Selasa, 15 Desember 2009

KEMATIAN TUHAN DAN MUNCULNYA PARA TUHAN

Oleh. M. Yunis


Wacana kematian tuhan telah begitu lama diungkap oleh Nietzche, digambarkan dengan turunnya Zarathustra dari gunung untuk berdakwah dan menyampaikan salah satu pesan Nihilismenya bahwa tuhan telah mati. Nietzche berusaha membunh para tuhan seperti yang dilakukan oleh Ibrahim, Muhammad, dengan harapan munculnya tuhan yang sebenarnya. Siapa yang mebunuh tuhan? Pembunuh itu bukanlah ustad, bukan Nietzche, pelajar, intelektual tetapi para pembunuh itu adalah kita. Namun, sikap Nietzche yang eksentrik membuahkan pandangan yang sinis terhadapnya. Banyak orang yang mengatakan Nietzche gila dan Nietzche beserta seluruh kelurganya mati di dalam keadaan gila. Adalah benar jika kegilaan Nietzche sangat meresahkan banyak orang termasuk intelektual sendiri, seolah-olah para intelektual berusaha menyimpan kebohongan, kesombongan untuk menaklukan dunia beserta isinya. Para intelektual sekarang sedang berusaha membunuh tuhan yang sebenarnya, memecat para malaikat dari tugas, memberikan kebebasan bagi iblis seluas-luasnya, termasuk iblis yang bewujud manusia dan berusaha menggantikan Tuhan sebagai pencipta dunia. Hal ini, penulis katakan sebagai kesombongan model baru yang tidak mau mengakui kebenaran, egositis, sepihak dan melindungi ketidakadilan. Meminjam istilah Piliang, layaknya ini adalah sebuah dunia Hyperrealitas.
Namun, jika pikiran kritis muncul dalam usaha menyikapi dunia Hyperrealitas seakan-akan ketenangan masyarakat kita merasa terusik, sebab kebiasaan mereka disinggung-singgung dalam sebuah wacana maupun catatan pinggir di koran-koran lokal. Berbagai macam tuduhan akan dilempar secara serampangan, penanaman ideologi, orang yang Hyper, aliran sesat oarng yang latar belakangnya hancur dan apa saja kata-kata yang menunjukan kekalahan dalam bentuk penolakan. Di sini perang urat leher akan berlangsung, hingga menimbulkan tidak bertegur sapaan selama berhari-hari, dunia intelektual yang aneh. Seharusnya sebagai intelektual kita harus berpikir karena itu adalah kewajiban intelektual. Pernah pula penulis dikatakan sebagai orang bodoh, dilecehkan, pembunuhan karakter. Dikatakan sebagian orang yang mengaku dirinya intelek bahwa kuliah di S2 di Unand hanya akan bertambah bodoh, lihat saja para Profesornya tidak bisa menulis, tidak berkarya, bayangkan saja apa yang mau diberikan kepada mahasiswanya. Namun, terlepas dari itu bagi penulis bukan persoalan berkarya atau tidaknya, tetapi sumber daya manusia mahasiswanya. Banyak buku yang mendukung perkuliahan, banyak referensi yang ditawarkan.
Landasan Berpikir
Tiada kebenaran yang absolut, di sela kebenaran terdapat ketidakbenaran, seperti pahala didampingi oleh dosa, begitu pula dengan ilmu pengetahuan. Sependapat dengan Hegel bahwa sintesis lahir dari pertarungan dua buah unsur, disebutnya dengan pertarungan antara tesis dengan anti tesis, kemudian menghasilkan penyatuan dalam sebutan sintesis. Kemudian mengulas Nietzche dengan konsep Nihilisme, dinyatakan bahwa baik dan yang jahat hanyalah buatan sejarah. Sejarah adalah waktu, kondisi dan situasi dari kelahiran si jahat maupun si baik itu sendiri. Jika waktu bersahabat, maka baiklah yang dihasilkan dan begitu juga sebaliknya, saat waktu tidak bersahabat maka jahatlah yang dilahirkan.
Tidaklah salah Nietzche mengatakan di dalam geneologi moralnya, bahwa moral yang hakiki itu datang dari langit, hanya saja sampai di bumi direkayasa untuk kepentingan duniawi saja. Apa yang diajarkan oleh agama samawi sudah benar, namun manusia yang merealisasikannyalah yang durhaka, memutarbalikan moral dan nilai-nilai seenaknya saja. Manusia masih berkutat di sekitar lingkaran perut sendiri, manusia hanya mampu memunculkan wacana dan hanya sekedar wacana dan tidak mau memandang kritis terhadap wacana tersebut. Tidaklah juga salah Malaikat protes terhadap Tuhan karena Tuhan ingin menciptakan wakilnya di muka bumi. Dikatakan oleh malaikat, untuk apa dibuat manusia kalau hanya untuk menciptakan kekacauan di muka bumi, bunuh-bunuhan, perang dan segala macamnya. Manusia tidak pernah merasa puas terhadap apa yang ada pada dirinya, selalu ingin lebih dan lebih, sehingga manusia sendiri tidak sadar atas sikapnya yang keterlaluan sehingga tanpa sengaja 7 unsur Tuhan yang di miliki manusia berusaha menyingkirkan Tuhan yang sebenarnya. Penulis menamakannya dengan kesombongan, keangkuhan, egois, dan tidak mau tahu terhadap nilai-nilai kemanusian.
Sejalan dengan itu Piliang dan Eko sudah merangkum kesombongan dan keangkuhan kedalam itu sebuah penamaan, disebutnya Hyperealitas. Digambarkannya bahwa menyatunya dunia transenden dengan imanem, perselingkuhan kebaikan dengan kejahatan, tanda kembali menjadi tanda, tanda kehilangan realitasnya sebagai pencerdasan, sehingga memunculkan ribuan tanda baru, namun diujungnya tetap menghasilkan tanda tanya. Sebuah dunia yang sanat rumit dan serba salah. Kemudian lahir pemikir-pemikir kritis terhadap realitas, sebagai akibat dari kegagalan intelektual sebelumnya. Pemikir itu fakta di dalam sejarahnya akan dikatakan sebagai orang-orang kalah, hanya karena dia tidak mempunyai payung Hegemoni untuk menanamkan pengaruh dan tipis kemungkinan untuk merebut kursi ketuhanan. Sejak masa Aufklarung hingga masuknya dunia modern dan mungkin akan berakhir dengan Potsmoderen. Ternyata tidak, setiap ilmu akan berkembang sesuai dengan ketegangan dan kegamangan yang dihasilkan oleh realitas yang diciptakannya, reliat itulah yang dikatakan Nietzche sebagai fakta. Aufklarung yang notabenenya akan mencerdaskan masyarakat ternyata di sanggah oleh pemikir Moderen seperti Marx Hokaimer dan Ardorno di sekolah Frans Frud Jerman. Hokaimer dan Ardono membahu untuk meolak Hegel, Kalr Marx tentang konsep sintesis dan Marxis yang menghambakan diri untuk kemanusiaan murni, sebab sekian lama pengkut Marx tidak seidealis Marx. Marx dilecehkan dengan difokuskannya marxisme pada kekuasaan. Stalin kalifah terakhir Marxisme menhambakan diri kedalam politik untuk merebut kekuasaan dan menjadikan kekuasan seabsolut mungkin. Alhasil pengikut Stalin anarkis dan menghalalkan segala cara untuk mencapai makrifatnya. Anehnya, usaha baik dari sang guru seperti Hokaimer dan Ardorrno juga berujung pada sikap pesimistis, Hokaimer takluk dengan ketidakberdayaannya. Hokaimer mati dalam usia tua dan Ardorno dituntut oleh mahasiswanya.
Senada dengan itu, kepenatan kembali muncul, lahirlah Postmoderen yang diperjuangakan Derrida, Piliang, Barthes dan kawan-kawan untuk menghancurkan narasi besar dan menghidupkan narasi kecil meskipun bersifat lokal. Tetapi dalam realitas Postmoderen itu sendiri linglung setelah tidak begitu lama menempati posisi ketuhanan. Ada yang menertawakan ketentraman dan ada pula yang mencemooh ketidakberdayaan. Sebab di dalam realitasnya Postmoderen berbuah anarkis dan cenderung menciptakan moralnya sendiri yang bersifat sangat lokal. Alhasil, runtuh kembali Negara kemanusian itu masih di bawah bayang-bayang Hegemoni.
Kemudian Edwar Said yang anti Barat juga memberikan sanggahan terhadap keberpihakan kaum imperial kolonial. Akibatnya, muncullah perbedaan baru, perbedaan Barat dengan Timur, Timur terbelakang, sementara Barat adalah kemajuan. Barat laki-laki dan Timur adalah perempuan yang patut dicerdaskan, dilindungi dari kejahatan kaumnya sendiri. Kepentingan Barat untuk menegakan kembali bendera Imperialisemnya di tanah yang tidak bertuan. Barat salah telah memandang Timur sebagai Timur jauh, sebelah mata, sehingga Barat hancur oleh senjata buatnnya sendiri. Faktanya Chomsky adalah salah satu produk senjata yang paling ditakuti oeh Barat, terlebih lagi setelah dia menulis tentang Teroris Internasional. Barat terpukul dan harus ekstra hati-hati. Dari sikap tersebut, Barat menuduh Islam sebagai biang keladinya. Tidak lama lagi Barat akan luluh lantak, Negara adi daya (Postkolonial) itu akan berpindah tangan kepada Cina dan India. Jika ini benar, maka berhasillah Anya Loomba dan Leela Gandhi dalam menyikapi kaum Kolonial Imperial.
Pembahasan
‘’Tuhan telah mati! Siapa yang membunuh Tuhan? Kamu? Kamu? Tidak! Kita yang membnuh Tuhan’’ (Zarathustra, 2000).
Kematian Tuhan yang digembor-gemborkan Nietzche bukanlah kematian Tuhan yang hakiki, namun kematian yang digambarkan adalah kematian spiritualitas, keterputusan hubungan manusia dengan Tuhan. Kita mulai berjalan mundur, pada masa keemasan Gereja, terjadinya pembaharuan di gereja khatolik, penjualan surat Aflak, surat pengampunan dosa bagi pendosa yang mengakui dosa di gereja. Akibat dari itu, para penganut paham lama risih dan marah, mereka menuntut pembaharuan di dalam gereja, maka berdirilah dogma baru di bawah bayang kristen protestan. Bagi penganut Kristen protestan, kekuasaan gereja telah disalahgunakan untuk kepentingan individu saja,. Agama sudah menjadi bisnis, Tuhan sengaja diciptakan oleh para pemegang kekuasaan di dalam gereja.
Senada dengan itu, melirik dunia realitas yang juga naïf, jauh menyimpang dari apa yang diajarkan oleh agama samawi. Baik Isalm ataupun Kristen telah membaur, percampuran antar agama, pernikahan beda agama. Sedangkan bagi agama Islam sendiri tidak mensahkan bagi penganutnya untuk menikah dengan agama lain. Larangan ini sudah dilanggar oleh umat Islam sendiri, di bawah lindungan Jaringan Islam Liberal. Bagi mereka, sah saja asalkan suka sama suka dan tidak didasarkan paksaan. Terkadang bagi pihak tertentu mengatasnamakan solidaritas antar agama, tiada lagi kum dinukum waliyadin, zinah telah dilegalkan.
Di bidang sosial juga dapat diperhatikan, sekarang jarang sekali orang berbuat untuk kepentingan sosial murni. Seperti pepatah minang, ‘’sakali dayuang dua tiga pulau terlampaui’’. Berbuat untuk kepentingan umun, terselip kepentingan politik, menanamkan pengaruh untuk menguasai saja. Pemberian beras miskin yang katanya hanya untuk orang miskin, namun di dalam realisasinya banyak yang mendapatkan bantuan hanya orang-orang yang mampu secara ekonomi. Sayang sekali pemerintah sudah merasa puas dan sudah merasa bantuan yang diberikan telah sampai kepada orang yang dituju, padahal bantuan baru hanya sampai pada tingkat simulasi saja. Terlihat sekali pemerintah kita malas bekerja, pemerintah hanya cukup menugaskan orang yang dipercayai untuk mengumpulkan data orang miskin, sementara orang yang dipercayai juga malas bekerja, data orang miskin cukup diambil adari kantor Wali Nagari, padahal data itu data bertahun 2005. Anehnya, yang dikatakan miskin itu hanya berputar di sekitar sanak familiki si tukang data. Di balik itu, terdapat banyak orang yang mengaku miskin, seorang guru sekolah dasar pun bisa mengaku miskin. Pengalaman pendataan penduduk ini pernah penulis temui di saat KKN tahun 2004 yang lalu, petugas sensus cukup mendatangai Pak Wali Nagari atau Ibu Wali Nagari untuk mendapatkan data sensus penduduk.
Andai saja pemerintah benar-benar berniat memberantas kemiskinan, caranya sangat gampang. Uang yang sejumlah Rp. 300.000 satu bulan tidak terlalu berarti bagi masyarakat, andai saja uang itu dikoordinir untuk membuka usaha mandiri bagi masyarakat atau menciptakan lapangan kerja baru, memberikan modal usaha bagi pengusaha keluarga tentu akan lebih bermanfaat. Penulis pikir data orang yang dikategorikan miskin tidaklah banyak tetapi data orang yang mau dikatakan miskin sangatlah banyak. Orang miskin akan bertambah banyak jika pemerintah selalu berjanji akan memberikan bantuan berupa uang kepada masyarakat. Semakin sering pemerintah menjanjikan bantuan kepada masyarakat semakin bertambah pulalah orang miskin di Negara ini. Kapankah kemiskinan bisa dibrantas?
Kemudian realitas perpolitikan di Indonesia deawasa ini sangat jauh dari harapan masyarakat. Para calon menafaatkan agenda spiritual untuk menanamkan pengaruh dengan harapan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Jelas terlihat di saat kampanye para calon memberikan sumbangan ke masjid-masjid, namun ketika calon kalah sumbangan ditarik kembali. Menyumbang ubin untuk pembuatan jalan, setelah calon kalah ubin dibuka kembali. Di waktu kampanye beribu janji yang dikemukan, tapi setelah menjabat calon legislative hilang ingatan. Sebuah pengalaman bagi penulis di dalam kampanye calon DPD, kebetulan sekali penulis sedang mengunggulkan Edi Utama sebagai DPD utusan Sumbar. Setelah letih berjalan, penulis istrirahat di daerah Maninjau, kata-kata yang aneh bagi penulis dengar dari caleg golkar berkampanye, ‘’kalau sya menjabat nanti, saya akan bangun jembatan di daerah ini!’’, masyarakat menjawab, ‘’kami tidak mempunyai sungai Pak!’’, caleg membalasnya, ‘’kalau perlu kita buat sungainya!’’, spontan kami dan rombongan tertawa. Begitulah fenomena perpolitikan di Indonesia. Layknya, adanya anggapan baru terhadap perpolitikan di Indonesia, faktanya banyak para calon berpandangan bahwa terjun di bidang politik bukan untuk menjadi pemimpin tetapi untuk mencari lapangan kerja, sebab telah terlalu lama menjadi pengguran bersertifikat setelah memenangkan gelar sarjana. Salah satu bentuk penipuan intelektual terhadap masyarakat bawah.
Sejalan dengan itu, kita perhatikan kampanye pilpres sekarang. Dalam masa tenggang pegawai honorer dijanjikan akan diangkat menjadi PNS seratus parsen, pilihlah SBY untuk calon presiden. Penulis melihat adanya ketidak feir-an calon pemimpin kita, tanpa berdosa berpijak di atas nasib seseorang untuk mencapai kekuasaannya, para pegawai honorer terpengaruh karena dijanjikan untuk di angkat apalagi para PNS merasa mendapat durian runtuh sebab gaji akan dinaikan. Apakah rakyat Indonesia ini hanya PNS?
Di bidang pendidikan, penulis melihat terdapat ketidakadilan bagi masyarakat. Di mulai dari penyelewengan dana pendidikan 20 parsen hingga bantuan pendidikan berrupa beasiswa bagi yang berprestasi dan untuk orang kurang mampu. Banyak sekali bantuan beasiswa atau bantuan pemerintah tidak tepat sasaran. Siapakah yang patut disalahkan? Pemerintah atau orang yang diperintah untuk menjalankan misi tersebut? Di daerah perkampungan tidak sedikit anak usia sekolah terputus sekolah karena tidak ada biaya, masih banyak orang yang terlantar yang patut disantuni, anak jalanan, tuna wisma hinga tuna moral.
Mungkin sudah nasib penulis sebagai orang aneh banyak menemukan keanehan di dunia ini. Di SD No 47 Toboh Olo, kecamatan Sintoga Kabupaten padang Pariaman, masih dipungut bayaran perkepala oleh komite sekolah bagi setiap murid, alsananya untuk membangun pagar, padahal dana BOS sudah disediakan oleh pemerintah. Bagi masyarakat kampong, uang Rp 20.000 persemester sudah sukup berarti bagi maskarakat, di saat diadakan rapat dengan orang tua murid, para guru mengancam ini hanya uang sumbangan, bagi Wali Murid yang tidak membayar lapor anaknya ditahan. Kemudian tentang orang terlantar, masih banyak penulis temui bergelimpangan di jalanan, salah satunya juga terjadi di daerah Toboh Olo. Seorang anak perempuan yang bernama Lisa Atalia (13) tersesat di daerah tersebut, Ayah dan Ibu meninggal, dia tidak bisa mengingat apa-apa selain nama orang tua dan namanya saja, beruntunglah kebaikan hati masyarakat masih tersisa, anak tersebut ditampung dan dianggap anak sendiri oleh masyarakat. Anehnya, hingga sekarang belum ada saudara atau familinya yang mengaku kehilangan saudara. Negara yang aneh, anak terlantar dipelihara di jalanan Negara.
Kemudian mari kita lihat tentang arti Demokrasi, menyediakan kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi pemimpin, berpolitik seluas-luasnya, bebas berpendapat, terbuka. Adalah sebuah konsep yang salah, dengan adanya kebebasan yang seperti inilah yang mendorong siapa saja untuk berkuasa, termasuk orang yang tidak berkualitas untuk mengendalikan Negara ini. Demokrasi dalam realisasinya hanya mengejar kuantitas saja dan bukan mengedepankan kualitas. Prinsip demokrasi telah memberikan kesempatan kepada orang picik, bodoh, para pembunuh moral, pengantung tuhan untuk mengendalikan Negara ini. Jika saja pemerintahan mau mengejar kualitas, tentunya kemajuan Negara ini berkembang dengan pesat, tetapi kenyataannya yang menjadi pejabat hanya mental-mental koruptor, berhasil memegang tampuk pimpinan dengan kendaraan uang. Di sisni posisi orang miskian sagnat dibutuhkan oleh calon pemimpin dalam menggapai kekuasaan, siapa saja yang menebar uang sebanyak-banyaknya merekalah yang bisa menjadi pemimpin masyarakat. Masyarakat tahu dibodohi, tetapi masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa karena masyarakat butuh makan untuk hidup. Pilihlah pemimpin yang menolong kita, pilihlah presiden yang memperhatikan nasib PNS, menaikan gaji, mengayomi guru, semantara para petani dijadikan tunggangan. Rakyat miskin tidak akan bisa dibrantas, jika di Negara ini masih menganut sitem yang sadis.
Kemudian , masalah seksual yang awalnya pada Abad ke- 17 hanya dibatasi di dalam rumah dan perkawinan dalam lingkungan keluarga, namun setalah itu diserap oleh ilmu pengetahuan ke dalam diskursus, adanya suatu usaha agar seks dipadatakan melalui bahasa, pernyataan bahwa seks adalah topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas, bahkan di lain kajian tentang seksual sudah diciptakan teorinya, sehingga melahirkan emansipasi wanita, akhirnya menjadi ‘’mutasi seksual’’. Isu Feminisitas layaknya sebuah wacana baru terhadap gender, dimana di sana hidup kekuasan laki-laki, sehingga hal ini melahirkan tuntutan bagi kaum hawa agar emansipasi wanita direalisasikan, media yang dianggap sebagai salah satu sarana bagi kaum hawa dalam memperjuangankan semua itu, ternyata telah menciptakan pembiakan liar dan ketidakstabilan bagi kaum feminis. Kaum feminis mengganggap ini adalah kesempatan besar untuk menuntut ketidakadilan, media dapat menghancurkan batasan-batasan yang dimiliki perempuan, kondisi lemah, lembut, berdiam diri di rumah, pasif, irasional, emosinal telah dileburkan oleh kemapuan teknologi mutakhir yang ditawarkan media, Piliang menyebutnya kondisi ini dengan Postfeminisme. Melalui teknologi kaum dapat feminis bisa meningkatkan daya pikir, kekuatan, kecerdasan, keaktifan sehingga kaum feminis tidak lagi menempati posisi inferior di bawah laki-laki.
Sejalan dengan itu pemberdayaan perempuan melalui teknologi cyborg , menciptakan frontier femininisitas, kerana dengan teknologi ini perempuan bisa melipatgandakan kekuatan, tiada rasa takut berada dimanapun, kaum feminis menciptakan daerah tidak bertuan sendiri seperti yang dilakukan laki-laki, yang mana di sana penguasa tunggal adalah perempuan. Teknologi ini pernah difilemkan oleh Amerika dan dibintangi oleh Arnold Suasinegar, di sini di citrakan Arnold dibekukan dan tertidur selama ratusan tahun, setelah dibangunkan melalui mesin, zaman telah berubah, kemudian Arnold bertemu dengan seorang wanita yang hidup di era itu, Arnol menginginkan transaksi seksual dengan wanita itu, si wanita memenuhi dengan teknologi Cyborg, memasang banyak kabel di bagian syaraf, sehingga perasaan keduanya layaknya dua pasangan yang sedang berhubungan badan, merasa terpuaskan setelah melanglang buana di dalam dunia Cyborg. Berarti, tidak adanya keturunan yang dihasilkan transaksi tersebut, tujuannya hanya untuk memuaskan diri belaka dan setiap orang bebas mendifinisikan identitas seksual menurut selera masing-masing.
Akibat dari itu, terjadilah keliaran menggganas tiada terkendali, Cyberspace dipergunakan oleh kaum hawa untuk membentuk komunitas virtual, yang mana dampaknya sangat merugikan wanita itu sendiri. Sebab di sini tidak tertutup kemungkinan pertukaran gender antara laki-laki dengan wanita, si wanita menjadi laki-laki dan laki-laki menjadi wanita, akhirnya kedua posisi itu dinikmati oleh masing-masingnya. Chating yang pada awalnya untuk membangun silaturrahmi berubah menjadi pemangsa buas kefeminiman wanita, website yang awalnya sebagai senjata bagi kaum wanita untuk menyuarakan ketidakadilan ternyata berubah fungsi sebagai tempat memvirtualkan harga diri, identias diri wanita, ekploitasi wanita. Website porno, seks online, Facebook, frindster yang mempertontonkan identitas diri cukup menggambarkan ketidakberdayaan perempuan di hadapan laki-laki. Tiada hukum, tiada peraturan, tiada tuntutan, kaum feminis bertekuk lutut di bawah Maskulinitas. Selain itu, tuntutan terhadap ketidakadilan yang diterima kaum perempuan melahirkan wacana lokalisasi, homo dan lebian di legalkan, hingga banci pun menuntut peraturan yang sama, namun denotatumnya masih sama yaitu ketidakpuasan perempuan dengan dominasi laki-laki.
Sejalan dengan apa yang diungkapan Focoult dalam Piliang (2004), bahwa kekuasan dan kesadaran tubuh seseorang dapat diperoleh hanya memalui efek investasi kekuasan di dalam tubuh, melalui teknologilisasi tubuh, hingga politik tubuh. Tak obahnya tubuh wanita dijadikan politik untuk menjadikan dan menghancurkan nama baik seseorang. Agar diskursus tentang seks ini tidak merugikan kekuasaan, maka kekuasaan berusaha mengidentifikasi, menyediakan literatur dan melakukan pencatatan yang sangat rapi, persoalan seks adalah kebijakan negara, di Indonesia sendiri lahirlah UU pornografi dan porno aksi. Focoult juga menyatakan bahwa kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan, dengan mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagian-bagiannya, membangkitkan permukaannya dan mendramatisir kekacauan (Rizer 2003: 112).
Kemudian Postfeminisme kaum hawa lebih keras menuntut persamaan disegala bidang, Dorse yang menukar kelamin mejadi perempuan, Afi yang minta dikuburkan sebagai laki-laki, Lenny yang sembahyang memakai makena dan pergi Haji sebagai laki-laki. Ini adalah sebuah fenomena nyata yang sudah dimamah oleh masyarakat komsumer. Betul isunya berangkat dari gender, persamaan jender, pembagian rata hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan. Juga, awalnya mucikari hanya seorang penampung PSK atau pencari PSK untuk diperkerjakan, tetapi lambat laun hal itu berubah menjadi sebuah profesi yang patut pula dihargai dan diakui. Perhatikan saja Lokalisai Doly, setiap bulan puasa kegiatan jual beli diliburkan karena para pekerja pulang kampung untuk menunaikan ibadah puasa, Pak RT di lingkungan Doly bisa istirahat sejenak. Sekali lagi, kaum feminime telah gagal menamkan kekuasaan terhadap laki-laki, menyuguhkan kemolekan tubuh, kelangsingan, mulus, cantik itu putih dan segala macamnya ternyata menuai kelincahan kekuasan memanajemen itu semua.
Sejalan dengan itu, kekuasaan juga membangun sebuah tatanan sosial baru, feminisme dunia ketiga ke dalam sebuah kancah yang dulu termarjinalkan, menjadikan perempuan pribumi atau perempuan Timur sebagai objek pembanding. Membuat pernyataan bahwa sudah saepatutnya kesetaraan Gender menjadi kajian yang menarik. Padahal sesungguhnya pandangan feminisme baru itu adalah sebuah pendustaan untuk menghancurkan mitos perempuan suci yang dimiliki oleh orang Timur. Di pihak perempuan Timur malah tidak sadar bahwa penjajahan terhadap dirinya sudah dilakukan oleh feminisme Barat, mempunyai anak cukup 2 saja karena bisa lebih fokus untuk membiayainya, makanya pakai kondom dalam transaksi seksual atau diperbolehkan berhubungan seks dengan menggunakan kondom, bergerigi agar lebih sensual. Ini adalah sebuah kesuksesan Hegemoni Barat yang patut dapat acungan jempol, kelanjutannya sorotan terhadap kaum perempuan terpinggirkan menjadi sumbangan hangat bagi perempuan Timur, tetapi sesungguhnya perempuan Timur telah membantu mentransformasikan usaha mereka untuk kembali menjajah dengan sistem.
Seiring dengan itu Yasir menyatakan perempuan menjadi kelas dua bukan kaerena biologis yang melekat padanya tetapi karena citra negatif yang dilekatkan pada dirinya (Yasir Alimi, 2004: 36). Seperti Ilmu pengetahuan yang dikodekan oleh Darwin bahwa kapasitas otak laki-laki lebih besar dari pada otak perempuan, Imanuel Kant menyebut bahwa laki-laki itu bodoh tapi masih bisa dididik tetapi perempuan itu bodoh dan tidak bisa dididik, kemuadian diskursus Agama juga mempertegas bahwa perempuan lebih rendah keimanannnya dibandingkan laki-laki, makanya seluruh permukaan tubuh perempuan dimasukan ke dalam aurat kecuali telapak tangan dengan muka. Sementara Focoult sendiri menyatakan adanya 3 unsur yang sangat berpengaruh dalam menentuan sebuah ideologi, yaitu power-imu pengetahuan-kenikmatan. Di antara ketiga unsur ini saling kait, power dengan pengetahuan saling berrelasi untuk menghasilkan kebenaran baru begitu juga sebaliknya, sementara penghetahuan mengeskploitasi kenikmatan. Sebuah contoh terhadap kasus itu adalah kisah tragis yang dialami Barbin seorang Hermaprodit Parncis abad ke XIX , setelah melakukan pengakuan kepada dokter dan pendeta di gereja, secara hukum Barbin diharuskan mengubah kelaminnya menjadi laki-laki karena maskulinitas yang dimilikinya, akhirnya barbin Bunuh diri, lalu Dorce yang diharuskan mengubah kelamin menjadi wanita? Hal ini dikatakan Focoult ‘’aneh’’ sebab yang namanya Hermaprodit itu berjenis kelamin ganda bukannya dijadikan satu kelamin.
Di yakini oleh Yasir bahwa seksualitas menjadi heteroseksual atau homoseksual hanyalah kontruksi sosial, efek wacana sebagai akibat dari praktek diskursus, oleh karena itu tidak bisa ditenmukan di dalam darah tetapi dapat ditemukan hanya di dalam tanda bahasa. Diskursus juga diyakini oleh Fokoult sangat berpengaruh dalam histerisasi tubuh perempuan dan performen menurut Butler dalam Yasir. Diskursus adalah wadah yang sangat potensial untuk meneriakan bahwa perempuan itu feminim, laki-laki maskulin, laki-laki dan perempuan harus punya kelamin satu, awalnya sangat sederhana, cukup mengatakn bahwa ‘’saya laki-laki dan harus bersifat maskulin!, kamu perempuan! kamu orang Hyper! Aliran sesat!’’ atau mungkin tanda bahasa lain yang perlu dimunculkan untuk menciptakan sebuah diskursus. Kuncinya hanya datu kata, ‘’pengulangan’’ hingga lambat laun kode itu diakui dan diterima.
Kemudian, Barat moderen menyatakan bahwa seksual baginya adalah prokreasi untuk memkasimalkan kekuatan, potensi diri, menjaga hubungan pernikahan dan menolak Yunani dan Romawi bahwa seksual merupakan kesenangan, maka dari itu dibangun tatanan moral untuk melahirkan moral kebenaran, menyatakan onani dapat merugikan kesehatan, homoseksual menimbulan penyakit, hyperseksual mampu meningkatlan AIDS, sementara Barat sendiri meningkatkan kegairahannnya melihat perempuan Timur sebuah ladang eksotis, sensual dan sexy. Di percayai bahwa pusat perdagangan daging mentah di Asia tenggara itu adalah di Indonesia, Surabaya (Dam Truong, 1992). Timur itu feminis, Barat

