Senin, 14 Juli 2008

ROBOHNYA BUDAYA KAMI

Oleh M. Yunis

Hanya desiran angin yang tersisa, walau seperti kelihatannya rinai mash enggan berhenti membasuh luka-luka ibu pertriwi. Ya aku tau, hari ini ujung Desember yang semakin tua, kata orang pada tahun ini segala puncak kejenuhan dilampiaskan, sebagian bilang tempat perhentian terakhir pernak-perniknya dunia, dan bermacam kisah banyak terlahir di ujung Desember, dulu pernah terkenal dengan Desemeber kelabu, atau huajan di awal Desember, aku kira mempunyai makna yang kurang lebih sama.
Ya! di Ujung Desmber ini gemuruh rintih-rintihan memanggil pasukannya untuk segera pulang kandang, suatu petanda bahwa hujan akan berhenti atau sekurang-kurangnya istirahat sejenak.
Di ujung Desember ini suara burung geraja itu tidak lagi tedengar, dua hari yang lalu selalu bertengger dekat bangunan tua itu, sebab burung geraja sangat senang membuat sarang pada puncak-puncak pepohonan yang mati, di samping bangunan tua itu tertancap dua batang pohon ampalan dan satu pohon jambu yang baru saja mati pucuk, hidup segan mati tidak bisa, kemaren aku melihat petir menyambar ketiga pohon itu tepatnya jam satu lewat lima meniti jumat siang. Setahuku, selama sarang-sarangnya masih ada, burung gereja itu senang sekali berputar-putar di sekitar bangunan. Tapi aku tidak tau pasti penyebab sarang-sarang itu berserakan 10 meter dari pepohonan. Aku terus berpikir, mungkin burung-burung itu berpindah sarang.
Sesaat rasa penasaran memboyongku masuk ke dalam bangunan itu, ku perhatikan tonggak-tonggak yang dipenuhi ukiran kaluak paku, agak ke dalam terlihat ukiran tan tandu bararak juga dilengkapi dengan pucuak rabuang, tapi sayangnya ukiran-ukiran itu tidak seperti aslinya semenjak dipenuhi lubang-lubang kecil di sana-sini, namun kelihatannya masih mampu menahan gonjong-gonjong runcing di atas. Bangunan itu bisa dibilang tidak terawat, atapnya saja sudah diakari lumut-lumut liar, tapi gambaran kokoh gonjong-gonjong itu masih sisakan hidup seribu tahun lagi walau segunduk beban melekat dan tidak mau sirna. Setelah igau tersadarkan, rasa takjub seketika datang, detik-detik selanjutnya aku memilih mengelilingi gangunan itu. Pada bagian belakang bangunan tercermin apik seniman terdahulu, 20 tonggak menjadi sendi berdiri kekokohan, mungkin tonggak-tonggak itu terbuat dari pohon jati atau mahoni, bagian bahawahnya dilengkapi dengan batu landasan, memang bentuknya agak kasar tapi sepertinya telah menyatu dengan tonggak-tonggak itu. Wah sungguh megahnya bangunan ini dulu, seandainya aku hidup lebih awal tentunya aku tidak mau ketinggalan belajar membuat ukiran sehingga aku dapat mengukir sejarah kebudayaan ini. Ya! aku ingat apa yang dibilang Amak, ‘’di kampung kita ini adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’’. Apakah mungkin ini yang dimaksud Amak. Rumah dan ruangannya bisa jadi perumpamaan dari adat, tapi sekarang mulai reot. Sementara 20 tonggak ini perumpamaan dari syarak dan batu-batu itu sebagai perumpamaan kitabullalh. Antara tonggak dengan batu seakan menyatu, mungkin sudah terlalu lama dibiarkan membatu, antara batu dan tonggak sudah sejenis, tonggak seperti batu dan batu seperti tonggak. Aku jadi bingung sendiri, kuberusaha mencari kesimpulan dadakan sambil ngomong sendiri dan berputar-putar. Ya! aku ngerti sekarang, adat seperti yang dimaksud Amak itu ditopang oleh agama dan Alquraan sebagai kunci. Oh..bukan! yang dimaksud Amak kitabullah, tidak mungkin Alquraan sebab setahuku kitabullah ada 4 buah atau kitab yang empat sepertu taurat, zabur, injil sudah terdapat di dalam Alquraan, jadi kitabullah yang dijadikan perumpamaan. Ya! mungkin itu makasudnya. Tapi kok aneh, tonggak dan landasannya masih kokoh tapi bangunnannya semakin renta ditutup sejarah, jika kuperhatikan tidak ada kerja sama yang baik antara atap dengan bangunan apa lagi antara bangunan dengan tonggak-tonggak itu. Mungkin lebih baik atap langsung saja berada di atas tonggak-tonggak tanpa bangunan dengan begitu kelihatan satu cita-cita, tapi apa jadinya?
