Rabu, 02 Januari 2008

AKHIR MASA

Cerpen
M.Yunis


Rinai masih enggan berhenti membasuh luka-luka Ibu pertriwi. Ya aku tau, hari ini ujung Desember semakin tua, kata orang pada tahun ini segala puncak kejenuhan dilampiaskan, sebagian bilang tempat perhentian terakhir pernak-perniknya dunia, dan bermacam kisah banyak terlahir di ujung Desember, dulu pernah terkenal dengan Desember kelabu, atau hujan di awal Desember, aku kira mempunyai makna yang kurang lebih sama.
Ya! di Ujung Desmber ini gemuruh rintih-rintihan memanggil sepasukannya untuk segera pulang kandang, suatu petanda bahwa hujan akan berhenti atau sekurang-kurangnya istirahat sejenak.
Di ujung Desember ini suara burung geraja tidak lagi tedengar, dua hari yang lalu masih kulihat bertengger di pohon dekat bangunan tua itu, burung geraja juga senang membuat sarang pada puncak-puncak pepohonan yang mati, di samping bangunan tua itu tertancap dua batang pohon ampalan dan satu pohon jambu yang baru saja mati pucuk, hidup malu mati tidak bisa, ya! kemaren aku melihat petir menyambar ketiga pohon jam satu lewat lima menit jumat siang. Setahuku, selama sarang-sarangnya masih ada, burung gereja itu sangat senang berputar-putar di sekitar bangunan. Tapi, aku tidak tau pasti penyebab sarang-sarang itu berserakan 10 meter dari pepohonan. Aku terus berpikir, mungkin burung-burung itu berpindah sarang atau mebuat sarang baru.
Dalam keterpanaan itu, rasa penasaran memboyongku ingin masuk ke dalam bangunan itu, ku perhatikan tonggak-tonggak yang dipenuhi ukiran kaluak paku, agak ke dalam terlihat ukiran tan tandu bararak juga dilengkapi dengan pucuak rabuang, tapi sayangnya ukiran-ukiran itu tidak seperti aslinya sejak dipenuhi boran-boran kecil di sana-sini, namun kelihatannya masih mampu menahan gonjong-gonjong yang runcing di atas. Bangunan itu bisa dibilang tidak terawat, atapnya saja sudah diakari lumut-lumut liar, tapi kokohannya yang mengonjong itu masih sisakan harapan hidup seribu tahun lagi walau segunduk beban mengakar kuat dan tidak juga mau sirna. Setelah igauku tersadarkan, rasa takjub seketika datang, detik-detik selanjutnya aku memilih mengelilingi gangunan itu. Pada bagian belakang bangunan tercermin apik seniman terdahulu, 20 tonggak menjadi sendi berdiri kekokohan, mungkin tonggak-tonggak itu terbuat dari pohon jati atau mahoni, bagian bahawahnya dilengkapi dengan batu landasan, memang bentuknya agak kasar tapi sepertinya telah menyatu dengan tonggak-tonggak itu. Wah! sungguh megahnya bangunan ini dulu, seandainya aku hidup lebih awal tentunya aku tidak mau ketinggalan untuk belajar membuat ukiran sehingga aku dapat mengukir sejarah kebudayaan ini. Ya! aku ingat apa yang dibilang Amak, ‘’di kampung kita ini adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’’. Apakah mungkin ini yang dimaksud Amak. Rumah dan ruangannya bisa menjadi sebuah perumpamaan dari adat, tapi sekarang mulai reot. Sementara 20 tonggak ini perumpamaan dari syarak dan batu-batu itu sebagai perumpamaan kitabullalh. Antara tonggak dengan batu terlihat menyatu, mungkin sudah terlalu lama dibiarkan membatu, antara batu dan tonggak sudah sejenis, tonggak seperti batu dan batu seperti tonggak. Aku jadi bingung sendiri, kuberusaha mencari kesimpulan dadakan sambil ngomong sendiri dan berputar-putar arah. Ya! aku ngerti sekarang, adat seperti yang dimaksud Amak itu ditopang oleh agama dan Alquraan sebagai kunci. Oh..bukan! yang dimaksud Amak kitabullah, tidak mungkin Alquran sebab setahuku kitabullah ada 4 buah atau kitab yang empat sepertu taurat, zabur, injil sudah terdapat di dalam Alquraan, jadi kitabullah yang dijadikan perumpamaan. Ya! mungkin itu makasudnya. Tapi kok aneh, tonggak dan landasannya masih kokoh tapi bangunnannya semakin renta ditutup sejarah, jika kuperhatikan tidak ada kerja sama yang baik antara atap dengan bangunan, apa lagi antara bangunan dengan tonggak-tonggak itu. Mungkin lebih baik atap langsung saja berada di atas tonggak-tonggak tanpa bangunan dengan begitu kelihatan satu cita-cita, tapi apa jadinya?