*Mahasiswa Pasca Linguistik Budaya Universitas Andalas

SOSIOLINGUISTIK, KELAS SOSIAL, ETNIS DAN JENDER

Oleh. M. Yunis
‘’Kuliah di S2 di Unand bukan bertambah pintar tetapi bertambah bodoh’’, ejekan seperti ini sering penulis terima di saat berinteraksi dengan teman-teman di Fakultas Sastra. Namun, bagi penulis sendiri sikap seperti itu adalah sebuah kode yang sengaja dibuat dan dijadikan ideologi untuk menelanjangi dan membunuh karakter. Adanya faktor iri maupun dengki atas ketidakmampuan, persisnya ungkapan orang-orang kalah secara intektual, merasa tidak senang atas kemajuan lembaganya sendiri. Sering penulis katakan ini adalah sebuah upaya untuk penjajahan gaya baru melalui bahasa yang dimunculkan sebgai kode sosial. Begitulah besar pengaruh bahasa dalam penentuan kecerdasan intelektual kedepan.
Bahasa sebagai alat kumunikasi sekligus alat penentu kelangusungan hidup sosial masyarakat, mampu membangun sebuah dunia baru, Lela Gandhi menyebutnya dunia ketiga atau kehancuran total seperti yang diungkapkan Nietczshe. Justru dengan kecairan berpikir munculnya dunia ketiga tersebut dapat disambut dengan hangat, tentu saja cara berpikir yang jernih dan cerdas menjadi tiang penyangga utama untuk melakukan itu. Sejalan dengan itu, tindakan kritis terhadap petrkembangan bahasa menyebabkan para kritikus mampu melihat lebih jauh apa yang tersembunyi di dalam bahasa yang mana di dalamnya terdapat simbol dan kode-kode berbahaya dan bisa membuat penikmat bunuh-bunuhan dan parahnya menjurus terhadap pembunuhan intelektual.
Sepadan dengan penulis ungkap di dalam salah satu judul artikel buku In Memorial Khaidir Anwar, ‘’Hyperrealitas dan Kematian intelektual’’ dan berikut mengulas tulisan yang senada ditulis oleh Dini Maulia ‘’Matinya Makna Runtuhnya Ideologi’’, yang penulis kira masih mengusuh sebuah pesan untuk menghgidupkan intelektual yang mati suri, sebuah perencanaan, pengkodekan yang pelulis rasa mampu menggenjot cara berpikir. Beruntunglah pada kesempatan kali ini, penulis mendapatkan topik menarik variebel sosiolinguistik, kelas sosial, etnis dan gender. Melalui kode-kode ini penulis akan berusaha menggambarkan fenomena yang sedang mengekspliotasi bahasa sehingga kelas, sosial, etni dan gender berkembang sangat liar, di samping itu penulis berusaha mengungkap peran hagemoni yang mendasari keliaran tersebut.

