Rabu, 02 Januari 2008

KEBUDAYAAN JANGAN HANYA DIJADIKAN SIMBOL

Oleh M.yunis**

Rumah gadang telah terbakar, sebuah duka kembali mengunjungi dunsanak di sumatra barat. Si jago merah baru saja menunaikan tugasnya. Minangkabau berduka kembali, sudah bertahun-tahun symbol kejayaan Minang berdiri dan sekaligus menjadi sumber semangat bagi orang Minangkabau. Tapi yang tersisa adalah sebuah kesedihan, tangis sesal, hatinya perih atau gembira karena runtuhnya symbol kejayaan.
Di dalam Istano yang dibangun 1977 itu, tersimpan keris menyusu alam, keris 9, stmpel Sati Abdul Jalil, 2 tongkat dan seda Alam, kain-kain permadani ludes di lalap si jago merah (Singgalang 1 Maret 2007, Hal 3). Mungkin juga di dalam ustano tersebut terdapat bermacam-macam naskah-naskah lama, semakin menambah cepatnya api menghanguskan rumah bagonjong tersebut. Nah inilah sebuah kesalahan, selama ini benda-benda bersejarah itu hanya disimpan, tapi tidak diteliti keberadaan serta perannya di masa lalu, tapi sekarang apa mau dikata semua lenyap hanya dalam hitungan detik.
Media masa mengabarkan, bahwa api berasal dari sambaran petir, konon runcingan-runcingan yang yang ada di gonjong rumah bagonjong itu mampu untuk menangkal petir. Tetapi tetap pada malam itu tidak berfungsi. Malahan dapat mengundang petir (Singgalang 1 maret).
Kita coba menalaah dari sudut pandang yang berbeda. Kita mewarisi sejarah, bahwa pada masa perang paderi Rumah Gadang yang asli, telah dibakar oleh kaum padri dan keluarga pagaruyung dibantai secara besar-besaran di Koto Tangah oleh Tunku mansiangan. Berawal dari musyawarah seputar konflik antara kaum adat dengan kaum agama, diundanglah keluaga Pagaruyung. Di dalam suasana rapat, sesaat muncul Tuanku Mansiangan bekas preman yang haus duniawi, diiringi pasukan berkuda. Pada saat itu, keluarga kerajaan kocar-kacil dan bersimbah darah. Hal ini, sebagai dampak dari pertentangan antara kaum Adat dengan kaum Paderi, sehingga perang saudara tersebut berujung maut. Namun, beberapa waktu pertempuran mengarah melawan Belanda, kaum adat dengan kaum agama bersatu kembali untuk mengusir penjajah, setelah menghimpun seluruh kaum adat dan seluruh kaum agama di Puncak Pato, yang terkenal dengan sumpah sati Bukik Marapalam (Marepekan Alam) dan lahil adat basandi syarak, syarak basandi adat. Sebenarnya ini adalah Marapalam jilid II, sementara Marapalam I sudah terjadi sebelumnya yang mana dalam Sumpah sati Marapalam I ini Syeh Burhanuddin dan sebelas orang Raja dari Pariaman ikut serta (Suryadi, 2004).
Sekarang, sejarah kembali berulang, tetapi dalam versi lain. Kali ini petirlah yang dijadikan kambing hitam, seakan-akan tuhan sendiri yang datang untuk membakar istano pagaruyung.Artinya identik juga dengan islam. Kaum paderi?
Kita juga masih ingat kongres kebudayaan yang diadakan di Bumi Minang, yang membahas seputar adat Minangkabau, bahkan keinginan untuk membentuk simbol kerajaan ditumbuhkan. Masyarakat Minang harus mengahadirkan simbol Raja dan Basa ampek balai. Namun, mendapat sanggahan dari sebagain orang awak dan ada juga yang mendukung rencana itu.
Seiring dengan itu, konflik seputar adat Minangkabau terus bermunculan, walau dalam skala kecil. Kita boleh memperhatikannya dalam seminar-seminar yang membahas permasalahan seputar Adat Minang, selalu terjadi saling menyerang antara praktisisi adat dengan peseta atau peserta dengan peserta. Alhasil, penyeleasian berakir seiring berakhirnya seminanr. Selesakah permasalahan adat smapai di situ?
Sekarang program kambali ka Nagari telah dijalankan, seiring keluarnya peraturan otonomi daerah yang terbaru. Semangat untuk mengeksiskan kembali Adat istiadat Minang cukup mengisi lingkungan Sumatra Barat. Patut kita pikirkan, kambali kanagari, kembali kasurau bukan kambali tidur di surau, kambali kekerajaan apakah tidak terlalu paranoid? Sementara itu, harta pusaka yang ada di bumi orang Minang terus saja diperdagangkan oleh mamak-mamak, tanah-tanah ulayat sudah mulai dibangun pabrik-pabrik, entah lupa atau sengaja, padahal harta pusaka hanya bleh digadaikan dan bukan dijual, itupun didukung oleh persyaratan yang kongkrit yaitu jika rumah gadang katirisan, gadih gadang alun balaki dan mayik tabujua di tangah rumah, kini syarat tersebut hilang sudah. Lain lagi dengan kemenakan-kemenakan, juga sudah ramai berkeliaran mengisi penghujung malam seperti di Kota Padang, pengamen-pengamen bertebaran, anak usia sekolah terpaksa menyambung hidup dipelataran lampu merah. Di saat razia, Sat pol PP Mengajukan pertanyaan dasar. Nama; Dedi, Suku Tanjuang, atau PSK Nama yanti, suku Piliang. Nah, apa yang terjadi? Ternyata anak-anak atau remaja itu juga mempunyai seorang mamak.
Hal di atas, sepatutnya terjadi karena apa yang dikatakan ideologi keminangkabauan telah tercemari. Gelar Datuak sudah biasa dibeli, pejabat-pejabat degan sangat gampang bisa mendapat gelar itu, walau pejabat itu bukan orang Minang dan juga mendapat sako hadiah dari oang Minang. Segampang itukah memperoleh gelar datuak? lalu kemana datuak-datuak yang sebenarnya, merantaukah dan apakah sistem mati batungkek budi tidak berlaku lagi? atau mungkin orang Minang sendiri tidak mau mengusung gelar tersebut karena terlalu berat resikonya. Dan tambah tidak mungkin lagi, bila gelar itu diberikan kepada orang luar sebab setelah mendapat gelar dari orang Minang, dia harus kembali menjalankan tugasnya sebagai pejabat (pulang kampung) bisakah orang Minang berharap banyak kepada orang yang seperti itu, mungkin hanya yang didapat sekadar kebanggaan sesaat karena mendapatkan dunsanak angkek dari luar, apalagi seorang pejabat.
Sesampai di kampung, mereka kembali menindas rakyat kecil berebut rapel, gaji naik. Akhirnya konflik juga terjadi di kalangan pejabat. Alhasil, muncul peraturan baru PP No 37. Sekarang sudah mau direvisi kembali, tapi para wakil rakyat yang ada di DPR Demontrasi menolak revisi PP No. 37. Nah, kapan Bapak-bapak itu punya waktu untuk memikirkan dunsanak angkatnya yang ada di Sumatra Barat.
Mungkin kiranya perlu digagas kembali Sumpah Sati Bukik Marapalam jilid III, agar pertentangan-pertentangan yang menjadi perdebatan dalam setiap seminar atau diskusi tentang Adat Minangkabau dapat diluruskan, mungkin setelah itu perlu disusul dengan Marapalam jilid IV dan seterusnya.

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987