Senin, 14 Juli 2008

PASAMBAHAN SEMAKIN DIRAGUKAN KEBERADAANNYA

Oleh.M.Yunis*


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa pengaruh yang cukup besar terhadap budaya tradisi. Pengaruh yang ditimbulkan, membuat budaya tradisi semakin terpinggirkan dalam lingkungan masyarakat, diperparah lagi dengan mengglobalnya hiburan yang berbau mederen di tengah-tengah masyarakat Minang. Kita bisa memperhatikan salah satu traidisi yang akrab dengan keseharian kita selaku orang Minang, contohnya pasambahan. Akhir-akhir ini, tradisi pasambahan tidak begitu eksis dalam menjalankan fungsinya sebagai ragam bahasa formal di Minangkabau. Masyarakat sekarang hampir tidak mengenal apa yang disebut dengan pasambahan dan apa fungsinya di tengah-tengah masyarakat.
Pasambahan berasal dari kata ’’sambah’’ (sembah), sembah di sini bukan berarti bertekuk lutut dan bukan pula takluk kepada seseorang, akan tetapi sembah dalam artian sebuah cara beretika yang disuguhkan ketika dimulainya suatu pembicaraan dengan sedikit merendahkan diri, karena sebagai orang Minang tidak boleh berlaku sobong serta angkuh. Sambah pada hakikatnya adalah kata kerja yang kemudian berubah menjadi kata benda, yang sebelumnya mengalami afiksasi pa- dan –an, maka terangkailah menjadi pasambahan.
Pasambahan pada hakekatnya merupakan sebuah hasil yang berupa rangkaian kata-kata yang tercipta dari dialog antara 2 belah pihak antara tuan rumah dengan undangan, yang terjadi dalam sebuah acara yang bersifat saremonial. Pasambahan selalu digunakan dalam upacara-upacara yang bersifat saremonial tersebut, upacara tersebut seperti upacara perkawinan, pengangkatan penghulu, pengururs surau (Mesjid), akan tetapi fungsinya yang dominan sangat terlihat pada upacara perkawinan. Dalam upacara ini, untuk melakukan hal-hal yang berbau adat akan selalu di awali dengan tradisi pasambahan, dimulai dari pembukaan alek yang disebut dengan naiak urang mudo hingga penutupan alek manulak urang mudo. Akan tetapi yang lebih berpengaruh bagi kelancaran alek adalah pasambahan naik urang mudo. Di sana kita akan dapat meliahat fenomena-fenomena tradisi yang berlaku dalam arena perhelatan dan pada saat naiak urang muido inilah babak penentuan apakah alek dapat berterima bagi masyarakat yang bersangkutan.
Berkurangnya intensitas penggunaan membuat pasambahan semakin tidak di kenal dalam kehidupan masyarakat kita, terlebih generasi muda. Ketradisiannya membuat generasi muda bosan, sehingga mereka cenderung menjauhi arena pasambahan ini. Dan diperperparah dengan ketidak mengertain mereka terhadap rangkaian kata-kata adat yang tertuang dalam pasambahn tersebut, sehingga membuat pasambahan ini semakin terbelakang dalam percaturan zaman. Perlu kita ketahui, di balik kata adat tersebut terkandung nilai-nilai estetika yang cukup tinggi, yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian seorang individu.
Senada dengan itu, penutur pasambahan ini juga semakin berkurang. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan atau pemberitahuan pada generasi muda terhadap arti pentingnya sebuah pasambahan tetap eksis dalam lingkungan masyarakat Minang. Sekali lagi, kata-kata yang dituangkan dalam pasambahan tersebut mengandung makna yang sangat mendalam, karena mendalaman inilah yang membuat generasi muda tidak mengerti apa yang dimaksud dari kalimat-kalimat tersebut. Oleh kaarena itu, sebagai sarana yang menitik beratkan kepada moralitas, pasambahan ini sangat perlu dikaji lebih mendalam lagi.