1. Kelas sosial
Mengungkap tentang kelas sosial membawa kita bertamasya ke alam sosiologi, namun hal itu penulis pikir tidak bisa lepas dari konsep Marx tentang Marxisme atau membayangkan tentang komunisme, penyemblihan manusia, eksploitasi kaum akar rumput, takut, berbahaya, layaknya sebuah hantu yang siap menerkam siapa saja yang menderita dan teraniaya, semuanya itu tidak lebih hanyalah sebuah masa lalu yang pahit.
Zaman kemesan Marxisme sesungguhnya adalah sebuah zaman filsafat kecemerlangan (Pencerahan) abad XIX yang mengungkit Matrealisme, tetapi menentang matrelisme dualistik Feuerbach yang mana dia memandang objek sebagai yang dapat diamati dan tidak sebagai aktivitas kesadaran, perbuatan manusia tidak sebagai praktek manusia (Marx dalam Muawiyah, 2009; 21). Sementara Marx sendiri sebagai penggagas menyatakan bahwa kenyataan itu betul ada secara objektif dan tidak hanya sekedar ide, pandangnya tentang sejarah adalah menjadi sebuah kunci, sebab manusia itu sendiri adalah kunci sejarah. Sejarah dari masyarakat yang ada hingga kini tidak lebih hanya sejarah pertentangan kelas antara budak dengan tuan, tukang dengan ahli, pemerintah dengan rakyat, laki-laki dengan perempuan, dosen dengan Mahasiswa. Artinya, sejarah hanyalah perseteruan antara yang tertindas dengan yang menindas tetapi akan berakhir disaat terciptanya masyarakat yang tidak berkelas.
Sejalan dengan itu Miles dalam Lomba menyatakan bahwa pembentukan kelas itu dilakukan dengan rasialisasi (Loomba, 2001;165). Rasialisasi yang dimaksudkan adalah tidak lebih dari tindakan penguasa (Kolonial) untuk mengakali kaum yang dianggap terbelakang (Budak), terkucil dari segi Ras, Etnis, Ekonomi untuk mengabdi kepada penguasa. Bisa dicontohkan dengan apa yang terjadi di Afrika, bahwa orang Afrika diperbolehkan menempati tanah orang Eropa dengan bayaran orang Afrika bekerja untuk Eropa, setelah itu Eropa menerapkan pajak tunai yang berrujung pada pengabdian total (eksploitasi) orang Afrika sebagai pengganti pajak kepada Eropa, Neo Imperialisme sebuah usaha mengekplotasi dan mengkebiri hak-hak penduduk pribumi (Chomsky, 2008). Meminjam istilah Loomba, cara ini sangat mudah bagi orang Eropa karena terlebih dahulu mereka telah membangun konsep buas mulia. Orang Afrika diberi kesempatan memiliki tanah si Eropa jika mau bekerja sama dengan Eropa, berupa berpindah keyakinan, menetap dan bekerja untuk Eropa, maka orang Afrika yang manut tersebut dinamakan dengan Buas Mulia, biar agak elit sedikit seperti yang dilakukan Marx sendiri berpindah keyakinan dari Yahudi ke protestan.
Kode-kode yang serupa terus dibangun oleh orang Eropa untuk menjalankan misi kolonialnya hingga ke ranah seksual, seperti cerita yang sering diangkat di dalam kisah injil tentang Ratu Shaba dari Timur, bahwa Ratu yang datang ke Kuil Salomon dengan membawa Emas dengan imbalan Ratu mendapatkan kepuasan seksual dari Sulaiman dan Ratu Indian yang memeluk agam Kristen seteah berlarut-larut bertentangan dengan Inggris, kemudian menikah dengan orang Inggris, selanjutnya kode yang dibangun di dalam film Scorpion King, yang mana seorang perempuan Timur yang mempunyai kesaktian tunduk di bawah Raja Kala Jengking, padahal baginya keperawanan adalah kunci dari kesaktian itu. Nah, cerita ini selalu diungkit-ungkit oleh kolonial untuk menggambarkan ketundukan perempuan Timur, keluarga kerajaan, kelas, bercinta dengan dan diselamatkan oleh laki-laki Eropah akan menjadi cerita bagi perkembangan dunia sekarang. Loomba menyebutnya sebagai sebuah Fantasi Kolonial untuk menciptakan kelas baru bahwa perempuan Timur, kulit hitam, ras terbelakang adalah kelas rendah dan biadab perlu diberi kebudayaan ala Eropa (Penjajahan).
Kelas menengah ke bawah bisa saja menempati posisi menyerupai kelas atas, tetapi bukan kelas atas. Kalaupun kelas menengah ke bawah memegang sebuah kekuasaan tepatnya diberi sedikit wewenang (rasisme) tetapi hanya wewenang yang bersifat menjajah saudaranya sendiri, peraturan dibuat untuk menekan, mengkebiri hak-hak kalangan bawah, contohnya kekurang ajaran yang dilakukan Satpol PP terhadap pedagang kaki lima. Sementara itu, kelas atas tiada pernah menempati posisi kelas menengah ke bawah, kalaupun di antara mereka tidak mendapat kesemapatan memegang kekuasaan tetapi tetap mendapatkan perlakuan istimewa dari penguasa setempat, itu pasti sebab penguasa setempat didominasi dan dipegang oleh menengah ke bawah. Contohnya perlakuan yang diberikan terhadap pengusaha. Begitulah usaha kekuasaan yang selalu menjalar hingga ke celah-celah yang sulit dijangkau, pembatasan kelas atas dengan kelas menengah ke bawah tersebut sudah disusun sangat rapi, walau terkadang pembatas tersebut sering dibuka untuk meredam perlawanan kelas bawah.
Jadi, apa yang dikatakan Marx tentang Matrealism bertemu pada titik yang dibahas oleh Loomba tentang konsep kolonial, bagi lomba sendiri kekuasaan (kolonialisme) adalah sarana yang dipakai oleh kapitalisme untuk melakukan ekspansi globalnya, Rasisme (kerja paksa) hanyalah sebuah sarana yang digunakan oleh Kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja dari daerah jajahan. Nyatanya, kelas pekerja atau para pengabdi adalah kode yang diwujudkan dan digeneralisasikan oleh hegemoni untuk menindas, eksploitasi, penjajahan fisik maupun jiwa demi birahi serakah akan duniawi, wacana gospel, Gold dan Glory menjadi tiang penyangga bagi Barat atau Erpah untuk memegang tampuk kekuasaan. Layaknya sebuah tawaran bagi kaum yang terjajah untuk patuh kepada Hegemoni Barat dan Eropah, membeli jiwa kelas menengah ke bawah dengan agama, lapangan kerja atau dengan wacana saudara tua. Sehingga sifat ketergantungan tumbuh dalam diri masyarakat kelas rendah terhadap tamu yang membawa segudang kemakmuran.
Derita berkepanjangan yang diderita kelas menegah ke bawah itu kelas pernah dilawan oleh Marxs yang sudah dicatat sebagai buas mulia dengan mendirikan Liga Komunis di Brussel 1847 akhirnya menjadi cikal bakal gerakan kaum pekerja internasional pertama dan sebagai dampaknya meletuslah tindakan anarkis hingga wabahnya menjalar ke Indonesia, klimaksnya terjadi pada tahun 1965. Akhirnya, strategi sosialis ini selalau gagal mengukuhkan kemenangan sejatinya untuk melawan Hegemoni.

2. Etnis
Ben Agger menyatakan bahwa Ras dan Etnis tidak lagi dilihat secara esensial sebagai suatu kategori biologis, tetapi sebagai posisi gender sebagai subjek, identias dan wacana yang dikontruksi oleh diri sendiri dan orang lain (Agger, 2003: 361). Etnis tidak obahnya sebagai pengkotakan sepihak oleh para pribadi maupun kelompok, ego yang berlebihan timbul di dalam sebuah kelompok yang memfonis dirinya lebih mulia, lebih beradab. Hal ini tidak terlepas dari sejarah panjang, pengalaman dan perjalanan zaman dari saman batu lama hingga Postmoderen. Misalnya Inggris dan Portugal sebagai kelompok pertama yang mengarungi dunia merasa mempunyai sebuah kelebihan, tapi bukan kelebihan tepatnya kekuranganlah yang membuatnya seperti itu, mencari ataupun menjajah daerah lain. Berbeda dengan dunia Timur yang dianugrahi tanah yang kaya dan subur. Namun, masyarakat Timur melupakan kesiagaan terhadap serangan dari luar, baik berupa generalisasi Ilmu pengetahuan yang dibuat oleh Bangsa lain sebagai penakluk sekaligus untuk memenuhi kekurangannya. Bangsa Timur seyokyanya bangga akan ilmu pengetahuan yang dibiaskan oleh suku bangsa Eropa, bahkan kebanggan tersebut ditanamkan memalui sistem, baik pendidikan maupun sosial masyarakat. Layaknya adalah sebuah kebanggan tertentu untuk memakai asesoris Barat, dimulai dari Teori, cara dan gaya hidup (life style), penampilan, budaya hingga agama.
Usaha lain ialah perkawinan campur yang dilakukan oleh Ras putih dengan pribumi untuk menghilangkan kulit berwarna, lalu membuat wacana bahwa orang Eropah menyelamatkan wanita kulit berwarna dari kebuasan laki-laki kulit berwarna dan anak-anak yang dilahirkan dari kawin campur itu sudah bisa disebut buas mulia. Di sini juga digambarkan bahwa laki-laki kulit berwarna biadab, kanibal, suka berperang, mengekploitasi wanita sehingga tugas wanita hanya di rumah, sementara si laki-laki bebas memilih wanita lain, polygami. Kode sosial terhadap Etnis, bahwa Etnis Eropa lebih pintar, lebih maju, lebih cerdas dari Etnis Timur, Ras-ras putih yang mereka anggap orang yang beradab dan berpendidikan mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang diangap membutuhkan, celah-celah bernapas bagi etnis berkulit berwarna telah ditutup, kendalikan dan disamarkan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang Afrika dianggap buas mulia ketika mau bekerja sama denga Eropah, sebab orang Eropa mampu menyelamatkan perempuan kulit berwarna dari kebuasan laki-laki berwarna. Pandangan Eropah menyatakan bahwa orang-orang kulit berwarna melakukan hubungan seks sejenis, sehingga terbangunlah kembali kode Homoseksual atau Lesbian. Seakan menaruh logika, bahwa di dunia Timur yang umumnya kerajaan, telah mengurung para Gundiknya di dalam suatu ruangan sehingga terjadilah tindankan saling menyayangi di antara mereka (wanita gundik), mulai dari saling membersihakn rambut, pijat, hingga trnsaksi seksual. Hal ini dianggap logis karena di dalam ruang tersebut tidak adanya laki-laki selain Raja dan terkadang Raja juga sibuk mengatur kerajaannya.
Pandangan di atas tidak hanya dilemparkan kepada dunia timur, tetapi juga kepada Etnis asli Amerika seperti wanita Amazon, kebinalannya, hypersexualnya dalam melayani laki-laki. Di gambarkan oleh Lomba bahwa Wanita Amazon yang memakai topi dari bulu burung, pakai koteka dari bulu burung, dada dicat putih, pakai manik-manik dari gigi dan taring binatang seakan memperlihatkan kebuasannya, berjalan dengan hati-hati mengguirkan pikiran Eropah akan kesuburan tanah yang akan di jajah. Tindakan ini dilakukan oleh Kolonial hanya sekedar untuk membangun image dan kode agar orang Amazon tersingkir dan terasing, jadi daerah Amerika seluruhnya bisa dikuasi oleh orang Putih (Eropa), sebuah penjabaran dari Neo Imperialisme. Di dalam media masa juga digambarkan tentang mitos cantik, bahwa yang cantik itu adalah putih atau yang gagah itu adalah berotot, macho dan segala hal, maka untuk mememnuhi standarisasi tersebut dimunculkanlah produk-produk Kapitalis, seperti bedak, pencuci muka, obat kekar otot dan segala macamnya. Padahal belum lama ini pernah muncul wacana yang cantik itu adalah hitam manis.
Kaum kolonial memandang bahwa Etnis yang unggul adalah etnis yang berkebudayaan, berpendidikan, dan maju secara ilmu pengetahuan, biasanya etnis ini bermukin dekat ke daerah kota besar, dekat dengan kekuasaan atau memiliki kekuasaan tersebut, merasa paling berhak terhadap segala hal, karena sejarahnya yang cemerlang, mungkin sebagai penemu sebuah pulau, daerah, teknologi, atau pernah di kalangan itu dipilih seorang utusan Tuhan. Artinya, sejarahnya mencatat bahwa kekuasaan lebih lama berada di tangannya mereka.
Sebuah kasus perseteruan yang pernah muncul di Ambon yang pada akhirnya memicu Perang Agama, yang hanya berawal dari pertengkaran preman di Jakarta kemudian isu tersebut dibawa ke Ambon yang mana dominasi Kristen lebih kuat. Orang Putih berusaha mengaburkan batas perdamaian antara Islam dengan Kriten di Indonesia, media memberitakan bahwa konflik itu telah selesai dan diselesaikan oleh Etnis yang memegang kekuasaan ketika itu. Hal ini menggambarkan bahwa etnis jawa itu pintar dan bisa menyelesaikan segala masalah. Kemudian masa lalu, protes yang dilakukan oleh Rakyat Suamtra Tengah (PRRI) terhadap pemerintahan Sukarno, karena ketidakadilan sistem yang dibuat, menimbulkan trauma berkepanjangan bagi Rakyat Minangkabau, kisah itu ditutup dengan pengiriman devisi Diponegoro (Bataliyon 433) ke Sumatra untuk menumpas habis PRRI yang dianggap pemberontak dan mengganggu kestabilan Naional. Nah, hal ini menandakan kesuperioran etnis berkuasa dan kekuasan tidak akan terklepas dari etnis yang disinyalir unggul tersebut. Sekarang jelaslah, bahwa etnis tidak obahnya diciptakan memang benar-benar ada dan diciptakan memalalui kode sosial yang diakui secara umum. Etnis dan ras yang unggul adalah etnis dan ras putih, suku bangsa yang beradab seperti Jawa yang notabenenya bias dari Hegemoni Majapahit, presiden harus Etnis jawa supaya kestabilan tetap tercipta.

