Minggu, 10 Agustus 2008

LASKAR PEJUANG MUDA

Oleh: M.Yunis

Kabut murung di puncak Gunung Tandikek masih enggan beranjak, sementara itu burung murai batu terus berputar di atap Surau, sesekali terdengar keluhannya, ‘picieng!...picieng!’. Dalam waktu bersamaan dari sebelah Timur awan-awan gundul yang ber-arak spontan bergerak lamban saat bersentuhan dengan tower di tengah hamparan sawah pusaka. Seperti masa-masa sebelumnya, sebentar lagi gemuruh akan menggema menyerupai petir, sudah bisa ditebak bahwa tidak beberapa jam lagi akan turun hujan. Sejurus dengan itu, di tonggak tua rumah, Badrul masih tenggelam dalam lamunan panjang, sedih karena baru saja kehilangan kedua nenek. Berita tetangga yang baru saja diterima kemaren bahwa Sabtu siang kedua neneknya menekuni rutinitasnya berjualan kue ke pasar Lubuk Alung, saat menjelang tengah malam nenek tersebut belum juga hadir di rumah, Si Buyung resah, terkadang separoh yakin bahwa neneknya tertangkap atau jadi korban perjuangan hidup.
‘’Ah.., tidak mungkin, nenekan mempunyai ‘kartu bersih’ yang kemaren di kasih cuma-cuma oleh Pak Wali, lebih baik saya tanyakan langsung kepada Pak Wali!’’. Badrul segera manarik diri untuk bangkit dari terpaan lamunan, tanpa menunggu jam 11 siang dia pun berangkat ke rumah Wali Lansi, di rumah itu Badrul hanya mendapati Gandoriah yang saban hari membersihkan halaman dari sampah-sampah mesin. Badrul terpaksa memutar kincir-kicir kepala, berhadapan dengan Gandoriah samahalnya dengan menatap mata singa betina, sikap perempuan itu sudah melegenda di Bukit Gadang, sikapnya selalu dingin saat berhadapan dengan orang asing, tak terkecuali denghan suaminya Wali Lansi masih terasa asing di matanya. Memang Gandoriah adalah orang yang susah tafsirkan sikap maupun tingkah lakunya bak akan menerkam siapa saja dengan kebenciannya. Meskipun Badrul hanya mendapatkan cerita itu dari mulut ke mulut, namun Badrul tetap yakin bahwa Gandoriah cukup bernyali mengahadapi laki-laki, apalagi setelah kematian adiknya Si Buncit, hatinya bertambah beku.
Sesaat kemudian Badrul mengarahkan lirikannya kepada anak-anak Gando yang kebetulan siang itu sedang asyik main perang-perangan di semak belakang rumah. Badrul memberanikan diri membuka pembicaraan ketika itu.
‘’Akhir-akhir ini stasiun ramai ya Ni!’’
Gando hanya memperlakukan Badrul tak obahnya seperti serdadu yang datang kemaren, dia masih tetap meneruskan pekerjaannya.
‘’Uni! Sepertinya anak Uni itu sangat berbakat menjadi pejuang atau tentara!’’, sapa Badrul.
Gando spontan melotot kepada Badrul, memang benar-benart seperti singa betina yang siap menerkam siapa saja, mungkin Gandoriah marah atau ada hal lain yang akan disampaikannya terlebih dahulu. Begitu pula sebaliknya, wajah Badrul memerah kecemasan, Badrul tahu walaupun kelihatan kurus begitu, Gando masih mewarisi darah pendekar Japa yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Badrul juga pernah mencuri gunjingan tetangga bahwa Pendekar Japa itu orangnya kerdil tapi sangat lihai mengelakan serangan musuh, sebagian orang bilang Pandekar Japa punya ilmu tahan karasani , hilang sudah nyali Badrul seketika. Namun Badrul masih beruntung sebab apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi, entahlah apabila Gandoriah mengetahui siapa Badrul sebenarnya, Gando keburu angkat bicara.
‘’ Nenekmu sudah tiada, dia di perkosa di stasiun, hanya kue dagangannya yang ikut menaiki kereta, kamu mengenal gadis-gadis itu? Dua gadis berkulit putih itu telah merampas kehidupan 2 nenek kamu, gadis itu mungkin tidak mengira bahwa mereka harus menjadi pewaris kedua orang nenekmu itu, jangan heran kejadian itu di luar kemauan dan kuasa mereka!’’.
