Senin, 14 September 2009

SAWIRMAN SANG PENCETUS TEORI LINGUISTIK TERAPAN e-135

Oleh: M. Yunis, S.S

Setelah saya membuka dan menelusuri blog pembelajaran www.sawirman-e135.blogspot.com., saya melihat kolom bagian profil masih belum terisi tulisan. Saat saya melakukan konfirmasi dengan yang bersangkutan, Sawirman menjawab:

“Saya merasa belum pantas mengisi kolom profil tersebut, saya belum ada apa-apanya. Apa yang saya ketahui adalah apa yang diketahui oleh setiap orang”

Jawaban sosok penganut “Proses adalah sentral dalam pembelajaran, kebenaran hanyalah bagian dari proses itu” menggugah saya untuk menulis profil ini. Ferdinand de Saussure bukan terkenal karena buku yang ditulisnya, tetapi buku yang ditulis oleh para muridnya. Socrates juga demikian halnya. Dia menjadi terkenal karena muridnya Aristoteles. Terilham dari dua sosok dimaksud tulisan ini disarikan dari (1) Buku Diary Sawirman berjudul “Kalau Saja Hidup Bisa Diulang” dengan sub-judul “Perasaan, Pikiran, Penglihatan, Pendengaran, Bacaan, dan Hayalan Saya” ; (2) full CV Sawirman yang ditulis untuk dan atas permintaan Universitas Sydney dengan tujuan Visiting Scholar dan International Joint Research bulan Juli 2009; (3) sejumlah tulisan dalam blog www.sawirman-e135.blogspot.com; (4) makalah berjudul “Menciptakan Paradigma Linguistik disebut dengan e-135” yang dipresentasikan dalam forum Dosen Berprestasi tanggal 11 Juni 2008; (5) Makalah untuk Lanjutan Seleksi Akhir Peserta Nominasi Dosen Anugerah 2 Universitas Andalas tahun 2009, (6) sejumlah tulisan ilmiah Sawirman dalam berbagai jurnal; (7) wawancara dengan yang bersangkutan, (8) wawancara dengan keluarga terdekat (istri dan mertua yang bersangkutan); (9) wawancara dengan para teman sejawat yang bersangkutan; (10) observasi lapangan seputar aktivitas harian yang bersangkutan; dan (11) Saat ini Beliau adalah Dosen empat mata kuliah penulis dari empat mata kuliah (Wacana, Semiotika, Bahasa dan Media, Bahasa dan Ideologi, dan Teori Linguistik) yang pernah diasuhnya bersama Tim pada Program Magister Linguistik Universitas Andalas.


A. Motto Hidup Sang Pecetus Teori Linguistik Terapan e-135

Kombinasi dua institusi (formal di sekolah umum dan informal di pesantren) melahirkan motto hidup sang pakiah (sebutan santri dalam bahasa Minang): “berupayalah menjadikan semua aktivitas sehari-hari bernilai ibadah”. Niat baik dan ucapan Bismillahirrahmanirahim setiap memulai pekerjaan menjadi filosofi hidupnya untuk menjadikan semua pekerjaan bernilai ibadah. Innamal ‘akmalu binniat ‘semua pekerjaan tergantung dengan niat’ ungkapnya mengutip Hadist. Yang terpenting dalam hidup menurut Sawirman adalah:

“Lakukan semua tugas yang diemban sebaik-baiknya, hasilnya biarlah Tuhan yang menentukan dan manusia lain menilainya. Ingat, Anda adalah apa yang kau tabur. Jangan sekali-kali mengharapkan imbalan, penghargaan dan sejenisnya dari sesama (maksudnya sesama manusia lain, red), bila itu niatnya maka bersiaplah untuk kecewa. Semua niat dan pekerjaan baik, sekalipun sudah dihargai ibadah di mata Tuhan, belum tentu dihargai pujian di mata manusia. Cacian, hinaan, iri, dan dengki adalah tumpukan honor kita pula yang harus diterima dalam dunia kehidupan, berorganisasi, dan bermasyarakat, itu kodrat kita yang tidak perlu dilawan. Banyak manusia dikodratkan terlahir untuk melihat sisi lemah manusia lain, bukan kelebihan dan kebaikannya, itu wajar pula. Memahami semua itu akan memberi kita sebuah kebijaksanaan hidup”.

Tampaknya inilah filosofi hidup sang pencetus e-135 yang menjadi spirit dan energinya untuk melakukan yang terbaik.. Lanjutkan perjuangan, lebih cepat lebih baik, ha.a.a!

B. Sang Guru Mangaji

3 September 1968, Sawirman dilahirkan di Toboh Padang Pariaman. Tamat di SDN Pauh Kambar, Sawirman melanjutkan studinya ke SMPN Pakandangan atas inisiatif dan doa Ibu tercintanya agar dapat sekalian mengecap Pendidikan di Pesantren Darul Ikhlas. Tahun 1982-1988, secara resmi Sawirman memiliki dua institusi, siang hari di jalur formal (SMPN Pakandangan/SMAN Lubuk Alung) dan malam hari di Pesantren. Pengalamannya di pesantren, sejak SMP sampai SMA, lebih dikenal sebagai Guru Mangaji. Ajo Uniang, begitu Sawirman lebih akrab disapa oleh para murid mangajinya. Mantan Qori yang pernah mendapat Juara Pertama Pensurah Alquran tingkat Kabupaten Padang Pariaman dan Harapan I tingkat propinsi ini disebut Buya oleh teman-teman SMA-nya hingga sekarang.


C. Sang Aktivis yang Kutu Buku

Semasa kuliah pada Strata 1, Sawirman tercatat sebagai mahasiswa berprestasi yang tidak hanya disegani di kalangan para aktivis kampus, tetapi juga oleh para dosennya. Beberapa jabatan strategis organisasi kemahasiswaan semasa S1 antara lain Ketua Umum Senat Mahasiswa, Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), dan Ketua Umum Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) di tingkat universitas pernah disandangnya. Selain sebagai penulis aktif di Media Ganto dan Haluan Minggu, puluhan artikel dan laporan ilmiah pernah ditulisnya. Beberapa forum makalah masa S1 pernah pula ditulis dan dipresentasikan di berbagai forum nasional dalam dan luar propinsi (Padang, Unsri Palembang, Masa S1 di Jurusan Bahasa Inggris UNP Padang diakhirinya dengan predikat Lulusan Terbaik tahun 1995. Berikut salah satu dari puluhan cuplikan liputan media terhadap dirinya yang didapat dari album pribadinya.





Salah satu kliping dari puluhan kliping tentang aktivitas dan tulisan Sawirman semasa S1. Acara kegiatan kemahasiswaan pertama yang mengantarkan Sawirman ke pucuk pimpinan kemahasiswaan.










Kegiatan pertama dari puluhan kegiatan kemahasiswaan yang diketuai Sawirman semasa Strata I.




Foto-foto ini hanya permulaan Sawirman memimpin acara, sebelum yang bersangkutan menjabat Ketua Umum Senat Mahasiswa fakultas, Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa fakultas dan Ketua Umum Keluarga Penerima Beasiswa Supersemar Universitas.






Sawirman (kanan) dengan sahabatnya Brandon Spars (kiri) dari US. Hubungan mereka berlanjut sampai ke Bali. Bersama Brandon di Pulau Dewata, Sawirman menerjemahkan semua arsip penting ke dalam Bahasa Inggris. Sekian bule dihadirkan Sawirman (paling kanan) sebagai Tim Juri Speech dan Reading Contest-nya. Sejumlah media lokal sampai Hello Magazine terbitan Jakarta meliput acara ini.



C. Bersepeda Dayung ke Australia

Waktu berlalu musim pun berganti. Beasiswa Ikatan Dinas (TID) sebagai jalan by pass menjadi pegawai negeri diabaikannya demi spiritnya melanjutkan studi ke Program Magister. Awal tahun 1996, LoA dari Wolverhamton University di Inggris pernah dikantonginya. Sayang, beasiswa Yayasan dari Universitas Perbankan Riau yang dijanjikan untuk ke sana batal keluar tahun itu. Pihak Universitas yang menjanjikan secara lisan tahun depannya terpaksa diabaikannya karena Universitas Udayana kala itu mengalokasikan beasiswa S2 untuk non PNS sekalipun di tahun kedua. Bermodalkan sepeda dayung yang disebutnya BMW (“bebekku merah warnanya”, kebetulan sepeda tersebut berwarna merah), masa-masa sulit di S2 dapat terbantu dengan mengajar orang asing berbahasa Indonesia, penerjemah dan interpreter di berbagai kursus dan hotel. Alhasil, di tahun 1997, Beasiswa TMPD yang ditunggunya untuk membiayai Program S2 didapatkan juga. Di tahun yang sama, hasil tabungan dengan sepeda dayung dapat menambah biaya yang bersangkutan untuk mengikuti Kongres Linguistik ke 22 di Universitas Southern Queensland Towoomba Australia bulan Oktober 1997. Masa S2 di Jurusan Linguistik dengan titik fokus Linguistik Mikro diakhirinya dengan IPK 3,70 tahun 1999 dan “BMW” sebagai kenangan.





Pergi ke 22nd Annual Applied Linguitics Congress Oktober 1997 dengan modal sepeda dayung (“BMW”).
Sawirman keliling Sydney dulu sebelum berangkat dengan Bus ke University Southern of Queensland Toowoomba












Kala Sawirman mewakili para wisudawan/wisudawati








D. Suami-Istri menjadi Guru di Universitas Andalas

Rencana di tangan manusia, keputusan di Tangan Allah. Hasrat yang bersangkutan untuk melanjutkan studi S3 ke luar negeri dibatalkan saat Ketua Penguji yang juga Ketua Program S3 Linguistik Universitas Udayana kala itu, almarhum Prof. I Wayan Bawa, menawarkan yang bersangkutan untuk Studi S3 di universitas yang sama dalam Forum Ujian Tesis dan dihadapan lima penguji (setelah predikat lulus diumumkan). Tampaknya Sawirman bukan penganut filsafat dek arok buruang tabang tinggi, punai di tangan dilapehan. Setelah melalui Sholat Istikhorah, tawaran Ketua prodi pun diambilnya.

Di kala Sawirman baru menginjakkan kaki di semester pertama Prodi Doktor, keinginannya untuk mengabdi di kampung halaman menjadi kenyataan. Tahun 2000, Sawirman diterima sebagai PNS di Fakultas Sastra Unand. Setelah mengabdi selama 1 tahun, Sawirman kembali melanjutkan program Doktornya dengan spesifikasi sama. Program Doktor Linguistik diakhirinya tahun 2005 dengan mencetuskan Teori Linguistik Terapan e-135, Lulusan Terbaik, dan membawa dua ijazah (selain ijazah doktor, ijazah Magister Kedokteran Reproduksi dari universitas yang sama juga dikantongi sang istri tercinta Yessy Markolinda, M.Repro ). Mengikuti jejak sang suami, sang istri sekarang juga Dosen tetap di PSIKM Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.




Kala Sawirman menerima bingkisan sebagai Lulusan Terbaik Program Doktor Linguistik Wisuda 4 Agustus 2005 Universitas Udayana dengan IPK 3,80 (Skala 4).



E. Di Mata para Dosen/Teman Strata Satunya

Sawirman dari dulu sampai sekarang tetap membina hubungan baik dengan siapa saja yang pernah dikenal. Menurutnya biarlah kehilangan duit daripada kehilangan teman. Terbukti sudah berkali-kali rumahnya dijadikan tempat berkumpul teman sejawat dan reuni dari berbagai jenjang pendidikan, terlebih lagi di bulan puasa. Tahun 2008 lalu, acara buka bersama teman-teman strata satunya diketuai oleh konconya Edwards, sang PR dari Negeri Kanguru. Ungkapan senada dari mantan dosen, senior, yunior, dan teman seangkatannya juga saya baca dalam milis www.jurdikbing.com. Sawirman juga terlibat aktif dalam blog pembelajaran dimaksud yang banyak mendiskusikan keilmuan, isu-isu terkini, tata cara pembuatan lesson plan, SAP, GBPP, silabus, dan sejumlah penawaran beasiswa.

Sejalan dengan itu, saat saya melihat kumpulan arsip yang bersangkutan, mata saya tertuju pada surat rekomendasi untuk yang bersangkutan mengikuti program pasca sarjana dari mantan Rektor UNP Padang M. Ansyar, Ph.D (surat resmi) dan rekomendasi dua mantan Dekan FPBS universitas yang sama almarhum Prof. Dr. Amir Hakim Usman (tulisan tangan) dan Prof. Dr. H. Agustiar Syahnur, M.A (surat resmi) untuk mengikuti program yang sama berisi untaian senada bahwa Sawirman selain sebagai lulusan terbaik di masa wisudanya, juga dianggap sebagai sosok yang suka membaca dan menulis, suka bekerja sama dengan sejawat, luwes dalam pergaulan, dan sering dipercaya sebagai wakil universitas ke berbagai forum mahasiswa daerah dan Nasional. Yang membuat saya sedikit heran, sepanjang pengetahuan saya, amat jarang mahasiswa direkomendasi oleh Rektor dan Dekan untuk mengikuti Program Magister. Mungkin karena aktivitas, tulisan, dan kemampuan bersosialisasi, Sawirman amat dekat dengan para pemimpin kampus kala itu.



