Senin, 14 Juli 2008

MINANGKABAU YANG HANYA DI DALAM ASA

Oleh M.Yunis**
Pewadahan terhadap pergulatan ide dan pendapat seputar kebudayaan Minang sudah hampir berputik mulut membicarakannya, umpama sepohon kayu mungkin sekarang sudah besar buahnya atau sudah matang dan sudah patut pula dinikmati. Dimulai dari seminar tentang harta pusaka dan warisan pada bulan Juli 1968, kala itu menghadirkan makalah Profesor Mr. Mohammad Nasroen sementara beliau sendiri dikatakan tidak bisa hadir karena sakit, namun begitu lahir jua bukunya yang sampai sekarang masih relevan, ya! siapa yang tidak kenal dengan Dasar Falsafah Adat Minangkabau (1957), dan dalam seminar itu pulalah sebuah lembaga penelitian kebudayaan Minangkabau, Center for Minangkabau Studies digagas Muchtar Naim sebagai direkturnya, kemudian menyusul seminar Sejarah Masuk islam ke Minangkabau di Padang (Juli 1969) yang mana di dalam forum, terjadi polemik misterius antara Buya Hamka dengan Onggang Parlindungan yang dikenal sebagai penulis buku Tuanku Rao. Polemik itu berlanjut di Batusangkar (1970).
Di samping mengahdirkan tokoh-tokoh intelektual cerdik-cendekia, alim-ulama, ninik-mamak, para pembesar, dan para hulubalang dari selingkup Sumatra Barat ketiga seminar ini sempat pula menghadir “brothers from Minang” orang Minang walaupun berasal dari rantau, namun sempat pula merasakan lumpur sawahnya orang Minang, beliau di antaranya Pak Hatta, Buya Hamka, Profesor Bahder Djohan. Alhasil seminar tersebut mencipta sebuah harapan yaitu sebuah Fakultas Sastra di Universitas Andalas. Dengan impian kajian terhadap kebudayaan Minangkabau ditingkatkan, di samping kebudayaan Nusantara lainnya, kebudayaan Islam, dan sekaligus kebudayaan dunia dapat ditekuni dan dipelajari. Di seminar itu juga dikatakan perpaduan antara kebudayaan Minang dengan kebebudayaan Islam harus diperkuat sebab ruh dan sandaran spiritual dari kebudayaan Minangkabau dan Nusantara itu tiada lain adalah Islam. Dengan jalan ini generasi muda dapat berkontemplasi dan bercermin diri: sejauh mana generasi muda mengetahui kebudayaan nenek moyang mereka, khususnya kebudayaan Minangkabau, sehingga dapat diangkat dan memberikan sumbangan yang berarti bagi bangsa dan kemajuan kemanusiaan di masa depan.
Sewaktu Mawardi Yunus menjabat sebagai ketua LKAAM, dipersiapkanlah Impian itu, tepatnya 14-16 Februari 1980 diadakan Lokakarya Persiapan Pembukaan Fakultas Sastra, di Gedung Negara Tri Arga, Bukittinggi. Lokakarya itu juga disponsori oleh Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta, dan Volkswagen Stiffun, Jerman Barat. Sementara tokoh-tokoh yang hadir dalam lokakarya itu yaitu, Soejadmoko, Sutan Takdir Ali Syahbana, Selo Soemarjan, Koencoroningrat, Harsya Bachtiar, Alfian, yana mana sastra dan sosial budaya sudah menjadi makanannya sehari-hari dan seorang profesor Hans Dieter Evers dari Jerman. Wah! memang benar-benar sebuah pesta budaya!
Dalam Lokakarya itu pulalah dibicarakan latar belakang perlunya sebuah Fakultas Sastra dan Sosial-Budaya di Universitas Andalas. Jika pada seminar-seminar sebelumnya lebih mengarah terhadap aspirasi budaya yang lebih bersifat internal dengan penggalian kebudayaan Minangkabau sebagai sentral dan tumpuan perhatian, namun saat itu perhatian lebih ditekankan pada perlunya mencapai kualitas dan prestasi akademik yang dapat menandingi fakultas-fakultas serupa di tanah air. Dalam lokakarya itu juga lahir keinginan untuk Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya ( Naim; Lustrum 3 Fakultas Sastra; Maret 1997).
Selanjutnya politik Mercusuar pun dijalankan, september 1980 yang bertempat di Gedung Negara Tri Arga Bukittinggi, diadakanlah sebuah seminar Internasional dengan tema Kesusastraan, Kemasyarakatan, dan Kebudayaan Minangkabau. Seminar ini memang bercorak internasional tujuannya ialah untuk memancing perhatian para ahli di dalam maupun luar negeri sehingga di saat itu datanglah peserta dari Amerika, Kanada, Australia, Jepang, Korea, Singapura, Malaysia, Belanda, Jerman, Prancis dan Inggris. Namun. Dengan penuh keberanian pula, Muchtar Naim menyampaikan makalahnya yang berjudul “Minangkabau dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara”, akibatnya Rektor Mawardi Yunus pun terbata-bata dalam menanggapi makalah itu.
Alhasil dari seminar itu para panitia persiapan Fakultas Sastra berhasil mengkomunikasikan dan menyebarluaskan informasi tentang pembentukan Fakultas Sastra dan Sosial Budaya ke berbagai universitas di dalam maupun luar negeri, dan sekaligus mengadakan kerjasama antar lembaga di masa-masa yang akan datang. Inilah sebuah harapan.
