Selasa, 28 Oktober 2008

ANAK DURHAKA


Oleh. M. Yunis

Seperti biasanya pagi itu Fatma pergi mengantar Sala Lawuak ke warung-warung, memang begitulah cara sampingan bagi Fatma mencari nafkah, lagi pula hasil ojek suaminya tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari, kebutuhan akan biaya hidup semakin berat saat menyekolahkan 6 orang anaknya. Fatma memang tidak semapia menamatkan Sekolah Dasar, tapi dia ingin anak-anaknya itu tidak memilih jalan seperti dia, lagi pula keenam orang anaknya itu cukup pentar di sekolah mereka. Si Azaam yang sekarang menimba ilmu diperguruan tinggi di Kota Padang memang tidak terlalu membebani karena dia sudah mendapatan beasiswa dari kampusnya. Secara tidak langsung biaya Azam tidak terlalu dipikirkannya, Fatma menganggap Azam bisa cari uang sendiri, sebab Azam pernah berjanji sebelum measuk kuliah bahwa dia kan kerja sambil kuliah, kenyatan itu benar-benar dipenuhi Azam tetapi dalam penamaan lain. Anaknya yang nomor dua juga sudah bisa buka usaha sendiri, tapi dia terlalu lugu dan terlalu jujur, cepat percaya kepada orang lain. Dulu saai dia menjalin bisnis dengan orang Kolos asal Tanah Datar, dia ditipu. Orang itu yang berperan sebagai pemasok kain yang akan di olah menjadi ordeng pintu kaca, saat lebaran menjelang upah jahitan di terima Yoserizal hanya Rp. 2.000.000, 00, padahal berdasakan Notta seharusnya Yoserizal menerima Rp. 6.000.000, 00. Tetapi orang Kolos itu berjanji akan membayar lunas setelah lebaran, Yoserizal yang merasa tidak akan tejadi apa-apa menuruti, lagi pula uang 2 juta itu sudah mampu membayar gaji karyawannya selama bulan puasa, lebihnya yang Rp. 200.000 sebagai uang jajan saat lebaran.
Namun setelah 3 bulan berlalu setelah lebaran, janji orang Kolos itu tidak kunjung dipenuhinya, sudah berkali-kali Yoserizal menagih kepadang, jawabnya belum ada uang. Untuk menbghindari konflik Yoserizal terpaksa merelakan uang tersebut setelah 2 tahun tidak juga dilunasi orang Kolos itu, akan lebih parah lagi saat berita tersebut diketahui Azam, kakaknya yang satu itu masih tersebut oranggila meskipun dia sudah kuliah, dia memang tidak suka keluarganya disakiti. Saat Azam bertanya persoalan uang tersebut Yoserizal mejawab uang itu sudah dulunasi. Fatam geram dengan sikap Yoserizal yang seperti itu, tapi apa mau dikata itu adalah keputusan tebaik bagi mereka. Kemudan anaknya yang msih duduk di bangku MAN, satu orang yang duduk di MTSN dan 2 orang masih Sekolah Dasar cukup membuat kantong Fatma dan suaminya kering kerontang meradang.
Namun yang mejadi buah pikiran Fatma sekeluarga tidak hanya sebatas itu, sikap orang kampung yang kurang bersahabat selalu menyisishkan keluarga ini, fitnah dan gunjingan masyarakat selalu menimpa keluarga ini. Sebenarnya sebagain msayarakat telah memaafkan kesalahan yang tidak pernah dilakukannya itu, tetapi saudara se moyang yang tingal bersebalahan dengannya itu yang menjadi bianmg keladi, oarang menjulukinya kacang miang, yaitu tetumbuhan yang berbulu gatalgatal, apa bila tersentuh dengan tumbuhan itu sekujur tubuh gatal semua, begitulah sikap tetangga yang satu itu dulu sebelum Indonesia belum merdeka hingga sekarang. Benar kata pepatah bahwa buah tidak akan jatuh jauh dari batangnya. Persis sikap dan perangai orang tua dan nenek mereka dulu yang telah diawrisinya. Pertengkaran antara kedua keluarga ini sudah menjadi rutinitas keseharian, bahkan tokoh masyarakat pun sudah pernah terlibat dalam penyelesaian.
Sepulang dari warung biasanya Fatma pergi melihat padi di sawah, padi yang ditanam 3 bulan yang lau itu kelihatan sudah agak menguning tetapi sebagian dari petak pertma sudah habis oleh hama tikus, 2 petaknya lagi diperbutkan hama walang sangit dam burung, namun Fatma tetap memiliki semangat tangguh, dia tidak akan menyerah begitu saja terhadap nasib yang mempermainkan hidup keluarganya, dia tidak pernah mengeluh dan menyalahkan orang lain atau sejarah masa lalu. Baginya hidup itu adalah perjuangan, jika berani hidup harus berani berjuang, tidak berani berjuang mati saja, begitulah konsep yang selama ini diterapkannya.
