Senin, 14 Juli 2008

SASTRA LISAN MINANGKABAU

Oleh: M.YUNIS
Arus globalisasi memang sangat berpengaruh bagi perubahan suatu kebudayaan, tersebut melibatkan berbagai unsur-unsur yang datang dari luar kemudian berbaur dengan unsur asli dari kebudayaan tersebut. Unsur-unsur yang datang dari luar, dapat melibatkan dua pihak yaitu (bilateral), beberapa pihak(multilateral) maupun global, yang mana sumber dan sasarannya sudah sangat jelas dalam realitas. Contohnya unsur-unsur yang melibatkan perubahan universal bagi suatu budaya, seperti kemajuan iptek yang menuntut suatu budaya untuk berubah, hal ini dikarenakan unsur–unsur budaya tradisi tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.
Semakin ketatnya persaingan hidup mau tidak mau akan menuntun masyarakat budaya untuk hidup sesuai dengan tuntutan zaman, pada khirnya mncullah suatu budaya imitasi yang disebut dengan westernisasi. Westernisasi atau pola hidup kebarat-baratan adalah salah satu dampak yang signifikan dalam perubahan sosial, diamana masyarakat budaya lebih cenderung mencintau dan memuja budaya barat, sehinga memandang renaah budayanya sendiri.
Menurut Malinowski, suatu kebudayaan akan hilang seiring dengan waktu, jika kebudayaan tersebut tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Salah satu contohnya adalah sastra lisan Minangkabau, yang mana perubahannya terjadi secara alamiah. Memang dari satu segi, pendapat Malinowski tersebut ada benarnya, tetapi dari sudut pandang yang berbeda pula, faktor alamiah tersebut tidak selalu mendominasi suatu perunbahan. Kita dapat memperhatikan fenomena sosial yang terjadi, dimana kesenian tradisi, budaya–budaya tradisi, sangat diincar oleh wisatawan asing maupun ahli-ahli kebudayan, dengan tujuan untuk menggali nilai-niali seni yang terkandung di dalamnya. Salah satu contohnya adalah ‘’sastra lisan Randai, yang mana peminatnya bukan saja orang minang, tapi sudah mendunia seperti orang Cina, Amerika, Australia dan sebagainya. Bahkan profesor randai sendiri adalah orang Hawai’’, ungkap Mak Katik dosen luar biasa Fakultas Sastra Unand. Maka, sangat patutlah masyarakat Minangkabau berbangga hati, kiranya hal ini dapat memberi motivasi dalam pelestariannya.
Melalui penelitian lapangan, pendokumentasian sasra lisan Minangkabau aset-aser budaya ini dapat diabadikan. Seperti perekaman, akan tetapi hal tersebut tidak menjamin keaslian dari sastra lisan tersebut. Salah satu contoh sastra lisan bagurau di Bukittinggi, diasaat mengambilan gambar dari penampil dan hal tersebut diketahui oleh penampil tersebut, maka mereka akan berusaha untuk bergaya semaksimal mungkin dalam menampilkan kebolehannya dan disaat irama nyanyian sedih, exspresi wajahnya seolah-olah dalam keadaan gembira. Jika sudah begini keadaanya, maka penampil tidak lagi menjiwai teks yang ditampilkan, hal tersebut akan jelas terlihat dari exspresi wajahnya. Maka terjadilah penyimpangan nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra lisan bagurau tersebut. Walaupun itu tidak seberapa, jika berlangsung terus-menerus di setiap kali penelitian di lakukan. maka pada saat itu pulalah nilai-nilai tersebut akan berubah fungsi dalam penampilan, sehingga menimbulkan cemoohan dari pengamat seni yang muncul dari khalayak secara spontan. Dan juga pendokumentasian tersebut tidak akan dapat bertahan lama. Jadi pendokumentasian dalam penenlitian sastra lisan tidak akan dapat menjamin keaslian data-data yang diporoleh di lapangan pada waktu penelitian dilakukan.
Kekayaan-kekayaan yang terkandung di dalam suatu kebudayaan, akan terlihat di dalam kesenian yang dihasilkan oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Melalui kesenian kita dapat mengetahui latar belakang kehidupan sosial suatu masyarakat, sistim pemerintahan, ekonomi, religi dan sebagainya, disaat kesenian tersebutditampilkan. Pada awalnya, penampilan sastra lisan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan anak nagari akan hiburan, akibat kejenuhan bekerja sehari-hari. Akan tetapi sekarang tidak hanya sekedar hiburan, melalui penampilan tersebut kita akan mengetahui siapa saja masyarakat pendukung kesenian tersebut, bagaimana mereka dapat bertahan hidup terhadap keganasan alam, dimulai dari latar belakang kehidupan