Jumat, 19 Juni 2009

KELAS SOSIAL DAN HEGEMONI

Oleh. M. Yunis
Mengungkap tentang kelas sosial membawa kita bertamasya ke alam sosiologi, namun hal itu penulis pikir tidak bisa lepas dari konsep Marx tentang Marxisme atau membayangkan tentang komunisme, penyemblihan manusia, eksploitasi kaum akar rumput, takut, berbahaya, layaknya sebuah hantu yang siap menerkam siapa saja yang menderita dan teraniaya, semuanya itu tidak lebih hanyalah sebuah masa lalu yang pahit.
Zaman kemesan Marxisme sesungguhnya adalah sebuah zaman filsafat kecemerlangan (Pencerahan) abad XIX yang mengungkit Matrealisme, tetapi menentang matrelisme dualistik Feuerbach yang mana dia memandang objek sebagai yang dapat diamati dan tidak sebagai aktivitas kesadaran, perbuatan manusia tidak sebagai praktek manusia (Marx dalam Muawiyah, 2009; 21). Sementara Marx sendiri sebagai penggagas menyatakan bahwa kenyataan itu betul ada secara objektif dan tidak hanya sekedar ide, pandangnya tentang sejarah adalah menjadi sebuah kunci, sebab manusia itu sendiri adalah kunci sejarah. Sejarah dari masyarakat yang ada hingga kini tidak lebih hanya sejarah pertentangan kelas antara budak dengan tuan, tukang dengan ahli, pemerintah dengan rakyat, laki-laki dengan perempuan, dosen dengan Mahasiswa. Artinya, sejarah hanyalah perseteruan antara yang tertindas dengan yang menindas tetapi akan berakhir disaat terciptanya masyarakat yang tidak berkelas.
Sejalan dengan itu Miles dalam Lomba menyatakan bahwa pembentukan kelas itu dilakukan dengan rasialisasi (Loomba, 2001;165). Rasialisasi yang dimaksudkan adalah tidak lebih dari tindakan penguasa (Kolonial) untuk mengakali kaum yang dianggap terbelakang (Budak), terkucil dari segi Ras, Etnis, Ekonomi untuk mengabdi kepada penguasa. Bisa dicontohkan dengan apa yang terjadi di Afrika, bahwa orang Afrika diperbolehkan menempati tanah orang Eropa dengan bayaran orang Afrika bekerja untuk Eropa, setelah itu Eropa menerapkan pajak tunai yang berrujung pada pengabdian total (eksploitasi) orang Afrika sebagai pengganti pajak kepada Eropa, Neo Imperialisme sebuah usaha mengekplotasi dan mengkebiri hak-hak penduduk pribumi (Chomsky, 2008). Meminjam istilah Loomba, cara ini sangat mudah bagi kekuasaan, sebab terlebih dahulu telah dibangun konsep buas mulia. Orang Afrika diberi kesempatan memiliki tanah Eropa jika mau bekerja sama dengan Eropa, berupa berpindah keyakinan, menetap dan bekerja untuk Eropa, maka orang Afrika yang manut tersebut dinamakan dengan Buas Mulia, biar agak elit sedikit seperti yang dilakukan Marx sendiri berpindah keyakinan dari Yahudi ke protestan.
Kode-kode yang serupa terus dibangun oleh penguasa tunggal untuk menjalankan misi kolonialnya hingga ke ranah seksual, seperti cerita yang sering diangkat di dalam kisah injil tentang Ratu Shaba dari Timur, bahwa Ratu yang datang ke Kuil Salomon dengan membawa Emas dengan imbalan Ratu mendapatkan kepuasan seksual dari Sulaiman dan Ratu Indian yang memeluk agam Kristen seteah berlarut-larut bertentangan dengan Inggris, kemudian menikah dengan orang Inggris, selanjutnya kode yang dibangun di dalam film Scorpion King, yang mana seorang perempuan Timur yang mempunyai kesaktian tunduk di bawah Raja Kala Jengking, padahal baginya keperawanan adalah kunci dari kesaktian itu. Nah, cerita ini selalu diungkit-ungkit oleh kolonial untuk menggambarkan ketundukan perempuan Timur, keluarga kerajaan, kelas, bercinta dengan dan diselamatkan oleh laki-laki Eropah akan menjadi cerita bagi perkembangan dunia sekarang. Loomba menyebutnya sebagai sebuah Fantasi Kolonial untuk menciptakan kelas baru bahwa perempuan Timur, kulit hitam, ras terbelakang adalah kelas rendah dan biadab perlu diberi kebudayaan ala Eropa (Penjajahan).
