Minggu, 10 Agustus 2008

Suryadi, Kekayaan Minangkabau di Negeri Orang

Selasa, 03 Agustus 2004

SETIAP kali pulang ke Ranah Minang, Sumatera, isi tas ransel Suryadi selalu saja tambah padat. Ia seakan tak peduli dengan isi tas yang beratnya hampir setara dengan bobot badannya. Ia mau berberat-berat karena isi tasnya sesuatu yang amat berharga dan boleh dikatakan langka, yaitu sejumlah hasil penelitiannya tentang "kekayaan" Minangkabau di negeri orang.

Terakhir, ketika bersua Suryadi di Gedung Genta Budaya, Jalan Diponegoro, Padang, Sabtu (24/7), ia membawa sejumlah hasil penelitiannya yang telah dimuat di jurnal ilmiah terbitan Indonesia, Malaysia, Amerika Serikat, Singapura, dan Belanda.

Dia juga membawa hasil penelitian berjudul Syair Sunur: Suntingan Teks, Konteks, dan Pengarang. Hasil penelitian yang membawanya meraih gelar master of art di Universiteit Leiden, Belanda, tahun 2002, itu ingin diterbitkan dalam bentuk buku, dibiayai sendiri dari uang tabungannya, hasil "menularkan" ilmu di Faculteit der Letteren (Fakultas Sastra) Universiteit Leiden.

"Sebagai orang Indonesia dan cinta kekayaan kebudayaan Indonesia, hanya hasil penelitianlah yang dapat saya sumbangkan. Kalau penelitian itu tidak saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan tidak diterbitkan dalam bentuk buku, kapan lagi kita dapat mengetahui, mendalami, dan memaknai sendiri kekayaan kita tersebut. Kita memang tak punya dokumen aslinya, tetapi setidak-tidaknya hasil penelitian yang dilakukan ke sejumlah negara dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan kita bila diterbitkan dalam bentuk buku," ungkap Suryadi yang mendapat bantuan dana dari Toyota Foundation, Ford Foundation, Universiteit Leiden, dan lembaga ilmu pengetahuan Belanda untuk melakukan penelitian naskah kuno tersebut.

Ia melukiskan, untuk berbagai penelitian itu, dia berburu naskah kuno ke berbagai perpustakaan terkenal di Eropa, seperti ke Belanda dan Inggris. Di Indonesia naskah-naskah kuno tersebut tidak ada lagi.

Dalam Syair Sunur: Suntingan Teks, Konteks, dan Pengarang, Suryadi yang juga ahli transliterasi (penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain dan dalam hal ini dari abjad Arab (Melayu) ke abjad Latin) coba merekonstruksi imbas gerakan Paderi (sekitar tahun 1803-1838) di pantai barat Sumatera, khususnya di rantau Pariaman, jantung pertahanan kaum konservatif (tarekat Syattariyah atau ordo Ulakan, sekitar 1785 dan 1790) di Minangkabau.

"Pengaruh gerakan Paderi ditelusuri melalui biografi Syekh Daud Sunur, ulama dari rantau Pariaman (wilayah pantai). Sejak awal keulamaannya, faham keagamaan Syekh Daud Sunur sudah berseberangan dengan ordo Ulakan. Ulama ini sudah mengarang dua syair terkenal, yaitu Syair Mekah dan Madinah atau Syair Rukun Haji dan Syair Sunur," kata Suryadi menjelaskan.

Menurut dia, syair-syair karya Syekh Daud Sunur bernilai estetis cukup tinggi. Selain itu, Syair Sunur adalah syair yang cukup tua berciri otobiografis yang pernah ditulis orang Minangkabau, yang dalam konstruksi puitisnya masih memperlihatkan ciri sastra lisan (pantun) Minangkabau di satu sisi dan pengaruh sastra Arab (Islam) di sisi lain.

