Rabu, 02 Januari 2008

PROPAGANDA SENDENBU (1943) AWALNYA HARGA DIRI DIRAMPAS

Oleh: M. Yunis

Peristiwa ini memang sudah berpuluh-puluh tahun berlalu, tetapi bukan berarti luka itu hilang begitu saja, sebab goresannya semakin dalam setelah indonesia meraih kemerdekaan, dan peristiwa itu tidak pernah terjadi?
Tahun 1942 jepang mendarat di pulau jawa dan memulai mempropagandakan janji-jannjinya kepada saudara yang baru rakyat indonesia. Masyarakat terpukau disaat jepang janjikan sebuah kemerdekaan, tercapai jua apa yang dicita-citakan selama ini, untuk mewujudkan itu jepang meminta etikat baik dari rakyat dengan memperlihatkan terlebih dahulu keseriusan rakyat Indonesia untuk merdeka kepada pemerintahan dai nipon, jangan hanya sekedar kata-kata. Kemudian jepang minta tanda beti bahwa masayarakat yang memupunyai anak gadis perawan harus mendaftarkan dirinya kepada pemerintahan dai nipon untuk disekolahkan ke jepang dan shonanto. Agar nantinya para generasi penerus ini dapat memimpin bangsanya kemudian kelak. Rencana baik ini awalnya disambut gembira oleh penjuru tanah air, apalagi pulau jawa, masyarakat rame-rame mendaftarkan anak perawannya yang remaja kepada pemerintah. Kalu dijawa dimuali dari anak wedana, sonchoo (camat), kuchoo dan kumichoo (rukun tetangga). Sebagai pejabat daerah tentu saja mereka harus memperlihatkan etikat baik itu kepada masyarakat sebagai contoh teladan. Selanjutnya baru masyarakat biasa mengiringi propaganda yang dilaksanakan jepang tersebut.
Kemudian tidak lama kemudian gadis-gadis tersebut dijemput kerumah masing-masih oleh kendaraan yang telah dipersiapkan dai nipon sebelumnya. Semua gadis-gadis tersebut dikumpulkan pada sutau tempat sebelum diberangkatkan ke japang. Namun, kenyataan setelah beberapa gadis itu dikumpulkan tidak ada lagi kabar beritanya. Berdasarkan keterangan sufi-sufi yang hidup dipengasingan buru, awalnya para remaja yang masih ranum itu sangat bahagia dan bersuka cita bahwa akan sekolah keluar negri, nyanyian-nyaian suka dan mars kesatria pun melantun dari mulut mereka. Namun, setelah serdadu dai nipon masuk, mereka menjadi rebutan, diangkat satu-persatu ke dalam kamar dan digilir entah sampai berapa kali hinga air matanya kering. Setelah itu mereka-mereka ini dikirim ke daerah romusya untuk menjadi pemuas nafsu serdadu penajaga jepang malam hari.
Sebagai orang tua sudah barang tentu sangat sedih berpisah dari anak semata wayang, namun tekanan dari jepang membuat merka diam seribu bahasa. Diperparah dengan tidak adanya kabar berita dari remaja tersebut. Tetapi peristiwa tersebut telah dibungkus sangat apik sekali, jepang sampai sekarang tetap cuci tangan, takut kejahatan tersebut tercium dan dikatakan kejahatan perang yang paling jahat. Adalah wajar bahwa jepang sangat takut akan kegagalan dan keburukan yang dia lakuakn di zaman perang. Tetapi lebih aneh lagi, setelah kemerdekan yang puncaknya tahun 1945 peristiwa itu dianggap tidak pernah terjadi, padahal remaja-remaja sekarang sudah reot, yang jadi jadi korban binalnya serdadu jepang itu masih tersebar diseluruh pelosok nusantara dan bahkan sudah ada yang menjadi orang siyam. Di nusantara ini mereka terbanyak di pulau buru sebagian telah menjadi istri-istri orang Alfuru (Pramoedya: 2001). Itupun masih dibawah tekanan para suami yang selalu memegang tonggak, sementara para wanitanya disuruh bekerja sementara suami-suami bertugas hanya sebagi tukang kawal. Adatnya sangatlah tegas, bahwa para istri tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan orang luar apalagi menceritakan kisah mereka, sebab para suami takut istrinya pulang kekampung halaman dan mata pencarian merekapun habis. Begitulah propaganda sindenbu menjadi korban binalnya serdadu jepang sehingga mereka terpaksa menjadi budak hingga akhir hayat.
Namun, propaganda serupa juga terjadi di massa sekarang sama tersrtrukturnya seperti dulu, dimulai dari tingkat bupati hingga ketingkat camat. Iming-imingan bekerja menjadi TKI keluar negri menjadi idaman bagi wanita yang memang kurang mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan, wajar sekarag para wanita itu berlomba hanya untuk bekerja karena sejak kemerdekaan, bangsa ini hanya bertambah miskin, berbeda dengan dahulu keluar negri didorong oleh semangat kemerdekaan.
Kita mengetahi seluruh penjuru TKI sudah tersebar, mulai dari jadi pembantu hingga bekerja perusahaan-perusahaan. Namun nasib mereka masih tetap sama dengan remaja-remaja korban propaganda sendenbu 1943. Mereka disikasa, diperkosa dan gaji mereka ditahan agar tidak gampang melarikan diri. Selanjutnya majikan cuci tangan tidak obahnya seperti serdadu jepang dulu. Lalu apa bedanya dengan dulu, yang nyatanya sampai sekarang belum ada tindakan hukum yang pasti dapat menjamin Hakasasi TKI yang berada di luar negri.
Baru-baru ini juga masih terdengar bahwa ibu rumah tangga terjun dari puncak gedung apartement bersama bocahnya karena takut sama majikan, kemudian ada pula di antara mereka melahirkan bayi hasil kebiadaban majikan dan ada pula yang disiksa dengan strika dan benda-benda lainnya tanpa rasa kemanusiaan.
Kita mengutuk tindakan tersebut, sumpah serapah ditujukan kepada pelaku, tidak berprikemanusiaan tetapi kita lupa untuk introspeksi, bercermin pada masa lalu, bahwa hal itu pernah di alami di ibu pertiwi ini dan pernah menjadi budak nafsu jepang.
Mungkin saja imag rendahan telah terbangun oleh bangsa asing dan menganggap bahwa perempuan indonesia tersebut hanya berpotnsi sebagai pelayan laki-laki mata keranjang. Sebab, mereka tahu sejarah. Tidak salah bahwa mereka tidak pernah merasa berdosa karena bangsa sendiri juga tidak pernah merasa berdosa telah melupakan para remaja korban propaganda sendenbu apalagi nasib TKI di luar negri.