F. Di Mata Para Mantan Dosen Program Magister dan Doktor

Adalah almarhum Profesor I Wayan Bawa yang berulang kali memuji rancangan disertasi Sawirman . Sayang almarhum tidak sempat mengantarkan salah seorang murid kesayangannya menjadi doktor. Bersamaan dengan Sawirman memasuki Ujian Kualifikasi Doktor, sang promotor juga dirawat di Rumah Sakit Sanglah. Konon, saat para dosen dan penguji membezuk sang mantan Ketua Program Doktor di rumah sakit bertepatan setelah Sawirman usai ujian, Pak Bawa masih sempat melontarkan pertanyaan seputar hasil ujian Sawirman dan mengharapkan sang penguji agar betul-betul membaca disertasi Sawirman. Dua hari setelah Sawirman Ujian Kualifikasi, sang promotor pun meninggalkan anak bimbingan bersama Program Magister dan Doktor yang dirintisnya buat selama-lamanya. Penghargaan tulus kepada Prof. Dr. I Wayan Bawa (sang mantan promotor) ditulis oleh Sawirman dalam Pengantar Disertasi Doktoral.

Posisi promotor pun digantikan oleh Prof. Dr. Aron Meko Mbete, selain Dede Oetomo dari Unair, dan Prof. Dr. Sutjiati Beratha, M.A. Pujian pertama yang disampaikan Prof. Dr. Aron Meko Mbete kepada teman-teman Sawirman usai yang bersangkutan Ujian Tertutup adalah sikap santai dan rileks yang ditampilkannya saat ujian. Pertanyaan bernada pujian juga dilontarkan Prof. Aron pada saat yang bersangkutan melakukan Ujian Terbuka 15 Juli 2005. Pertanyaannya kira-kira begini: Kemanakah e-135 diuji setelah disertasi ini? Adalah juga Prof. Aron yang memberikan ringkasan disertasi Sawirman kepada penulis posmo terkenal kita Yasraf Amir Piliang (Dosen ITB) dan penulis Levi Strauss Ahimsa Putra (Dosen UGM) yang hadir ke Universitas Udayana dalam rangka kepentingan lain. Tidak hanya itu, menurut keterangan yang bersangkutan, tanggal 18 November tahun 2006 (setahun Sawirman telah meninggalkan Universitas Udayana tepat saat Sawirman mempresentasikan makalah dihadapan alumni Sastra Inggris Unand), Prof. Aron menelepon Sawirman agar segara menemui sosiolog Indonesia Ignaz Kleden. Disertasi pun diberikan kepada Ignaz Kleden bersamaan dengan seminar proposal Hibah Bersaingnya di akhir Desember 2006 di Jakarta. Tentu bukan hanya sekadar hadiah, adalah harapan sang promotor agar sang anak didik bisa mencetuskan cita-citanya untuk menjadi guru kehidupan dan penulis terkenal di tingkat internasional seperti yang termaktub dalam buku diari sang pencetus e-135.

Bila ada yang kuliah dengan Ibuk Sutji (begitu panggilan akrab Prof. Dr. Sutjiati Beratha, M.A) , pasti mengetahui bahwa Sawirman adalah salah seorang yang sering disebut-sebut namanya oleh profesor ini yang juga diminta Sawirman sebagai salah seorang tim mitra bestari dalam jurnal Linguistika Kultura terbitan Jurusan Sastra Inggris yang dipimpinnya bersama kawan-kawan.

Pujian dari Prof. Dr. I Wayan Pastika seputar e-135 dan draf disertasi pasca Ujian Kualifikasi juga tidak kalah pentingnya. Saat e-135 masih dalam draf, Pastika sudah mulai mengapresiasinya. Berikut coretan tulisan tangan Pastika yang masih disimpan dalam draf proposal disertasi Sawirman sebelum Ujian Tertutup (dikutip dari Sawirman, 2009).






Saran Pertama Pastika seputar e-135




Saran Kedua Pastika seputar e-135



Saran Ketiga Pastika seputar e-135



Bulan Juli 2009, saya I Wayan Arka, Ph.D (mantan dosen Sawirman di Universitas Udayana yang juga peneliti sejak lama di Universitas Sydney). Dalam email yang dikirim ke Universitas Sydney untuk mengikuti Program of Academic Recharging (PAR) Dikti, I Wayan Arka menulis tentang Sawirman sebagai bright students dan full of enthusiasm. Berikut email I Wayan Arka yang di-cc-kan ke sawirman03@yahoo.com yang saya kutip apa adanya (kecuali cetak tebal).



On 29/05/2009, at 11:00 AM, Wayan Arka wrote:

>>

>>> Dear Bill and Jane,

>>>

>>> A former student of mine, Sawirman, from Universitas Andalas

>>> Padang (West Sumatra) is applying for a four-month fellowship from

>>> the Department of Higher Education Indonesia.

>>> Hi is planning to do a small project on Anthropological linguistics

>>> investigating issues of address forms among the Minang migrants in

>>> Sydney.

>>> I reckon that Sydney U might host him for his visit, and he is

>>> very keen to meet Bill -- as Sawirman has read Bill's book on

>>> Anthropological linguistics.

>>>

>>> He needs a letter of support from the department here, and his

>>> visit is fully funded by the Indonesian government. I was told

>>> that there is some financial contribution to the host as well.

>>>

>>> He is a bright student, full of enthusiasm. He got his doctorate

>>> from Udayana U.

>>> I hope that you could help him with a letter of support for his

>>> application.

>>>

>>> Best,

>>> -Wayan

G. Kiprah Sawirman di Universitas Andalas sejak 2006-2009

Sepanjang pengamatan saya, ada beberapa prestasi Sawirman (baca pula Sawirman, 2009b) yang pantas dihargakan tinggi dan dikenang sejak kepulangannya dari Program Doktoral, yakni (1) sosialisasi teori linguistik terapan e-135, (2) salah satu perintis Program Magister Linguistik Unand, (3) merintis, memimpin, dan mengeditori jurnal Linguistika Kultura, (4) mengkader para peneliti junior agar mampu bersaing dalam penelitian nasional,, (5) mengikutsertakan mahasiswa dalam penelitian, dan (6) mengkader para dosen muda untuk melahirkan RPKPS, Silabus, GBPP, SAP, dan Learning Contract sesuai dengan perannya sebagai Penatar Pekerti/AA dan Learning Consultant di Fakultas Sastra.



G.1 Penggagas Teori Linguistik Terapan e-135 di Mata Teman Sejawat

Entah apa yang misteri dari kombinasi angka 135, saya tidak pernah tahu. Sampai saat ini, formula angka ini setidak-tidaknya sudah digunakannya untuk teori linguistik terapan yang dirancangnya. Puluhan forum ilmiah dan puluhan artikel ilmiah sudah dimanfaatkannya untuk memperkenalkan teorinya dimaksud. Hasil penelusuran saya dari buku Simmel berjudul Misteri Angka-angka juga belum mampu mengungkap misteri dimaksud. Paduan angka dimaksud semata-mata hanya untuk memadukan landasan filosofis (hermeneutika), landasan paradigmatis (formalis, kritis, dan cultural studies), serta lima tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi). Sebelum dipatenkan, nama e-135 bisa saja berubah karena banyaknya permintaan agar dari pembaca agar berkenan mengubah namanya menjadi lebih linguistis (termasuk di blog yang bersangkutan).

Baik di kalangan dosen Fakultas Sastra maupun di kalangan mahasiswa linguistik Unand, Teori Linguistik Terapan e-135 mendapat sambutan positif. Berikut aplikasi e-135 yang dikutip dari Sawirman (2009a).


1. Usul penulis untuk mengubah nama jurnal jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas dari Jurnal Andalas (nama awal yang disepakati rapat jurusan) menjadi Linguistika Kultura juga disetujui jurusan. Penulis mencantumkan ciri khas Kajian Linguistik-Sastra Berdimensi Cultural Studies di setiap cover terbitan dengan memberi alasan akademis penamaan pada Pengantar Redaksi Vol 1 No 1 Juli 2007 jurnal tersebut. Saat ini Sawirman terpilih sebagai editor ahli/pimpinan redaksi jurnal dimaksud yang sudah terbit enam volume.

2. Sawirman salah pembawa makalah untuk menentukan ciri khas atas permintaan Direktur Pascasarjana Unand secara tertulis dalam workshop Pembukaan Program Studi Magister Linguistik dan Ilmu Sejarah tanggal 25 Februari 2006 di Program Pascasarjana Unand dengan judul makalah “Memaknai Linguistik secara Cultural Studies” seperti harapan e-135. Berdasarkan SK Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 2087/D/T/2007 tertanggal 2 Agustus 2007, ciri program magister dimaksud adalah Linguistik Kebudayaan yang bermakna kajian linguistik berdimensi cultural studies. Sawirman adalah salah seorang perintis Program Magister Linguistik Universitas Andalas sesuai dengan SK Dekan Fakultas Sastra Nomor 41/XIII/D/F.Sastra-2006 tanggal 17 Februari 2006.

3. Respon positif dan rekomendasi lisan dari Prof. Dr. Herwandi, M.Hum (dosen Pascasarjana Program Ilmu Sejarah dan Linguistik Kebudayaan Universitas Andalas, sekarang Dekan Fakultas Sastra Unand) agar penulis terus mengembangkan e-135 menjadi Mazhab Linguistik Limau Manih (Universitas Andalas) yang disampaikan dalam forum informal di Fakultas Sastra tahun 2008. Sembari memberi usulan agar nama e-135 yang terkesan matematis diubah menjadi lebih bernuansa linguistis, Herwandi menambahkan mengatakan: “Orang baru berbicara soal Derrida, Sawirman sudah menempatkan pikiran Derrida dalam konstruksi berpikirnya”.

4. Respon positif dan rekomendasi lisan dari Fadlillah, M.Si (dosen Sastra Indonesia Universitas Andalas) dan Suryadi (Universitas Leiden) agar e-135 ditulis di jurnal internasional untuk mendapatkan pengakuan internasional (data lisan).

5. Apresiasi Prof. Dr. Oktavianus agar penulis terus mengembangkan e-135 “di forum-forum ilmiah”, disampaikan Beliau saat menyajikan makalah sebagai key note speaker dalam forum National Seminar on Language Literature and Language Teaching FBSS UNP Padang tanggal 11 Oktober 2008 (data rekaman).

6. Khanizar, S.Sn., M.Si (Dosen Sastra Daerah Universitas Andalas) sangat mengagumi teori e-135 terutama pada bagian tahapan dekonstruksionis. Ungkapannnya disampaikan dalam bahasa Minang yang bahasa Indonesianya kira-kira begini: saya merasa cukup banyak membaca buku tentang posmodernis, akan tetapi gebrakan pikiran pada bagian analisis yang diformat dengan puluhan lingkaran membuat saya salut. Khanizar juga berjanji akan menjadikan frame e-135 dalam salah satu artikel yang akan digarapnya (data lisan).

7. Adalah mantan Ketua Jurusan Sastra Inggris Drs. Josefino, M.Si., Dip. App.Ling menjuluki Sawirman dengan “Superman III”. Saat saya menindaklanjuti pertanyaan ini, mantan Kajur yang juga menempatkan Sawirman sebagai Tim Ahli dalam penelitian Hibah Strategis Dikti Tahun 2009 yang diketuainya itu hanya memberikan jawaban berupa analogi ala gurauan, “Superman I dan Superman II sudah ada, Superman III ya itu Sawirman” sembari memberi nasehat agar yang bersangkutan jangan lupa menjaga kesehatan.

8. Adalah Rima Devi, S.S (mantan Ketua Jurusan Sastra Jepang yang saat ini mahasiswa Magister Unpad Bandung) yang pernah menyampaikan secara terang-terangan dalam forum rapat fakultas tentang vitalnya peran learning consultant sembari menyampaikan hasil diskusinya dengan Sawirman seputar mata kuliah Syntax di Sastra Jepang).

9. Sambutan mahasiswa magister akan diutarakan pada uraian selanjutnya



Sebutan tersebut tidak terlalu berlebihan bila melihat kegigihan dan semangat juang Sawirman dalam berkarya. Bila Inggris dikenal memiliki daerah jajahan “di mana matahari terbit”, saya menyebut Sawirman dengan julukan “Matahari selalu terbit”. Saya menyaksikan ketangguhan Beliau menulis dan membaca dari “pagi sampai pagi”. Boleh dikata, selain kesibukan mengajar, ibadah wajib dan rutinitas harian, sisanya selalu digunakan untuk menulis dan membaca. Usut punya usut, rupanya kebiasaan ini sudah terbina sejak kuliah. Menurut pengakuan istri dan mertua Beliau, semasa kuliah terutama Program Doktor, Sawirman mampu membaca di lokasi yang sama sejak pagi sampai larut malam. Saat dikonfirmasi dengan Beliau, rupanya dia terinspirasi dari Abraham Lincoln. Menurutnya, mantan Presiden AS tersebut bukanlah sosok yang jenius seperti Einstein, tetapi bisa menjadi pemimpin legendaris karena kegigihannya.

Semasa studi, Beliau mampu melahap buku dalam satu hari bila hanya memiliki halaman sekitar 300-an. Saat dikonfirmasi tentang hal tersebut, Beliau menyebutnya dengan “CBSA” (cara baca buku sampai habis) sejak dari Kata Pengantar sampai Indeks dengan menandai bagian penting dan beri tanda tanya pada bagian yang tidak mengerti, setelah itu tulis saripatinya. Mungkin ada benarnya, saat diobservasi, sekitar dua ribuan buku yang saya amati dari pustaka pribadi Beliau memang habis dengan coretan, tanda tanya, dan lipatan.

Menurut saya, mungkin strategi belajar tersebut yang menyebabkan mengapa Sawirman mampu mencetuskan Teori 135 (Teori Analisis Wacana beretika), sekalipun yang bersangkutan menyebutnya dengan e-135 (hanya sebuah eksemplar atau model). Rupanya teori yang sudah dilahirkan secara de facto dan diseminarkan dalam beberapa forum sejak tahun 2002 tersebut, sudah digunakan untuk membedah disertasi setebal 500-an halaman dengan judul Simbol Lingual Wacana Politik Tan Malaka: Eksplorasi, Signifikasi, dan Transfigurasi.

