Kamis, 27 Desember 2007

JOADAH TANGGUNG JAWAB YANG BERWJUD MAKANAN


Oleh: M.YUNIS*


Koleksi: M.Yunis, 27 Januari 2006
Joadah siap diantar ke rumah mempelai laki-laki, di Korong Toboh Olo, Kecamatan Sintuk Toboh Gadang, Kabupaten Padang –Pariaman (Sumatera Barat).

‘’Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang’’ ialah suatu pepatah yang kerap digunakan oleh orang Minang untuk menyatakan penghargaannya terhadap adat istiadat yang berbeda-beda di setiap daerah. Adat istiadat yang berbeda-beda inilah nantinya akan menghasilkan berbagai macam karya yang beraneka ragam. Hal itu dapat menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat pengukung kebudayaan tersebut. Buah karya itu tidak hanya berupa artefact, karya tulis, jenis makanan yang dihasilkan juga dapat menempati posisi itu.
Buah karya yang berupa artefact berupa perkakas-perkakas adat seperti carano, keris dan lain sebagainya. Karya yangberupa tardisi lisan seperti pidato adat yang dinamakan dengan pasambahan, patun-pantun dan mamangan adat. Sedangkan karya tulis berupa naskah-naskah lama atau perjanjian-perjanjian lama. Tatapi dalam tulisan ini, tidak membahas buah karaya tersebut secara keseluruhan, karya yang berupa makanan menjadi topik pembicaraan kali ini.
Buah karaya yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut sperti rendang sekarang sudah menjadi hak paten Malaysia, galamai yang merupakan makanan khas Payakumbuh, dan joadah yang merupakan makanan khas Pariman. Jenis makanan ini bisa dikatakan sebuah karya budaya tak obahnya seperti artefact, karya tulis maupun karya lisan karena di samping menjadi ciri khas suatu masyarakat, jenis makanan itu juga telah diwarisi secara turun-temurun oleh generasi selanjutnya.
Di antara jenis makanan di atas, joadah adalah makanan yang mungkin cukup asing bagi masyarakat luar karena joadah hanya terdapat di Pariaman. Keasingan tersebut akan semakin jelas jika kita memperhatikan bentuk dan ukurannya. Sangat berbeda dengan jenis makanan lain, joadah terdiri dari sekumpulan jenis makanan yang penamaan terhadap masing-masingnya juga berbeda. Joadah tidak dinamakan dengan joadah, apabila kurang salah satu dari jenis makanan yang mendukungnya sebab masing-masing jenis makanan itulah yang membangun keutuhan joadah sesuai dengan tingkatan dan posisinya di atas dulang.
Pada tingkatan paling bawah dinamakan dengan wajik berwarna hitam terbuat dari adonan beras, menyerupai segi tiga yang mana salah satu sudut segitiga mengarah kepusat titik lingkaran dulang. Pada tingkatan kedua dari bawah adalah luwo, warnanya putih agak kekuning-kuningan yang terbuat dari beras yang sudah dihaluskan dicampur dengan gula enau. Pada tingkatan ketiga dinamakan dengan julo bio, berwarna merah bentuknya juga segi tiga tapi keras kalau digigit. Pada tingkatan keempat dari bawah dinamakan dengan kanji, warnanya hitam dan rasanya agak kenyal dari wajik. Dari proses pembuatan kanji adalah unsur dari joadah yang membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan sampai seharian penuh.. Sebelum berbentuk kanji terlebih dahulu beras dihaluskan menjadi tepung. Pada tingkatan kelima dari bawah dinamakan dengan kipang, terbuat dari beras yang digoreng kemudian dicampur dengan gula saka cair sehingga mengeras setelah dibentuk menjadi segi tiga. Tingkatan keenam dari bawah dinamakan dengan kareh-kareh, berwana merah dan lembut jika digigit. Pada posisi terakir seperti yang terlihat pada gambar ialah kue bolu. Sebenarnya kue bolu tidak termasuk dari susunan joadah, kehadirannya hanya penambahan di kemudian hari. Sebab zaman sekarang semuanya serba moderen, joadah pun dimodivikasi. Meskipun penamaan masing-masingnya berbeda-beda, tetapi sama-sama berasal dari beras.
