Jumat, 04 September 2009

LATAR NIHILISME DI DALAM NOVEL GENESIS KARYA RATIH KUMALA

Oleh M. Yunis

Sengaja penulis beri judul dalam tulisan ini dengan sebutan ‘`Latar Nihilisme di dalam Novel Genesis’’, mengingat karya ini adalah karya menarik dan dibuat berdasarkan fakta yang pernah terjadi belakangan ini. Genesis sebagai novel yang pernah ditulis oleh Ratih Kumala sarat dengan perjuangan kaum-kaum yang anti sistem, anti kekuasaan dan anti ketidakadilan. Ratih menceritakan pejuaangan seorang perempuan yang dizinahi di Gereja, terombang-ambing dibawa arus nasib yang tidak menentu, memiliki anak yang tidak bisa dibesarkan sendiri, si anak dan ibu berpisah hingga akir hayat. Atas kecintaan terhadap anak, si perempuan ini juga rela berpisah sampai mati dengan keluarganya sehingga kematiannya pun membawa tanda tanya.
Diceritakan kegilaan seorang ibu yang digambarkan melalui sketsa wajah, selaku anak si perempuan yang bernama Pawestri mendatangi ibu di rumah sakit gila, namun yang dia temukan hanya kekosongan belaka, tiada harapan. Sketsa wajah adalah sebuah hayalan atau gambaran seorang ibu yang yang bertolak belakang dari harapan, hayalan itu dikodekan dengan sketsa wajah, yaitu si ibu di dalam kegilaan, sebuah sketsa yang mengutuk dan bengis. Dimulai dengan kosong dan berakhir pula dengan kekosongan. Kekosongan tersebut tergambar dalam kutiban, ‘’bila ku menatapmu ibu, aku tersesat di sebuah sumur tua yang tak lagi subur. Tapi air dan segala endapan-endapan kenangan yang menjelma menjadi pijakan. Dasar yang dingin dan lembab. Aku juga terperangkap dalam jaring laba-laba...’’ (Genesis, hal 1).
Dalam kutiban di atas Ratih sebagai pengarang ingin menyampaikan bahwa menatap wajah ibu samahalnya dengan melihat sebuah sumur yang kering, sumur yang biasanya tempat mengambil air untuk minum, kini kering karena sudah lama tidak dipergunakan, ibu sebagai sumur sudah lama tidak mencurahkan dan memproduksi kasih sayang untuk se orang anak. Namun, sadisnya kasih sayang itu masih membekas dan masih lembab, bekas inilah yang dijadikan modal untuk seorang anak dalam perjuangan hidup, tetapi dikatakan lagi bekas itu tidaklah cukup, sementara untuk menimba kembali tidaklah mungkin karena terbentur oleh tembok kuasa dan tembok kuasa inilah yang dinamakan dengan tembok kegilaan.Layaknya sebuah perayaan terhadap kematian pikiran, kematian tubuh, ketakutan akan kebodohan tetapi tidak mau keluar dari kebodohan itu (Foucault, 2002). Di dalam novel genesis, seorang ayah sang penganut gereja yang taat merasa malu atas kesalahan yang telah diperbuat oleh anak perempuan. Keberadaan tobat tidak diakui secara pribadi tetapi hanya diakui secara kelompok. Tobat itu tidak benar jika bagian dari diri telah melakukan dosa, tetapi tobat malah diakui saat dosa diperbuat oleh orang lain yang mengaku berdosa kepada gereja. Realisainya sudah pernah terjadi di masa aufklarung dengan sebutan penjualan surat aflak.
Kemudian Ratih menyambung dengan rentetan ceritanya yang dimulai dengan meragukan adanya tobat, tiada tempat bagi yang bersalah, tiada pintu tobat bagi yang berdosa, buktinya Pawestri tidak diterima lagi di dalam keluarganya, pada masa ini tuhan merupakan pelarian terakhir dari manusia, ‘’Aku berlari ke arah tuhan, ke tempat dimana orang bisa mengadu saat dirinya dalam keadaan sepi dan terdesak‘’(Genesis, hal 12). Ratih mengharapkan seharusnya manusia itu mampu berpikiran terbalik, jangan selalu terkungkung di dalam sistem dan simbol-simbol yang telah dibuat oleh penguasa. Kembali ditegsakan oleh Ratih bahwa sesungguhnya syetan lebih setia dari pada manusia, syetan hanya ditugaskan hanya untuk menggangu manusia, syetan patuh terhadap aturan itu. Sedangkan manusia ingin serba bisa, manusia ingin menjadi tuhan sebenarnya, manusia kaum munafik.