3. Gender
Abad ke- 17 seksual dibatasi hanya di dalam rumah dan perkawinan dalam lingkungan keluarga, namun setalah itu diserap oleh ilmu pengetahuan ke dalam diskursus, adanya suatu usaha agar seks dipadatakan melalui bahasa, pernyataan bahwa seks adalah topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas, bahkan di lain kajian tentang seksual sudah diciptakan teorinya, sehingga melahirkan emansipasi wanita, akhirnya menjadi ‘’mutasi seksual’’. Isu Feminisitas layaknya sebuah wacana baru terhadap gender, dimana di sana hidup kekuasan laki-laki, sehingga hal ini melahirkan tuntutan bagi kaum hawa agar emansipasi wanita direalisasikan, media yang dianggap sebagai salah satu sarana bagi kaum hawa dalam memperjuangankan semua itu.
Di samping itu media adalah sarana yang sangat membantu bagi perkembangan, pembiakan dan ketidakstabilan gender. Bagi kaum feminis mengganggap ini adalah kesempatan besar untuk menuntut ketidakadilan tersebut, media dapat menghancurkan batasan-batasan yang dimiliki perempuan, kondisi lemah, lembut, berdiam diri di rumah, pasif, irasional, emosinal telah dileburkan oleh kemapuan teknologi mutakhir yang ditawarkan media, Piliang menyebutnya kondisi ini dengan Postfeminisme. Melalui teknologi kaum dapat feminis bisa meningkatkan daya pikir, kekuatan, kecerdasan, keaktifan sehingga kaum feminis tidak lagi menempati posisi inferior di bawah laki-laki.
Sejalan dengan itu pemberdayaan perempuan melalui teknologi cyborg , menciptakan frontier femininisitas, kerana dengan teknologi ini perempuan bisa melipatgandakan kekuatan, tiada rasa takut berada dimanapun, kaum feminis menciptakan daerah tidak bertuan sendiri seperti yang dilakukan laki-laki, yang mana di sana penguasa tunggal adalah perempuan. Teknologi ini pernah difilemkan oleh Amerika dan dibintangi oleh Arnol Suasinegar, di sini di citrakan Arnol dibekukan dan tertidur selama ratusan tahun, setelah dibangunkan melalui mesin zaman telah berubah, kemudian bertemu dengan seorang wanita yang hidup di era itu, arnol menginginkan trnasaksi seksual dengan wanita itu, si wanita memenuhi dengan teknologi Cyborg, memasang banyak kabel di bagian syaraf, sehingga perasaan keduanya layaknya dua pasangan yang sedang berhubungan badan, merasa terpuaskan setelah melanglang buana di dalam teknolgi Cyborg, ini berarti tidak adanya keturunan yang dihasilakn oleh transaksi seksual tersebut, tujuannya hanya untuk memuaskan diri belaka. Di sini setiap orang mendifinisikan identitas seksual menurut selera masing-masing.
Kemudian apa yang terjadi kemudian? Adalah sebuah keliaran menggganas tiada terkendali, Cyberspace dipergunakan oleh kaum hawa untuk membentuk komunitas virtual, yang mana dampaknya sangat merugikan wanita itu sendiri. Sebab di sini tidak tertutup kemungkinan pertukaran gender antara klaki-laki dengan wanita, si wanita menjadi laki-laki dan laki-laki menjadi wanita, akhirnya kedua posisi itu dinikmati oleh masing-masingnya. Chating yang pada awalnya untuk membangun silaturrahmi berubah menjadi pemangsa buas kefeminiman wanita, website yang awalnya sebagai senjata bagi kaum wanita untuk menyuarakan ketidakadilan laki-laki ternyata berubah fungsi sebagai tempat memvirtualkan ekploitasi wanita, web site porno, seks online, Facebook, frindster yang mempertontonkan identitas diri cukup menggambarkan ketidakberdayaan perempuan dihadapan laki-laki. Tiada hukum, tiada peraturan, tiada tuntutan, kaum feminis bertekuk lutut di bawah Maskulinitas. Selain itu, tuntutan terhadap ketidakadilan yang diterima kaum perempuan melahirkan tuntutan lokalisasi, homo dan lebian di legalkan, hingga banci pun menuntut peraturan yang sama, yang pada intinya ketidakpuasan terhadap dominasi laki-laki.
Sejalan dengan apa yang diungkapan Focoult dalam Piliang (2004), bahwa kekuasan dan kesadaran tubuh seseorang dapat diperoleh hanya memalui efek investasi kekuasan di dalam tubuh, melalui teknologilisasi tubuh, hingga politik tubuh. Contohnya bisa kita perahatikan kejatuhan-kejatuhan yang diderita oleh pemimpin banga ini seperti Sukarno, Yusril dan sekarang di derita oleh Antasi Azar. Tak obahnya tubuh wanita dijadikan politik untuk menjadikan dan menghancurkan nama baik seseorang, begitulah media, kembali kaum wanita di tipu oleh laki-laki memalui media. Tetapi tidak bisa disangkal, kekuasaan terlalu arif penanaman idiologi atas ketabuan seks harus disirnakan karena itu menyasikan. Agar diskursus tentang seks ini tidak merugikan kekuasaan, maka kekuasaan berusaha mengidentifikasi, menyediakan literatur dan melakukan pencatatan yang sangat rapi, persoalan seks adalah kebijakan negara, di Indonesia sendiri lahirlah UU pornografi dan porno aksi. Focoult juga menyatakan bahwa kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan, dengan mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagian-bagiannya, membangkitkan permukaannya dan mendramatisir kekacauan (Rizer 2003: 112).
Kemudian Postfeminisme kaum hawa lebih keras menuntut persamaan disegala bidang, Dorse yang menukar kelamin mejadi perempuan, Afi yang minta dikuburkan sebagai laki-laki, Lenny yang sembahyang memakai makena dan pergi Haji sebagai laki-laki. Ini adalah sebuah fenomena nyata yang sudah dimamah oleh masyarakat komsumer. Betul isunya berangkat dari gender, persamaan jender, pembagian rata hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan. Juga, awalnya mucikari hanya seorang penampung PSK atau pencari PSK untuk diperkerjakan, tetapi lambat laun hal itu berubah menjadi sebuah profesi yang patut pula dihargai dan diakui. Perhatikan saja rumah atau Lokalisai Doly, setiap bulan puasa kegiatan jual beli diliburkan karena para pekerja pulang kampung untuk menunaikan ibadah puasa, sementara itu Pak RT di lingkungan Doly bisa istirahat. Sekali lagi, kaum feminime telah gagal menamkan kekuasaan terhadap laki-laki, menyuguhkan kemolekan tubuh, kelangsingan, mulus, cantik itu putih dan segala macamnya ternyata menuai kelincahan kekuasan memanagemen itu semua.
Sejalan dengan itu, Hagemoni juga membangun sebuah tatanan sosial baru, feminisme dunia ketiga ke dalam sebuah kancah yang dulu termarjinalkan, menjadikan perempuan pribumi atau perempuan Timur sebagai objek pembanding. Membuat pernyataan bahwa sudah saepatutnya kesetaraan Gender menjadi kajian yang menarik. Padahal sesungguhnya pandangan feminisme baru itu adalah sebuah pendustaan untuk menghancurkan mitos perempuan suci yang dimiliki oleh orang Timur. Di pihak perempuan Timur malah tidak sadar bahwa penjajahan terhadap dirinya sudah dilakukan oleh feminisme Barat, mempunyai anak cukup 2 saja karena bisa lebih fokus untuk membiayainya, makanya pakai kondom dalam transaksi seksual atau diperbolehkan berhubungan seks dengan menggunakan kondom, bergerigi agar lebih sensual. Ini adalah sebuah kesuksesan Hegemoni Barat yang patut dapat acungan jempol, kelanjutannya sorotan terhadap kaum perempuan terpinggirkan menjadi sumbangan hangat bagi perempuan timur, tetapi sesunggunya perempuan Timur telah membantu mentransformasikan usaha mereka untuk kembali menjajah dengan sistem.

Berdasarkan gambaran di atas, menjadi jelas apa yang dikatakan dengan Kelas sosial, etnis dan gender hanyalah buatan penguasa, akibatnya kelas, etnis dan gender bermutasi, berkembang biak tanpa kendali. Alhasil, munculah deviant dan ketimpangan sosial yang terlalu jauh, di antara penguasa dengan rakyat, laki-laki dengan perempuan, pekerja dengan tuan, Barat dengan Timur, dosen dengan mahasiswa.
Ini adalah sebuah usaha manaklukan dunia yang dilakukan oleh Hegemoni Barat, mempengaruhi penguasa setempat, memegang kendali media, menciptakan teknologi untuk menutupi segala kekurangan yang dimilikinya. Kemudian dengan menciptakan simbol dan kode kestabilan mampu mengecoh dan memperdaya kaum-kaum yang dibuat ketergantungan akan santunan dan belaian tangan kekuasaan, setelah menjadi buas mulia dirinya rela diperbudak oleh kekuasaan tersebut.
Namun, isu Feminisme lebih menarik, terjadinya eksodus besar-besaran emansipasi ke ranah yang tidak bertuan, tidak terkendali sehingga menciptakan lebih banyak ketimpangan sosial, ekonomi dan agama. Akibat dari itu, dominasi laki-laki terhadap perempuan semakin leluasa dan terang-terangan diperlihatkan, seolah-olah tidak ada aturan, hukum, seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa, menyalahkan tuhan atas ketimpangan yang dihembuskan Hegemoni Barat, bangsa yang kebarat-baratan hingga saudara yang di baratkan, dicuci otaknya untuk misi penjajan.
Jadi, postfeminisme menggambarkan ekploitasi besar-besaran terhadap perempuan, potskolonial menggambarkan ekploitasi besar-besaran kolonial dan hanya Marxislah yang baru mampu melawan Hegemoni tersebut secara terang-terangan, hal itu pun menuai kegagalan.

*Mahasiswa Pasca Linguistik Budaya Universitas Andalas

MEDIA MASA, PERPANJANGAN TANGAN KOLONIAL (PASCABANI ISRAIL)

Oleh M. Yunis
Ada sebuah stegmen yang menarik bahwa dunia filem lebih kejam dari segala dunia. Ungkapan seperti ini kerap penulis dengar di saat masih bekerja di Produktion House Rumah Gambar ciputat awal 2008 kemaren. Setiap kali pulang shuting penulis dan kawan-kawan bercerita dan bertukar pengalaman, seputar tentang dunia perfileman khususnya dunia media umumnya. Sikut-sikutan sepertinya sudah menjadi barang harian, menjatuhkan kawan baik apalagi lawan itu diperlukan untuk menunjang sebuah karir. Ya dunia media. Namun begitu, dunia media yang digambarkan Komunitas Rumah Gambar tidak hanya sebatas daun kelor ataupun daun talas, tetapi sebuah dunia yang luas dan sarat dengan pengkodean, kolonialisasi bahasa, dan menyertai di sana kepentingan media. Nah, mungkin kita akan berpikir apa yang patut dibicarakan dalam dunia media ini atau cukup diserahkan kajian orang akademis dengan cultural studies. Meskipun, Keith Tester (2003) mengatakan bahwa cultural studies adalah disiplin ilmu yang sangat bodoh, karena dia adalah anak haram (bastard child) media yang akan dieksppos oleh cultural stuidies. Sebab kajian budaya bukan hanya pada media, tetapi seyokyanya mempunyai posisi yang sangat terhormat dan mempunyai nilai intelektual yang sangat tinggi, sementara cultural studies baru lahir di Universitas Birmingham pada tahun 1960-1970. Oleh sebab keberhasilan sebuah penelitian Centre for Contemporary Cultural Studies kemudian bisa mengklem bahwa kajian budaya adalah miliknya.
Baru Tahun 1980 kajian cultural studies semakin menyempit, lebih terfokus pada ekplorasi terhadap kesenangan-kessenangan yang diberitakan media, pakaian, belanja, sehingga terjadinya kegeraman moral yang semakin lama semakin tidak bisa berbuat apa-apa. Cobalah perhatikan ketika iklan TV menampilan perempaun atau laki-laki yang menarik, apa yang timbul di dalam pikiran pembaca? Penulis sendiri mungkin mengatakan aduhai sambil menyuap nasi atau sedang membaca buku, nyata sebuah moral yang digambarkan media sangat terang-terangan dan kumuh, sebab hanya bersifat mengeksploitasi ksenangan dan birahi. Bahkan Rorty dalam Tester (2003) mengatakan bahwa televisi dan koran merupakan sarana utama bagi perkembangan dunia kontemporer, kemudian mengulas Baudrillar, bahwa media menciptakan audien yang pasif, sebuah strategi politik atau kepentingan media?
Terlepas dari perdebatan di atas, duto urang awak indak sato, kicuah urang awak indak ikuik, penulis mencoba untuk menelaah kode-kode yang dimunculkan oleh media. Kode-kode inilah yang akan demapatkan dan dilipat demi untuk kepentingan media sehingga bermuara pada Denotatum yang sama yang penulis namakan dengan kolonialisasi bahasa oleh media.

Tentang Postkolonial
Di awali dengan dengan teks proklamasi, ‘’hal-hal mengenai perpindahan, kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya’’, alhamdulilah sudah tertunaikan dengan baik. Tetapi, yang lebih sulit perpindahan dari jiwa dan mental terjajah kemental dan jiwa merdeka membutuhkan waktu yang relatif lama. Seperti yang dikemukana Leela Gandhi (2001) dampak penjajahan itu akan terasa bebrapa tahun atau mungkin puluhan tahun setelah kemerdekaan, dampak itu kian terasa setelah praktek itu dilaksanakan oleh bangsa dan saudara sendiri. Baik melalui sistem pendidikan, politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Kita bangsa indonesia yang berdaulat baik kedalam maupun keluar belum mampu menciptakan sitem sendiri, banyak hal yang selalu disadur dari dunia barat atau Eropah. Dari cara berpikir, life stile, acuan kemajuan hingga pendidikan sendiri semuanya bermuara pada denotaum yang sama yaitu Barat. Kolonialisme sudah jelas menginginkan segala hal yang berasal dari dirinya (Fanom dalam gandhi 2001:26). Fanon menegaskan kebebasan total dalam artian merdeka sebenarnya adalah kebebasan yang memperhatikan segala aspek kepribadian.
Jadi menurut Fanom, kebebasan itu adalah bebas berpikir, bertindak, dan melakukan segala hal selama tidak merugikan orang lain secara khusus dan kesatuan bangasa secara umum. Nah, kesatuan bangsa? Perlu dilihat lagi kesatuan bangasa seperti apa? Kita lihat konsep bangsa dan negara, awalnya merupakan kesatuan dari kelompok kecil lambat laun menjadi besar setelah mempunyai persamaan misi, visi dan satu cita-cita yaitu kemakmuran bersama dan saling mencerdaskan dan bukanlah saling membunuh? Jika semua itu tidak bisa direalisasikan lagi, apakah salah GAM memberontak atau PRRI pecah yang kemudian divonis menjadi pemberontak. Jawabnya sederhana saja adalah sebuah kewajaran karena menuntut sebuah keadilan yang memihak rakyat, sebab negara ini bukanlah milik penguasa, negara ini ada karena adanya rakyat jelata sebagai tumbal kemerdekaan meskipun di masa PRRI dianggap sebagai sampah kemerdekaan.
Alhasil dari itu, membekaslah luka-luka historis dari mereka yang dipaksa menjadi budak. Luka-luka ini lambat-laum menjalar dan mengakar dan melahirkan moral baru, proses itu akan berlangsung sangat rapi melalui sitem yang diakui dan bahkan dipuja atas nama intelektual dan sebuah keinginan menaklukan dunia dan merubahnya menjadi dunia yang dihayalkan, moral baru etika baru kiranya perlu dipergunakan untuk mencapai birahi kesempunaan tersebut. Nah, di saat para budak ini berkuasa, darah-darah baru akan disusupkan melalui sitem yang rapi, kepembuluh-pembuluh vena maupun arteri warga negara, itulah moral yang dinginkan dalam sebuah perubahan menyeluruh, namun masih dalam versi hayalan satu budak saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nietzsche dalam Ritzer (2003) geneologi moral yang digambarkannya sangat memilukan, moral awalnya jatuh dari langit, setelah sampai dibumi moral dibunuh, kemudian moral dilahirkan kermbali dalam wujud baru sesuai dengan kepentingan duniawi, Nietczhe kemudian divonis mati dalam keadaan gila dan seluruh keluarganya ikut menjadi tumbal kegilaan Nietcszhe. Jelaslah terlihat apa yang dikemukan Gandhi dalam Gandhi (2001:29) bahwa para budak mengingnkan sifat penjajah tetapi tidak mau disebut sebagai penjajah, menginginkan sifat hariamau tapi tidak mau disebut harimau, tetapi pahlawan atau penyelamat. Jalan satu-satunya untuk terus maju adalah membuat harimau itu tidak lagi menyenangkan, kapan perlu jangan sampai belangnya tertinggal dan tercecer.
Seiring dengan itu Gandhi dan Fanon dalam Gandhi telah mengingatkan akan bahaya Narasi Moderen Barat, bahwa Kolonial tidak akan berhenti sampai kemedekaan Si tejajah telah diperoleh secara De facto, Gandhi dan Fanon ingin menyatakan bahwa Barat akan kembali memasukan tokoh-tokoh dari para korbannya yang terepresi dan terpinggirkan, dalam artian menjadi objek kajian untuk mengambil hati Si terjajah. Untuk mensukseskan itu mereka menceritkan industrialisasi sebagai ekspoitasi terhadap ekonomi, demokrasi yang terpecah terhadap aksi protes dari pihak yang mempunyai hak pilih, teknologi yang selalu dikombinasikan dengan perang, sejarah pengobatan yang diidentikan dengan teknik penyiksaan. Semuanya itu bertujuan untuk menghasilan ekploitasi ekonomi baru terhadap para budak, menciptakan senjata yang lebih canggih untuk menghadapi perang, dan menciptakan teknik penyiksaan baru terhadap kaum akar rumput. Apakah ini suatu penodaan dan pendosaan terhadap Marx? yang pada kenyataannya marxisme itu disalahtafsirkan sehingga kaum intelektual menceburkan dirinya ke dalam konsep komunis, sebagai akibat dari pendewaan terhadap salah satu segi aspek saja tanpa memikirkan aspek utama yang dibahas di dalam marxisme, akhirnya Marx didosai atas pemikiran yang dimunculkannya (Berlin 2000). Memang itulah tujuan Karl Marx syang ebenarnya (Baca rahasia kecerdasan Yahudi).
Salah satu contoh yang jelas terlihat atas keberhasilan prinsip kolonial ini, seperti yang dikemukan Leela Gandhi adalah protesnya terhadap Rene Descartes. Gandhi juga menarangkan menjalarnya teknik kolonial ini berangkat dari kegagalan cogitonya Descartes, karena subjek yang berpikir tidak tahu batasan yang jelas tentang berpikir sehingga berakhir dengan kekerasan, debat kusir para sarjana karena ingin curhat pada kebenaran mutlak, semangat persaingan, kompetisi sehingga secara pelan akan menempa senjata-senjata akal. Alhasil, rusaklah rasionalitas kaum intelektual yang notabenenya pelanjut Aufklarung, ujung-ujungnya akan membawa kepada kepicikan hingga ke peperangan-peperangan. Lalu hukum akan menggantikan kesejahteraan dengan ‘’rule of low’’ dengan cara memasukan kekerasan ke dalam sistem dan berlanjut kedalam dominasi ke dominasi (pengaruh). Focoult mengatakan dalam dalam Poole (1993) dengan mengatas namakan geneologi kekuasaan, dimana kekuasaan tersebut berada dimana-mana, kapan saja, momen apa saja, mengitari diri setiap orang.
Jadi, Poskolonial sejalan dengan feminisme dan Hyperrealitas yang dikemukan Eco, Baudrillar dengan simulasinya, seperti yang diakatakan tiada salahnya kita menikmati hidup dalam dunia simulasi, menikmati hidup dalam hiperealitas, pelipatgandaan ada (being), kemudian Piliang dengan Hypersemoitika yang mengatakan bahwa tanda tidak ada lagi acuannya dalam realitas, semuanya berupa penanda. Maka inilah yang dikatakan Piliang (2006) bahwa manusia terjebak dalam bujuk rayu dan ketersesatan tanpa bertujuan, citraan adalah segala-galanya bagi manusia. Tanda menciptakan mitosnya sendiri dalam nostalgia dan mengambil alih makna secara atuh, hayalan-hayalan semu tetapi terlihat sangat nyata. Meskipun padahal awalnya simulasi dianggap Baudrillard sebagai strategi intelektual, namun perkembangannya membawa dampak menuju hiperrealitas sebagai akibat dari pengalaman kebendaan itu adalah hasil dari sebuah proses.
Postkolonial adalah pemberontakan cara pandang objektiftivitas terhadap ekpsloitasi yang berlebihan oleh subjektivitas, sebab di dalam prosesnya sendiri kolonial itu ditanamkan dengan nama baru, atas nama kemanusiaan, pencerahan, keamaanan dan juga atas nama ketentraman masyarakat yang pada intinya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menanamkan pengaruh, dominasi, namun sangat tersusun rapi, tersistim dan hal itu diakui secara tidak sadar maupun tidak.