Di perjalanan menuju rumah Fatma meleawati rumah Rosna, Fatma mendengar suari ribut dan pekikan histeris dari dalam rumah itu, tidak asing lagi itu adalah suara Rosna yang sedang ketakukan. Semenit kemudian Fatma melihat seorang laki-lakikeluar dari dapur rumah dengan parang terhunus, dia mengacungkan telunjuknya kepada Fatma yang sedang lewat, tapi terus saja berlalu dengan mempercepat langkah kakinya. Fatma tahu dia adalah anak dari Rosna, dia itu orang gila, suka membuat keonaran denmgan siapa saja termasuk dengan orang tuanya sendiri. Sebulan yang lalu pernah terjadi ribut-ribut di warung depan surau, di sana terjadi baju hantam antara pemuda dengan sesorang yang terperosok kebawah meja, sementara sebilah parang tertancap di tanah depan warung, ternyata seseorang itu adalah anak Rosna tersebut, mukanya dipenuhi dengan darah setelah diopor-opor oleh pemuda setempat, entah apa masalahnya Fatma tidak tahu persis. Tapi sekarang keributan itu terjadi dengan orang tuanya sendiri,mungkin saja orang tua itu di tampar atau di sepak Fatma juga tidak tahu.
Setelah sampai di rumah Fatma terus memperhaatikan rumah yang menimbulkan bising tersebut, Fatma melihat Rosna lari keluar rumah dan di susul oleh anak laki-lakinya dengan parang terhunis, Rosna terus histeris memohon pertolongan dari siapa saja yang mendengar rintihannya.Dia terus berlari menuju jalan raya hingga kedua bayangan itu hilang, entah apa yang terjadi kemudian tiada seorangpun yang tahu.
‘’Ah biarkan saja, kalupun dia mati itu akan mengurangi bebanku, lagi pula kalau aku ikut campur, aku akan menjadi korban kedua setelah orag tua itu’’, ucap Fatma dalam hati. Fatma memang menyimpan kesan yang tidak baik terhadap keluarga Rosna, bagaimana tidak, keluarga itu selalu ciptakan gosip dan membeberkan kejelekan keluiarga Fatma dimana saja, lebih-lebih si Rosna itu selalu mengadudomba Fatma dengan sudara-saudaranya sehingga Fatma dijauhi oleh saudara-saudaranya dan yang paling menyakitkan dikucilkan oleh orang sekampung. Begitulah kehidupan Fatma di kampung Bukit Luar Banda, selalu dipandang sebelah mata, karena itupulalah Fatma dan suaminya beringinan semua anaknya sekolah tinggi, kecuali Yoserizal yang memang tidak berminat untuk melanjutkan studynya. Setelah kejadian itu berlalu Fatma pun berniat pergi ke sawah di kampung Bukit Ujung. Semua peralatan sudah disiapkan, termasuk topi, arit, sebungkus nasi dan satu botol air mineral.
Ketika itu Fatma sendirian di rumah, suaminya pergi mengojek, anak-anak mereka pergi menekuni rutinitasnya masing-masing. Sepinya rumah itu terasa asri, tenang dan damai. Namun kenyamanan itu terusik setelah suara burung murai batu yang memutari rumahnya, semenit kemudian sosok laki-laki sudah berdiri di depan pintu masuk rumah, Fatma tertegun dan tanap sadar Fatma telah menjatuhkan barang bawaannya. Dia melihat Bujang anak Rosna itu kembali, kini berada di rumahnya dengan parang terhunus, jantung Fatma berdetak kencang saat laki-laki itu mendekartinya.
‘’Kamu jangan macam-macam, kamu belum tahu siapa aku?’’, laki-laki itu meraung bagaikan harimau lapar sembari mengacungkan parang berkilat ke arah Fatma.
Fatam berusaha bersikap tenang walaupun dia belum tahu nasib yang akan segera menimpanya.
‘’Ma...maksdumu apa Jang?’’.
‘’Kamu yang bilang samaorang kampung bahwa kau telah mencuri buah pinangmu di belakang rumah!’’.
‘’Saya tidak ngomong apa-apa walaupun saya sewndiri melihat kamu mengambil buah pinang itu, tapi saya demi Allah tidak melakukan itu’’, tepis Fatma.
‘’Jangan berlagaj pilon, aku sendiri mendengar keterangan Ibuku kemaren bahwa kamu yang menyebut saja maling, aku bunuh kamu!’’, laki-laki itu mulai mendekati Fatma, sementara Fatma menggil ketakutan. Dia ingat 7 orang anak yang akan di tinggalkan, dia bangkit dan lari kearah dapur, laki-laki itu terus mengejar dengan parang, sementara Fatma sudah berada diluar rumah dan terus berlari kearah Jalan raya sekencang mungkin.
‘’Ibu ku saja mau kubunuh, apa lagi kamu hanya saudara sepupu dengan ibuku, pantangku abaikan’’, laki-laki itu terus mengoceh.
‘’Ampun Jang! Ampun Jang! Jangan bunbuh saya, anak saya banyak, mereka adik-adik kamu juga’’, Fatma meohion disela larinya yang kian singkat, namun laki-laki itu terus mengejar, Fatma tersunbgkur setelah menerima tendangan laki-laki itu dari belakang, saat Fatma bangkit tamparan pun mendarat di pelipis Fatma, Fatma hany menjerit kepada apa saja yang mampu mendengarnya. Laki-laki itu mewngayunkan parang itu ke kepala Fatma, untung saja Fatma cepat bengakit dan terus mengambil langkah seribu. Laki-laki itu masih belum mau mengalah, sepertinya dia bernafsu sekali untuk mengaakhiri hidup Fatma. Berkat perjuangan yang membabi buta, Fatma pun samapi di Jalan Raya, sementara laki-laki itu raib entah kemana. Mungkin dia takut mengejar Fatma hingga kejalan raya, takut kebiadabanya dijhadang pemuda di warung.
