Selasa, 15 Desember 2009

SOSIOLINGUISTIK, KELAS SOSIAL, ETNIS DAN JENDER

Oleh. M. Yunis
‘’Kuliah di S2 di Unand bukan bertambah pintar tetapi bertambah bodoh’’, ejekan seperti ini sering penulis terima di saat berinteraksi dengan teman-teman di Fakultas Sastra. Namun, bagi penulis sendiri sikap seperti itu adalah sebuah kode yang sengaja dibuat dan dijadikan ideologi untuk menelanjangi dan membunuh karakter. Adanya faktor iri maupun dengki atas ketidakmampuan, persisnya ungkapan orang-orang kalah secara intektual, merasa tidak senang atas kemajuan lembaganya sendiri. Sering penulis katakan ini adalah sebuah upaya untuk penjajahan gaya baru melalui bahasa yang dimunculkan sebgai kode sosial. Begitulah besar pengaruh bahasa dalam penentuan kecerdasan intelektual kedepan.
Bahasa sebagai alat kumunikasi sekligus alat penentu kelangusungan hidup sosial masyarakat, mampu membangun sebuah dunia baru, Lela Gandhi menyebutnya dunia ketiga atau kehancuran total seperti yang diungkapkan Nietczshe. Justru dengan kecairan berpikir munculnya dunia ketiga tersebut dapat disambut dengan hangat, tentu saja cara berpikir yang jernih dan cerdas menjadi tiang penyangga utama untuk melakukan itu. Sejalan dengan itu, tindakan kritis terhadap petrkembangan bahasa menyebabkan para kritikus mampu melihat lebih jauh apa yang tersembunyi di dalam bahasa yang mana di dalamnya terdapat simbol dan kode-kode berbahaya dan bisa membuat penikmat bunuh-bunuhan dan parahnya menjurus terhadap pembunuhan intelektual.
Sepadan dengan penulis ungkap di dalam salah satu judul artikel buku In Memorial Khaidir Anwar, ‘’Hyperrealitas dan Kematian intelektual’’ dan berikut mengulas tulisan yang senada ditulis oleh Dini Maulia ‘’Matinya Makna Runtuhnya Ideologi’’, yang penulis kira masih mengusuh sebuah pesan untuk menghgidupkan intelektual yang mati suri, sebuah perencanaan, pengkodekan yang pelulis rasa mampu menggenjot cara berpikir. Beruntunglah pada kesempatan kali ini, penulis mendapatkan topik menarik variebel sosiolinguistik, kelas sosial, etnis dan gender. Melalui kode-kode ini penulis akan berusaha menggambarkan fenomena yang sedang mengekspliotasi bahasa sehingga kelas, sosial, etni dan gender berkembang sangat liar, di samping itu penulis berusaha mengungkap peran hagemoni yang mendasari keliaran tersebut.

1. Kelas sosial
Mengungkap tentang kelas sosial membawa kita bertamasya ke alam sosiologi, namun hal itu penulis pikir tidak bisa lepas dari konsep Marx tentang Marxisme atau membayangkan tentang komunisme, penyemblihan manusia, eksploitasi kaum akar rumput, takut, berbahaya, layaknya sebuah hantu yang siap menerkam siapa saja yang menderita dan teraniaya, semuanya itu tidak lebih hanyalah sebuah masa lalu yang pahit.
Zaman kemesan Marxisme sesungguhnya adalah sebuah zaman filsafat kecemerlangan (Pencerahan) abad XIX yang mengungkit Matrealisme, tetapi menentang matrelisme dualistik Feuerbach yang mana dia memandang objek sebagai yang dapat diamati dan tidak sebagai aktivitas kesadaran, perbuatan manusia tidak sebagai praktek manusia (Marx dalam Muawiyah, 2009; 21). Sementara Marx sendiri sebagai penggagas menyatakan bahwa kenyataan itu betul ada secara objektif dan tidak hanya sekedar ide, pandangnya tentang sejarah adalah menjadi sebuah kunci, sebab manusia itu sendiri adalah kunci sejarah. Sejarah dari masyarakat yang ada hingga kini tidak lebih hanya sejarah pertentangan kelas antara budak dengan tuan, tukang dengan ahli, pemerintah dengan rakyat, laki-laki dengan perempuan, dosen dengan Mahasiswa. Artinya, sejarah hanyalah perseteruan antara yang tertindas dengan yang menindas tetapi akan berakhir disaat terciptanya masyarakat yang tidak berkelas.
