Kamis, 11 Maret 2010

PERJANJIAN

M.YUNIS

 Sudah tiga kali Fatma melahirkan bayi, namun harapan itu tak jua kunjung datang, kali ini Fatma hamil lagi, usia kandungan itu masih tujuh bulan, tidak beberapa bulan ini janin yang ada di kandungnya itu akan lahir atau mungkin akan bernasib sama dengan bayi-bayi yang sebelumnya. Namun, apa yang harus dia lakukan, selama mengandung Fatma telah berusaha mendekatkan diri pada tuhan, sepulang dari sawah sore hari dia disibukan di dapur, malamnya menyempatkan baca Al kitab, walau suaranya kurang cocok mendendangkan isi kitab itu. Tahajud yang ditunaikan setiap sepertiga malam pun tidak pernah ketinggalan. Hanya satu harapannya ketika itu, mudah-mudahan bayi yang masih dalam kandungan itu jadi orang berguna.

Saat pagi dan sore menjelang Fatma selalu berdoa agar bayinya itu di izinkan pencipta menghirup alam fana sebelum kembali pada-Nya di tiang arasy. Dia sedih di kala menginat bayinya yang pertama pergi sejak dari dalam kandungan, bayi itu tidak mampu membuat kesepakatan dengan sang pencipta. Alhasil, hanya orok yang mampu dilihatnya setelah tersadar dari lelah melawan maut. Sedangkan  bayi kedua Si Sulaiman pergi dalam usia 3 bulan, padahal harapan telah bertumpu pada Sulaiman, hatinya miris dan perih. Fatma tidak pernah meninggalkan Sulaiman sendiri, sewaktu dia pergi ke warung membeli perlengkapan memasak, Sulaiman mungil dijaga oleh suaminya yang ternyata sangat menyayangi buah cinta itu. Terkadang selalu digendong sayang ayah yang dipangil Fatma Uda Rasul, sesekali dicandai dengan mengulur-ngulurkan lidahnya, bayi itu tertawa. Selanjutnya Rasul mengajak Sulaiman kecil berdebat tak obahnya berhadapan dengan politikus. Dia masih tertawa kecil hingga kelelahan dan tertidur di pangkuan Rasul. 
            Sepeninggal Fatma, Sulaiman tidak pernah bertingkah aneh, dia hanya berusaha bersahabat dengan ayahnya. Namun sesampai di rumah didapati Sulaiman kejang-kejang, bola matanya turun naik diringi pekikan hiteris tak obahnya orang yang sedang menjalani siksa kubur. Spontan Fatma histeris tanpa sadar diapun telah menghardik-hardik suaminya.
            ‘’Apa yang Uda lakukan dengan anaku?’’
            ‘’Saya tidak melakukan apa, tadi dia tertidur, kebetulan setelah si Sholeh lewat dia terpikik hingga seperti ini!’’.
            ‘’Apa?’’, Fatma seakan tidak percaya atas kejadian itu. Sholeh dikenal di Bukit Gadang sebagai seorang yang pendian, dia tinggal di Munggu[1] sawah arah barat, kesehariannya juga tidak terlalu menyolok, kalupun ada kegiatan gotong royong dia hanya hadir sebentar dan setelah itu dia menghilang entah kemana. Tapi, sejak kehadirannya di kampung itu banyak penduduk yang resah, apa lagi setelah melahirkan bayi, pakaian-pakaian bayi yang tergantung di luar selalu dipasang dengan dasun[2]. Tubuh bayi sendiri pun tidak luput dari benda aneh tersebut. Memang saat Fatma pergi ke warung dia telah melupakan kewajiban yang satu ini, tapi itu bukan salah Fatma, hari sabtu kemaren dasun habis di pasar Mangga Dua. Sebenarnya Fatma kurang yakin dengan kekuatan magis dasun tersebut, agaknya cara berfikir Fatma lebih terarah dan setengah moderen. Berkali-kali Gandoriah mengingatkan agar Fatma lebih memeperhatikan keadaan bayinya. Tapi nasehat Gandoriah kurang ditanggapi oleh oelah Fatma hingga kejadian itu benar-benar menimpa rumah tangganya.
            Dalam suasana panik itu, Fatma berhamburan ke rumah orang pintar yang tidak jauh dari rumah, sementara Rasul mempersiapkan peralatan yang harus di bawa, seperti kelapa muda, daun obat-obatan si dingin, sitawa, ci kumpai, cikarau, pudiang hitam, sapitan tunggua. Kata orang kampung oabat itu digolongkan ke dalam pa-ureh[3] atau obat pengusir setan dan pengusir energi negatif yang sedang menghinggapi tubuh seseorang. Sesampai di rumah orang pintar yang dijuluki dengan Bapak Punai, Fatma dan Rasul menceritakan kronologis kejadian, namun sayang sekali Punai tidak bisa mengahalangi kedatangan malaikat pencabut nyawa, Si mungil pergi dengan belalakan mata.