*Alumni Sastra Minangkabau

UNDANG-UNDANG MINANGKABAU PUSAKA YANG TERLUPA



Judul : Undang-undang Minangkabau Dalam Perspektif Ulama Sufi
Penulis : Zuriati

Penerbit : Fakultas Sastra Kampus Unand Limau Manis, Cetakan I, 2007

Tebal : xiii+320 halaman.


Terkuaknya misteri naskah-naskah lama di Minangkabau, adalah suatu petanda bahwa orang Minangkabau dulu kretaif dalam kepenulisan. Sekarang sudah saatnya naskah-naskah lama itu didaur ulang dan dimanfaatkan untuk kemajuan masyarakat dan begitulah seharusnya. Kita sadari bahwa negara lain seperti Jepang sudah memulainya lebih awal.
Hadirnya buku Undang-undang Minangkabau dalam Persketif Ulama Sufi yang ditulis oleh Zuriati menjadi gambaran bahwa kita ‘si pemilik naskah’ juga sudah memulai kegiatan serupa. Hadirnya buku ini, mampu menjawab tanda tanya dalam pikiran banyak orang tentang Minangkabau. Apakah Minangkabau mempunyai hukum adat atau sejenis pranata-pranata dalam mengatur masyarakatnya?
Sejalan juga dengan kebimbangan banyak orang, fakta dilapangan sulitnya menentukan format adat Minangkabau dan juga tidak ditemukannya acuan-acuan adat istiadat yang harus dianut masyarakat sekarang. Fakta adat tersebut sepertinya semakin kabur dan terkubur. Hal ini menjadi latarbelakang diadakannya berbagai macam seminar dan diskusi yang bertemakan ‘Minangkabau’. Namun hasilnya itu keitu saja, artinya tetap tidak ada acuan yang jelas terhadap hukum-hukum adat Minangkabau. Hal itu, diperparah dengan adanya pandangan yang individual terhadap Minangkabau.
Kehadiran buku Undang-undang Minangkabau dalam Perspektif Sufi mampu menyetop penafsiran-penafsiran sepihak terhadap hukum-hukum adat Minangkabau. Dalam buku ini, Zuriati sebagai penulis buku mampu mengungkapkan fakta-fakta pusaka Adat Minangkabau tersebut. Bagaimana Islam memandang Adat Minangkabau dan bagaimana pula Adat memandang ajaran Islam juga menjadi topik hangat dalam buku ini. Selanjutnya kehadiran tasawuf sebagai pengetengah ternyata juga telah mampu mempersandingkan adat dan agama.
Tidak hanya itu, polemik yang terjadi seputar naskah Undang-undang di Minangkabau juga menjadi bahasan dalam buku ini, seperti yang dikatakan penulis ‘’bahwa penulisan naskah-naskah yang terdahulu sering dipengaruhi oleh kepentingan pribadi penulis sehingga pemalsuan-pemalsuan fakta kerap sekali terjadi. Naskah UUM yang dipilih penulis berisi aturan-aturan mengenai adat, hukum, lembaga adat dan lembaga hukum, dan manusia sebagai hamba atau makhluk Tuhan, baik sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, maupun sebagai pemimpin’’ (UUM Hal: 4). Semua aturan itu, disusun di bawah pengaruh dan dalam kerangka hukum Islam.
Di dalam buku ini juga dijelaskan berpadunya hukum Adat dengan Agama melewati beberapa adegium-adegium yaitu rumah bersendi batu, adat bersendir syarak, syarak bersendri alur, alur bersendi kitabullah, adat mamaki, syarak mangato. Selanjutnya hubungan antara berfiqh dengan betasawuf, syariat, thariqat, hakikat serta makrifat. Sedikit mustahil ketika adat Minangkabau yang terkenal dengan matrilinealnya berpadu dengan ajaran Islam, tetapi di dalam Naskah Undang-undang Minangkabau perpaduan itu bisa diwujudkan, topang-menopang antara Adat dan Agama melahirkan adat basandi syarak, sayrak basandi kitabullah. Namun begitu tidak ketinggalan pula masalah cinta dan hati, berikut berikut pasal-pasalnya cukup jelas digambarkan dalam buku ini.
Hanya saja, buku ini tidak dilengkapi dengan bagian akhir sebagai penutup yang mana di sana memuat kesimpulan serta saran-saran yang diinginkan untuk tahapan selanjutnya. Namun begitu, tidak mengurangi nilai-nilainya sebagai sebuah buku, sebab disamping kehadirannya sangat perlu, buku ini dilahirkan dalam usaha menjaga warisan tradisional adat Minangkabau, seperti yang dikatakan banyak ‘’orang adat Minangkabau itu akan hilang begitu saja jika tidak ada lagi orang mengkajinya, sehingga lahirlah adat Minangkabau perspektif pribadi’’. Akhirnya, setiap individu mempunyai adat Minang sendiri-sendiri, dan berubahlah adat salingka nagari menjadi adat salingka individu
Sejalan dengan itu, kehadiran suntingan teks dan tlansliterasi akan sangat membantu pembaca dalam pemahaman. Untuk mengetahui isi buku ini secara detil, silahkan membaca buku ini secara utuh. Peresensi M. Yunis

