Selasa, 15 Desember 2009

MEDIA MASA, PERPANJANGAN TANGAN KOLONIAL (PASCABANI ISRAIL)

Oleh M. Yunis
Ada sebuah stegmen yang menarik bahwa dunia filem lebih kejam dari segala dunia. Ungkapan seperti ini kerap penulis dengar di saat masih bekerja di Produktion House Rumah Gambar ciputat awal 2008 kemaren. Setiap kali pulang shuting penulis dan kawan-kawan bercerita dan bertukar pengalaman, seputar tentang dunia perfileman khususnya dunia media umumnya. Sikut-sikutan sepertinya sudah menjadi barang harian, menjatuhkan kawan baik apalagi lawan itu diperlukan untuk menunjang sebuah karir. Ya dunia media. Namun begitu, dunia media yang digambarkan Komunitas Rumah Gambar tidak hanya sebatas daun kelor ataupun daun talas, tetapi sebuah dunia yang luas dan sarat dengan pengkodean, kolonialisasi bahasa, dan menyertai di sana kepentingan media. Nah, mungkin kita akan berpikir apa yang patut dibicarakan dalam dunia media ini atau cukup diserahkan kajian orang akademis dengan cultural studies. Meskipun, Keith Tester (2003) mengatakan bahwa cultural studies adalah disiplin ilmu yang sangat bodoh, karena dia adalah anak haram (bastard child) media yang akan dieksppos oleh cultural stuidies. Sebab kajian budaya bukan hanya pada media, tetapi seyokyanya mempunyai posisi yang sangat terhormat dan mempunyai nilai intelektual yang sangat tinggi, sementara cultural studies baru lahir di Universitas Birmingham pada tahun 1960-1970. Oleh sebab keberhasilan sebuah penelitian Centre for Contemporary Cultural Studies kemudian bisa mengklem bahwa kajian budaya adalah miliknya.
Baru Tahun 1980 kajian cultural studies semakin menyempit, lebih terfokus pada ekplorasi terhadap kesenangan-kessenangan yang diberitakan media, pakaian, belanja, sehingga terjadinya kegeraman moral yang semakin lama semakin tidak bisa berbuat apa-apa. Cobalah perhatikan ketika iklan TV menampilan perempaun atau laki-laki yang menarik, apa yang timbul di dalam pikiran pembaca? Penulis sendiri mungkin mengatakan aduhai sambil menyuap nasi atau sedang membaca buku, nyata sebuah moral yang digambarkan media sangat terang-terangan dan kumuh, sebab hanya bersifat mengeksploitasi ksenangan dan birahi. Bahkan Rorty dalam Tester (2003) mengatakan bahwa televisi dan koran merupakan sarana utama bagi perkembangan dunia kontemporer, kemudian mengulas Baudrillar, bahwa media menciptakan audien yang pasif, sebuah strategi politik atau kepentingan media?
Terlepas dari perdebatan di atas, duto urang awak indak sato, kicuah urang awak indak ikuik, penulis mencoba untuk menelaah kode-kode yang dimunculkan oleh media. Kode-kode inilah yang akan demapatkan dan dilipat demi untuk kepentingan media sehingga bermuara pada Denotatum yang sama yang penulis namakan dengan kolonialisasi bahasa oleh media.

Tentang Postkolonial
Di awali dengan dengan teks proklamasi, ‘’hal-hal mengenai perpindahan, kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya’’, alhamdulilah sudah tertunaikan dengan baik. Tetapi, yang lebih sulit perpindahan dari jiwa dan mental terjajah kemental dan jiwa merdeka membutuhkan waktu yang relatif lama. Seperti yang dikemukana Leela Gandhi (2001) dampak penjajahan itu akan terasa bebrapa tahun atau mungkin puluhan tahun setelah kemerdekaan, dampak itu kian terasa setelah praktek itu dilaksanakan oleh bangsa dan saudara sendiri. Baik melalui sistem pendidikan, politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Kita bangsa indonesia yang berdaulat baik kedalam maupun keluar belum mampu menciptakan sitem sendiri, banyak hal yang selalu disadur dari dunia barat atau Eropah. Dari cara berpikir, life stile, acuan kemajuan hingga pendidikan sendiri semuanya bermuara pada denotaum yang sama yaitu Barat. Kolonialisme sudah jelas menginginkan segala hal yang berasal dari dirinya (Fanom dalam gandhi 2001:26). Fanon menegaskan kebebasan total dalam artian merdeka sebenarnya adalah kebebasan yang memperhatikan segala aspek kepribadian.