1. Kuasa
Hanya berawal dari nafsu, nafsu benda, seks, dan jabatan. Mari kita coba mengkaji sedikit tentang nafsu. Abraham Ilyas (2003) menggolongan nafsu menjadi 2 bagian, pertama dinamakan dengan keinginan atau syahwat, syahwat ini dibagi menjadi 2 yaitu nafsu berbuat baik (mutmainah) kaum sufi menyebutnya dengan sifat ketuhanan dan Nafsu Asmara (supiah) yang membakar kebirahian remaja, mempercantik diri. Kedua dinamakan dengan ghodob (kemurkaan) yaitu amarah dan lawammah. Nafsu amarah sifatnya mempertahankan diri, berlindung, melawan, melarian diri, dan mempengaruhi orang lain. Jika berkembang sesuai dengan sepatutnya maka baiklah sebuah negara, sifatnya suka mencela dan keras kepala. Sedangkan lawammah yaitu nafsu untuk mengembangkan diri sifatnya rakus, tamak, ibarat seekor raksasa yang ingin melahap apa saja, jika nafsu ini terkordinir dengan baik maka akan mengusung kepada pembanguna material yang bagus.
Nah sekarang, kedua nafsu seperti yang dikemukan dokter gigi di atas dihadapakan kepada kapitalisme golbal yang nyatanya telah menyediakan ruang untuk perkembangan hasrat dan birahi. Sejalan dengan apa yang dikemukan oleh piliang (2003) semuanya berwujud simulasi, kekaburan batas antara polisi dengan kriminal, spiritual dengan antologi citraan, politik dengan ekonomi. Senyatanya telah terjadi penyatuan imanem dengan transendent. Apa yang dibanggakan oleh masyarakat moderen terhadap kemapanan, apa yang dipuja budaya pop atas nama kemajuan hanyalah berwujud utopia, utopia idiologis, utopia kemaslahatan dan utopia akhlak. Yang mapan adalah sebuah pembodohan, pembodohan-pembodohan inilah yang menggelayut di benak masayarakat komunal global.
Dunia nafsu yang digambarkan Abraham membaur dan saling tumpang tindih dalam merebut masing-masing kesempatan. Nafsu mutmainah menyatu dengan nafsu supiah di dalam kancah politis, di dalam kancah moralitas dan di dalam kancah budaya. Di saat burung garuda terbanng di atas nusantara, sungguh melihatkan kemakmuran, padi menguning, sayuran subur, petani salut acungkan jempol. Ketika petani bercengkrama dengan penjaga warung, kepentingan politis di elu-elukan, BBM turun, Bulog dikendalikan sementara masih ada saja orang yang kelaparan dan putus sekolah di usia yang sangat produktif. Di lapangan sosialisasi besar-besaran, memakai baju berlambangkan partai poliik mendapatkan upah Rp. 25.000. Namun, di sela kebodohannya masyarakat akar rumput mempergunakan momen yang sangat menantang itu, uang diambil tetapi pilihan tetap pada hati nurani rakyat atau hati nurani partai? Masyarakat telah lupa kedasyatan lumpur porong yang sampai sekarang semakin banyak memakan korban harta benda, masih tidur di tenda darurat, sementara lokasi lumpur sendiri sudah menjadi objek wisata, tercipta juga lapangan kerja baru di lingkungan porong, tetapi itukan hanya segelintir orang yang menikmati, lalu korban-korban moral yang ditimbulkan bencana buatan itu bertindak anarkis, merampok dan menjual harga diri, inilah sebuah moral yang diinginkan kekuasaan, berusaha membuat wacana bencana untuk mengaburkan isu penting di dalam perpolitikan nasional. Kemudian di antara kampanye dengan bencana situ gintung? Tiada pembatas, menari di atas yang menangis, pesta demokrasi di pundak luka moral bangsa.
Pasca tumbangnya orde baru sebagai simbol kestabilan nasional terjadilah eksodus manusia secara besar-besaran, pengusiran, pembantaian etnis, perang suku, ras hingga agama. Ini dikatakan piliang secara semiotik sebagai simbol keruntuhan persatuan dan kesatuan bangsa, dimana saudara sebangsa tidak menghargai lagi perbedaan pendapat, etnis, agama dan kebiasaan. Hilangnya ruang-ruang sosial, kesaling pengertian, dan saling memahami, hanya kerana si termarjinalkan kembali menuntut atas ruang soaialnya yang telah dikapling dan dibagi-bagi penguasa pada masa lalu. Suatu momen yang tepat bagi media untuk menyatakan bahwa telah terjadi tindakan anarkis karena kesalahpahaman di antara masyarakat, media mampu memanagemen wacana itu kedalam sebuah berita yang populer di bicarakan hingga munculnya isu baru yang menghilangkan isu lama, permasalahan isu lama seslesai seiring yang dinginkan alam. Para masyarakat dibodohi, intelektal dipermainakan, intelektual ontologi citraan dipertanyakan.
Luka-luka itu bertambah lama bertambah melebar dan merambah masyarakat tradisional ke pelosok-pelosok terpencil, masyarakat tradisional seakan mengetahui cara membunuh, maling dan memperkosa dengan baik setelah simulasi buser di wacanakan di dalam media, kronologi peristiwa mengajarkan dengan cara tersistem, apa saja yang dipersiapkan pelaku sebelum membunuh, rute yang ditempuh, dan prosesnya hingga korban meregang nyawa. Sebuah kronologis citraaan yang sangat mendidik khalayak untuk bertindak anarkis dalam mencapai sebuah keinginan. Ketika si miskin maling ayam, sepeda motor atau pencopet hukum rame-rame ditegakan, kapan perlu ada bekas tembakan di kaki si terdakwa supaya tertanda dan terbukti terdakwa berusaha kabur saat di grebek polisi. Namun, dibalik itu semua, terdapat komando pencopet yang ditenggarai oleh pihak yang berwajib, di anggap sebagai uang keamanan. Lalu bagaimana jika hukum berhadapan dengan pemegang kekuasaan? Korupsi, pelecehan seksual, hukum dibuat samar, sebuah trik untuk melepaskan diri penguasa dari segala macam tuduhan dan jeratan dosa.
Pada masa orde baru penjajahan atau halusnya perluasan pengaruh kekuasan ditanamkan melalui ekonomi, politik dan budaya. Seolah-olah terdapat slogan, ‘’kami dan engkau’’, kamu adalah pancasialis dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan oleh karena itu engkau perlu di tatar, dan disingkirkan lebih-lebih bagi nenek moyangnya terlibat. Masa itu dipertegas oleh media dengan memutar kebejatan PKI pada tahun 65, sementara kisah pilu PRRI di sumatra barat terlupakan. Di saat tentara pusat mengerayangi harga diri rakyat Minangkabau, itu dianggap sebagai penjaga persatuan dan kesatuan, pembelaan terhadap kesaktian pancasila, seekor burung garuda yang dipaku didinding sekarang sudah bisa terbang menyelusuri seluruh pelosok nusantara, menebarkan kekuasaannya di pelosok kepulauan Indonesia, alangkah lebih berbahaya lagi.
Tidak berhenti hanya sampai di situ, pengaruh-pengaruh itu kembali dilanjutkan, media sebagai perentara kekuasaan itu, puluhan partai politik telah saling merebut pengaruh dan perhatian dari orang yang termarjinalkan secara politis, ekonomi dan budaya. Maka dibuatlah sistem politik yang agak berbeda dari sebelumnya, sistem ekonomi yang lebih kapitalis dari yang kapitalis (postcapitalis) sangat tersistem tangan-tangan panjang itu melangkul masyarakat yang kebetulan sedang kedinginan, kehausan dan kelaparan terhadap loyalitas pemimpin. Layaknya persatuan dan kesatuan itu telah dipecah, dikapling-kapling berdasarkan kepentingan politis demi menabur benih dan menanamkan kekuasaan baru di indonesia baru. Ingat burung Garuda yang dipaku di dinding sudah tidak merasa puas makanya dia terbang melihat secara langsung dimana lahan strategis untuk dijadikan pusat dan titik kekuasaan.
Jelas terasa bahwa nafsu amarah yang dimiliki kaum tertindas akan berhadapan secara langsung dengan nafsu lawwammah yang dimiliki oleh kekuasaan, perang tanding, sebagai akibat dari pengkaplingan hak, teritorial, pemaksaan politis hingga pembunuhan berencana melalu sistem. Sejalan dengan apa yang dinyatakan Friedrich Nietczhe bahwa di saat para budak berkuasa revolusi massal akan dilakukan, bertindak atas nama keadilan, anarkis demi membela hak yang telah terampas, teriotorial yang direbut, sehingga kaum tertindas yang mengatasnamakan dirinya budak-budak yang berdaulat akan menuntut balas atas hak-haknya yang telah direbut oleh sejarah masa lalu, Skizofrenia historis dan sebuah utopia kemajuan. Kekerasan-kekerasan gaya baru tersebut sangat mempunyai peluang untuk menempati kekuasaan, sistem hukum, dengan puluhan partai politik dan sekaligus anarkis simpatisan hingga calon penguasa sendiri sudah mulai unjuk kekuatan untuk merebut simpati kaum tertindas.
Setelah berhasil memegang tampuk kekuasaan, cara menjajah akan lebih tersistematik, sebab kekuasaan akan mengambil dan belajar pada sejarahnya sendiri yang begitu anarkis serta memihak penguasa. Jika Focoult mengaitkan pengetahuan dengan kekuasan, Piliang mengaitkan pengetahaun, kekuaasaan dengan kematian, maka di saat yang akan datang penambahan yang dilakukan Piliang bisa berubah dengan kematian tersistem, dramatisir, dikolosalkan agar lebih indah. Melalui kepintaran media massa mengkolonialisasikan bahasa, kode-kode sosial mampu menciptakan strategi baru, mitos baru untuk mencapai kemakmuran yang diinginkan kekuasaan, sentralistik penguasa. Melalui ekploitasi language dan parol kekuasaan akan akan kekal di atas pundak-pundak deritanya kaum marginal, kekuasaan akan bertengger santai setelah tampuk jaringan dipegang oleh hanya satu orang, godfather.
Namun, publik yang pada mulanya dianggap bisa dibodohi terpakasa pintar, kuda memperkuda siapa, Si bodoh yanag akan membodohi siapa, seeprti yang diungkapakan pepatah minang, ‘’iyokan nan di urang lalukan nan di awak’’. Kalau boleh meminjam istilah Giddens tumbal modernitas yang dinamakannya itu akan akan bertindak kanibal melebihi Sumanto Si pemakan mayat, kali ini hingga abu tulang belulang akan menjadi incaran para budak-budak marginal. Contoh nyatanya dapat kita lihat dari tragedi ponari mampu mengungkap semua kejelekan kekuasaan, biaya berobat yang begitu mahal, birokrasi yang berbelit-belit di rumah sakit pemerintah, yang miskin cenderung terlalaikan sehingga Si miskin terpaksa meregang nyawa karena tidak mendapat kesempatan untuk hidup lebih lama. Masyarakat kecil putus asa, mempergunakan tetumbuhan yang tumbuh di daerah kotoran, barang-barang yang diharamkan agama, tetapi untuk obat hal itu dimaafkan, yang penting sugesti untuk tetap hidup. Ponari bukanlah fenomena langka dan baru, kebiasaan seperti ini sudah terjadi sejak puluhan tahun di daerah Minangkabau, jika anggota masyarakat tasapo, tataguaran, obat yang dianggap mujarab adalah cikumpai, cikarau, sidingin, sitawa, sapitan tunggua, pudiang hitam hingga air kencing mampu menyembuhkan. Hal ini diyakini mampu menawarkan maka tumbuhan itu dinamakan si tawa, kemampuan menyelesaikan masalah dengan jin dinamakan dengan ci karau berasal dari perkara, cikarau sengaja membuat buat perkara, si dingin dan si tawa mampu mendinginkan dan menenangkan Si pesakit. Anehnya masyarakat tradisional di jika berhadapan dengan penyakit kuno masyarakat Minangkabau tidak mempercayai obat yang diberikan dokter. Aapakah ini lambang keputus asaan dari masayarakat marjinal? Bagaimana jikalau penyakit itu timbul karena tubuh manusia dirasuki jin? Mampukah dokter menyembuhkannya? lalu apa masalahnya dengan Ponari yang hanya sebagai pelanjut dari keputus asaan tersebut, toh penyakit bisa saja sembuh karena adanya sugesti dari si penderita.