SURYADI yang kelahiran Pariaman, 15 Februari 1965, ini tertarik dengan naskah Nusantara klasik, khususnya syair Melayu, karena naskah pendek selama ini kurang mendapat perhatian.

Menurut dia, kecenderungan para peneliti Barat maupun peneliti Indonesia lebih pada teks panjang atau prosa sejarah. Epos besar dan historiografi tradisional atau hikayat kerajaan sudah banyak diteliti dengan hasil, antara lain, berupa sejumlah disertasi di berbagai universitas di dalam dan luar negeri.

"Kecenderungan itu menyebabkan kurangnya perhatian pada naskah pendek, apalagi yang terkait dengan Islam. Dari berbagai katalog naskah Nusantara yang sudah terbit dapat dilihat bahwa naskah pendek seperti itu juga tidak sedikit jumlahnya. Memang kebanyakan naskah pendek tidak banyak berkaitan dengan kisah di seputar pusat kekuasaan dan genealogi raja-raja lokal. Namun, baik sebagai artefak sejarah maupun sebagai hasil karya sastra klasik, sebenarnya nilai naskah pendek tidak lebih rendah dari naskah panjang," papar Suryadi.

Sikap mengabaikan naskah yang tidak memunculkan informasi seputar pusat kekuasaan menimbulkan efek kurang menguntungkan terhadap tradisi kajian naskah klasik Nusantara. Di Jawa, misalnya, sudah lama terdengar keluhan tentang kurangnya perhatian terhadap naskah pesisiran karena anggapan bahwa naskah pesisiran yang beraksara pegon dinilai lebih rendah nilainya daripada naskah keraton wilayah Yogyakarta dan Solo yang dinilai adiluhung.

Dewasa ini, lanjutnya, di kalangan peneliti naskah Nusantara klasik, khususnya kalangan filolog, naskah "pinggiran" seperti syair Melayu dan genre singir yang berkembang di kalangan masyarakat santri di pantai utara Jawa, belum dikenal luas. "Alasan ini pulalah yang membuat saya tertarik meneliti Syair Sunur, atau naskah Nusantara klasik jenis syair Melayu," tambah dia.

SEBAGAI orang Minang, di sela-sela kesibukan meneliti naskah Nusantara klasik, Suryadi masih menyempatkan diri meneliti hal lain guna menggali kekayaan dan kejayaan Minang dulunya. Banyak data dan dokumen penting tentang Minangkabau disimpan di Belanda.

"Saya beruntung studi di Belanda. Ide-ide penelitian tak habis-habisnya karena didukung perpustakaan yang lengkap dan memiliki koleksi langka. Di samping itu, setelah menjadi dosen tamu sejak akhir tahun 1998, terhitung tahun 2001 saya diminta menjadi dosen tetap/tanpa batas kontrak oleh Dekan Fakultas Sastra Universitas Leiden," ujar suami Nurlismaniar dan ayah dari Raisa Mahesvara Niadilova (3 tahun) yang untuk disertasi doktornya meneliti tentang signifikansi budaya industri regional di Sumbar.

Setamat dari Universitas Andalas (1991), Suryadi pernah menjadi asisten dosen di almamaternya dan di Universitas Bung Hatta, Padang. Karena tak pernah diangkat menjadi dosen tetap, akhir tahun 1994 dia pindah mengajar ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Setelah beberapa tahun menjadi asisten dosen di UI, ia pun tak diangkat menjadi dosen tetap.

Berkat kerja sama Prof Dr MHJ Maier dari Universiteit Leiden dan Dekan Fakultas Sastra UI (waktu itu) Prof Dr Sapardi Djoko Damono, akhir tahun 1998 Suryadi menjadi dosen tamu untuk program studi bahasa dan kebudayaan Indonesia di Universiteit Leiden. Pengetahuan dan dedikasinya pada sastra Nusantara akhirnya mengantarkan dia mengajar tetap di Leiden. (YURNALDI)

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0408/03/naper/1183550.htm

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987