Selasa, 28 Oktober 2008

Propaganda SENDENBU (1943) Awalnya Harga Diri Dirampas

Oleh: M. Yunis

Peristiwa ini memang sudah berpuluh-puluh tahun berlalu, tetapi bukan berarti luka itu hilang begitu saja, sebab goresannya semakin dalam setelah indonesia meraih kemerdekaan, dan peristiwa itu tidak pernah terjadi? Tahun 1942 jepang mendarat di pulau jawa dan memulai mempropagandakan janji-jannjinya kepada saudara yang baru rakyat indonesia. Masyarakat terpukau disaat jepang janjikan sebuah kemerdekaan, tercapai jua apa yang dicita-citakan selama ini, untuk mewujudkan itu jepang meminta etikat baik dari rakyat dengan memperlihatkan terlebih dahulu keseriusan rakyat Indonesia untuk merdeka kepada pemerintahan dai nipon, jangan hanya sekedar kata-kata. Kemudian jepang minta tanda beti bahwa masayarakat yang memupunyai anak gadis perawan harus mendaftarkan dirinya kepada pemerintahan dai nipon untuk disekolahkan ke jepang dan shonanto. Agar nantinya para generasi penerus ini dapat memimpin bangsanya kemudian kelak. Rencana baik ini awalnya disambut gembira oleh penjuru tanah air, apalagi pulau jawa, masyarakat rame-rame mendaftarkan anak perawannya yang remaja kepada pemerintah. Kalu dijawa dimuali dari anak wedana, sonchoo (camat), kuchoo dan kumichoo (rukun tetangga). Sebagai pejabat daerah tentu saja mereka harus memperlihatkan etikat baik itu kepada masyarakat sebagai contoh teladan. Selanjutnya baru masyarakat biasa mengiringi propaganda yang dilaksanakan jepang tersebut.
Kemudian tidak lama kemudian gadis-gadis tersebut dijemput kerumah masing-masih oleh kendaraan yang telah dipersiapkan dai nipon sebelumnya. Semua gadis-gadis tersebut dikumpulkan pada sutau tempat sebelum diberangkatkan ke japang. Namun, kenyataan setelah beberapa gadis itu dikumpulkan tidak ada lagi kabar beritanya. Berdasarkan keterangan sufi-sufi yang hidup dipengasingan buru, awalnya para remaja yang masih ranum itu sangat bahagia dan bersuka cita bahwa akan sekolah keluar negri, nyanyian-nyaian suka dan mars kesatria pun melantun dari mulut mereka. Namun, setelah serdadu dai nipon masuk, mereka menjadi rebutan, diangkat satu-persatu ke dalam kamar dan digilir entah sampai berapa kali hinga air matanya kering. Setelah itu mereka-mereka ini dikirim ke daerah romusya untuk menjadi pemuas nafsu serdadu penajaga jepang malam hari.
Sebagai orang tua sudah barang tentu sangat sedih berpisah dari anak semata wayang, namun tekanan dari jepang membuat merka diam seribu bahasa. Diperparah dengan tidak adanya kabar berita dari remaja tersebut. Tetapi peristiwa tersebut telah dibungkus sangat apik sekali, jepang sampai sekarang tetap cuci tangan, takut kejahatan tersebut tercium dan dikatakan kejahatan perang yang paling jahat. Adalah wajar bahwa jepang sangat takut akan kegagalan dan keburukan yang dia lakuakn di zaman perang. Tetapi lebih aneh lagi, setelah kemerdekan yang puncaknya tahun 1945 peristiwa itu dianggap tidak pernah terjadi, padahal remaja-remaja sekarang sudah reot, yang jadi jadi korban binalnya serdadu jepang itu masih tersebar diseluruh pelosok nusantara dan bahkan sudah ada yang menjadi orang siyam. Di nusantara ini mereka terbanyak di pulau buru sebagian telah menjadi istri-istri orang Alfuru (Pramoedya: 2001). Itupun masih dibawah tekanan para suami yang selalu memegang tonggak, sementara para wanitanya disuruh bekerja sementara suami-suami bertugas hanya sebagi tukang kawal. Adatnya sangatlah tegas, bahwa para istri tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan orang luar apalagi menceritakan kisah mereka, sebab para suami takut istrinya pulang kekampung halaman dan mata pencarian merekapun habis. Begitulah propaganda sindenbu menjadi korban binalnya serdadu jepang sehingga mereka terpaksa menjadi budak hingga akhir hayat.
Namun, propaganda serupa juga terjadi di massa sekarang sama tersrtrukturnya seperti dulu, dimulai dari tingkat bupati hingga ketingkat camat. Iming-imingan bekerja menjadi TKI keluar negri menjadi idaman bagi wanita yang memang kurang mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan, wajar sekarag para wanita itu berlomba hanya untuk bekerja karena sejak kemerdekaan, bangsa ini hanya bertambah miskin, berbeda dengan dahulu keluar negri didorong oleh semangat kemerdekaan.
Kita mengetahi seluruh penjuru TKI sudah tersebar, mulai dari jadi pembantu hingga bekerja perusahaan-perusahaan. Namun nasib mereka masih tetap sama dengan remaja-remaja korban propaganda sendenbu 1943. Mereka disikasa, diperkosa dan gaji mereka ditahan agar tidak gampang melarikan diri. Selanjutnya majikan cuci tangan tidak obahnya seperti serdadu jepang dulu. Lalu apa bedanya dengan dulu, yang nyatanya sampai sekarang belum ada tindakan hukum yang pasti dapat menjamin Hakasasi TKI yang berada di luar negri.
Baru-baru ini juga masih terdengar bahwa ibu rumah tangga terjun dari puncak gedung apartement bersama bocahnya karena takut sama majikan, kemudian ada pula di antara mereka melahirkan bayi hasil kebiadaban majikan dan ada pula yang disiksa dengan strika dan benda-benda lainnya tanpa rasa kemanusiaan.
Kita mengutuk tindakan tersebut, sumpah serapah ditujukan kepada pelaku, tidak berprikemanusiaan tetapi kita lupa untuk introspeksi, bercermin pada masa lalu, bahwa hal itu pernah di alami di ibu pertiwi ini dan pernah menjadi budak nafsu jepang.
Mungkin saja imag rendahan telah terbangun oleh bangsa asing dan menganggap bahwa perempuan indonesia tersebut hanya berpotnsi sebagai pelayan laki-laki mata keranjang. Sebab, mereka tahu sejarah. Tidak salah bahwa mereka tidak pernah merasa berdosa karena bangsa sendiri juga tidak pernah merasa berdosa telah melupakan para remaja korban propaganda sendenbu apalagi nasib TKI di luar negri.

*Mahasiswa Pasca Sarjana Linguistik Unnad

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987