Sejalan dengan itu Miles dalam Lomba menyatakan bahwa pembentukan kelas itu dilakukan dengan rasialisasi (Loomba, 2001;165). Rasialisasi yang dimaksudkan adalah tidak lebih dari tindakan penguasa (Kolonial) untuk mengakali kaum yang dianggap terbelakang (Budak), terkucil dari segi Ras, Etnis, Ekonomi untuk mengabdi kepada penguasa. Bisa dicontohkan dengan apa yang terjadi di Afrika, bahwa orang Afrika diperbolehkan menempati tanah orang Eropa dengan bayaran orang Afrika bekerja untuk Eropa, setelah itu Eropa menerapkan pajak tunai yang berrujung pada pengabdian total (eksploitasi) orang Afrika sebagai pengganti pajak kepada Eropa, Neo Imperialisme sebuah usaha mengekplotasi dan mengkebiri hak-hak penduduk pribumi (Chomsky, 2008). Meminjam istilah Loomba, cara ini sangat mudah bagi orang Eropa karena terlebih dahulu mereka telah membangun konsep buas mulia. Orang Afrika diberi kesempatan memiliki tanah si Eropa jika mau bekerja sama dengan Eropa, berupa berpindah keyakinan, menetap dan bekerja untuk Eropa, maka orang Afrika yang manut tersebut dinamakan dengan Buas Mulia, biar agak elit sedikit seperti yang dilakukan Marx sendiri berpindah keyakinan dari Yahudi ke protestan.
Kode-kode yang serupa terus dibangun oleh orang Eropa untuk menjalankan misi kolonialnya hingga ke ranah seksual, seperti cerita yang sering diangkat di dalam kisah injil tentang Ratu Shaba dari Timur, bahwa Ratu yang datang ke Kuil Salomon dengan membawa Emas dengan imbalan Ratu mendapatkan kepuasan seksual dari Sulaiman dan Ratu Indian yang memeluk agam Kristen seteah berlarut-larut bertentangan dengan Inggris, kemudian menikah dengan orang Inggris, selanjutnya kode yang dibangun di dalam film Scorpion King, yang mana seorang perempuan Timur yang mempunyai kesaktian tunduk di bawah Raja Kala Jengking, padahal baginya keperawanan adalah kunci dari kesaktian itu. Nah, cerita ini selalu diungkit-ungkit oleh kolonial untuk menggambarkan ketundukan perempuan Timur, keluarga kerajaan, kelas, bercinta dengan dan diselamatkan oleh laki-laki Eropah akan menjadi cerita bagi perkembangan dunia sekarang. Loomba menyebutnya sebagai sebuah Fantasi Kolonial untuk menciptakan kelas baru bahwa perempuan Timur, kulit hitam, ras terbelakang adalah kelas rendah dan biadab perlu diberi kebudayaan ala Eropa (Penjajahan).