Ah..aku pikir lebih baik memasuki ruangan-ruangan di dalam bangunan itu terlebih dahulu sehingga tanda tanya-tanda tanya yang ada dibena ini terjawab. Tidak lamam kemudian kudapati diriku sudah berada di dalam, seketika tercium aroma alam, sebab sedari tadi perhatianku tidak luput dari keagungan seni yang terdapat di dinding ruangan yang kukira tidak jauh berbeda dengan 2 tongak besar yang berada di pintu masuk tadi. Aku semakin takjub saja, di saat menyaksikan 9 bilik besar melengkapai ruangan tengah. Tapi ruangan-ruangan itu untuk apa dan menyimpan apa? Sepertinya pintu-pintu bilik itu sudah lama tidak dibuka, debu yanresal dari serpihan-serpian kayu membuatku lebih yakin. Pada pagian langit-langit tergantung sebuah benda sebesar nyiru, ya aku tahu itu tabuhan sejenis serangga setengah mematikan, jika kita digigit badan bisa gemuk dalam sehari. Di sudut rungan terlihat sepasukan kalong bergantungan, rasa letih dimalam hari membuatnya kehilangan umur di siang hari dan raja-raja malam itu tidak sadar dengan kehadiraku kalau saja kalong itu terbangun mungkin serangan-serangan fajar akan merobek-robek kesempatan ini. Tapi aku berusaha lebih-hati hati, karena pengalamam mengendap-endap sudah kuwarisi di waktu kecil, saat itu aku berusia 10 tahun, Amak memarahi aku karena aku memecahkan piring nasi, sudah sifatku jika Amak marah pergi dari rumah, siang itu jam 12 siang, kata Amak sedang tengah hari jangan kejar-kejaran di dalam rumah, tapi aku tidak mengacuhkan peringan Amak hingga aku menginjak piring, pecah tiga sama besar, belum sempat membilang kata ‘aduh’ mendaratlah ikat pinggang di punggungku yang sepertiga telanjang. Sejak kejadian itu aku selalu murung dan malas makan nasi, padahal Amak sudah membujukku akan dibelikan baju baru. Saat malam hari tiba, mata tidak terpejam, jam 10 malam aku pergi dari rumah dengan ilmu mengendap yang telah kupelajari saat main lakon, Surau adalah tempat pelarianku, di Surau banyak teman-teman sejawat sedang belajar silat setelah usai mengaji Alquran. Rupanya kemarahan Amak membuatku absen dari keseharian surau. Harus ku akui memang asyik suasana surau kami, di surau kami belajar silat, pasambahan dan mamangan adat, setelah itu kami bermain lakon sampai main galah. Sekarang, kegiatan ini tidak ada lagi di kampungku, surau-surau sekarang hanya dihuni oleh pemuda-pemuda yang pulang dari acara orgen tunggal, tapi aku kurang suka dengan pemuda-pemuda itu sebab di pagi hari aku terpaksa membenci Surau itu, muntah-muntah itu mebuatku muak. Aku jadi malas menjenguk kampung halaman yang satu ini, di saat libur kulah pun aku lebih memilih di kosan atau cari kesibukan dalam oragnisasi Mahasiswa di Padang, jika tidak karenan terpakas atau disuruh Amak pulang, aku tidak akan mau pulang kampung. Persoalan biaya tambahan harian kurasas terpenuhi oleh honor tulisan-tulisanku di koran-koran lokal yang terbit di Padang, lumayan buat jajan pacaran.
Oh ya! aku juga ingat dulu kami pernah main umpat-umpatan dalam bangunan ini, namanya sepak tekong, aku sembunyi di rungan tengah dan tertidur dalam ayunan suasananya yang masih nyaman dilantai papan tempat ku berdiri sekarang, kalau tidak salah jam 5 sore si Andi membangunkan aku, kutahu dia teman baikku sudah pasti Andi mencariku jika aku tidak dijumpainya di rumah, katanya Amak cemas sejak lonceng sekolah berbunyi, ya aku lupa mengganti pakaian sekolah, susah mencari teman sejatinya Andi zaman sekarang, sekarang Andi sudah jadi anak rantau yang berhasil membantu orangtuanya, wajar saja sejak selesai SMP dia sudah mulai mencium keberhasilan itu di Kota dumai, jika ada gunjingan atau cerita juragan besi tua yang sukses dialah temanku si Andi. Berbeda dengan aku, sikap keras kepala menuntunku ke bangku kuliah seperti sekarang. Tapi aku tidak seberuntung teman-temanku yang lain, di waktu aku lulus SPMB Amak sedang susah, dan terjadilah dosa itu, Amak terpaksa menggadai pusako untuk keperluan pendidikan aku, sekarang aku tahu bahwa kegiatan mengadai itu tidak diperbolehkan di Ranah Minang, pusako hanya boleh digadai jika ada 3 perkara: Pertama rumah gadang katirisan, kedua gadih gadang alun balaki, dan ketiga mayat tabujua di ateh rumah. Jadi tindakan Amak ketika itu tidak termasuk salah kategori dari yang tiga di atas. Kupikir tidak terlalu berdosa menggadai pusaka karena pendidikan, kuyakin dosa itu terhapuskan jika Amak mampu menebus gadai itu kembali. Mungkin lebih baik dari pada menjual habis. Tapi aku heran, bangunan ini sudah lama ketirisan, kenapa belum juga diperbaiki, ah..itu tidak mungkin kukira, bangunan itu kepunyaan kaum suku jambak, pusako-nya sudah habis terjual untuk pembangunan Bandara Internasional dua tahun yang lalu.