Kelas menengah ke bawah bisa saja menempati posisi menyerupai kelas atas, tetapi bukan kelas atas. Kalaupun kelas menengah ke bawah memegang sebuah kekuasaan tepatnya diberi sedikit wewenang (rasisme) tetapi hanya wewenang yang bersifat menjajah saudaranya sendiri, peraturan dibuat untuk menekan, mengkebiri hak-hak kalangan bawah, contohnya kekurang ajaran yang dilakukan Satpol PP terhadap pedagang kaki lima. Sementara itu, kelas atas tiada pernah menempati posisi kelas menengah ke bawah, kalaupun di antara mereka tidak mendapat kesempatan memegang kekuasaan tetapi tetap mendapatkan perlakuan istimewa dari penguasa setempat, itu pasti sebab penguasa setempat didominasi dan dipegang oleh menengah ke bawah. Contohnya perlakuan yang diberikan terhadap pengusaha. Begitulah usaha kekuasaan yang selalu menjalar hingga ke celah-celah yang sulit dijangkau, pembatasan kelas atas dengan kelas menengah ke bawah tersebut sudah disusun sangat rapi, walau terkadang pembatas tersebut sering dibuka untuk meredam perlawanan kelas bawah.
Jadi, apa yang dikatakan Marx tentang Matrealism bertemu pada titik yang dibahas oleh Loomba tentang konsep kolonial, bagi lomba sendiri kekuasaan (kolonialisme) adalah sarana yang dipakai oleh kapitalisme untuk melakukan ekspansi globalnya, Rasisme hanyalah sebuah sarana yang digunakan oleh Kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja dari daerah jajahan. Nyatanya, kelas pekerja atau para pengabdi adalah kode yang diwujudkan dan digeneralisasikan oleh hegemoni untuk menindas, eksploitasi, penjajahan fisik maupun jiwa demi birahi serakah akan duniawi, wacana gospel, Gold dan Glory menjadi tiang penyangga bagi Barat atau Eropah untuk memegang tampuk kekuasaan. Layaknya sebuah tawaran bagi kaum yang terjajah untuk patuh kepada Hegemoni Barat dan Eropah, membeli jiwa kelas menengah ke bawah dengan agama, lapangan kerja atau dengan wacana saudara tua. Sehingga sifat ketergantungan tumbuh dalam diri masyarakat kelas rendah terhadap tamu yang membawa segudang kemakmuran.
Derita berkepanjangan yang diderita kelas menegah ke bawah itu kelas pernah dilawan oleh Marxs yang sudah dicatat sebagai buas mulia dengan mendirikan Liga Komunis di Brussel 1847 akhirnya menjadi cikal bakal gerakan kaum pekerja internasional pertama dan sebagai dampaknya meletuslah tindakan anarkis hingga wabahnya menjalar ke Indonesia, klimaksnya terjadi pada tahun 1965. Akhirnya, strategi sosialis ini selalau gagal mengukuhkan kemenangan sejatinya untuk melawan Hegemoni.
Jadi, senyatanya telah terjadi bias kelas sosial itu sendiri, ujung-ujungnya akan mengarah kepada perlawanan dan tindakan anarkis dari sekelompok orang yang tidak atau belum pernah merasakan keadilan. Kalupun revolusi terjadi, penderitaan rakyat akan lebih parah sebab revolusi akan belajar dari sejarah masa lalu, kekerasan akan lebih meningkatkan cara mengeksplotasi ganas dan tersistem, tingkat ketakutan dan trouma akan lebih tinggi di dalam masyarakat apalagi masyarakat bawah.
Oleh karena itu, sistim tidak harus melahirkan banyak peraturan yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat dan kepentingan moral tetapi peraturan yang mengangkat hajat hidup masyarakat, adil dan bersahabat dengan orang kecil. Bagimana semua anak bangsa yang masih putus sekolah bisa mengecap bangku sekolah, setelah selesai sekolah mendapatkan pekerjaan yang layak, persamaan perlakuan seperti yang tertera di dalam UUD 1945. Dapatkah kekuasaan membuat bukti dan bukan janji? Sebab selama berabat-abad bangsa ini dijajah karena kita mau dijajah, terpedaya terhadap apa yang ditawarkan oleh orang luar, sementara ekspansi keilmuan yang dihasilkanya tidak pernah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
*Mahasiwa Pasca Sarjana Unand

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987