Senin, 14 Juli 2008

VIRUS EKONOMI PRETELI KEPRIBADIAN MAMAK

Oleh M. Yunis

Berbicara tentang perubahan, kita akan menoleh kepada modernisasi. Modernisasi adalah suatu dampak dari perubahan itu sendiri. Perubahan sosial pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor yang signifikan. Faktor tersebut ada yang datang dari luar dan ada yang datang dari dalam diri individu yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Faktor eksternal yang menyebabkan individu tersebut berubah adalah kesadaran individu akan kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh individu atau masyarakat tersebut. Sedangkan faktor internal yang menyebabkan individu tersebut berubah sangat banyak, diantaranya faktor ekonomi, perkembangan teknologi, arus modernisasi dan lain sebagainya. Kedua faktor tersebut tidak dapat dipisahkan dalam perubahan sosial. Walaupun adanya ransangan–ransangan dari luar yang menuntun individu tersebut untuk berubah, namun jika tidak ada kesadaran pribadi dari individu tersebut, maka suatu perubahan tidak akan terjadi.

Jika kita perhatikan dengan seksama, penyebab yang signifikan dalam perubahan adalah faktor dari luar, yaitu faktor ekonomi. Kenapa begitu?, karena ekonomi dalam hidup adalah segala-galanya. Kebutuhan hidup sehari-hari, biaya pendidikan, teknologi, akan bermuara pada denotatum yang sama yaitu ekonomi. Apapun bentuk bidang kehidupan, akan berpondasi pada perekonomian tersebut. Orang menjadi pintar, intelek, mempunyai jabatan, semuanya didukung oleh ekonomi yang memadai, kongkritnya berupa uang. Segala keinginan-keinginan, impian-impian tidak akan tercapai jika perekonomian tidak seimbang, sehingga falsafah hidup dahulunya sangat terkenal dan dapat memberikan motivasi, sekarang tidak berguna lagi, ungkapan ‘’dimana ada keinginan di situ ada jalan’’, sekarang hanya tinggal motos, kerelevanan falsafah itu akan bertahan apabila dibalik ’’dimana ada jalan, di situ dimunculkan keinginan’’.

Minangkabau pada dahulunya sangat terkenal dengan sifat kekeluargaan, sistem kekerabatan Matrilineal sepertinya goyah oleh faktor ekonomi. Memang segala pekerjan dilakuakn secara bersama (konsi), saling membahu, itu dulu dan apakah hal seperti ini bisa diterapkan zaman sekarang, kalaupun ada ini terjadi di daerah pedesaan-pedesaan tradisional dan belum tersentuh aleh arus modernisasi. Kekentalan rasa kekeluargaan, kegotongroyongan dan sikap tanpa pamrih, seakan-akan hilang begitu saja, jika firus ekonomi bertebaran di dalam masyarakat Minangkabau dan akhirnya akan membekas menjadi mitos, legenda, dongeng di dalam sebuah folklore. Kenapa bisa begitu ?. Nah pertanyan seperti ini mungkin tidak asing lagi bagi kita, kita cukup merujuk pada konsep di atas yaitu perekonomian.

Seperti yang telah diterangkan di atas, faktor ekonomi sangat berpengaruh dalam suatu perubahan sosial. Kealamiahannya seakan-akan membawa kita hanyut dan terlena, sehingga kita kehilangan keseimbangan dan menganggap budaya tradisi tidak cocok lagi dengan perekembangan zaman. Hal inilah yang sangat berpengaruh dalam perubahan fungsi Ayah yang merangkap menjadi mamak di Minagkabau. Pada dasarnya, seorang mamak mengemban tanggung jawab yang sangat berat di dalam lingkungan rumah gadang. Masalah sekecil apapun, seorang mamak tidak akan ketinggalan. Mulai dari tanggung jawab terhadap kemenakan hingga harta pusaka dan masih banyak lagi fungsi mamak yang membutuhkan pembahasan yang lebih khusus tentunya.

Peran mamak tersebut di atas tanpa disadari telah beralih kepada ‘’urang sumando’’ selaku Ayah dari anak-anak mereka. Dalam hal ini, pandangan kita akan tertuju kembali pada faktor ekonomi. Perekonomian yang didominasi oleh seorang Ayah, akan menghilangkan dan menghambat terlaksananya fungsi mamak terhadap kemenakan-kemenakan mereka. Dalam memenuhi kebutuhan keluarga, pendidikan anak yang kian hari semakin meningkat seakan–akan telah menjadi tanggung jawab Ayah sepenuhnya, apa lagi keluarga tersebut sudah jauh dari negeri asal, yang dikenal dengan ‘’marantaau’’. Dalam pola hidup merantau ini, dominasai Ayah akan semakin kuat, apalagi rumah yang mereka tinggali di buat oleh sang Ayah. Jika mamak datang berkunjung kerumah kemenakan, namun mamak tidak berhak apa-apa terhadap kemenakan.Mamak, di sini hanya sebagai tamu terhormat, karena mamak berkuasa hanya berkuasa di lingkungan rumah gadang belaka, sedangkan rumah ini dibuat oleh Ayah mereka, maka tereliminasilah fungsi mamak tersebut terhadap kemenakan.

Sejalan dengan itu, mamak dalam keluarga batihnya juga demikian. Mamak sebagai seorang Ayah tidak akan melepaskan tanggung jawab terhadap anak-anaknya. Jika mamak dari anak-anak mereka datang berkunjung, maka posisinya tidak lebih sebagai tamu, yang tidak berhak terhadap keluarga batihnya.