Kelas menengah ke bawah bisa saja menempati posisi menyerupai kelas atas, tetapi bukan kelas atas. Kalaupun kelas menengah ke bawah memegang sebuah kekuasaan tepatnya diberi sedikit wewenang (rasisme) tetapi hanya wewenang yang bersifat menjajah saudaranya sendiri, peraturan dibuat untuk menekan, mengkebiri hak-hak kalangan bawah, contohnya kekurang ajaran yang dilakukan Satpol PP terhadap pedagang kaki lima. Sementara itu, kelas atas tiada pernah menempati posisi kelas menengah ke bawah, kalaupun di antara mereka tidak mendapat kesemapatan memegang kekuasaan tetapi tetap mendapatkan perlakuan istimewa dari penguasa setempat, itu pasti sebab penguasa setempat didominasi dan dipegang oleh menengah ke bawah. Contohnya perlakuan yang diberikan terhadap pengusaha. Begitulah usaha kekuasaan yang selalu menjalar hingga ke celah-celah yang sulit dijangkau, pembatasan kelas atas dengan kelas menengah ke bawah tersebut sudah disusun sangat rapi, walau terkadang pembatas tersebut sering dibuka untuk meredam perlawanan kelas bawah.
Jadi, apa yang dikatakan Marx tentang Matrealism bertemu pada titik yang dibahas oleh Loomba tentang konsep kolonial, bagi lomba sendiri kekuasaan (kolonialisme) adalah sarana yang dipakai oleh kapitalisme untuk melakukan ekspansi globalnya, Rasisme (kerja paksa) hanyalah sebuah sarana yang digunakan oleh Kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja dari daerah jajahan. Nyatanya, kelas pekerja atau para pengabdi adalah kode yang diwujudkan dan digeneralisasikan oleh hegemoni untuk menindas, eksploitasi, penjajahan fisik maupun jiwa demi birahi serakah akan duniawi, wacana gospel, Gold dan Glory menjadi tiang penyangga bagi Barat atau Erpah untuk memegang tampuk kekuasaan. Layaknya sebuah tawaran bagi kaum yang terjajah untuk patuh kepada Hegemoni Barat dan Eropah, membeli jiwa kelas menengah ke bawah dengan agama, lapangan kerja atau dengan wacana saudara tua. Sehingga sifat ketergantungan tumbuh dalam diri masyarakat kelas rendah terhadap tamu yang membawa segudang kemakmuran.
Derita berkepanjangan yang diderita kelas menegah ke bawah itu kelas pernah dilawan oleh Marxs yang sudah dicatat sebagai buas mulia dengan mendirikan Liga Komunis di Brussel 1847 akhirnya menjadi cikal bakal gerakan kaum pekerja internasional pertama dan sebagai dampaknya meletuslah tindakan anarkis hingga wabahnya menjalar ke Indonesia, klimaksnya terjadi pada tahun 1965. Akhirnya, strategi sosialis ini selalau gagal mengukuhkan kemenangan sejatinya untuk melawan Hegemoni.

2. Etnis
Ben Agger menyatakan bahwa Ras dan Etnis tidak lagi dilihat secara esensial sebagai suatu kategori biologis, tetapi sebagai posisi gender sebagai subjek, identias dan wacana yang dikontruksi oleh diri sendiri dan orang lain (Agger, 2003: 361). Etnis tidak obahnya sebagai pengkotakan sepihak oleh para pribadi maupun kelompok, ego yang berlebihan timbul di dalam sebuah kelompok yang memfonis dirinya lebih mulia, lebih beradab. Hal ini tidak terlepas dari sejarah panjang, pengalaman dan perjalanan zaman dari saman batu lama hingga Postmoderen. Misalnya Inggris dan Portugal sebagai kelompok pertama yang mengarungi dunia merasa mempunyai sebuah kelebihan, tapi bukan kelebihan tepatnya kekuranganlah yang membuatnya seperti itu, mencari ataupun menjajah daerah lain. Berbeda dengan dunia Timur yang dianugrahi tanah yang kaya dan subur. Namun, masyarakat Timur melupakan kesiagaan terhadap serangan dari luar, baik berupa generalisasi Ilmu pengetahuan yang dibuat oleh Bangsa lain sebagai penakluk sekaligus untuk memenuhi kekurangannya. Bangsa Timur seyokyanya bangga akan ilmu pengetahuan yang dibiaskan oleh suku bangsa Eropa, bahkan kebanggan tersebut ditanamkan memalui sistem, baik pendidikan maupun sosial masyarakat. Layaknya adalah sebuah kebanggan tertentu untuk memakai asesoris Barat, dimulai dari Teori, cara dan gaya hidup (life style), penampilan, budaya hingga agama.