PERJALANAN MINANGKABAU DALAM SEMINAR

Oleh M.Yunis**
Pewadahan terhadap pergulatan ide dan pendapat seputar kebudayaan Minang sudah hampir berputik mulut membicarakannya, umpama sepohon kayu mungkin sekarang sudah besar buahnya atau sudah matang dan sudah patut pula dinikmati. Dimulai dari seminar tentang harta pusaka dan warisan pada bulan Juli 1968, kala itu menghadirkan makalah Profesor Mr. Mohammad Nasroen sementara beliau sendiri dikatakan tidak bisa hadir karena sakit, namun begitu lahir jua bukunya yang sampai sekarang masih relevan, ya! siapa yang tidak kenal dengan Dasar Falsafah Adat Minangkabau (1957), dan dalam seminar itu pulalah sebuah lembaga penelitian kebudayaan Minangkabau, Center for Minangkabau Studies digagas Muchtar Naim sebagai direkturnya, kemudian menyusul seminar Sejarah Masuk islam ke Minangkabau di Padang (Juli 1969) yang mana di dalam forum, terjadi polemik misterius antara Buya Hamka dengan Onggang Parlindungan yang dikenal sebagai penulis buku Tuanku Rao. Polemik itu berlanjut di Batusangkar (1970).
Di samping mengahdirkan tokoh-tokoh intelektual cerdik-cendekia, alim-ulama, ninik-mamak, para pembesar, dan para hulubalang dari selingkup Sumatra Barat ketiga seminar ini sempat pula menghadir “brothers from Minang” orang Minang walaupun berasal dari rantau, namun sempat pula merasakan lumpur sawahnya orang Minang, beliau di antaranya Pak Hatta, Buya Hamka, Profesor Bahder Djohan. Alhasil seminar tersebut mencipta sebuah harapan yaitu sebuah Fakultas Sastra di Universitas Andalas. Dengan impian kajian terhadap kebudayaan Minangkabau ditingkatkan, di samping kebudayaan Nusantara lainnya, kebudayaan Islam, dan sekaligus kebudayaan dunia dapat ditekuni dan dipelajari. Di seminar itu juga dikatakan perpaduan antara kebudayaan Minang dengan kebebudayaan Islam harus diperkuat sebab ruh dan sandaran spiritual dari kebudayaan Minangkabau dan Nusantara itu tiada lain adalah Islam. Dengan jalan ini generasi muda dapat berkontemplasi dan bercermin diri terhadap sejauh mana generasi muda mengetahui kebudayaan nenek moyang mereka, khususnya kebudayaan Minangkabau, sehingga dapat diangkat dan memberikan sumbangan yang berarti bagi bangsa dan kemajuan kemanusiaan di masa depan.
Sewaktu Mawardi Yunus menjabat sebagai ketua LKAAM, dipersiapkanlah Impian itu, tepatnya 14-16 Februari 1980 diadakan Lokakarya Persiapan Pembukaan Fakultas Sastra, di Gedung Negara Tri Arga, Bukittinggi. Lokakarya itu juga disponsori oleh Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta, dan Volkswagen Stiffun, Jerman Barat. Sementara tokoh-tokoh yang hadir dalam lokakarya itu yaitu, Soejadmoko, Sutan Takdir Ali Syahbana, Selo Soemarjan, Koencoroningrat, Harsya Bachtiar, Alfian, yana mana sastra dan sosial budaya sudah menjadi makanannya sehari-hari dan seorang profesor Hans Dieter Evers dari Jerman. Wah! memang benar-benar sebuah pesta budaya!
Dalam Lokakarya itu pulalah dibicarakan latar belakang perlunya sebuah Fakultas Sastra dan Sosial-Budaya di Universitas Andalas. Jika pada seminar-seminar sebelumnya lebih mengarah terhadap aspirasi budaya yang lebih bersifat internal dengan penggalian kebudayaan Minangkabau sebagai sentral dan tumpuan perhatian, namun saat itu perhatian lebih ditekankan pada perlunya mencapai kualitas dan prestasi akademik yang dapat menandingi fakultas-fakultas serupa di tanah air. Dalam lokakarya itu juga lahir keinginan untuk Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya ( Naim; Lustrum 3 Fakultas Sastra; Maret 1997).
Selanjutnya politik Mercusuar pun dijalankan, september 1980 yang bertempat di Gedung Negara Tri Arga Bukittinggi, diadakanlah sebuah seminar Internasional dengan tema Kesusastraan, Kemasyarakatan, dan Kebudayaan Minangkabau. Seminar ini memang bercorak internasional tujuannya ialah untuk memancing perhatian para ahli di dalam maupun luar negeri sehingga di saat itu datanglah peserta dari Amerika, Kanada, Australia, Jepang, Korea, Singapura, Malaysia, Belanda, Jerman, Prancis dan Inggris. Namun. Dengan penuh keberanian pula, Muchtar Naim menyampaikan makalahnya yang berjudul “Minangkabau dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara”, akibatnya Rektor Mawardi Yunus pun terbata-bata dalam menanggapi makalah itu.
Alhasil, dalam seminar itu para panitia persiapan Fakultas Sastra berhasil mengkomunikasikan dan menyebarluaskan informasi tentang pembentukan Fakultas Sastra dan Sosial Budaya ke berbagai universitas di dalam maupun luar negeri, dan sekaligus mengadakan kerjasama antar lembaga di masa-masa yang akan datang. Inilah sebuah harapan.