Dalam perkembangannya, e-135 menurutnya mengalami modifikasi ontologis, epistemologis, dan aksiologis sekalipun tidak menjauhi dari maksud awal penciptaannya sebagai suatu konstruksi berpikir untuk menggali makna terdalam objek wacana, teks, dan tanda. Baik masukan, kritikan, dan input berharga maupun respon positif dan apresiasi lisan dan tulisan dari sejumlah pihak membuat penulis secara berkelanjutan merevisi e-135 agar semakin teruji secara akademis.

Penyebutan e-135 sebagai sebuah teori pembelajaran dan aplikasi linguistik yang menjanjikan di masa depan bukan hanya saya sendiri yang mengatakan. Teori e-135 serta persepsi banyak pihak dan mahasiswa magister linguistik Unand seputar teori e-135 Sawirman dapat dibaca secara lengkap di blog pembelajaran yang bersangkutan www.sawirman-e135.blogspot.com. Penulis sudah beberapa bulan membaca draf teori yang diberikan Sawirman dan membaca draf buku Simbol Politik Tan Malaka yang akan diterbitkan sebagai aplikasi praktis teori dimaksud.

Penulis juga memperhatikan konteks linguistik di tanah air, teori inilah salah suatu exemplar yang berpijak pada spirit ketimuran, kemanusiaan, objek terlupakan, masyarakat terhegemoni/termarjinalkan, dan spirit multi-disiplin berbasis ilmu sendiri seperti harapan cultural studies perlu dilahirkan dan diciptakan agar linguistik yang berada dalam ranah humaniora ini menjadi semakin humanis, bukan malah semakin sebaliknya. E-135 ditawarkan sebagai salah satu teori alternatif ke arah itu amat menjanjikan.


G.2 Penggagas Program Magister Linguistik Unand

Sawirman yang berpikiran terbuka menyadari dan sudah waktunyalah Linguistik Unand di lirik oleh dunia, oleh karena itu tahun 2006-2007 dia pun bersama teman-teman mengaggas berdirinya Pasca Sarjana Linguistik Unand. Melalui permintaan surat Direktur Pasca Sarjana No: 250/J.16.S2/LL-2006 kepada yang bersangkutan, Sawirman meluncurkan makalah dengan judul “Memaknai Linguistik melalui Cultural Studies”. Harapan baik itu pun terwujud dengan keluarnya SK Dikti No: 2087/D/T/2007 tanggal 2 Agustus 2007. Sampai sekarang Program Magister Linguistik Unand sepanjang pengetahuan saya sudah menerima tiga angkatan mahasiswa.


G.3 Pengkader Dosen Muda dan Mahasiswa

Mungkin pengalamannya yang malang melintang dalam dunia organisasi, upaya pengkaderan tampak sekali dalam setiap sepak terjang dan misinya. Beberapa contoh yang terlihat nyata antara lain sebagai berikut.

Pertama, selain Dra. Dian Rianita, M.A., semua staf redaksi Jurnal Linguistika Kultura yang dipimpinnya, umumnya diisi oleh para dosen muda (golongan III-b ke bawah). Misinya hanya menjadikan jurnal ini sebagai salah satu jurnal yang akan terakreditasi di Universitas Andalas. Setelah itu, menurutnya Sawirman akan menyerahkan tongkat estafet kepada yang muda-muda dan akan berperan di belakang layar (mungkin sebagai mitra bestari, katanya). Seiring dengan hal itu, bimbingan kepada penulis muda pun juga sering dilakukan agar sejumlah tulisan mereka dapat dimuat di jurnal ilmiah (termasuk di jurnal yang dipimpinnya).

Kedua, perannya sebagai learning consultant di Fakultas Sastra yang di-SK-kan oleh Dekan Fakultas Sastra juga diperuntukkan bagi dosen muda. Perannya sebagai salah seorang Learning Consultant sejak tahun 2007 antara lain diejawantahkannya bersama Tim dan Pembantu Dekan I Fakultas Sastra untuk mencanangkan SCL dan KBK dalam forum pembuatan RPKPS semua mata kuliah di Gedung E Universitas Andalas.

Ketiga, beberapa kali Sawirman juga sering dilibatkan untuk membimbing peneliti muda yang dibiayai oleh DIPA Unand. Selain yang lulus seleksi, seperti penelitian tentang bahasa kampanye dengan biaya DIPA Unand tahun 2007 yang menempatkan namanya sebagai pembimbing, beberapa di antaranya belum lulus seleksi. Sejumlah mahasiswa selalu dilibatkannya dalam setiap penelitian yang dilakukannya baik sebagai asisten peneliti maupun sebagai teknisi. Penelitian Hibah Bersaing tahun 2007 yang diketuainya melibatkan satu mahasiswa Strata II dan dua mahasiswa Strata I. Penelitian Hibah Bersaing tahun 2009 yang diketuainya melibatkan lima mahasiswa Strata II.

Keempat, tiga kali seminar bulanan fakultas dengan sponsor dana rutin diketuainya untuk mempersiapkan dosen muda untuk melanjutkan program pasca sarjana di manca negara sejak tahun 2006. Topik-topik yang dihadirkan pada kegiatan yang dihadiri para nara sumber tamatan S2/S3 luar negeri tiga kegiatan dimaksud memang ditujukan untuk merangsang pada dosen muda untuk studi lanjut, seperti (1) informasi beasiswa dan short course manca negara, (2) tata cara pengisian formulir, dan (3) filsafat penelitian.

G.4 Penyelamat Mahasiswa dengan “Buka Praktek Dokter”

Istilah ini Penyelamat Mahasiswa bukan saya yang mengemukakan. Adalah disebut oleh Condra Antoni di dalam Blognya, http://www.anacondra.co.cc/2009/01/cita-cita-saya-kok-overload-begini-oleh.html, ‘’Nah, akhir-akhir ini, saya sering telpon-telponan dengan Bapak Dr. Sawirman, yang merupakan “penyelamat” saya di Sastra Inggris Unand dulu. Bercerita dengan beliau sungguh saya betul-betul ingin menjadi ilmuwan linguistik yang berwawasan multicultural’’.





Condra Anthoni diambil dari http://condranasir.blogspot.com/




Saat ditanya apakah yang dimaksudkan Condra Anthoni (salah seorang mahasiswa brilian dan penulis) sebagai penyelamat seperti yang disebut dalam blog dimaksud, Sawirman juga tidak mengerti. Saya hanya menjalankan tugas kampus semaksimal mungkin, katanya. Konon kabarnya, salah seorang pembimbing Condra sempat mengundurkan diri di saat skripsinya sudah hampir rampung. Kedatangannya menemui Sawirman tampaknya menemukan solusi. Sawirman bersedia menggantikan posisi yang lowong tersebut sekalipun dalam waktu yang sangat mepet. Saat tinggal di rumah kontrakan, di Jalan Dr. Moh. Hatta alias Jalan Tunggang, saya sangat sering menyaksikan Sawirman membuka ruang konsultasi di atas sebuah palanta (tempat duduk dari papan besar) berwarna hijau, sejak usai Magrib sampai jam tamu habis setiap Jum’at malam sampai Minggu malam (terkadang sampai jam 11-an malam) seperti “Praktek Dokter”. Para mahasiswa yang pernah tinggal di sekitar Jalan Tunggang sekitar tahun 2006-2007 pasti bisa diminta kesaksiaannya.

Saya juga termasuk yang dibimbing Sawirman secara informal sekalipun Sawirman sendiri bukan terdaftar sebagai pembimbing I atau Pembimbing II saya. Adalah beralasan mengapa saya menyebut Beliau sebagai “Pembimbing III” alias tidak di-SK-kan. Sepanjang pengetahuan saya, peran Sawirman sebagai “Pembimbing III” bukan hanya saya sendiri, tetapi puluhan mahasiswa dari berbagai jurusan Sastra Inggris, Sastra Indonesia, dan Sastra Daerah. Sepengetahuan saya, Sawirman selalu meladaninya. Saya kenal dengan nama-nama mahasiswa dimaksud. Termasuk menyelamatkan mahasiswa-mahasiswa yang berkasus seperti Condra Anthoni. Sayang sejak tahun 2008, sekarang Sawirman sudah berdomisili di Perumahan Mewah (“perumahan mepet sawah”, istilah Beliau) yang agak jauh dari jangkauan mahasiswa. Alhasil, “Buka Prakteknya” terpaksa dilakukan di kampus (data rekaman video).

G.5 Pengayom Mahasiswa

Sebagai salah seorang penatar Pekerti dan AA (Applied Approach) di Universitas Andalas sejak tahun 2007, Sawirman memang selalu mencanangkan dan menerapkan SCL serta KBK dalam metode/strategi pembelajaran seperti yang dicanankan oleh Unesco, Dikti, dan Rektor Unand. Menurut Sawirman, saat ini mahasiswa bukan masanya lagi dijadikan sebagai objek pengajaran, tetapi harus dijadikan sebagai subjek pembelajaran. Diakuinya, penerapan metode SCL yang dibakukannya dengan e-135 bukan seperti membalikkan telapak tangan. Saat ini sekalipun berbagai metode SCL/KBK sudah dicoba untuk diterapkan antara lain melalui “metode panelis” (kelompok A presentasi dan kelompok B sebagai pereview makalah kelompok A dan seterusnya), peer review, tugas lapangan (real task), book review, article review, individual presentation, hingga pemberian kasus “ala blog PBL” dan discovery learning, akan tetapi tidak semua metode tersebut cocok untuk semua level (S1 dan S2) atau cocok untuk semua mata kuliah. Mata kuliah tertentu dan level tertentu tampaknya harus dikelola denga metode SCL tertentu. Diakui oleh Sawirman, metode dan strategi yang sama pernah diterapkan pada mata kuliah yang sama pada level berbeda tidak membawa hasil yang signifikan. “Metode panelis” yang pernah diterapkan pada level S1 dan S2 pada mata kuliah semiotika, ternyata dampak keberhasilannya lebih tinggi di Strata II daripada Stata I. Tugas lain kita yang juga masih sulit menurut Sawirman adalah mengubah imaji mahasiswa yang menganggap kehadiran dosen sebagai teacher, bukan sebagai fasilitator atau tutor. Terus terang saya masih terus mencari dan mencari metode yang tepat, akurat, dan praktis untuk semua level terutama semua mata kuliah baik yang saya asuh maupun bukan.

Sekalipun demikian, selain sebagai penyelamat, Sawirman juga salah satu sosok yang disenangi mahasiswa. Sosoknya yang terbuka di bidang keilmuan, metode SCL yang diaplikasikannya, serta kejujurannya untuk mengakui keunggulan mahasiswa membuat banyak mahasiswa merasa segan. Dian (mahasiswa non reguler Sastra Inggris) pernah menceritakan kepada temannya di Riau agar meniru strategi mengajar Pak Sawirman (data rekaman). Menurutnya, baru relatif terbatas dosen yang menerapkan metode SCL di Universitas Andalas, salah satunya adalah Pak Sawirman. Tentu tidak hanya Khairul Huda (alumni jurusan Sastra Inggris) yang sangat memuji cara dan sikap Sawirman dalam merangsang mahasiswa belajar dan berinterpretasi, tetapi juga Ica, Mona, serta ratusan mahasiswa yang tergabung dalam sejumlah mata kuliah. Adalah Ca Ud yang amat kecewa saat Sawirman tidak sempat menghadiri acara wisudanya karena Sawirman berhalangan, padahal Ca Ud mau memperkenalkan Sawirman dengan orang tuanya. Non Martis selaku mahasiswa S2 Linguistik Angkatan ke 2 menyatakan pula dalam sms-nya kepada saya berupa sikap terharu, dinyatakannya, ’’rasa kangen ingin bertemu lagi dengan Pak Sawirman di dalam kuliah Bahasa dan Ideologi’’. E-135 yang sedang dikembangkannya untuk kepetingan pembelajaran, penilaian, dan pengaplikasian linguistik ke dunia realitas mendapat sambutan positif dari mahasiswa. Silakan baca blog Beliau www.sawirman-e135.blogspot.com sebagai buktinya. Bisa dilihat bahwa Sawirman adalah sosok yang mampu mengayomi mahasiswa.

G.6 Kepala Labor Bahasa, Pimred, Koordinator MKDU, dan PHKI

Suasana yang mengharu biru terus diisi dengan kreativitas dan karya intelektual oleh Sawirman. Bulan Juli 2006 dia pun terpilih melalui forum jurusan dan fakultas sebagai Kepala Labor Bahasa Universitas Andalas yang di-SK-kan Rektor hingga tahun 2010. Masih pada tahun yang sama 26 Mei 2006 dia pun terpilih menjadi kandidat konsultan Diknas Sumatera Barat sebagai utusan Univesitas Andalas. Visi-Misi Pengembangan Kapasitas (Building Capacity Pendidikan SMP di Sumatera Barat adalah tulisan yang disampaikannya kala itu. Sejak Januari 2007 sampai saat ini dia juga terpilih untuk menjadi Pimpinan Redaksi (Pimred) sekaligus Editor Ahli Jurnal Linguistika Kultura (3 volumes/year) di Fakultas Sastra Unand. Tahun berikutnya Januari hingga Desember 2008 dia terpilih kembali menjadi Co-ordinator of English for Academic Purposes (MKDU) of Andalas University dan untuk tahun 2009 dia juga di-SK-kan Rektor sebagai salah satu tim penyusun proposal PHKI (Program Hibah Kompetisi Berbasis Institusi) Dikti di Universitas Andalas. Setelah proposal dinyatakan lulus, jabatan sekretaris untuk mengelola PHKI dimaksud pada Jurusan Sastra Inggris Unand dipercayakan kepadanya selama tiga tahun.



