Kamis, 27 Desember 2007

KETIKA GARIN NUGROHO DAN AMBRAN NUR DUDUK SEBANGKU

Oleh M.Yunis*

Dalam rangka lustrum sastra, serangkaian kegiatan terus dilakukan, dengan harapan tentunya ingin mendapatkan ilmu yang tidak didapat di dalam bangku perkuliahan. Pada selasa pagi 18 April, sebuah dialog bersama Amran Nur dan Garin Nugroho mengisisi penuh genung E Kampus Unand. Walupun acara tersebut diadakan oleh Fakultas Sastra dalam rangka lustrum, tapi sanggupmembuat orang antusias untuk menyaksikannya. Keantusiasan tersebut tergambar dari banyaknya peseta yang hadir ketika itu, baik dari lingkup Unand sendiri maupun dari luar, seperti STI Padang Panjang, Lembaga-lembaga di Kota Padang, media maupun LSM. Sehingga sebagian peserta terpaksa duduk melantai di hadapan kedua pembicara.
Namun, ternyata semua peserta yang tidak mengetahui setting acara merasa tertipu, karena yang menjadi pembicara pertama ialah Amran Nur dari Kota Sawah lunto. Sementara Garin Nugroho sendiri dijadwalkan pada sesi ke 2 jam pada 11:00 Wib.
Namun begitu semangat peserta tidaklah pupus sampai di situ, sambil menunggu detik-detik bersama Garin. Amran Nur pun mengambil tempat untuk menyampaikan makalahanya. Selaku Wali Kota Sawah Lunto, Amran Nur lebih banyak berbicara seputar kebijakan pembangunan Kota Sawah Lunto dalam Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sawah Lunto. Dalam waktu yang lebih kurang dari 2 jam itu, di juga menyampaikan bahwa sudah sepantasnya Kota Sawah Lunto untuk diorbitkan di bidang pariwisata. Komitmen wali kota itu, semakin kuat setelah dilahirkankannya Perda No. 2 tahun 2002 yang intinya Kota Sawah Lunto pada tahun 2010 akan mejadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya. Lulusan ITB 1973 ini sepertinya yakin sekali bahwa Kota Sawah Lunto akan mampu untuk go internasional dengan wisata Tambang yang dimiliki sekarang.
Namun, kekhawatiran-kekhawatiran menjadi persoalan kedua di dalam dialog itu. Seperti yang dikemukan Syafrudin Sulaiman, ‘’dulu orang Minang itu terbuka dan senang jika kedatangan tamu dari luar’’. Ya! seperti yang kita ketahui, dulu itu tamu senang untuk melancong ke Ranah Minang karena kesopanan yang dimiliki orang Minang membuat para turis mengacungkan jempol, bahkan tamu itu dinanti dengan carano dan tari gelombang sebagai pengiring. Alangkah bahagianya orang Minang jika kedatangan tamu. Tetapi, sekarang sikap seperti itu sudah mulai hilang. Menurut Syafrudin hal ini adalah sebuah hambatan budaya dalam pengembangan wisata, apalagi Sawah Lunto baru mau menuju wisata tambang. Jangan-jangan seteah Sawah Lunto go internasional, dikawatirkan pelayanan terhadap tamu kurang memuaskan, seperti yang terjadi di tempat wisata lain yang ada di Sumatra Barat dan uang parkiran harganya selangit tambahnya lagi. Hal itu betul adanya, bahkan kita bisa memperhatikannay sendiri di sepanjang pantai Padang, pemerasan yang berkedok pengamen bergentayangan.
Lain halnya dengan Ronidin, kecemasan tidak hanya sampai di situ. Ronidin takut, jika lahir lagi tempat wisata baru maka lahir pulalah tempat mesum baru. Sebab orang Minang itu sendiri belumlah siap menerima perubahan-perubahan dari luar. Ditambah lagi dengan fasilitas umum yang tidak terawat, apakah sawah lunto juga akan mengulang sejarah demikian? begitulah inti kecemasan Ronidin sebenarnya.
Kecemaasan-kecemasan yang dikemukakan Ronidin dan Syafrudin di atas akan lebih sempurna jika tranportasi untuk mencapai Kota Sawah Lunto belum ideal sebagai tempat wisata karena tidak mungkin bagi wisatawan untuk naik ojekan untuk menuju tempat wisata. Ditambah lagi jika jalan yang menghubungkan Kota Sawah Lunto dengan Kota Padang tertimbun lonsor, nah mau lewat kemana? Penulis pikir yang perlu dipersiapkan pemerintahan Kota terlebih dahulu adalah keberterimaan di dalam masyarakat Sawah Lunto itu sendiri atas hadirnya Kota Sawah Lunto sebagai Objek Wisata Kota Tambang esoknya. Sebab dengan kesadaran seprti ini akan menciptakan penghormatan begi setiap pelancong yang datang dari luar, kemudian benahi trnasportasi. Jika hal ini sudah ditempuh, pemerintah Kota Sawah Lunto tidak perlu lagi melahirkan perda No.2 tahun 2002 yang kesannya pemaksaan kapitalis baru terhadap rakyat.
Setelah sosok Amran Nur dan unek-unke sawah lunto berlalu, berlanjut acara pada sesi kedua, orang yang sangat ditunggu-tunggu peserta, sosok yang ketika orang membicarakannya yang ada dalam pikiran ialah Film, dialah Garin Nugroho. Di samping menggeluti dunia film, katanya Garin juga seorang budayawan dan sastrawan. Sebab topik yang dibicarakannya pada saat itu adalah masalah kebudayaan.