Namun setelah 2 tahun lelah berjuang akhirnya turun sebuah SK Presiden No.39 tahun 1982, bahwa Fakultas Sastra Universitas Andalas disetujui. Bahkan Fakultas Sastra didahulukan pembukaannya dari pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Saat itu, Fakultas Sastra memiliki 4 jurusan: Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sejarah, dan Sosiologi. Jurusan Sastra Indonesia menyelenggarakan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Jurusan Sosiologi Program Studi Sosiologi dan Antropologi. Pada akhirnya tahun 1983 dibuka pula Jurusan Sastra Daerah dengan Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau secara lebih khusus.
Nah tercapai jualah yang diangan-angankan itu, sebab dengan berdirinya jurusan sastra darah Miangkabau lebih diharapakan penggalian terhadap budaya minang lebih intensif. Mulai saat itu, sebuah beban berat telah terusung di atas pundak orang Minang terlebih lagi generasi muda semakin mengakar. Sudah sepatutnyalah kita bangga, Fakultas sastra berdiri atas inisiatif dari generasi yang padat wawasan, serta menguasai banyak bahasa asing, hal itu pun dilatari oleh sebuah keinginan untuk menggali kebudayaan Minangkabau.
Mungkin dengan berdirinya Fakultas Sastra harapan itu belum sepenuhnya terwujut, maka kembali diadakan seminar Internasional Minangkabau tangal 23-24 Agustus 2004 dengan tema: Minangkabau dan Potensi Etnik dalam Paradigma Multikultural, yang diselenggarakan oleh Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau, Jurusan Sastra Daerah-Universitas Andalas, pada tanggal 23-24 Agustus 2004, di Inna Muara Hotel-Padang.
Seminar itu dihadiri oleh pemakalah dari dalam maupun luar negri, seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra dari UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Sjafri Sairin, Prof. Dr. Hasanuddin WS, Prof. Dr. Faruk dari UGM, Prof. Dr. Bustanuddin Agus, Prof. Mohtar Naim, Prof. Sjahmunir AM, Ding Choo Ming, Ph.D, Prof. Dr. I Gde Pitana, Amin Sweeney, Dr. Oman Fathurahman, Dr. Jufrizal, Dr. Yayah B. Luminta Intang, APU., Dr. Herwandi, Dr. Nursyirwan Effendi. Bahkan seminar itu lebih meriah dan lebih mercusuar dari tahun 1980.
Kemudian tanggal 23-24 Desember 2004 yang lalu, berlangsung pula seminar Internasional dengan tema ‘’Retropspeksi, Reposisi, dan Revitalisasi Kebudayaan Minangkabau’’ di Bumi Minang Padang. Kali ini kerisauan serta kecemasan kembali mengemuka sehingga para pemikir dalam forum akhirnya sepakat memfonis bahwa kebudayaan Minangkabau sedang mengalami pengkroposan dan degradasi nilai. Dikatakan orang Minang perlu intropeksi diri agar kebudayaan minang tidak tercabut dari akar budayanya sendiri. Akhirnya lahirlah modus yang dirasa tepat untuk mewujudkan smua keinginan itu dan selanjutnya disampaikan pada pemerintahan daerah.
Nah, ternyata kebijakan tersebut terkesan dikerjakan setengah (Herwandi: 2007), sehingga pada 29-30 November 2006 di Inna Muaro Hotel lahir kembali sebuah kongres kebudayaan yang diselengarakan oleh pemerintahan daerah Sumatera Barat betemakan ‘’kongres kebudayaan dan Apresiasi Seni’’. Dalam seminar itu yang diundang hanya penghulu-penghulu dan pemuka Adat di Sumatra Barat tanpa melibatkan Akademik dan intelektual muda sehinga lahirlah gagasan untuk mendirikan kembali kerajaan Minangkabau. Pertentangan pun kembali mencuat, ada sebagian orang Minang setuju, sebagian mengutuk dan sebagian Abstain.
Kenyataannya, rentetan seminar-seminar di atas juga didak mampu melahirkan sebuah komitmen bersama budayawan Minang, untuk mambangkik batang tarandam, tapi hanya berlanjut menjadi sebuah sebuah harapan baru, sedangkan harapan terdahulu belum juga terwujut. Barangkali budaya Minangkabau hanya dijadikan kendaraan politik saja.
Kalau memang pemerintah memang benar-benar serius dalam menyikapi dan memeprhatikan kebuadayaan Minangkabau, pemerintah tidak harus perlu turun tangan kelapangan, biarlah orang-orang yang kenal dengan lumpur sawahnya orang Minang yang akan melaksanakannya. Lagi pula sarana dan prasarana untuk itu sesungguhnya sudah tersedia. Kaum intelektual dalam seminar tahun 1980-an yang menggagasnya. Tetapi, pemerintah sendiri sepertinya tidak acuh, sehingga sarana itu pun sampai sekarang tidak seluruhnya orang tahu, sehingga egoisme yang dimiliki pemerintahan juga diwarisi oleh generasi selanjutnya.
**Alumni Sastra Daerah Minangkabau