G.7 Ketua Penyusun Buku Panduan Labor Bahasa Dikti

Sejak bulan Juni hingga Desember 2007 dia juga diserahi tugas oleh DIKTI sebagai Ketua Penulis Buku Panduan Labor Bahasa Berbasis Standar Minimal untuk Universitas di Indonesia. Setelah survei lapangan di Jawa dan Sumatera serta tiga kali pertemuan di Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta, draf buku tersebut akhirnya difinalisasi di Yogyakarta bulan Desember 2007 yang selanjutnya diserahkan ke Tim Dikti untuk di follow up (dicetak).



G.8 Ketua Panitia dan Pemakalah di Forum Alumni Unand

Tanggal 28 November 2006 dia juga mengetuai Mubes Nasional English Alumni Department. Selain sebagai Ketua Panitia, pada acara yang disponsori oleh PHK-A1 DIKTI tahun 2006 tersebut, Sawirman juga berperan sebagai pemakalah tunggal dengan judul “Jurusan Sastra Inggris: Sebuah Analisis Swot”.



G.9 Memfasilitasi Pelatihan Menulis

Selain tiga kali seminar bulanan yang diketuainya untuk mempersiapkan dosen muda untuk studi lanjut di manca negara sejak tahun 2006 seperti yang sudah diutarakan sebelumnya, tanggal 16 Maret 2007 dia juga mewujudkan tulisan Pendekatan Kualitatif-Kuantitatif dan Pemaduannya dalam Mewujudkan Penelitian Linguistik Berbasis Cultural Studies dalam Monthly Seminar of Letters Faculty (Series II) yang amat membantu para dosen muda untuk membuat proposal penelitian ke manca negara. Melalui SK Rektor No: 12331/XIII/A/Unand/2008, Sawirman juga mengetuai pelatihan penulisan ilmiah untuk para staf dosen di Universitas Andalas tahun 2008.



G.10 sebagai Tim Ahli

Sawirman pernah dipercaya sebagai Tim Ahli dalam dua penelitian Hibah Strategis sesuai Prioritas Nasional yang diketuai oleh (1) Drs. Josefino, M.Si., Dip. App.Ling tentang pekerja outsourcing untuk pengentasan kemiskinan di Sumatera Barat dan (2) penelitian Khanizar, S.Sn., M.Si. tentang Anjal dan Gepeng di Sumatera Barat.



G.11. Pembimbingan Mahasiswa

Saat ini melalui “Buka Praktek Dokter”-nya dia sudah membimbing dan menguji ratusan mahasiswa Strata I dari berbagai jurusan (Sastra Inggris Unand, Sastra Jepang Unand, Tadris IAIN Imam Bonjol Padang). Tiga mahasiswa Strata II Magister Linguistik Unand dan satu Mahasiswa Strata III (Doktor) Wacana Sastra Universitas Udayana tahun ini juga dibimbing oleh pencipta Format Penilaian dengan format ICT sederhana yang sudah diaplikasikan sejak akhir tahun 2007 di Universitas Andalas ini.

Beberapa draf buku ajar sudah diselesaikan tetapi baru dua buku ajar yang Insya Allah siap beredar di akhir tahun ini. Sejak 2006 sampai sekarang, Sawirman sudah pernah memegang 27 (dua puluh tujuh) mata kuliah di Program Magister Linguistik dan Strata Satu Universitas Andalas.



G.12 Penatar Pekerti/Applied Approach (AA)

Sejak tahun 2007 hingga sekarang, dia juga diserahi tanggung jawab sebagai instruktur dalam pelatihan Pekerti (pelatihan pengajaran untuk dosen muda) dan Applied Approach (pelatihan pengajaran untuk dosen senior) yang diadakan secara rutin oleh Universitas Andalas di bawah naungan P3AI of Universitas Andalas. Sejumlah topik yang pernah dipresentasikannya adalah (1) pada AA XXIX bertemakan Constructivism, forum Pekerti XVII bertemakan Dasar-dasar Komunikasi, selanjutnya pada Meret tahun 2008 di forum AA XXIX bertemakan Alternative Assessment, 20 Agustus 2008 di forum Applied Approach Workshop XXXIV bertemakan Alternative Assessment, 28 Agustus 2009 di forum yang sama dengan tema Dasar-dasar Komunikasi dan Keterampilan Mengajar, 16 April 2009 di forum PEKERTI XXII bertemakan Evaluasi Hasil Belajar, 29 mey 2009 di forum PEKERTI XXII dan XXIII bertemakan Dasar-dasar Komunikasi dan Evaluasi Hasil Belajar, di forum PEKERTI Workshop XXIII 25-29 Mai 2009 bertemakan Evaluasi Hasil Belajar, di forum AA XXIX bertemakan Kontrak Perkuliahan, dan 1-4 Juni 2009 dan 21 juli 2009 di forum Applied Approach XXXVI dan forum Applied Approach XXXVII mengusung tema yang sama Alternative Assessment.



G.13 Reviewer

Dengan karir yang cukup bagus tersebut dia pun dipercaya oleh Unand dan Lembaga Penelitian sebagai Reviewer. Terhitung sejak tahun 2006 hingga 2008, editor ahli jurnal Linguistika Kultura sudah diminta sebagai reviewer dalam DIPA Research Reports, BBI Reports/(Young Lecturer Category), dan Hibah Bersaing and Fundamental Research. Namun, di bidang kepenulisan dia pun aktif sebagai editor ahli Working Papers in Edita Pusat Informasi dan Dokumentasi (Pusindok) Universitas Andalas.



G.14 Penelitian

Di bidang penelitian Sawirman juga aktif sebagai ketua peneliti. Sejak tahun 2006 hingga 2009, Sawirman sudah mengetuai sejumlah penelitian, yakni (1) Teaching Grand of Dikti (tahun 2006), (2) Kajian Keberadaan Sekolah Unggul/Kelas Unggul untuk Peningkatan Mutu Pendidikan di Sumatera Barat (dibiayai Balitbang Sumatera Barat tahun 2007), (3) Hibah Bersaing Dikti berjudul Simbol Lingual, Simbol Material dan Wacana Fotografis serta Kontribusinya kepada Kebijakan Nasional dan Revisi Undang-undang Antiterorisme (tahun 2007). Di tahun 2008, Sawirman mendapat dua award dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Sumatera Barat dalam tulisan berbasis penelitian berjudul Profil dan Multiefek Pariwisata Sumatera Barat (tahun 2008), Seni Tradisional sebagai Aset Pariwisata Sumatera Barat. Tahun 2009, yang bersangkutan mengetuai penelitian berjudul Program Pengembangan Pembelajaran Linguistik Berbasis Kompetensi dan Cultural Studies menuju Pembentukan Kurikulum Magister Linguistik dan Mazhab Linguistik Universitas Andalas melalui sponsor Hibah Bersaing DP2M DIKTI.



G.15 Makalah dan Artikel Ilmiah

Untuk urusan tulis menulis artikel, sang pemenang Award peneliti muda Universitas Andalas tahun 2008 ini tidak perlu diragukan. Memasuki tahun 2008, 25 Januari dia diundang sebagai pembicara oleh Universitas di Plaza Rocy Hotel yang bertemakan ’Jadikan Ancaman sebagai Peluang: Overview Pengembangan SMA di Sumatera Barat’. Kemudian masih pada tahun yang sama beliau dipercaya sebagai Learning Consultant for Lecturer Staff at Letters Faculty, namun fenomena itu tidak memupuskan semangatnya untuk berbuat. 11 Juni 2008 dia mulai mempromosikan paradigma barunya, dengan tema ‘Menciptakan Paradigma Wacana Berdimensi Cultural Studies (Disebut dengan “Eksemplar 135”)’ dia mewakili Fakultas Sastra dalam Selection Forum of lecturer achievement yang diadakan oleh Universitas Andalas, 21 Agustus 2008 disambung dengan Workshop of Applied Approach dengan judul e-135 sebagai Model Penilaian Alternatif Mata Kuliah Wacana, juga diadakan oleh Universitas Andalas.

Tidak berhenti di situ, Sawirman juga dilirik oleh Universitas lain seperti STAIN. 27 Agustus 2008 dia diundang sebagai pembicara di STAIN dengan tema E-learning, E-book, E-journal, E-mail: Strategi Belajar di Perguruan Tinggi, berlanjut kepada FBSS UNP sejak tangal 10-11 Oktober 2008 dalam ‘A National Seminar on Languages Literature and Language’ dengan topik pembicaraan Selamatkan Linguistik dengan e-135.

Di bidang kepenulisan (artikel dalam buku editor), Sawirman juga ikut andil menulis “Cultural Studies dan “Kemerdekaan Linguistik” dari Ranah Positivis, Nomotetis, dan Fondasionalis” serta “Kajian Linguistik Indonesia Kehilangan Esensi: Promosi Wacana Politik dan Eksemplar 135” yang masing-masingnya diterbitkan oleh Universitas Udayana tahun 2007 dan Universitas Andalas tahun 2009. Sementara itu, di jurnal Linguistika Kultura sendiri tahun 2008, Sawirman pernah menulis artikel review, antara lain berjudul “Teori Komunikasi Anna Wierzbicka Berbasis Cultural Studies”, “Filsafat Wacana Berbasis Cultural Studies Paul Ricoeur”, “Suprasegmental sebagai Lahan Cultural Studies” dan “E-135 dan Filsafat Seni Neo-formalisme Berdimensi Cultural Studies di Mata Noel Carrol”.

Kemudian, sebagai pimpinan editor jurnal, beberapa buah tulisan juga dikeluarkan Sawirman, antara lain berjudul “Wujudkan Mazhab Linguistik/Sastra di Indonesia”, “Tipologi Bahasa dan Wacana Perbudakan dalam “Eksemplar 135” dan Cultural Studies”, “Wacana Dakwah dalam Ranah Cultural Studies dan E-135”, serta “Memposisikan Halliday dalam Frame Cultural Studies dan E-135”.

Sawirman juga menulis beberapa buah artikel di jurnal yang berbeda di Indonesia di antaranya INDONESIAN JOURNAL OF CULTURAL STUDIES tahun 2006 dengan judul artikel “Eksemplar 135” dalam Teks Politik Tan Malaka (Sebuah Paradigma Alternatif “Cultural Studies”) dan dalam jurnal APRESIASI SENI tahun 2008 dengan judul artikel Wacana/Seni Tradisi: Apresiasi Cultural Studies Menuju Wisata Budaya Sumatera Barat. Selanjuntya dia juga menulis artikel fundamental di Jurnal Linguistika Kultura tehitung sejak 2007 hingga 2008 dengan judul artikel “Cultural Studies: Dimensi Pengembangan Linguistik Masa Depan”, “Eksemplar 135”: Embrio Mazhab Linguistik Unand Berdimensi Cultural Studies”, “Hermeneutika: “Payung E-135” Merangkul Cultural Studies”, ”E-135 Mempertalikan Paradigma (Formalis, Kritis, dan Cultural Studies)“.



G.16 Kiprah dalam International Forum

Selain pernah mengikuti Kongres 22nd Annual Applied Linguistics Association of Australia (ALAA) Congress, tanggal 19 Juli hingga 15 Agustus 2006 dalam kegiatan The Estimation of the Annual Risk of Tuberculosis Infection in Different Provinces of Indonesia yang diadakan oleh WHO and Department of Health Indonesia, Sawirman dipercaya sebagai salah seorang interpreter. Sawirman juga ikut terlibat dalam meliput forum PrepComm IV bulan Mei sampai Juni 2002 yang disponsori oleh PBB (UNITED NATIONS) dengan tema World Summit on Sustainable Development (WSSD). Di antara report yang pernah ditulis oleh Sawirman yang dimuat dalam Bulletin IPF adalah (1) Indonesia Needs Integrated Water Policy 26 Mei 2002, (2) A Drop of Water Means a Lot of to the Walking Skeletons 27 Mei 2002, (3) Whoever Caused the Damage Must Pay for It 3 mei 2002, (4) US$ 290 in Aid Drowns 10 Villages 1 Juni 2002, (5) On the Sexual Exploitation of Children 4 Juni 2002, (6) We Need a National Commission on Children 4 Juni 2002, (7) Fight Neo-liberalism 5 Juni 2002, (8) Indigenous People Fight for Their Rights 5 juni 2002, dan (9) Indonesian Minister of Welfare Tough on PREPCOMM IV 7 Juni 2002.

Sebagai salah seorang yang berani membuat pardigma baru, penulis tulisan“Presiden Iklan RI” dalam Padang Ekspres ini terus aktif melakukan promosi e-135, baik di blog maupun di jurnal. Di dalam blognya, Sawirman telah memunculkan beberapa tulisan terkait tentang e-135 sehingga blog tersebut dinamakannya dengan sawirman-e135.blogspot.com, sementara di dalam berbagai jurnal, puluhan tulisan bertemakan e-135 sudah diuntai.



