Minggu, 10 Agustus 2008

CERITA MONYET

Oleh: M. Yunis

Sudah terhitung masa, telah terlukis peta masa depan, tapi tetap saja bahannya peluh dan keringat. Namun, kehadirannya menjelma seperti tinta kehidupan yang siap melukis takdir siapa saja. Kata orang ‘jalanilah hidup ini seperti air mengalir’, tapi sayangnya air terlalu bodoh dan penurut. Seharusnya, air berubah haluan mengalir ke atas, selama ini air hanya mampu merubah tepian mandi. Namun begitu, karena air manusia mampu bertahan di medan perang dan air pula yang membuat manusia tabah, terserah apakah air mata atau keringat air, maknanya tetap sama. Air mambasahi jauh berbeda dengan api, sifat api yang membakar adalah rekayasa dominan dalam kehidupan manusia. Masa selanjutnya akan berkembang menghancurkan segalanya, melahirkan dendam, memunculkan angkara murka, menciptakan nafsu serakah, dan api menciptakan para iblis. Namun, generasi Adam selanjutnya mempercayai api dapat melahirkan Cinta, kemudian menjelma menjadi api cinta, hingga di ujung perjalanan nanti akan menghanguskan rintang penghalang, baik orang tua, saudara, batas moral, dan etika. Cinta itu sendiri telah dibakar oleh sifat membaranya api. Sejarah cinta pun mencatat, ‘jangan pernah menyakiti orang yang jatuh cinta!’. Sementara cinta hanya mampu tertidur, dan apinya semakin membara.
Sedangkan tanah! apakah sifatnya selalu menanah? Tidak!, dia tidak akan selalu berada di bawah, suatu saat dia akan berada di atas, hal itu terjadi saat mahluk yang tercipta darinya ingkar. Lumpur-lumpur meluap di tanah Porong, hingga sekarang nafsu serakah kewalahan mengahadapi amarahnya itu, lalu longsor dan sejenisnya itu? Apa mungkin ini pengejawantahan dari wujud kemarahan? sesaat kemudian korban-korban ketidakadilan agungkan sebuah tuntutan, kembalikan rumah kami!
Angin! Unsur ini sedikit bersahabat, selalu ada dimana mahluk berada, dia selalu menyegarkan saat kegerahan, terkadang gerah karena terlalu gerah, konsekwensi dari mahluk yang dihidupinya telah ingkar terhadap asal-usul. KUN! jadilah ia puting beliung, topan, badai hingga lengkiasau .
Saat penguasa alam meyatukannya empat unsur itu dalam satu wujud berikut dinamakan dengan manusia, mahluk itu dianugrahi sebutan khalifah di alam fana. Masa itu, semuanya takluk terhadap perintah yang satu, tetapi tatkala wujud yang berupa ada dari ketiadaan itu pun menyalahgunakan amanah, kemudian muncul keserakahan, teguhnya kesombongan. Dialah tuannya tuhan, di saat keangkuhan membuat tahtanya sendiri, di kala keegoan merajai segala penjuru alam. Dasyatnya amukan 4 unsur tuhan!
Anggaplah bagian ini hanyalah penggalan kata-kata dalam novel atau mungkin pula pernyaataan orang gila yang baru saja mencuri berita dari langit. Tetapi kali ini dia memang terbakar, dia mulai merasakan terpaan api hanguskan seluruh jiwa, pemikiran yang telah masuk keliang jahannam meskipun jasad masih berbentuk. Azam sendiri menjadi korban dari kegilaan itu.
Kisah dimulai setelah Azam melewati rentetan panjang masa sulit hidup jauh dari orang tua, Azam bekerja di Aia Cama Kota Padang, dalam istilah Minang adalah air yang serakah, cama dimaknai dengan serakah. Tetapi padanan morfem itu tidak lagi dijumpai dalam kamus kehidupan bertepatan setelah pemerintah memindah patenkan maknanya ke dalam Air Cemar, berarti air yang tercemar. Memang benar-benar tercemar!
