Rabu, 06 Agustus 2008

MITOS DALAM DUNIA KEKINIAN



Oleh M. yunis

Umumnya masyarakat tradisional menyalurkan perasaan hati memalui sebuah perantara, sebab masyarakat tradisional belum mengenal apa yang disebut basa tulis. Agar pendidikan terus berlangsung, masyarakat tempo dulu menciptakan apa yang dinamakan dengan mitos yang mana akademisi sekarang menyebutnya dengan folklore. Mitos sebagai sarana pendidikan terus disalurkan dari mulut ke mulut sehingga mitos tersebut diwarisi turun temurun bahkan sampai sekarang
Cerita rakyar seperti ini sangatlah unik, baik dari filosofi maupun dari makna yang diusungnya. Para sejarahwan mengatakan bahwa mitos adalah cerita rekaan belaka. Artinya, fakta sejarah yang mendukung kahadirannnya sama skali kurang atau tidak ada. Namun, sebagai sarana pengusung pesan di dalam mitos terdapat proses pembelajaran, meskipun berkembang dari mulut ke-mulut, tetapi akhir-akhir ini fungsi tersebut tidak begitu menonjol bahkan lebih diarahkan untuk hiburan belaka. Sebab, lambat laun masyarakat kita tidak lagi memandang mitos sebagai aset yang berharga bagi pembentukan kepribadian sesorang. Hal ini, mungkin disebabkan semakin majunya pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat sekarang juga butuh fakta yang berangka tahun, sehingga cerita seperti mitos sering ini tidak dpercayai.
Seperti yang telah diterangkan di atas, di dalam mitos yang dihasilkan masyarakat berisikan didikan–didikan yang tentunya bersifat informal. Tergantung bagaimana kita memaknainya dengan sungguh-sungguh, mulai dari filososfi dan latar belakang lahirnya, sehingga kita menemukan keunikan dan keanehan di dalam mitos tersebut, dan akhirnya akan dapat menguak fakta sejarah kepribadian yang dimiliki oleh masyarakat kita tempo dulu.
Seiring dengan majunya pendidikan keberadaan mitos mendapat tantangan global, tantangan tersebut berupa kritikan yang mana kritikan tersebut bersifat sangat tidak membangun. Penulis pikir rasa keingintahuan yang lebih, tetapi tidak tersalurkan menciptakan rasa ketidakpuasan para kritikus. Namun demikian, juga sering diantara kritikus melupakan ruang kososng yang ada di dalam dirinya, dan memandang mitos ini dari segi Etik, tanpa memperhatikan faktor Emik. Sehingga kritikus melihat mitos hanya cerita menakut-nakuti anak kecil agar patuh kepada orang tua. Sementara kritkan itu tidak dibarengai dengan kemauan dan kesabaran untuk menggali mitos, para kritikus bisa saja surut satu langkah untuk meneliti kelahiran mitos di tengah masyarakat. Namun, fakta malah sebaliknya sehingga jalan buntuk selalu mengedepan, akibatnya cercacaan, cela, dan arogan-arogan yang anarkis menghujat, menyudutkan, seakan-akan mitos tersebut tidak pernah ada di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, padahal kita hidup di tengah-tengah mitos itu sendiri yaitu mitos kehidupan, sebab manusia juga tidak mengetahui kapan kehidupan ada, tanggal berapa dan bulan berapa, nyatanya sampai sekarang tiada seorangpun yang mampu menciptakan standarisasi awal dimulainya kehidupan ini.
Pernah muncul pernyataaan dari sebagian masyarakat sekarang ‘’bahwa di dalam tambo hanya terdapat 20 % unsur-unsur sejarah, 98% lagi adalah mitos atau kebohongan, hal ini tidak lebih berfungsi hanya untuk memperkuat keberadaan suatu tokoh di dalam suatu masyarakat’’. Pernyataan seperti ini secara tidak langsung telah menghilangkan asal usul sebuah masyarakat dan lebih parah lagi kesimpulan ini telah diwarisi pada generasi selanjunya.