KEBUDAYAAN JANGAN HANYA DIJADIKAN SIMBOL

Oleh M.yunis**

Rumah gadang telah terbakar, sebuah duka kembali mengunjungi dunsanak di sumatra barat. Si jago merah baru saja menunaikan tugasnya. Minangkabau berduka kembali, sudah bertahun-tahun symbol kejayaan Minang berdiri dan sekaligus menjadi sumber semangat bagi orang Minangkabau. Tapi yang tersisa adalah sebuah kesedihan, tangis sesal, hatinya perih atau gembira karena runtuhnya symbol kejayaan.
Di dalam Istano yang dibangun 1977 itu, tersimpan keris menyusu alam, keris 9, stmpel Sati Abdul Jalil, 2 tongkat dan seda Alam, kain-kain permadani ludes di lalap si jago merah (Singgalang 1 Maret 2007, Hal 3). Mungkin juga di dalam ustano tersebut terdapat bermacam-macam naskah-naskah lama, semakin menambah cepatnya api menghanguskan rumah bagonjong tersebut. Nah inilah sebuah kesalahan, selama ini benda-benda bersejarah itu hanya disimpan, tapi tidak diteliti keberadaan serta perannya di masa lalu, tapi sekarang apa mau dikata semua lenyap hanya dalam hitungan detik.
Media masa mengabarkan, bahwa api berasal dari sambaran petir, konon runcingan-runcingan yang yang ada di gonjong rumah bagonjong itu mampu untuk menangkal petir. Tetapi tetap pada malam itu tidak berfungsi. Malahan dapat mengundang petir (Singgalang 1 maret).
Kita coba menalaah dari sudut pandang yang berbeda. Kita mewarisi sejarah, bahwa pada masa perang paderi Rumah Gadang yang asli, telah dibakar oleh kaum padri dan keluarga pagaruyung dibantai secara besar-besaran di Koto Tangah oleh Tunku mansiangan. Berawal dari musyawarah seputar konflik antara kaum adat dengan kaum agama, diundanglah keluaga Pagaruyung. Di dalam suasana rapat, sesaat muncul Tuanku Mansiangan bekas preman yang haus duniawi, diiringi pasukan berkuda. Pada saat itu, keluarga kerajaan kocar-kacil dan bersimbah darah. Hal ini, sebagai dampak dari pertentangan antara kaum Adat dengan kaum Paderi, sehingga perang saudara tersebut berujung maut. Namun, beberapa waktu pertempuran mengarah melawan Belanda, kaum adat dengan kaum agama bersatu kembali untuk mengusir penjajah, setelah menghimpun seluruh kaum adat dan seluruh kaum agama di Puncak Pato, yang terkenal dengan sumpah sati Bukik Marapalam (Marepekan Alam) dan lahil adat basandi syarak, syarak basandi adat. Sebenarnya ini adalah Marapalam jilid II, sementara Marapalam I sudah terjadi sebelumnya yang mana dalam Sumpah sati Marapalam I ini Syeh Burhanuddin dan sebelas orang Raja dari Pariaman ikut serta (Suryadi, 2004).
Sekarang, sejarah kembali berulang, tetapi dalam versi lain. Kali ini petirlah yang dijadikan kambing hitam, seakan-akan tuhan sendiri yang datang untuk membakar istano pagaruyung.Artinya identik juga dengan islam. Kaum paderi?
Kita juga masih ingat kongres kebudayaan yang diadakan di Bumi Minang, yang membahas seputar adat Minangkabau, bahkan keinginan untuk membentuk simbol kerajaan ditumbuhkan. Masyarakat Minang harus mengahadirkan simbol Raja dan Basa ampek balai. Namun, mendapat sanggahan dari sebagain orang awak dan ada juga yang mendukung rencana itu.
Seiring dengan itu, konflik seputar adat Minangkabau terus bermunculan, walau dalam skala kecil. Kita boleh memperhatikannya dalam seminar-seminar yang membahas permasalahan seputar Adat Minang, selalu terjadi saling menyerang antara praktisisi adat dengan peseta atau peserta dengan peserta. Alhasil, penyeleasian berakir seiring berakhirnya seminanr. Selesakah permasalahan adat smapai di situ?
Sekarang program kambali ka Nagari telah dijalankan, seiring keluarnya peraturan otonomi daerah yang terbaru. Semangat untuk mengeksiskan kembali Adat istiadat Minang cukup mengisi lingkungan Sumatra Barat. Patut kita pikirkan, kambali kanagari, kembali kasurau bukan kambali tidur di surau, kambali kekerajaan apakah tidak terlalu paranoid? Sementara itu, harta pusaka yang ada di bumi orang Minang terus saja diperdagangkan oleh mamak-mamak, tanah-tanah ulayat sudah mulai dibangun pabrik-pabrik, entah lupa atau sengaja, padahal harta pusaka hanya bleh digadaikan dan bukan dijual, itupun didukung oleh persyaratan yang kongkrit yaitu jika rumah gadang katirisan, gadih gadang alun balaki dan mayik tabujua di tangah rumah, kini syarat tersebut hilang sudah. Lain lagi dengan kemenakan-kemenakan, juga sudah ramai berkeliaran mengisi penghujung malam seperti di Kota Padang, pengamen-pengamen bertebaran, anak usia sekolah terpaksa menyambung hidup dipelataran lampu merah. Di saat razia, Sat pol PP Mengajukan pertanyaan dasar. Nama; Dedi, Suku Tanjuang, atau PSK Nama yanti, suku Piliang. Nah, apa yang terjadi? Ternyata anak-anak atau remaja itu juga mempunyai seorang mamak.
Hal di atas, sepatutnya terjadi karena apa yang dikatakan ideologi keminangkabauan telah tercemari. Gelar Datuak sudah biasa dibeli, pejabat-pejabat degan sangat gampang bisa mendapat gelar itu, walau pejabat itu bukan orang Minang dan juga mendapat sako hadiah dari oang Minang. Segampang itukah memperoleh gelar datuak? lalu kemana datuak-datuak yang sebenarnya, merantaukah dan apakah sistem mati batungkek budi tidak berlaku lagi? atau mungkin orang Minang sendiri tidak mau mengusung gelar tersebut karena terlalu berat resikonya. Dan tambah tidak mungkin lagi, bila gelar itu diberikan kepada orang luar sebab setelah mendapat gelar dari orang Minang, dia harus kembali menjalankan tugasnya sebagai pejabat (pulang kampung) bisakah orang Minang berharap banyak kepada orang yang seperti itu, mungkin hanya yang didapat sekadar kebanggaan sesaat karena mendapatkan dunsanak angkek dari luar, apalagi seorang pejabat.
Sesampai di kampung, mereka kembali menindas rakyat kecil berebut rapel, gaji naik. Akhirnya konflik juga terjadi di kalangan pejabat. Alhasil, muncul peraturan baru PP No 37. Sekarang sudah mau direvisi kembali, tapi para wakil rakyat yang ada di DPR Demontrasi menolak revisi PP No. 37. Nah, kapan Bapak-bapak itu punya waktu untuk memikirkan dunsanak angkatnya yang ada di Sumatra Barat.
Mungkin kiranya perlu digagas kembali Sumpah Sati Bukik Marapalam jilid III, agar pertentangan-pertentangan yang menjadi perdebatan dalam setiap seminar atau diskusi tentang Adat Minangkabau dapat diluruskan, mungkin setelah itu perlu disusul dengan Marapalam jilid IV dan seterusnya.

MENILAI ORANG

Ciri Orang Dari Kentutnya (versi Jawa)