‘’Ah!.., biarkan saja seperti itu, lagi pula percuma memeras otak, dia harus sadar apalah yang mampu dilakukan sebagai salah seorang buruh jahitan di PT Yeni Jaya Gorden. Ya!, inilah api baginya, api yang selalu mengantar keperistirahatan di ranjang juang. Buruh Jahitan baginya bukan berarti buruh yang mau diperlakukan semaunya, dia yang membentuk, mempersiapkan dan menyenangkan hati para pelanggan. Alhasil, api itu sendiri berobah arti menjadi semangat, ya! ‘semangat hidup’ seperti itulah dia memaknainya.
Keberadaan Azam di Air Cemar memang belum tercium oleh para dewa di negri kincir angin, meskipun awalnya dia dibawa paman kerja di sana, tapi pamannya bukanlah seorang dewa, hanya saja Azam ada karena dia ada, katanya dia sudah lama bergabung sebagai buruh jahitan, kemudian menyusul anak-anak dewa lain, mumpung lagi menganggur di kampung. Satu persatu dari mereka jatuh berhasil, atau benar-benar jatuh hingga se dalam-dalamnya harga diri, lambat laun mereka menuai harapan hidup, Rosa jatuh saling dipersunting hidup bersama dengan dosa budaya Pesisir selatan, dia dikenal dengan nama Wendi. Sebulan pernikahan, mereka mampu menacapkan kuku yang baru saja tumbuh di antara tanah kelahiran mereka, tapi tetap jaya. Kemudian anak-anak malam seperti Pajuak, Ritra, Jon, Jupri masih senang hidup dalam bimbingan mesin jahit, mungkin mereka juga belum mau matang untuk menuai keberhasilan yang dijanjikan.
Lalu dia sendiri lebih memilih jalan sendiri, dia tentukan keberhasilan yang juga sendiri. Awal tahun ajaran baru, dia terjatuh ke dalam pengkaderan di Sekolah Menengah Atas, saat-saat libur panjang menjelang adalah saat yang paling menyenangkan, dia kembali ke Air Cemar. Orang bilang, ‘sedang mencemarkan diri dengan simbol perjuangan’. Berselang beberapa waktu, berkat kegigihan para buruh itu pada tahun 2001, perusahaan Yeni Jaya Gorden meniti tulang-tulang daun, para buruh mampu hadiahi Bos Kijang Kapsul, kesenangan memuncak saat bisa nebeng ke pasar bersama Bos. Tapi, suasana seperti itu tdaklah kekal lama hingga jatah makan dipersiapkan dalam rantang masing-masing. Baginya kejadian itu terlalu manis untuk dikenang, sebab pada saat yang bersamaan dia pun diberi rahmat, berwujud perhatian dari seseorang, dalam Faridha, pujinya dia salut dengan Azam.
‘’Aku salut dengan da Zam!’’
‘’Kenapa, Ida? Bukankah pakaian itu terlalu besar untuk aku?’’
‘’Maksud Uda?’’
‘’Iya, tidak seperti biasaya ada orang yang mau memakaikan kata-kata salut setelah namaku!’’
‘’Memangnya selama ini belum ada orang yang memuji Uda?’’
‘’Bukan dipuji maksuduku, aku tidak suka di puji-puji, jika itu aku nikmati, aku akan jatuh bergelimang ke dalam lembah kesombongan, tenggelam dalam lautan angkuh, akhirnya terhempas di atas gunung keegoan!’’
Farida terpaku, dalam omongan Azam yang sekenanya.
‘’Rupanmya Uda sastrawan juga, berarti sudah banyak pengalaman dong Udanya?’’
‘’Ah.., Ida kamu salah tebak, pengalamanku belumlah seberapa di bandingkan dengan tanah yang kuinjak, air yang kuminum, angin yang aku tiup dan api yang membakar semangat engkau dan aku, tetapi aku hanya berdiri di atas apa yang ada, dan bukan mengada-ngada, begitu saja!’’.
Farida menundukan pandangannya, ya! sebagai wanita muslim yang rada-rada alim, sikap seperti itu agak terlambat dia lakukan, tapi mungkin bukan hal itu yang membuatnya salah tingkah, Azam menyadari, dia terlalu lancang di ujung kata-katanya tadi, seharusnya dia tidak menggunakan kata, ‘engkau dan aku’.
‘’Biarkan saja, terserah dia menterjemahkannya seperti apa, yang penting aku tegap berdiri betul di posisiku!’’, ucap Azam teguh.
‘’Farida!’’, terdengar teriakan dari atas rumah.
