Minggu, 10 Agustus 2008

GUGUR BUNGA

Oleh: M. Yunis

Seperti biasanya di pagi suasana perang, di saat bergejolaknya PRRI, Gandoriah berniat kembali membersihkan sampah-sampah peluru, maklumlah pemandangan pagi itu selalu menyuguhkan ceceran jejari tangan, entah tangan siapa, terkadang kepala serdadu, sesekali pejuang, memang begitu sarapan pagi se zaman Gandoriah. Seketika Gando ingat dentuman keras tadi malam bersumber dari arah dapur, semenit kemudian Gando sudah mendapati dirinya di dapur belakang, puing-puing dapur separoh arang adalah korban amukan perang tadi malam. Tidak jauh dari puing yang menghitam, Gando melihat sekelabat gundukan, lebih mirip jasad yang sudah menghitam. Menghampiri benda penghasil tanda tanya tersebut adalah pilihan tapat Gando saat itu, keingintahuan inilah yang mengantarkan Gando kepada sebuah nama yang dikenal dengan Mahmud, histeris dia menggigil memanggil Rubiah tetangga sebelah, namun panggilan itu hanya dijawab dengan tangisan pilu. Pagi itu Rubiah juga dikejutkan oleh potongan jasad paha ke atas di halaman rumahnya, muka separoh hancur. Di saat masih bernyawa di dalam buku nikah, jasad itu tercatat sebagai suaminya, Rubiah dipakasa pasrah, baginya sosok Lekra adalah pejuang sejati yang belum pantas tewas saat itu, sebab bayinya yang terakhir yang terlahir tidak normal itu masih membutuhkan kelucuan Si Lekra.
Semasa hidupnya Lekra sendiri tahu bahwa anak yang dinamai dengan Majnun bukanlah darah dagingnya, kejadian itu serba kebetulan. Pada jumat siang bulan Syafar Lekra menekuni rutinitas seperti biasa, pagi-pagi sekali dia bangun untuk Shubuh kemudian berangkat ke sawah yang memang tidak jauh dari rumah, tidak lama Lekra berlalu, sekelompok serdadu datang menanyakan Lekra, firasat Rubiah berpesan jika kereberadaan suaminya itu diberitahu, suaminya itu dijamin mati, lalu 3 anak-anaknya yang lahir dari hasil perkawinanya yang sah dengan Lekra akan menjadi yatim. Rubiah memilih kata-kata ‘tidak tahu’, seketika serdadu dengan lagak pahlawan itu menggertak disertai todongkan bedil ke kening Rubiah, sikap itu hanya dinanti dengan gigil oleh Rubiah, sebab selama hidung titempuh nafas baru pertama kalinya dia diperlakukan seperti itu. Namun, alkohol syahwat yang ditelan mentah-mentah oleh para serdadu, sudah tidak mampu lagi mendengar kata-kata ‘ampun’ dari getaran bibir Si Rubiah, walaupun sudah terselip kata, ‘’saya punya suami!’’.
Sejurus kemudian pahlawan itu terus menghardik, mendaki ketidakberdayaan Rubiah, sesaat kemudian mereka menggerayanyi apa yang menjadi pusat harga diri Rubiah. Memang pada saat itu Rubiah masih kelihatan masih ranum, hal itu pantas saja, Rubiah menempuh jenjang perkawinannya terlalu pagi dari perkiraan orang-orang di kampung, saat berumur 10 tahun Rubiah sudah dikaruniai anak pertama, hal ini adalah awal wujud kasih sayang Lekra yang nyata. Berdasarkan cerita Gandoriah, Rubiah diserang oleh 10 serdadu itu hingga dia tidak sadarkan diri, sore harinya Gando hanya menemukan Rubiah tanpa busana sama sekali.
Namun, sekarang Lekra yang dulu sangat dilindunginya hingga dia sendiri mengorbankan harga diri untuk kebejatannya para serdadu, kini tinggal potongan tubuh yang tidak berkaki, Rubiah hanya mampu menelan sisa tangis sambil menggendong bayi yang hampir genap berumur 1 tahun setengah itu. Rasa sakit yang teramat sangat itu terhenti dan diiringi kemunculan beberapa orang pemuda tanggung, mereka adalah petugas pembersihan setelah perang reda, mereka itu sudah 2 bulan mencari lindungan di bawah Laskar Pejuang Muda. Dengan segera potongan jenazah Lekra disemayankan di samping rumah Rubiah, memang itulah sebagian dari tugas Laskar Pejuang Muda. Gando hanya memandang hiba ke arah Si Rubiah, tiada pilihan lain dia hanya kembali pulang dan melanjutkan kerjaannya yang tertunda beberapa saat. Sesampai di rumah dilihatnya jasad Mahmud juga sudah tidak ada, mungkin telah dibawa kelompok pemuda-pemuda tadi, namun Gando sadar bahwa salah seorang tersebut biasa dipanggil oleh Lansi dengan panggilan Badrul, Gando sendiri menyaksikan sendiri sudah beberapa kali dia datang menemuil suaminya di rumah seusai sholat Jumat. Badrul juga tercatat sebagai anak asuhan Wali Lansi. Se ingat Gando, kesatuan pemuda itu masih tergabung di bawah lindungan Komando Keselamatan Rakyat (KKR) pimpinan Wali Lansi sendiri.