G.17 Awards

Sawirman juga pernah memperoleh beberapa Award, antara lain (1) 18 Maret 1995 sebagai the Best Graduate/as having achieved the Highest Grade Point Average in English Diploma Graduate, on March 18, (2) 4 Agustus 2005 sebagai The Best Graduate/as having achieved the Highest Grade Point Average of Doctorate Graduate oleh Universitas Udayana, (3) Agustus 2007 To represent Faculty of Letters to follow Andalas University Award oleh Fakultas Sastra Unand, (4) 24 April sebagai The Best Lecturer Achievement of Letters Faculty oleh Fakultas Sastra Unand, (5) 11 Juni 2008 sebagai The Third Winner of Lecturer Achievement in Andalas University Selection 2008 oleh Rektor Unand, (6) Juli 2008 sebagai The Best Researcher of Letters Faculty oleh Fakultas Sastra Unand, (7) Juli 2009 sebagai The Best Researcher Achievement of the Social Category in Andalas University Award 2008 oleh Rektor Unand, (8) Juli sampai Agustus 2008 sebagai The Best Writer in Tourism Academic Papers Category (for West Sumatra Province level) oleh Head of Disparsenibud (Board of Tourism, Art, and Culture) Sumatra Barat, (9) Juli sampai Agustus 2008 The Best Writer in Art Academic Papers Category (for West Sumatra Province level) oleh Head of Disparsenibud, Sumatra Barat .



G.18 Obsesi Lima Tahun ke Depan

Suami dari Yessy Markolinda, M.Repro (Dosen PSIKM Fakultas Kedokteran Unand) ini akan tetap mempromosikan teori linguistik terapan e-135-nya sampai ke kancah internasional, baik melalui Penelitian Post Doktoral atau International Journal maupun melalui International Joint Research. Tahun ini, kata Sawirman dia sudah mengantongi tiga Letter of Support dari salah satu universitas ternama di Australia, tinggal menunggu keputusan dari Dikti ungkapnya mengakhiri. Selamat Berjuang e-135.



September 2009, M. Yunis.


Jumat, 04 September 2009

HIPERREALITAS DAN KEMATIAN INTELEKTUAL

Oleh. M. Yunis

Pengantar
Perkembangan zaman telah membawa segelintir individu hanyut dalam perubahan. Sebagai akibat dari tuntutan zaman yang kian menyesakan, memaksa individu untuk membuang jauh idealisme. Jika tidak, individu tersebut akan tertinggal dan digilas oleh pertarungan global.
Untuk itu, setiap orang berlomba-lomba untuk mencapai pendidikan yang mapan yang berguna sebagai modal di dalam menaungi hidup. Ternyata hal itu sedikit membuahkan hasil, secara berangsur-ansur taraf pendidikan semakin maju dan mungkin tidak jauh tertinggal dengan negara lain. Suatu bukti, semakin banyaknya sarana pendidikan formal bermunculan dalam mewujutkan hal itu. Katakanlah Universitas –universitas swasta maupun negri yang kini telah tersebar di bebagai pelosok. Sarana-sarana pendidikan yang ada tersebut, juga telah mampu menampung dan mempersiapkan calon-calon intelektual yang akan meneruskan agenda reformasi. Penulis pikir tidak ada alasan lagi untuk tidak sekolah, kalau kendalanya hanya masalah biaya hal itu bisa diatasi dengan adanya beasiswa dan tergantung lagi pada individu tersebut. Arti kata, hampir tidak ada lagi generasi muda yang tidak mengecap bangku pendidikan, minimal setingkat SLTA, mudah-mudahan tidak ditabrak mesin simulakrum.
Sejalan dengan itu, sungguh disayangkan perkembangan itu tidak diimbangi oleh pengembangan kualitas, lebih banyak bergerak dan terarah pada pencapaian quantitas. Sehingga, tidak mampu menciptakan sumberdaya manusia yang bisa bersaing dan diperparah dengan ketersediaan kesempatan kerja yang sangat hyper-minim. Alhasil, lahirlah penggangguran-pengangguran bersertifikat, baik setingkat SLTA maupun sarjana. Kalau dulu, pendidikan setingkat sarjana sudah dapat membuka peluang untuk bekerja di sektor manapun. Tapi, sekarang seperti dibilang sebagian orang, tamatan sarjana samahalnya dengan tamatan SLTA dulu, tamatan SLTA dulu samahalnya dengan tamatan perguruan tinggi sekarang dan tamatan SMK dulu sama halnya dengan tamatan Politeknik(D3) sekarang, begitu pula sebaliknya. Jadi, tamatan SLTA sekarang tidak akan berarti apa-apa jika tidak dibarengi dengan skil, skil itu akan dapat diperoleh dengan kursus atau memilih untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Untuk memperoleh skil setingkat perguruan tinggi harus pula melanjutkan pendidikan ketingkat Master. Begitulah seterusnya, selalu terjerat ke dalam lingkaran setan yang berkelanjutan.
Sekilas pandang kita perhatikan, tamatan SLTA masih diperlukan eksistensinya. Sebagai bukti, banyaknya perimintaan-permintaan perusahaan, akademi-akademi ataupun PEMDA terhadap tamatan SLTA. Tapi setelah bergelimang di arena tersebut, pekerjaan yang dialakukan hanya sebatas oke bos dan menunggu tanda seru (!) dari atasan. Mungkin hati berontak, tetapi itu sudah menjadi tugas seorang buruh kapitalis. Alhasil, kreativitas dan imajinasi tidak akan pernah ada, akhirnya sipekerja lebih gampang terjerumus kejalan pintas yang berupa korupsi atau sejenisnya. Kejadian seperti ini adalah wajar, sebab gaji yang diharapkan tidak seimbang dengan kebutuhan hidup.
Begitu juga halnya dengan tamatan perguruan tinggi, ketika disuguhkan kepada lapangan pekerjaan yang tidak sesuai, kejadiannya tidak akan jauh berbeda dengan hal yang di atas. Katakanlah tamatan sarjana pertanian dituntun oleh takdirnya bekerja dperusahaan farmasi atau perusahaan periklanan atau tamatan sarjana ekonomi, sastra, hukum yang menjalani takdirnya di arena yang sangat jauh dari tuntututan ilmu yang diperoleh di perguruan tinggi. Hal ini, bukannya tidak boleh, persoaalannya muncul ketika hadir sebuah pertanyaan, apakah keahlian mereka ada di bidang yang ditekuni itu? Sebab, tuhan pun sudah menegaskan, ‘’jika sebuah pekerjaan diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, maka bersiap-siaplah menunggu kehancuran’’. Lebih menyedihkan lagi sipekerja mengetahui akan hal itu, tetapi tidak ada pilihan lain terpaksa jualah ditapati jalan tersebut walau selangkah demi selangkah. Mudah-mudahan saja konflik batin yang ditimbulkan tidak akan mempengaruhi intensitas pekerjaan yang akan dilakukannya sehari-hari.
Memang realitas sosial sangat berbeda dengan yang diharapakan, tetapi sesungguhnya hal itu telah dijadikan pelarian dari rasa keputus asaan. Karena kalimat ini diyakini mampu menghibur diri untuk sementara waktu, dan tanpa disadari kalimat itu juga mematikan karakter seseorang secara berangsur-ansur. Diperparah lagi bahwa kita juga tidak menyadari ataupun menyadari tetapi pura-pura tidak sadar bahwa kegagalan-kegagalan itu telah bercokol, dan dilengkapi dengan pembunuhan karakter yang dititipkan melalui budaya cemooh, borokrasi yang berbelit-belit serta komitmen yang samar-samar.
Mungkin ini hanya sebagian fenomena yang terterjadi terhadap sistem pendidikan kita yang mencoba mengejar quantitas bukan kualitas, banyak kalah dan jarang menang, kalaupun menang tapi hanya menang secara gotong royong seperti buih di lautan. Sementara itu, untuk bersaing secara proposional tidak punya keberanian sebab skil yang dimiliki tidak mencukupi untuk itu. Dampak negatif yang ditimbulkannya adalah semakin banyaknya berjatuhan korban-korban dari kegagalan intelektual yang diciptakan oleh sistem pendidikan yang selama ini telah diterapkan. Pilihan selanjutnya sangat tergantung pada kita, mau menjadi mayat hidup atau menghidupi intelektual. Jika ingin menjadi mayat hidup, ya kita terimalah hidup sebagaimana adanya. Jika mau menghidupi intelektual, maka sangat diperlukan perubahan terhadap sistem pendidikan kita, kita harus jemput bola dan berbalik mengejar kualitas.

Kerangka Berpikir
Awalnya hanya semiotika (Zoest, 1993) , namun berangsur-angsur terlau menjemukan jika terlalu lama berkecimpung pada tataran struktural sebab ilmu itu sebenarnya masih terputus setelah kematian Charles Sanders Pierce, Sausure berhenti pada tataran Langue dan Parole dan begitu pula Barthes tertumpu kepada mithologies. Padahal teori itu masih bisa dikembangkan seperti yang direalisasikan Umberto Eko dalam pandangannya tentang dunia Hiperealitas yang tercermin dalam bukunya Tamasya Dalam Hyperrealitas (1987) . Sejalan dengan itu Piliang menyebutnya dengan Hipersemiotika, yang mana penanda dan petanda bermutasi menjadi tanda lain. Ada yang dinamakan dengan tanda sebenarnya yang mempunyai hubungan relatif simetris dengan realitas/tanda kejujuran, tanda palsu atau tanda gadungan atau hanya menyerupai, tanda dusta yang mana tanda yang menggunakan tanda dan penanda yang salah, sementara realitas yang dicapai juga salah, tanda daur ulang tanda yang aneh tapi bermanfaat bagi dunia kekinian, tanda buatan yang sengaja diciptakan lewat teknologi mutakhir, dan kemudian tanda ekstrim sebagai tanda yang hiperbola (Piliang, 2003).Begitulah semiotik itu berkembang sesuai dengan keadaan zaman dan realitas yang tampak dan dapat dirasakan.
Tetapi sebelum Piliang dan Eco, Guattari dan Deleuze (Piliang, 2004) juga telah mebahas konsep yang sama, mereka berbicara tentang keruntuhan tembok transenden dengan immanen, dua konsep ini tidak lagi dalam status oposisi biner, keduanya telah membaur. Kemudian Budrillar dalam kerangka patafisika, istlah ini digunakannya untuk menjelaskan realitas yang melampoi fikisa dan metafisika sekaligus. Kemudian simulakra Budrillar juga merangkan, hal-hal yang tidak tercapai oleh pengetahuan ternyata sudah bisa dihadirkan lewat kecanggihan teknologi artifisial virtual. Menghadirkan Karl Marxs dalam dunia simulasi sangat memungkin, ataupun Plato pasa zaman sekarang adalah wajar dan tuhan pun dapat diserupai dalam simulasi. Budrillar mengataknya sebagai solisi imajiner yaitu proses menjadikan suatu yang non-empiris, tidak mengobjekan lewat kecanggihan teknologi simulasi sehinga menjadi sebuah fakta, dapat dilihat, dirasakan, didiami meskipun tanpa melalui hukum fisika sebagai sebuah benda (Piliang 2004;69) Inilah simulasi seperti yang dikatakan Budrillar itu, yang mana realitas diciptakan tanpa pondasi dan realitas. Pas betul seperti konsep yang hasilkan oleh Postmoderen, yang mana Piliang menjealaskan dalam Dunia yang Dilipat, bahwa Postmoderen akan menghasilan dua buah konsep yang saling bertentangan, pertama Ideologi yang timbul tanpa asal usul, tanpa pondasi, tanpa makna, akhirnya mengarah kepada tindakan yang ekstrim dan tidak menghargai idelisme. Berbahayanya ideologi ini telah merambah ke kota-kota besar di dunia, dalam alam nyata, dampaknya masyarakat komsumer menolak aturan moral yang mengikat, mereka berusaha membuat aturannya sendiri dalam dunianya sendiri, beralih ke dalam isu-isu lokal dengan gaya dan corak berlainan. Contohnya saja seks bebas yang melanda remaja di kota-kota besar. Di sinilah mulai tumbuhnya geneologi moral yang pernah diungkit oleh Nietzche.