Kejadian sian itu membuat Fatma terhanyut dalam lamunan panjang, dia masih ingat kejadian siang tadi, jiksa asaaja Fatma tidak bangkit dan lari sepenuh tenaga, Fatma tidak akan sempat menghirup napas amalam itu. Sekujur tubuhnya perih, punggung dan pelipisnya biru lebam, kejadian ini sudah berkali-kali dia lakukan, tapi hanya sumi dan anak-anaknya yang kecil-kecil yang mengetahui. Jika saja anaknya yang di Kota Padang mencium bverita itu, persoalannya akan lain, salh satu anggota keluarag dari kedua keluarga itu akan menangung akibatnya. Fatma terus berpikir, menimbang untuk memberi tahu anaknya Azam, keraguan memuncak ketika itu.
‘’Uda! Bagaimana kita beritahu Azam temntang kejadian ini?’’, Fatma berusaha membvuka pembicaraan dengan suaminya.
‘’Kamu jang gila, anadinya Azam tahu kejadian ini, ada dua kejadian yang akan menimpa keluarga kita!’’.
‘’Maksud Uda?’’.
‘’Akupun belum sanggup mebayangkannya, kuliah Azam akan berantakan, dan salah satu dari mereka akn menebusnya, kalau tidak Azam yang menjadi korban, si Bujang itu yang alkan menemui ajalnya. Kamu kan tahu sifat anakmu yang stu itu?’’
‘’Aku tahu dengan sifat anak itu, tapi jika tidak diberi tahu, kejadian ini akan terulang lagi, apakah uda ingin melihat aku mati terlebih dahulu?’’.
‘’Sebaiknya kamu pikirkan dulu, sebelum mengabil keputusan’’, seuminya itupun berlalu dan keheningan pun memuncak seketika.
Fatma berpikir untuk kedua kalinya meberi tahu anak itu, Fatma tahu anatara Azam dengan Bujang itu sam-sama gila, tapi anaknya itu gila hanya karena membela kelurga sedangkan Bujang malah sebaliknnya.
**
Senja itu tidak terlalu sejuk dan tidak juga terlalu panas, Azam tidak perlu menghidupkan kipas angin kecil dikamarnya sebelum mulai menikmati pujaan hatinya. Azam sangat bernafsu disaat kekasihnya itu sudah menunggu di kamar tidur, jika didunia ini ada laki-laki yang tidak pernah merasa puas ia adalah Azam. Memang sebagain dari buku itu telah dia baca kemaren siang, hanya saja pada halaman 205 konsentrasi Azam sudah terganggu karena kedatangan Mbak Nina, dia itu selalu berbuat usil, terkadang Azam sendiri tidak luput dari sikapnya yang keterlalaun, katanya hanya sekedar bercanda tetapi tetap saja bikin sakit hatii. Wajar, Azam belum terlalu lama tinggal dan dianggap anak oleh orang yang punya rumah, saat pertama kali Azam datang kerumah itu dia telah melihat kehadiran Mbak Nina di sana. Azam suka bercanda tapi dia tidak suka dicandai di saat serius. Siang itu terpkaska kisah Dee dihempaskan begitu saja di atas dipan kayu kamar itu.
Akibat angan tidak kesampaian, biasnya malm itu dia harus mengabaikan segala aktivitas rutin, melanjkan jelajah yang tertunda tadi siang. Ya, aroma kisah supernova itu telah menggugah pengalaman spiritualnya yang kelabu, novel itu lebih mendekati taswuf moderen atau sejenis filsafat gaya baru, hanya saja cerita itu belum semua orang yang mampu memamahnya, tak terkecuali Azam namun Azam teruis memaksakan diri, biasanya dengan cara seperti itu akan membuahkan hasil, meskipun dia tidak akan mencapai level sufi. Jika saja Azam mau melanjutkan ilmu kebatinan yang dia pelajari di kapung tentu saja tidak terlalu sulit baginya untuk mencerna isi novel itu, tapi masa itu sudah jauh berlalu, kira-kira sudah 3 tahun lebih peride itu terleawti, Sekarang dia harus mengetahui ilmu kebatinan versi si Dee, si pengarang nasional.
Azam kembali mebuka halaman 205, dia mulai membaca kata perkata hinga mencapai satu paragraf. Baginya halaman ini terlalu sulit dipahami, Dee bercerita tentang Gen. Keringat dingin mulai berjatuhan dari keningnya yang licin hanya kata-kata gen yang dia temuai di halanan tersebut, tetapi pemahaman menerawang begitu saja, seketika dia ingat keadaan keluarganya dikampung. Spontan buku itu kembali dibanting, sungguh menderitanya buku itu, jika perbuatannya ini diketahui Dee sudah pasti Azam tidak akan termaafkan oleh penulis Best Seller itu.
