Senin, 14 Desember 2009

EMANSIPASI DALAM PERSPEKTIF ORANG MINANG


Oleh. M. Yunis


Hingga saat ini pekikan-pekikan seputar emansipasi masih saja terdengar. Penyamarataan hak antara perempuan dengan laki-laki sudah menjadi keharusan, hal ini sebagai akibat dari kesewenang-wenangan laki-laki, perlakuan kasar laki-laki dan segala macamnya. Sah-sah saja perempuan menuntut keadilan terhadap hak-hak dan kewajiban baik di bidang ekonomi, Politik, Hukum dan segala macamnya. Namun, harus pula menjadi pertimbangan konteks diberlakukannya penyamarataan tersebut? Dari segi adat istiadat laki-laki Minang itu juga terkatung-katung nasibnya.

Dillihat dari adat Minangkabau, hak laki-laki di Minang serba tidak jelas, hanya 10 tahun laki-laki mempunyai hak dalam keluarga batihnya. Pada umur 10 tahun, anak laki-laki tidak diperbolehkan tidur di rumah orang tuanya. Sebagai anak bujang ia harus lebih banyak berkreativitas di surau, di mulai dari mengaji, berlajar silat, bergaul dengan teman sebaya. Nah, suasana luar rumah inilah yang melatih hidup laki-laki Minang untuk hidup serba mandiri, belajar demokrasi, belajar berpikir, logika hidup, dan menjadi pemimpin di antara kaumnya.

Setelah dewasa nanti, laki-laki pun dibebani tanggung jawab yang tidak kalah beratnya. Setelah menikah ia harus hidup dan tinggal di rumah keluarga istri itu pun hanya sebagai tamu, abu di ateh tunggua. Dia harus membimbing anak-kemenakan dan jika di antaranya terdapat prilaku defiant, maka laki-laki sebagai urang sumando akan menjadi urang sumando lapiak buruk di rumah istrinya. Sudahlah tidak mempunyai hak dalam keluarga batih, di rumah istri pun hanya sebagai abu saja. Setelah dewasa, laki-laki pun diberi tugas yang maha dasyat oleh keluarga batihnya sebagai tungganai, padahal tidak gampang menjadi seorang tungganai.

Di lihat pula kepemilikan harta pusaka, laki-laki tidak mempunyai hak, laki-laki hanya berfungsi sebagai satpam atau penjaga, sementara hak peten berda di tangan perempuan. Tapi kejadian sekarang malah sebaliknya, laki-laki sudah bisa meenjual harta pusaka.

Nah, sekarang pekikan-pekikan emansipasi terhadap perempuan terus menggelinding. Penyamarataan hak laki-laki dengan perempuan, dengan tidak membeda-bedakan dan mempersoalkan jender. Padahal, sebelum emansipasi itu populer, di Minangkabau sudah melaksanakan konsep emansipasi. Hanya saja, pemahaman terhadap emansiapsi sekarang terkadang terkesan dangakal. Karena emansipasi tidak mengharuskan perempaun menjadi imam atau jadi petinju, atau binaraga.

Jikalau dahulu perempuan Minang memperoleh gelar Bundo kanduang karena perananannya sangat diperhitungkan oleh laki-laki. Sebab, selain Ibu Rumah Tangga ternyata perempuan Minang juga mampu bersaing di luar rumah, yang sebelumnya hanya dilakukan oleh laki-laki, bahkan menjadi fatner-nya laki-laki. Kita pasti tahu pejuang perempuan yang berasal dari Minang, mereka tidak hanya orang rumahan, amban puruak, atau limpapeh rumah gadang, tetapi mereka juga mampu berjuang di bidang lain. Seperti pendidikan, tulisan-tulisan maupun berjuang menggunakan fisik dalam mengusir penjajah.

Sebutlah sosok Aisyah, nama lengkapnya Aisyah Amaini, SH, dialah perempuan pertama yang menduduki jabatan Ketua Komisi I DPR RI dan berasal dari Minang. Sebagai anak yang dilahirkan di Padang Panjang tahun 1931dia tidak lupa akan kampung halaman. Di pulalah yang menjadi mata-mata TNI, di saat meletusnya perang kemerdekaan tahun 1946. Setelah menamatkan pendidikan di Diniyah School, dia tidak langsung melanjutkan pendidikannya, baru pada masa penyerahan kedaulatan tahun 1950 melanjutkan pendidikan di bidang Hukum di UII Yokyakarta. Setelah menikah, tahun 1957 sudah membuka kantor pengecara dan penasehat hukum di Jakarta. Aisyah aktif di bidang politik pada tahun 1971, dan berhasil duduk di Dewan Pimpinan Pusat PPP selanjutnya menjadi Anggota DPR/MPR. Gelar singa Betina sangat melekat di dalam dirinya.

Kemudian Rasuna Said, seorang anak Maninjau, setelah tamat sekolah Dasar melanjutkan ke Diniyah School. Ia aktif dan bergabung dengan Sarekat Raya sebagai sekretaris lalu Masuk permi, dalam pidatonya sering mengkritik pemerintahan Hindia Belanda namun perjuangannya itu tidak kandas walaupun tahun 1932 beliau di buikan di Semarang. Nmaun, perjuangannya di bidang pendidikan tetap diwujudkan dengam mendirikan sekolah Thawalib di Padang dan memimpin sekolah kursus putri. Setelah Jepang berkuasa, ikut mendirikan Pemuda Nipon Raya di Padang. Melalui organisasi itu, ia mampu memmbangkitkan semangat pemuda melawan Jepang. Setelah zaman kemerdekaan, menjadi angota Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumbar, KNIP, Badan Pekerja KNIP, DPR RIS dan Aggota DPRS. Selanjutnya tahun 1959 diangkat menjadi anggota DPA.