‘’...yang baik dan yang jahat adalah buatan sejarah. Baik jahat muncul dari sentimen orang-orang kalah secara moral, tidak obahnya merupakn pembalasan dendam yang menggumpal. Padahal moral sebelumnya adalah sesuatu yang kodrati datang dari langit, sekarang moral merupakan sesuatu yang dihidupi di dunia dan hanya lahir dari rahim-rahim kepentingan duniawi saja...’’ (Nietzche dalam Piliang, 2004; 39)

Di dalam geneologi moral tersebut digambarkan manusia resentiment membenci tapi takut bertindak, sehingga kebencian tersebut meresapi segala yang dipikirkan dan diperbuatnya. Orang tahu cara memafaafkan tetapi tidak tahu kekuatan melupakan dan akhirnya menimbulkan dendam, mengingat-ingat masa lalu yang pernah terjadi. Akibatnya, kekuatan resentiment tersebut berbalik kedalam dan menciptakan seorang subjek emosi-emosi yang tidak diungkapkan, si aku (subjek moralitas) yang dilahirkan dari kekecewaan, suatu hasrat yang lahir dari penyangkalan pengakuan (Poole, 1993; 58).
Kemudian Nietzche membebaskan moral tersebut dari penjara sejarah lewat nalar putisnya, sebab selama ribuan tahun moral telah terpenjara dalam sejarah. Baginya matinya moral menandakan hidupnya nalar puitis yang bekerja di atas tanah yang tidak berjejak antara yang relatif dan yang mutlak. Memang Nietzche barangkat dari segala penderitaan yang berkecenderungan balas dendam dari orang lemah untuk menciptaan penderitaan yang penuh makna. Sehingga melahirkan para budak yang berkuasa dengan gaya moralnya sendiri. Apabila impul-impul itu itu tidak dicegah dan tidak dijinaknan akan terjadi subordinasi sehingga menimbulkan kefanatikan yang sangat berbahaya, dalam hal ini yang patut dipersalahkan adalah kontrol sosial dari masyarakat. Sebab kekuatan itu tidak hanya berakibta melemahkan individu yang kuat malahan juga dapat melemahkan budaya luas (Ritzer, 2003: 42). Jadi, yang dinginkan Nietzche sebenarnya individu yang berdaulat untuk menciptakan intelektual yang handal.
Sedangkan ideologi kedua yang ditimbulkan adalah ideologi yang berpondasi, berdasar, dan menghargai idelisme, menghargai perbedaan, multikultural? dan segala macamnya. Masyarakat kembali kepada nilai-nilai tradisional yang bersifat lokal dan beraturan konvensioanal. Jika seperti ini, apakah Postmodernisme tersebut telah gagal mengembangkan sayapnya? Sebab yang dicapai Postmoderen itu kurang lebih sama dengan yang dikemukakan Guattari dan Deleuze atas keruntuhan tembok transenden dengan immanen, Postmoderen menginginkan runtuhnya narasi besar dan melahirkan narasi kecil yang bersifat lokal, menghilangkan konsep dunia Timur ataupun Barat. Lalu bagaimana dengan Edwar Said yang mempertahankan Dunia Timurnya? (Edward, 1977).
Memang konsep ini sudah sering penulis singgung baik di dalam tulisan Koran maupun saat presentasi di dalam mata kuliah Teori Linguistik Kebudayaan dan Semiotika. Tetapi penulis rasa masih banyak yang harus dijelaskan di dalam konsep ini terlebih lagi terhadap ketidakmautahuan sebagian individu. Penulis masih ingat atas vonis yang penulis terima ‘’aliran sesat atau mungkin menyesatkan’’. Namun, julukan itu dirasa sangat membantu, sebab setiap kali julukan itu dilabelkan, maka setiap kali itu pula pengkajian lebih dalam terhadap realitas yang ingin penulis singkap.
Penulis masih ingat di saat salah satu teman di Pasca Linguistk Kebudayaan Unand mengemukan bahwa Hyperealiats itu belumlah terjadi, dan masyarakat yang mana yang tergolong kedalam Hyperealitas tersebut? Hal ini cukup menjadi bukti betapa pentingnya kajian terhadap realitas kerkinian membutuhkan penerangan, sebab jika tidak segera dimulai maka generasi intelektual setelahnya akan terus berpikir perskeptif kata lain dari Postskeptif? atau benar salah. Menurut penulis cara berpikir ini berkembang dari konsep skeptis yang dikemukana Rene Des Cartes dengan konsep cogito orgosumnya . Sedangkan perskeptif adalah sebuah doktrin yang sudah terlalu lama berkembang dan mendarah daging, anehnya cara berpikir itu diwariskan dari generasi hingga generasi sekarang.
Namun, tebalnya tembok hagemoni membuat kita memutar kincir otak. Bagaimana kiranya menaklukan kekuasaan absolut dan menghidupkan kembali intelektualitas? Untuk menjawab hal itu, terdapat 3 cara berpikir yang layaknya dicoba. Pertama berpikir terbalik berguna untuk melawan pembunuh idiologi, kedua berpikir menyimpang berguna untuk melawan tembok hagemoni, ketiga berpikir melompat berguna untuk melawan pikiran Perskeptif/Postskeptis di atas.
Namun begitu, untuk mencapai tiga pola pikir di atas kita harus mengenyahkan dua cara berpikir yang dapat menghilangkan realitas itu, sebab hal itu itu dapat menghambat kita untuk melakukan perlawanan terhadap being yang diciptakan antologi citraan yang selama ini telah bercokol dan membunuh intelektual itu sendiri, pertama berpikir perskeptif seperti yang telah diterangkan di atas, kedua tidak berpikir sama sekali. Mungkinkah dua cara berpikir mampu menentukan terwujudnya keadilan atau tidak?

Politik Sejarah
Kita mulai dari yang sederhana, yaitu ‘’sejarah’’. Sebab sejarah panjang negara ini tentu ikut melatarbelakangi sistem pendidikan kedepan, seperti tindakan-tindakan saparatis daerah terhadap pemerintahan pusat yang sentralistik, muncullah PRRI di Sumatra tengah, DI/TII, GAM, RMS, PARMESTA dan lain sebagainya. Akibat dari itu muncullah Ziscofernia terhadap seluruh daerah di Indonesia. Pasca Komunis di Indonesia melahirkan orde baru yang selalu di dalam terdapat ketakutan tanpa batas, sehingga anak-anak bekas PKI atau tertuduh PKI dideskriminasikan, larangan untuk menjadi pegawai pun direalisasikan, barulah pasca kejatuhan Suharto sebagai simbol kestabilan nasonal hukuman itu dihapuskan. Namun, di tingkat daerah-daerah, sejarah itu tetap berlanjut seperti yang direncanakan. Baik keturunan PRRI maupun PKI adalah sama-sama orang yang bersalah dan sekaligus sebagai korban politik, adu domba, padahal mereka tidak tahu apa-apa dengan masa lalu yang baru saja kemaren terjadi. Natsir pernah menyatakan, ‘’Saya tidak takut dengan ribuan tentara pusat, tapi yang saya takutkan OPR , mereka itu tahu seluk beluk hutan, tahu gang-gang kecil ataupun jalan-jalan setapak di tengah hutan, karena OPR adalah dari kita!’’. Apa yang dinyatakan Natsir itu adalah benar, tentara OPR adalah korban, hansip yang dipersenjatai itu hanya mencari keselamatan dari perang politik tanpa sedikit pun dia tahu bahwa meraka dikomandoi oleh PKI yang membonceng dengan tentara pusat .
Kemuadian saat kedatangan Tentara Pusat ke Sumatra Tengah untuk menumpas PRRI, ada sedikit kebanggan dari masyarakat karena yang datang itu Devisi Barwijaya dan Silingi Wangi, masyarakat merasakan tiada pelecehan atau pun kekasaran tentara itu kaepada masyarakat. Namun, setelahnya devisi Diponegoro pimpian A. Yani datang menggantikan, prasangka masyarakat yang masih sama terhadap tentara pusat akhirnya berubah telak setelah para penduduk tidak bersalah ditembaki, para wanita dilecehkan, diperkosa, perempuan laki-laki dipaksa menceraikan istrinya kalau tidak ditembak, lalu istrinya dipakai layaknya istri sendiri tanpa dinikahi . Wajar saja seorang suami yang dipaksa bercerai dengan istrinya kalut dan lari kehutan kemudian bergabung dengan tentara PRRI. Lalu Rumah Gadang dijadikan pusat pelacuran yang mana wanita Minang dipaksa menjadi pekerjanya. Alhasil, PRRI kalah yang ditutup dengan penyerahan diri M. Natsir yang direncanakan turun 25 september pada jam 2 namun rencana itu meleset Natsir sampai di bawah (di palembeyan) jam 4 sore, sebab di dalam perjalanan di waktu menyeberangi sungai yang arusnya sangat deras (Batang Masang) Natsir hanyut. Namun, hal itu jugalah yang menyelamatkan Natsir dari kematian, seandainya Natsir sampai di bawah jam 2 siang dapat dipastikan Natsir tewas, sebab para tentara sudah diperintahakan pinpinan pusat untuk menembak siapa saja yang turun dari hutan pada jam 2 siang itu. Anehnya yang menjadi komando pos penjagaan di sana adalah ajudan M. Natsir sendiri sewaktu beliau menjabat perdana mentri di Yogyakarta, maka sibak tangis pun memecahkan suasana ketika itu. Namun, berbeda dengan Dahlan jambek sebagai seorang Ustad, dia juga seorang Tentara yang idealis, dia tetap tidak mau menyerah. Dahlan jambek menginginkan dia ditangkap diadili atau ditembak di tempat, akhirnya Dahlan jambek tewas di tangan OPR pimpinan Sugandhi di Desa Lariang Aia Kijang, desa terakhir Agam termasuk Kumpulan daerah Pasaman . Lalu apa bedany OPR dengan Suwardi Idris sebagai Jurnalis Vokal dari Harian ‘’Nyata’’ ketka itu? Selaku wartawan yang idealis, dia pun ikut terjebak di antara dua dunia, akhirnya Harian Nyata terkubur hingga sekarang.
Namun, sejarah itu diputus dari realitasnya sendiri, ditegaskan PRRI sebagai pemberontak telah kalah perang, PRRI sesungguhnya bukanlah pemberontak terhadap negara, Natsir sendiri menyatakan ‘’kita tidak akan membuat negara di atas negara, sekurang-kurangnya ini peringatan terhadap Sukarno yang telah melibatkan PKI di dalam pemerintahan, kita tidak melawan APRI tetapi kita melawan tentara Sukarno dan antek-anteknya’’. Meskipun Dewan Banteng mendesak untuk mendirikan sebuah negara yang terpisah, namun Natsir tetap bersikeras terhadap prinsipnya. Diawali trauma PRRI itulah intelektual pertama mati di Minangkabau.
Setelah PRRI menyerah, pandangan dialihakan kepada PKI sebagai sasaran politik, PKI dideskreditkan, musuh persatuan dan kesatuan, dicap sebagai perusak ideologi negara. Maka ditanamkanlah kebencian terhadap PKI dari segala penjuru, media-media, seperti pemutaran filem G 30/SPKI setiap tanggal 30 September. Dilambanglan Gerwani menyayat-nyayat muka para jendral, menari-nari bugil di hadapan para jendral, A. Yani termasuk salah satunya korbannya. Sedangkan Nasution yang dulu berada dibelakang A. Yani semasa PRRI, dihukum seumur hidup, disisihkan dari percaturan politik Indonesia. Nasution sebagai jendral hebat tetapi berlindung dibalik mayat Ade Irma Suryani yang masih 5 tahunan. Nah, kematian kembali mengunjungi generasi intelektual kedua.
Barulah tahun 1998 yang dipelopori seluruh mahasiswa Indonesia hancurnya simbol kestabilan nasional, Suharto jatuh tapai, namun beberapa orang mahasiswa harus meregang nyawa ditangan peluru-peluru tajam aparat, Reformasi!. Setelah itu para aktifis 98 mendapatkan tempat di dalam kekuasaan, dihargai perujuangannya, tidak ada aktifis 98 yang gagal secara ekonomi, kemudian terputuslah kembali sejarah itu hinga di sini. Orang lupa akan Natsir, Siti Mangopoh, PDRI dan segala macamnya. Sekali lagi intelektual generasi ke tiga mati.
Ternyata realitas telah diwarnai kematian demi kematian intelektual, dengan alasan trauma dan segala macamnya. Akibatnya, Minangkabau sebagai ujung tombak kemerdekaan terputus dari akarnya sejarahnya dan semua berkiblat kepada pusat. Ternyata. Keadaan itu melahirkan pemberontak baru dialah ‘’seniman, penyair, budayawan, satrawan’’, kembali menorehkan ketajaman ujung-ujung penanya untuk menggugat ketidakadilan dan meruntuhkan tembok Hagemoni. Seiring waktu berjalan penguasa kembali risih terhadap kehadiran mereka, maka dibentuklah genta budaya dan DKSB , yang mana di dalamnya tergabung para seniman, budayawan dan segala macamnya itu. Sekali lagi intelektual ke empat kembali mati. Nah, kematian demi kematian itu tetap terus belanjut hingga sekarang, namun penamaan dan tingkatannya sudah agak berbeda dan sedikit elite, sebab kematian itu mulai merayap memasuki dunia akademis.