=== Cirine WONG Seko ENTUTE ===

1) Wong sing ORA JUJUR
Wong sing nek ngentut terus nyalahke wong liyo.
2) Wong GOBLOG
Wong sing ngempet ngentut sampai jam-jam an.
3) Wong sing JEMBAR WAWASAN'E
Wong sing ngerti kapan kudu ngentut.
4) Wong sing SENGSORO
Wong sing pengin banget ngentut ning ora iso ngentut.
5) Wong sing MISTERIUS
Wong sing nek ngentut wong liyo ora ono sing ngerti.
6) Wong sing GUGUPAN
Wong sing ujug-ujug nyetop entute nek pas lagi ngentut.
7) Wong sing PERCOYO DIRI (PD)
Wong sing ngiro nek entute dhewe ambune mesti wangi.
8) Wong sing KEJEM (SADIS)
Wong sing nek ngentut terus dikibasno nang koncone.
9) Wong sing ISINAN
Wong sing nek ngentut terus ke'isinan dhewe.
10)Wong sing STRATEGIS
Wong sing nek ngentut ning ngarep'e wong lio iso nylamurke entut'e nganti wong lio ora kepikiran maneh.
11)Wong sing BODHO
Wong sing nek bar ngentut terus ambegan njero-njero dienggo ngganti entute sing metu.
12)Wong sing GEMI
Wong sing nek ngentut metune diatur sethithik-sethithik.
13)Wong sing SOMBONG
Wong sing seneng ngambu entute dhewe.
14)Wong sing RAMAH
Wong sing seneng ngambu entute wong liyo.
15)Wong sing ORA RAMAH
Wong sing nek ngentut malah mendhelik lan ngamuk-ngamuk.
16)Wong sing KEKANAK-KANAKAN
Wong sing senenge ngentut nang njero banyu ben iso ngematno munine blekuthuk-blekuthuk.
17)Wong sing ATLETIS
Wong sing nek ngentut karo ngeden.
18)Wong JUJUR
Wong sing ngakoni nek awak'e bar ngentut.
19)Wong PINTER
Wong sing iso niteni ambune entut wong lione.
20)Wong SIAL
Wong sing dientuti terus karo wong lio.
21)Wong sing KURANG KONTROL DIRI
Wong sing nek ngentut mesthi katutan ampase.
22)Wong sing ORA IKHLAS
Nggak mambu entute dewe, wong liya sing mambu muring- muring.
23)Wong sing GEMI
Wong sing menowo ngentut, metune swara entut di endat- endat dadi ping 7.
24)Wong sing SOK AMAL
Wong sing menowo ngentut, metune di brolno, sak ampase.
25)Wong RA NGGENAH
Angger ngentut silite ditempeli terompet, ben samsaya banter swarane.
26)Wong RA UMUM
Yen ngentut dilagokake.
27)Wong PENSIUNAN PRAJURIT
Yen ngentut dipenggak-penggak, kareben swarane kadya unining bedil.
28)Wong RA SABARAN
Wis ngueden methuthut ra muni entute malah bole sing metu.
29)Wong SOLO/YOGYA (mohon maaf untuk yang sering ke Solo!)
Entute aluun banget, dawa lan sajak ndandang gulo.
30)Wong RADUWE GAWEAN
Ndiskusekake soal entut (kayata sing maca).
Tambahan:
Wong GENDHENG:
Wong sing ngamati ciri-cirine wong liya saka carane ngentut!!























Mengapa Banyak Pelajar Gagal Ujian?

Tahukah Anda, setahun itu hanya terdapat 365 hari? Yang kita tahu sebagai tahun akademik siswa... Kita hitung!

Hari Minggu, 52 hari dalam setahun. Anda pasti tahu kalau hari minggu adalah untuk istirahat. Hari tersisa tinggal 313.

Hari Libur (Nasional maupun Internasional), tak kurang dari 13 hari Libur setahun. Hari tersisa tinggal 300.

Liburan Sekolah, jelas semua siswa akan berlibur dan tidak akan belajar. Biasanya sekitar 2 bulan lebih, anggaplah sekitar 60 hari. Hari tersisa tinggal 240.

Tidur 8 Jam sehari untuk kesehatan, berarti 120 hari terpakai. Hari tersisa tinggal 120.

Tentu kita beribadah kan? paling tidak 1-2 jam kita beribadah, kita alokasikan 25 hari dalam setahun. Hari tersisa tinggal 95.

Bermain, yang juga baik untuk kesegaran dan kesehatan, paling tidak memerlukan 1 jam sehari. Terpakai lagi 15 hari. Hari tersisa tinggal 80.

Makan, paling tidak selama satu hari kita habiskan 2 jam untuk makan/minum, hilang lagi 30 hari. Hari tersisa tinggal 50.

Jangan lupakan, Manusia adalah makhluk sosial, butuh berinteraksi dengan orang lain, kita ambil 1 jam perhari untuk berbicara. 15 hari terpakai lagi. Hari tersisa tinggal 35.

Kita pun bisa sakit, paling tidak 5 hari dalam setahun, sudah cukup mewakili. Hari tersisa tinggal 30.

Ujian itu sendiri biasanya dilaksanakan selama 2 minggu per semester, berarti 24 hari sudah teralokasi untuk ujian. Hari tersisa tinggal 6.

Nonton dan jalan-jalan paling tidak 5 hari dalam setahun. Hari tersisa tinggal 1 hari.

Satu hari yang sisa itu kan HARI ULANG TAHUN! "KAPAN BELAJARNYA???"

"GIMANA MAU LULUS???"

