Minggu, 10 Agustus 2008

Bataram : Sastra Lisan Minangkabau

Sunday, 04 September 2005

Oleh:Zuriati

Bataram adalah salah satu ragam tradisi bakaba (menceritakan kaba, yakni satu jenis sastra lisan Minangkabau yang
berisi cerita dan berbentuk prosa liris), yang khususnya terdapat di Pesisir Selatan, Sumatra Barat, dan dalam
pertunjukannya memakai adok (rebana besar) sebagai alat musik pengiring.
* (Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang)
Cerita yang dibawakan dalam tradisi bataram ini yaitu cerita Kaba Sutan Pangaduan. Kaba Sutan Pangaduan ini
bercerita tentang Sutan Pangaduan sebagai tokoh utama cerita. Dia adalah anak dari Raja Gombang Patuanan dari
Kerajaan Nagari Medan Baik dan Puti Andam Dewi dari Nagari Jerong Kampung Dalam. Sutan Pangaduan ini bernasib
malang: Ayahnya dibunuh oleh Raja Unggeh Layang dari Nagari Taluk Sinalai Tambang Papan sewaktu dia masih
dalam kandungan ibunya dan ibunya ditawan untuk dijadikan istri oleh Unggeh Layang. Kemudian, cerita berkembang
dalam kerangka Sutan Pangaduan membebaskan ibunya dari tawanan Raja Unggeh Layang dan saudaranya. Dalam
membebaskan ibunya, Sutan Pangaduan dibantu oleh saudara-saudaranya yang seayah, yaitu Puti Sari Makah, Sutan
Palampaui, dan Sutan Lembak Tuah. Semua tokoh yang hadir dalam cerita ini memiliki ilmu kebatinan yang sangat
tinggi. Oleh karena kehebatan ilmu yang dimiliki oleh Sutan Pangaduan dan saudara-saudaranya, maka pihak Raja
Unggeh Layang menyerah kalah dan membiarkan musuh-musuhnya hidup dengan tenang dan damai.
Cerita Kaba Sutan Pangaduan ini dikenal juga dengan judul Kaba Gombang Patuanan. Judul tersebut pertama
didasarkan pada nama anak dalam cerita, yakni Sutan Pangaduan (sebagai tokoh utama) dan judul tersebut kedua
didasarkan pada nama ayah dari tokoh utama, yakni Gombang Patuanan. Kedua judul itu merujuk kepada cerita yang
sama. Cerita ini didendangkan oleh seorang pendendang (singer) yang disebut dengan tukang taram. Pendendang atau
tukang taram ini sekaligus berperan sebagai pemain musik adok. Biasanya, cerita diselesaikan dalam empat kali
pertunjukan (empat malam).
Penamaan bataram didasarkan pada nama orang yang pertama kali memperkenalkannya, yaitu Angku
‘Engku’ Taram. Penamaan itu berbeda dengan penamaan pada ragam tradisi bakaba lainnya di
Minangkabau, seperti si jobang, rabab pasisie, dan rabab pariaman. Penamaan si jobang didasarkan pada nama tokoh
utama dalam cerita, yaitu Anggun nan Tongga Magek Jabang, yang dalam bahasa Payakumbuh menjadi Jobang; dan
rabab pasisie serta rabab pariaman didasarkan pada gabungan nama alat musik yang dipakai dalam pertunjukannya,
yaitu rabab (sejenis biola) dan nama daerah tempat asal ragam tradisi itu, yaitu Pesisir Selatan dan Pariaman.
Biasanya, bataram dipertunjukkan di rumah penduduk yang sedang menyelenggarakan helat perkawinan, di lepau, dan
di lapangan (panggung) terbuka jika ada acara alek nagari ‘pesta adat’. Dalam pertunjukannya, tukang
taram duduk bersila di atas kasur yang dilengkapi dengan dua bantal. Satu bantal dipergunakan tukang taram sebagai
sandaran dan satu bantal lagi diletakkan di atas paha tukang taram yang dipergunakan sebagai alas adok. Tidak ada
aturan khusus mengenai posisi tempat duduk tukang taram ini.
Bataram dipertunjukkan pada malam hari, selepas shalat Isya (kira-kira pukul sembilan malam) sampai menjelang
Shubuh (kira-kira pukul lima pagi). Awalnya, pertunjukan berlangsung selama empat malam dan satu malam pertunjukan
disebut dengan sakalawang (satu babak). Akan tetapi, biasanya, pertunjukan yang diadakan di lepau hanya berlangsung
