Selasa, 29 Juli 2008

PROKLAMASI 17-8-1945 ISI DAN PELAKSANAANNYA


Tan Malaka (1948)
Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Maret 2008)
Kepada Panitia Kongres Rakyat Indonesia Bulan December 1948
Salinan: TEMPAT, 16 December 1948

Yth. Saudara-Saudari: ABIKUSNO TJOKROSUYOSO, CHAIRUL SALEH, SUKARNI DLL. a/n Panitia “KONGRES RAKYAT INDONESIA” YOGYAKARTA
PANITIA YANG MULIA,
Sidang Yang Terhormat!
Bergembira bercampur sedih saya menerima surat undangan saudara Panitia dengan perantaraan Sekertaris Umum, Saudara Chairul Saleh tertanggal 10 Desember 1948, dimana disampaikan permintaan Panitia kepada saya pada KONGRES RAKYAT INDONESIA tanggal 24, 25, 26 Desember 1948 yang akan datang untuk mengadakan PIDATO PENGANTAR (Inleidingsrede) berhubungan acara KONGRES, yaitu:
"PROKLAMASI TGL. 17 AGUSTUS 1945, ISI DAN PELAKSANAANNYA"
Gembira akan lahirnya KONGRES RAKYAT INDONESIA, yang sudah lama ditunggu-tunggu itu. Tetapi sedih karena saya sendiri sangat berhalangan mengunjungi KONGRES itu untuk mengucapkan PIDATO PENGANTAR itu dan cuma dapat mengirimkan PIDATO TERTULIS kepada saudara-saudara, seperti saudara usulkan juga, untuk dibacakan nanti di dalam sidang KONGRES. Bagaimanapun juga, saya merasa lebih gembira daripada sedih, karena saya sedang berada dalam usaha menyelenggarakan SESUATU yang saya harap dan percaya akan menjadi sumbangan yang kuat bagi usaha saudara sekalian.
Tidak begitu saja, tetapi sebaliknya saya harap dan percaya pula, bahwa usaha saudara sendiri akan memberikan sumbangan kepada usaha saya. Dalam hal demikian itu, maka saya rasa, bahwa pada tempatnyalah saya mengucapkan diperbanyak terima kasih atas perhatian dan penghormatan yang saudara sekalian limpahkan atas diri saya dan pada waktunyalah pula saya membulatkan penghargaan supaya KONGRES RAKYAT INDONESIA yang sedang saudara sekalian persiapkan itu akan menjadi sumber kepercayaan, semangat, sikap serta tindakan bagi seluruhnya Rakyat/Murba dan Pemuda kita di seluruhnya kepulauan Indonesia ini, pada tingkat perjuangan yang akan kita naiki di hari depan ini.
Bahwa sesungguhnya, maka KONGRES RAKYAT INDONESIA yang sebenarnya mewakili seluruh Rakyat di seluruh Kepulauan Indonesia itu mengandung HAK MUTLAK untuk memproklamasikan dirinya ke seluruh masyarakat Indonesia sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berhak membentuk Dasar peraturan dan undang-undang bagi Revolusi Indonesia, membentuk Dewan (Parlement) Revolusi, serta membentuk Pemerintahan Rakyat dalam arti bahwa kehendak dan tindakan Rakyat yang semenjak 17 Agustus 1945 membela Revolusi itu.
Tetapi saya sungguh insyaf bahwa waktu-waktu buat segala persiapan; kesulitan perhubungan antara daerah dan daerah serta pulau dan pulau, kesempitan dalam hal berkumpul, bersidang dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan atau lisan di samping kekurangan backing di pihak kita buat mengatasi semuanya itu, maka saya sendiri akan dapat merasa puas, kalau kelak “KONGRES RAKYAT INDONESIA” bisa merintis jalan dan sungguh-sungguh dapat mempelopori KONGRES RAKYAT INDONESIA yang sebenarnya di hari depan, yang selekas mungkin harus diadakan.
PANITIA YANG MULIA!