2. Politik Yahudi
Sewaktu Bani Israil di usir dari oleh Roma, ketika Ynuani mengkebiri dan membantai Bani Israil, dan di saat Mesir di bawah Amnehotib ke-IX memperbudak Kaum Yaqub ini terbitlah dendam kesumat bagi kaum Yahudi yang nota benenya adalah Bani Israil. Yahudi marah sehingga menghancurkan harapan Musa yang membawa taurat, dijadikannyalah Taurat sebagai Talmut, yang mana pokok ajarannya adalah mengganggap Bangsa Yahudi lebih unggul dari bangsa lain, agama Yahudilah yang lebih sempurna, Bangsa Yahudi bangsa pilihan Tuhan. Adalah wajar Yahudi bersikap seperti itu, sebab bagaimanapun juga syirah para Nabi menyatakan bawha Ibrahim, Musa, Yusuf, Yaqub, Sulaiman adalah manusia pilihan dai kaum Yahdui.
Nah, perasaan tidak senang muncul ketika kaum yahudi dideskreditkan, di bantai oelah nazi dan pengusa setempat lainnya. Di seluruh penjuru Yahudi menjadi bulan-bulanan dan tidak punya tempat tinggal. Talmut mengajarkan bangsa Yahudi memperbolehkan melakukan segala cara demi tegaknya kembali Kuil Salomon. Di segala penjuru Dunia Yahudi ada sebagai pengendali, mereka minoritas tetap mampu memanfaatkan penguasa setempat, Amerika, Inggris, Parncis, Spanyol, Indonesia dan seluruh Negara di bumi ini mulai merasakan kuatnya pengaruh Yahudi. Indonesi yang terikat uatag luar negri yang diwadahi IMF adalah bikinan Yahudi, uang diperbungakan untuk selalin bangsa Yahudi, di ciptakan Sosialis, Komunis, Demokrasi, Pluralisme, Marxisme dan segala macam ideolog yang mengatasnamakan Humaniora. Fremansory sebuah organisasi Nirbala yang mengatas namakan kemanusia adalah buatan Yahudi, sempat pula bergabung Jala Ldin Al-Aggani sebagai anggota.
Diamerika serikat segala lini dipegang oleh Yahudi, Ekonomi, Sosial, Budaya, Politik, Agama, hingga Media dikendalikan oleh Yahudi. Ajaran Marxisme buatan Karl Marsx adalah yahudi karena Marsx sendiri adalah Yahudi, Enstein yang kabur dari Jerman di saat pembantaian orang Yahudi oleh Hitler kabur ke Eropa dan menciptakan penemuan baru.
Nah, apakah Yahudi sudah sampai di Indonesia? Jawabnya ialah sudah lama, mereka juga menanamkan pengaruhnya di dunia akademis, Politik (multy Partai), Sosial agama (kawin beda agama), homo seksual, perkosaan anak di bawah umur adalah ide dari yahudi. Sebab yahudi sengaja merusak keturunan umat agama lain dengan jalan zinah, anak zinah adalah sebuah makna kerusakan generasi agar Yahudi lebih gampang memanfaatkan hasil karyanya tersebut. Sementara di kalangan mereka sendiri tidak melakukan ide ciptaannya tersbut, sesama orang yahudi tidak boleh berzinah, orang yahudi dilarang nikah dengan oaring beragama selain Yahudi, orang yahudi tidak boleh memkan riba karena mereka tahu dampaknya sangat buruk bagi saudara-saudaranya.
Ketika oreantalisme muncul, timur dianggap terbelakang, kanibal, Baratlah yang nomor satu. Bangsa timur adalah keturunan Syetan, sama dengan orang Nasrani sama-sama dari Syetan. Setelah Barat memiliki pengaruh besar notabenenya adalah Yahudy. Hagemoni yang digambarkan sebagai strategi sosialis (Laclau,2008) dimapatkan dan diselipkan ke segala lini, media sebagai salah satu sarana terbesar di Indonesia menyalurkan pengaruh dan ide Yahudi, pergaulan bebas, KKN, dan kebejatan moral lainnnya sangat jelas digambarkan media massa. Namun, masyarakat komunal memandang hal tersebut sebagai Multicultural, padahal multicultural dapat melahirkan orang cerdar sekaligus mmerusak moral bangsa dan masayakar consumer, budaya popular, modernisai hingga postmodernisme itu sniei adalah trik dari Yahudi itu sendiri agar gerak geriknya susah dicium, seadainya tercium nasib Yahudi akan lebih naas lagi, pembersihan etnis Yahudi di seluruh Negaa.
Lalu apa yang dinginkan Kolonial? Siapakah colonial? Berkaitan dengan apa yang diwacanakan diatas bahwa kolnial adalah sebuah gerakan penjajahan, kolonial tidak hanya Belanda atupun Inggris. Kolonial adalah sebuah usaha untuk menguasai hingga keakar-akarnya, kapan perlu tiada meninggalakn bekas. Kolonial adalah sebuah sifat dan gerakan sosialis, komunis, idiologis, yang sengaja diciptakan oleh kaum bani israil (Yahudi) yang notabe4nenya dejelaskan tidak pernah mempunyai tempat tinggal yang tetap tetapi mampu menghasilkan pengaruh besar. Kolonial memegang pucuk pimpinan Amerika Serikat, Inggris, dan semua nagera kuat yang ada di belahan dunia. Dia masuk memalui sistem pendidikan, ekonomi, budaya, agama dan sosial masyarakat. Kehadirannnya terasa tetapi tidak terlihat, dia bergerak lambat tapi pasti, ketika gelagatnya merugikan kekuasaan setempat maka terjadilah pembantaian besar-besaran terhadapnya, seperti yang dilakukan Roma, Yunani, Mesir dismasa kepemimpinan Amnehotib (Ramses) hingga menjadi kelinci percobaan oleh Nazi.
Kemudian Inggris membuka eksodus bebsar-besaran terhadapnya saat menjajah palestina, pintu itu dibuka lebar bagi Inggris untuk kaum Yahudi untuk membentuk Negara Zionis yang selama ini teranaiaya dan terpinggirkan, mereka sangat yakin bahwa mereka adalah bangsa pilihan tuhan tetapi kenapa mereka tidak mempunyai tempat tinggal sehingga pembantaian terhadap etnisnya sering terjadi. Ibrahim, Musa, Yuyuf, Yaqub, Sulaiman adalah dari keturunanya tetapi kenapa Muhammad tidak dari keturunnanya? Kuil Salomon dihancurkan Roma dan islam mendirikan Masjidil Aqsa di atas reruntuhnya, para rabi membawa kekayaan kuil Salomon ke Vatikan Roma. Sekarang mereka menuntut minta kekayaan itu minta dikembalikan dan hancurkan Vatikan demi menyambut Al Meisiah sebagai juru selamat dunia, dia akan bersinga sana di Kuil Salomon yang direncanakan didirikan kembali. Islam sebagai musuh berbuyutan dan sekaligus pelindung bagi bani Israil semasa di usir dan dibantai tidak luput dari rencana jahat kolonial itu.
Kita mungkin masih ingat ambruknya gedung WTC, itu adalah ulah Yahudi dan bukan Osama Bin Laden sendiri, namun yang didosai adalah Oasama dengan kawan-kawannya. Bagi osama Bin Laden tidak masalah karena beliau adalah bangsa Yahudi. Tetapi label dan kode teroris Internasional di hadiahakn kepada Islam, Osama Bin Laden tidak akan bisa mati ataupun tertangkap jika tidak ditangkap atau dibunuh oleh Yahudi sendiri. Lagi pula HAMAS sebagai pembela hak Palestina dikatakan penjahat atau teroris, Amrozi CS dihukum mati, memang itulah yang diinginkan Yahudi supaya jejaknya tidak tercium oleh pengusa setempat, Amrozi CS adalah didikan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Tidaklah terlalu muluk-muluk untnk menyimpulkan wacana yang panjang lebar diatas. Media sebagai sarana yang langsung bersentuhan dengan masyarakat menjadi kunci utama dalam melakukan sebuah misi penjajahan, perampasan, pendustaan, penganiayaan, ekploitasi moral dan agama hingga pembantaian. Kalaupun sekarang ada Cultural Studies yang mengakji kesenangan yang digambarakn media, itu hanyalah cara baru bagi yahudi untuk merusak budaya bangsa, dikataknya media adalah kajian Cultural Studies, apakah budaya itu identik dengan media? Budaya pop? Tidak sama sekali, kebudayaan melibatkan semua unsur, dari yang terkecil hingga paling besar.
Nah, kolonial itu siapa? Jawabnya bani israil (Yahudi) yang selalu ingkar akan kebaikan tuhan, kebenaran Islam, makanya Yahudi dihukum hingga hari kiamat. Apakah yang ingin dicapai oleh media masa? Jawabnya adalah kerusakan dan kehancuran yang menyeluruh dan pendirian kembali Kuil Salomon diatas puing-puing Masjidil AQsa. Bagi kaum Nasrani (Kristen) jangan senang dulu, sebab target yang bersamaaan adalah menghancurkan Vatikan Roma dan mengembalikan harta karun Kuil Salomon, di daearah Zions.
Kolonial adalah sifat, Yahudi sebuah bangsa Kolonial berbahaya bagi setiap orang yang berada di luar etnis itu, makanya perlu dihancurkan dan dibinasakan, target selanjutnya sudah terrealisasikan melalui IMF, berat kemungkinan tujuan selanjutnya menanamkan pengaruh terhadap suku bangsa terbesar di Indonesia yaitu Minangkabau! Yahudi menghalakan segala cara demi tegaknya Kuil Salomon dan menjadikan bangsa dan agama lain sebagasi budak, ini adalah sebuah pembalasan orang yahudy terhadap deritanya selama dibawah pemerintahan Amnehotib (Fir’aun).

*Mahasiswa Pasca Linguistik Budaya Universitas Andalas

MAKNA SEBAGAI TANDA

Oleh M. Yunis

Di saat kita berbicara makna dan tanda, kita akan terbayang pada konsepnya Pierce, Barthes, Umberto Eko ataupun Piliang yang memunculkan konsep tanda dan makna itu sendiri. Makna berpotensi menjadi segala-galanya, makna berpotensi sebagai titik penentu dalam duania realitas. Dengan adanya makna sebagai tanda, hidup akan lebih bermakna ataupun sebaliknya, artinya dengan memperhatikan tanda kita akan mengetahui makna hidup itu sendiri dan makna sebagai pengendali keberlangsungan hidup manusia di alam jagad raya.
Bagaimana tidak, tuhan dapat di anggap sebagai tanda dan tuhan juga berpotensi sebagai makna bagi kehidupan manusia. Karena adanya tuhan manusia takut bersalah, berdoasa dan karena tuhan pula manusia mau berbuat dosa dan mengingkari fitrahnya sebagai manusia dan menggantikan posisi tuhan sebagai makna itu sendiri. Untuk itu kita harus tahu dulu apa itu tanda dan makna.

Tanda
Dalam melihat tanda Pierce berpijak pada konsep awalnya tentang tanda, dia menyebutnya dengan Semiotika. Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya, fungsinya, hubungannnya dengan tanda lain, pengirimnya dan penerimanya oleh mereka yang menggunakannya (Pierce dalam Zoest, 1992: 1-5). Tanda terbagi menjadi 2 bagian, penanda yaitu citra bunyi, sedangkan petanda yaitu gagasan atau konsep (Untung dan Cristomy, 2004:20). Sementara itu versi Tonil, semiotika adalah ilmu tentang tanda yang mempelajari fenomena budaya, termasuk sastra sebagai sistem tanda (berhala semiotika, 2000:1). Namun yang pastinya, Ferdinand De Saussure sebagai juga salah seorang semiotikus ini, meskupun tidak penah berpretasi menjadi Semiotisian, karena pusat minatnya ialah bahasa, tetapi dialah yang pertama kali mencetuskan gagasan untuk melihat bahasa sebagai sistem tanda. Namun begitu, tanda lebih populer di masanya Charles Sanders Pierce, dia melihat tanda dari tiga hubungan (Relation) yaitu hubungan tanda dengan sifat Ground, hubungan tanda dengan Denotatum dan hubungan tanda dengan Interpretant.
Sepertinya Pierce adalah seorang manusia yang ganjil, serba tiga, begitu pula kategorei tanda yang dia kemukan serba tiga. Hubungan tanda dengan sifat terdapat tiga kelompok; Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda beradasarkan suatu sifat. Contohnya, sifat merah merupakan Qualisign, karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Agar merah benar-benar berfungsi sebagai suatu tanda, maka merah harus diberi bentuk. Maka, merah digunakan sebagai tanda. Contohnya, bagi sosialis pada bendera merah dan untuk menyatakan cinta dengan memberi mawar merah ke pada seseorang. Jadi, merah sudah diberi bentuk seperti pada bendera sosialis dan pada mawar. Berarti Qualisigns yang murni menurut Pierce tidak ada dan Qualisigns sebagai tanda dasar harus tertanam pada bentuk yang lain supaya berfungsi sebagai tanda, ini hanya berlaku pada Qualisigns saja.
Sinsign adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilannya pada kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dan tanda yang yang kita kenal tidak didasari oleh suatu kode disebut Sinsign. Contohnya, sebuah jeritan berarti tanda kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Kita juga dapat mengenal orang dari cara batuknya, dehemnya, langkah kakinya, tertawanya, nada dasar dan suaranya.
Legisign adalah tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Contohnya, tanda-tanda lalu-lintas, mengangguk berarti tanda ’’ya’’, mengarutkan alis, berjabat tangan dan lain-lain (Zoest, 1993:18-22).
Hubungan tanda dengan Denotatum, juga ada tiga kelompok; hubungan yang didasari oleh kemiripan disebut Ikon (Zoest, 1993:22-27). Contohnya, foto seseorang merupakan Ikon dari orang tersebut; hubungan yang didasari oleh adanya hubungan sebab akibat disebut dengan indeks. Contohnya, adanya asap berarti telah terjadi sebuah kebakaran, karena asap akan didahului oleh api; hubungan yang terbentuk beradasarkan kesepakatan, konvensi dan aturan yang berlaku umum disebut dengan Simbol. Contohnya, asap bagi orang Indian berarti simbol perang dengan Belanda, bukan menandai adanya kebakaran.
Hubungan tanda dengan Interpretant, juga terdapat tiga kelompok; Rheme adalah tanda yang dapat diintrepretasikan dengan dua kemungkinan Denotatum. Contohnya, perkataan ‘’kursi ’’ merupakan sebuah bahasa, tapi tanpa konteks, kata ini hanya mempunyai kemungkinan denotata. Apabila kata kursi diberi konteks, maka kursi dapat menciptakan kemungkinan-kemungkinan Interpretant (Dalam Zoest, 1993: 27-30). Bisa saja acuannya kursi pejabat, DPR, MPR dan sebagainya. Desicign adalah tanda apabila tanda menawarkan hubungan yang benar-benar ada di antara tanda Denotatum. Ini, termasuk tanda yang informatif. Hal ini, dapat dibuktikan kebenarannya. Contohnya, Preseiden SBY datang ke UI, ini dapat dibuktikan kebenenarannya, apakah benar Presiden datang ke UI pada waktu tersebut?. Artinya, tanda ini didukung oleh faktor eksternal. Argument adalah suatu proses berfikir yang membuat orang memproduksi kepercayaan terhadap sesuatu, untuk itu diperlukan proses lain untuk mendukung Argument ini. Artinya, kebenarannya didukung oleh faktor internalnya sendiri. Contohnya, semua mahluk pasti mati, Malaikat ialah mahluk, Malaikat pasti mati.
Kemudian terdapat ahli semiotik lain yaitu Barthes. Pendekatan dalam semiotik Barthes, melihat teks sebagai tanda yang memiliki segi ekspresi dan isi. Oleh karena itu teks ia lihat sebagai: (1)suatu maujud yang mengandung unsur-unsur kebahasaan, (2) suatu maujud yang untuk memahaminya harus tertumpu pada kaidah-kaidah yang terdapat dalam bahasa teks itu, (3) sebagai suatu bagian dari kebudayaan. Sebenarnya semiotik ala Barthes dengan Pierce mempunyai kesamaan konsep, hanya saja pada teori Barthes lebih bersifat tertutub sedangkan pada teori Pierce lebih terbuka, karena proses semiosis menurutnya tidak terbatas.