Jadi menurut Fanom, kebebasan itu adalah bebas berpikir, bertindak, dan melakukan segala hal selama tidak merugikan orang lain secara khusus dan kesatuan bangasa secara umum. Nah, kesatuan bangsa? Perlu dilihat lagi kesatuan bangasa seperti apa? Kita lihat konsep bangsa dan negara, awalnya merupakan kesatuan dari kelompok kecil lambat laun menjadi besar setelah mempunyai persamaan misi, visi dan satu cita-cita yaitu kemakmuran bersama dan saling mencerdaskan dan bukanlah saling membunuh? Jika semua itu tidak bisa direalisasikan lagi, apakah salah GAM memberontak atau PRRI pecah yang kemudian divonis menjadi pemberontak. Jawabnya sederhana saja adalah sebuah kewajaran karena menuntut sebuah keadilan yang memihak rakyat, sebab negara ini bukanlah milik penguasa, negara ini ada karena adanya rakyat jelata sebagai tumbal kemerdekaan meskipun di masa PRRI dianggap sebagai sampah kemerdekaan.
Alhasil dari itu, membekaslah luka-luka historis dari mereka yang dipaksa menjadi budak. Luka-luka ini lambat-laum menjalar dan mengakar dan melahirkan moral baru, proses itu akan berlangsung sangat rapi melalui sitem yang diakui dan bahkan dipuja atas nama intelektual dan sebuah keinginan menaklukan dunia dan merubahnya menjadi dunia yang dihayalkan, moral baru etika baru kiranya perlu dipergunakan untuk mencapai birahi kesempunaan tersebut. Nah, di saat para budak ini berkuasa, darah-darah baru akan disusupkan melalui sitem yang rapi, kepembuluh-pembuluh vena maupun arteri warga negara, itulah moral yang dinginkan dalam sebuah perubahan menyeluruh, namun masih dalam versi hayalan satu budak saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nietzsche dalam Ritzer (2003) geneologi moral yang digambarkannya sangat memilukan, moral awalnya jatuh dari langit, setelah sampai dibumi moral dibunuh, kemudian moral dilahirkan kermbali dalam wujud baru sesuai dengan kepentingan duniawi, Nietczhe kemudian divonis mati dalam keadaan gila dan seluruh keluarganya ikut menjadi tumbal kegilaan Nietcszhe. Jelaslah terlihat apa yang dikemukan Gandhi dalam Gandhi (2001:29) bahwa para budak mengingnkan sifat penjajah tetapi tidak mau disebut sebagai penjajah, menginginkan sifat hariamau tapi tidak mau disebut harimau, tetapi pahlawan atau penyelamat. Jalan satu-satunya untuk terus maju adalah membuat harimau itu tidak lagi menyenangkan, kapan perlu jangan sampai belangnya tertinggal dan tercecer.
Seiring dengan itu Gandhi dan Fanon dalam Gandhi telah mengingatkan akan bahaya Narasi Moderen Barat, bahwa Kolonial tidak akan berhenti sampai kemedekaan Si tejajah telah diperoleh secara De facto, Gandhi dan Fanon ingin menyatakan bahwa Barat akan kembali memasukan tokoh-tokoh dari para korbannya yang terepresi dan terpinggirkan, dalam artian menjadi objek kajian untuk mengambil hati Si terjajah. Untuk mensukseskan itu mereka menceritkan industrialisasi sebagai ekspoitasi terhadap ekonomi, demokrasi yang terpecah terhadap aksi protes dari pihak yang mempunyai hak pilih, teknologi yang selalu dikombinasikan dengan perang, sejarah pengobatan yang diidentikan dengan teknik penyiksaan. Semuanya itu bertujuan untuk menghasilan ekploitasi ekonomi baru terhadap para budak, menciptakan senjata yang lebih canggih untuk menghadapi perang, dan menciptakan teknik penyiksaan baru terhadap kaum akar rumput. Apakah ini suatu penodaan dan pendosaan terhadap Marx? yang pada kenyataannya marxisme itu disalahtafsirkan sehingga kaum intelektual menceburkan dirinya ke dalam konsep komunis, sebagai akibat dari pendewaan terhadap salah satu segi aspek saja tanpa memikirkan aspek utama yang dibahas di dalam marxisme, akhirnya Marx didosai atas pemikiran yang dimunculkannya (Berlin 2000). Memang itulah tujuan Karl Marx syang ebenarnya (Baca rahasia kecerdasan Yahudi).