‘’Buk! Saya pinjam telpon rumah sebentar, boleh Buk?’’, kata-kata Azam meminta belas kasihan yang empunya rumah.
‘’Mau telpon kemana Zam’’.
‘’Kekampung Buk, perasaan saya tidak enak!’’
‘’Silahkan!’’
Azam pun menuju ruang tengah dan menjumpai telpon yang bersandikan dinding biru muda. Gagangnya masi kelihatan asri sebab sepeninggal Almarhum Bapak Charles telpon itu memang jarang dipakai dan jarang pula meneriam telpin dari luar. Berdasarkan pengakuan Ibu Ramona istri Almarhun sekaligus ibu angkat bagi Azam, telpon itu jarang dilirik apalagi dipergunakan, katanya dia selalu ingat kenangan bersama almarhum suaminya dulu. Sebenarnya kepergian Pak Charles itu terlalu cepat bagi Azam, dia orangnya baik, penyayang, perhatian kepada siapa saja yang mebutuhkan pertolongan, sebelum Azam diangkat anak oleh mereka, terdapat 9 orang anak angkat yang mereka miliki, semuanya telah menempuh hidupnya masing-masing, pada umumnya mereka itu berhasil selama menompang hidup pada Bapak Charles dan Ibu Ramona. Sebab di rumah itu mau tidak mau kita harus membaca apa saja yang patut dibaca, taiada hiburan selain segunduk buku yang terpampang rapi di perpustakaan, kadang kala berlaku perlombaan menulis artikel ataupun cerpen, Azam menyadari bahwa dia berada di sarang intelektual hingga rasa malu itu bertunas dari dirinya, ‘’Aku harus jadi seperti mereka, mereka bisa kenapa aku tidak? Aku harus jadi penulis!’’, kata-kata itu tiba-tiba muncul. Azam pun memulai karir sebagai penulis, bertepatan dengan itu pula Pak Charles pergi untuk selamanya, saat itu Azam nyaris seperti anak ayam kehilangan induk, jiwanya terguncang, berbulan-bulan Azam menyendiri, tanpa berkata sesuatu apa pun. Dia pergi dari rumah itu, sungguh berat baginya untuk tetap di sana, seakan bayangan itu selalu hadir menyapanya di waktu pagi, ‘Sudah ngopi Zam?’’, sapaan itu akrab bagi azam, kali terakhir kata-kata itu diucapkan Pak Charles Senen pagi sebelum di berangkat ke Aceh dan tanggal 26 Desember 2004 terjdilah musibah itu.
Selama 6 bulan rumah itu sepi, sunyi tiada terperi, hanya Bang Remon yang selalu menjaga rumah itu dan membersihkan buku-buku di perpustakaan rumah, biasanya tugas itu di borong oleh Azam, sementara Ibu Ramona linglung terkadang tidak bangun dari tidurnya, kalaupun bangun tetapi hanya untuk pulang kekampung di Bukittinggi. Entah apa yang dia rasakan oleh janda Pak Charles itu, semuanya pergi tidak terkecuali Azam yang terpaksa menjadi anak bungsu termuda di keluarga itu. Bang remon sebagai anak tertua tidak bisa berbuat banyak, dia terus menyibukan diri dengan rutinitas di Dewan Kesenian Sumatra Barat dengan harapan dia mampu menepis kenangan bersama Pak Charles yang seketika muncul. Mereka semua merasa kehilangan, kehilangan kenangan dan cita-cita yang ingin dicapai bersama, mengembalikan pusat intelektual ke Minangkabau begitulah harapan Pak Charles kedepan. Tetapi siapakah yang akan meneruskan mimpi itu sepeninggalnya pergi, Azam sudah tiada, Rendra lebih memilih tinggal di kampungnya di Payakumbuh, sedangkan Mbka nina sudah 5 bulan belakang tiada terlihat lagi batang hidungnya, lalu Betran, Ayu, Rifki, dan Sriyanti lebih memilih hidup di kos yang berdekatan dengan tempat mereka.
Kesedihan ehilangan segalanya juga dirasakan Azam di rumah kosan di dekat kampus, dia ingat semua, terkenang dengan Ibu Ramona yang penyayang, lembut hati, rindu dengan Bang Remon yang selalu setia melayani debatannya. Jalan satu-satunya hanya kembali menjejaki kenangan itu, Azam takut dicap anak durhaka walau posisinya hanya sebagai orang tua angkat, tapi bagi Azam orang tua tetap orang tua yang masing-masingnya mempunyai jasa telah menyanginya. Azam pun pergi ke hulu kenangan itu, dimana tempat kenangan itu mulai mengalir.
‘’Asalamualikum, Ibu?’’, suara Azam sedikit serat-serat basah.
Dari dama rumah terdengar sebuah jawaban, tapi dia tidak menoleh
‘’Walikum salam’’.
‘’Ibu sehat-sehat saja?’’
‘’Ya Tuhan! Kamu Azam, mari masuk, sudah makan?’’, kata-kata itu diringi tangis yang mengharu biru. Azam menekurkan kepalanya, mata air itupun tidak terbendung, lima menit kemudian mereka sadar, kenangan itu bukan untuk ditangisi, melainkan untuk dilanjutkan mengejar mimpi yang terlebih dahulu diciptakan. Ya! Kenangan itu kembali tersambung seperti sedia kala, hanay satu yang tiada, sesuatu yang kiranya mampu melengkapi kenangan masa depan itu, Bapak Charles.
