut KBBI (1989:319) ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, atau cara berpikir seseorang/golongan, atau paham, teori. Lebih khususnya, seperti yang diungkapkan oleh Riberu dalam Christomy (2004:194) bahwa menyatatakan ideologi diartikan sebagai system pemikiran yang menyeluruh dan bercita-cita menjelaskan wajah dunia sekaligus mengubahnya. Kemudian apabila kita lihat pengertian ideologyi yang digambarkan Sastrapredja dalam Christomy (2004:194) Ideologi sebagai keseluruhan prinsip atau norma yang berlaku di dalam suatu masyarakat yang meliputi beberapa aspek, seperti sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Jadi, ideologi merupakan seperangkat prinsip yang berwujud sebuah system pemikiran seseorang/golongan.
Aridus mengatakan dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Hipersemiotika 100 Hari” yang membahas makna “rakyat” dalam UUD 1945 dan membandingkan pelaksanaan makna “rakyat” tersebut dalam pelaksanaan Negara Republik Indonesia. Menurut “ rakyat” yang tertulis sebagai segenap penduduk suatu negara yang memiliki wakil yang disebut dengan “pemerintah” telah melampaui batas-batas simbol mereka dalam UUD 1945. Ketika “rakyat” dipuja dan diagungkan sebagai pendukung wakil mereka dalam pemerintahan, tetapi ketika wakil rakyat harus memutuskan sebuah kebijakan, “rakyat” tidak lagi diikutkan, bahkan dicampakkan jauh dari pengambilan keputusan mengenai kebijakan Negara. Di saat itu pula rakyat menjadi kuda pemikul untuk menanggung hutang-hutang Negara yang diciptakan oleh wakil mereka dengan pembebanan bermacam-macam pajak. Pajak-pajak yang menghimpit tersebut seperti sebuah konsekuensi bagi mereka dalam memilih wakil bagi golongan mereka. Di saat itu kata “rakyat” sebagai tanda yang merupakan ideologi dalam UUD sendiri telah kalah melawan hyperealitas yang sedang terjadi.
Sejurus dengan itu pula, apabila kita mengkaji lebih jauh lagi mengenai ideology Negara, sesungguhnya di sana terdapat kekalahan dan kehancuran ideologi dikarenakan hyperealitas. Proses Hypersemiotika dalam sebuah tanda ideologi Negara, bisa dilihat dalam sila kelima “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tanpa sadar telah dicabik-cabik, padahal besar perjuangan Bapak-bapak bangsa kita terdahulu untuk hanya sekedar merumuskan sebuah ideologi, yang selalu dikumandangkan di setiap upacara kebangsaan, bahkan secara bersama-sama diteriakkan secara lantang di hari senin pada upacara pengibaran bendera Merah Putih di kalangan sekolah-sekolah hingga sampai detik ini. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” khusus bagi yang ikut menanamkan modal triliyunan dollar pada perusahaan Amerika akan dijamin melalui bantuan dana Bank Indonesia dengan triliyunan pula. Ketika Negara harus menghadapi krisis dunia terhadap harga BBM, rakyat Indonesia “yang tidak pernah memiliki saham di perusahaan asing” hanya dijamin kesejahteraannya dengan uang Rp.300 ribu perbulannya, dengan begitu keadilan telah dilaksanakan, begitu sempitnya konsep keadian tersebut.
Pengagungkan kaum borjuis secara langsung telah mendeklarasian bahwa kemiskinan menjadi pihak yang salah sehingga tidak masuk ke dalam golongan yang berhak mendapat keadilan. Apakah adil bagi mereka, demi “keadilan sosial” kaum pemegang saham yang harus collapse karena krisis global akibat dampak jatuhnya perekonomian Amerika, tiga ratus ribu perbulan milik beberapa bagian dari golongan yang mendapat “keadilan sosial” yang lain harus dikecam dan dianggap lalai dalam pendataan demi menghemat kas Bank Indonesia dalam peluncuran bantuan 300 triliyun-an rupiah untuk saham para konglomerat yang berada di luar negeri. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Pancasila telah menjadi tanda yang melampaui prinsip, definisi dan fungsinya, dalam arti kata makna Pancasila sendiri telah mati ditangan oknum yang mengatas namakan dirinya penyelamat..
Sepenggal uraian di atas membawa kita kepada pendapat Baudrillard dalam Pilliang (2003:149) bahwa awal dari era hiperealitas ditandai dengan lenyapnya petanda, dan metafisika reresentasi; runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu sendiri, karena telah diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi. Menjadi sebuah penguat antara teori dan fakta bahwa dunia hiperealitas telah membawa kehancuran bagi ideologi.