Salah satu contoh yang jelas terlihat atas keberhasilan prinsip kolonial ini, seperti yang dikemukan Leela Gandhi adalah protesnya terhadap Rene Descartes. Gandhi juga menarangkan menjalarnya teknik kolonial ini berangkat dari kegagalan cogitonya Descartes, karena subjek yang berpikir tidak tahu batasan yang jelas tentang berpikir sehingga berakhir dengan kekerasan, debat kusir para sarjana karena ingin curhat pada kebenaran mutlak, semangat persaingan, kompetisi sehingga secara pelan akan menempa senjata-senjata akal. Alhasil, rusaklah rasionalitas kaum intelektual yang notabenenya pelanjut Aufklarung, ujung-ujungnya akan membawa kepada kepicikan hingga ke peperangan-peperangan. Lalu hukum akan menggantikan kesejahteraan dengan ‘’rule of low’’ dengan cara memasukan kekerasan ke dalam sistem dan berlanjut kedalam dominasi ke dominasi (pengaruh). Focoult mengatakan dalam dalam Poole (1993) dengan mengatas namakan geneologi kekuasaan, dimana kekuasaan tersebut berada dimana-mana, kapan saja, momen apa saja, mengitari diri setiap orang.
Jadi, Poskolonial sejalan dengan feminisme dan Hyperrealitas yang dikemukan Eco, Baudrillar dengan simulasinya, seperti yang diakatakan tiada salahnya kita menikmati hidup dalam dunia simulasi, menikmati hidup dalam hiperealitas, pelipatgandaan ada (being), kemudian Piliang dengan Hypersemoitika yang mengatakan bahwa tanda tidak ada lagi acuannya dalam realitas, semuanya berupa penanda. Maka inilah yang dikatakan Piliang (2006) bahwa manusia terjebak dalam bujuk rayu dan ketersesatan tanpa bertujuan, citraan adalah segala-galanya bagi manusia. Tanda menciptakan mitosnya sendiri dalam nostalgia dan mengambil alih makna secara atuh, hayalan-hayalan semu tetapi terlihat sangat nyata. Meskipun padahal awalnya simulasi dianggap Baudrillard sebagai strategi intelektual, namun perkembangannya membawa dampak menuju hiperrealitas sebagai akibat dari pengalaman kebendaan itu adalah hasil dari sebuah proses.
Postkolonial adalah pemberontakan cara pandang objektiftivitas terhadap ekpsloitasi yang berlebihan oleh subjektivitas, sebab di dalam prosesnya sendiri kolonial itu ditanamkan dengan nama baru, atas nama kemanusiaan, pencerahan, keamaanan dan juga atas nama ketentraman masyarakat yang pada intinya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menanamkan pengaruh, dominasi, namun sangat tersusun rapi, tersistim dan hal itu diakui secara tidak sadar maupun tidak.

1. Kuasa
Hanya berawal dari nafsu, nafsu benda, seks, dan jabatan. Mari kita coba mengkaji sedikit tentang nafsu. Abraham Ilyas (2003) menggolongan nafsu menjadi 2 bagian, pertama dinamakan dengan keinginan atau syahwat, syahwat ini dibagi menjadi 2 yaitu nafsu berbuat baik (mutmainah) kaum sufi menyebutnya dengan sifat ketuhanan dan Nafsu Asmara (supiah) yang membakar kebirahian remaja, mempercantik diri. Kedua dinamakan dengan ghodob (kemurkaan) yaitu amarah dan lawammah. Nafsu amarah sifatnya mempertahankan diri, berlindung, melawan, melarian diri, dan mempengaruhi orang lain. Jika berkembang sesuai dengan sepatutnya maka baiklah sebuah negara, sifatnya suka mencela dan keras kepala. Sedangkan lawammah yaitu nafsu untuk mengembangkan diri sifatnya rakus, tamak, ibarat seekor raksasa yang ingin melahap apa saja, jika nafsu ini terkordinir dengan baik maka akan mengusung kepada pembanguna material yang bagus.