Kuasa itu kembali dilawan, terlihat pemberontakan seorang ibu atas ketidakadilan yang diberikan oleh pihak gereja terhadap pribadinya yang mana pengabdi gereja itu salah satu bagian dari dirinya, sikap itu jelas sekali diperlihatkan ibu dengan sikapnya yang aneh dan gila, kemudian Pawestri mengatakan, ‘’Aku mulai ketakutan melihat wajah-wajah mereka. Ada hal yang sama yang kulihat di wajah mereka seperti tadi kulihat di wajah ibu. Sebuah kekosongan yang tak kunjung terisi begitu lama....’’ (Genesis, hal 7). Di gambarkan di sini ketika Pawestri mendatangi dan berharap menyambung kasih sayang dengan ibunya, namun tembok kuasa tadi menjelma menjadi wajah-wajah yang menakutkan dan mengusir Pawestri dari harapannya itu.
Sejalan dengan itu, apa yang digambarkan oleh Ratih di atas sesungguhnya adalah sebuah penghilangan, kuasa Nihilisme. Pawestri yang terperangkap oleh jaring laba-laba melambangkan situasi yang serba salah, Pawestri yang mengabdi sebagai suster di gereja tersandung oleh batas-batas moral yang dibuat oleh gereja di saat dia berhadapan dengan cinta. Di gambarkan bahwa keinginan untuk bersatu dengan keluarga tidak mungkin tercapai lagi, keluarga sudah digubah menjadi rumah sakit gila. Adalah sebuah hukum yang harus dipatuhi oleh Pawestri sebagai pezinah yang di usir dari keluarga meskipun keluarga tidak menginginkan hal itu terjadi, namun atruran pada masa itulah yang sangat menentukan apakah tobat Pawesatri diterima atau tidak di dalam keluarga. Ya! aturan gereja dan adat istiadat mengharuskan kejadian itu diterima oleh keluarga Pawestri. Nihilisme kembali dijelaskan Ratih dari rentetan ceritanya yang selalu meragukan adanya tobat, tiada tempat bagi yang bersalah, tiada pintu tobat bagi yang berdosa, buktinya Pawestri tidak diterima lagi di dalam keluarga, pada masa ini tuhan merupakan pelarian terakhir dari manusia, ‘’Aku berlari ke arah tuhan, ke tempat dimana orang bisa mengadu saat dirinya dalam keadaan sepi dan terdesak‘’(Genesis, hal 12). Ratih mengharapakan, seharusnya manusia itu mampu berpikiran terbalik, jangan selalu terkungkung di dalam sistem dan simbol-simbol yang telah dibuat oleh penguasa, ditegsakan lagi oleh Ratih bahwa sesungguhnya syetan lebih setia dari pada manusia, syetan ditugaskan hanya untuk menggangu manusia, kenyataannya syetan mampu untuk patuh terhadap aturan itu. Sedangkan manusia ingin serba bisa, manusia ingin menjadi tuhan sebenarnya, manusia adalah kaum munafik.
Ratih juga menyampaikan bahwa kuasa nihilisme tersebut sudah tertanam sejak dulu kala, dimulai dari kode-kode sosial yang dibuat dan kemudian digeneralisasikan. Zaman Yunanni diceritakan oleh Ratih, bahwa perbedaan antara laki-laki dengan perempuan hannyalah pengkodean yang dibuat oleh orang Yunani. Gambaran ini dapat dilihat dalam kutiban, ‘’Pada zaman dewa-dewa masih jaya dahulu, katanya manusia diciptakan dua. Berpasangan sangat akur. Hingga dewa Zeus iri melihatnya, terutama karena hari itu Zeus sedang bertengkar dengan istrinya Hera. Maka dengan kekuatan petirnya dia memisahkan semua manusia menjadi dua. Mereka lalu hidup sendiri-sendiri’’. (Genesis, hal 13-14). Namun, dalam penawarannya Ratih menyatakan, seharusnya manusia tidak harus dikendalikan oleh simbol, semua manusia sama tidak ada perbedaan di antaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Anjuran ini dipertegas oleh Ratih ketika Pawestri di atas pesawat yang sedang bercerita dengan seorang laki-laki di sebelahnya, ‘’....ia memanggilku ‘Nona’. Mungkin karena jubah ini. Toh aku sama sekali tidak kelihatan muda. Tapi jika benar karena jubah ini, seharusnya dia memanggilku ‘suster’. Tapi tidak, dia lebih memilih memanggilku ‘nona’ (Genesis, hal 10).