Tamasya Realitas
Kita kembali ke utopia akan kemajuan yang tidak pernah terealisasikan, masyarakat komsumer ingat akan nostalgia masa lalu, sehingga mengusung lahirnya kembali tanda tanya? Bahkan yang dihasilkan tanda yang berhubungan relatif simetris dengan realitas/tanda kejujuran, tanda palsu atau gadungan, tanda dusta yang penanda salah dan realitas yang dicapai juga salah, tanda rekontruksi/Dekontruksi aneh tapi bermanfaat bagi dunia sekarang, tanda ciptakan lewat teknologi mutakhir, dan tanda ekstrim yang dianggap tanda hiperbola (Piliang, 2003). Sepaham dengan Jean Baudrillard, tiada salahnya kita menikmati hidup dalam dunia simulasi, menikmati hidup dalam Hyperealitas, sebab simulasi itu sendiri menurutnya tidak hanya melipatgandakan ada (being), tetapi sudah menciptakan model yang tanpa asal usul atau realitas, Hiperealitas. Tanda tidak ada lagi acuannya dalam realitas, semuanya berupa penanda. Maka inilah yang dikatakan Piliang (2006) manusia terjebak dalam bujuk rayu dan ketersesatan tanpa bertujuan, citraan adalah segala-galanya bagi manusia. Tanda menciptakan mitosnya sendiri dalam nostalgia dan mengambil alih makna secara atuh, hayalan-hayalan semu tetapi terlihat sangat nyata. Meskipun simulasi mulanya dianggap Baudrillard sebagai strategi intelektual, tetapi perkembangannya membawa dampak menuju hiperrealitas sebagai dampak dari pengalaman kebendaan.
Apakah maksud Piliang dengann masyarakat konsumer terjebak ke dalam belantara bujuk rayu? Berpijak pada awal pembahasan di atas bahwa tembok transenden dengan immanen telah melebur, sulit membedakan mana yang benar mana yang salah, mana yang baik atupun buruk, sesuatu itu buruk jika tidak sesuai dengan cita pribadi, semua itu baik ketika bersesuaian dengan kepentingan duniawi, bukankah Nietzche telah menjelaskan moral telah dilahirkan dari rahim-rahim kepentingan duniawi? Tuhan dilahirkan lewat dunia citraan, seperti media masa. Masyarakat konsumer menggilai apa yang ditawarkan perkembangan teknologi, nafsu sebagai objek. Masyarakat berani membayar mahal asalkan dapat tampil di hadapan orang banyak, kalau perlu dengan harga diri, persoalan moral itu urusan pribadi.
Sejalan dengan apa yang dikatakan Heidegger dalam Piliang bahwa dunia moderen telah dijajah oleh dunia citraan, yang diproduksi lewat kemajuan teknologi sains untuk mengubah potret dunia dan teknologi tersebut menentukan pandangan dunia (Word view) manusia moderen. Keberadaan being hanya dalam representasi itu dianggap sebagai yang real. Tidak sebatas itu, manusia digiring ke dalam sebuah dunia yang mana dikendalikan oleh antologi citra (Levin dalam Piliang, 2004; 81) sebagai predator pamangsa yang berbahaya atas keberadaan being, akhirnya being terputus dari sejarah dan asal muasalnya. Predator itu ialah Media massa yang telah mampu merepresentasikan dirinya dan terobsesi oleh citarnya sendiri. Hal ini menurut Piliang terjadi karena kecendrungan mendefinisiskan being lewat bahasa dan kategori adanya sendiri, Media telah membentuk dunianya sendiri dengan manusianya sendiri, melampoi pandangan dunia dan eksistensi manusia didefinisikan. Di saat Antogi citraan menguasai pikiran-pikiran mangsanya maka pada saat itu pulalah eksistensi manusia itu mati, yang dihasilkan manusia-manusia image dan dunia image yang dihasilkan oleh citraan tersebut. Bayangkan berapa banyak kepala yang terantai dan salah satu ujung rantai itu terikat pada sauatu titik yang disebut mata bola raksasa, kita bisa mengumpamakannya sebagai sebuah mata hari sebagai pusat planet dikelelingi terus menerus oleh planet-planet yang ingin mendapatkan cahayanya, seperti itulah manusia yang digambarkan.
Layaknya media massa telah mampu memanajemen kerinduan masyarakat konsumer akan kesenangan, kemapanan hidup dan harga diri di mata orang banyak. Media menghadirkan dunia Hyper lewat teknologi simulasi virtualnya. Iklan kondom, alat memperbesar dan memperindah tubuh agar tetap tampil menarik, pemuas nafsu, Cyberspace, Holografi, peresmian lokalisasi, bahkan di Sumbar sendiri telah dimunculkan wacana tersebut. Realitas seperti ini jelas memperlihatkan ketidakkomitmenan terhadap aturan-aturan dan moral, sehingga kepentingan berpindah ke dalam arena Postmoral itu sendiri. Inilah yang sebenarnya yang harus ditakuti di dalam diskursus Potmoderen itu, perayaan besar-besaran ideologi tanpa pondasi dan tanpa asal usul terealisasi sudah di tengah masyarakat kita.
Sejalan dengan itu, yang patut menjadi perhatian adalah spiritualitas. Masih adakah? Sekurang-kurangnya sebagai wacana? Nyatanya spiritual sudah dimapatkan ke dalam program ISQ power, Postspiritual, pelatihan-pelatihan spiritual, spiritual sudah dipisahkan dan sudah direncanakan di dalam dunia yang berbeda. Mencapai titik spirittual di dalam dunia hampa makna dan ketiadaan being adalah suatu yang sangat menjenuhkan, sebab alam pikiran bawah sadar masyarakat simulasi telah terasah tajam kedalam ketersesatan hutan belantara bujuk rayu virtual begitulah yang dikatakan Piliang. Sangat menyedihakn saat melihat wajah islam di televisi, sangat kampungan, anarkis, hantu sudah berwujud dan kelihatan, gambaran syurga neraka dihadirkan lewat media, alhasil masyarakat takut untuk berbuat keburukan karena takut menderita seperti yang didakwahkan media, manusia tidak takut kepada tuhan yang sebenarnya, tuhan berpindah pada citraan (ontologi citra).
Selanjutnya tindakan mengeksploitasi libido dan keindahan tubuh, pinggul, paha, dada, betis dan kepuasan puncak hasrat. Hal itu menjadi unsur utama dalam citra media, dengan seperti itu produk yang ditawarkan laku terjual, ideologi yang digambarkan dilumat habis oleh para penonton yang berumur belasan tahun hingga penonton yang sudah uzur. Saat panggilan sholat yang berwujud irama azan datang, sholat ditunda dulu karena cinta pitri masih tergantung, mumpung sebentar lagi iklan. Di saat suasana sholat berlangsung ingatan ters berpaling kepada sinetron yang sedang berlangsung, takut ketinggalan cerita dan sehingga akan melahirkan Imagologi.
Hal di atas sebuah kenyataan bahwa dunia media telah dianggap sebagai simbol perubahan zaman yang menjanjikan kemakmuran, kesenangan, dan kekayaan. Orang sibuk dan berlomba mengikuti kuis berhadiah, limpahan durian runtuh, kuis telkomsel, kursi panas melioner, ketiban mobil, dan LMN sangat menjanjikan kemapanan. Lalu masyarakat lupa akan pentingnya berusaha mengeluarkan keringat, lalu siapa yang akan berdagang, beladang dan bersawah? Jika masyarakat kita telah bertumpu pada dunia maya. Lalu didikan terhadap anak pun sudah dimapatkan, bisa dilakukan lewat televisi. Kalau dulu keindahan suasana mengaji di surau, hingar bingar seloroh teman sesama besar, belajar mandiri secara alamiah hilang begitu saja setelah peran itu diambil alih oleh media. Anak sudah dibuatkan kamar sendiri di rumah bercampur aduk antara anak perempaun dan laki-laki, alhasil hilang rasa segan menyegani sesama saudara, malahan bisa mempraktekkan apa yang dilihat anak dari media kepada saudara perempuanya sendiri. Dulu, anak yang telah berumur 6 tahun ke atas sangat dilarang tidur di rumah karena malu di rumah ada saudara perempuan, sekarang anak laki-laki dilarang keluar rumah, dibilang oleh orangtua anak kecil dilarang keluar rumah karena tidak baik.
Sejalan dengan itu, para ibu rumah tangga mau menangisi kematian tokoh idola dari pada menangisi tetangga yang meninggal, atau salah satu keluarga yang meninggal. Kehilangan tokoh panutan di media sangat menganggu semangat hidup, setiap hari menangisi artis ngetop yang bercerai denga suaminya sementara ibu rumah tangga lupa mempererat tali perkawinannya sendiri dengan sang suami. Akhirnya ala perceraian gaya bercerainya artis ngetop pun menjandi komsumsi. Lalu simbol kemapanan harus dimiliki oleh setiap keluarga meskipun kreditan, karena hal itu sudah berubah menjadi perjuangan harga diri, sementara itu anak-anak memakai baju compang camping ke sekolah, iyuran sekolah belum dibayar, sudah diusir guru tidak boleh ujian, makan dengan sayur kangkung ditambah ikan 1 dibagi empat. Bagimana mau cerdas kalau makan telur saja satu kali seminggu. Kemudian mengemis untuk meminta bantuan beras miskin, bantuan BBM, sementara rumah sudah dilengkapi dengan motor, mobil dan bahkan berstatus PNS.
Akibat dari itu, ujung-unjungnya masyarakat komsumer terpapah kearah Postsosial , yang mengusung kematian ruang sosial itu sendiri. Hal ini diawali oleh timbulnya fatamorgana sosial yang dihasilkan media, seperti mencari sahabat lewat internet, mencari uang lewat internet, berkelahi lewat internet dan segala macamnya. Sehingga silaturrahmi tatap muka tiada lagi, aura silaturrami tersebut hilang ditelan ontologi citraan itu sendiri. Alhasil, ruang-ruang sosial itu mati dan digantikan oleh ruang realitas media seperti internet, manusia sosial tidak ada lagi karena sudah digantikan oleh manusia imajiner tanpa sosial (individual) dan kebudayaan bermoral itu menjauh karena sudah digantikan budaya imaji (budaya massa).

Postmoral
Geneologi moral itu di awali dengan runtuhnya ideiolgi, pujaan hanya hayalan-hayalan akan nafsu, baik nafsu kebendaan, ekonomi, jabatan hingga nafsu seks. Referensi yang tersisa hanyalah konsumen yang memamahbiak hasil dunia citraan, norma baru hanya menjadi bingkai dalam sistem nilai dan akan terus membingkai, sebab konsumen yang dihasilkan Hipereralitas ini pasif, terjebak dalam lingkaran setan, terperangkap ke dalam dunia penampakan, terbongkar dari akar spiritual, tercerabut dari ideologi dan jauh dari mitos-motos masa lalu yang agamais. Derrida pernah menyatakan telah terjadi pemaknaan penanda sebagai penanda dan bukan sebagai tinanda lagi, di sini tanda kehilangan loyalitas kediriannya, membaur dengan nafsu serakah akan duniawi.
Sangat wajar di negara ini KKN tidak pernah terhapuskan, sebab bagimana pun KKN itu adalah jiwa yang tidak takut dengan sosok Antasari Azar. Dulu tahun 1998 pernah muncul wacana bahwa Mahasiswa takut kepada Dosen, Dosen takut pada Presiden, dan presiden takut pada Mahasiswa’’, awal runtuhnya simbol kestabilan Nasional yang berwujut orde baru. Nah, pasca reformasi realitas sudah berlainan, ormas dan organisasi mahasiswa seperti yang dimiliki aktifis 98 itu ternodai oleh sonior-soniornya yang tidak lain adalah sebagian dari aktifis 98 itu sendiri? Dunia akademis diterobos oleh politik, mahasiswa ikut berkampenye untuk calon Wali Kota atau legislatif, otonomi kampus dari pihak asing sudah terlangkahi.
Beriringan dengan itu, sebuah sifat yang sudah teruji, kekeluargaan dan kegotongroyongan pun menciptakan realitasnya sendiri. Kekeluargaan dimaknai di dalam lapangan kerja, kegotongroyongan dibingkai dalam sebuah ‘’awak samo awak’’, alhasil sitem lama terputus dan melahirkan sitem simulasi, Kolusi, Nepotisme individual dan intrelektual tidak dihargai lagi. Kita tidak bisa mengelak bahwa bantuan-bantuan pemerintah baik di bidang pendidikan maupun kemasyarakatan sering tersampaikan dalam sasaran simulasi, contohnya beasiswa lebih didahulukan untuk pegawai negri dibandingkan orang-orang yang tidak mampu tetapi ingin cerdas. Bagimana mau cerdas kalau untuk makan sehari-hari sulit? Bagaimana mau pintar jika kesempatan untuk belajar hanya diberikan untuk orang-orang mapan secara ekonomi? Inilah yang diciptakan dunia simulasi, Hyperrealitas dalam pelipantan dunia yang digambarkan Piliang tersebut.
Adanya bantuan pendidikan sebanyak 20 %, tetapi yang dibantu dan yang menerima siapa? Hanya parsennya saja yang tersampaikan kepada orang yang membutuhkan (kebohongan intelektual) sementara 20-nya masuk kekantong-kantong yang sudah dipersiapkan, anak dosen, PNS, orang-orang kaya, atau mempunyai orang dalam, mungkin pula keluarga yang diangap bersih dan sangat dihargai di tengah masyarakat, itulah yang wajib dibantu dengan dana pendidikan 20 %. Padahal kemerdekaan negara ini didapatkan atas perjuangan orang-orang yang terpinggirkan secara ekonomi, setelah merdeka jasa mereka tidak dihargai, anak cucunya pun tidak tercatat sebagai anak veteran, mungkin pekerjaan mereka sehari-hari tetap saja keladang, ke sawah atau menarik ojek. Lebih parahnya sejarah mencapnya sebagai orang terlibat (PKI) karena sempat dipenjara tanpa diadili atas tuduhan terlibat dan diasingkan dalam waktu yang cukup lama.
Sejalan dengan itu, lihat juga pergaulan antar remaja, gaya berpacaran, zinah hati hingga zinah kelamin. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh remaja tetapi peminpin terpilih pun tidak ketinggalan. Bermesraan di tempat ramai, di pantai, di muka umum dan anak SMU yang membuat VCD porno? Kemudian berhubugan layaknya suami istri, sudah memanggil papa mama. Di saat terjadi kehamilan di luar nikah kedua pelaku dilindungi, bukannya hukum agama menegaskan bahwa pelaku zinah itu dirajam sampai mati, di usir, bahkan pezinah hnya wajib nikah hanya dengan pezinah pula. Bukankah peraturan juga ikut menyediakan sarana bagi remaja untuk berzinah? Perhatikan di sepanjang panati Padang di saat magrib datang, seiring azan dimesjid para remaja juga azan di pondok remang-remang, yang mana para penjaga warung menurunkan tirai untuk menutupi dosa para remaja itu, pakai jilbab juga, juga ikut organisasi mahasiswa islam, ikut nafsu juga, tiada pembatas antara keduanya sehingga di antara remaja tersebut juga tanpa pembatas, berhubungan layaknya suami istri. Lalu realitas yang melampoi itu terus berkembang sehingga bayi yang dilahirkan pun dilabelkan dengan nama Muhammad, Muhammad Alfarezal anaknya Pingkam Mambo vokalis ratu? Hal yang serupa tidak berhenti di sana, semua pengaruh itu merebak ke kampung tradisional yang agamais, desa-desa tradisional, tiada lagi buang siriah bagi si pezinah, tiada lagi memnyemblih seekor kerbau bagi yang hamil diluar nikah, semua disamarkan atas nama menjaga malu, tetapi tiada malu kepada pencipta yang mana matanya selalu terbuka.
Nah, realitas di atas sebuah kenyatan yang sedang menimpa masyarakat kita, apalagi di era serba maju seperti sekarang ini, apakah itu namanya Postmoderen atau Hyperrealitas? Serba menjanjikan, serba semu, fana, alam mimpi, dunia hayal, menyatu dengan kebenaran, kebenaran menyatu dengan kebohongan, mana yang benar, mana yang salah sudah membaur, apalagi bicara soal moral? Moral hanyalah produksi dan dilahirkan dari rahim kepentingan duniawi, Nietzche menyebutnya begitu.