‘’Otak anak ini sudah kosong, kalaupun selamat bayi ini akan lumpuh seumur hidup!’’. Hanya itu kata terakhir yang mereka dapatkan dari Pak Punai. Sisa-sisa langkah membopong mereka kembali pulang ke rumah, semetara orok bayi yang baru saja kehilangan nafas terakhir sudah tidak lagi melotot. Rasul mengamuk, dia melemparkan paureh ke atas, sepertinya dia mau mencegah sang pencipta mengambil bayinya. Tapi itu sia-sia belaka, ternyata pencipta lebih menyayangi bayi tersebut dari pada dia sendiri.
            Setelah kejadian itu, Rasul berusaha membalas apa yang telah dilakukan kepada keluarganya.
‘’Akan kubunuh palasik[4] itu!’’
‘’Percuma Uda melakukannya, kalaupun dia mati Sulaiman tidak akan bisa kembali pada kita!’’.
Rasul tidak mau mencurahkan amarahnya kepada Fatma, dia lebih memilih pergi keluar rumah hingga berhari-hari tidak pulang, padahal di rumahnya masih berlangsung prosesi upacara kematian. Agaknya dia tidak bisa menerima kehilangan anak tercintanya.
Sudah dua tahun berlalu, sikap Rasul masih saja seperti itu, aneh dan penuh tanda tanya. Meskipun Fatma divonis sedang hamil kembali oleh Dukun Baranak setempat, Rasul sendiri tidak yakin dengan kehamilan Fatma, kejadian itu sudah ketiga kali dalam rumah tangganya. Rasul selalu bertindak aneh menjelang kelahiran anak ketiga dari rahim istrinya. Setelah bayi itu bernafas di antara pelukan mereka, ramalan Rasul sedikit meleset dari dugaannya. Awalnya dia yakin anak itu akan bernasib sama dengan yang sebelumnya, tetapi setelah dia melihat anak itu beranjak dewasa, bahkan sudah menuntut ilmu di Sekolah Dasar di kampung, Rasul mulai sedikit meramal tentang kebenaran. Anak itu mereka panggil dengan sebutan Syahrir. Pilihan nama itu diharapkan tidak meleset sebab dibalik nama itu tertitip sebuah harapan kelak anak itu menjadi orang besar dan mampu membantu orang se kampung.
Belum cukup lama Syahrir duduk di bangku Sekolah Dasar, guru-guru banyak yang menyukai kepribadian Syahrir, tidak heran pula banyak orang yang ingin mengendong anak ini meskipun sudah duduk di bangku sekolah dasar. ‘’Habis wajahnya itu masih seperti bayi!’’ begitulah tanggapan orang se kampung. Begitupula dengan guru sekolah, kata mereka Syahrir anak yang penurut dan patuh, tapi sikap seperti itu sudah kesehrian Rasul dan Fatma. Keluarga Rasul memang beruntung dianugrahi anak yang penurut, apapun pinta orang tuanya Syahrir tidak pernah membantah. Suatu ketika Fatma menyuruh Syahrir pergi membeli garam ke warung seberang jalan, Fatma tidak tahu bahwa anak laki-lakinya itu baru saja memasukan suapakan pertamanya ke dalam mulut, tanpa komentar Syahrir meninggalkan piring nasi dan pergi melaksanakan tugasnya sebagai anak Itulah Syahrir, tidak heran lingkungannya sendiri cepat menerima keberadaan Syahrir.
Berbeda dengan Fatma, sebagai orang tua dia cukup bersyukur dengan kehadiran anak pertama tetapi ada harapan lain di balik sosok kepribadian anaknya itu. Fatma juga menginginkan Syarir sedikit bisa memprotes, ternyata sikap itu tidak dimiliki oleh Syahrir. Fatma yakin keinginan itu akan terpenuhi jika dia bisa hamil lagi, dia terus berdoa kepada yang Maha Agung.