Usaha lain ialah perkawinan campur yang dilakukan oleh Ras putih dengan pribumi untuk menghilangkan kulit berwarna, lalu membuat wacana bahwa orang Eropah menyelamatkan wanita kulit berwarna dari kebuasan laki-laki kulit berwarna dan anak-anak yang dilahirkan dari kawin campur itu sudah bisa disebut buas mulia. Di sini juga digambarkan bahwa laki-laki kulit berwarna biadab, kanibal, suka berperang, mengekploitasi wanita sehingga tugas wanita hanya di rumah, sementara si laki-laki bebas memilih wanita lain, polygami. Kode sosial terhadap Etnis, bahwa Etnis Eropa lebih pintar, lebih maju, lebih cerdas dari Etnis Timur, Ras-ras putih yang mereka anggap orang yang beradab dan berpendidikan mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang diangap membutuhkan, celah-celah bernapas bagi etnis berkulit berwarna telah ditutup, kendalikan dan disamarkan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang Afrika dianggap buas mulia ketika mau bekerja sama denga Eropah, sebab orang Eropa mampu menyelamatkan perempuan kulit berwarna dari kebuasan laki-laki berwarna. Pandangan Eropah menyatakan bahwa orang-orang kulit berwarna melakukan hubungan seks sejenis, sehingga terbangunlah kembali kode Homoseksual atau Lesbian. Seakan menaruh logika, bahwa di dunia Timur yang umumnya kerajaan, telah mengurung para Gundiknya di dalam suatu ruangan sehingga terjadilah tindankan saling menyayangi di antara mereka (wanita gundik), mulai dari saling membersihakn rambut, pijat, hingga trnsaksi seksual. Hal ini dianggap logis karena di dalam ruang tersebut tidak adanya laki-laki selain Raja dan terkadang Raja juga sibuk mengatur kerajaannya.
Pandangan di atas tidak hanya dilemparkan kepada dunia timur, tetapi juga kepada Etnis asli Amerika seperti wanita Amazon, kebinalannya, hypersexualnya dalam melayani laki-laki. Di gambarkan oleh Lomba bahwa Wanita Amazon yang memakai topi dari bulu burung, pakai koteka dari bulu burung, dada dicat putih, pakai manik-manik dari gigi dan taring binatang seakan memperlihatkan kebuasannya, berjalan dengan hati-hati mengguirkan pikiran Eropah akan kesuburan tanah yang akan di jajah. Tindakan ini dilakukan oleh Kolonial hanya sekedar untuk membangun image dan kode agar orang Amazon tersingkir dan terasing, jadi daerah Amerika seluruhnya bisa dikuasi oleh orang Putih (Eropa), sebuah penjabaran dari Neo Imperialisme. Di dalam media masa juga digambarkan tentang mitos cantik, bahwa yang cantik itu adalah putih atau yang gagah itu adalah berotot, macho dan segala hal, maka untuk mememnuhi standarisasi tersebut dimunculkanlah produk-produk Kapitalis, seperti bedak, pencuci muka, obat kekar otot dan segala macamnya. Padahal belum lama ini pernah muncul wacana yang cantik itu adalah hitam manis.
Kaum kolonial memandang bahwa Etnis yang unggul adalah etnis yang berkebudayaan, berpendidikan, dan maju secara ilmu pengetahuan, biasanya etnis ini bermukin dekat ke daerah kota besar, dekat dengan kekuasaan atau memiliki kekuasaan tersebut, merasa paling berhak terhadap segala hal, karena sejarahnya yang cemerlang, mungkin sebagai penemu sebuah pulau, daerah, teknologi, atau pernah di kalangan itu dipilih seorang utusan Tuhan. Artinya, sejarahnya mencatat bahwa kekuasaan lebih lama berada di tangannya mereka.