Di ujung keiklasan itu, Gandoriah hanya mampu menutupi rangkaian kepahitan dengan diam, dia dipaksa diam dan saatnya diam. Gandoriah hanyalah seorang perempuan yang ditakdirkan ada di zaman itu, sudah diperintahkan menjemput pilar-pilar dosa, agar bisa diwariskannya kepada anak serta cucu di kemudian kelak. Gando kembali menyapu halaman depan, onggokan-onggokan peluru telah berhasil dikumpulkan, tanpa sengaja tangkai sapu lidi tak bermata itu menyentuh sebuah plastik hitam di bawah jenjang Rumah Bagonjong, memang sedari tadi tidak diacuhkan Gando, mungkin itu hanyalah kantong yang diterbangkan angin atau memang sengaja dikirimkan sesorang, tapi bungkusannya yang rapi menandakan bahwa di dalamnya terdapat sebuah pesan, tangkai sapu yang masih dalam genggaman dilibaskan kekantong tersebut, keras dan sedikit berbau amis, sementara lalat-lalat hijau terus kerumuni simber bau. Rasa penasaran membopong Gando untuk membuka kantong tersebut, di dalamnya Gando mendapati bingkisan kain putih yang telah memerah oleh darah, sekilas dia membayangkan tanda di bahu serdadu yang juga merah putih, spontan dia terhenyak, seolah-olah lototan mata Si Buncit berpesan, ‘aku pulang Uni!. Lalu 3 lubang peluru masih menganga pada bagian kening, satu peluru di pelipis, potongan kepala Buncit membuat takwil mimpinya menuai fakta, dia tidak menyadari bahwa kejadian yang tidak diketahuinya itu mampu memanggil tangisnya kembali sejak raibnya saudara laki-lakinya yang pertama, jelas tanpa sebab yang pasti, orang kampung tega menusuknya dengan bambu runcing. Gando berharap ini hanyalah mimpi, tapi dia sendiri tidak pernah bangun dari mimpi buruk itu.
‘’Buncit kenapa engkau ikut pergi, siapa yang akan menjaga Uni? kamu bilang kamu tahan peluru, tidak akan mati oleh senapan-senapan itu, lalu sekarang apa?’’, rintih Gando menghiba.
‘’Hanya kepalanya yang bisa aku temukan di pasar Lubuk Alung, tubuhnya aku tidak tahu di mana!’’, suara serat mengejutkan Gando dari belakang.
‘’Raza’i!’’, Gando menoleh.
Laki-laki itu hanya menunduk.
‘’Saya sedang minum kopi siang di lapau Uni Darwis, kopi saya terlalu panas, saya pergi ke bandar untuk buang air, setelah saya kembali, saya lihat tubuh Uda sudah tidak ada, kepalanya terjungkal di bawah kolong meja. Kata Uni Darwis, 3 orang lelaki datang dari arah Barat, mereka mampir minum kopi, salah satu dari mereka membawa tali, katanya kerbau yang dibeli di pasar Kamis Pakandangan kemaren lepas, 2 orang di antara mereka memesan kopi, sementara yang satunya sibuk bolak balik ke belakang pasar yang memang tidak hari pasar. Dua orang laki-laki yang baru datang bercakap-cakap dengan Uda, sepertinya mereka sudah lama akrab, sesekali mereka menunjuk peta-peta perjuangan yang telah dibuat dengan tangannya sendiri, sejurus dengan itu Uda tercekik seulas tali kerbau yang dililitkan di lehernya dari belakang, kaki Uda terjuntai tidak menyentuh tanah, 2 orang laki-laki di depan Uda langsung menebas batang lehernya, dua kali tebasan kepalanya jatuh ke bawah, kemudian jasad Uda dibawa dengan karung menuju mudik pasar Lubuk Alung, sejam kemudian aku datang, meraka sudah tidak ada, begitulah ceritanya Ni!’’, Jelas Raza’i.