Di suatu senja yang kusam, Fatma masih betah melamun sesekali diterpa suara gemerisik gelombang laut Ulakan. Sesat dia dihadang seorang pengembara dari Barat. Sementara itu penghuninya kurang yakin, entah kenapa sang pengelana itu bisa selamat melewati rimba larangannya itu. Semua makhluk tahu bahwa rimba itu tidak bisa dilalui oleh siapapun yang tersebut bernyawa, aneh dan lebih banyak lagi keanehan yang tercatat dalam sepanjang sejarah hidup manusia. Jutaan abad lalu pernah datang manusia aneh dari Barat melewati rimba keramat itu, tetapi yang sampai ke seberang hanyalah berita, mungkin dia telah mati terbunuh oleh penghuni-penghuni malam di rimba atau mungkin juga bersahabat dengan malam di sana dan diperbolehkan tinggal untuk beberapa waktu lama, tapi itu hanya perkiraan saja. Ini sudah ke 4 kalinya manusia aneh yang melewatinya dan bahkan sampai ke seberang dalam wujud roh bukan berita seperti kejadian tempo silam.
Atau mungkin munculnya berita yang berwujud jasad itu keturunan dari manusia aneh yang datang dari jutaan abad yang lalu, hanya saja waktu ini kesempatan baginya melihat tepian pulau, dia berkata ‘’Akulah wakil tuhan di tanah ini, aku dianugrahi pengetahuan yang luas akan kuajarkan kepada umat-umatku nanti!’’ tetapi dia sendiri bingung, siapa yang akan menerima ajaran dan anjurannya yang bernada angkuh itu, apakah manusia-manusia hyperealis akan mendengarkannya? Apa yang dia pikirkan sesungguhnya, bukankah dunia baru yang akan dihadang layaknya sama seperti dalam pikirannya bulat dan penuh dengan rimba larangan, aneh dan hanya satu tuhan seperti dirinya saja.
Namun, sudah hampir satu tahun dia hanya mampu berputar-putar di tepian, sebab belum juga jatuh titah dari sang raja penguasa siang dan malam, menguasa waktu dengan ruang, pembuat takdir hingga masa depan, itulah yang dia tunggu-tunggu, perintah untuk menyebrangi samudra mimpi-mimpi yang akan dia taklukan. Ia yakin dengan bekal yang dibawa akan meluluh lantakan bayangan-bayangan masa depan. Pas sembilan masa kejayaan dia lalui, dengan kesabaran menunggu dan terus menunggu, tanpa dapat melakukan permintaan dan harapan-harapan, dia yakin tidak ada lagi yang akan dipinta, semua sudah ada keculi satu yaitu izin penyebrangan, yakin hanya itu saja. Sesaat ubun-ubunnya megerinyit, ledakan Maha dasyat mengguncang suasana rimba larangan menciptakan hempasan-hempasan yang menggentarkan nyalinya, berlutut itulah yang hanya bisa dia lakukan, ‘’Ampun hamba yang Maha Agung, hamba hanya insan yang Engkau utus, kalau Engaku buang hamba jauh, jika Engkau gantung hamba akan tinggi, jika Engkau memutus hamba mati!’’, rangkaian tabir-tabir itu membuka sekaligus tanda menyerah kalah yang muncrat dalam suasana gigilnya.
Seperti biasanya, raja malam itu hanya megirim suara-suara maut, ‘’Engkau! engkau yang akan menempuh dunia jasad! engkau yang akan melaksanakan titah! engkau juga yang akan menjadi paling takut hanya kepada-Ku! Mampukah engkau berjanji demi nama-Ku? Engkau yang akan menjadi jasad, apakah engkau siap menanggalkan seluruh identitasmu? Biarkanlah dia lepas sementara, biarkanlah dia menemui tempatnya sendiri karena Aku juga yang suka berbuat. Saat engkau pulang bawalah dia serta bersama luluhnya jasadmu, sementara jasadmu sangatlah Kularang menghadap kepada-Ku, sebab dia belumlah pantas menemui Aku, kutempatkan dia pada suatu tempat hanya Aku yang tahu. Engkau yang akan berjasad, kelak kedatanganmu bermacam bentuk rupa kepada-Ku, itu semua sangat tergantung kemampuan engkau untuk membawa seluruh identitasmu yang telah aku kirimkan pada tempatnya yang agung, berjanjikah engkau wahai yang akan berjasad?’’, Si mahluk yang belum berwujud menyambut, ‘’Hamba berjanji yang mulia!’’.
