Minggu, 10 Agustus 2008

NENEKKU GANDORIAH

Oleh: M.Yunis

Matahari merangkak lamban, Gandoriah yang keriput ungu berjalan di pinggiran lintas Pariaman-Lubuk Alung, watak keras si Gandoriah menciptakan takdir Azam sebagai cucu yang kelewatan kewalahan, itu pula yang menjadi pangkal bala keharusannya mengekejar gerbang penghabisan, si nenek rela berkoraban apa saja untuk kepentingan orang banyak. Ya! Tentunya sebagai orang salapan di dalam Nagari, dia diserahi banyak tugas, mulai dari membuat joadah hingga mempersiapkan acara perhelatan pihak keluarga yang akan segera tayang, mereka menyebutnya saremonial. Realitas usang ini layak dihadirkan hidup di kampung Bukit Gadang, yang mana di sana sebuah raja kemasyarakatan sangatlah di kedepankan.
Sebagai orang yang dituakan di dalam kampung, Gandoriah merasa sangat bertanggung jawab atas kelancaran dan keberhasilan sebuah pesta anggota masyarakat yang berhajat, dia telah lupa bahwa dirinya juga seorang anggota masyarakat yang patut pula mendapatkan santunan di saat usianya yang uzur, berkali-kali Azam telah menegaskan.
’’Nek!, janganlah nenek lalaikan sholat, boleh menolong orang, tapi tunaikan dulu kewajiban ke pada tuhan!’’, kata-kata ini sering diulang-ulang Azam saat Gandoriah untuk kesekian kalinya pulang terlambat. Memang dasar si Nenek yang telah dilahirkan menjadi orang aneh, acuh seperti biasa dan pergi tanpa meninggalkan kata-kata dan tanpa alasan. Sebagai cucu yang disayang, Azam tidak punya kuasa memarahi neneknya itu, apalagi menghardik, tapi jalan ketabahan mampu menghantarkan Azam ke pintu pasrah, Azam berharap mudah-mudahan Si Nenek ditunjukan jalan gaib sehingga kesadarannya pulih kembali, sebab bagi Azam sendiri Gandoriah adalah orang yang sangat berjasa, saat Azam dimarahi ibu ataupun ayah, Gandoriah adalah tempat pelarian yang nyaman dari umbaran kesedihan yang mungkin merayap hingga berhari-hari. Azam masih ingat memorial awal saat mau masuk kuliah tahun 2002 dulu, Gandoriahlah satu-satunya dewa penyelamat, dia sanggup meruntuhkan tembok birokrasi yang berlindung di balik uang semester. Gandoriahlah yang membayar uang semester Azam untuk pertamakalinya.
Sebenarnya Azam pun tahu bahwa uang yang wujud aslinya adalah onggokan lidi-lidi daun kelapa, perhari, bulan, tahun sehingga wujud itu menjadi ada. Padahal sebelumnya tidak terbesit dalam ingatan Azam bahwa lidi-lidi itulah yang membopongnya ke bangku perkuliahan. Azam tidak pernah mengumpat kehadiran kedua orang tuanya, hasil ojek Ayah dan propesi Emak sebagai buruh sawah ketika itu tidak kuasa mengabulkan impin Azam, bisa berjalan di batas lingkaran perut saja sudah syukur, lalu apa salahnya Gandoriah mencangkok tugas tersebut?
Bagi Azam mungkin neneknya itu keterlaluan sabar, dia pernah dongengkan sejarah PRRI dan PKI dulu. Masa itu kakek Azam Wali Lansi dihadiahi gelar pahlawan gugur ditembak oleh tentara rimba. Sebagai pejabat Wali Nagari, suami Gandoriah ini juga diberi gelar orang terlibat, tragisnya kejadian berlangusng di rumah istri keduanya di Bukit Tengah yang berjarak 2 desa dari rumah Gandoriah, padahal sebelumnya sudah diberi wejangan dan beberapa pituah oleh Gandoriah.
‘’Uda! Hari sudah malam, suasana sedang panas sekarang, tentara rimba sedang menuntut balas atas kermatian Udin di lapau kemaren!’’.