Skizofrenia Tanda
Menerjemahkan alam relitas memang terlalu sulit, melalui pernak penik tanda yang menjelma ke dalam bentuk berbagai macam rupa dan fungsi membuat orang enggan menyadari malahan lebih memilih hanyut di dalam kesenangan, kemalasan yang ditawarkan teknologi firtual. Dunia media yang digambarkan telah menawarkan dunia baru, nafsu baru, ideologi baru hingga ke tuhan baru (ontologi citra). Piliang dalam dunia yang berlari 2004, menjelaskan bahwa mesin hasrat telah menyudutkan tuhan sebagai penguasa dunia, kursi ketuhanan diambil alih, mungkin para malaikat digantikan jabatannya. Lihatlah kemanapun menoleh dan kemanapun tujuan diarahkan selalu dihadapkan kepada permainan tanda, haluisnasi dan kegilaan waham generasi dari skizofrenia.
Produk media ditawarkan dalam skala besar menjajikan dan berlebihan, sehingga menjadi penguasa bagi konsumen, dikatakan piliang (2006, 73) sebuah meme atau pesan kultural yang membentuk pikiran setiap orang dan itu dilakukan berulang-ulang dan tersistem diwariskan dari generasi kegenerasi, dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, hingga dunia pendidiakan. Lebih parahnya pemangsa tersebut merambah dunia akademis secara terang-terangan. Sikap merasa lebih dan merasa pintar telah menguasai individu yang memilikinya, sehingga orang berada di bawahnya diangap bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang kefanaan dunia. Di saat kritikan dilemparkan atau terdapat kesempatan untuk berbuat lebih memihak kepada orang lain, berontaklah virus mematikan tersebut, penulis menyebutnya skizofrenia kadar menengah (waham). Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima dan mengenterprestasikan realitas, merasakan dan menunjukan emosi dan berprilaku dengan sikap yang dapat diterima secara social. (Ann Isaacs, 2005; 151). Schizofrenia merupakan jenis gangguan jiwa yang paling berat dengan harapan sembuh kecil sekali, selalu kambuh. Biasanya ditandai dengan pembicaraan yang kacau tidak dapat dimengerti maksudnya oleh orang lain. Dengan tingkah laku aneh yang terkadang memperlihatkan gerakan yang diulang atau dipertahankan (Adi Soekarto 2005).
Walaupun secara umum penyebab pasti skizofrenia masih belum jelas, namun konsensus umum menyatakan bahwa gangguan ini disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara berbagai faktor, factor tersebut adalah; Faktor Genetik, meskipun genetika merupakan factor yang signifikan, belum ada penanda genetika tunggal yang di identifikasi. Kemungkinan melibatkan berbagai gen seperti; Abnormalitas, perkembangan saraf yang menurut penelitian menunjukkan bahwa malfarmasi janin minor yang terjadi pada awal gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia.
Sejalan dengan itu, adanya proses psikososial dan lingkungan, sesuai dengan teori perkembangan seperti yang dikemukan Freud, bahwa kurangnya perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri, salah interprestasi terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan pada penderita skizofrenia. Biasanya adanya hubungan kuat antara skizofrenia dan status sosial ekonomi yang rendah dan model kerentanan stres, yang mana model interaksional yang menyatakan bahwa penderita skizofrenia mempunyai kerentanan genetik dan biologik terhadap terhadap skizofrenia. Kerentanan ini, bila disertai dengan pajanan stressor kehidupan, dapat menimbulkan gejala-gejala pada individu tersebut.
Sejalan dengan itu terdapat gejala umum terhadap skizofrenia ini, di antaranya; Waham yaitu keyakinan keliru yang sangat kuat, yang tidak dapat dikurangi dengan menggunakan logika. Sikap waham inilah yang sedang beranak pinak, seperti meme yang digambarkan piliang. Dia hidup dan diwariskan kepada generasi sel;anjutnya, sehingga terdapat waham terhadap ilmu, karya, jabatan, kekuasaan, kecantikan, kegagahan dan menggagahi apa yng tidak menjadi hak. Kemudian terjadinya asosiasi longgar yang mana menjadi penyebab utama adalah kurangnya hubungan yang logis antara pikiran dan gagasan, yang dapat tercermin pada berbagai gejala. Di ranah ini manusia dikendalikan oleh simbol kestabilan dan kemapanan dunia, kolonialisasi hak dan berusaha membentuk tubuh yang patuh terhadap aturan moral buatan segelintir orang, Nietzche menyebutnya moral para budak.
Skizofrenia mampu menetaskan halusinasi yaitu persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indra. Di sinilah utopia kemajuan tersebut diungkit-ungkit, mimpi-mimpi postmoderenism diganyang habis. Sudah pada tempatnyanya mercusuar hasrat menanamkan pengaruh baik di dalam pergaulan akademis maupun masyarakat di tingkat akar rumput. Akibatnya sistem tinggal sistem yang sambil lalu tetap memangsa apa yang dapat dimangsa dan kemapanan akan menghantui semua pikiran orang-orang yang terlecehkan secara intelektual. Kemudian Intelektual digantikan oleh meme kemapanan dan berhenti berpikir?
Layaknya sebuah kesalahan menginterprestasikan stimulus lingkungan (ilusi) yang diperparah dengan depersonalisasi/derealisasi, yaitu sikap yang merasa bahwa “dirinya” sudah berubah secara mendasar. Oleh karena itu individu tersebut tidak perlu lagi melakukan apa-apa sebab sudah adanya jaminan masuk sorga atau sejenis surat aflat (penganmpunan dosa) atau ESQ power. Alhasil, adanya; pertama ambivalensi yang berupa konfik atau pertentangan emosi yang menyebabkan sulitnya individu menentukan pilihan atau keputusan. Kedua avolisi, kurangnya motivasi untuk melanjutkan aktivitas yang berorientasi pada tujuan. Ketiga alogia, berkurangnya pola bicara atau miskin kata-kata. Kemapat ekopraksia, meniru tindakan orang lain tanpa sadar. Kelima anhedonia, kurang senang melakukan aktifitas dan hal-hal lain yang secara normal menyenangkan. Keenam pemikiran konkrit, kesulitan berpikir abstrak sehingga ia menginterprestasikan komunikasi orang lain secara harfiah.
Penderita schizophrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua (Sullingger, 1988) dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit (Carson dan Ross, 1987). Di Inggris (Vaugh, 1976) dan Amerika Serikat (Snyder, 1981) memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, banyak melibatkan diri dengan penderita) diperkirakan kambuh dalam 9 bulan. Hasilnya, 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17 % kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah (Vaugh dan Snyder), penderita mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan (kematian, kecelakaan).
Dari gambaran di atas jelaslah skizofrenia itu sangat berbahaya di dalam dunia keintelektualan. Kudeta kesempatan, rampas aklak menjadi pokok utama untuk mencapai apa yang disebut dengan kemapanan, sehingga secara tidak langsung ego kekuasaan telah menzalimi truktur di bawahnya, dan strukutur di bawah akan melemparkannya ke segala penjuru dan begitulah seterusnya.
Begitupun media melalui pemadatan bahasa mampu menjadi puncak pengendali, virtualisasi lewat sarana langue dan parole merekayasa kebutuhan konsumen akan kemapanan sehingga para konsumen berhenti berpikir untuk sesuatu yang abadi dan mengorbankan hidup ke dalam kefanaan.

Apa yang anda pikikan?
Sebagian orang mungkin akan berpikir, bahwa orang-orang cerdas sebelumnya pernah ada seperti Plato, Socrates, Marxs adalah orang-orang latar belakangnya hancur lebur karena kondisi Hyperealitas tetapi menang secara intelektual. Buktinya mereka itu masih hidup hingga sekarang melalui karya intelektualnya. Namun, permasalahan akan muncul di saat zaman Plato, Socrates maupun Marxs berbeda dengan kondisi sekarang, sekarang pendidikan telah maju wealaupun dalam tahapan wacana tetapi sekurang-kurangnya telah meninggalkan masa Plato dan Socrates yang paceklik. Kalau boleh dibilang dari satu sisi inilah kejahatan simulasi yang sangat berbahaya, sebab akan memperextrim tindakan extrim yang pernah ada dan di sisi lain sebagai strategi intelektual kuno yang harus diremajakan.
Sejalan dengan itu, di saat wacana tentang Hyperrealitas muncul seakan-akan ketenangan masyarakat kita merasa terusik, sebab kebiasaan mereka disinggung-singgung dalam sebuah wacana maupun catatan pinggir di koran-koran lokal. Berbagai macam tuduhan akan dilempar secara serampangan, penanaman ideologi, orang yang Hyper, aliran sesat oarng yang latar belakangnya hancur dan apa saja kata-kata yang menunjukan kekalahan dalam bentuk penolakan. Di sini perang urat leher akan berlangsung, hingga menimbulkan tidak bertegur sapaan selama berhari-hari, dunia intelektual yang aneh. Seharusnya sebagai intelektual kita harus berpikir karena itu adalah kewajiban intelektual.
Terlepas dari itu, yang patut mendapatkan perhatian adalah asal muasal kematian entektual yang digulung realitas tersebut. Berawal dari perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan cita-cita realitas dan perkembangan ideologi yang bergerak melampaui kodrat. Manusia beruasaha menciptakan dan merealisasikan kemajuan yang dianggap tidak pernah terrealisasikan dalam kehidupan realitas, masyarakat membentuk budayanya sendiri dalam ranah budaya massa, masyarakat membatasi moralnya sendiri berdasarkan kepentingan akan duniawi, nafsu benda. Sementara itu ketajaman intelektual tidak diasah dan tali spiritual tidak dipertebal, kiranya sebuah kejenuhan dengan utopia politik, sejarah dan budaya yang selalu menawarkan kemapanan baik di bidang pendidikan maupun ekonomi. Masyarakat sebagai individu yang mandiri butuh energi agar tetap hidup untuk bisa mencapai tahap itu, dilihat juga peraturan dan norma yang disepakati berubah dari mengatur menjadi mengekor mengikuti ke arah mana budaya masa berkembang. Maka, hiduplah geneologi moral yang mengusung Hyperrealitas, yang setiap saat akan memangsa siapa saja yang menderita, terlecehkan dan teraniaya.
Seiring dengan itu, dunia Hyper juga dilatari oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi untuk memenuhi nafsu manusia yang tidak pernah merasa mapan. Sehingga teori-teori ilmu pengetahuan itu pun ikut berkembang melampoi realitasnya. Piliang menyebutnya dengan Posteori adalah dimana teori-teori ilmu sosial maupun eksakta telah berreproduksi melampau kodratnya, seperti posmetafikika, Postsemoitika dan segala macam bentuk post dalam artian perlawanan terhadap teori asal.
Namun begitu, terdapat 2 buah teori yang sangat berperan penting dalam melihat dunai realitas. Pertama semiotik yang awalnya tanda (signifier) mengacu pada petanda (signified) sekarang telah berreproduksi atas kepetingan, tanda itu sendiri di dalam masyarakat tidak sebagai penanda tetapi tetap sebagai tanda. Siapa saja yang mampu memepermainkan tanda, dengan mengangggap penanda (subjek) sebagai pengauasa yang mengeksploitasi petanda (objek) dialah yang akan maju, sementara bagi siapa yang cenderung diam akan tergilas dalam percaturan global kedua. Kedua Langue dan parole, juga telah berkembang melewati kodratnya, bagi siapa yang dapat mempermain langue untuk kepentingan makna dia akan menghasilkan penikmat parole sebanyak mungkin, semakin banyak permaian terhadap parole maka semakin hancurlah dunia ini. Semua orang akan dikendalikan bujuk rayu dan manisnya bahasa yang kemudian menghasilkan tindakan yang membuat aturan moralnya sendiri. Inilah yang dapat disebut sebuah kegagalan Postmoderen yang mana pada awalnya ingin meruntuhkan narasi besar dan melahirkan narasi kecil yang bersifat isu lokal dan diikuti dengan kegagalan intelektual dalam memanajemen tanda, langue dan parole.



DAFTAR BACAAN

Eco, Umberto. 1987. Tamasya Dalam Hyperrealitas. Yogyakarta: Jala Sutra
Isaacs, Ann. 2005. Keperawatan Jiwa Dan Psikiatrik. Jakarta: EGC.
Idris, Soewardi. 2008. Perjalanan Dalam Kelam. Yogyakarta: Beranda.
Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melanpou Batas-batas Kebudayaan. Yokyakarta: Jala Sutra.
-----------------------. 2004. Post-Realitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika. Yogyakarta: Jala Sutra.
-----------------------. 2003. Hiper Semiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jala Sutra.
----------------------. 2003. Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo: Tiga Serangkai.
Poole, Rose. 1993. Moralitas dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisus
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Juxtapose Research And Publication Study Club dan Kreasi Wacana.
Said, Edward.1977. Orientalism. London: Penguin
Wawancara Hari Efendi dengan Abdul Samat saksi PPRI, di Bukittingi, 6 september 2008, Jam 10 pagi.
Wawancara Hary Efendi dengan Tan Kabasaran saksi PPRI, di Bukittinggi, 6 September 2008, Jam 12 siang.
Yuwono, Untung dan T. Cristomy. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.
Zoest, Art Van. 1993. Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Mahasiswa Paska Linguistik Unand

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987