‘’Oh tuhan!, tidaklah aku menyangka, kata-kata ini biasanya digunakan di kampung sebagai teguran, cukup ketiga kali telah sah dijatuhi hukuman dari yang memanggil’’, bisik Azam dalam hati.
‘’Oh, iya! hari sudah malam, baiknya Farida tidur, tuh.., sudah dipanggil nyonya, tidak enak, lagi pula sudah jam 10 malam, besok kita sambung dongengnya!’’, lanjut Azam.
Farida pun berlalu dari tempat duduk yang mumpuni di samping Azam, padahal Azam sendiri tahu dia telah merahasiakan sesungging senyum darinya.
‘’Biarlah seperti itu, kalau ia mau tersenyum saja sampai pagi, mudah-mudahan aku tidak peduli! tapi keanehan begitu, di kampungku dulu isu itu akan merambat menjadi fitnah, walaupun tidak pernah dan akan terjadi apa yang diinginkan’’, Azam termaktub.
Ya! Mereka memang kerja dan tinggal se rumah di tempat kerja, tapi buruh pekerja wanita mempunyai tempatnya sendiri untuk bergolek-golek, mereka yang laki-laki dipersilahkan bergelimpangan, hal ini menjadi kebiasaan apabila kantuk menyerang, langkah-langkah gaip pun mampu meridhoi mereka saat benar-benar terkapar lelah.
**
Azam sudah menawar-nawari dirinya yang kian langsing, mungkin sudah empat bulan dia kerja di sana terhitung semenjak dia lari dari Surabaya. Sebuah kebiasaan yang sama selalu dia ulang, sebagai hiburan pagi-pagi sekali dia meneriaki si Jupry.
‘‘Jupry!’’
‘’Jupry!’’
Sesaat kemudian Si Jupry berlari ke arah Azam, Jupry menjilati kaki Azam yang belum disentuh air pagi itu, senang punya banyak teman. Tapi Azam tidak menyangka, Si Jupri teman kerja se kampung sudah berada tepat di samping Azam.
‘’Ada apa Zam? Pagi-pagi teriak-teriak? Menggagngu istirahat orang saja, tidak selesai jahitan kemaren malam mau di bantuin?’’
‘’Jahitan apanya, jaga mulutmu itu, aku kemaren malam bersama Farida!’’.
Jupri pun tersedak dalam tawanyanya.
‘’Hei jangan ketawa, aku bukan memanggil kamu tapi Si Jupry itu!’’, sambil mengarahkan telunjuk kearah anjing piaran Bos dan nyonya. Semua orang yang ada di sana spontan tertawa, termasuk bos dan nyonya yang bangun agak kesiangan. Jupri merunduk, mungkin dia malu atau merasa dikalahkan. Tapi Azam sudah minta maaf padanya, karena Azam tidak ingin merusak hubungan pertemanan mereka sejak dari kecil di kampung.
Sebenarnya Azam menyesal sekali, sebulan setelah itu didapati Jupri lebih memeilih kembali ke kampung, Azam sendiri tidak tahu penyebabnya, dia menebak-nebak, mungkin Jupri kecewa, sebab zaman sekarang antara anjing dengan manusia tidak ada bedanya. Ya! tinggallah si Jupry seekor anjing yang terus diteriaki setiap pagi sebelum Azam mulai bekerja.
Tapi mereka tidak pernah bosan bekerja di sana, walau terkadang perlakuan yang mereka terima tidaklah sewajarnya terutama dari Si Julia dan adik-adinya. Memang mereka tercatat sebagai anak Bos, dia memperbolehkan setiap buruh berleha-leha selama siang menjelang sore hari. Di antara teman-teman sesama pekerja ada yang memilih jalan-jalan ke pantai padang seperti Farida misalnya, ada pula yang mengikuti jalannya anak Bos si Julia ke Matahari, seperti Ritra, Rosa, sebab matahari di Kota Padang tidak lagi panas. Sementara Azam, Pajuak, Jon, dan Buyung keponakan Bos lebih memelih ke pantai, terkadang Farida ikut menyertai mereka.
