Senin, 14 Juli 2008

KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH

Oleh M.YUNIS

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang, begitulah pepatah Minang. Setiap daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda, walaupun tujuan mereka sama akan tetapi cara mereka dalam mengekspresikan budaya tersebut penuh dengan kreasi, yang mereka pandang mulia dan baik, walaupun tidak sesuai dengan kelogisan.
Di ranah Minang ditemukan tradisi-tradisi yang tergolong unik dan penuh kreasi. Tradisi-tradisi ini berupa upacara-upacara perkawinan, upacara kematian, pengangkatan penghulu dan lain sebagainya, yang tentunya menempati posisi yang sangat penting bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Namun tulisan kali ini akan membahas tadisi upacara perkawinan yang harus dipandang dengan pemikiran terbalik, dan bukan melihat untung ruginya melaksanakan upacara tersebut.
Dari dahulu Minangkabau, terkenal dengan kebudayaannya yang unik tetapi bersahaja. Salah satu keunikan dapat kita perhatikan dalam memperingati upacara kematian yang masing-masing Nagari yang berbeda, mempunyai cara dan corak yang berbeda pula untuk merealisasikannya. Di Nagari Toboh Gadang (kesatuan wilayah terkecil dalam kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Nagari) Pariaman misalnya, dalam memperingati upacara kematian, terkenal dengan ’’sahari manamaik (hari pertama), manduo hari (hari kedua), manigo hari (hari ketiga), manujuah hari (hari ketujuh), duo kali tujuah (hari keempat belas), 40 hari dan 100 hari’’. Upacara ini, merupakan rentetan-rentetan pelaksanaan upacara kematian di Nagari tersebut, yang mana dilaksanakan setelah mayat disemayankan.
Pada pelaksanaan upacara pertama hingga upacara selanjutnya, dilantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dengan memuja dan memuji kebesaran Allah ta’ala. Uapacara ini, dilakukan dengan mengundang ‘’urang siak’’ yaitu perangkat-perangkat surau (mesjid) di antaranya Tuanku, Imam, Labai, Khatib dan Bilal, serta diikuti oleh pegawai-pegawai surau lainnya. Mereka inilah nantinya yang akan membacakan ayat-ayat suci tersebut, mereka diundang selama tiga malam pelaksanan upacara ini yaitu malam pertama, kedua dan ketiga. Lantunan-lantunan ayat Al-Qur,an terus dibacakan hingga mencapai zikir kemudian ditutup dengan makan bersama. Sebelum mereka pulang ketempat masing-masing, terlebih dahulu mereka diberi sedekah berupa uang yang berkisar Rp 10.000,00 per orang.
Setelah hari kematian anggota keluarga tersebut mencapai 7 hari, para urang siak diundang kembali untuk melaksanakan upacara manujuah hari. Setelah 14 hari kematian mereka diundang untuk melaksanakan upacara duo kali tujuah (14 hari ), begitu juga dalam pelaksanan upacara 40 hari dan 100 hari kematian.
Meskipun rentetan-rentetan upacara tersebut bertujuan sama, yaitu meminta do,a keselamatan kepada Allah SWT terhadap kerabat yang sudah meninggal, namun pelaksanaanya berbeda satu sama lainnya. Pada saat sahari manamaik (pada hari pertama kematian), pemfokusannya lebih banyak kepada pembacaan ayat Al-Qur,an hingga zikir duduk dan selesailah upacara pertama. Orang yang mengahadiri upacara ini adalah kerabat-kerabat dekat saja, yang diakhiri dengan makan bersama, kemudian para urang siak diberi sedekah berupa uang.