Di dalam novel ini, Ratih juga mengulas kebejadan penguasa, sebab kolonialisasi yang dijalankannya telah banyak menyesatkan banyak orang, teknologi yang ditawarkannya bermakna membunuh, menyiksa, kemajuan yang digembor-gemborkannya hanyalah semu. Hal ini sengaja dibuat oleh kolonial seperti Barat hanya untuk menanamkan pengaruhnya kepada dunia Timur saja. Tetapi sesunggunya yang diatawarkan Barat hanyalah kehancuran total. Sindiran ini dipertegas oleh Ratih di dalam cerita Bil Gates, Billl gates penemu Microsoft menjadi tamu terhormat tuhan, sistem di akhirat sudah dirubah menjadi sitem komputer. Sebagai penemu, Bill Gates mendapatkan kesempatan memilih ingin tinggal di surga atau di neraka, tetapi sebelumnya malaikat memperlihatkan gambaran syurga dan neraka, surga digambarkan dengan keindahan, banyak perempuan cantik sedangkan neraka digambarkan adalah Las Vegas, Bil sebagai pebisnis lebih memilih tinggal di neraka, namun setelah di neraka dia disiksa tiada Las Vegas di sana. Bil menuntut Tuhan dan kemudian Tuhan menjawab bahwa yang dilihat Bill itu baru Screensarvernya saja. Kutiban ini memperlihatkan, ‘’Pada suatu hari Bil Gates meninggal dunia. Akhirat sudah menggunakan sistem perkompouteran Micrisoft temuan Bill Gates. Merasa mendapatkan tamu kehormatan, Tuhan mengutus malaikat untuk memperbolehkan Bill memilih antara tinggal di neraka atau di syurga. Bill Gates lalu berkata bahwa dia mau melihat dulu seperti apa surga dan seperti apa pula neraka walau sejak kecil dia telah diceritakan gambaran syurga melalui alkitab. Lewat layar komputer malaikat memperlihatkan surga. Ternyata surga memang penuh kesuburan, semua mahluk adalah muda, tidak ada yang menderita dan banyak dewi-dewi yang cantik. Selanjutnya neraka. Betapa terkejutnya Bill sebab neraka yang dia lihat Las Vegas! Penuh dengan rumah-rumah judi dan rumah-rumah bordil, bisnis kotor dimana-mana. Bill Gates yang berpkiran bisnis tidak mau rugi, dia memilih tinggal di neraka. Maka diceburkanlah dia ke neraka. Ternyata di neraka dia disiksa. Dipukul dan dicambuk setiap hari. Tidak ada kasino, tidak ada Las Vegas.....Kau bohong..yang kau perlihatkan waktu itu di komputer adalah Las Vegas, kenapa aku sekarang disiksa? Dengan santai Tuhan menjawab; Bill, Bill..yang kau lihat kemaren itu Screensaver!’’ (Genesis, hal 14).
Dari kutiban di atas tersirat terdapatnya ketidakpusan Ratih terhadap pembagian wilayah syurga dan neraka, neraka hanya untuk perempuan sedangkan syurga untuk laki-laki, sebab syurga yang diperlihatkan malaikat di atas dipenuhi dewi-dewi yang cantik tujuannya untuk menyambut para laki-laki masuk syurga dan syurga tidak menyediakan para dewa-dewa yang gagah bagi perempuan, jika perempuan harus mencari para dewa maka carilah di neraka. Maka perempuan lebih pantas masuk neraka dibandingkan masuk surga. Pembagian wilayah inilah yang sebenarnya diprotes oleh Ratih, pembagian itu hanya pembohongan saja dan sephak. Syurga dan neraka hanya dibuat oleh pihak laki-laki yang notabenenya adalah Barat dan mewacanakannya di dalam sistem, sehingga Ratih sendiri mengatakan bahwa neraka itu sudah ada di dunia, Las Vegas merupakan sebuah pintu untuk neraka tersebut.
Dipertegas lagi oleh Ratih di dalam ceritannya dalam kutiban, ‘’pada awalnya semua dilahirkan sebagai manusia laki-laki. Karena kau berbuat kesalahan, maka kau dikutuk jadi perempuan’’ (Genesis, hal 14). Sebenarnya yang digambarkan Ratih adalah dunia laki-laki, dominasi laki-laki terhadap perempuan, Barat itu adalah laki-laki sedangkan Timur adalah perempuan, lemah dan patut dilindungi dari kebiadaban laki-lakinya. Juga digambarkan kepesimisan dalam hidup setelah Ratih mengatakan, ‘’...hidup itu pilihan. Tapi apa benar. Aku sangsi dengan kalimat itu. Mungkin kelihatannya kita diberikan pilihan.........Tuhan sudah punya rencana sendiri. Bukankah tuhan maha tahu? Maka aku sekarang tidak benar-benar memilih, tapi hanya menjalani seperti juga perjalananku kali ini...’’ (Genesis, hal 15). Kepesimisan itu diperkuat oleh Ratih, setelah tokoh Pawestri menempuh jalan hidup dan berakhir tidak berdaya sama sekali. Si tokoh digambarkan lebih memilih menuruti arus, karena takdir tetap berada di tangan tuhan untuk apa lagi berjuang.