sosial, religi, sistim kepemimpinan dan sebagainya. Untuk dapat mengetahui semua aspek tersebut, seorang peneliti tidak berhenti pada tahap pendokumentasian, tapi peneliti harus menyatu dengan masyarakat tersebut. Salah satu cara temudah yakni ikut mempelajari kesenian sastra lisan tersebut dari awal, dengan cara ini seorang peneliti akan dapat diterima dan dianggap bagian dari mereka yang dapat mewarisi sastra lisan tersebut. Setelah peneliti diterima dan telah berada di tengah-tengah masyarakat tersebut, maka mulailah peneliti beraksi dalam melaksanakan misinya. Maka data-data yang akan diperoleh akan terjamin keasliannya.Sehingga dalam penampilan, penampil akan tampil dengan mimik dan gaya bahasa yang seadanya, karena sudak menjadi kebiasan mereka dalam menghibur masyarakat dengan improvisasi yang tidak terlalu direkayasa. Sungguhpun misi tersebut ini diketahui oleh masyarakat tersebut, hal ini tidak akan menjadi suatumasalaan, kerena peneliti sudah dianggap bagian dari mereka yang nantinya akan meneruskan amanat berharga ini. Dan masyarakat tersebut akan percaya, ‘’seseorang itu tidak akan menghianati saudaranya sendiri’’, begitulah salah falsafah orang Minangkabau. Dengan cara-cara seperti ini, keganjilan-keganjilan di tengah-tengah masyarakat akan tertutupi, walaupun sebenarnya keganjilan tersebut nyata adanya, akan tetapi dengan trik-trik yang telah diatur dari awal, maka keganjilan ini akan tertutupi. Memang penelitian seperti ini membutuhkan waktu yang lama dan juga memerlukan biaya yang cukup besar, tapi tidak salahnya untuk mencoba, demi mendapatkan data-data yang akurat dan artefactual.
Dalam penelitiasn sastra lisan, seperti sastra lisan bagurau sebelumnya dilakukan tinjauan kepustaka dan merangkum teori-teori yang akan di gunakan dalam penelitian. Teori-teori yang digunakan biasanya teori fungsionalisme dan semiotik sosial. Dalam teori fungsionalisme, seorang peneliti mendeskripsikan berbagai fungsi dari berbagai unsu-unsur kebudayan dalam suatu sistim sosial masyarakat. Lebih jelasnya peneliti melihat sejauh mana unsur-unsur yang terdapat dalam sastra lisan tersebut dapat mempengaruhi masyarakat, yang dikenal dengan Teori fungsionalisme Malinowski.
Sedangkan teori semiotik sosial adalah ilmu tentang tanda, maksudnya peneliti meaknai fenomena-fenomena yang terlihat dalam penamplan sastra lisan tersebut baik fenomena yang terdapat pada penampil maupun terdapat pada khalayak atau masyarakat pendukung sastra lisan tersebut. Tanda dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu pananda dan petanda (Sassure, dalam semiotika sosial). Penanda adalah makna yang dimunculkan oleh tanda tersebut secara individual, sedangkan petanda adalah makana yang diberian oleh penafsir. Contoh kongkritnya adalah saluang, saluang difungssikan sebaagai penanda, sedangkan makna saluang tersebut ditafsirkan secara tersendiri oleh penafsir disebut dengan penanda.
Ssebenarnya teori ini dalam sebuah penelitian tidak terlalu dimaknai, karena di dalam penelitian tidak diperlukan teori-teori tetapi praktek yang nyata. Seperti yang telah di terangkan di atas sebelumnya, sebelum peneliti melakukan penelitian, maka seorang peneliti harus bisa mendekati masyarakat pendukung sastra lisan tersebu dan peneliti harus menjadi bagian dari mereka yang sedang diteliti, maka data-data yang di perlukan akan terjamin keasliannya dan bersifat artefactual. Untuk melaksanakan pendekatan tersebut tentunya tidak mudah. Sering terjadi, seorang peneliti dianggap maling oleh masyarakat, karena peneliti tidak pandai membawakan diri, mereka datang sangat terlalu formal, seakan–akan seorang polisi yang sedang mengintrogasi sorang tahanan. Bahkan sempat masyarakat tersebut berfikir negativ terhadap peneliti. Untuk itu seorang peneliti hendaknya cepat akrab dan tanggap terhadap lingkungan, sehingga peneliti mudah di terima oleh masyarakat tersebut. Hal ini dapat diperlihatkan dalam sikap dan pola tinggkah laku peneliti yang bersahabat. Kesimpulannya, teori-teori yang telah diterangkan di atas hanya bersifat pembantu dan pelengkap dalam pembuatan proposal serta laporan.
*Alumni Sastra Minangkabau dan Peneliti Muda di Pusat Study Humaniora Limau Manih

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987