sampai pukul dua dini hari. Begitu juga, pertunjukan yang diadakan di pesta perkawinan atau di lepau hanya
berlangsung selama satu malam atau sakalawang (satu babak) dari empat kalawang (babak) cerita. Cerita yang
dipertunjukkan dalam satu babak itu dianggap selesai atau tamat oleh penonton (khalayak). Oleh karena itu, babak yang
akan dimainkan atau dipertunjukkan dapat dipesan, terutama oleh pihak pengundang. Artinya, pihak pengundang boleh
memesan satu babak cerita yang paling diminati dari empat babak yang ada dalam cerita.
Dalam satu kalawang pertunjukan, tukang taram beristirahat sebanyak tiga kali. Waktu istirahat itu dipergunakan oleh
tukang taram untuk merokok dan menikmati jedah yang disediakan oleh tuan rumah, sambil bersenda gurau dengan
para penonton mengenai tokoh-tokoh cerita yang baru saja didendangkannya. Lama waktu yang dipergunakan untuk
beristirahat ini kira-kira lima belas sampai dua puluh menit.
Alat musik adok merupakan alat musik tunggal yang dipakai dalam pertunjukan bataram. Adok ini diletakkan di atas
paha tukang taram yang duduk bersila, dengan posisi tegak. Jadi, adok itu terletak di antara paha dan dagu tukang
taram. Tangan kanan tukang taram berfungsi untuk memukul adok bagian bawah dan menghasilkan bunyi atau irama
tertentu. Tangan kiri memegang adok bagian atas dan menghasilkan bunyi atau irama peningkah.
Adok dipukul perlahan dan dipukul agak cepat dan keras pada saat tukang taram mengambil napas. Pukulan terhadap
adok akan berhenti sejenak pada saat ratok ‘ratap’. Ratok ‘ratap’ ini merupakan bagian
cerita yang mengungkapkan kesedihan para tokoh, yang disampaikan dengan cara meratap atau menangis oleh tukang
taram.
Solok Selatan
http://www.solok-selatan.com Powered by Joomla! Generated: 11 August, 2008, 00:28
Penonton atau khalayak dari bataram didominasi oleh laki-laki. Jika ada penonton dari kaum perempuan, itu hanya
bersifat sementara, sebagai ungkapan rasa ingin tahu saja. Kaum perempuan ini hanya mancigok sabanta
‘melihat sebentar’ dari dapur. Artinya, bataram ini adalah suatu dunia milik kaum laki-laki. Hal itu sangat
didukung oleh, antara lain waktu pertunjukan pada malam hari dan jenis kelamin tukang taram yang laki-laki pula.
Biasanya, pada awal pertunjukan, penonton terdiri atas anak-anak, remaja, pemuda, dan orang tua-tua. Semakin malam
waktu pertunjukan, semakin berkurang pula penontonnya. Penonton yang bertahan sampai pertunjukan usai (sampai
pagi) adalah penonton yang tua-tua. Bagi kaum muda, datang ke pertunjukan bataram bukanlah untuk menonton, tetapi
terutama untuk bertemu dan berkumpul dengan teman-teman sebaya mereka.
Sebaliknya, bagi kaum tua, datang ke pertunjukan adalah untuk menikmati cerita. Mereka terus bertahan sampai cerita
selesai (sampai pagi). Mereka merasa diikat oleh cerita, dalam arti bahwa mereka merasa terlibat dan hanyut dalam
cerita serta menganggap cerita itu benar-benar pernah terjadi. Mereka akan terus bertahan, karena ingin tahu cerita
selanjutnya dan selengkapnya. Ketertarikan mereka dengan pertunjukan, kadangkala, diselingi dengan sorakan-sorakan
dan komentar-komentar kecil, terutama berkenaan dengan tokoh-tokoh dan jalan cerita. Kadang-kadang pula, mereka
berdecak kagum dengan diiringi oleh gerakan gelengan kepala, ketika tukang taram melukiskan kehebatan ilmu yang
dimiliki oleh para tokoh cerita.
Teks bataram berbentuk prosa liris dengan ciri rima akhir pada setiap larik bersajak bebas. Di samping itu, pada bagianbagian