Nah sekarang, kedua nafsu seperti yang dikemukan dokter gigi di atas dihadapakan kepada kapitalisme golbal yang nyatanya telah menyediakan ruang untuk perkembangan hasrat dan birahi. Sejalan dengan apa yang dikemukan oleh piliang (2003) semuanya berwujud simulasi, kekaburan batas antara polisi dengan kriminal, spiritual dengan antologi citraan, politik dengan ekonomi. Senyatanya telah terjadi penyatuan imanem dengan transendent. Apa yang dibanggakan oleh masyarakat moderen terhadap kemapanan, apa yang dipuja budaya pop atas nama kemajuan hanyalah berwujud utopia, utopia idiologis, utopia kemaslahatan dan utopia akhlak. Yang mapan adalah sebuah pembodohan, pembodohan-pembodohan inilah yang menggelayut di benak masayarakat komunal global.
Dunia nafsu yang digambarkan Abraham membaur dan saling tumpang tindih dalam merebut masing-masing kesempatan. Nafsu mutmainah menyatu dengan nafsu supiah di dalam kancah politis, di dalam kancah moralitas dan di dalam kancah budaya. Di saat burung garuda terbanng di atas nusantara, sungguh melihatkan kemakmuran, padi menguning, sayuran subur, petani salut acungkan jempol. Ketika petani bercengkrama dengan penjaga warung, kepentingan politis di elu-elukan, BBM turun, Bulog dikendalikan sementara masih ada saja orang yang kelaparan dan putus sekolah di usia yang sangat produktif. Di lapangan sosialisasi besar-besaran, memakai baju berlambangkan partai poliik mendapatkan upah Rp. 25.000. Namun, di sela kebodohannya masyarakat akar rumput mempergunakan momen yang sangat menantang itu, uang diambil tetapi pilihan tetap pada hati nurani rakyat atau hati nurani partai? Masyarakat telah lupa kedasyatan lumpur porong yang sampai sekarang semakin banyak memakan korban harta benda, masih tidur di tenda darurat, sementara lokasi lumpur sendiri sudah menjadi objek wisata, tercipta juga lapangan kerja baru di lingkungan porong, tetapi itukan hanya segelintir orang yang menikmati, lalu korban-korban moral yang ditimbulkan bencana buatan itu bertindak anarkis, merampok dan menjual harga diri, inilah sebuah moral yang diinginkan kekuasaan, berusaha membuat wacana bencana untuk mengaburkan isu penting di dalam perpolitikan nasional. Kemudian di antara kampanye dengan bencana situ gintung? Tiada pembatas, menari di atas yang menangis, pesta demokrasi di pundak luka moral bangsa.
Pasca tumbangnya orde baru sebagai simbol kestabilan nasional terjadilah eksodus manusia secara besar-besaran, pengusiran, pembantaian etnis, perang suku, ras hingga agama. Ini dikatakan piliang secara semiotik sebagai simbol keruntuhan persatuan dan kesatuan bangsa, dimana saudara sebangsa tidak menghargai lagi perbedaan pendapat, etnis, agama dan kebiasaan. Hilangnya ruang-ruang sosial, kesaling pengertian, dan saling memahami, hanya kerana si termarjinalkan kembali menuntut atas ruang soaialnya yang telah dikapling dan dibagi-bagi penguasa pada masa lalu. Suatu momen yang tepat bagi media untuk menyatakan bahwa telah terjadi tindakan anarkis karena kesalahpahaman di antara masyarakat, media mampu memanagemen wacana itu kedalam sebuah berita yang populer di bicarakan hingga munculnya isu baru yang menghilangkan isu lama, permasalahan isu lama seslesai seiring yang dinginkan alam. Para masyarakat dibodohi, intelektal dipermainakan, intelektual ontologi citraan dipertanyakan.