Selanutnya pada sub judul -ini tubuhku, secara terang-terangan Ratih mengungkapkan kebencian yang amat sangat terhadap laki-laki, laki-lakilah yang sepatutnya dihukum sebab laki-laki hanya mengharapkan seks dari wanita dan bukan seorang anak. Laki-laki hanya membuat perempuan menderita. Laki-laki mengatasnamakan pemimpin terhadap dirinya sehingga perempuan tidak lebih hanya bertugas untuk beranak, tak obahnya mesin pencetak. Uangkapan ini dapat dilihat dari kutipan ini, ‘’mahluk laki-laki memiliki derajad yang lebih tinggi dalam hidup. Dan kuharap kau juga laki-laki. Mungkin, aku dulu telah berbuat salah, maka kini aku dihukum jadi perempuan (Genesis hal 17), laki-laki harus dihukum,’’Gabriel bercerita bahwa begitu banyak jiwa di syurga yang memprotes masalah ini itu, maka Tuhan mengutus mereka untuk diajar selama sembilan bulan sepuluh hari di perut seorang perempuan’’(Genesis, hal 18). Di sini digambarkan bahwa, si laki-laki untuk sampai ke dunia harus melewati perut seorang perempuan, agar dia tahu betapa pentingnya perempuan bagi laki-laki dan tidak hanya untuk kepuasan seks belaka. Tubuh perempuan memang menarik minat laki-laki, lebih-lebih saat si perempuan sudah menyerahkan seluruh jiwanya ke pada si laki-laki, laki-laki akan menikmati perempuan sepuasnya saja. Si laki-laki yang berlidung di balik kode pelindung sebagai pemimpin hanya memanfaatkan keperempuan untuk kepentingan sex, hal ini dijelaskan dalam kutiban, ‘’kebanyakan rahimku sepertri sarang burung walet jauh tersembunyi di antara gua dingin, tapi bergitu nyaman dan hangat. Maka banyak yang ingin merenggutnya. Tiga bulan lalu, kuberikan rahim ini untuk segumpal jiwa, telah terbentuk sebuah raga baru untuk jiwa-jiwa yang konon dihukum tuhan untuk diajar ...(Genesis, hal 18-19) dan disambung dalam kutiban, ‘’Aku mendatangi suamiku, kubawa Noah. Kutunjukan padanya bayi itu. Bayi kami. Dia anak kita, kataku waktu itu. Lahir dari aku. Tapi suamiku sanksi sebab bagaimana bisa, sedang dia tidak pernah menyentuhku. Aku telah menikah lebih dari setahun tapi aku masih juga perawan. Maka aku menceritakan tentang Pawestri padanya. Tapi dia tetap tidak percaya ......aku telah tidur dengan laki-laki lain dan tidak mau tidur dengan suaminya sendiri. Padahal aku sangat mencintainya, maka aku ingin memberikan anak untuknya. ...suamiku telah berhubungan dengan perempuan lain…..ia menginginkan seks dan aku tidak bisa memberikannya’’. (genesis, hal 39). Akan kejadian ini, Ratih menyalahkan asal kejadian manusia yang tidak adil, merugikan perempuan, perempuan digambarkan hanya korban dari rayuan laki-laki, sehingga perempuan dikutuk tuhan menjadi orang yang menderita, dijelaskan dalam kutibab, ‘’..Mereka berupa ular jejadian penggoda Eva di Nirwana. Memberi rasa malu, membuat Tuhan mengutuk perempuan untuk merasakan sakit melahirkan ....Tugas perempuan adalah beranak, beranak dan beranak hingga mirip mesian pencetak. Lalu laki-laki melatih anak-anak mereka untuk menyesatkan manusia. Di sela-sela kepesimisan dan kenihilan ternyata Ratih masih menawarkan sebuah solusi untuk perempuan yang menderita dalam melahirkan anak tidak dinginkan yaitu dengan memindahkan janin ke perut orang lain, namun memiliki resiko yang sangat besar (Genesis hal, 25). Jadi laki-lakilah yang sebenarnya syetan itu.