Pada malam kedua upacara kembali dilanjutkan. Pada saat ini, upacara sudah mulai dihadiri banyak orang, termasuk masyarakat sekitar yang ikut berkabung. Pelaksanaan upacara ini, sama halnya dengan yang di atas, akan tetapi ada sedikit tambahan, ‘’urang siak’’ melaksanakan zikir dari duduk hingga zikir dengan berdiri. Upacara ini, juga ditutup dengan makan bersama, akan tetapi pada malam ini urang siak tidak diberi sedekah.
Pada malam ketiga, persiapan upacara ini dipermatang lagi. Pada siang harinya dilakukan pembuatan lemang (beras yang dimasak di dalam bambu) oleh tuan rumah dan dibantu oleh masyarakat sekitar. Tujuannya ialah untuk dihidangkan pada malam hari pelaksanaan. Pelaksanannya lebih kurang sama dengan upacara sebelumnya.
Pada pelaksanan menujuh hari juga dilakukan pembuatan lemang. Di dalam pelaksanaannya semakin jauh berbeda dengan di atas. Sebelum upacara dibuka dilakukanlah pidato Ada yang dinamakan dengan Pasambahan antara tuan rumah dengan urang siak , tapi diwakili oleh satu orang saja baik dari pihak uarang siak mau pun tuan rumah. Dalam pidato ini, tuan rumah mengemukakan tujuannya mengundang urang siak. Setelah pidato selesai, maka dimulailah upacara mengaji (melantunkan ayat-ayat Alquran) tersebut hingga zikir, baik zikir duduk maupun zikir berdiri. Setelah selesai makan bersama, upacara juga ditutup dengan pidato Pasambahan kembali, kali ini pidato berasal dari urang siak, mereka mengemukakan tujuannya kepada tuan rumah untuk pulang ke rumah masing-masing.
Begitu juga dengan upacara 14 hari, 40 hari, dan 100 hari. Perbedaannya hanya terletak pada undangan yang datang, karena undangan tersebut sudah berasal dari daerah-daerah yang jauh, tetapi masih berkerabat dengan anggota keluarga yang meninggal. Bagi tuan rumah yang mempunyai banyak dana, upacara ini dilanjutkan dengan ‘’badikia’’ yaitu sautau cara memuji kebesaran tuhan yang disampaikan dengan bahasa Arab, dengan irama khas islami (penelitian tanggal 10 juli 2005 di Pariaman).
Pelaksanaan upacara di atas intinya adalah sama, yaitu meminta do’a kepada Allah SWT, agar sang mayat diberi ampunan dan keringanan azab kubur. Namun di balik uapacara ini, tersimpan makan-makna sosial yaitu mempertebal solidaristas di antara masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitar. Karena tamu di sini tidak hanya sekedar datang, makan lalu pulang, akan tetapi mereka membawa buah tangan berupa uang, beras yang tujuanya meringankan beban tuan rumah.
Sejalan dengan itu, upacara ini juga dapat mempererat tali silaturrahmi di antara kerabat yang tingal berjauhan, apalagi mereka yang tingal di daerah perantauan, sebab sesulit apa pun keadaan kerabat di rantau maisih sempat meluangkan waktu pulang kampung guna untuk menghadiri upacara ini. Bagi kerabat yang belum saling mengenal, maka pada saat inilah mereka memperkenalkan diri kepada sanak-saudara mereka yang ada di kampung halaman.
Di pandang dari segi sejarahnya, tradisi ini sudah berkembang sebelum agama islam masuk ke Minangkabau. Tradisi ini, pada awalnya ialah acara berbalas pantun dengan bahasa Minang, tetapi setelah islam berkembang di Minangkabau tradisi ini terus dilaksanakan, tetapi pantun-pantun tersebut di tukar dengan pembacaan ayat Al-Qur’an yang juga berpantun oleh Syeh Burhanuddin Ulakan, dengan tujuan pengembangan ajaran islam itu sendiri (Suryadi dalam Syair Sunur 2004). Jadi Syeh Burhanuddin Ulakan memanfaatkan pendekatan kebudayaan dalam mengembangkan ajaran islam di Pariaman. Trik-trik tersebut selalu dipergunakannya untuk memasuki suatu kebudayaan masyarakat di Minangkabau, sehingga Islam cepat berkembang di Minangkabau pada waktu itu.

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987