Luka-luka itu bertambah lama bertambah melebar dan merambah masyarakat tradisional ke pelosok-pelosok terpencil, masyarakat tradisional seakan mengetahui cara membunuh, maling dan memperkosa dengan baik setelah simulasi buser di wacanakan di dalam media, kronologi peristiwa mengajarkan dengan cara tersistem, apa saja yang dipersiapkan pelaku sebelum membunuh, rute yang ditempuh, dan prosesnya hingga korban meregang nyawa. Sebuah kronologis citraaan yang sangat mendidik khalayak untuk bertindak anarkis dalam mencapai sebuah keinginan. Ketika si miskin maling ayam, sepeda motor atau pencopet hukum rame-rame ditegakan, kapan perlu ada bekas tembakan di kaki si terdakwa supaya tertanda dan terbukti terdakwa berusaha kabur saat di grebek polisi. Namun, dibalik itu semua, terdapat komando pencopet yang ditenggarai oleh pihak yang berwajib, di anggap sebagai uang keamanan. Lalu bagaimana jika hukum berhadapan dengan pemegang kekuasaan? Korupsi, pelecehan seksual, hukum dibuat samar, sebuah trik untuk melepaskan diri penguasa dari segala macam tuduhan dan jeratan dosa.
Pada masa orde baru penjajahan atau halusnya perluasan pengaruh kekuasan ditanamkan melalui ekonomi, politik dan budaya. Seolah-olah terdapat slogan, ‘’kami dan engkau’’, kamu adalah pancasialis dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan oleh karena itu engkau perlu di tatar, dan disingkirkan lebih-lebih bagi nenek moyangnya terlibat. Masa itu dipertegas oleh media dengan memutar kebejatan PKI pada tahun 65, sementara kisah pilu PRRI di sumatra barat terlupakan. Di saat tentara pusat mengerayangi harga diri rakyat Minangkabau, itu dianggap sebagai penjaga persatuan dan kesatuan, pembelaan terhadap kesaktian pancasila, seekor burung garuda yang dipaku didinding sekarang sudah bisa terbang menyelusuri seluruh pelosok nusantara, menebarkan kekuasaannya di pelosok kepulauan Indonesia, alangkah lebih berbahaya lagi.
Tidak berhenti hanya sampai di situ, pengaruh-pengaruh itu kembali dilanjutkan, media sebagai perentara kekuasaan itu, puluhan partai politik telah saling merebut pengaruh dan perhatian dari orang yang termarjinalkan secara politis, ekonomi dan budaya. Maka dibuatlah sistem politik yang agak berbeda dari sebelumnya, sistem ekonomi yang lebih kapitalis dari yang kapitalis (postcapitalis) sangat tersistem tangan-tangan panjang itu melangkul masyarakat yang kebetulan sedang kedinginan, kehausan dan kelaparan terhadap loyalitas pemimpin. Layaknya persatuan dan kesatuan itu telah dipecah, dikapling-kapling berdasarkan kepentingan politis demi menabur benih dan menanamkan kekuasaan baru di indonesia baru. Ingat burung Garuda yang dipaku di dinding sudah tidak merasa puas makanya dia terbang melihat secara langsung dimana lahan strategis untuk dijadikan pusat dan titik kekuasaan.
Jelas terasa bahwa nafsu amarah yang dimiliki kaum tertindas akan berhadapan secara langsung dengan nafsu lawwammah yang dimiliki oleh kekuasaan, perang tanding, sebagai akibat dari pengkaplingan hak, teritorial, pemaksaan politis hingga pembunuhan berencana melalu sistem. Sejalan dengan apa yang dinyatakan Friedrich Nietczhe bahwa di saat para budak berkuasa revolusi massal akan dilakukan, bertindak atas nama keadilan, anarkis demi membela hak yang telah terampas, teriotorial yang direbut, sehingga kaum tertindas yang mengatasnamakan dirinya budak-budak yang berdaulat akan menuntut balas atas hak-haknya yang telah direbut oleh sejarah masa lalu, Skizofrenia historis dan sebuah utopia kemajuan. Kekerasan-kekerasan gaya baru tersebut sangat mempunyai peluang untuk menempati kekuasaan, sistem hukum, dengan puluhan partai politik dan sekaligus anarkis simpatisan hingga calon penguasa sendiri sudah mulai unjuk kekuatan untuk merebut simpati kaum tertindas.