Ah..aku pikir lebih baik memasuki ruangan-ruangan di dalam bangunan itu terlebih dahulu agar tanda tanya-tanda tanya yang menghantui terjawab. Semenit kemudian kudapati diriku sudah berada di dalam, seketika tercium aroma alam, sebab sedari tadi perhatianku tidak luput dari keagungan seni yang terdapat di dinding ruangan yang kukira tidak jauh berbeda dengan 2 tongak besar yang berada di pintu masuk tadi. Aku semakin takjub saja, di saat menyaksikan 9 bilik besar melengkapai ruangan tengah. Tapi ruangan-ruangan itu untuk apa dan menyimpan apa? Sepertinya pintu-pintu bilik itu sudah lama tidak dibuka, debu yang berasal dari serpihan-serpian kayu membuatku lebih yakin, lagi pula pada bagian langit-langit tergantung sebuah benda sebesar nyiru, ya! aku tahu itu sejenis serangga setengah mematikan, jika kita digigit badan bisa gemuk dalam sehari. Di sudut rungan terlihat sepasukan kalong bergantungan, rasa letih di malam hari membuatnya kehilangan umur di siang hari, ya! raja-raja malam itu tidak sadar dengan kehadiranku, kalau saja ia terbangun mungkin serangan-serangan fajar akan merobek-robek kesempatanku, aku berusaha lebih-hati hati, lagi pula pengalamam mengendap-endap sudah kuwarisi sedari kecil, saat itu aku berusia 10 tahun, Amak memarahi aku karena aku memecahkan piring nasi, sudah sifatku jika Amak marah akunya pergi dari rumah, kejadian itu diawali jam 12 siang, kata Amak sedang tengah hari jangan kejar-kejaran di dalam rumah, tapi aku tidak mengacuhkan peringan Amak hingga aku menginjak piring, pecah tiga sama besar, belum sempat membilang kata ‘aduh’ mendaratlah ikat pinggang di punggungku yang sepertiga telanjang. Sejak kejadian itu aku selalu murung dan malas makan nasi, padahal Amak sudah membujukku akan mau dibelikan baju baru. Saat malam hari tiba, mataku yang sipit tidak juga terpejam, jam 10 malam aku pergi dari rumah, aku gunakan ilmu mengendap yang kupelajari saat main lakon, surau adalah tempat pelarianku, di surau banyak teman-teman sejawat. Rupanya kemarahan Amak membuatku absen dari keseharian surau. Asyiknya suasana surau kami ketika itu, di sana setelah belajar Alquran, kami belajar silat, pasambahan dan mamangan adat, setelah itu kami bermain lakon hingga main galah. Sekarang, kegiatan ini tidak ada lagi di kampung kami, surau-surau sekarang hanya dihuni oleh pemuda-pemuda yang pulang dari acara orgen tunggal, tapi aku kurang suka dengan pemuda-pemuda itu sebab di pagi hari aku terpaksa membenci surau itu, muntah-muntahan pemuda itu membuatku muak. Aku jadi malas menjenguk kampung halaman yang satu ini, di saat libur kulih pun aku lebih memilih di kosan atau cari kesibukan dalam oragnisasi Mahasiswa di Padang, jika tidak terpakaa atau disuruh Amak pulang, aku tidak pulang. Persoalan biaya tambahan harian kurasa terpenuhi oleh honor tulisan-tulisanku di koran-koran lokal yang terbit di Padang, lumayan buat jajan atau pacaran.
Ya! aku juga ingat, dulu kami pernah main umpat-umpatan dalam bangunan ini, namanya sepak tekong, aku sembunyi di rungan tengah dan tertidur dalam ayunan suasananya yang masih nyaman di lantai papan tempat ku berdiri sekarang, kalau tidak salah jam 5 sore si Andi membangunkan aku, kutahu dia teman baikku, ya! sudah pasti Andi mencariku jika aku tidak dijumpainya di rumah, kata Amak sejak lonceng sekolah berbunyi aku belum mampir kerumah, Amak cemas, ya! aku lupa mengganti pakaian sekolah. Susah mencari teman sejatinya Andi zaman sekarang, sekarang Andi sudah jadi anak rantau yang berhasil membantu orangtuanya, wajar saja, sejak selesai SMP dia sudah mulai mencium keberhasilan itu di Kota Dumai, jika ada gunjingan atau cerita juragan besi tua yang sukses dialah temanku si Andi. Berbeda dengan aku, sikap keras kepala menuntunku ke bangku kuliah seperti sekarang. Tapi aku tidak seberuntung teman-temanku yang lain, di waktu aku lulus SPMB Amak sedang susah, dan terjadilah dosa itu, Amak terpaksa menggadai pusaka untuk keperluan pendidikan aku, sekarang aku tahu bahwa kegiatan menggadai itu tidak diperbolehkan di