Waktu berlalu, Azam terperosok ke dalam hubungan tak bernama dengan Farida, ya! salah dia sendiri kenapa terlena dengan omongan ganjilnya Azam, sebab kata-kata itu sengaja dihafalkan Azam saat bertemu orang-orang baru, sayangnya Farida memaknai kata-kata Azam agak lebih mendalam. Sehingga Buyung keponakan Bos kurang suka dengan cara Azam menciptakan petalian itu, Azam sendiri tidak tahu bahwa Buyung siap mati demi Farida Pagai. Biasnya, Azam lebih memilih tidak terlalu menanggapi, baginya cara yang tidak berguna itu akan mengangu konsentarasi kerja. Tapi kian hari tingkah Si Buyung tulen kekanak-kanakan, Buyung kebakaran jenggot, hayalkan manjanya Farida saat berada di dekat Azam, ada saja pesolan yang harus selalu dibahas, Farida berkisah sejak awal kejadiannya kepada Azam.
Pada hari kedua bulan ramadhan Azam disuguhkan sebuah peristiwa lucu mengesalkan, Azam kehabisan benang, hanya Buyung yang bekerja di samping yang dapat menjadi tumpuan harapan Azam.
‘’Da Buyung, benangku habis, pinjam dulu benang Uda boleh tidak?’’
‘’Benang Bapakmu! Kalau habis beli saja ke pasar, kamu laki-laki berusahalah sendiri!’’
‘’Ya.., baiklah kalau tidak boleh, tidak apa-apa!’’
Azam pergi menemui Farida di meja bagian dalam ruangan.
‘’Farida! Apa kabarnya? Sehat-sehat sajakan?’’
‘’Ah.. ,uda! Kalau mau minta benang bilang saja, jangan sok-sok ngerayu gitu Uda!’’
‘’Iya.., Uda jadi malu, masak sebagai laki-laki harus minta tolong sama wanita!’’
‘’Ya!, tidak apa-apalah Uda! Udakan bukan orang lain! berapa benang yang Uda mau, 5 buah, atau 10?’’
‘’Uda minta benang satu saja tapi sekalian sama orangnya ya!’’.
‘’Idih.., Uda bisa saja!’’
‘’Thanks Honey!’’
Farida tersenyum mengiringi perlangkah Azam hingga berakhir di meja kerjanya. Azam mulai memuntar benang jahitan, si Buyung mendahem-dahem di meja samping, Azam mengerti maksud Buyung yang bertindak demikian, tapi lanjut bekerja adalah pilihan yang tepat bagi Azam. Sementara kulit Buyung yang putih spontan memerah, dia berdiri menginjak bekas luka bakar di kaki Azam kemaren malam.
‘’Aduh! Hati-hatilah Da! Iihatlah kakiku berdarah!’’
‘’Bapakmu!’’
Azam terdiam. Sejurus kemudian, kepalanya terbentur kaca yang beada tepat di belakang Azam. Azam berdiri siap-siap menerima serangan kedua dari Buyung.
‘’Kamu ingin menantang aku ?’’
‘’Tidak, saya tidak menantang Uda, tapi aku heran kenapa Uda memukul aku?’’
‘’Ini satu lagi!’
Buyung terus memukuli Azam, Azam terdesak di sela-sela meja jahitan, Farida berteriak.
‘’Bapak Kani! ada yang berantam! Uni Lena ada yang berkelahi!’’
Teriakan itu mengundang semua orang keluar dan meninggalkan aktifitasnya masing-masing, tergesa-gesa Bos keluar dari kamar peluh.
‘’Kalian itu memang ayam mati, tidak tahu sedang bulan puasa masih saja berantam, mau jadi jagoan apa?”
Buyung berbalik menatap Bos, Azam melompat keluar, kesadarannya memudar, darah yang keluar dari kaki telah merobah kain putih berwarna merah. Azam menyendiri di luar.
‘’Aduh! Sakit juga rasanya terinjak, apa lagi terinjak emosi!’’
Dalam waktu yang bersamaan, Farida datang dengan obat merahnya yang baru saja dibeli dari warung.
‘’Uda sabar saja ya! sekarangkan bulan puasa!”
‘’Percuma! aku tidak bisa lanjut puasa!’’
‘’Kenapa tidak bisa Da? Apakah Uda tidak ingin bertemu malam Lailatur Kadar?’’
‘’Bukan begitu Dek!, darahku sudah keluar, sekarang baru jam 12 siang, aku terpaksa Berbuka!’’