Tidak hanya itu, pola merantau yang sudah berkembang dari dahulu hingga sekarang, membuat semakin terbelakangnya pasambahan di mata generasi muda. Seperti kata pituah adat ’’ karatau madang dahulu, babuah babungo balaun, karantau madang dahulu, di rumah paguno balun’’. Adanya anjuran seperti inilah yang membuat generasi muda terinspirasi untuk meninggalkan kampung halaman mereka untuk mengadu nasib di parantauan sana. Kalaupun, diantara mereka ada yang kemabali ke kampung halaman, jarang sekali diantara mereka untuk dapat bergabung kembali dengan budaya tradisi setempat. Sebab, selama ini mereka telah menyerap berbagai macam informasi moderen di kota besar.
Dari sedikit gambaran di atas, dapat kita lihat bahwa sikap apresiasi dan antipatis sangat dominan dalam mempengaruhi keeksisan pasambahan dalam tubuh masyarakat. Sikap apresiasif ini akan jelas terlihat ketika pasambahan tersebut dilangsungkan, semua orang yang ada pada saat itu berkumpul dalam ruangan atau rumah situan rumah, tujuannya mendengarkan dengan seksama maksud dari tuan rumah mengunadang korong yang direalisasikan melalui pasambahan tersebut. Diantara sekian banyak orang yang hadir dalam arena ini, ada diantara mereka yang hobi bertutur dengan kata-kata adat ini dan bahakan kecanduan, maka pada saat inilah kesempatan yang terbaik untuk merealisasikan kemampuannya tersebut. Ada diantaranya berposisi sebagai wakil korong, atau kapalo mudo korong. Dengan begitu mereka lebih dihargai daan dipandang dalam lingkungan masyarakat tersebut.
Namun begitu, sikap antipatis sebagian masyarakatpun akan terlihat dalam suasana seperti ini. Siakp acuh tak acuh generasi muda menandakan mereka menolak keberadaan pasambahan ini, mereka lebih memilih santai duduk di lapau menjelang selesainya pasambahan ini, kemudian setelah itu baru mereka datang, hal inipun hanya sebatas untuk menyaksikan hiburan yang dihidangkan tuan rumah. Dan ada pula diantara sebagian anak muda hadir sejak dari awal, tetapi mereka tidak ikut bergabung dalam arena pasambahan dan mereka lebih memilih duduk santai di luar rumah sambil menggoda dan bercengkrama dengan pemudi-pemudi yang hadir dalam perhelatan tersebut.
Jika kita perhatikan dengan seksama, di sela-sela pasambahan ini akan terlihat berbagai macam fenomena tradisi yang dilakukan dalam rumah tesebut. Hadirnya carano yang dilengkapi dengan isinya seperti siriah, kapur, pinang gambia menandakan ketegasan adat istiadat daerah ini. Apa bila terdapat satu kekurangan diantaranya, akan menimbulkan konflik yang cukup berarti dalam arena tersebut. Tidak hanya itu, hadirnya urang salapan yaitu 8 orang dari orang tua korong yang perempuan, mereka dipercaya oleh korong dalam mengemban tugas-tugas yang berkaitan dengan persiapan-persiapan perhelaan, dapur, andan pasumanadan, ipa bisan dan lainsebagainya. Artinya, urang 8 ini diberi tanggung jawab kurang lebih sama dengan laki-laki, akan tetapi tanggung jawabnya terfokus pada masalah perempuan saja, walaupun sering ditemukan tergabung dalam manjalang dan manjapuik marapulai, tetapi pemfokusannya tetap pada matrilinealisasi yang perlu dilakukan dalam upacara perkawinan tersebut.
Keunikan pasambahan ini, memang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Fenomena-fenomena tradisi yang membangunnya saling berkaitan satu dengan lainnya. Sungguhpun begitu, penelitian dan pembahasan terhadapnya belum gencar dilakukan. Kalaupun ada, tetapi hanya sebatas interprestasi kieh yang tekandung dalam pasambahan tersebut. Sepertihalnya yang dilakukan oleh Drs. Yusriwal. M.Si. Sebagai sayarat ujian S2 -nya, tesis tersebut diberi judul dengan ‘’Estetika Kieh dalam Pasambahan Manjapuik Marapulai di Luhak Agam, analisis Semiotika’’.

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987