Senin, 01 Maret 2010

SEBUAH WACANA LISAN ‘’PASAMBAHAN LAKUANG TINJAUAN’’


Oleh: M.Yunis

Berbicara mengenai pasambahan sudah barang tentu sangat luas kajian terhadapnya. Ada masyarakat menamakannya dengan pasambahan upacara perkawinan, pasambahan pengangkatan penghulu, dan pasambahan upacara kematian. Ketiga jenis pasambahan ini dapat diumpamakan bak sebuah pohon, sebagai pohon pasambahan jelas mempunyai cabang-cabang, cabang terdiri dari ranting. Seperti di daerah rantau Pariaman, di dalam pelaksanaan upacara perkawinan terdapat pasa pasambahan upacara perkawinan (cabang) terdiri dari pasambahan naiak urang mudo, manjapuik marapulai dan pasambahan manulak urang mudo sebagai ranting.
Sebagai ranting pasambahan naiak urang mudo terdiri dari beberapa helai daun, di antaranya pasambahan lakuang tinjauan (mintak sifaik di Padang), pasambahan siriah, pasambahan makan,dan  pasambahan maurak selo. Kategori-kategori ini, perlu pembahasn lebih lanjut, serta membutuhkan waktu dan kesempatan lain untuk membahasnya. Agar penelaahan terhadapnya terfokus penulis akan mengambil salah satu sampel saja yaitu pasambahan lakuang tinjauan.
Pasambahan lakuang tinjauan, terjadi dalam upacara perkawinan pada masyarakat Pariaman. Pasambahan tersebut melibatkan dua pihak, di antaranya pihak tuan rumah dan masyarakat setempat. Tetapi, di dalam penuturan tidak melibatkan masyarakat secara keseluruhan, begitu juga halnya dengan tuan rumah. Dari pihak tuan rumah, akan diwakili oleh mamak rumah, dan pihak masyarakat akan diwakili oleh kapalo mudo (DPR Korong).
Kegiatan berpasambahan,  diawali ketika tuan rumah mengundang masyarakat untuk datang kerumahnya, tepatnya pada saat malam pertama dilaksanakannya upacara perkawinan atau malam bainai. Kegiatan mengundang masyarakat tersebut, sudah menjadi tradisi dari masyarakat Pariaman. Sebab, upacara perkawinan merupakan salah satu pelaksanaan dari adat istiadat yang harus ditempuh oleh seseorang ketika orang tersebut akan melepaskan masa lajangnya (bagi laki-laki) di Pariaman. Begitu pula halnya dengan perempuan, dia akan menemukan upacara yang sama disaat di dipersuamikan. Maka dari itu, kegiatan yang cukup besar ini mebutuhkan tenaga yang cukup besar pula untuk melaksanakan.
Unsur-unsur yang membangun pasambahan ini ialah adanya kapalo mudo dan silang nan bapangka. Kapalo mudo, merupkan orang yang dipilih secara adat untuk menjalankan tugas sebagai pelaksana adat istiadat setempat. Kapalo mudo dapat diartikan dengan pemimpin dari orang-orang muda atau koordinator istilah sekarang. Dinamakan dengan kapalo mudo, karena upacara tersebut didominasi oleh orang-orang yang muda saja.Kalaupun ada terdapat orang-orang tua, tapi hanya sebatas tempat beriya atau musyawarah, dan kehadirannya tidak diwajibkan secara keseluruhan, namun kehadirannya tetap penting bagi kelancaran upacara tersebut.
Dalam pelaksanaan tugasnya, kapalo mudo akan dibantu oleh pemuda-pemuda yang menyertainya. Hal itu, berkaitan dengan masalah teknisi, dan segala macam masalah yang membutuhkan tenaga yang besar untuk menyelesaikannya. Seperti, mendirikan tenda-tenda, menjemput marapulai (mempelai) ataupun menjalang anak daro (mempelai wanita). Kesimpulannya, pemuda-pemuda di bawah komando kapalo mudo mempunyai peran yang sangat penting bagi kelancaran upacara perkawinan tersebut.
Silang nan bapangka, merupakan julukan yang diberikan kepada tuan rumah. Dinamakan dengan silang nan bapangka, karena dari tuan rumahlah berawal masalah. Jika diartikan silang berarti masalah, nan bapangka artinya yang berpangkal, atau berawal. Jadi silang nan bapangka, merupakan tempat berawalnya suatu masalah.Tetapi, pada saat pasambahan berlangsung, tidak seluruhnya silang nan bapangka dilibatkan secara aktif. Sebagai penyambung lidah, silang nan pangka akan diwakili oleh salah seorang saja. Biasnya orang yang tertua atau yang dituakan dalam rumah tersebut, di Minagkabau di sebut juga dengan mamak rumah. Pada saat pasambahan berlangsung, mamak tetap saja tidak dapat memutuskan masalah yang dikemukan oleh kapalo mudo tersebut seorang diri. Untuk itu, mamak akan memusyawarahkanya dengan silang nan bapangka yang ada pada saat itu.