‘’Lalu apa hubungannya dengan saya, saya tidak ikut-ikutan mengeroyok Si Udin itu!’’, cetus Wali Lansi.
‘’Iya! Memang Uda tidak ikut-ikutan, tapi Si Lekra, Ajai, Saparudin, Mahmud itukan teman Uda!, mereka siang malam bersama Uda? Siapapun akan berpikir bahwa dalangnya adalah Uda!’’, suaranya mulai keras dan miris.
Mungkin itu cara masyarakat tradisioanl merayu si suami agar tidak pergi meninggalkannya. Namun tidak bagi Lansi, seperti kebanyakan laki-laki Minang lain dia terlalu malas menanggapi omongan istri yang kian lama makin memudar dari penglihatannya.
‘’Gando! Saya ini orang berpengaruh di sini, Wali Nagari!, sudahlah! jangan berpikiran di luar kemampuan kamu itu! Besarkan saja anak-anakmu itu kelak dia juga akan menjadi pejuang dalam suasana dan masa yang lain!’’, cetusnya menutup. Berselang beberapa waktu, Lansi memenuhi janjinya dia pun berlalu menuju rumah istri keduanya. Memang 19:00 WIB di kampung Bukit Gadang sudah memasuki suasana mencekam, intipan kematian merambat dan siap mengitari siapa saja, letusan senapan menjadi pemula sebelum disahuti oleh raungan di tempat–tempat lain.
Ya! di zaman transisi itu Gandoriah memang selalu bergelut dengan kematian. Dulu, di depan rumahnya ada serdadu yang digorok, kepalanya tidak ditemukan, sepertinya serdadu pusat, paginya gerombolan serdadu mendatangi lokasi musibah, mungkin teman dari serdadu yang digorok, tanpa basa basi mereka membentak.
‘’Hei kamu! Kamu lihat kejadian ini?, kapan terjadinya?’’, serdadu itu membentak.
Sementara itu Gandoriah asyik dengan kesibukannya menyapu halaman yang penuh dengan sampah-sampah peluru, begitupula dengan bercak-bercak darah di dinding itu diusap bersih dengan air asam.
‘’Kenapa kamu diam saja! kamu mau ditembak.., hah?
‘’Dimana kamu sembunyikan kepala kawan kami? Siapa yang melakukannya?’’, sambung para serdadu.
Gandoriah hanya melirik sinis ke arah serdadu, mereka berpakaian hijau loreng, di bahu kanan tertempel warna merah dan putih, Gandoriah tidak tau apa arti lambang itu, tapi dia yakin gerombolan itu adalah orang suruhan pemerintah untuk membantai warga, suaminya pernah bilang bahwa ciri-ciri itu di miliki oleh serdadu pusat. Namun baginya, sebutan tentara terlalu halus untuk serdadu itu.
‘’Dasar pelacur arab!’’, umpat sardadu itu bengis.
Sejurus kemudian, moncong senapan lasar panjang sudah menempel di dahi Gando, letusan pertama akan membuat otaknya berantakan dan berhamburan keluar dari tengkoraknya, tapi kepasrahan membuat muntahan peluru itu nyasar setelah berhasil ditepis oleh munculnya parang orang asing yang datang tiba-tiba dari samping serdadu. Saat itu hanya lutut Gando yang jadi amukan timah panas senapan serdadu, sesaat Gando terjatuh dalam diam tanpa rintihan. Apa mungkin Gandoriah sudah bosan merintih? Sementara para serdadu tertegun terkesima dengan kemunculan penyelamat sekaligus saudara Gando, ’Buncit!’, begitulah Gando memanggilnya. Ya! Itu salah dia sendiri dilahirkan dengan perut gembung berisi.
Buncit yang tidak obahnya seperti pendekar dari Timur meraih kembali parang yang panjangnya dua depa, kokoh menancap di tanah merah. Belum sempat sepatah kata pun meloncat dari sela keterpanaan serdadu, besi pembasmi itu mengayun kembali membelah suasana, tapi lambang merah putih di pundak kanan serdadu itu membuat si Buncit tertegun.