Sejurus kemudian aku semakin penasaran sebab sejak kecil hingga sekarang, aku belum pernah tahu apa isi dalam 9 bilik itu, kuperhatikan pintu-pintunya selalu tertutup rapat hingga anginpun tidak bisa lewat, kunci gembok yang terpasang dibibir pintu mampu menutup sejarah apalagi dengan karakarat yang sudah membasi mempersatukan 2 bibir pintu. Aku terpasaka melakukan tindakan anarkis, kupukul saja gembok usang itu sampai lepas dari bibir pintu bilik terdekat dengan ruang tengah, sekali pukul gemboknya lepas disertainya dengan robohnya pintu dan konsen, aku terkejut, cemas bercampur kaget, rasa ingin tahulah yang membuatku sekejam ini, tanpa menunggu detik kedua dari jam 4 lewat 10 menit, aku mulai daratkan langkah kaki perdana ke dalam bilik itu. Astaga, rongsokan dan Alquran berserakan di lantai bilik, kira-kira 10 Alquran, bukan 12 Alquran, kupungut, kulihat, kubaca, ternyata bukan Alquran tapi sebuah kitab atau sejenis catatatan bertulis tangan menggunakan huruf arab berbahasa Minang. Aku pernah belajar membaca huruf ini di semster 2, mata kuliah itu dinamakan dengan filologi. Ya! aku mengerti, ini adalah naskah-naskah kuno yang dimakasud dalam filologi itu. Dengan langkah tergopoh-gopoh aku berpindah ke bilik sebelah, kurasakan suasananya sama dengan bilik pertama tadi, kali ini kutemukan 13,5 naskah kuno sebab sebagian dari satu naskah hangus seperti baru saja dibakar, 2 di antaranya bertuliskan huruf arab asli. Pada empat bilik yang lain juga aku temukan puluhan-puluhan naskah. Dau bilik yang tersisa disambut dengan suara azan magrib, sesegera mungkin kualihkan perhatian menyususn naskah-naskah tersebut, kubaca permasing-masing judul diantaranya terdapat ajaran tarekat, ilmu mantik dan pengobatan-pengobatan, 2 naskah di antaranya berisi ranji entah ranji siapa tidak begitu jelas terbaca dan kerusakan yang diderita naskah itu tidak memungkinkan dibaca dengan mata fisik. Serta satu naskah bersisi petunjuk-petunjuk hari.
Dua jam lebih kuhabiskan waktu memungut ceceran naskah tadi, kuperbaiki pintu-pintu yang roboh walau tidak seperti sedia kala. Selesai dari itu, rasa letih seketika mampir namun tetap kupaksakan dua tunjang ini melngkah, kuberharap tenaga ini masih tersisa hingga ke rumah, sesaat suara gemuruh kembali terdengar, sekarang kampung tua ini diguyur hujan lebat, petir bersahutan, setengah delapan kurang seperempat sampai juga di rumah Amak.
**
Waktu isya merangkak naik, namun lamunan membuatku hanyut, detak jantung ini rasanya semakinkeras, suara berisisknya membuat mata sulit dipejamkan, aku sedih, gundang bercampur bimbang, nasib naskah-naskah tadi, awalnya mau kubawa tapi niat itu terpaksa aku urungkan kembali saat petir pertama terjadi, entahlah saat itu sifat pengecutku tumbuh, takut terjadi yang Tuhan inginkan. Firasatku mengatakan bahwa bangunan tua itu tinggal menghitung hari, mungkin seminggu atau sebulan tidak lagi dijumpai, siapa peduli! Kabarnya tanah tempat berdiri bangunan itu akan disulap menjadi saluran irigasi, dua hari yang lalu aku saksikan pegawai pemrintahan sudah mengukur perkubik dari tanah-tanah itu, katanya mau diganti rugi permeter tanah yang terpakai. Tapi bangunan itu? naskah-naskah itu? adat itu? Syarak itu? kitabullah itu?

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987