‘’Ya!.., untuk sekarang tidak apa-apa, besok Uda puasa lagikan?’’
‘’Insya Allah!’’
Dua tegukan air siang langsung membasahi kerongkongan Azam, resmilah dia berbuka puasa, untuk selanjutnya Azam menemui Buyung untuk memelas Maaf.
‘’Uda! Maafkan saya telah menyinggung persaan Uda!”, Azam mengulurkan tangan kanan, Buyung menerima dengan sebuah peringatan.
‘’Kalau kamu mau selamat, urungkan niatmu itu!’’
Azam tidak mengerti apa yang dimaksud, tapi dia setuju terhadap peringatan itu, mungkin keinginannya Azam harus menjauhi Farida atau berhenti bekerja?
‘’Biklah Uda Buyung!’’
Esok malamnya adalah kesempatan terakhir bagi Azam untuk bicara dengan Farida, malam berikutnya Farida terpaksa jujur. Azam bingung, kata-katanya sendiri yang membuatnya terjebak, mungkin daerah yang berjauhan menjadi alasan bagi Farida mengakhiri sebuah hubungan, sempat juga Azam sedih selama 2 hari, maklum saja Azam baru pertama ini menaruh hati kepada Farida. Kata orang cinta pertama sulit dilupakan, tapi Farida adalah cinta keduanya setelah Ritra, kejadian itu pernah berlalu di kampung. Azam heran, rasanya dia kurang rela melepas Farida. Kali ini perasaannya lebih kuat dibandingkan saat melepas Retra dulu, dulu yang lucu Azam senang dan puas saat melihat atap rumah Retra, untunglah Andi teman SD Azam meyakinkan.
‘’Itu namanya monyet Zam!”
‘’Maksudmu, aku monyet?’’
‘’Sebenarnya cinta monyet, tapi untuk kamu cocoknya monyet saja!’’
‘’Kamu menghina aku ya Andi?’’
‘’Bukan maksud menghina, tapi meluruskan! kamu kalau bercanda suka bertingkah aneh, kamu pernah menggigit tanganku siap ngaji di Surau, dan perhatikan juga kakimu itu terlalu banyak bulu!’’
Terkadang kata-kata Andi ada benarnya juga, apa lagi zaman sekarang orang lebih pandang bulu, kemenangan selalu ditenggarai oleh orang yang banyak bulu, tapi lain halnya dengan Azam, dia juga banyak bulu, namun Azam selalu dikalahkan atau tepatnya mengalah.
Namun analisanya memberi tanda, sejak menjalin hubungan dengan Farida, Ritra dengan Rosa berlagak aneh, dua sekawan itu sudah akrab sewaktu mereka di kampung. Ya! Azam pernah melihat tukikan mata Retra sinis kepada Azam, kejadian itu berawal saat makan sahur, sepertiga malam itu Azam duduk agak berdekatan dengan Farida, sementara buruh lain juga berada di kumpulan Azam, hanya 2 langkahan kaki Azam sampai di tempat Farida, baginya jarak seperti itu sudah cukup dekat.
**
Lebaran 98’ saat itu jatuh pada tanggal 26 Oktober, malam takbiran Azam hanya menghabiskan waktu bersalam-salaman dengan orang serumah, terakhir sama Farida, Azam melihat aliran air kesedihan di mata Farida, apa lagi saat Azam pernah bilang ‘aku tidak akan kembali lagi!, aku akan sekolah di kampung!’. Namun selama di kampung itu, Azam masih dapat kiriman berita dari tempat kerjanya itu, Rosa yang serius dengan Wendri, 3 hari setelah kedatangannya dari Pesisir, tepatnya sebelum kepulangan Azam, dia juga telah berhasil menjalin keseriusan dengan Rose, sementara Farida sendiri diusir bersama Buyung setelah kedapatan berbicara di kamar mandi belakang sambil mandi. Retra yang terjerumus di kampung, sebulan setelah itu akan dikawinkan bersamaan dengan pesta kakaknya yang laki-laki, ciek turun, ciek naiak (satu turun, satu naik) istilah orang kampung. Anehnya, Yos adik Azam yang pertama, malah ingin belajar menjahit di sana, katanya mau membuka usaha sendiri di kampung.
Bersambung...!

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987