Mendengar keterangan Gandoriah, tensi darah Badrul spontan turun naik, kepalanya panas membara, mata berkunang, entah darimana Gandoriah mendapatkan berita tersebut. Harapan Badrul terhempas dihimpit kekejaman nafsu politik zaman.
‘’Kamu jangan pernah mempengaruhi anak-anaku, dia tidak akan menjadi pejuang ataupun tentara seperti yang akan kamu lakukan!’’, peringatan Gando.
Setelah mendengar berita tersebut, Badrul hanya mampu berjalan tertatih-tatih ke arah Jalan Pedati, pandangan sayup-sayup sampai lengang dari kejauhan, sesekali bulatan-bulatan pandangan di tujukannya ke arah pedati yang lalu lalang. Badrul baru menyadari bahwa situasi politik perang telah merenggut kedua nenek tercinta padahal badrul sendiri hafal sekali taktik tersebut, dia pun pernah mempergunakannya di saat nafsu lartanya memuncak, ya! Sikap binatangisme itu adalah senjata yang ampuh dalam megalihkan perhatian lawan maupun kawan. Kemudian Badrul berlalu bersama pedati kedua yang datang dari Barat.
‘’Mau kemana Yung?’’, tegur empunya pedati.
‘’Bisa Bapak membawa saya ke Bukit Tangah?’’, pinta Badrul.
‘’Iya.., saya juga mau menuju ke arah sana! apakah kamu mau ke rumah Wali Lansi? memangnya ada keperluan apa hingga mencari-cari Pak Wali?’’, berondong pemilik pedati.
‘’Darimana Bapak tau bahwa saya mau ke rumah Wali Lansi?’’, tanya badrul heran.
‘’Buyung! Tampangmu itu penuh amarah dan dendam, biasanya untuk mengobati tampang seperti itu adalah berhadapan dengan Wali Lansi, orang percaya bahwa dia mampu menyelesaikan semua masalah, tidak salah banyak orang menyebutnya good father!’’, jawab tukang pedati meyakinkan.
‘’Sudah lama nenek luput dari semua kesalahan, tapi kini sejarah kembali terulang. Serdadu di stasiun itu memilih kedua nenek saya sebagai pahlawan, kartu pelinudng nenek direbut serdadu stasiun itu dan kedua gadis itu serta merta hadir, kartu itu dipindahtangankan kepada mereka, kata orang kedua gadis anaknya Datuak Ami Said!’’, napas Badrul memburu.
‘’Oh.., rupanya gadis itu masih hidup, bukankah mereka sudah dijual Sutan Pandeglang Si Pedagang pisang di Pauh Kambar, seharusnya kubunuh saja sekalian waktu itu, biar mereka bisa menjaga bapaknya di alam sana!’’, gerutu tukang pedati dalam hati.
Tukang pedati yang sering dipanggil penumpang dengan sebutan Pak Rusli ini memang mempunyai dendam pribadi terhadap Datuak Amai Said, bibit dendam itu tumbuh subur dan memetiknya saat pasukannya mengpung pasar Pariaman. Memang sudah 3 bulan Rusli menjadi salah seorang tentara rimba, kelihaian bergaul dan tukang pedati yang dilakoninya mampu mengelabui masyarakat biasa, pedati tua yang dimilikinya mampu menutupi jejaknya sebagi tentara rimba, walau kadangkala terlihat hanya bolak balik dari Pariaman menuju pasar Lubuk Alung.
Awalnya Rusli berhutang sehelai sajadah kepada Ami Said sebagai bekal di dalam rimba. Bertepatan 3 minggu setelah penyerangan ke Kota Padang, dia kembali ke rumah, di rumah Rusli dihadiahi cerita menyakitkan oleh istrinya Fatma bahwa putrinya telah dinodai Dt. Amai Said, kemudian dijadikan istri ke-8. Amai Said bilang keinginannya itu sudah se izin Rusli, katanya Rusli sendirilah yang menjadikan putrinya itu sebagai jaminan hutang di saat jatuh tempo dua minggu dan teranyata Rusli belum bisa menepati janjinya.
Setengah jam berlalu dan juga sudah setengah jam pula Rusli terkenang kembali dendamnya yang belum tuntas, namun kedua laki-laki itu masih terdiam seribu makna di atas pedati.
‘’Anak muda, kamu orang yang bermasalah, hatimu penuh kemurkaan, tuntaskan hasratmu itu!’’, suara Rusli memecah keheningan.