tertentu dalam cerita dipergunakan pantun, yaitu pada bagian awal babak pertama, ketika tokoh-tokoh berpisah,
dan ketika peralihan cerita dari satu tokoh kepada tokoh yang lain. Contohnya:
Kaik bakaik rotan sago
nan takaik juo di aka baha
sampai ka langik tabarito
di bumi jadi kaba
(Kait berkait rotan sagar terkait juga pada akar bahar sampai ke langit terberita di bumi jadi kaba)
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Minangkabau dialek Pesisir Selatan, dan kadangkala juga dipakai bahasa
Minangkabau umum. Teks bataram ini menggunakan kata-kata kiasan, perumpamaan, dan perbandingan. Jadi, bahasa
teks bataram ini berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Pesisir Selatan khususnya dan
masyarakat Minangkabau umumnya. Namun begitu, kata-kata yang digunakan tidak sepenuhnya bersifat tradisional.
Kadangkala, tukang taram mempergunakan istilah-istilah modern, misalnya kata boong ‘bohong’.
Dalam teks bataram terdapat banyak bunyi sisipan (filler sylables), yang berfungsi sebagai penerus atau penyempurna
bunyi (irama). Contohnya:
Ndeh diak kanduang yo dek diri
dangalah bana di diak kanduang
rasian yo diak oi … kato rang kampuang
mimpi yo diak ei … kato kito
(Adik kandung badan diri dengarlah oleh adik kandung rasian kata orang kampung mimpi kata kita)
Banyaknya ditemukan bunyi-bunyi sisipan (filler sylables) itu disebabkan oleh penciptaan larik-larik teks didasarkan pada
kesatuan pengucapan dengan panjang yang relatif sama atau caessura. Pada dasarnya, caessura adalah penggalan di
tengah baris –satu baris terdiri atas 8 – 12 suku kata -- untuk kepentingan irama, dan ia juga merupakan
penggalan penanda untuk bagian kedua. Bunyi penyisip itu akan muncul, bila jumlah suku kata atau kata dalam
kesatuan pengucapan kurang dari yang diperlukan (untuk kepentingan irama). Sebaliknya, apabila suku kata atau kata
berlebih, maka terjadi pelesapan suku kata, terutama di awal kata, seperti kata ‘teh, ‘ndeh, dan
‘ndak. Kata ‘teh berasal dari kata ateh ‘atas’ dan ‘ndeh berasal dari kata ondeh
‘aduh’ serta ‘ndak berasal dari kata indak ‘tidak’.
Pertunjukan bataram diawali dengan pembakaran kemenyan. Pembakaran kemenyan ini dilakukan sebagai tanda minta
izin kepada arwah tokoh-tokoh cerita yang dianggap benar-benar ada pada masa cerita itu. Biasanya, setelah kemenyan
terbakar dan mengeluarkan asap dengan baunya yang khas, ketika itu cecak yang ada di loteng akan berbunyi dengan
keras. Lalu, suara cecak itu dibalas oleh tukang taram dengan cara mengetuk-ngetuk lantai dengan jarinya sebanyak
tiga sampai lima kali. Hal itu dipercayai sebagai tanda bahwa arwah tokoh-tokoh cerita itu ‘hadir’ di tempat
pertunjukan. Kemudian, barulah tukang taram melanjutkan pertunjukan.
Selama pertunjukan, tukang taram berkonsentrasi dengan cerita yang sedang dibawakan. Kadang-kadang, ia
menutupkan mata, kadang-kadang melihat kepada penonton, dan kadang-kdang juga menekurkan kepala.
Pertunjukan yang berlangsung selama empat malam diakhiri atau disempurnakan dengan memotong kambing atau dua
ekor ayam. Jika, kegiatan akhir ini (sebagai syarat yang harus dipenuhi pada akhir cerita) tidak dilaksanakan, maka
Solok Selatan
http://www.solok-selatan.com Powered by Joomla! Generated: 11 August, 2008, 00:28
tukang taram percaya, bahwa dia akan menjadi seorang pesakitan, atau sesuatu bencana (alam) akan terjadi menimpa
masyarakat, terutama para nelayan di lautan.
Sumber : Dendri Leonaldi ( Aktifis JEMARI Sakato )

http://www.minangkabau.info

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987