Pada cerita selanjutnya dengan kritis Ratih melihat fenomena yang berkembang, dia mulai meragukan apa yang benar-benar terjadi maupun kejadian turunan dari nenek moyang. Di mulai dengan kelahiran anak yang tidak dinginkan. Di dalam ceritakan bahwa anak itu mampu menjadi seorang nabi, juru selamat manusia. Hal ini digambarkan oleh Ratih dengan memposisikan Noah dengan Nuh sipembuat kapal, pada akhir cerita novel ini memang dibuktikan bahwa Noah mengikuti jejak LSM untuk menyelamatkan para korban perang dengan kapal Srigunting. Sebagai sindiran atas kekejaman penguasa, Ratih menceritakan pun menyamakan Noah dengan Nabi Musa yang mengalahkan Fir’un (Amnehotib) (Genesis, hal 28). Selanjutnhya protes Ratih terhadap kristen yang menyamakan manusia dengan domba yang tersesat, kode ini juga buatan pengausa saja, penguasa gereja yang ingin mengambil kristen hanya untuk dirinya saja dan bukan kristen dianggap para domba yang harus diselamatkan, kata domba dan pengembala sengaja digunakan untuk merendahkan derajat orang-orang kecil, Yesus diumpamakan sebagai pengembala, sementara bukan Kristen adalah para domba yang bodoh tanpa petunjuk. Kritikan ini tercermin dalam kalimat, ‘’tapi umat percaya Yesus lebih percaya bahwa Yesus lahir di kandang domba. Maka mungkin itu sebab kelak ada kalimat ‘’Tuhan adalah gembalaku’, aku’diibaratkan sebagai domba yang buta arah sekaligus bodoh. Maka butuh petunjuk dari seorang gembala’’(Gensesi, hal 29). Kemudian Ratih menyimpulkan tuhan telah mati, seperti yang pernah dikemukan oleh Nieczthe di dalam Zaratustra (2007). Oleh karena itu, Tuhan perlu dihidupkan lagi dengan pencarian yang layak dilakukan oleh Nabi Ibrahim atau Amnehotib ke IX di Mesir Kuno. Pernyataan ini dpertegas di dalam kalimat, ‘’lalu Noah mulai menanyakan satu nama yang sering kusebut-sebut; Allah itu siapa? Kujawab bahwa Allah adalah yang menciptakan kita semua. Dia tidak berhenti puas dijawaban itu saja, Noah mulai bertanya Allah itu dimana dan seperti apa rupanya....(Genesis, hal 43).
Sejalan dengan itu, sebagai usaha untuk menghidupakn kembali Tuhan, Ratih mengirim pembelaannya terhadap kaum tertindas dan tidak mendiskriminasi. Setiap orang pernah berbuat salah, itu bukan kesalahan, hanya saja orang itu berada pada saat kondisi yang salah dan situasi yang tidak bersahabat, waktu yang tidak tepat, bukankah hidup ini sudah ditakdirkan seperti itu? Perjanjian awal meyatakan bahwa mansia itu tidak pernah sempurna, kesalahan yang pernah terjadi hanya untuk mendapatkan pelajaran. Oleh karena itu tidaklah perlu menghukum atau memberikan kutukan seumur hidup. Kesalahan terletak hanya pada waktu dan kondisi saja. Kemudian diterangkan dalam kutiban, ‘’Bayangkan jika kau bangun pada sebuah pagi yang berubah menjadi kutukan bagi hidupmu. Seperti Pinokio nakal yang berubah menjadi keledai Bengal akibat ulah badungnya di taman ria milik orang-orang jahat’’ (Genesis, hal 46). Ratih juga menyambung dengan sikapnya tegas yang dinyatakan dalam kutiban, ‘’orang-orang yang kau panggil sebagai ayah dan ibu, tak lain dan tak bukan hanyalah mereka yang diberi tugas sebagai media jalan. Identitas asli dari entitas hidup sepenuhnya terpisah dari mereka yang kita panggil sebagai ayah dan ibu. Hukum alam telah menggariskan, bahwa sang roh dipaksa masuk ke dalam sperma ayah yang lalu masuk ke dalam rahim ibu. Dia selayaknya warisan semua untung-untungan…’’ (Gensis, hal 47) dan ‘’Apabila kau meninggal, lima unsur tubuhmu akan membusuk. Tanah. Air. Eter. Lalu kembali menjadi elemen-elemen semula; debu. Engkau adalah debu dan kepada debulah engkau kembali’’ (Genesis, Hal, 48). Bagi Ratih semua hanyalah fana, tiada arti, kita hidup di dunia ini hanyalah sebagai pemain dari scenario takdir yang dipotong-potong berdasarkan since 1, since 2 dan seterusnya. Lalu kita melakukan apa yang diperintahkan sang sutradara, bagi yang penyimpang dari skenario, wajib diulang pemeranan takdir dan parah pemain yang menyimpang itu akan dilahirkan kembali setelah dihukum sedemikian rupa, salah kembali dihukum kembali sehingga dosanya memang benar-bena habis. Jadi, dunia ini tidak lebih dari sekedar hukuman saja. Gambaran ini dapat kita lihat dari kutiban, ‘’hidup ini menarik……Lalu, karena setiap roh betanggungjawab atas karmanya sendiri maka itu dulu aku harus menjadi capung untuk membayar setelah kehidupan sebelumnya menjadi mucikari dan karena belum lunas juga membayar dosa mucikari, maka aku dihukum menjadi perempuan yang menderita dan mati menggenaskan di rumah jompo’’ (Genesis, Hal 50).