‘’Azam, kamu tidak jadi menelpon, kalau tidak jadi ngamain melamun di sana?’’, suara itu memecah lamunan Azam di sudut kiri gagang telpon.
‘’Ya! Tuhan, aku telah hanyut terlalu jauh hampir saja terwaba arus ke muara itu, untung saja’’, umpatnya dalam hati sembari menepuk-nepuk kepalanya, ‘’Ya Buk, saya mau nelpon sekarang’’, balas Azam. Azam langsung menekan nomor tujuan, terpon berdering di sebarang sana, seaat kemudian terdengar suara,
‘’Hallo!’’.
‘’Hallo! Asalamualikum!’’.
‘’Walaikum salam! Ini siapa ya?’’.
‘’Saya Azam Pak! Apakah ini rumah Pak Mansyur?’’
‘’Iya saya sendiri, kamu Zam, ada apa Zam?’’
‘’Ini Pak, saya mau tahu keadaan dikampung setelah gempa kemaren, di Padang banyak bangunan yang roboh, apakah dikampung baik-baik saja Pak?’’
‘’Alhamdulillah di sini aman, kamu hati-hati saja di Padang ya Zam!’’.
‘’Ibu dan bapak saya bagaimana Pak?’’
‘’Di siah baik juga, tapi...’’
‘’Tapi Apa Pak?’’
‘’Ibumu itu, kemaren dimarahi Bujang!’’
‘’Dimarahi bagaimana Pak?’’
‘’Ya begitulah Ibu dengan anak, dia juga masih jalan kakak sepupu dengan kamu’’
‘’Saya tahu Pak, tapi apa yang dialakukan pada ibu saya?’’
‘’Sebenarnya....’’, Bapak mansur mulai sedikit ragu untuk beerterus terang, namun Azam terus mendesak.
‘’Sebenarnya apa Pak?’’
‘’Ibumu di pukul oleh Bujang, tapi sudah gak apa-apa, masalahnya sudah diselesaikan paman kamu, kamu tenang saja, konsentrasi saja sam kuliah kamu ya Zam?’’.
‘’Iya terimakasih Pak Mansyur, asalamualikum’’, gagang telpon itu kembali pada posisinya semula, rasa itu tidak tertahan lagi Azam geram, marah dan sekaligus dendam.
‘’Bajingan tengik, kamu mulai lagi, rasakan pembalasan aku’’, umpatnya dalam hati. Dia memaksakan diri beranjak dari ruang tengah, mukanya yang kusam menarik perhatin Ibu Ramona.
‘’Ada apa Zam, kok wajahmu seperti terbakar?’’
‘’Anu Buk.., anu...’’.
‘’Anu anu apa? Zam dengharkan ibu, dari semenjak Zaman rasulullah samapi sekarang yang namanya Anu orang tidak pernah tahu!’’.
‘’Ibu saya dikampung di pukul oarng, sebenarnya orang itu masih saudara dengan saya’’.
‘’Kalau memang saudara denganb kamu, kenapa dia memukul Ibumu’’, Ibu Ramona pun naik pitam.
‘’Saudara sepupu dengan saya, ibunya dengan ibuku saudara sepupu, neneknya dengan nenek saya juga saudara sepupu’’.
‘’Sam saja Zam, saudara itu tetap saudara, tidak boileh menyakiti orang tua, atau mungkin dia mau menjadi Malin Kundang? Sekarang kamu istirahat dulu dan jangan kemana-mana dulu, besok saja kamu jenguk Ibumu bagaimana keadaannnya!’’.
Azampun menuruti saran Ibu Ramona, saat itu seuta rasa harus dibawanya ketempat tidur, malam itu dia harus tidur dengan mata terbuka hingga pagi menjelang. Ya! Pagi itu Azam sudah bersiap untuk pulang kampung, dia tidak melupakan tas sandang pungnya di dalamn kamar dengan sejumlah buku bacaan, buku itu itu belum mungkin dibaca sewaktu dikampung nanti, tetapi baginya kemanpun dia pergi selalu diikuti bebetrapa buku di dalam tas.
‘’Saya pamit Buk!’’, pintanyua kepada Ibu Ramona.
‘’Tidak sarapan dulu Zam?’’.
‘’Gak usah Buk, nanti saja di kampung’’.
‘’ingat ya Zam, kamu jangan lawan dengan emosi, ingat kamu seorang calon intelektual masa depan, kamu harus dahulukan logika, selesaikan dulu secara kekeluargaan, ini sedikit untuk bekal kamu di jalan’’, Ibu Ramona memberikan sehelai uang lima puluh ribuan, memang negitulah sifat dari dulu, di saat Azam mau pergi selalu dikasih uang, katany sebagai bekal di jalan padahal perjalanan yang akan ditempuh tidask terlalu jauh. Azam terpaksa menerima uang itu, katanya kalau menolak sama halnya dengan menolak doa orang tua.