Ketika tuturan adat berlangsung, akan terjadi dialog anatar kapalo mudo dari pihak masyarakat dengan mamak rumah dari silang nan bapangka. Hal ini, berawal dari perundingan kapalo mudo sebagai lakuang tinjauan (peninjau). Maka, pada saat ini mamak rumah akan mengemukakan tujuannya mengundang masyarakat untuk hadir pada saat itu. Dalam memperjuangkan tercapainya tujuan tersebut, maka terjadilah silat lidah (permainan kata-kata) antara tuan rumah (mamak) dengan masyarakat (kapalo mudo).
Di dalam pelaksanaan upacara tersebut, mamak rumah akan berkata dengan nada-nada seolah-olah merendah diri ataupun menghiba kepada masyarakat supaya pekerjaannya yang berat dapat pertolongan dari masyarakat. Karena, tugas tersebut sangat tidak mungkin dilakukan oleh tuan rumah sendiri. Untuk itu, sangat dibutuhkan masyarakat sebagai penolong. Atas dasar kata-kata yang merendah ataupun menghiba inilah lahir kata-kata sambah, manyambah (sembah, menyembah) atau memohon, maka terciplahlah pasambahan yang artinya sengaja memohon. Di samping itu, sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat Pariaman, ketika ada di antara anggota masyarakat yang akan mengadakan upacara seperti ini, maka anak yang akan dinobatkan menjadi pengantin tersebut dianggap anak bersama atau anak masyarakat dan kemenakan masyarakat.
Pasambahan lakuang tinjuan, merupakan dialog antara mamak rumah dengan masyarakat setempat. Pembahasan di dalamnya, berkisar tentang pelaksanaan upacara perkawinan, hal ini diutarakan oleh mamak rumah kepada kapalo mudo.
Dalam dialog tersebut, terjadi permaian kata antara tuan ruamah dengan masyarakat. Deangan bermodalkan kelihaian kedua belah pihak, masing-masingnya akan berusaha menciptakan kata-kata dan bunyi seindah mungkin. Sehingga, dalam tuturan tersebut tersirat berbagai macanm makna yang di eplisitkan penyampaiannya. Pengeplisitan makna tersebut menciptakan dan melatih logika berfikir individu masyarakat. Kepekaan berfikir inilah yang melatarbelakangi terciptanya pepatah yang cukup terkenal di Minangkabau. Contohnya ’’kilek camin lahkamuko, kilek baliuang ka kaki atau bakilek ikan dalam aia, alah tantu jantan batinonyo’’, serta masih banyak lagi pepetah-pepatah yang seperti itu dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Makna-makna yang dieplisitkan tersebut, di antaranya makna Arsertif (menyatakan), Responsives (menjawab), Requetives (meminta), Permissives (menyetujui) dan Comissives promise (menjanjikan). Makna-makna tersebut, sengaja diciptakan berdasarkan kebutuhan kedua penutur akan kepekaan berfikir dalam hidup bermasyarakat. Contohnya, makna manjanjikan, sengaja diciptakan oleh penutur maupun mitra tutur, karena di dalam memutuskan suatau masalah dibutuhkan musyawarah. Ketika penutur mengemukakan suatu masalah kepada mitra tutur, maka mitra tutur akan menyatakan dirinya berjanji untuk menjawab dan membahas masalah tersebut, setelah musyawarah dilakukan dengan kerabat dekatnya. Begitu pulahalnya dengan makna-makna meminta, menjawab, menyetujui, dan menyatakan. Artinya setiap individu masyarakat Pariaman, sangat menghargai individu lain yang berada di sekitarnya.
Di dalam pasambahan ini, terjadi pertukaran kedudukan atau posisi bertutur dari kedua orang yang bertutur. Adakalanya mamak rumah mejadi mitra tutur dan ada pula kalanya mamak rumah menjadi penutur, begitupula halnya dengan kapalo mudo.
Inilah skelumit tentang pasambahan lakuang tinjauanan (mintak sifat/minta izin) di Pariman. Mungkin masih banyak wacana-wacana lain yang berkembang berkaitan dengan pasambahan sebagai salah satu tradisi lisannya orang Minang. Hal ini, tergantung pada kita, sebagai orang Minang, apakah kita mau mengangkat wacana tersebut ke permukaan atau tidak ? jawabannya tergantung ke pada pribadi masing-masing individu Minang itu sendiri. 

                                                            Mahasiswa Pasca Linguistik Budaya Sastra Unand

Tidak ada komentar:

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987