Setelah berhasil memegang tampuk kekuasaan, cara menjajah akan lebih tersistematik, sebab kekuasaan akan mengambil dan belajar pada sejarahnya sendiri yang begitu anarkis serta memihak penguasa. Jika Focoult mengaitkan pengetahuan dengan kekuasan, Piliang mengaitkan pengetahaun, kekuaasaan dengan kematian, maka di saat yang akan datang penambahan yang dilakukan Piliang bisa berubah dengan kematian tersistem, dramatisir, dikolosalkan agar lebih indah. Melalui kepintaran media massa mengkolonialisasikan bahasa, kode-kode sosial mampu menciptakan strategi baru, mitos baru untuk mencapai kemakmuran yang diinginkan kekuasaan, sentralistik penguasa. Melalui ekploitasi language dan parol kekuasaan akan akan kekal di atas pundak-pundak deritanya kaum marginal, kekuasaan akan bertengger santai setelah tampuk jaringan dipegang oleh hanya satu orang, godfather.
Namun, publik yang pada mulanya dianggap bisa dibodohi terpakasa pintar, kuda memperkuda siapa, Si bodoh yanag akan membodohi siapa, seeprti yang diungkapakan pepatah minang, ‘’iyokan nan di urang lalukan nan di awak’’. Kalau boleh meminjam istilah Giddens tumbal modernitas yang dinamakannya itu akan akan bertindak kanibal melebihi Sumanto Si pemakan mayat, kali ini hingga abu tulang belulang akan menjadi incaran para budak-budak marginal. Contoh nyatanya dapat kita lihat dari tragedi ponari mampu mengungkap semua kejelekan kekuasaan, biaya berobat yang begitu mahal, birokrasi yang berbelit-belit di rumah sakit pemerintah, yang miskin cenderung terlalaikan sehingga Si miskin terpaksa meregang nyawa karena tidak mendapat kesempatan untuk hidup lebih lama. Masyarakat kecil putus asa, mempergunakan tetumbuhan yang tumbuh di daerah kotoran, barang-barang yang diharamkan agama, tetapi untuk obat hal itu dimaafkan, yang penting sugesti untuk tetap hidup. Ponari bukanlah fenomena langka dan baru, kebiasaan seperti ini sudah terjadi sejak puluhan tahun di daerah Minangkabau, jika anggota masyarakat tasapo, tataguaran, obat yang dianggap mujarab adalah cikumpai, cikarau, sidingin, sitawa, sapitan tunggua, pudiang hitam hingga air kencing mampu menyembuhkan. Hal ini diyakini mampu menawarkan maka tumbuhan itu dinamakan si tawa, kemampuan menyelesaikan masalah dengan jin dinamakan dengan ci karau berasal dari perkara, cikarau sengaja membuat buat perkara, si dingin dan si tawa mampu mendinginkan dan menenangkan Si pesakit. Anehnya masyarakat tradisional di jika berhadapan dengan penyakit kuno masyarakat Minangkabau tidak mempercayai obat yang diberikan dokter. Aapakah ini lambang keputus asaan dari masayarakat marjinal? Bagaimana jikalau penyakit itu timbul karena tubuh manusia dirasuki jin? Mampukah dokter menyembuhkannya? lalu apa masalahnya dengan Ponari yang hanya sebagai pelanjut dari keputus asaan tersebut, toh penyakit bisa saja sembuh karena adanya sugesti dari si penderita.

2. Politik Yahudi
Sewaktu Bani Israil di usir dari oleh Roma, ketika Ynuani mengkebiri dan membantai Bani Israil, dan di saat Mesir di bawah Amnehotib ke-IX memperbudak Kaum Yaqub ini terbitlah dendam kesumat bagi kaum Yahudi yang nota benenya adalah Bani Israil. Yahudi marah sehingga menghancurkan harapan Musa yang membawa taurat, dijadikannyalah Taurat sebagai Talmut, yang mana pokok ajarannya adalah mengganggap Bangsa Yahudi lebih unggul dari bangsa lain, agama Yahudilah yang lebih sempurna, Bangsa Yahudi bangsa pilihan Tuhan. Adalah wajar Yahudi bersikap seperti itu, sebab bagaimanapun juga syirah para Nabi menyatakan bawha Ibrahim, Musa, Yusuf, Yaqub, Sulaiman adalah manusia pilihan dai kaum Yahdui.