Namun setelah 2 tahun lelah berjuang akhirnya turun sebuah SK Presiden No.39 tahun 1982, bahwa Fakultas Sastra Universitas Andalas disetujui. Bahkan Fakultas Sastra didahulukan pembukaannya dari pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Saat itu, Fakultas Sastra memiliki 4 jurusan: Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sejarah, dan Sosiologi. Jurusan Sastra Indonesia menyelenggarakan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Jurusan Sosiologi Program Studi Sosiologi dan Antropologi. Pada akhirnya tahun 1983 dibuka pula Jurusan Sastra Daerah dengan Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau.
Nah tercapai jualah yang diangan-angankan itu, sebab dengan berdirinya jurusan sastra darah Miangkabau lebih diharapakan penggalian terhadap budaya minang lebih intensif. Pada saat itu sebuah beban berat telah terusung di atas pundak orang Minang terlebih lagi generasi muda semakin mengakar. Sudah sepatutnyalah kita bangga, Fakultas sastra berdiri atas inisiatif dari generasi yang padat wawasan, serta menguasai banyak bahasa asing, hal itu pun dilatari oleh sebuah keinginan untuk menggali kebudayaan Minangkabau.
Mungkin dengan berdirinya Fakultas Sastra harapan itu belum sepenuhnya terwujut, maka kembali diadakan seminar Internasional Minangkabau tangal 23-24 Agustus 2004 dengan tema: Minangkabau dan Potensi Etnik dalam Paradigma Multikultural, yang diselenggarakan oleh Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau, Jurusan Sastra Daerah-Universitas Andalas, pada tanggal 23-24 Agustus 2004, di Inna Muara Hotel-Padang.
Seminar itu dihadiri oleh pemakalah dari dalam maupun luar negri, seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra dari UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Sjafri Sairin, Prof. Dr. Hasanuddin WS, Prof. Dr. Faruk dari UGM, Prof. Dr. Bustanuddin Agus, Prof. Mohtar Naim, Prof. Sjahmunir AM, Ding Choo Ming, Ph.D, Prof. Dr. I Gde Pitana, Amin Sweeney, Dr. Oman Fathurahman, Dr. Jufrizal, Dr. Yayah B. Luminta Intang, APU., Dr. Herwandi, Dr. Nursyirwan Effendi. Bahkan seminar itu lebih meriah dan lebih mercusuar dari tahun 1980.
Kemudian tanggal 23-24 Desember 2004 yang lalu, berlangsung pula seminar Internasional dengan tema ‘’Retropspeksi, Reposisi, dan Revitalisasi Kebudayaan Minangkabau’’ di Bumi Minang Padang. Kali ini kerisauan serta kecemasan kembali mengemuka sehinggapara pemikir dalam forum akhirnya sepakat memfonis bahwa kebudayaan Minangkabau sedang mengalami pengkroposan dan degradasi nilai. Dikatakan orang Minang perlu intropeksi diri agar kebudayaan minang tidak tercabut dari akar budayanya sendiri. Akhirnya lahirlah modus yang dirasa tepat untuk mewujudkan smua keinginan itu dan selanjutnya disampaikan pada pemerintahan daerah.
Nah, ternyata kebijakan tersebut terkesan dikerjakan setengah (Herwandi: 2007), sehingga pada 29-30 November 2006 di Inna Muaro Hotel lahir kembali sebuah kongres kebudayaan yang diselengarakan oleh pemerintahan daerah Sumatera Barat betemakan ‘’kongres kebudayaan dan Apresiasi Seni’’. Dalam seminar itu yang diundang hanya penghulu-penghulu dan pemuka Adat di Sumatra Barat tanpa melibatkan Akademik dan intelektual muda sehinga lahirlah gagasan untuk mendirikan kembali kerajaan Minangkabau. Pertentangan pun kembali mencuat, ada sebagian orang Minang setuju, sebagian mengutuk dan sebagian Abstain.
Kenyataannya, rentetan seminar-seminar di atas juga didak mampu melahirkan sebuah komitmen bersama budayawan Minang, untuk mambangkik batang tarandam, tapi hanya berlanjut menjadi sebuah sebuah harapan baru, sedangkan harapan terdahulu belum juga terwujut. Barangkali budaya Minangkabau hanya dijadikan kendaraan politik saja.
Kalau memang pemerintah memang benar-benar serius dalam menyikapi dan memeprhatikan kebuadayaan Minangkabau, pemerintah tidak harus perlu turun tangan kelapangan, biarlah orang-orang yang kenal dengan lumpur sawahnya orang Minang yang akan melaksanakannya. Lagi pula sarana dan prasarana untuk itu sesungguhnya sudah tersedia. Intelektual seminar tahun 1980-an yang menggagasnya. Tetapi, pemerintah sendiri sepertinya tidak acuh, sehingga sarana itu pun sampai sekarang tidak seluruhnya orang tahu, sehingga egoisisme yang dimiliki pemerintahan juga diwarisi oleh generasi selanjutnya.

**Alumni Sastra Minangkabau

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987