Dunia ini hanyalah tempat hukuman, kekacauan yang direncanakan saja oleh sang sutradara, Ambon yang dipilh sebagai latar konflik adalah sebuah latar yang cocok untuk menggambarkan kenihilan dunia. Pembunuhan, pembakaran, pertikaian, permusuhan, politik dunia mengejar nafsu serakah mengorbankan apa saja termasuk agama. Semua dapat dipertaruhkan untuk mencapai kepentingan, di Ambon digambarkan oleh Ratih sebuah lautan derita yang seyogyanya harus diterima oleh setiap manusia. Dunia hanya tempat menunggu ajal saja, manusia belum boleh merasakan hidup abadi, kalaupun hidup abadi tetapi bukan dunia ini tempatnya. Di dunia manusia semuanya akan dihkum, didera, dihinakan atas perbuatan yang telah dilakukan maupun perbuatan yang tidak dilakukannya. Ratih menggambarkanya, ‘’bukankah konflik Maluku itu dulu diawali dengan pertikaian dua kelompok preman di Jakarta lalu preman-preman itu dikembalikan ke kampung asalnya di Ambon dan di sana mreka kembali melanjukan pertikaiannya. Religi hanyalah imbas kecil dari pertikaian tersebut, kemungkinan besar juga karena ditambah kompor-kompor yang memanaskan dari provokator’’ (genesis, hal 68). Jadi, preman yang membuat ulah di Jakata harus bertanggung jawab atas kesalahan, berikut seluruh keluarganya juga mendapat bias malapetaka yang amat sangat menyakitkan, dengan pengkodean perang antar agama.
Selanjutnya, Ratih menggambarkan di dalam suasana perang semua hal dapat terjadi, hilangnya kepercayaan, pemanfaatan menyeluruh. Suasana ketidaktentraman akan membias kepada siapa saja, malahan yang ditugaskan untuk menciptakan dan menjaga keamanan tersebut malah memanfaatkan suasana ketidakamanan itu untuk kepentingan pribadi. Seharusanya tentara yang digambarkan di dalam cerita ini, yang notabenenya untuk membantu mengatasi konflik, namun realisasinya tidak seperti itu, para tentara yang bertugas di Ambon merasa berutung dengan situasi ini. Kutiban ini menjelAskan , ‘’seorang laki-laki yang berpakaian tentara mendekatiku…..’suster butuh bantuan?….kami bisa bantu, kami juga akan ke Ambon’ dia lalu menunjuk ke arah sebuah mobil tentara….dengan kami tujuh puluh lima ribu saja…’ aku tersintak. Kaget. Terdiam. Tentara itu juga cari duit’’ (Genesi, hal 73). Jadi, apa yang digambarkan di atas jelas untuk menyatakan tentara hanya sebagai pelengkap dan Ambon tidak butuh bantuan tentara.
Kemudian, keraguan berlanjut pada gereja yang pada awalnya Pawestri sebagai tokoh sangat mengormati kaum kemurnian gereja, sehingga dia sendiri membunuh cintanya kepada seorang pastor, walau pastor senior telah mengizinkan Pawetri untuk menikmatai rasa cinta itu. Namun, tokoh sebagai salah seorang yang pernah tersesat mengira pintu tobat yang telah dibukanya sendiri mampu meredam dan menghapus segala dosanya, dengan harapan dia bisa menemui kebenaran sejati melalui gereja, ternyata semua itu hanya nihil, gereja hanya kode yang dibuat manusia, tuhan hanya diciptakan oleh manusia gereja seperti pastor dan suster, hal ini jelas dalam kutiban, ‘’Tiba-tiba saja mataku mulai terbuka. Aku melihat sejumlah hubungan-hubungan gelap yang terjadi di lingkungan gereja Khatolik, Antara Pastor dengan suster, antara suster dengan laki-laki awam dan antara pastor dengan perempuan awam’’ (Genesis, hal 77). Crita ini lebih mirip pada film Casanova, yang diproduksi oleh Mark Gordon Company dan Hallstrom/holleran, tahun 2005 (Touch Hstone Home Enterteinment) di dalam cerita digambarkan kebobrokan gereja, pastor cemburu terhadap Casanova yang telah meniduri para suster gereja kemudian orang suruhan pastor memburu Casanova.