Makna
Untuk mengetahui apa itu makna kita akan menoleh pada duani realita tempat makan itu direalisasukan, kita mengenal gulat atau pertandingan gulat? Di sana terjadi perkelahian antara dua orang yang berbeda dan ditengahi oleh wasit. Dari kenyataannya gulat dalah tontonan ditempat terbuka, yang mana para khalayak cekikikan saat melihat adegan yang disenangi. Sejalan dengan itu gulat menggambarkan penderitaan, kesedihan dan keadilan. Sehingga muncullah pandangan bahwa gulat adalah susatu olah raga yang hina, sarat dengan kekerasan fisik, terkadang itu pula penonton sering terpancing emosinya karena pegulat andalannya menderita kekalahan. Dalam mitosnya Roland Barthes gulat dianggap perkelahian antara yang baik dengan yang buruk (Barthes, 2003: 15). Namun kedua pegulat kenyataannya di dalam gulat itu sendiri menggambarkan ketiadaan etika, kesopanan dan ketidak disiplinan. Hal ini jelas terlihat saat lawan main ingin bersalaman, tapi ternyata lawan langsung berakasi dengan mempelintir tangan, dan wasit yang ingin melerai juga jadi sasaran. Anehnya adegan kekerasan tersebut mampu membuat senang dan para penonton berteriak-teriak kegirangan.
Nah, di dalam gulat tersebut sebenarnya telah terjadi permainan tanda yang hiperbola, apa yang disebut Piliang (2003) dengan tanda artifisial, yang mana di sini tanda di olah dan dibesar-besarkan sedemikian rupa hingga menampilkan suasana yang wah dan di saat penonton menyaksikan itu penonton merasa senang dan bahagia.
Jika kita lihat apakah sesunggunya makna gulat? Perhatiakanlah di saat pertandingan gulat usai para penonton dengan santai, melengok ataupun berbimbingan tangan dengan kekasih atau istri menuju keluar dan pulang ketempat masing-masing. Di sini dapat kita lihat bahwa kekerasan dan ketidak berdayaan sekaligus keadilan yang tergambar dalam gulat tidak menjadi pengaruh apa-apa bagi penonton selain kesenangan sesaat atas penderitan orang lain atau hanya hiburan sementara. Dapat disimpulkan bahwa gulat hanya bersifat huburan bagi masayarakat moderen yang mungkin melepaskan penat dan letih di saat bekerja, tapi dibalik itu makna yang muncul dengan hadirnya olah raga gulat adalah ketiadaan dan penepian spiritual, menepikan gereja.
Sejalan dengan itu kita lirik pula pertunjukan randai di Indonesia, di sana juga menampilkan kesedihan, penderitaan, peperangan dan segala macam konflik sehingga secara tidak sadar penonton pun terbawa arus kesedihan, seakan-akan persitiwa itu nyata adanya. Betul dalam pertunjukan randai sering mengangkatkan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di alam lingkungan Minangkabau, tetapi tidak terjadi di saat itu. Di randai itu pula terdapat pesan-pesan bagi penonton tentang akibat dari perbutan baik dan buruk. Sebagain orang dapat menjadikan pertunjukan randai sebagai sarana didikan, penyampai pesan pada pemuda, pemudi maupun masyarakat. Nah, di sini juga dapat kita lihat bahwa pertunjukan randai sebenaranya hanyalah hiburan saja, lihat saja seketika randai usai baik penonton maupun pemain pulang dengan tanpa beban, tanpa rasa bersalah.
Di sini, pertunjukan randai bermakna sebagai pelestarian budaya daerah, dan nilai-nilai seni tradisi yang pernah dimiliki oleh orang Minangkabau. Namun seyogyanya di sana terdapat kerinduan masyarakat akan kenangan dan kejayaan Minangkabau masa lalu, tentang harta pusaka, mamak, dan kemenakan, dan ternyata randai juga mampu menepikan sholat lima waktu seperti yang terjadi di dalam gulat di atas.
Kita perhatikan pula dunia sekarang, yang mana mesisn-mesin menguasai manusia sebagai penciptanya, ketika ruang dikalahkan oleh waktu, ketika tindakan telah dipadatkan, dan di saat makna kehilangan perannya di dalam realitas, maka saat itulah terciptanya tuhan-tuhan baru. Di awali dengan perlombaan mengejar nafsu; nafsu ekonomi, nafsu politik, nafsu meteri, benda-benda, hingga nafsu sexs. Alhasil, sebagian nilai-nilai mulai kehilangan makna di dalam realitas, karena realitas kini diciptakan telah melampoi batas-batas alamiahnya sebagai realitas, para ahli menyebutnya dengan hyperealitas.
Begitulah di saat manusia dikuasai oleh nafsu, semua serba simpel dan instans. Tampaknya, siapa saja yang mampu memepermainkan tanda, dengan mengangggap penanda (subjek) sebagai pengauasa yang mengeksploitasi petanda (objek) dialah yang akan maju, sementara bagi siapa yang cenderung diam akan tergilas dalam percaturan global. Semua informasi berskala dunia dapat diakses lewat media internet. Berita skandal sexs madona, skandal artis ngetop, free sexs, cybersexs, violence dapat diakses dengan sekejap, seakan-akan dunia ini tanpa pembatas. Namun, semuanya itu adalah kenisbian, tanpa tujuan, tanpa akhir yang nyata, semua berada pada titik kesemuan belaka. Sementara manusia itu sendiri sebagai pencipta mesin telah dikuasai oleh ciptaannya, punya ilmu pengetahuan yang tinggi tetapi diperbudak oleh ilmunya, ahli filsafat nyatanya menjadi budak filsafat, ahli kebudayaan tetapi dipenjara oleh kebudayaan itu sendiri.
Sehingga akhirnya manusia kembali pada masa primitif yang tanpa kebudayaan. Padahal kebudayaan yang telah diwariskan oleh leluhur sangatlah agung dan serat dengan nilai-nilai moral, hal ini berguna sebagai tuntunan dalam hidup. Masyarakat dulu contohnya, mengenal kekeluargaan, kegotongroyongan demi kemajuan bersama.
Akibat dari itu muncul keinginan untuk kembali menciptakan sistem nilai, norma-norma namun di dalamnya mungkin sudah ditunggangi oleh kepentingan akan materi dan kekuasaan saja. Kalau tidak menguntungkan, nilai dan norma-norma itu tidak akan bertahan lama. Tanah pusaka yang dijual penghulu, gelar adat diperjual belikan, arsip-arsip lama yang digadaikan ke luar negri, hingga spiritual jadi barang dagangan.
Siapa yang tidak tahu ESQ power? Ini adalah bentuk nyata dari virus Cyber ciptaan manusia, kian hari kian merusak jaringan-jaringan spiritual itu sendiri. Mungkin virus ini yang mengambil alih dakwah dan berkata, ‘’wahai manusia bertobatlah, dekatkan diri kepada penciptamu, tapi dengan bayaran tentunya!’’. Begitu berharganya spiritualitas.
Sekarang, sudah jarang terdegar para penyair yang berkata pada ilalang, bercengkrama dengan rumput yang bergoyang, bercerloteh dengan burung camar, sebab penyair sudah kehilangan makna ilalang, kehilangan makna rumput yang bergoyang, dan juga kehilangan merdunya siulan burung camar. Tiada lagi kesunyian, menyepi dalam mencari inspirasi. Kalau dulu kesunyian dapat menimbulkan iamjinasi, dapat bertemu tuhan dan berdialog dengan tuhan melalui zikir sehingga tubuh ini mengawang.
Namun sekarang tiada lagi ruang sunyi, ruang penyepi untuk beristitarahat sejenak dari kepenatan dunia, sebab dimanapun kita berada, dunia sunyi mana yang dipilih tetap saja dkejar oleh kecanggihan teknologi. Menyendiri di dalam rungan tidak bisa karena ruang telah ditaklukan oleh waktu, setiap sudut ruangan telah diakses internet, menyendiri dalam gua tetap tidak bisa karena telah ditaklukan oleh Henpon, mau mematikan henpon tetapi takut ketinggalan informasi sebab resikonya adalah digilas dan ditinggalakan oleh globalisasi.
Andai saja hiburan hanya sebatas pelepas dari lelah bekerja realitas akan sedikit lain. Tetapi kebudayaan Hyper melewati batas tersebut, membaca sambil memegang remot control, berbicara sambil di WC, mengetik sambil dengar musik, semuanya serba cepat hingga tiada tersisi satu nafaspun untuk istirahat, sekali lagi sebab konsekwensinya adalah digilas oleh globalisasi.
Akibat dari itu Virus mengambil alih propesi pendakwah dan menyadarkan manusia dari kehilangan tujuan. Virus spiritual seperti yang telah dijelaskan di atas. Kemudian virus HIV/AIDS sebagai pendakwah pecandu free sexs, virus UU pornografi dan porno aksi bagi orang yang suka mempertontonkan keindahan tubuh di tempat umum. Namun begitu, setelah timbulnya virus pendakwah tersebut tetap saja manusia Hyper tidak sadar, muncul UU pornografi dan porno akasi tetapi lokalisasi dilegalkan, muncul Virus HIV/AIDS tetapi kondom selalu diproduksi sebagai alat pengaman, muncul juga Virus ESQ tetapi setelah membaur kembali kedalam dunia realitas pribadi-pribadi kembali kedalam dunia mimpi.
Memang sudah digagas oleh Yasraf Amir (2004:120) bahwa untuk mengembalikan manusia kontenporer pada dunia kedalaman spiritual, kehalusan hati, dan ketajaman hati ditengah-tengah bujuk rayu, dan kepalsuan masyarakat konsumer, maka sebuah ruang bagi pengasahan spiritual harus dibangun kembali dari puing-puing reruntuhannya. Yasraf mencemaskan jika itu tidak dilakukan maka masyarakat global akan hanyut dalam belantara bujuk rayu, keterpesonaan, dan ketergiuran tanpa akhir dan tenggelamlah ke dalam lembah ekstasi yang ektrims.
Nah, jika kita renungkan lebih mendalam sesungguhnya telah terjadi pemutusan hubungan dengan tuhan, berganti tuhan kepada dunia citraan, elektronik, dan segala macamnya. Tidak salah Nizche menyebut kematian tuhan, kematian spiritualitas, karma tidak berlaku, hukum alam mampu duitaklukan oleh manusia dengan hukum buatn sendiri. Di sini sudah jelas munculnya tanda-tanda kejahiliyahan, Animisme, Dinamisme dan tanpa sadar dinikmati oleh masyarakat sekarang tanpa sadar. Maka dari itu tidak tertutup kemungkinan manusia menjadi tuhan bagi manusia lain.


*Mahasiswa Pasca Linguistik Budaya Universitas Andalas

SEMIOTIK VS HIPERSEMIOTIK

Oleh M. Yunis*

Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya, fungsinya, hubungannnya dengan tanda lain, pengirimnya dan penerimanya oleh mereka yang menggunakannya (Pierce dalam Zoest, 1992: 1-5). Tanda terbagi menjadi 2 bagian, penanda yaitu citra bunyi, sedangkan petanda yaitu gagasan tau konsep (Untung dan Cristomy, 2004:20). Sementar versi Tonil, Semiotka adalah ilmu tentang tanda yang mempelajari fenomena budaya, termasuk sastra sebagai sistem tanda (berhala semiotika, 2000:1). Namun yang pastinya, Ferdinand De Saussure ialah salah seorang dari semiotik ini. Tetapi, Saussure tidak penah berpretasi menjadi Semiotisian, karena pusat minatnya ialah bahasa. Tapi dialah yang pertama kali mencetuskan gagasan untuk melihat bahasa sebagai sistem tanda. Selain Saussure, Charles Sanders Pierce juga salah seorang Semiotikus yang juga membahas tentang tanda. Pierce melihat tanda dari tiga hubungan (Relation) yaitu hubungan tanda dengan sifat Ground, hubungan tanda dengan Denotatum dan hubungan tanda dengan Interpretant.
Sepertinya Pierce adalah seorang manusia yang ganjil, serba tiga, begitu pula kategorei tanda yang dia kemukan serba tiga. Hubungan tanda dengan sifat terdapat tiga kelompok; Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda beradasarkan suatu sifat. Contohnya, sifat merah merupakan Qualisign, karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Agar merah benar-benar berfungsi sebagai suatu tanda, maka merah harus diberi bentuk. Maka, merah digunakan sebagai tanda. Contohnya, bagi sosialis pada bendera merah dan untuk menyatakan cinta dengan memberi mawar merah ke pada seseorang. Jadi, merah sudah diberi bentuk seperti pada bendera sosialis dan pada mawar. Berarti Qualisigns yang murni menurut Pierce tidak ada dan Qualisigns sebagai tanda dasar harus tertanam pada bentuk yang lain supaya berfungsi sebagai tanda, ini hanya berlaku pada Qualisigns saja.
Sinsign adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilannya pada kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dan tanda yang yang kita kenal tidak didasari oleh suatu kode disebut Sinsign. Contohnya, sebuah jeritan berarti tanda kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Kita juga dapat mengenal orang dari cara batuknya, dehemnya, langkah kakinya, tertawanya, nada dasar dan suaranya.
Legisign adalah tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Contohnya, tanda-tanda lalu-lintas, mengangguk berarti tanda ’’ya’’, mengarutkan alis, berjabat tangan dan lain-lain (Zoest, 1993:18-22).
Hubungan tanda dengan Denotatum, juga ada tiga kelompok; hubungan yang didasari oleh kemiripan disebut Ikon (Zoest, 1993:22-27). Contohnya, foto seseorang merupakan Ikon dari orang tersebut; hubungan yang didasari oleh adanya hubungan sebab akibat disebut dengan indeks. Contohnya, adanya asap berarti telah terjadi sebuah kebakaran, karena asap akan didahului oleh api; hubungan yang terbentuk beradasarkan kesepakatan, konvensi dan aturan yang berlaku umum disebut dengan Simbol. Contohnya, asap bagi orang Indian berarti simbol perang dengan Belanda, bukan menandai adanya kebakaran.
Hubungan tanda dengan Interpretant, juga terdapat tiga kelompok; Rheme adalah tanda yang dapat diintrepretasikan dengan dua kemungkinan Denotatum. Contohnya, perkataan ‘’kursi ’’ merupakan sebuah bahasa, tapi tanpa konteks, kata ini hanya mempunyai kemungkinan denotata. Apabila kata kursi diberi konteks, maka kursi dapat menciptakan kemungkinan-kemungkinan Interpretant (Dalam Zoest, 1993: 27-30). Bisa saja acuannya kursi pejabat, DPR, MPR dan sebagainya. Desicign adalah tanda apabila tanda menawarkan hubungan yang benar-benar ada di antara tanda Denotatum. Ini, termasuk tanda yang informatif. Hal ini, dapat dibuktikan kebenarannya. Contohnya, Preseiden SBY datang ke UI, ini dapat dibuktikan kebenenarannya, apakah benar Presiden datang ke UI pada waktu tersebut?. Artinya, tanda ini didukung oleh faktor eksternal. Argument adalah suatu proses berfikir yang membuat orang memproduksi kepercayaan terhadap sesuatu, untuk itu diperlukan proses lain untuk mendukung Argument ini. Artinya, kebenarannya didukung oleh faktor internalnya sendiri. Contohnya, semua mahluk pasti mati, Malaikat ialah mahluk, Malaikat pasti mati.
Kemudian terdapat ahli semiotik lain yaitu Barthes. Pendekatan dalam semiotik Barthes, melihat teks sebagai tanda yang memiliki segi ekspresi dan isi. Oleh karena itu teks ia lihat sebagai: (1)suatu maujud yang mengandung unsur-unsur kebahasaan, (2) suatu maujud yang untuk memahaminya harus tertumpu pada kaidah-kaidah yang terdapat dalam bahasa teks itu, (3) sebagai suatu bagian dari kebudayaan. Sebenarnya semiotik ala Barthes dengan Pierce mempunyai kesamaan konsep, hanya saja pada teori Barthes lebih bersifat tertutub sedangkan pada teori Pierce lebih terbuka, karena proses semiosis menurutnya tidak terbatas.
Gambaran di atas hanyalah memng tidak begitu rumit dan tampit apa adanya, namun ketika anasir-anasir itu sudah bisa dikatakan kurang ajar adalam artian melewati batas-batas tersebut maka Piliang berusaha mensejajari ahli-ahli tanda di atas, dengan dunia Hypernya.