Selanjutnya Puti Reno Sumpu seorang perempuan keturunan Pagaruyung terakhir, tahun 1834 di Sumpur Kudus ia dlahirkan. Setelah dewasa, mampu menggantikan ayahnya. Tahun 1869 membangun kembali istana di Balai Janggo, yang tahun 1921 di bakar Belanda. Sebagai ketuturunan Raja Alam, dia lebih banyak berkiprah di dalam keluarga, Nagari dan alam Minangkabau yang menjadi lingkungan kekuasaannya. Bahkan mau mempertaruhkan nyawa agar para penghulu yang terlibat dalam perang dan menentang pemungutan pajak (Belasting), tidak dihukum oleh kompeni dan ia pun merintis serta mengusulkan kepada Belanda untuk membuat jalan dari Batu Sangkar dengan Lintau Buo, Sawahlunto dan Sitangkai serta Nagari-nagari di sekitarnya.

Rahmah El Yunisiyah, 20 September 1900 dia lahir di Padang Panjang. Meskipun tidak pernah mendapatkan pendidikan dasar formal. Namun ia tetap belajar menulis dan membaca dengan sangkakak. Setelah itu ia belajar Diniyah School yang didirikan oleh Zainudin Labai dan ia juga belajar pada Syeh Abdul Karim Kamarullah, Syeh Jamil Jambek dan lengkap dengan ilmu kesehatan. Rahmah juga bercita-cita menjunjung tinggi kedudukan perempuan melalui pendidikan moderen yang berlandaskan agama, menurutnya mendidik seorang perempuan berarti mendidik banyak oarang. Saran demi saran ia terima dari kakek dan teman-teman di Diniyah school. Tanggal 1 November 1923 ia dirikan rumah pendidikan khusus bagi perempuan beliau sebagai pimpinan langsung selanjutnya rumah itu disebut Diniyah Putri.

Rohana Kudus juga pejuang perempuan yang berasal dari Minang, orang Koto Gadang ini lahir 20 Desemer 1884. Setelah tamat di School Voor Maisyes, dia mendirikan Organisasi Kerajian Amai Setia yaitu salah satu organisasi perempuan di Koto Gadang tahun 1911. Tahun 1916, juga mendirikan Rohana School yaitu salah satu sekolah perempuan di Bukittinggi. Namun, perjuangannya tidak terhenti hanya sampai di situ, tulisan-tulisannya menjadi keseharian di surat kabar Soenting Melajoe, bersama dengan rekannya Zubaidah Ratna Juita,. Kemudian melanjutkan kiprahnya di Medan dengan mengajar pada sebuah sekolah serta melanjutkan aktifitas menulisnya di Redaksi Surat Kabar Perempoean Bergerak. Adab sopan santun, pengetahuan umum, syair-syair hampir tidak pernah ketinggalan dalam pembahasan tulisannnya.

Kemudian Prof. DR.Zakiah Darajat, tanggal 6 Novemeber 1929 beliau dilahirkan di kampung Koto Marapak, Kecamatan Ampek Angkek. Ilmuawan perempuan ini sangat multidimensional mungkin sebagai dampak dari perkelanaan pendidikan yang ia tempuh. Mulai SD di kampung, kemudian di lanjutkanya ke Kulliyatul Muballighat di Padang Panjang, SMA di Bukittinggi dan IAIN Sunan Kalijaga di Yokyakarta.

Ternyata, tahun 1956 ia mampu melanjutkan pendidikan Universitas Shams, Kairo Mesir. Beasiswa yang ia peroleh menggiringnya ke titel Doktor di bidang Psikologi dengan spesialisasi kesehatan mental. Ia lah psikolok Minang dan sekaligus mubaligh, pendidik, dan penulis yang produktif serta konsultasi jiwa yang handal. Perjuangan selanjutnya diteruskan Direktur Pembinaan Perguruan Agama Islam Depag, kemudian menjabat sebagai Dekan IAIN Sunan Kalijaga, Anggota MPR dan DPA, dan juga salah seorang ketua MUI.

Dari gambaran di atas dapat kita perhatikan, ternyata perempuan Minang terdahulu mampu melakukan apa yang dilakukan laki-laki. Namun begitu, posisinya sebagai Bundo Kanduang tetap ia perkuat, seperti halnya dengan kelihaian memasak, bertenun, bersawah, membuat kue dan sebagai amban puruak.

Oleh karena itu, nyatalah perempuan Minang terdahulu sudah menemukan, merasakan konsep emansipasi perempuan dan penulis pikir layaklah mereka menyandang gelar Bundo kanduang. Hanya saja Bundo kanduang bagi mereka, tidak hanya tinggal di rumah, sekolah, kuliah dan bersuami. Bagaimana membuat harum nama perempuan kususnya, bangsa umumnya itulah yang menjadi keharusan.

Meskipun begitu, tidak menjadi keharusan pula bagi perempuan sekarang berperang untuk mengusir penjajah, tapi berperanglah mengusir keputusasaan, mengusir ketidakadilan dengan karya, kalau harus membunuh, bunuhlah prasangka yang dapat menjerumuskan diri maupun orang lain, tinggalkan ketidak adaan, buktikan keberadaan dengan menciptakan ide-ide cemerlang seperti perempuan Minang dahulu sehingga penyamarataan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan terwujud, inilah yang dinamakan dengan emansipasi.

Tulisan di ilhami saat penulis berkunjung ke musium Aditya warman.


Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987