‘’Terimaksih Buk, Asalamualikum’’
‘’Walaikum salam, hati-hati di jalan ya nak!’’, pesan Ibu Ramona dari dalam rumah dan Azam pun berlalu menuju Jalan Raya, lima menit kemudian Azam sampai di tempat perhentian bus dan langsung menaiki Bus Alisma yang menuju Pariaman. Jasad masih berada di dalam bus namun rihnya Azam sudah bergentayangan menuntut balas terhadap musibah yang baru saja menimpa Ibunya, rasany dia ingin mencincang si Bujang itu, lalu membaginya menjadi 4 bagian,, tiap sudud dikampung itu endapat satu bagian dari tubuh Bujang. Sudah berkali-kali dia menyaki orang tua itu, tetapi orang kampung hany diam seolah-olah tidak terjadi apa-apa padahal disana perangkat pemerintahan masih lengkap. Setelah satu jam di perjalanan bus itu berhenti tepat di depan surau kampung Bukit Luar, kampung Azam sendiri. Dengan langkah tergesa-gesa Azam turun, dia tidak pedulu dengan mobil yang lalu lalang didepannya, dia tetap melintas sambil berlali kesebrang jalan, jika saj nasibnya terlalu naas mungkin Azam sudah diulindas oleh truk bermuatan batu itu. Azam tidak pedulu yang ada di dalam pikirannya hanya wajah Bujang yang sedang tertawa. ‘’Bangsat, keparat, kubunuh kau?’’, dia terus saja mengumpat sembari berlari-lari anjing, bahkan teguran teman-teman sejawat dikwarung pun tidak dipedulikannya.
Tidak butuh terlalu lama bagi Azam untuk samapai di rumahnya di belakang rel kereta api belakang surau, napas yang terengah-rengah bercampur emosi dipaksakannya mencari sesorang yang di rumah itu, kebetulan sekali Ibunya sedang berada di rumah sendirian. Ibunya terkejut saat mendapati anaknya sudah berada dihadapannya.
‘’Zam! Kamu..? kamu kok berada di sini, kamu tidak kuliah?’’, ucapannya sedikit gugup.
‘’Ibu jangan bersandiwara! Sudahlah Bu! Tolong ceritakan bagaimana kejadiannya?’’.
‘’Kejadian apa?’’
Azam negatub-nghatubkan giginya, ibunya tahu bahwa semosi anak itu sudah berada di puncaknya.
‘’Dari mana kamu tahu Zam’’, ulas ibunya.
‘’Itu tidak penting, yang penting sekarang ibu ceritakan kejadiannya!’’
Kemudian ibunya menceritakan kejadian itu, dimuali sat dia melewati rumah Rosna hingga dia dikejar si Bujang dengan parang itu, Azam bertambah geram mendengar cerita itu, tanpa ragu-ragu Azam meletakan tas sandangnya di atas kursi ruang tengah, langkahnya yang pasti pun menuntun menuju kembali kejalan raya, keinginan hati hanya menuntut balas kepada Bujang. Ibu itu menangais lirih terhadap apa yang akan menimpa anaknya itu, ‘’jika tidak Bujang mati, azam yang mati, lalu bagaimana kuliah dan cita-citanya’’, kata-kata itulah yang terucap disela-sela tangis Ibu paroh baya tersebut.
**
Azam masih berdiri di simpang tiga itu, preman kampung menamakan simpang itu simpang tugu sebab tengah-tengah perduan ketiga simpang terdaat sebuah tunggu setinggi 10 meter, tugu itu diyakini untuk memperingati para pahlawan yang gugur dimedan perang saat berhadapn dengan tentara pusat, kebanyakan pejuang yang gugur terdiri dari mahasisawa yang hanya 1 minggu di ajari menembak sementara lawan dalam pertempuran adalah serdadu yang persenjataannya lengkap dengan tank baja. Awalnya ketidak puasan terhadap pimpinan pusat yang sentralistik, terlalu jawaisme, mereka itu mewmakai politik bodohisme, orang pintar disingkirkan kalu perlu kuburnya tidak perlu dikunjungi orang atau mungkin harus dibuat dua kuburan satu untuk kepala satunya lagi untuk jasad. Semua daerah mnuntut keadilan yang merata, megosisi tidak berlaku lagi hingga mulut penduduk berbusa, masyarakat angkat sewnjata yang masih mereka simpan di saat mengusir penjajahan sekutu dulu, senajat yang digunakan untuk membantai serdadu jepang dulu atau bambu runcing untuk memukul pendudukan tentra Belnda, semuaya masih tersimpan dan awt di dalam sanubari setiap orang yang tertindas hingga sekarang. Hanay tugu itu sebagai hadiah unntuk para pejuang tersebut, di saat para pejuang itu tercatat sebagai pahlawan di administrasi kepemrintahan diatas makamnya diletungkupkan sebuah topi baja, terletak tepat menutupu telinga sang mayat agar tidak mendengar lagi apa yang terjadi di bumi ibu pertiwi, malangnya nasip para pahlawan itu, sudah mati di ujung peluru penjajah masih juga menderita dan dianggap lawan yang harus di singkirkan.