Sebuah kasus perseteruan yang pernah muncul di Ambon yang pada akhirnya memicu Perang Agama, yang hanya berawal dari pertengkaran preman di Jakarta kemudian isu tersebut dibawa ke Ambon yang mana dominasi Kristen lebih kuat. Orang Putih berusaha mengaburkan batas perdamaian antara Islam dengan Kriten di Indonesia, media memberitakan bahwa konflik itu telah selesai dan diselesaikan oleh Etnis yang memegang kekuasaan ketika itu. Hal ini menggambarkan bahwa etnis jawa itu pintar dan bisa menyelesaikan segala masalah. Kemudian masa lalu, protes yang dilakukan oleh Rakyat Suamtra Tengah (PRRI) terhadap pemerintahan Sukarno, karena ketidakadilan sistem yang dibuat, menimbulkan trauma berkepanjangan bagi Rakyat Minangkabau, kisah itu ditutup dengan pengiriman devisi Diponegoro (Bataliyon 433) ke Sumatra untuk menumpas habis PRRI yang dianggap pemberontak dan mengganggu kestabilan Naional. Nah, hal ini menandakan kesuperioran etnis berkuasa dan kekuasan tidak akan terklepas dari etnis yang disinyalir unggul tersebut. Sekarang jelaslah, bahwa etnis tidak obahnya diciptakan memang benar-benar ada dan diciptakan memalalui kode sosial yang diakui secara umum. Etnis dan ras yang unggul adalah etnis dan ras putih, suku bangsa yang beradab seperti Jawa yang notabenenya bias dari Hegemoni Majapahit, presiden harus Etnis jawa supaya kestabilan tetap tercipta.

3. Gender
Abad ke- 17 seksual dibatasi hanya di dalam rumah dan perkawinan dalam lingkungan keluarga, namun setalah itu diserap oleh ilmu pengetahuan ke dalam diskursus, adanya suatu usaha agar seks dipadatakan melalui bahasa, pernyataan bahwa seks adalah topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas, bahkan di lain kajian tentang seksual sudah diciptakan teorinya, sehingga melahirkan emansipasi wanita, akhirnya menjadi ‘’mutasi seksual’’. Isu Feminisitas layaknya sebuah wacana baru terhadap gender, dimana di sana hidup kekuasan laki-laki, sehingga hal ini melahirkan tuntutan bagi kaum hawa agar emansipasi wanita direalisasikan, media yang dianggap sebagai salah satu sarana bagi kaum hawa dalam memperjuangankan semua itu.
Di samping itu media adalah sarana yang sangat membantu bagi perkembangan, pembiakan dan ketidakstabilan gender. Bagi kaum feminis mengganggap ini adalah kesempatan besar untuk menuntut ketidakadilan tersebut, media dapat menghancurkan batasan-batasan yang dimiliki perempuan, kondisi lemah, lembut, berdiam diri di rumah, pasif, irasional, emosinal telah dileburkan oleh kemapuan teknologi mutakhir yang ditawarkan media, Piliang menyebutnya kondisi ini dengan Postfeminisme. Melalui teknologi kaum dapat feminis bisa meningkatkan daya pikir, kekuatan, kecerdasan, keaktifan sehingga kaum feminis tidak lagi menempati posisi inferior di bawah laki-laki.
Sejalan dengan itu pemberdayaan perempuan melalui teknologi cyborg , menciptakan frontier femininisitas, kerana dengan teknologi ini perempuan bisa melipatgandakan kekuatan, tiada rasa takut berada dimanapun, kaum feminis menciptakan daerah tidak bertuan sendiri seperti yang dilakukan laki-laki, yang mana di sana penguasa tunggal adalah perempuan. Teknologi ini pernah difilemkan oleh Amerika dan dibintangi oleh Arnol Suasinegar, di sini di citrakan Arnol dibekukan dan tertidur selama ratusan tahun, setelah dibangunkan melalui mesin zaman telah berubah, kemudian bertemu dengan seorang wanita yang hidup di era itu, arnol menginginkan trnasaksi seksual dengan wanita itu, si wanita memenuhi dengan teknologi Cyborg, memasang banyak kabel di bagian syaraf, sehingga perasaan keduanya layaknya dua pasangan yang sedang berhubungan badan, merasa terpuaskan setelah melanglang buana di dalam teknolgi Cyborg, ini berarti tidak adanya keturunan yang dihasilakn oleh transaksi seksual tersebut, tujuannya hanya untuk memuaskan diri belaka. Di sini setiap orang mendifinisikan identitas seksual menurut selera masing-masing.