‘’Pak tua! kendalikan saja kerbau Bapak itu, jangan ikut campur urusan saya, tau apa Bapak dengan perjuangan, tau apa Bapak dengan senjata, Bapak hanya seorang tukang pedati yang mengharapkan jasa upahan dari penumpang, jangan banyak omong, saya sudah memiliki senapan laras panjang, saya sengaja mencurinya dari serdadu senen siang kemaren!’’, kata-kata Badrul sedikit angkuh.
Rusli terdiam terhimpit oleh suasana hati Badrul yang tak menentu, namun hatinya berkata.
‘’Anak muda ini terlalu angkuh sebagai laki-laki seukuran dia, mungkin dendam kesumat yang telah membangunkan dewa kemarahannya, ah..lebih baik saya diam saja, terlalu banyak omong membuat jejak rimba saya tercium, kemudian tubuh ini akan terpisah-pisah di cincang serdadu pusat!’’.
Saat matahari tepat di ubun-ubun, sedang lapar-lapar anjing, dan saat ramai orang di Surau, Badrul sampai di Rumah Wali Lansi.
‘’Asalamualikum Pak Wali!’’, salam Badrul tergesa-gesa.
‘’Walaukum salam!’’
Belum sempat membuka pembicaraan, Wali Lansi mengeluarkan sebuah surat bercap stempel merah, agak mirip surat kuasa dan setengah surat perintah.
‘’Kamu saya perintahkan mengomandoi Laskar Muda, dengan sebuah Ikatan Pejuang Muda, tetapi di bawah Momorandumku, berapa orang anggotanya terserah kamu, rekrutlah sebanyak Mungkin!’’, perintah Wali Lansi.
‘’Tapi Pak Wali..?’’,
‘’Ini bukan saatnya kamu memprotes keputusanku, pasalnya sudah sudah ditetapkan di tingkat pusat, kamu mengerti?’’, hardik Wali Lansi.
‘’Tunggu pak Wali, tugas kami apa saja?’’, tanya Badrul memburu.
‘’Tugas kalian adalah membersihkan apa yang patut dibersihkan, sudah terlalu banyak sampah yang kehadirannya sangat mengganggu ketentraman dan kerbau-kerbau itu harus kamu lenyapkan, tapi tinggalkanlah kepalanya agar dapat disemayankan oleh keluarga mereka. Semoga ini dapat menjadi contoh bagi penduduk yang tidak mau di amankan!’’, terang Wali Lansi.
‘’Sejujurnya saya belum pernah membunuh Pak Wali, kalaupun saya membunuh saya tidak termasuk pembunuh yang baik’!’, pancing Badrul.
‘’Namanya pembunuh itu tidak ada yang baik, sekarang tidak ada orang yang baik bahkan pada masa yang akan datang. Suasananya seperti ini akan tetap kembali terulang, hanya saja zaman dan penamaannya sudah berbeda. Baiklah! kamu akan dilatih oleh 3 orang perwira dari pusat, sekarang dia sedang berusaha menyatu dengan masyarakat kita, mereka itu sudah lama menguasai bahasa daerah, Mayor Sugandhi dari seberang sudah menukar namnya dengan Yusuf, Kopral Suryadi sekarang dipanggil Pandai Sikek, dan terakir Kepala Polisi di Padang mayor Syafrudin kupanggil dia dengan sebutan Udin, sesegera mungkin kamu akan berinteraksi dengan mereka!’’, jelas Wali Lansi.
Badrul termanggu dan tertegun mendengar perintah dadakan itu, dia membayangkan sulitnya hidup di medan perang, dihantui rasa bersalah, takut mati, dan keputusasaan semuanya akan campur aduk.
‘’Jangan berpikir, tetapi lakukan segara, kamu mau hidup apa tidak? Kalau mau hidup kamu harus tegar, atau mungkin kamu lupa kepada kedua nenekmu itu?’’, pancing Wali Lansi.
Semangat Badrul kembali bangkit.
‘’Siap laksanakan Komandan! sekarang tugas pertama kami apa komandan?’’, berondong Badrul tidak sabar.
‘’Kamu bersihkan sampah-sampah di pasar Lubuk Alung, tapi ingat berpandai-pandai dengan penduduk!’’, jelas Wali Lansi.
‘’Siap bertugas komandan!’’, ujar Badrul memutus dan segera berlari-lari anjing ke arah kelompok yang sedari tadi sudah menanti kehadirannya.
‘’Kita siap bertugas komandan!’’, sambut angota laskar serentak.
‘’Siap!’’, sahut komandan baru dengan penuh kegagahan, yang notabenenya adalah Si Badrul yang dulu lugu, pemalu, sekarang hanya punya satu tujuan, yaitu perang.

Bersambung...!

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987