Perubahan diatas seolah-olah seimbang dan tidak ada yang dirugikan, baik mamak maupun Ayah. Hanya saja Ayah sebagai mamak akan kehilangan kekuasaannya terhadap kemenakan, tetapi kekuasaan tersebut akan ditemukan kembali apabila mereka sudah menjadi seorang Ayah. Persoalan hanya akan timbul, apabila mereka tidak mempunyai keturunan atau mandul. Jika kita perhatikan, kerugian akan sangat tersa apabila ayah menempati posisi mamak di lingkungan rumah gadang, karena pada awalnya mereka memegang kekuasan yang dominan terhadap kemenakan. Dan persoalanpun kedua muncul kembali, jika kemenakan-kemenakan tidak mempunyai seorang mamak, otomatis kewajiban terhadap anak-anak akan bertumpu kepada Ayah dan sungguh tidak mungkin, jika anak-anak mereka dicarikan seorang mamak pengganti dalam mendidik anak-anak mereka.

Kita beralih kepada harta pusaka, harta pusaka yang berupa tanah ulayat, tanah kaum dan segala perangkat-perangkatnya baik surat menyurat semuanya berada di tangan mamak. Apapun tindakan terhadap harta pusaka harus melalui mamak. Penggadaian, penjualan dan sebagainya mamak yang menentukan, perempuan hanya tempat meminta pertimbangan, yang hanya bersifat formalitas belaka. Akan tetapi permasalahannya yang ketiga muncul kembali, jika keluarga rumah gadang tersebut tidak mempunyai harta pusaka, hal ini mungkin tidak menjadi masalah yang serius bagi mereka, kalaupun ada itu hanya sebatas tanah untuk tempat tinggal.

Jika kita memilah-milah dan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, maka pandangan kita mungkin akan tertuju kepada mamak. Kepribadian mamak yang sangat rapuh dan tingkah laku mamak yang ‘’busuak ariang’’ akan berubah jika berbenturan dengan faktor ekonomi, mamak merupakan di sini berfungsi sebagai pelaku aktif terjadinya suatu perubahan. Sifat mamak yang kekanan-kanakan, manja dan tebal muka, tanpa merasa bersalah dengan sengaja menggerogoti hak-hak kemenakannya. Harta pusaka (tanah) misalnya, jangankan harta pusaka keluarga, harta pusaka kaumpun dilibas oleh mamak dan hasilnya dipergunakan dalam menunjang perekonomian keluarga batihnya. Mamak memperjual-belikan dan menggadaikannya tanpa sepengetahuan dari pihak perempuan, kalaupun mereka diberi tahu, sifatnya hanya sebatas formalitas tanpa mengacuhkan argumen-argumen yang muncul dari mereka. Kita sebagai kemenakan sebenarnya telah diperlakukan sebagai ‘’urang pandia, umbua-umbua di tangah sawah ‘’kata orang Pariaman.

Merunut kepada realitas demikian, Ayah sebagai sumando tidak akan membiarkan kehancuran melanda anak-anak mereka. Berbagai arternatif-arternatif akan muncul untuk memenuhi kebutuhan keluarga batihnya, mungkin dengan menggadai dan menjual harta pusaka kaumnya ataupun meninggalkan negeri asal yang dikenal dengan ‘’marantau’’. Bagaimanapun juga, seorang Ayah tidak akan tega melihat anak-anak dan keluaganya terlantar, untuk mengatasi semua ini Ayah akan berusaha mati-matian untuk memenuhinya, meskipun harus mengadaikan atau menjual harta pusaka kaumnya. Dengan pengorbanan yang cukup besar ini, seorang Ayah tidak pantas dipersalahkan, ‘’urang sumando lapiak buruak ‘’ tidak relevan bagi mereka, tetapi sebagai mamak di lingkungan rumah gadang, mereka tetap sebagai orang yang sangat bersalah terhadap kemenakan, keluarga maupun kaum.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, merantau adalah salah satu arternatif yang biasa dipergunakan oleh seorang Ayah dalam mengatasi kesulitan ekonomi keluarganya. Dalam masa perantauan ini, ayah akan berusaha membentuk keluarga yang sakinah ’’gemah ripah loh jenawi’’ kata orang seberang, yang terlepas dari pengawasan dan keterikatan negeri asal. Pola hidup merantau ini tidak bisa disebut suatu penyimpanyan, karena dahulunya daerah rantau sudah ada di Minangkabau, namun wilayahnya masih dalam kawasan Minangkabau. Berdasarkan perekambaagan zaman, daerah yang berada di luar Minang sudah dapat dikatakan daerah perantauan orang minang, perbedaannya terletak pada pemberian upeti. Daerah rantau dalam kawasan Minangkabau tetap memberikan upeti terhadap Kerajaan Pagaruyung, tetapi sekarang Kerajaan Pagaruyung tidak adalagi. Lain halnya dengan perantau ke luar daerah Minang, mereka tidak memberikan upeti kepada negeri asal.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, faktor ekonomi sangat berpengaruh dalam suatu perubahan. Perekonomian yang tidak seimbang akan menciptakan perubahan-perubahan di segala bidang kehidupan. Ekonomilah yang menjadikan seorang mamak radikal dan ekonomilah yang mencipatakan seorang Ayah absolut. Dan ekonomi juga yang menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat di Minangkabau.

Perubahan alamiah seperti ini, seakan-akan tidak terbendung, walaupun sifatnya sangat perlahan, loyalitas ‘’kembali kanagari’’ sepertinya tidak akan relevan dengan perekembangan zaman. Sungguhpun perekonomian sangat aktif menjalankan perannya, namun proses akulturasi, inovasi, dan sejenisnya juga berperan dalam perubahan ini, tetapi pada dasarnya faktor-faktor tersebut juga dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi juga.

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987