Sidang Yang Terhormat!
Apakah soal yang kita hadapi Sekarang ?
Soal yang kita hadapi sekarang ialah soal kemungkinan yang berhubungan dengan putusan PEMERINTAH BELANDA, seperti yang telah diumumkan pada tgl. 11 bulan December 1948 ini, yakni kurang lebih tiga minggu saja sebelum janji yang harus ditepatinya pada tanggal 1 Januari 1949 yang akan datang.
Putusan tersebut berbunyi lebih kurang:
1. Perundingan Republik-Belanda, yang sudah berlaku 3 tahun, akhirnya diputuskan oleh BELANDA.
2. Selekasnya akan dibentuk SUATU PEMERINTAHAN INTERIN TIDAK DENGAN REPUBLIK.
Kemungkinan yang terpenting, yang akan menimbulkan soal terpenting pula harus kelak kita selesaikan dengan tenang, tepat dan cepat ialah:
1. Adanya perang kolonial kedua, yang dimulai dengan doorstaad sekonyong-konyong buat merobohkan Republik.
2. Tidak doostaad, tetapi blokade pencekik perekonomian serta infiltrasi diteruskan, buat diakhiri dengan ulitmatum.
PANITIA YANG TERHORMAT dan Mulia!
Sidang yang Terhormat!
Saya sendiri tentulah tidak heran tentangan PUTUSAN PEMERINTAH BELANDA serta kemungkinan yang kita akan hadapi itu. Bagi saya sendiri PUTUSAN Belanda yang sekian kali memperhatikan perundingan itu memangnya sudah diputuskannya dari bermula, sebelum dia hendak berunding.
Putusan memperhatikan perundingan itu adalah putusan yang sudah diputuskan terlebih dahulu.
Pula bagi saya sendiri kemungkinan doorstaad itu bukan lagi kemungkinan ini kali saja. Kemungkinan itu telah ada setelah Belanda kembali menginjak bumi Indonesia sesudah dihalaukan oleh Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Tetapi kemungkinan oleh doorstaat itu sering tidak memungkinkan oleh semangat perjuangan Rakyat Indonesia sendiri.
Berhubungan dengan putusan Belanda, yang sudah diputuskannya sebelum berunding itu, serta kemungkinan doorstaat, yang sering tak dimungkinkan oleh persatuan perjuangan rakyat, maka Belanda berunding untuk berunding yakni untuk mengulurkan waktu. Bukan untuk mendapatkan penyelesaian. Dalam waktu yang diulur-ulurkan itu maka Belanda berharap dapat melaksanakan maksud yang terselip dalam hati kecilnya, ialah:
Pertama:
Memperlemah Indonesia dengan jalan blokade ekonomi, menguasai export-import dan perusahaan penting di daerah pendudukan; mengacau-balaukan keuangan Republik; menjalankan “UITHONGERINGS POLITIK” terhadap daerah Republik yang berada dalam kekurangan makanan (daerah minus); mengadakan infiltrasi dalam semua jabatan pemerintahan, ketentaraan dan perekonomian;
Serta melakukan politik memecah belah dikalangan kita dan mendirikan pelbagai Negara Boneka menjalankan politik adu-domba dalam Partai, Serikat Kerja (Serikat Sekerja dan lain-lain organisasi).
Kedua:
Belanda mempererat/memperkuat dirinya sendiri dengan mengirimkan serdadu Belanda ke Indonesia dan memperalat bangsa Indonesia seperti bekas para HEIHO dan bekas polisi HINDIA BELANDA mengurus harta benda Rakyat Indonesia buat menjual/dijual di luar Negeri; memakai pelbagai jenis pengkhianat buat pemimpin bermacam-macam Negara Boneka dan melakukan infiltrasi dalam administrasi, ketentaraan, kepolisian, serikat sekerja, partai dan pemerintahan sendiri.