AKHIR MASA

Cerpen
M.Yunis


Rinai masih enggan berhenti membasuh luka-luka Ibu pertriwi. Ya aku tau, hari ini ujung Desember semakin tua, kata orang pada tahun ini segala puncak kejenuhan dilampiaskan, sebagian bilang tempat perhentian terakhir pernak-perniknya dunia, dan bermacam kisah banyak terlahir di ujung Desember, dulu pernah terkenal dengan Desember kelabu, atau hujan di awal Desember, aku kira mempunyai makna yang kurang lebih sama.
Ya! di Ujung Desmber ini gemuruh rintih-rintihan memanggil sepasukannya untuk segera pulang kandang, suatu petanda bahwa hujan akan berhenti atau sekurang-kurangnya istirahat sejenak.
Di ujung Desember ini suara burung geraja tidak lagi tedengar, dua hari yang lalu masih kulihat bertengger di pohon dekat bangunan tua itu, burung geraja juga senang membuat sarang pada puncak-puncak pepohonan yang mati, di samping bangunan tua itu tertancap dua batang pohon ampalan dan satu pohon jambu yang baru saja mati pucuk, hidup malu mati tidak bisa, ya! kemaren aku melihat petir menyambar ketiga pohon jam satu lewat lima menit jumat siang. Setahuku, selama sarang-sarangnya masih ada, burung gereja itu sangat senang berputar-putar di sekitar bangunan. Tapi, aku tidak tau pasti penyebab sarang-sarang itu berserakan 10 meter dari pepohonan. Aku terus berpikir, mungkin burung-burung itu berpindah sarang atau mebuat sarang baru.
Dalam keterpanaan itu, rasa penasaran memboyongku ingin masuk ke dalam bangunan itu, ku perhatikan tonggak-tonggak yang dipenuhi ukiran kaluak paku, agak ke dalam terlihat ukiran tan tandu bararak juga dilengkapi dengan pucuak rabuang, tapi sayangnya ukiran-ukiran itu tidak seperti aslinya sejak dipenuhi boran-boran kecil di sana-sini, namun kelihatannya masih mampu menahan gonjong-gonjong yang runcing di atas. Bangunan itu bisa dibilang tidak terawat, atapnya saja sudah diakari lumut-lumut liar, tapi kokohannya yang mengonjong itu masih sisakan harapan hidup seribu tahun lagi walau segunduk beban mengakar kuat dan tidak juga mau sirna. Setelah igauku tersadarkan, rasa takjub seketika datang, detik-detik selanjutnya aku memilih mengelilingi gangunan itu. Pada bagian belakang bangunan tercermin apik seniman terdahulu, 20 tonggak menjadi sendi berdiri kekokohan, mungkin tonggak-tonggak itu terbuat dari pohon jati atau mahoni, bagian bahawahnya dilengkapi dengan batu landasan, memang bentuknya agak kasar tapi sepertinya telah menyatu dengan tonggak-tonggak itu. Wah! sungguh megahnya bangunan ini dulu, seandainya aku hidup lebih awal tentunya aku tidak mau ketinggalan untuk belajar membuat ukiran sehingga aku dapat mengukir sejarah kebudayaan ini. Ya! aku ingat apa yang dibilang Amak, ‘’di kampung kita ini adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’’. Apakah mungkin ini yang dimaksud Amak. Rumah dan ruangannya bisa menjadi sebuah perumpamaan dari adat, tapi sekarang mulai reot. Sementara 20 tonggak ini perumpamaan dari syarak dan batu-batu itu sebagai perumpamaan kitabullalh. Antara tonggak dengan batu terlihat menyatu, mungkin sudah terlalu lama dibiarkan membatu, antara batu dan tonggak sudah sejenis, tonggak seperti batu dan batu seperti tonggak. Aku jadi bingung sendiri, kuberusaha mencari kesimpulan dadakan sambil ngomong sendiri dan berputar-putar arah. Ya! aku ngerti sekarang, adat seperti yang dimaksud Amak itu ditopang oleh agama dan Alquraan sebagai kunci. Oh..bukan! yang dimaksud Amak kitabullah, tidak mungkin Alquran sebab setahuku kitabullah ada 4 buah atau kitab yang empat sepertu taurat, zabur, injil sudah terdapat di dalam Alquraan, jadi kitabullah yang dijadikan perumpamaan. Ya! mungkin itu makasudnya. Tapi kok aneh, tonggak dan landasannya masih kokoh tapi bangunnannya semakin renta ditutup sejarah, jika kuperhatikan tidak ada kerja sama yang baik antara atap dengan bangunan, apa lagi antara bangunan dengan tonggak-tonggak itu. Mungkin lebih baik atap langsung saja berada di atas tonggak-tonggak tanpa bangunan dengan begitu kelihatan satu cita-cita, tapi apa jadinya?
Ah..aku pikir lebih baik memasuki ruangan-ruangan di dalam bangunan itu terlebih dahulu agar tanda tanya-tanda tanya yang menghantui terjawab. Semenit kemudian kudapati diriku sudah berada di dalam, seketika tercium aroma alam, sebab sedari tadi perhatianku tidak luput dari keagungan seni yang terdapat di dinding ruangan yang kukira tidak jauh berbeda dengan 2 tongak besar yang berada di pintu masuk tadi. Aku semakin takjub saja, di saat menyaksikan 9 bilik besar melengkapai ruangan tengah. Tapi ruangan-ruangan itu untuk apa dan menyimpan apa? Sepertinya pintu-pintu bilik itu sudah lama tidak dibuka, debu yang berasal dari serpihan-serpian kayu membuatku lebih yakin, lagi pula pada bagian langit-langit tergantung sebuah benda sebesar nyiru, ya! aku tahu itu sejenis serangga setengah mematikan, jika kita digigit badan bisa gemuk dalam sehari. Di sudut rungan terlihat sepasukan kalong bergantungan, rasa letih di malam hari membuatnya kehilangan umur di siang hari, ya! raja-raja malam itu tidak sadar dengan kehadiranku, kalau saja ia terbangun mungkin serangan-serangan fajar akan merobek-robek kesempatanku, aku berusaha lebih-hati hati, lagi pula pengalamam mengendap-endap sudah kuwarisi sedari kecil, saat itu aku berusia 10 tahun, Amak memarahi aku karena aku memecahkan piring nasi, sudah sifatku jika Amak marah akunya pergi dari rumah, kejadian itu diawali jam 12 siang, kata Amak sedang tengah hari jangan kejar-kejaran di dalam rumah, tapi aku tidak mengacuhkan peringan Amak hingga aku menginjak piring, pecah tiga sama besar, belum sempat membilang kata ‘aduh’ mendaratlah ikat pinggang di punggungku yang sepertiga telanjang. Sejak kejadian itu aku selalu murung dan malas makan nasi, padahal Amak sudah membujukku akan mau dibelikan baju baru. Saat malam hari tiba, mataku yang sipit tidak juga terpejam, jam 10 malam aku pergi dari rumah, aku gunakan ilmu mengendap yang kupelajari saat main lakon, surau adalah tempat pelarianku, di surau banyak teman-teman sejawat. Rupanya kemarahan Amak membuatku absen dari keseharian surau. Asyiknya suasana surau kami ketika itu, di sana setelah belajar Alquran, kami belajar silat, pasambahan dan mamangan adat, setelah itu kami bermain lakon hingga main galah. Sekarang, kegiatan ini tidak ada lagi di kampung kami, surau-surau sekarang hanya dihuni oleh pemuda-pemuda yang pulang dari acara orgen tunggal, tapi aku kurang suka dengan pemuda-pemuda itu sebab di pagi hari aku terpaksa membenci surau itu, muntah-muntahan pemuda itu membuatku muak. Aku jadi malas menjenguk kampung halaman yang satu ini, di saat libur kulih pun aku lebih memilih di kosan atau cari kesibukan dalam oragnisasi Mahasiswa di Padang, jika tidak terpakaa atau disuruh Amak pulang, aku tidak pulang. Persoalan biaya tambahan harian kurasa terpenuhi oleh honor tulisan-tulisanku di koran-koran lokal yang terbit di Padang, lumayan buat jajan atau pacaran.