Roland Barthes dalam bukunya Mithologies menerangkan dengan rinci tentang mitos, dengan ilmu semiotik (ilmu tentang tanda) Barthes berusaha mengungkap makna di balik mitos tersebut. Barthes menggolongkan tanda menjadi 2 bagian yaitu tanda (makna yang dimunculkan objek tersebut secara individu) dan penanda (makna simbolik yang terungkap apa bila diinterprestasikan dengan memperhatiakn fenomena-fenomena budaya yang berlaku). Dengan pisau semiotik ini, Barthes berkelana dari suatu kebudayaan ke-kebudayaan lainya, dia juga mampu melihat bahwa di dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut terdapat berbagai penanda-penanda kebudayaan yang unik dan menarik, salah satunya adalah mitos.
Barthes ialah salah satu contoh orang yang berhasil menemukan ruang ksosong di dalam dirinya. Barthes juga mampu melihat gambaran-gambaran kejadian, keadaan atau fenomena-fenomena budaya yang terjadi pada masa lampau ataupun pada masa sekarang. Gambaran-gamabaran tersebut telah membuka wawasan Barthes dan ia menjadi tahu bagaimana orang-orang terdahulu memberikan nasehat, dan didikan kepada generasi muda.
Sebagai contoh, adanya mitos ‘’balayia jo lapiak salai’’ artinya berlayar dengan sehelai tikar. Mitos ini timbul ketika Syeh Burhanuddin pulang dari Aceh berlayar dengan sehelai tikar, demi kebaktian beliau terhadap guru yakni Syeh Abdurrauf . Jika kita pandang mitos tersebut sebagai tanda, berarti beliau memang benar berlayar dengan sehelai tikar, akan tetapi jika tilik sebagai penanda, di sana terselip kepatuhan seorang murid terhadap guru dan hal ini tidak dimiliki olah murid-murid Syeh Abdurrauf yang lain atau dapat juga diartikan, bahwa Syeh Burhanuddin benar-benar menggunakan sehelai tikar, akan tetapi tikar tersebut dijadikan layar dari perahu yang dia gunakan. Mungkin pernyataan ini diaggap melenceng oleh sebagian orang, akan tetapi kenyataan juga bisa berlaku seperti itu.
Contoh kedua, sebuah ungkapan lama yang dimiliki masyarakat Minang, ‘’sajak gunuang marapi sagadang talua itiak’’ artinya berawal dari gunung merapi sebesar telur itik. Secara ilmu pengetahuan, sebagai penanda hal itu dapat dianggap benar, bahwa gunung berapi yang dapat kita lihat sekarang mungkin tidak langsung sebesar itu, pada awalnya gunung api hanya berbentuk celah keil yang ada dikulit bumi, kemudian celah tersebut mencipta gundukan kecil bertambah lama bertambah besar ssebagai akibat tolakan energi yang maha dasyat dari dalam perut bumi, semakin lama energi yang ada dalam perut bumi semakin besar, maka sudah barang tentu tolakannya untuk keluar juga semakin kuat dan gundukan yang terbentuk juga bertambah besar, akhirnya gundukan tersebut dinamakan dengan gunung berapi. Jika gundukan tanah tadi tidak lagi mampu menahan energi yang ada di dalam perut bumi, suati saat gundukan itu pecah inilah yang dinamakan dengan letusan gunung berapi.
Jika kita perhatikan, bahwa orang Minang dahulu cukup pandai dan pintar dalam menanggapi berbagai macam fenomena alam, sehingga mereka mampu melahirkan falsafah alam takambang jadi guru. Dan tidak tertutup kemungkinan bahwa orang Minang mampu menjadikan dasar fenomena alam untuk menciptakan berbagai macam ungkapan, mamangan dan sebagainya. Bahkan sebelum berkarya, orang Minang selalu memikirkan kelogisan dari ciptaan mereka, sebutlah itu filsafat-filsafat Adat, mamangan adat, petatah-petitih ataupun mitos Balayia jo lapak salai.
Sungguh sangat disayangkan sekali bahwa kehadiran mitos hilang begitu saja. Sebab bagaimananpun juga mitos adalah milik kolektif dan menjadi identitas sebuah masyarakat. Maka sudah sepatutnyalah generasi sekarang menggali dan memperhatikan keberadaan mitos di dalam masyarakat. Penggalian ini bukan dimaksudkan untuk menjadikan mitos sebagai kiblat baru bagi dunia pendidikan, tetapi untuk memepelajari falsafah yang termuat di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987