Kembali peda symbol, manusia sebagai mahluk simbolikum dikatakan sebagai binatang yang berpikir, manusia sebagai mahluk yang berakal adalah manusia yang dikendalikan oleh symbol yang telah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan manusia itu sendiri telah disimbolkan ataupun menyimbolkan diri untuk kepentingan pribadi maupun sekelompok orang. Dengan menggunakan embel-embel agama symbol akan cepat diakui oleh khalayak ramai, kepentingan politik, budaya sebagai memperlambangkan jiwa sosial juga tidak akan luput dari itu sehingga sedikit sekali symbol dimanfaatkan untuk kepentingan spritual. Begitupulah cerita yang digambarkan dalam genesis, selama ini manusia menghujat iblis, syetan sebagai mahluk yang paling durhaka kepada Tuhan, mahluk yang dilaknat Tuhan sejak dari Syurga.
Namun, dipandang dari pikiran terbalik Syetan adalah mahluk yang sangat jujur, mempunyai identias, kredibilitas, harga diri dan patut pula sikap ketauladannya dijadikan percontohan untuk mahluk mulia. Manusia hanya bisa berdusta, mengalihkan wacana dan memanfaatkan segala macam cara untuk mencapai kepentingan, sekarang iya dan besok bisa saja berubah menjadi tidak. Kejujuran berdasarkan kondisi dan situasi yang terjadi pada masa itu saja. Seperti itulah manusia, tidak lebih dari sekedar ular yang berkepala dua, seperti vonis yang diberikan kepada luciver si ular yang tidak lain adalah Syetan itu sendiri. Sewaktu Syetan disuruh sujud kepada Adam, Syetan menolak, karena yang pantas disembah hanya Tuhan sebagai pencitanya, Adam tidak lebih mulia dari Tuhan, makanya Syetan tidak mau bersujud kepada adam. Kemudian Syetan mempunyai komitmen yang tangguh dan atas izin Tuhan sendiri untuk menggoda Adam dan Hawa hingga seluruh anak cucunya. Komitmen itu selalu dipegang oleh Syetan hingga hari kiamat. Ratih mengatakan bahwa Syetan itu termasuk malaikat yang disisihkan. Hal ini dijelaskan oleh Ratih dalam kutiban, ‘’Pada awalnya, tak ada mahluk yang bernama Syetan, Iblis dan semacamnya. Yang ada hanyalah Malaikat. Saat tiba Tuhan memerrintah semua mahluk tunduk kepada Adam, sekelompok Malaikat tidak mau. Kelompok itulah yang kelak dibedakan dengan sebutan Syetan. Mereka tak hendak tunduk kepada Adam buka merasa darjadnya lebih tinggi, melainkan karena berpendapat bahwa tidak ada yang patut disembah selain Tuhan’’ (Genesis, hal 81-82). Ini dapat juga dinamakan dengan keteladanan mahluk Syetan. Akankah Syetan masuk surga?
