Senin, 14 Juli 2008

ORANG MINANG YANG HIDUP DI DUA ALAM

Oleh M.Yunis

Sekilas melirik pariwisata di Sumatra Barat, dan kita awali dengan menelusuri sekitaran pantai padang, kita akan melihat susunan kursi yang berjejer tertata rapi yang sengaja ditata berpasang-pasangan. Fisilitas tersebut bukan digunakan untuk acara seminar ataupun menyambut tamu yang datang dari jauh. Kursi-kursi itu adalah milik para pedagang-pedagang kecil yang mengais rezeki di pinggiran pantai padang. Di saat matahari sudah condong pentanda sore hari akan menjelang, kemudian secara berangsur-angsur dan nyata kita akan saksikan para muda mudi sedang duduk bersantai bersama pasangannya pada kursi-kursi yang telah disediakan tadi, ada pula di antara mereka asyik bercumbu dan berpelukan, semenit kemudian datang para pengamen yang setengah memaksa yang melantunkan nyanyiannya bak genderang pecah. Kemudian kita juga akan saksikan para jejaka, wanita-wanita cilik juga sedang asyik membujuk para kasmaran agar mau memberikan uang recehannya. Sesekali para pemilik kursi menghardik para pengamen, ‘’jangan diganggu mereka’’. Tidak siang dan tidak pun malam para kasmaran akan datang bergantian untuk menikmati keelokan suasana tepian pantai.
Kemudian, kita beralih pada objek wisata di Pariaman, kita juga dapat melihat sekitaran pinggiran pantai pariaman dimulai dari Pantai Tiram sampai ke Pantai Gandoriah, di sana akan terlihat kegiatan yang kurang lebih serupa. Kalau dulu, di daerah ini terkenal dengan pondok baremohnya dan dilengkapi dengan minuman yang beraneka jenis, semuanya itu memang sengaja diasediakan oleh pedagang-pedagang kecil sebagai tempat baremohnya muda mudi. Ternyata di daerah ini, Wisatawan tidak hanya berasal dari penduduk lokal, tetapi juga diramaikan oleh wisatawan dari daerah luar juga turut berebut tempat strategis. Apalagi sekarang kereta api wisata sudah mulai eksis kembali.
Anehnya, para masyarakat setempat merasa senang dengan keadaan tersebut, ‘’bak mendapat durian runtuh’’, sesekali akan terdengar kata-kata sapaan setengah merayu, ‘’duduak lah diak!, duduaklah ni!, duduak lah da!’’. Sudah pasti harapan mereka adalah lakunya barang dagangan. Sebab bagaimananpun juga dan bagi siapa saja yang mengunakan pondok-pondok yang telah disiapkan tersebut, mau tidak mau harus meminum minuman yang telah disediakan sebelumnya. Bahkan lebih aneh lagi dengan pihak keamanan yang telah disediakan oleh pemerintahan kota tidak sempat menjamah praktek-praktek tersebut.
Sebuah fakta, kehadiran wisatawan itu memang menjadi nilai tambah bagi pembangunan pariwisata daerah. Dari objek wisata ini saja PAD daerah semakin bertambah dari tahun ketahun, seperti yang dikabarkan Singgalang 21 Agustus 2007 bahwa ‘’potensi objek pariwista di Sumatera Barat cukup besar, khususnya dalam menjual wisata bahari dan alamnya yang indah. Dikatakan juga bahwa terdapat kendala dalam pembenahan wisata di Sumbar, sebab minimnya akses menuju objek wisata. Namun sektor pariwisata di Sumbar memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PAD Sumbar, yang dari tahun ketahun mengalami peningkatan’’. Tetapi, kita semua telah melupakan panorama-panorama yang merusak pamandangan di atas, sekiranya jika boleh ditambahkan bahwa tidak hanya seperti yang dikabarkan Singgalang di atas yang menjadi kendala perkembangan objek wisata, tetapi maksiat legal yang terjadi di lokasi objek wisata tersebut juga perlu diberantas.
Memang sejak pemerintahan wali kota terpilih memberantas program TBC sudah digembor-gemborkan, dengan kembali ke surau hendaknya dapat membasmi prkatek-praktek tersebut, namun sampai sekarang hanya baru sekedar di bibir. Selanjutnya, seluruh orang Minang menggembor-gemborkan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai adat, menghidupkan kembali pranata-pranata guna memberantas TBC, tapi kita lupa lingkungan kita sendiri yang sedang digerogoti maksiat.
Dari gambaran di atas bisa kita lihat bahwa kultur budaya yang menjadi identitas masyarakat Minangkabau mulai berangsur hilang. Kata orang hal ini sebagai akibat dari stagnasi dakwah Islam. Dulu para pendakwah memulai berdakwah dari hal-hal yang sepele, seperti pemberian nama anak dari bahasa Alquran, tapi kini nama-nama latin lebih dicintai seperti tumbuh-tumbuhan saja. Kadangkala anak bernama Ibrahim tapi disingkat dengan Bram, kalau di Amerika nama Bram itu ialah seorang pimpinan geng atau penjahat kelas kakap. Parahnya anak sekarang diajari goyangan ngebor, si orang tua menjadi senang dikira anak sudah pintar padahal sebenarnya diajari nakal. Jika dulu anak-anak tidak diperbolehkan lewat di depan orang tua yang sedang maota dan harus lewat di belakang. Selain itu, membelikan mainan untuk anak juga terlalu dituruti apa yang dinginkan dipenuhi sehingga mematikan kreatifitas anak untuk membuat mainan sendiri. Akibatnya, masa kecil diajari nakal, sudah besar terbawa-bawa, tua terobah tidak. Lalu siapa yang harus dipersalahkan jika si anak sudah bersar, si anak, orang tua, pedagang, sat pol PP atau lokasi objek wisata yang mengizinkan?
Beginilah sebenarnya Sumatra Barat itu sekarang, sangat jauh berbeda dengan Minangkabau dulu yang mana pendidikan tradisional selalu tidak ditinggalkan, baik di surau, maupun di arena pencak silat, kata malereang, mandaki, manurun dan maninggi jelas falsafahnya oleh anak-anak muda. Berbeda dengan Sumtara Barat yang semuanya terbalik, kata mandaki digunakan untuk menyombongkan diri, kata manurun digunakan untuk melecehkan seseorang, kata malereang dugunakan untuk membunuh karakter kawan, dan kata mandatar dugunakan untuk melangar batas-batas norma-norma, semuanya serba terbalik.
Lalu kita terkadang mencerca Adat Minangkabau bahwa tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang sebab tuntutan zaman sudah sangat jauh berbeda, budaya Minang perlu penyesuaian agar tidak ditinggalkan pemiliknya. Tapi kenyatannya sampai sekarang tidak pernah terrealisasi, seringkali persoalan tersebut selesai hanya di dalam seminar dan diskusi, habis seminar selesailah persoalan. Setelah itu, budaya instan lebih dicintai sehingga penampilan fisik lebih utama. Inilah yang dinamakan dengan sikap rancak dilabuah, dimana semua orang berlomba-lomba untuk mempertinggi gengsi tanpa menghiraukan nilai-nilai yang ada di dalamnya sebab yang dihargai lebih banyak orang-orang yang berharta. Sebuah kenyataan sekarang bahwa antara orang Sumtra dengan orang Minang Barat itu jauh berbeda.

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987