Dari sisi adat istiadat Pariaman, Joadah merupakan jenis makanan yang serta merta hadir dalam mengiringi mempelai wanita ketika datang pertama kali (manjalang) ke rumah mempelai laki-laki. Kata mengiringi di sini bukan berarti joadah dibawa secara bersamaan dengan mempelai wanita, tetapi joadah diantar terlebih dahulu sebelum mempelai wanita sampai di rumah mempelai laki-laki.
Proses pemuatan dilakukan sehari sebelum pesta atau upacara dilakukan, dimulai dari mengolah beras menjadi tepung beras, membeli gula sesuai dengan kebutuhan, dan mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan dalam proses pembuatan, melengkapi bumbu–bumbu tertentu yang menambah cita rasa joadah, kemudian dilaksanakan proses pembuatan joadah. Prosesi ini, dinamakan dengan ‘’mahakhu’’ dalam bahasa Indonesia adalah mengaduk, mengacau, pengacau hingga mempunyai bentuk. Untuk itu masyarakat memerlukan sebuah ‘’kancah’’ besar atau kuali besar. Dulu dalam arena ‘’mahakhu’’ selalu melibatkan pemuda-pemuda, sebab untuk melakukan pengadukan membutuhkan tenaga yang kuat, sorak-sorei kebahagian mengisi akan suasana tersebut. Tetapi, sekarang tidak ditemukan lagi pemuda-pemuda yang andil dalam pekerjaan ini, sebab di samping para ahli joadah merasa sanggup, pikiran pemuda sekarang telah didominasi oleh gengsi.
Proses pengantaran pun sebenarnya menjadi tanggung jawab pemuda-pemuda, namun sekarang sudah diwakilkan kepada salah seorang pengantar bayaran, tetapi dikomandoi oleh salah seorang urang salapan, yaitu salah seorang dari orang tua korong perempuan yang dipilih dan dipercaya secara adat untuk mengemban tugas ataupun membantu tuan rumah yang sedang melaksanakan pesta perkawinan yang berjumlah delapan orang.
Jika dilihat dari segi bentuk Joadah hanyalah jenis makanan yang tersusun di atas wadah bulat dan datar (dulang atau talam), yang mana penyusunannya diciptakan sebagus mungkin dan bahkan biaya yang dibutuhkan bisa mencapai jutaan rupiah. Jika, penciptaan bentuk sudah selesai, maka permasalahan kedua yang harus dihadapi ialah penafsiran yang bermacam-macam dari masyarakat. Joadah yang besar ditafsirkan oleh masyarakat bahwa pihak mempelai wanita berasal dari kaum bangasawan atau kalangan terhormat, dan joadah yang kecil bisa ditafsirkan bahwa mempelai wanita berasal dari keluarga sederhana atau miskin.
Sejalan dengan itu, joadah juga dijadikan simbol keperawanan calon mempelai wanita. Apabila rasa joadah kurang enak atau tidak tahan lama, sepeti ungkapan masyarakat sekitar, ‘’ kipangnyo badarai’’ (kipangnya sudah hancur), berarti mempelai wanita tidak perawan lagi. Jika hal ini terjadi, diwajibkan bagi pihak mempelai wanita untuk waspada, bisa saja pesta pernikahan batal seketika. Jadi, berbagai macam penafsiran tersebut akan muncul sangat tergantung bagaimana bentuk dan rasa joadah tersebut setelah bermuara di kerongkongan.
Dari sisi adat istiadat Pariaman, Joadah hanyalah jenis makanan yang serta merta hadir dalam mengiringi mempelai wanita ketika datang pertama kali (manjalang) ke rumah mempelai laki-laki. Kata mengiringi di sini bukan berarti joadah dibawa secara bersamaan dengan mempelai wanita, tetapi joadah diantar terlebih dahulu sebelum mempelai wanita sampai di rumah mempelai laki-laki.
Namun, kogotong royongan, sama rasa ketika itu sangat jelas tampak. Tak obahnya sebuah tanggung jawab yanag sangat besar yang harus diemban secara bersama oleh masyarakat, dimulai dari proses pembuatan dikerjakan dengan cara gotong royong di rumah mempelai wanita, tetapi tetap dikomandoi oleh seorang ahli joadah. Kemudian keperawan mempelai wanita juga menjadi tanggung bersama anggota masyarakat. Jadi, individu sebagai anggota masyarakat tidak akan bisa hidup tanpa bantuan sesama, mulia individu mulia masyarakat, mulia masyarakat mulia pula individu, begitulah seterusnya.
**Alumni Sastra Minangkabau

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987