Dengan nada yang sama, media juga sangat berperan katif dalam mentrasfer simulasi dunia hyper tersebut. Di bawah kukungan media, dunia hiperealitas semakin tidak terkendali, kepalsuan merajalela, yang lebih menyedihkannya terkadang kita tidak menyadari kepalsuan tersebut telah menanamkan ideolog-ideologi baru ke dalam pikiran masyarakat konsumer kita. Pilliang mengatakan, hiper-realitas media adalah kondisi ketika media membiarkan berbaurnya kebenaran/kepalsuan, faktualitas/ideologi, obyektivitas/subyektivitas; ketika media membiarkan berbaurnya tanda asli, tanda palsu, tanda menipu, tanda daur ulang dan tanda artifisial dalam satu pemberitaan media, tanpa ada upaya pihak media sendiri untuk menjelaskan logika, relasi, klasifikasi di balik tanda atau kata-kata yang ada; tanpa memberikan sikap kritis, atau analitis terhadap data yang ada, sehingga pembaca dibiarkan di dalam kondi-si ketidakpastian, kegalauan dan chaos.
Siapa yang tidak kenal dengan Neil Amstrong, ditelusuri foto Neil Amstrong ketika menginjakkan kaki di bulan merupakan hiperealitas sepanjang masa yang telah menipu masyarakat di dunia. Neil Amstrong yang difoto bersama bendera Amerika yang berkibar di sebelahnya dinobatkan menjadi orang pertama di dunia yang menginjakkan kakinya di bulan. Di tahun 1969 dengan mengendarai Apollo 11, Neil Amstrong membuat catatan sejarah terhebat di dunia hingga saat ini. Dalam hal ini ternnyata media menjadi pengantar kepalsuan yang merebak luas dalam bidang ilmu pengetahuan. Banyak pembuktian yang telah dilakukan dan didapatkan hasil bahwa bukti gambar pendaratan di bulan tersebut adalah palsu. Foto Neil bertindak sebagai tanda hipersemiotik yang telah mendustai masyarakat di seluruh dunia, sekaligus telah menanamkan ideologi mengenai kehebatan negara Amerika. Media terlibat sebagai peran utama yang mengaburkan pandangan kita tentang kebenaran yang sesungguhnya dan menjebak kita dalam dunia hiperealitas yang menanamkan ideologi di bawah alam sadar manusia.
Sejalan dengan itu, Pilliang mengaskan (2003:59) bahwa budaya konsumerisme – yang merupakan jantung dari kapitalisme – adalah sebuah budaya, yang di dalamnya berbagai bentuk dusta, ilusi, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas, kedangkalan, permukaan dikemas dalam wujud komoditi, lewat strategi hipersemiotika dan imagologi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial – lewat komunikasi ekonomi (iklan, show, dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme – sehingga pada akhirnya membentuk kesadaran diri (self conciouness) yang sesungguhnya adalah palsu. Tentunya media menjadi peran utama dalam hal ini. Perhatikan lihat iklan di televisi, dimana para wanita telah terdoktrin bahwa wanita yang berkulit putih jauh lebih menarik bagi pria akibat kemunculan begitu banyak iklan pemutih. Secara logika, itu dapat dibenarkan, tapi lebih jauh lagi apakah hanya dengan memiliki warna kulit yang putih kita menjadi wanita yang terlihat menarik? Pada tahap ini dapat dikatakan masyarakat telah menanamkan sebuah kedangkalan dalam cara berpikir. Iklan “hand and body lotion Marina”, di sana digambarkan seorang perempuan yang memiliki kulit yang gelap kelihatan tidak menarik, kemudian diperlihatkan perempuan tersebut menggunakan hand and body lotion Marina dan hanya dalam beberapa hari kulitnya menjadi putih, iklan tersebut diakhiri dengan segerombolan pria yang mengikutinya. Pada tahap ini masyarakat telah terjebak dalam strategi hipersemiotika berbentuk dusta.
Realitas yang tergambar dari iklan di atas adalah sebuah hal yang tidak mungkin, Marina dapat memutihkan warna kulit dalam waktu beberapa hari, Marina tidak akan penah merubah warna kulit asli orang Papua sebagai konsumen eksperimen yang memiliki kulit berwarna hitam dari keturunan nenek moyangnya. Ternyata iklan-iklan yang muncul melalui media telah membawa kita menjadi bagian dari hiperealitas dan telah menanamkan ideologi dangkal di dalam diri kita sendiri bahwa “untuk dapat terlihat menarik, kita harus berkulit putih”. Begitulah pada akhirnya kita tidak menyadari bahwa kita telah larut di dalam dunia di luar realitas yang semu. Dalam hal ini kita dapat mengatakan hubungan antara hipersemiotik dan ideologi tidak menunjukkan kekalahan bagi pihak ideologi, melainkan hipersemiotik digunakan media sebagai alat untuk menanamkan ideologi-ideologi tertentu sebagai jalan memperoleh suatu tujuan yang menguntungkan bagi pihak produsen.
Maka dari itu jelas terlihat, bahwa manusia semakin tunduk dengan hasrat dan keinginan yang tidak terkendali yang kemudian membawanya beberapa di antaranya ke dunia hiperealitas, dan realitas telah terjepit oleh hypersigns.

DAFTAR PUSTAKA
Milner, Andrew. 1991. Teori kebudayaan kontenporer. Padang: AKSI
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotiiaka, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jala Sutra.
Untung dan Cristomy. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.

Penulis adalah Dosen Sastra Jepang Fakultas Sastra Unand, sekarang sedang melanjutkan study di pasca Linguistik Kebudayaan Unand

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987