Kemudian apa yang terjadi kemudian? Adalah sebuah keliaran menggganas tiada terkendali, Cyberspace dipergunakan oleh kaum hawa untuk membentuk komunitas virtual, yang mana dampaknya sangat merugikan wanita itu sendiri. Sebab di sini tidak tertutup kemungkinan pertukaran gender antara klaki-laki dengan wanita, si wanita menjadi laki-laki dan laki-laki menjadi wanita, akhirnya kedua posisi itu dinikmati oleh masing-masingnya. Chating yang pada awalnya untuk membangun silaturrahmi berubah menjadi pemangsa buas kefeminiman wanita, website yang awalnya sebagai senjata bagi kaum wanita untuk menyuarakan ketidakadilan laki-laki ternyata berubah fungsi sebagai tempat memvirtualkan ekploitasi wanita, web site porno, seks online, Facebook, frindster yang mempertontonkan identitas diri cukup menggambarkan ketidakberdayaan perempuan dihadapan laki-laki. Tiada hukum, tiada peraturan, tiada tuntutan, kaum feminis bertekuk lutut di bawah Maskulinitas. Selain itu, tuntutan terhadap ketidakadilan yang diterima kaum perempuan melahirkan tuntutan lokalisasi, homo dan lebian di legalkan, hingga banci pun menuntut peraturan yang sama, yang pada intinya ketidakpuasan terhadap dominasi laki-laki.
Sejalan dengan apa yang diungkapan Focoult dalam Piliang (2004), bahwa kekuasan dan kesadaran tubuh seseorang dapat diperoleh hanya memalui efek investasi kekuasan di dalam tubuh, melalui teknologilisasi tubuh, hingga politik tubuh. Contohnya bisa kita perahatikan kejatuhan-kejatuhan yang diderita oleh pemimpin banga ini seperti Sukarno, Yusril dan sekarang di derita oleh Antasi Azar. Tak obahnya tubuh wanita dijadikan politik untuk menjadikan dan menghancurkan nama baik seseorang, begitulah media, kembali kaum wanita di tipu oleh laki-laki memalui media. Tetapi tidak bisa disangkal, kekuasaan terlalu arif penanaman idiologi atas ketabuan seks harus disirnakan karena itu menyasikan. Agar diskursus tentang seks ini tidak merugikan kekuasaan, maka kekuasaan berusaha mengidentifikasi, menyediakan literatur dan melakukan pencatatan yang sangat rapi, persoalan seks adalah kebijakan negara, di Indonesia sendiri lahirlah UU pornografi dan porno aksi. Focoult juga menyatakan bahwa kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan, dengan mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagian-bagiannya, membangkitkan permukaannya dan mendramatisir kekacauan (Rizer 2003: 112).