‘’Kamu sekalian serdadu dikirim oleh pemerintah bukan untuk membantai kerabat saya, tapi untuk membersihkan sampah-sampah kemerdekaan, kalian hampir saja membunuh kakak saya! kalian tau? Dia itu istri Pak Wali di Bukit Gadang ini, tidak mungkin harus menyampahi kemerdekaan kalian!’’, sela Buncit ditengah keterpanaannya.
‘’Saudara!...saudara!, siapa Saudara?’’, Pimpinan serdadu sedikit gugup, walaupun moncong-moncong senapan mereka telah siap mencabik-cabik kenekatan si Buncit.
‘’Saya ipar Pak Wali, kalian mau menembak saya, berarti kalian siap meninggalkan negri ini selamanya!’’, teriaka Buncit bengis dan langsung mengangkat parang, ayunan ketiga Buncit berhasil memisahkan kepala pimpinan serdadu dari badannya. Plaass! Kepala itu jatuh seketika, kejadian itu membuat kawanan serdadu lamban angkat senapan, tebasan-tebasan yang memburu, mencerai beraikan keberuntungan para serdadu saat itu. Sudah kepalang tanggung, dua kali tebasan lagi tangan dua serdadu pun terputus dilengkapi erangan yang menyayat. Sejurus dengan itu, letusan senapan di sekeliling Buncit menyalak membabi buta, namun timah beracun itu hanya mampu mencabik-cabik seragam silat hitam yang dikenakan Buncit.
‘’Aduh sang hiang widi, orang ini tahan senapan!’’, ucap serdadu menahan gigil.
Seperti menemui jalan buntu, delapan serdadu mundur ke semak-semak di samping rumah Gandoriah. Si Buncit terus memburu para serdadu hingga bayangannya menghilang dari kejauhan. Ya! Gandoriah tidak lain hanyalah korban lampisan emosi komplotan serdadu, kini hanya mampu menyeret langkah-langkah kepiluan sebab sudah terlalu lama hatinya lebam, mungkin luka itu tidaklah sebanding dengan kaki kanan yang terlanjur dibanjiri darah. Sesaat situasi itu telah ciptakan kerumunan, ramai orang berlarian ke rumah Gandoriah dan menggotongnya ke tempat pembaringan. Sementara dari kejauhan, suara-sura senapan masih bersahutan, sesekali terselip erangan, entah erangan siapa, serdadu atau si Buncit, yang jelas erangan itu adalah erangan kematian.
Gandoriah tertegun dengan selaksa keheranan, entah dimana adiknya itu mempelajari ilmu kebal. Dua tahun menghilang kini muncul sebagai pahlawan-pemberontak atau pemberontak-pahlawan? Sekian gunjingan pernah mengabarkan, Si Buncit itu hanyalah saudara se ayah dengan Gando, jika tidak karena kemunculannya yang tiba-tiba, Gando sudah tercatat sebagai sampah kemerdekaan ketika itu. Sebenarnya Gando belum menginginkan kehadiran Si Buncit saat itu atau sekurang-kurangnya tidak sebagai orang kebal, sebab kehadiran yang seperti itu membahayakan siapa saja terutama pemimpin-pemimpin di zaman bergejolak. Kalaupun dia tidak melakukan sebuah kesalahan, maka di sanalah letak kesalahan itu, kesalahan atas kehadirannya yang kurang tepat dan juga kurang bermakna. Andai saja dia hadir agak lebih awal tentunya dia mampu memilih jalan kebenaran, serdadu rimba atau serdadu pusat, atau mungkin hanya betul-betul menjadi pahlawan? Mestinya dia tidak mengikuti jejak Gandoriah yang tercatat sebagai pewawaris sesat sejarah. Si Bucit tidak harus menjadi pembela rakyat. Dia juga tidak harus menjadi orang Asu.


Bersambung....!

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987