Ya! aku juga ingat, dulu kami pernah main umpat-umpatan dalam bangunan ini, namanya sepak tekong, aku sembunyi di rungan tengah dan tertidur dalam ayunan suasananya yang masih nyaman di lantai papan tempat ku berdiri sekarang, kalau tidak salah jam 5 sore si Andi membangunkan aku, kutahu dia teman baikku, ya! sudah pasti Andi mencariku jika aku tidak dijumpainya di rumah, kata Amak sejak lonceng sekolah berbunyi aku belum mampir kerumah, Amak cemas, ya! aku lupa mengganti pakaian sekolah. Susah mencari teman sejatinya Andi zaman sekarang, sekarang Andi sudah jadi anak rantau yang berhasil membantu orangtuanya, wajar saja, sejak selesai SMP dia sudah mulai mencium keberhasilan itu di Kota Dumai, jika ada gunjingan atau cerita juragan besi tua yang sukses dialah temanku si Andi. Berbeda dengan aku, sikap keras kepala menuntunku ke bangku kuliah seperti sekarang. Tapi aku tidak seberuntung teman-temanku yang lain, di waktu aku lulus SPMB Amak sedang susah, dan terjadilah dosa itu, Amak terpaksa menggadai pusaka untuk keperluan pendidikan aku, sekarang aku tahu bahwa kegiatan menggadai itu tidak diperbolehkan di Ranah Minang, pusaka hanya boleh digadai jika ada 3 perkara: Pertama rumah gadang kebocoran, kedua anak gadis belum bersuami, dan ada kematian tapi biaya penguburan tidak ada. Jadi, tindakan Amak saat itu tidak termasuk salah satu kategori dari yang tiga di atas. Kupikir tidak terlalu berdosa menggadai pusaka karena pendidikan, kuyakin dosa itu terhapuskan jika Amak mampu menebus gadai itu kembali. Mungkin lebih baik dari pada menjual habis. Tapi aku heran, bangunan ini sudah lama kebocoran, kenapa belum juga diperbaiki, ah..itu tidak mungkin kukira, bangunan itu kepunyaan kaum suku jambak, kudengar kabar, dua tahun yang lalu pusaka-nya sudah habis terjual untuk pembangunan Bandara.
Penyesalan ini terlalu dalam bagiku, sejak aku mengetahui bahwa aku sudah bisa bernafas hingga sekarang, aku belum pernah tahu misteri di dalam 9 bilik itu, kuperhatikan pintu-pintunya selalu tertutup rapat hingga angin pun tidak bisa lewat, kunci gembok yang terpasang di bibir pintu itu telah mampu menutup sejarah, karatan dan membasi.. Aku terpaksa melakukan tindakan anarkis, kupukul saja gembok usang itu sampai lepas dari bibir pintu bilik, sekali pukul gembok itu lepas disertainya dengan robohnya konsen dan pintu, aku kaget, cemas, rasa ingin tahulah yang membuatku sekejam ini, tanpa menunggu detik kedua dari jam 4 lewat 10 menit, aku mulai daratkan langkah kaki perdana ke dalam bilik pertama. Astaga, rongsokan dan Alquran berserakan di lantai bilik, kira-kira 10 Alquran, bukan! 12 Alquran, kupungut, kulihat, kubaca, ternyata bukan Alquran tapi sebuah kitab atau sejenis catatatan bertulis tangan menggunakan huruf arab berbahasa Minang. Aku pernah belajar membaca huruf ini di semester 2, mata kuliah itu dinamakan dengan filologi. Ya! aku mengerti, ini adalah naskah-naskah kuno yang dimakasud dalam filologi itu, tergopoh-gopoh aku berpindah ke bilik sebelah, kurasakan suasananya sama dengan bilik pertama tadi, kali ini kutemukan 13 naskah kuno, sebagian dari naskah hangus seperti baru saja dibakar, 2 di antaranya bertuliskan huruf arab asli. Pada empat bilik yang lain juga aku temukan puluhan-puluhan naskah. Dua bilik yang tersisa dikunci oleh suara azan magrib, sesegera mungkin kualihkan perhatian menyususn naskah-naskah tersebut, kubaca permasing-masing judul di antaranya terdapat ajaran tarekat, ilmu mantik dan kitab pengobatan, 2 naskah di antaranya berisi ranji keturunan, entah ranji siapa tidak begitu jelas terbaca akibat kerusakan yang diderita naskah itu, lagi pula tidak mungkin lagi dibaca dengan mata fisik. Di sudut kiri bilik kudapati satu naskah yang berisi petunjuk-petunjuk hari.
Kurasa sudah dua jam lebih kuhabiskan waktu memungut ceceran naskah tadi, kuperbaiki pintu-pintu yang roboh walau tidak seperti sedia kala, dua tunjang ini mulai kugerakan sesaat setelah rasa letih seketika mampir, kuberharap sisa tenaga ini mampu membawaku hingga ke rumah, sesaat suara gemuruh kembali terdengar dan kampung tua itu kembali diguyur hujan lebat, petir bersahutan, berkat usaha maksimal setengah delapan kurang seperempat sampai juga di rumah Amak.
**
Waktu Isya terus merangkak naik, namun lamunan membuatku begitu hanyut, serasa jantung ini membesar, detakannya yang semakin cepat hingga melahirkan bising dan membuat mata ini sulit dipejamkan, aku sedih, gundah bercampur bimbang, nasib naskah-naskah tadi, padahal awalnya mau kubawa tapi niat itu terpaksa aku urungkan kembali saat petir pertama terjadi, entahlah saat itu sifat pengecutku tumbuh, takut terjadi yang Tuhan inginkan. Namun, firasatku mengatakan bahwa bangunan tua itu tinggal menghitung hari, mungkin seminggu atau sebulan, siapa peduli! Kabarnya tanah tempat berdiri bangunan itu akan disulap menjadi saluran irigasi, dua hari yang lalu aku saksikan pegawai pemrintahan sudah mengukur perkubik dari tanah-tanah itu, katanya mau diganti rugi permeter tanah yang terpakai. Tapi bangunan? naskah-naskah? adat ? Syarak? Bagaimana nasibnya?


**Alumni Sastra Daerah Minangkabau

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987