Di sisi yang sama, Ratih juga menceritakan keganasan sorang ibu yang melahirkan anak hingga kekejaman perang antar agama di Ambon, kaum Obet versi Kristen dan kaum Acang versi Islam, saling bunuh dan menyemblih. Perbuatan ini hanya dilakukan berdasarkan kode yang mendukung keberadaan kaum Acang dan juga Obet. Obet yang identik dengan symbol-simbol Kristen akan diburu oleh kaum Acang yang mengenakan symbol islam. Sementara Noah yang bergabung dengan LSM dengan tujuan sebagai tim penyelamat hanyalah menggunakan LSM sebagi tembok pelindung untuk menemukan ibu yang sebenarnya di tanah perang. Di alamnyatanya, Sawitri yang yang berposisi sebagai ibu yang melahirkan Noah tidak bisa menerima Noah direbut oleh istrinya sendiri, Elmira. Kecemburuan Sawitri inilah yang membopong Noah untuk hadir di dalam perang. Sawitri sebagai ibu Noah tidak rela anaknya dinikmati oleh orang lain. Hal ini tergambar dalam kutiban, ‘’Ada alasan lain yang tak dikatakan Sawitri, adalah lebih baik jika Noah pergi mencari ibu indung telurnya dari pada tetap berada di rumah itu bersama perempuan lain, bersama Elmira. Dia cemburu’’ (Genesis, hal 113). Dari kutiban itu terungkap Nihilnya keiklasan seorang ibu untuk mendidik dan membesarkan anak. Selanjutnya perang agama yang terjadi di Ambon tidak lebih hanya perang symbol dan bukanlah perang ideologi. Kenyataan ini dapat dilihat dari sikap, Suter Frustina yang dulunya bernama Pawestri menginginkan sebuah keselamatn dan keadilan, dia pun terpaksa meluluhlantakan symbol yang dia kenakan demi keselamatn dirinya, ‘’suster maaf..kalau suster mau ikut kapal kami berarti suster harus melepas jubah Anda dan mengunakan pakaian orang biasa’’ (Genesisi, hal 130). Kalimat itu mampu membuat dan memberikan keselamatan bagi Pawestri untuk selanjutnya ikut menumpang di kapal Srigunting.
Berbicara tentang konsep nihil, penulis ingat kepada soeorang filsuf gila Nieztche yang pernah ditulis di dalam Zarathustra (2007) atas kematian tuhan dan siapa yang mebunuh tuhan. Hal serupa juga tergambar di dalam novel ini, tepatnya pada kutiban, ‘’Di sini kawan..adalah tempat yang mampu merubah dirimu dan segala kepribadianmu yang telah tertata apik. Di sini kawan, adalah tempat kau bisa melihat sisi berbeda pada tiap bentuk trapezium yang telah terbangun. Di sini kawan adalah tempat kau bisa menemukan Tuhan atau membunuhnya’’ (Genesis, hal 149). Secara tidak langsung kutiban itu menyiratkan bahwa di dalam kondisi perang segala hal dapat terjadi, dari pembunuhan manusia, moral, nilai, hingga pembunuhan Tuhan itu sendiri. Nieztche mengatakan Zaratustra turun dari gunung, ingin mendakwahkan tentang kematian tuhan, kita telah membunuhnya, namun di balik itu tersirat sebuah usaha untuk melahirkan tuhan kembali untuk membunuh para tuhan, para Tuhan adalah kesombongan, keaangkuhan dan egoistis.
Sejalan dengan itu, Piliang dan Umberto eko pernah mengungkap tentang dunia Hyperrealitas, tepat sekali dengan realitas di dalam novel ini, dimana tanda tidak lagi bermakna, persetubuhan transenden dengan imanem, hilangnya kejujuran, nilai-nilai, moral dan agama. Dapat diperhatikan seorang Pawestri yang berselibat menjadi seorang suster idealis, sementara hadiah dari usaha baik itu hanya hukuman mati, Pawestri sengaja dibuat gila dan lupa ingatan. Jadi Ratih menceritakan bahwa kebzikan itu tidak ada lagi, semuanya telah membaur dengan kejahatan, mana yang baik dan jahat itu tidak jelas, tidak ada dinding pemisah. Usaha yang dilakoni oleh Dr. Sandra hanya untuk mengobati Pawestri, justru membuat Pawestri gila dan di akhir cerita Pawestri ditemukan di pantai dengan kondisi yang sangat menggenaskan. Itulah hadiah kejujuran yang wajib diterima oleh Pawestri. Sementara itu, Noah terus terapung dengan kapal Srigunting hingga dia menemukan Ibu yang tidak akan pernah ditemukannya hingga akhir hayat.

Sumber Bacaan

Eko, Umberto. 1987. Terjemahan; Tamsya dalam Hyperealitas. Yokyakarta: Jala Sutra.
Foucult, Michel. 2002. Terjemahan; Kegilaan dan Peradaban. Yogyakarta: Ikon Terlitera
Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial. Yokyakarta: Qalam.
Kumala, Ratih. 2005. Genesis. Yokyakara: Insis Press.
Lomba, Anya. 2001. Kolonial dan Pasca Kolonial. Jakarta: Bentang.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamsya Melampoi Batas-batas Kebudayaan. Yokyakarta: Jala Sutra.
Nietzche, Frederik. 2007. Terjemahan; Zarathustra. Yokyakarta: Bentang.
Said, Edwar W. 1978. Terjemahan; Oreantalisme. Bandung: Pustaka.
Sunardi, ST. 1996. Nietzche. Yokyakarta: LKIS.

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987