Ketiga:
Belanda berusaha keras membatalkan dan menghalangi, perhubungan dagang, sosial dan diplomasi antara Republik dan Luar Negeri, serta berusaha keras dengan segala kelicikannya menghambat perhubungan Republik dengan Negeri Luar sebagai negara Merdeka dengan Negara Merdeka; disampingnya itu Belanda berusaha pula menghapusi dunia dengan tafsiran bahwa perundingan Indonesia-Belanda adalah soal Internal-Affairs (urusan dalam rumah tangga) dan bahwa semata-mata polisionil actie atau urusan Perang saudara yang tak perlu dicampuri oleh UNO ataupun sesuatu negara Asing.
Keempat:
Belanda melakukan siasat “FAIT ACCOMPLI” ialah mengadakan sesuatu peristiwa yang boleh dipakai sebagai batu loncatan buat mengadakan aksi yang lebih tinggi. Demikianlah Belanda mengambil tindakan militer, ekonomi serta politik buat nanti dalam perundingan Belanda-Indonesia disodorkan kepada delegasi Indonesia sebagai suatu Bukti Nyata yang harus diakui syahnya sebagai hak-Belanda. Dengan siasat mengadakan FAIT-ACCOMPLI (nasi sudah jadi bubur) sebelum sedang atau setelah perundingan itu, dengan siasat memberikan modal-pendorong kepada Belanda, dalam hal militer, ekonomi dan politik pada perundingan yang akan datang (perundingan mana cuma untuk diperhatikan saja!) maka kita sudah sampai berada di pinggir jurang politik, ekonomi dan militer seperti sekarang ini.
PANITIA YANG MULIA!
Sidang Yang Terhormat!
Sejarah perundingan Belanda-Indonesia (setelah + tiga tahun lampau sebuah Organisasi seluruhnya Rakyat Berjuang, dilumpuhkan buat melanjutkan perundingan itu) adalah satu sejarah kesilapan.
Sejarah-penghinaan serta sejarah malapetaka bagi kita semuanya.
Perjanjian Linggarjati dipakai oleh Belanda sebagai “BATU LONCATAN” untuk loncat dari pengakuan atas pengembalian harta benda dan perusahaan Belanda (menurut fasal 14) sampai ke pengakuan kerja-sama dalam hal export-import, keuangan, perekonomian bahkan seterusnya sampai ke pengakuan Kerja-sama dalam urusan kemiliteran dan luar negeri, dimana kepentingan perdagangan Belanda bermaharaja-lela.
Istilah federasi dan dasar Demokrasi untuk menentukan status bagi sesuatu daerah di Indonesia dipakai oleh Belanda sebagai batu loncatan buat meloncat-loncat dari Negara Boneka Pertama ke negara Boneka kedua, ketiga, keempat sampai ke ………ke sekian!
Pengakuan atas Mahkota Belanda, dipakainya pula sebagai batu loncatan buat memindahkan beberapa kekuasaan terpenting kepada recele Unie (Nederland-Indonesia), yang mempunyai Bindend gezag dan untuk membagi-bagi kekuasaan NIS itu diantara beberapa negara Boneka. Diantara pelbagai Negara Boneka itu tentulah dimaksud juga oleh Belanda Negara Republik, yang sudah mengakui Mahkota Belanda, menurut fasal 8 perjanjian Linggarjati itu.
Setelah tafsiran Linggarjati habis dipertengkarkan, setelah laskar Rakyat Jakarta Raya diserbu dan dilucuti oleh tentara Republik pada pertengahan bulan April tahun 1947, setelah tentara Belanda sudah siap berkumpul di depan Rakyat Indonesia yang lama tertipu dan dunia Internasional, yang di-nina-bobokan oleh persetujuan Belanda-Indonesia, yang sudah dicapai/tercapai itu, maka Belanda mengadakan WAHDELMARS dari Jakarta sampai ke Cirebon, dari Bandung ke Purwokerto, terus ke Gombong beserta WAHDEMARS yang dilakukannya dari Surbaya, Malang dan lain-lainnya di Jawa Timur. Demikian adem-pauze yang diberikan oleh perundingan Indonesia-Belanda selama lebih dari pada satu tahun lamanya itu dipakai oleh Belanda buat meloncat-loncatkan tentaranya dari Nederlands ke Indonesia dan dari tempat ke tempat di kepulauan Indonesia yang sudah merdeka 100% pada waktu Proklamasi 17 Agustus 1945 itu.