Nah, perasaan tidak senang muncul ketika kaum yahudi dideskreditkan, di bantai oelah nazi dan pengusa setempat lainnya. Di seluruh penjuru Yahudi menjadi bulan-bulanan dan tidak punya tempat tinggal. Talmut mengajarkan bangsa Yahudi memperbolehkan melakukan segala cara demi tegaknya kembali Kuil Salomon. Di segala penjuru Dunia Yahudi ada sebagai pengendali, mereka minoritas tetap mampu memanfaatkan penguasa setempat, Amerika, Inggris, Parncis, Spanyol, Indonesia dan seluruh Negara di bumi ini mulai merasakan kuatnya pengaruh Yahudi. Indonesi yang terikat uatag luar negri yang diwadahi IMF adalah bikinan Yahudi, uang diperbungakan untuk selalin bangsa Yahudi, di ciptakan Sosialis, Komunis, Demokrasi, Pluralisme, Marxisme dan segala macam ideolog yang mengatasnamakan Humaniora. Fremansory sebuah organisasi Nirbala yang mengatas namakan kemanusia adalah buatan Yahudi, sempat pula bergabung Jala Ldin Al-Aggani sebagai anggota.
Diamerika serikat segala lini dipegang oleh Yahudi, Ekonomi, Sosial, Budaya, Politik, Agama, hingga Media dikendalikan oleh Yahudi. Ajaran Marxisme buatan Karl Marsx adalah yahudi karena Marsx sendiri adalah Yahudi, Enstein yang kabur dari Jerman di saat pembantaian orang Yahudi oleh Hitler kabur ke Eropa dan menciptakan penemuan baru.
Nah, apakah Yahudi sudah sampai di Indonesia? Jawabnya ialah sudah lama, mereka juga menanamkan pengaruhnya di dunia akademis, Politik (multy Partai), Sosial agama (kawin beda agama), homo seksual, perkosaan anak di bawah umur adalah ide dari yahudi. Sebab yahudi sengaja merusak keturunan umat agama lain dengan jalan zinah, anak zinah adalah sebuah makna kerusakan generasi agar Yahudi lebih gampang memanfaatkan hasil karyanya tersebut. Sementara di kalangan mereka sendiri tidak melakukan ide ciptaannya tersbut, sesama orang yahudi tidak boleh berzinah, orang yahudi dilarang nikah dengan oaring beragama selain Yahudi, orang yahudi tidak boleh memkan riba karena mereka tahu dampaknya sangat buruk bagi saudara-saudaranya.
Ketika oreantalisme muncul, timur dianggap terbelakang, kanibal, Baratlah yang nomor satu. Bangsa timur adalah keturunan Syetan, sama dengan orang Nasrani sama-sama dari Syetan. Setelah Barat memiliki pengaruh besar notabenenya adalah Yahudy. Hagemoni yang digambarkan sebagai strategi sosialis (Laclau,2008) dimapatkan dan diselipkan ke segala lini, media sebagai salah satu sarana terbesar di Indonesia menyalurkan pengaruh dan ide Yahudi, pergaulan bebas, KKN, dan kebejatan moral lainnnya sangat jelas digambarkan media massa. Namun, masyarakat komunal memandang hal tersebut sebagai Multicultural, padahal multicultural dapat melahirkan orang cerdar sekaligus mmerusak moral bangsa dan masayakar consumer, budaya popular, modernisai hingga postmodernisme itu sniei adalah trik dari Yahudi itu sendiri agar gerak geriknya susah dicium, seadainya tercium nasib Yahudi akan lebih naas lagi, pembersihan etnis Yahudi di seluruh Negaa.
Lalu apa yang dinginkan Kolonial? Siapakah colonial? Berkaitan dengan apa yang diwacanakan diatas bahwa kolnial adalah sebuah gerakan penjajahan, kolonial tidak hanya Belanda atupun Inggris. Kolonial adalah sebuah usaha untuk menguasai hingga keakar-akarnya, kapan perlu tiada meninggalakn bekas. Kolonial adalah sebuah sifat dan gerakan sosialis, komunis, idiologis, yang sengaja diciptakan oleh kaum bani israil (Yahudi) yang notabe4nenya dejelaskan tidak pernah mempunyai tempat tinggal yang tetap tetapi mampu menghasilkan pengaruh besar. Kolonial memegang pucuk pimpinan Amerika Serikat, Inggris, dan semua nagera kuat yang ada di belahan dunia. Dia masuk memalui sistem pendidikan, ekonomi, budaya, agama dan sosial masyarakat. Kehadirannnya terasa tetapi tidak terlihat, dia bergerak lambat tapi pasti, ketika gelagatnya merugikan kekuasaan setempat maka terjadilah pembantaian besar-besaran terhadapnya, seperti yang dilakukan Roma, Yunani, Mesir dismasa kepemimpinan Amnehotib (Ramses) hingga menjadi kelinci percobaan oleh Nazi.