Kemudian Postfeminisme kaum hawa lebih keras menuntut persamaan disegala bidang, Dorse yang menukar kelamin mejadi perempuan, Afi yang minta dikuburkan sebagai laki-laki, Lenny yang sembahyang memakai makena dan pergi Haji sebagai laki-laki. Ini adalah sebuah fenomena nyata yang sudah dimamah oleh masyarakat komsumer. Betul isunya berangkat dari gender, persamaan jender, pembagian rata hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan. Juga, awalnya mucikari hanya seorang penampung PSK atau pencari PSK untuk diperkerjakan, tetapi lambat laun hal itu berubah menjadi sebuah profesi yang patut pula dihargai dan diakui. Perhatikan saja rumah atau Lokalisai Doly, setiap bulan puasa kegiatan jual beli diliburkan karena para pekerja pulang kampung untuk menunaikan ibadah puasa, sementara itu Pak RT di lingkungan Doly bisa istirahat. Sekali lagi, kaum feminime telah gagal menamkan kekuasaan terhadap laki-laki, menyuguhkan kemolekan tubuh, kelangsingan, mulus, cantik itu putih dan segala macamnya ternyata menuai kelincahan kekuasan memanagemen itu semua.
Sejalan dengan itu, Hagemoni juga membangun sebuah tatanan sosial baru, feminisme dunia ketiga ke dalam sebuah kancah yang dulu termarjinalkan, menjadikan perempuan pribumi atau perempuan Timur sebagai objek pembanding. Membuat pernyataan bahwa sudah saepatutnya kesetaraan Gender menjadi kajian yang menarik. Padahal sesungguhnya pandangan feminisme baru itu adalah sebuah pendustaan untuk menghancurkan mitos perempuan suci yang dimiliki oleh orang Timur. Di pihak perempuan Timur malah tidak sadar bahwa penjajahan terhadap dirinya sudah dilakukan oleh feminisme Barat, mempunyai anak cukup 2 saja karena bisa lebih fokus untuk membiayainya, makanya pakai kondom dalam transaksi seksual atau diperbolehkan berhubungan seks dengan menggunakan kondom, bergerigi agar lebih sensual. Ini adalah sebuah kesuksesan Hegemoni Barat yang patut dapat acungan jempol, kelanjutannya sorotan terhadap kaum perempuan terpinggirkan menjadi sumbangan hangat bagi perempuan timur, tetapi sesunggunya perempuan Timur telah membantu mentransformasikan usaha mereka untuk kembali menjajah dengan sistem.

Berdasarkan gambaran di atas, menjadi jelas apa yang dikatakan dengan Kelas sosial, etnis dan gender hanyalah buatan penguasa, akibatnya kelas, etnis dan gender bermutasi, berkembang biak tanpa kendali. Alhasil, munculah deviant dan ketimpangan sosial yang terlalu jauh, di antara penguasa dengan rakyat, laki-laki dengan perempuan, pekerja dengan tuan, Barat dengan Timur, dosen dengan mahasiswa.
Ini adalah sebuah usaha manaklukan dunia yang dilakukan oleh Hegemoni Barat, mempengaruhi penguasa setempat, memegang kendali media, menciptakan teknologi untuk menutupi segala kekurangan yang dimilikinya. Kemudian dengan menciptakan simbol dan kode kestabilan mampu mengecoh dan memperdaya kaum-kaum yang dibuat ketergantungan akan santunan dan belaian tangan kekuasaan, setelah menjadi buas mulia dirinya rela diperbudak oleh kekuasaan tersebut.
Namun, isu Feminisme lebih menarik, terjadinya eksodus besar-besaran emansipasi ke ranah yang tidak bertuan, tidak terkendali sehingga menciptakan lebih banyak ketimpangan sosial, ekonomi dan agama. Akibat dari itu, dominasi laki-laki terhadap perempuan semakin leluasa dan terang-terangan diperlihatkan, seolah-olah tidak ada aturan, hukum, seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa, menyalahkan tuhan atas ketimpangan yang dihembuskan Hegemoni Barat, bangsa yang kebarat-baratan hingga saudara yang di baratkan, dicuci otaknya untuk misi penjajan.
Jadi, postfeminisme menggambarkan ekploitasi besar-besaran terhadap perempuan, potskolonial menggambarkan ekploitasi besar-besaran kolonial dan hanya Marxislah yang baru mampu melawan Hegemoni tersebut secara terang-terangan, hal itu pun menuai kegagalan.

*Mahasiswa Pasca Linguistik Budaya Universitas Andalas

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987