Sekarang dosa-dosa masa lalu haruis diwarisi oleh anak itu, ya anak yang msih berdiri di tugu itu, entah apa yang dia harapakn dari dirinya, Cuma dendam yang masih bercokol dalam hatinya yang membatu akan esabaran lama. Dai yakin kekeknya mati karena kesabaran itu, kesbaran mau di bododho, kesabaran mau didosai untuk selamanya. Dai mulai beranjak dari puosisi berdiri, dan me;aju seped motor kedalam simpang menuju kampung Mesjid, di snalah harapannya yang terakhir untuk menjumpai Bujang.
Sementara itu di rumah Ibunya Azam Bujang memutari sekeliling pagar tanah pusaka itu, dia bilang kepada setiap ibu-ibu yang ditemuinya bahwa dia akan membunbuh Azam secepat mungkin dan meminum darahnya, parangnya yang berkilat membuat mata perih saat parang itu diterpa sinar matahari siang. Persis seperi oaran ggila yang baru kabus dari rumah sakit jiwa dia mengayun-ayunkan parang itu kebatang kelapa sehingga kulit batang kelapa itu terkelupas akibat amukan benda tajam. Di sisi lain Rosna asyik menyerang ibunya Azam dengan kata seribu makian, sumpah serapah dan mengutuk.
‘’Lihat saja generasi terakhir PKI itu sebentar lagi akan mati di tangan Bujang, kamu lihat itu Fattma Si Bujang yang sedari tadi mencari anakmu itu?’’.
‘’Ibu Haji yang terhormat, sebaiknya Ibu Haji bertobat dan perbanyak sembahyang,’’, balas Fatma.
‘’Tutup mulutmu itu PKI! Jangan sok suci, dengar ya Fatma aku yang berhak diam di tanah ini, untung saja nenekku kasihan melihat hidupmu yang melarat itu! ’’.
‘’Kalau begituu terimakasih bayak atas kebaikan nenek Bu Haji’’.
Tidak obahnya seperti anjing dengan kucing, mereka masih terus berbalas berebut kata hingga soere menjelang, sementara Azam mesih mencari keberadaan Bujang, dia heran di tempat istrinya di kampung Mesjid Bujang pun tidak ada, ‘’kemana di orang gila itu?’’, Azam terus mencari dan mengobrak abrik tempat-tempat yang diduga sebagai keseharian Bujang. Setiap orang yanga di jumpai Azam bersikap seperti es balok, dingin dan angkuh, ada pula sebagian yang kasihan melihat Azam, mereka khawatir Azam tidak bisa meneruskan cita-citanya, namun beberapa orang berharap Azam membunuh Bujang hari itu juga, sebab bagi mereka kehadiran Bujang seperti duri di dasar tulang, dicongkel sakit dibiarkan berbahaya, namun tiada seorang pun yang berani menentang Bujang kecuali Azam.
Di sisi lain, Azam selalu menjelajahi sudut kampung namun yag dicari tak kunjung ada, dia letih, lelah karena dendamnya sendiri, sore harinya Azam pergi kerumah saudara Ibunya di Kampung Bukit Ujung tepatnya dimana Gandoriah dulu tinggal semasa hidup, disana Azam menemukan rumah ksosong tiada orang, bibi yang diharapkan ada di rumah pergi entah kkemana, Azam memilih bergolekan dilantau papan rumah, matanya tak mau terlelap selalu terbayang wajah Bujang yang terbahak-bahak memuja kemenangannya. Satu jam kemudian si Bbik pulang dari pasar Mangga Dua, dia paham apa saja yang baru menimpa leponakannya itu, dengan berlagak iontelektual si Bibi langsung mendekati Azam, yang tergolek lunglai di lantai rumah.
‘’Zam sebaiknya kamu pikirkan lagi, sandainya Bujang itu mati ditanganmu apa kamu sudah memikirkan resikonya Zam? Kuliahmui tidak akan sampai, cita-citamu kandas diusung dendam, kamu terpenjara untuk sekian tahun, jika kamu yang mati, orang-orang yang menmyayangimu juga akan berkecil hati dalam kesedihan! ’’.
‘’Biarlah Bi! Jika dibiarkan terus, sikapnya akn menjadi-jadi, untuk apa kuliah jika tidak bisa membela keluarga Bi?’’.
Si Bibi tidak mau banyak beicara, dia tahui emosi Azam tidak stabil,, dia harus mencari akal utuk mencegah tindakan Azam yang telah diusung amarah, si Bibi pun berlalu dari Azam.
‘’Bibi pergi dulu ya, terserah kamu kalu itu memang keputusan kamu’’.
Azam berpikir, apa yang sesungguhnya yang dicari banghku perkuliahn itu? Seandainya dia tetap membunuh Bujang, lalu apa bedanya dia dengan orang yang tidak kuliah, toh kuliah itu bukan hanya untuk menacari mencari pekerjaan, yang lebih penting dalam kuliah itu bagaimana cara perpikir kira berubah dari tradisional meuju pencerahan, perkuliahn itu untuk merubah cara berpikir kita. Azam pahan rahsia itu, emosinya stabil seketika, dia bangkit menuju rumah Ibu dio Kampung Bukit Luar Banda. Sesampai dirumah dia menyaksikan wajah-wajah cemas dirumah itu, di sana sudah menunggu Ibi, Ayah, Bibik dan adik-adiknya yang masih usia sekolah. Azam langsung angkat bicara.