Kemudian Inggris membuka eksodus bebsar-besaran terhadapnya saat menjajah palestina, pintu itu dibuka lebar bagi Inggris untuk kaum Yahudi untuk membentuk Negara Zionis yang selama ini teranaiaya dan terpinggirkan, mereka sangat yakin bahwa mereka adalah bangsa pilihan tuhan tetapi kenapa mereka tidak mempunyai tempat tinggal sehingga pembantaian terhadap etnisnya sering terjadi. Ibrahim, Musa, Yuyuf, Yaqub, Sulaiman adalah dari keturunanya tetapi kenapa Muhammad tidak dari keturunnanya? Kuil Salomon dihancurkan Roma dan islam mendirikan Masjidil Aqsa di atas reruntuhnya, para rabi membawa kekayaan kuil Salomon ke Vatikan Roma. Sekarang mereka menuntut minta kekayaan itu minta dikembalikan dan hancurkan Vatikan demi menyambut Al Meisiah sebagai juru selamat dunia, dia akan bersinga sana di Kuil Salomon yang direncanakan didirikan kembali. Islam sebagai musuh berbuyutan dan sekaligus pelindung bagi bani Israil semasa di usir dan dibantai tidak luput dari rencana jahat kolonial itu.
Kita mungkin masih ingat ambruknya gedung WTC, itu adalah ulah Yahudi dan bukan Osama Bin Laden sendiri, namun yang didosai adalah Oasama dengan kawan-kawannya. Bagi osama Bin Laden tidak masalah karena beliau adalah bangsa Yahudi. Tetapi label dan kode teroris Internasional di hadiahakn kepada Islam, Osama Bin Laden tidak akan bisa mati ataupun tertangkap jika tidak ditangkap atau dibunuh oleh Yahudi sendiri. Lagi pula HAMAS sebagai pembela hak Palestina dikatakan penjahat atau teroris, Amrozi CS dihukum mati, memang itulah yang diinginkan Yahudi supaya jejaknya tidak tercium oleh pengusa setempat, Amrozi CS adalah didikan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Tidaklah terlalu muluk-muluk untnk menyimpulkan wacana yang panjang lebar diatas. Media sebagai sarana yang langsung bersentuhan dengan masyarakat menjadi kunci utama dalam melakukan sebuah misi penjajahan, perampasan, pendustaan, penganiayaan, ekploitasi moral dan agama hingga pembantaian. Kalaupun sekarang ada Cultural Studies yang mengakji kesenangan yang digambarakn media, itu hanyalah cara baru bagi yahudi untuk merusak budaya bangsa, dikataknya media adalah kajian Cultural Studies, apakah budaya itu identik dengan media? Budaya pop? Tidak sama sekali, kebudayaan melibatkan semua unsur, dari yang terkecil hingga paling besar.
Nah, kolonial itu siapa? Jawabnya bani israil (Yahudi) yang selalu ingkar akan kebaikan tuhan, kebenaran Islam, makanya Yahudi dihukum hingga hari kiamat. Apakah yang ingin dicapai oleh media masa? Jawabnya adalah kerusakan dan kehancuran yang menyeluruh dan pendirian kembali Kuil Salomon diatas puing-puing Masjidil AQsa. Bagi kaum Nasrani (Kristen) jangan senang dulu, sebab target yang bersamaaan adalah menghancurkan Vatikan Roma dan mengembalikan harta karun Kuil Salomon, di daearah Zions.
Kolonial adalah sifat, Yahudi sebuah bangsa Kolonial berbahaya bagi setiap orang yang berada di luar etnis itu, makanya perlu dihancurkan dan dibinasakan, target selanjutnya sudah terrealisasikan melalui IMF, berat kemungkinan tujuan selanjutnya menanamkan pengaruh terhadap suku bangsa terbesar di Indonesia yaitu Minangkabau! Yahudi menghalakan segala cara demi tegaknya Kuil Salomon dan menjadikan bangsa dan agama lain sebagasi budak, ini adalah sebuah pembalasan orang yahudy terhadap deritanya selama dibawah pemerintahan Amnehotib (Fir’aun).

*Mahasiswa Pasca Linguistik Budaya Universitas Andalas

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987