Gandoriah hanya bertumpu dengan diam, sementara itu matanya yang tajam memanah merah ke wajah Raza’i yang merah redam. Raza’i memperkuat keteranganya.
‘’Aku selamatkan kepala Uda, sesaat kulihat ada 3 lubang peluru, aku membungkusnya dengan kain putih yang aku ikatkan di leher, kemudian saya bawa ke sini!’’, Raza’i menutup keterangan dan berlalu.
Namun, pandangan Gando belum tuntas hingga tubuh Raza’i benar-benar menghilang dari kejauhan, dia kembali diam dan lebih memilih tidak memberi tahu sesuatu apapun kepada suaminya, pernah si Lansi bertanya tentang kehadiran kembali Si Buncit di dunia pergolakan.
‘’Si buncit telah pulang? di mana dia Ndo?’’
‘’Saya tidak tahu, dia perrgi lagi sebelum sempat bicara sama saya, dia pergi dengan temannya!’’, balas Gando acuh.
‘’Kamu sebaiknya di dalam rumah saja, jangan keluar rumah, kamu tidak tahan peluru seperti adikmu itu! sekarang situasi semakin memanas, saat Bung Karno menanggapi Trikora, serdadu pusat akan dikirim 2 kali lipat lebih banyak dari biasanya, sebagian besar terdiri dari prajurit Laskar Berani Mati dari Indonesia Timur dan Indonesia Bagian Selatan, kabar yang kudengar, serdadu itu sering salah orang, apa lagi melihat perempuan cantik, dia akan menganggap perempuan itu sasarannya, hati-hatilah mereka kaum itu kanibal!’’, nasehat Lansi.
‘’Kenapa mereka berbuat begitu?’’, desak Gando.
‘’Di dalam sejarah nanti akan tercatat 2 buah perang diponegoro, itupun kalau ada penulis yang mau mengungkapnya tapi bukan sejarahwan! Saya akan perintahkan Raza’i melihat rumah ini dari kejauhan, yang perlu kamu ketahui, di bawah lantai ini sudah kupersiapkan sebuah lobang, saat terjadi perang, kamu pergi ke bawah lantai itu, di sana ada kukira mampu menampung 5 orang, bawa serta anak-anakmu itu!’’, sambung Lansi melengkapi.
**
Senja itu, terlalu cepat untuk memulai sebuah perang besar, belum berlalu waktu magrib, senapan-senapan itu kembali meletus. Seperti nasehat Lansi sebelum kepergiannya ke rumah madunya Gando, Gando spontan hengkang ke bawah lantai rumah, di sana memang sudah disediakan lorong bawah tanah, Gando membawa serta si kecil Burhanundin, Si Hitam Suardi, Si Fatmawati dan Pamila. Dari Si Fatmawati inilah garis keturunan menyambung antara Azam dengan Gandoriah. Sebenarnya Gando masih mempunyai sepupu yang se nenek dia adalah Jalut tetapi sudah menetap di Buklit Luar. Pada saat yang bersamaan dengan usaha persembunyian Gando, letusan pertama tepat mengenai bagian bilik tengah, untung saja Gando beserta anak-anaknya sudah sampai di dalam lorong, kalau tidak dia akan menjadi salah satu bagian kepingan dari bilik itu. Di sela-sela letusan senapan ysang dilengkapi teriakan-teriakan perjuangan kian ramai terdengar, dalam suasana mencekam itu sekilas Gando masih sempat memikirkan takdir yang akan menimpa suaminya di perjalanan.
‘’Benar! dia dikawal oleh beberapa serdadu, tapi serdadu itu tetap seperti manusia, tidak tahan peluru, Si Buncit yang tahan peluru saja masih bisa kehilangan tubuhnya di Pasar Lubuk alung, lalu apa bedanyanya dengan serdadu itu dan juga Wali Lansi yang keras kepala itu! mudah-mudahan tuhan meluruskan jalannya!’’, umpatnya dalam hati.
Hingga subuh menjelang, suara letusan-letusan itu masih terdengar, pekikan kematian, perjuangan? siapa yang berjuang untuk siapa, semuanya menjadi samar, yang jelas setiap orang yang bernapas malam itu hanya berusaha untuk hidup tidak obahnya dengan Gando yang memilih lorong tanah. Lain halnya dengan orang-orang di luar sana, mereka berjuang melepaskan tembakan, pekikan, lemparan granat atau dengan mebunuh saudaranya sendiri, memang seperti itulah keheningan malam itu.Ya! keheningan yang bernodakan darah saudara, sanak famili handai tolan, sama-sama menjadi sampah kemerdekaan.

Bersambung...!

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987