Ranah Minang, pusaka hanya boleh digadai jika ada 3 perkara: Pertama rumah gadang kebocoran, kedua anak gadis belum bersuami, dan ada kematian tapi biaya penguburan tidak ada. Jadi, tindakan Amak saat itu tidak termasuk salah satu kategori dari yang tiga di atas. Kupikir tidak terlalu berdosa menggadai pusaka karena pendidikan, kuyakin dosa itu terhapuskan jika Amak mampu menebus gadai itu kembali. Mungkin lebih baik dari pada menjual habis. Tapi aku heran, bangunan ini sudah lama kebocoran, kenapa belum juga diperbaiki, ah..itu tidak mungkin kukira, bangunan itu kepunyaan kaum suku jambak, kudengar kabar, dua tahun yang lalu pusaka-nya sudah habis terjual untuk pembangunan Bandara.
Penyesalan ini terlalu dalam bagiku, sejak aku mengetahui bahwa aku sudah bisa bernafas hingga sekarang, aku belum pernah tahu misteri di dalam 9 bilik itu, kuperhatikan pintu-pintunya selalu tertutup rapat hingga angin pun tidak bisa lewat, kunci gembok yang terpasang di bibir pintu itu telah mampu menutup sejarah, karatan dan membasi.. Aku terpaksa melakukan tindakan anarkis, kupukul saja gembok usang itu sampai lepas dari bibir pintu bilik, sekali pukul gembok itu lepas disertainya dengan robohnya konsen dan pintu, aku kaget, cemas, rasa ingin tahulah yang membuatku sekejam ini, tanpa menunggu detik kedua dari jam 4 lewat 10 menit, aku mulai daratkan langkah kaki perdana ke dalam bilik pertama. Astaga, rongsokan dan Alquran berserakan di lantai bilik, kira-kira 10 Alquran, bukan! 12 Alquran, kupungut, kulihat, kubaca, ternyata bukan Alquran tapi sebuah kitab atau sejenis catatatan bertulis tangan menggunakan huruf arab berbahasa Minang. Aku pernah belajar membaca huruf ini di semester 2, mata kuliah itu dinamakan dengan filologi. Ya! aku mengerti, ini adalah naskah-naskah kuno yang dimakasud dalam filologi itu, tergopoh-gopoh aku berpindah ke bilik sebelah, kurasakan suasananya sama dengan bilik pertama tadi, kali ini kutemukan 13 naskah kuno, sebagian dari naskah hangus seperti baru saja dibakar, 2 di antaranya bertuliskan huruf arab asli. Pada empat bilik yang lain juga aku temukan puluhan-puluhan naskah. Dua bilik yang tersisa dikunci oleh suara azan magrib, sesegera mungkin kualihkan perhatian menyususn naskah-naskah tersebut, kubaca permasing-masing judul di antaranya terdapat ajaran tarekat, ilmu mantik dan kitab pengobatan, 2 naskah di antaranya berisi ranji keturunan, entah ranji siapa tidak begitu jelas terbaca akibat kerusakan yang diderita naskah itu, lagi pula tidak mungkin lagi dibaca dengan mata fisik. Di sudut kiri bilik kudapati satu naskah yang berisi petunjuk-petunjuk hari.
Kurasa sudah dua jam lebih kuhabiskan waktu memungut ceceran naskah tadi, kuperbaiki pintu-pintu yang roboh walau tidak seperti sedia kala, dua tunjang ini mulai kugerakan sesaat setelah rasa letih seketika mampir, kuberharap sisa tenaga ini mampu membawaku hingga ke rumah, sesaat suara gemuruh kembali terdengar dan kampung tua itu kembali diguyur hujan lebat, petir bersahutan, berkat usaha maksimal setengah delapan kurang seperempat sampai juga di rumah Amak.
**
Waktu Isya terus merangkak naik, namun lamunan membuatku begitu hanyut, serasa jantung ini membesar, detakannya yang semakin cepat hingga melahirkan bising dan membuat mata ini sulit dipejamkan, aku sedih, gundah bercampur bimbang, nasib naskah-naskah tadi, padahal awalnya mau kubawa tapi niat itu terpaksa aku urungkan kembali saat petir pertama terjadi, entahlah saat itu sifat pengecutku tumbuh, takut terjadi yang Tuhan inginkan. Namun, firasatku mengatakan bahwa bangunan tua itu tinggal menghitung hari, mungkin seminggu atau sebulan, siapa peduli! Kabarnya tanah tempat berdiri bangunan itu akan disulap menjadi saluran irigasi, dua hari yang lalu aku saksikan pegawai pemrintahan sudah mengukur perkubik dari tanah-tanah itu, katanya mau diganti rugi permeter tanah yang terpakai. Tapi bangunan? naskah-naskah? adat ? Syarak? Bagaimana nasibnya?


**Alumni Sastra Daerah Minangkabau

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987