Semiotik vs Hipersemiotik
Berbeda dengan Semiotik, hipersemiotik merupakan ilmu di luar batas realitas, yang mana relitas yang digambarkan Hiper ini telah direlisasikan sejak zaman dahulu hingga zaman sekarang. Kata hiper berarti berlebih-lebihan dan di luar kaidah-kaidah yang ideal. Namun begitu, hipersemiotik tetap berangkat dan berasal dari pengembangan semiotik itu sendiri.
Eko dalam Piliang (2003) mengatakan bahwa semiotik itu sendiri sesungguhnya teori untuk berdusta, yang mana di saat semiotik itu diterapkan akan menemukan dan mempraktekan dua tujuan sekaligus yaitu kejujuran dan kebohongan. Tepatnya semiotik itu adalah teori untuk berdusta, menipu dan membohongi siapa saja, teori dusta ini disebut piliang dengan Hipersemiotik, ketika semiotik itu telah di tafsirkan melebihi idealnya dan melewati batas-batas terhadap apa yang telah digambarkan Sausure tentang semiotik dan relasi-relasi yang membangun kelahiran semiotik tersebut. Sausure menggambarkan bahwa prinsip dalam semiotik ditandai dengan adanya prinsip struktural yang mana relasi antra antara bersifat material, prinsip kesatuan yang tidak dapat memisahkan antara penanda dengan tinanda, tak obahnya seperti selembar kertas, konvensional yang lahir berdasarkan persekutuan pendapat para ahli bahsa, prinsip ketetapan di dalam ruang dan waktu, merepresentasikan realita dan keberlanjutan. Nah, di dalam Hipersemiotika melampau batas-batas tersebut, sehingga membentuk struktur yang jauh lari dari dasar semiotik, Piliang menggambarkan Hipersemiotik itu lebih mengutamakan perubahan dan transpormasi, permaian tanda di permukaan (imanensi), mementingkan perbedaan dari pada konvensi, mementingkan permainan pada tingkat tuturan, keterputusan, dan raja kebohongan (simulasi).
Sejalan dengan itu, dia juga menjadikan tanda dengan berbagai macam bentuk rona dan kejadian yang cukup menantang para pengamat tanda. Ada yang dinamakan dengan tanda sebenarnya yang mempunyai hubungan relatif simetris dengan realitas/tanda kejujuran, tanda palsu atau tanda gadungan atau hanya menyerupai seperti icon dalam pemahaman Pierce, tanda dusta yang mana tanda yang menggunakan tanda dan penanda yang salah, sementara realitas yang dicapai juga salah, tanda daur ulang tanda yang aneh tapi bermanfaat bagi dunia kekinian, tanda buatan yang sengaja diciptakan lewat teknologi mutakhir, seperti foto sknadal SBY dengan perempuan cantik, dan kemudian tanda ekstrim sebagai tanda yang hiperbola (Piliang, 2003:51-58).
Namun Budrilar mengatakan tiada salahnya kita menikmati hidup dalam dunia simulasi, menikmati hidup dalam hiperealitas walau sesungguhnya berakibat fatal sekali. Sebab di sini manusia akan melupakan tuhannnya sebagai pencipta, terjadi pemutusan hubungan dengan spiritual, simulasi itu sendiri menurutnya tidak hanya melipatgandakan being, tetapi sudah menciptakan model yang tanpa asal usul atau realitas, Hiperealitas. Tanda tidak ada lagi acuannya dalam realitas, semuanya berupa penanda. Maka di sinilah yang dikatakan piliang (2006) bahwa manusia terjebak dalam bujuk rayu dan ketersesatan tanpa bertujuan, citraan adalah segala-galanya bagi manusia. Tanda menciptakan mitosnya sendiri dalam nostalgia dan mengambil alih makna secara atuh, hayalan-hayalan semu tetapi terlihat sangat nyata. Padahal awalnya simulasi dianggap Budrilar sebagai strategi intelektual, namun perkembangannya membawa dampak menuju hiperrealitas sebagai akibat dari pengalaman kebendaan itu sebagai hasil dari sebuah proses. Di sinilah awal runtuhnya ideiolgi, mungkin bisa jadi dari sinilah berasalnya dari KKN yang menggejala di Indonesia dewasa ini. Sebab yang cenderung dan menjadi pujaan adalah hayalan-hayalan akan nafsu, baik nafsu kebendaan, ekonomi, jabatan hingga nafsu seks. Referensi yang tersisa hanyalah massa yang selalu memamahbiak apa yang dihasilkan dunia citraan, dibuat norma baru, sistem nilai namun hanyalah menjadi pajangan belaka sebab menurut Budrilar massa yang dihasilkan Hipereralitas ini cenderung pasif atau diam, sebab massa itu sendiri telah terjebak dalam lingkaran setan. Bagimanapun juga masa telah terperangkap ke dalam dunia penampakan sehingga massa tercerabut dari akar spiritualnya sendiri, tercerabut dari ideologi dan tercerabut dari mitos-motos masa lalu yang mana dulunya mampu mengendalikan massa, dulunya mampu membuat massa tersebut bahkan sangat agamais, namun sekarang dunia hayal mengalahkan semua itu. Betul kata Derida bahwa telah terjadi pemaknaan penanda sebagai penanda dan bukan sebagai tinanda lagi (Piliang, 2003:140). Di sini tanda kehilalangan loyalitas kediriannya, membaur dengan nafsu serakah akan duniawi.
Sejalan dengan itu, jauh sebelumnya Eko juga telah menulis tentang dunia hiperealitas tahun 1973 dalam bukunya Travels in Hiperreality (piliang, 2003:51). Yang diproduksi pada dunia hiperealitas dunia yang tidak nyata, ilusi, mimpi dan hayal. Dunia hiperealitas adalah kopi dari realita yang dikodekan, ikon atau menyerupai saja. Sebab nostalgia masa lalu telah menggugah hati masyarakat untuk menciptakan kembali apa yang ada pada kejayaan masa lalu, ini sebagai dampak dari ketiadaan realitas. Seperti di Minangkabau tengelamnya konsep penghulu kini kembali digalakan lagi tetapi tidak seperti sebagaimana yang diharapakan, selesai jadi penghulu, penghulu pergi ke rantau tinggallah anak kemenakan terkatung-katung di kampung halaman. Selanjutnya ilusi dan fantasi yang berlebihan kembali membangkitkan animisme dan dinamisme, percaya pada hal-hal yang bersifat kengerian dan roh nenek moyang yang bergentayangan, abegai contoh suguhan televisi yang memuat filem misteri ilahi, kuasa ilahi, gambaran surga neraka, anak yang menjadi hewan karena durhaka pada orang tua, kerasukan, dan segala macamnya itu merupakan proyek dari halusisnasi atas kerinduan akan nilai-nilai yang dulu pernah ada, nilai-nilai yang hilang dalam dunia realitas sangat didambakan, namun sayangnya tidak sesuai dengan realias kekinian.
Perhatikan wajaha Islam sekarang ini, sepertinya hanya berguna untuk mengusir setan saja, begitu rendahnya sebuah agama bagi masyarakat hiperrealitas tersebut. Sat nyoblorong naik daratan buru-buru memanggil ustad, saat nyirokidul merngamuk zkir masala dilakukan, aneh!.

3. Pesimistis Produk Hypersemiotik
Kita kembali pada tindakan-tindakan yang telah dipadatkan, dan di saat makna kehilangan perannya di dalam realitas, maka saat itulah terciptanya Cyber yang semakin berkuasa terhadap manusia sebagai penciptanya. Mesin-mesin dijadikan acuan realitas yang tidak pernah ditemukan dalam realitas itu sendiri. Apa yang dihasilkan mesin dianggap kebenaran, apa yang diiming-imingkan membuat masyarakat menghayal dan bermimpi disiang bolong. Bayangkan saja, semua informasi berskala dunia dapat diakses lewat media internet. Berita skandal sexs madona, skandal artis ngetop, free sexs, cybersexs, violence dapat diakses dengan sekejap, seakan-akan dunia ini tanpa pembatas. Namun, seperti yang ditegaskan sebelumnya semuanya itu adalah kenisbian, tanpa tujuan, tanpa akhir yang nyata, semua berada pada titik kesemuan belaka. Punya ilmu pengetahuan yang tinggi tetapi diperbudak oleh ilmunya, ahli filsafat nyatanya menjadi budak filsafat, ahli kebudayaan tetapi dipenjara oleh kebudayaan itu sendiri, sehingga kesombongan harus ditaklukan dengan kesombongan model baru, dan kesombongan model baru juga harus ditaklukan dengan kesombongan model baru pula.
Pelipatan dunia yang seperti itu semakin dan telah digambarkan Pilang dalam bukunya dunia yang dilipat. Pemadatan tingkah laku, hubungan sosial masyarakat model baru membunuh realiats yang telah ada, hal itu tanpa sesuatu pun dapat membendung. Seyogyanya sebuah keterlenaan, sebab semua barang produksi telah dimanfaatkan di luar batas-batas kegunaannya sebagai pemuas hasrat manusia dan itu dilakukan berulang-ulang, semuanya serba simpel dan instans sekaligus memudahkan. Begitulah ketika waktu semakin ditaklukan, segala ruang yang harus dilewati telah disingkirkan, untuk menempuh jarak yang begitu jauh pun dapat dilakukan dengan sekejap dan tepat. Tampaknya, siapa saja yang mampu memepermainkan tanda, dengan mengangggap penanda (subjek) sebagai pengauasa yang mengeksploitasi petanda (objek) dialah yang akan maju, sementara bagi siapa yang cenderung diam akan tergilas dalam percaturan global.
Apakah manusia kembali pada zaman primitif? Jawabnya ‘iya’, yang mana pada masa ini manusia telah kehilangan nilai-nilai, kehilangan agama, persahabatan, sosial, kegotong royongan dan segala macam nilai yang bersifat positif. Piliang menginginkan kembali menciptakan sistem nilai tersebut, norma-norma namun entah siapa yang berbuat nilai-nilai tersebut kembali ditunggangi oleh kepentingan akan materi dan kekuasaan. Kalau tidak menguntungkan, nilai dan norma-norma itu tidak akan bertahan lama. Kembali ke nagari dan kembali ke surau? Itu cerita sudah menjadi cerita basi jika dihadapkan pada manusia hiperealitas. Sebab kenyataanya di lapangan fenomena tersebut nyata, lihatlah penghulu yang seharusnya menjaga harta pusaka kini menjual habis harta pusaka, lincin tandeh, gelar penghulu bak barang dagangan.
Piliang mempertegas bahwa untuk mengembalikan manusia kontenporer pada dunia kedalaman spiritual, kehalusan hati, dan ketajaman hati ditengah-tengah bujuk rayu, dan kepalsuan masyarakat konsumer, maka sebuah ruang bagi pengasahan spiritual harus dibangun kembali dari puing-puing reruntuhannya. Yasraf mencemaskan jika itu tidak dilakukan maka masyarakat global akan hanyut dalam belantara bujuk rayu, keterpesonaan, dan ketergiuran tanpa akhir dan tenggelamlah ke dalam lembah ekstasi yang ektrims. Lalu siapa dana apa yang mamapu mebangunkan manusia hiperrealitas dari keterlenaan, dari mimpi, ilusi? Bagi masyarakat pengagum nilai-nlai spiritual obatnya adalah virus, seperti ESQ power? ternyata kian hari virus ini juga kian merusak jaringan-jaringan spiritual itu sendiri, orang mau membayar mahal untuk mengikuti ESQ power, sementara tetangga di sebelah rumah sudah dua hari tidak mengenal nasi, alias kelaparan.
Okelah, pada masa sekarang seiring majunya sistem pendidikan, semakin banyak pula intelektual muda yang dihasilkan, namun masih jauh panggang dari api. Sebab intelektual sekarang, guru-guru sekarang tidak seidealnya intelektual dan guru-guru yang pernah ada sebelumnya. Kita bisa memperhatikan bahasa yang digunakannya, cenderung kasar dan kesannya membunuh karakter. Kenapa? Kita kembali pada bagian awal, katakanlah sebagai akbibat dari sebuah kejenuhan terhadap relitas yang kurang bersahabat dengan anak-didiknya atau bosan melihat anak didik tidak mendapat penghidupan yang layak setelah mencapai gelar sarjana yang akhirnya beubah menjadi penggangguran bersertifikat? sementara itu sebagai dampak dari keegoan yang berlebihan terhadap disiplin ilmu yang dimilikinya membuat mereka lupa akan keintelektualan, maka dibuat pengkotakan terhadap ilmu itu sendiri, terbentuk blok-blok walau masih satu fakultas. Mungkin Bapak itu dan Ibuk itu orang sastra berkumpul dengan orang sasatra saja atau Bapak dan Ibuk itu golongan linguistik maka berkumpul pulalah di gerbong linguistik. Orang sastra bisa saja menganggap lingiustik itu tidak cerdas, tidak intelek, terlalu kaku cara berfikirnya dan segala macam, seakan-akan kehadirannya tridak layak dan juga sebaliknya. Padahal tanpa disajari mereka telah keluar dari jalunya sebagai intelektual, memandang trendah dan remeh sebuah bidang ilmu, wajarkah intelektual bersikap demikian? Apa masih layak dikatan sebagai intelektual? Seiring dengan itu tanpa disadari bahasa-bahasa orang kalah tersebut berhamburan tak terarah, kasar dan membunuh karakter.
Lalu virus apa yag mampu menyadarkan masyarakat dari krisis kepemimpinan? Jawabnya pemimpin baru dan selalu pemimpin baru, sehingga pemimpin yang lama tidak mempunyai waktu untuk berbenah diri dalam masa jabatan yang begitu singkat. Ketidakpercayaan tehadap pemimpin menjadi persoalan yang nyata, KKN, pendusta, lamban dan segala macamnya. Menganggap seorang pemimpin serupa dengan bintang filem supermen yang ditonton di TV, atau Rambo yang menaklukan Vietnam. Namun, Eko telah mengatakan hal ini adalah dampak dari janji utopia kemajuan yang tidak terpenuhi oleh bapak-bapak posmoderen. Dunia hiperealita digambarkan seperti padang pasir, dari kejauhan terlihat air ternyata setelah didekati hanya pasir yang kering kerontang meradang.
Lalu kemana perginya ruang sunyi? ruang penyepi untuk beristitarahat sejenak dari kepenatan dunia, berdialog langsung dengan pencipta memalui zikir dan segala macamnya? Jawabnya dia tidak pergi kemana-mana, cuma ruang itu dilipat hingga mencapai batas yang tidak bisa dilipat lagi. Seungguhnya masih banyak virus-virus yang berpotensi menjadi pendakwah masyarakat hipereralitas. Namun, bagaiamanapun juga kertas putih ini dan waktu presentasi yang juga sudah dilipat ini tidak akan cukup untuk membahas hal itu semua.
Sesungguhnya, zaman terus berulang, banyak orang menyebut dunia sekarang sudah rusak, itu betul, namun kerusakan tersebut sudah di awali sejak dunia ini ada, hanya saja penamaan dan masanya saja yang berbeda. Kalau dulu sebelum Agama Islam masuk, dunia dikenal dengan Zaman Jahiliah, sekarang berpindah sebutan menjadi Hiperrealitas, yang mana kadar dari sikap dan tingkah laku manusia kurang lebih sama, hanya teknologi yang mampu membedakan dua masa tersebut.
Namun begitu, kembali penulis katakan terjadinya pemutusan hubungan dengan spiritual, ketuhanan, sehingga muncullah tuhan-tuhan baru yang bergaya Amnehotib, Gogfather, bapak angkat, ibuangkat dan segal macamnya. Alhasil, terciptalah dunia-dunia kecil tetapi masih dibawah kolong langit yang sama. Sebab bagimanapun juga tuhan –tuhan tersebut belum mampu membuat kolong langit sendiri, meskipun di antara mereka sudah mampu menaklukan keganasan alam sekitar. Haruskah tuhan mengutus kembali para rasul dan para nabi? Wallhua’lam bissahab!

*Mahasiswa Pasca Linguistik Budaya Universitas Andalas

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987