Ya! dia tidak lagi mampu menahan hasrat untuk segera menyebrang, pada tapal batas yang tidak bernama, dia menembus dan berpindah dari alam ilmu pengetahuan ke alam fenomena. Namun, apa yang terjadi tidaklah seperti yang dijanjikan oleh keyakinanya, teriakan tangisnya mengutuk, sementara orang-orang di sekeliling hanya mampu tertawa terbahak histeris, senang dan gembira akan kedatangannya, ya! wujudnya hanyalah seorang bayi, tanpa identitas, tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan dia sendiri tidak ingat apa yang sudah berlalu, selain menangis dan hanya menangis demi kepuasan orang-orang di sekeliling itu termaktubkan. Itulah yang dijanjikan untuk seluruh umat manusia. Ya! waktu tidak akan lama singgah untuk meninabobokan kemanjaan-kemanjaan yang sangat dibenci, terkutuk kejadianya di alam roh. 
‘’Azam! Dia akan saya beri nama Azam, bagai mana menurutmu Fatma?’’, Rasul sumringah sambil memandang wajah Fatma yang landai.
‘’Terserah Uda, aku pernah melahirkan 3 orang anak sebelumnya tapi tidak seletih ini, aku ingin istirahat!’’.
Tapi kini Azam telah berumur 4 tahun, dia sering bertindak tanpa kendali sang ibu, Azam suka jalan keluar di saat pintu rumah di malam hari tidak terkunci. Tingkah laku Azam memang lebih agresif dari Syahrir. Syahrir penurut, sedangkan Azam suka komplen dan selalu betanya terhadap apa yang tidak diketahuinya. Di saat Azam bermain sepak tekong dengan anak tetangga, Ibunya sering membujuk agar berhenti main, Fatma takut Azam anaknya agak temprament.
‘’Azam sayang, mari Emak mandiin ya agar badan sehat dan jadi pintar!’’ Fatma membujuk Si kecil yang 4 tahun lalu yang hanya mampu menjerit sementara orang di sekelilingnya terbahak-bahak, sekarang Si kecil sudah maemasuki tahun ke 5 tapi sangat suka bercengkrama dengan kebodohan-kebodohan, sesekali dia menggigit puntungan rokok yang dipungut di depan rumah. Kesalahan Si Bapak ini selalu tercecerkan di sepanjang halaman rumah, entah berapa ribu puntung rokok yang menjerit ingin di tempatkan di tempat selayaknya.
‘’Fatma, puntung rokok itu tidak bisa bicara kalau di dipugut sama anakmu itu, sekarang anak mu saja yang kau pungut dari halaman!’’ ceoteh si lelaki paroh baya itu kepada istrinya. Mungkin si istri kesal saat mendapati sikecil tersendat saat memakan puntuh rokok Si Rasul.
‘’Tiap hari, tiap jam uang dibakar, coba Uda kumpulkan mungkin sudah bisa membeli mobil!’’.
‘’Fatma, kalau saya kumpulkan uang itu lalu saya membeli mobil nanti mobilnya akan terbakar, sekarang kamu didik saja anakmu itu menjadi orang, percuma diberi nama Ibrahim Azam kalau harus menjadi Bram, memangnya anakmu itu mau dijadikan ketua geng preman’’, cetus Rasul sambil berlalu. rupanya Si suami sudah dikirimi sinyal di meja warung sebrang, dia sudah ditunggu oleh beberapa orang yang akan siap mengadilinya dengan kertas remi dan koa. Di kalangan sejawat Rasul memang dijuluki oleh komplotannya dengan sebutan Dewa judi. Tetapi dia punya sebuah kelihaian, selama digebrek oleh petugas akhir bulan lalu dia selalu lolos, entah kenapa sesampai di semak-semak jasadnya menghilang begitu saja.
Azam kecil yang suka protes memang belum cukup umur melarang Ayahnya bermain judi, katanya hanya sekedar hobi tapi menghabiskan uang hingga ratusan rupiah. Hari jumat Rabiul Akhir Azam melihat Ayah tergopoh-gopoh pulang ke rumah, Azam menatap mata si Rasul dengan sayatan-sayatan tajam, seakan dia berkata ‘’Engkau si Ayah mahluk yang hina!’’, tapi Si Rasul yakin dia hanya seorang anak kecil kemaren sore yang kesasar memalui rahim istrinya, namun hatinya berbisik, ‘’Si Azam matanya sampaikan suatu makna kepadaku, apa gerangan amanat yang dibawanya, akankah pesan itu hanya untukku atau..., ah aku capek!’’ detak hatinya ditutup dengan rebahan di lantai rumah yang sudah separoh tanah.


[1] Gundukan tanah yang terdapat ditengah-tengah persawahan.
[2] Se ulas bawang putih
[3] Tumbuh-tumbuhan yang hidup di daerah lembab
[4] Orang yang menganut Ilmu hitam, biasanya bayi berusia 5 tahun ke bawah adalah korbannya.

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987