Garin memulai menjadi pendengar yang baik, merenung, ciptakan kesempatan kecil dan besarkanlah dan jangan mencari kesempatan yang besar tetapi tidak bisa berkreatifitas. Garin mengatakan lagi masyarakat indonesia sudah mulai terbiasa mengkomsumsi tradsi lisan ke-2, dimana budaya membaca serta melulis sudah mulai ditinggalkan. Alhasil, penghargaan tehadap penulis itu sendiri kian hari semakin hilang. Ya! bagaimana caranya menghargai jika tidak menegetahui dan membaca serta tidak menciptakan sebuah karya. Akhirnya, hilanglah penghormatan terhadap kereatifas dan proposionalisme itu. Kemudian timbul budaya masa yang kejam, dimana orang selalu melihat kebudayaan hanya dipusat-pusat kota, yang sifatnya militer dan dogmatis. ‘’Perhatikakanlah tayangan televisi sekarang para hantu dan syetan sudah banyak mejadi bintang film dan bahkan pandai pula berceramah seperti ustad’’ sambung Garin.
Sebetulnya hal ini, sudah sering dibicarakan oleh KPID Sumbar dalam setip kali semiarnya. Terakir KPID Sumbar mengadakan seminar sabtu 8 April yang lalu, di Balit Bang Padang. Lagi-lagi tema yang serupa yang diangkatkan KPID adalah kebrobokan tayangan televisi. Dengan menggunakan pendapat Garin pula, hal ini terjadi dikarenakan penulisan skenario tidak berertika. Sehingga ketika plening awal yang akan diterapkan pun tidak terlaksana.
‘’Sesungguhnya di Indonesia itu telah terjadinya ketimpangan yang sangat jauh dari realitas, hal itu sangat memepengaruhi kekejaman budaya masa’’ ulas Garin. Hal itu betul adanya karena di Indonesia ini, budaya cimeeh sudah mengakar apalagi di Sumatra Barat, contohnya saja di saat orang mau mau melakukan sebuah pekerjaan, pekerjaan belum jadi, cimeeh sudah mendahului sehingga terjadi lagi pembantaian karakter dan berakhirlah kehidupan itu di sini.
Sejalan dengan itu, Abel Tasman mengungkapkan kekecewaannya sebagai sastrawan dan Abel sendiri menyarankan bahwa sudah sepatutnyalah negara ini diambil alih oleh budayawan dan sastrawan baik secara politik maupun ekonomi. Sebab, metode yang digunakan di Indonesia tidak ada digunakan oleh negara lain’’ sambung Abel. Kalau begitu kita memerlukan sebuah kudeta.
Pendapat abel tersebut di atas memang tidak bisa dipungkiri sebab keresahan-keresahan tersebut sudah berputik pula mulut membicarakannya, umpama sepohon kayu sudah berbuah dan sudah matang dan patut pula dinikmati buahnya. Menurut Garin, hal ini juga disebabkan oleh terjadinya sebuah ketimpangan yang terlalu jauh dari realitas.
Garin menawarkan solusi dengan memulai dengan sedikit membujuk diri sendiri, awali dengan proses penciptaan, merenung, mencari kesempatan kecil jadikan lah kesempatan besar. Artinya janganlah selalu menunggu, ciptakan sebuah karya dan besarkanlah karya itu.
Penawaran selanjutnya adalah kita harus memulai menghargai proposionalisme dan kretaifitas sehingga kebudayaan masa tidak selalu rendah dan konsumtif. Selanjutnya perlu disiplin dalam berkarya, serta mau membayar mahal masa transisi, kemudian dalam berkarya itu ikut sertakan modal sosial di samping modal ekonomi.
Inilah sekelumit tentang keresahan masyarakat sebagai dampak dari kemajuan teknologi dan derasnya arus globalisasi, tapi sayang sekali kemajuan itu tidak diiringi oleh kemajuan sitem yang dianut oleh pemerintahan kita. Sebab selama ini diperhatikan bahwa kunatitas lebih utama dari pada kualitas, sehingga sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk pembanguna nasional hampir tidak mencukupi. Bisa diperhatikan semakin tidak terpakainya tamatan sarjana di Indonesia, tetapi patut diberi pujian pada pemerintah soal perhatiannya terhadap pendidikan , dan akan diusahakan subsidi terhadap pendidikan 20% walau hal itu belum diwujudkan sepenuhnya.
Cimeeh (sebuah sikap tidak bersahabat, atau berusaha mematahkan semangat orang)
Carano (Wadah tradisional Minangkabau yang digunakan dalam acara sarimonial)
Tari gelombang (tarian-tarian yang digunakan dalam penyambutan tamu)


**Alumni Sastra Daerah Minangkabau

2 komentar:

Ronidin dan Keluarga mengatakan...

Selamat atas terbitnya blog Yunis. semoga bisa jadi tempat diskusi yang menarik

Musafir Kesejatian mengatakan...

Terimakasih atas komentar dariBapak Ronidin. Semoga sarana ini dapat mejadi tempat diskusi yang menarik

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987