‘’Emak! Sekarang saya mau mengajak Emak kenator polisi, Emak harus mau! Percayalah saya tidak akan membunuh Bujang itu, biar pihak yang berwajib yang memngambil alih’’.
Spontan wajah-wajah gembvira sumringah dalam rumah itu, mereka saling pandang terhadapperubahan mendasar dari Azam.
‘’Kapan kita pergi Zam?’’, sapa Emak.
‘’Siap Magrip nanti Mak Emak siap-siap saja dengan segala barang bukti pengaduannya’’, sela Azam.
Setelah selesai Sholat Magrib Azam dan Emak pergi mengendarai Motor Ayah menuju Kecamatan di Pasar Lubuk alung, di sana terdapat Kapolsek yang selalu siap menerima pengaduan masyarakat. Tidak terlalu lama di di perjalanan, kira-kira setengah jam perjalanan mereka sudah sampai diambang pintu Kapolsek, Azam langsung memarkir motor di sebelah kiri pintu koridor.
‘’Selamat malampak!’’, sapa Azam kepada penjaga.
‘’Malam! Ada yang bissa kami bantu Pak?’’, sambut polisi penjaga itu.
‘’ Benar Pak, saya mau membuat pengaduan, pengaduan penyaniayaan Pak!’’.
‘’Oh silahkan isi buku tamu, dan langsung kemeja piket itu!’’
‘’Baik pak!’’, Azam mengisi buku tsmu dan juga Fatma, sesusi perintah Polisi penjaga merteka pun masuk menemui meja piket di koridor.
‘’Selamat malam Bapak dan Ibuk! Ada yang bisa kami bantu’’, sapa piket ramah.
Azam menceritakan kronologis cerita yang baru saja menimpa Ibunya Fatma, mulai dari penyebab, jam kejadian hingga korban menderita penganiayaan.
‘’Ini mungkin cukup menjadi bukti Pak’’, sambi menunjuk bahu Ibunya yang biru lebam dan sedikit pada bagian pelipis.
‘’Baiklah! Besok kami datangi kampung itu dan kami akan ringkus tersangka!’’, sambung polisi piket.
Usai presentasi kasus tersebut, Azam dan Ibunya pun berpamitan untuk pulang ke rumah, separoh perjalan mereka diguyur hujan lebat deselingi angin kencang yang datang dari arah Barat. Berdasarkan penadapt masarakat tradsional dikampung merek itu adalah petanda yang tidak baik, orang sering bilang jika kiota dalam masalah lalu di dalam perjalanan terdapat hujan bercampur angin aitu petanda tidak baik, tapi Azam kurang yakin dengan kepercaayan itu, begitu pula Ibunya Azam yang berboncengan di belakang, dia begitu yakin akan tanda-tanda alam tersebut. Sebagai orang lama, dia sering menjumapi tanda-tanda itu, algi pula waktu berangkat tadi, motor mereka sudah dilintasi seekor ular, hal ini memperkuat pikiran Fatma bahwa usahanya itu tidak akan berhasil, namun Fatma tetap menuruti keinginan Azam, dengan kata lain agar Azam tidak menghancurkan masa depan dan cita-citanya kelak dengan membunuh Bujang.
Di perjalanan pulang itu, Azam memilih memberhentikan motor di warung pasar Lubuk Alung, dia kasihan melihat ibunya kedinginan, setelah hujan agak reja mereka melanjutkan perjalanan hingga mereka sampai diruamh pukul 10 malam. Sat itu batin Azam puas dan tertunaikan segala amarahnya, meskipun tidak harus membunuh Bujang. Esok hari adalah waktu yang ditunggu-tunggu, si Bujang akan diringkus oleh polisi dan amanlah kampung itu dari tindakan anarkis orang gila tersebut. Esok hari bangun pagi akan terasa nyaman bagi Azam, siangnya dia kan berangkat ke padangdan kuliah seperti biasanya, dia yakin bahwa keluarganya sudah terbebas dari masalah yang mencekam.
Benar adanya, pagi itu Azam sumringah, siap bersih-besih badan Azam duduk diruang tengah rumashnya sembali memetik sebatang Sampoerna Mild.
‘’Nyamannya hari ini, masalah yang seudah lam terpendam selesai dalam satu hari, hari itu adalah hari ini, oh betapa bahagianya hati terbebas dari beban berat ini’’, hatinya terus bernyanyi, sesaat kemudian dia dikejutkan Suara Emak yang berpamitan pergi ke sawah.
‘’Zam Emak kesawah dulu, kamu kapan kepadang? Kalau kamu pergi nanti kunci rumah kamu simpan saja di bawah tumpukan kain isang yang ada di bawah pohon jeruk itu! Biasanya juga di sana kami letakkan!’’.
‘’Iya maka, saya mau nyantai duilu, sebentar lagi saya berangkat, hati-hati di jalan Mak, kalau dapat jangan lewati dulu rumah Ibunya Si Bujang itu, takutnya emak diserang lagi sama Bu Haji itu’’.
‘’Iya..Iya Zam, Emak pergi dulu ya!’’.

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987