Setelah perjanjian Renville tercapai 1 Januari 1948 dan setelah diplomasi Belanda berhasil mengosongkan Kantong di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan ujung lidah saja, maka dengan memakai siasai “FAIT ACCOMPLI” dalam militer, ekonomi dan politik sambil merobek-robek dan memutar-balikkan perjanjian yang dibikinnya sendiri, maka kita sampai kepada perundingan terakhir ini dan mudah diputuskan baru-baru ini.
Ringkasnya: dalam perundingan terakhir ini siasat lama terus dijalankan, ialah perundingan dilakukan buat diperhentikan.
Disamping itu tujuan lama tetap dijalankan ialah memasukan Republik ke dalam jajahan Hindia Belanda dalam corak dan nama baru.
Pemerintah Interin Federal dimana Gubenur Jenderal bertukar corak dan nama menjadi Komisaris Tertinggi seperti yang diusulkan oleh Belanda dan mulanya dalam garis besarnya disetujui oleh Drs. Moh. Hatta (lihat Aide Memoire) tetapi yang ditolak oleh rakyat; seterusnya Negara Indonesia Serikat dikelak kemudian hari itu di bawah Recel Uni Nederland-Indonesia tak lebih dan tak kurang dari pada satu jajahan “Nieuwe Stijl”.
Sekian dalam garis besarnya pelaksanaannya Proklamasi tgl. 17 Agustus 1945 seperti sudah terbentuk dalam persetujuan Linggarjati sebagai usahanya Sutan Syahrir, kemudian dalam perjanjian Renville, sebagai usaha Amir Syarifuddin dan terakhir ini seperti yang terbayang dalam Aide Memoire sebagai hasil daya upayanya PM. Hatta yang gagal.
PANITIA YANG MULIA!
Sidang Yang Terhormat!
Kami tiada terkecut atau heran melihat hasil yang diperoleh dengan jalan perundingan itu! Dari semulanya sudah kami perhitungkan hasil yang mungkin diperoleh dengan jalan perundingan seperti yang sudah dilakukan oleh Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin dan Hatta itu.
Bukan kami tiada percaya kepada semua jenis perundingan. Kami tahu juga bahwa satu kali kita berunding dengan membuat perjanjian dengan negara luar manapun juga. Tetapi kami mau berunding dengan atas syarat yang pasti dan dipastikan serta diterima oleh pihak lain lebih dulu.
Kami menolak perundingan yang tiada berdasarkan hak mutlak Rakyat Indonesia, seperti hak atas kemerdekaan, hak atas pembelaan diri dan hak atas kehormatan sebagai Negara Merdeka.
Kami menolak berunding dengan Belanda, karena Belanda hanya akan berunding untuk berunding, untuk mengulur-ulur waktu saja. Karena buat Belanda Involeren, alles verloren en Indie is kurk waarop Nederlans welvaart drijf.
Dengan pengakuan pemulihan semua harta-benda Belanda maka dengan kurk, waarop Nederlands Welvaart drijf itu (basung, di atas terapungnya kemakmuran Belanda itu) akan bertolak malapetaka buat Belanda dan akan kembalilah Indonesia menjadi sapi perahan Belanda dalam corak dan status yang baru.
Sifat kerja sama dengan Belanda semestinya tak lebih dan tak kurang dari kerja-sama Indonesia dengan Negara manapun juga di dunia ini.
Ini berarti pengakuan lebih dahulu atas kemerdekaan 100 % Indonesia, ialah merdeka bagi seluruh kepulauan Indonesia, ialah merdeka bagi penduduk yang 70 juta dan merdeka untuk menentukan arah, sifat dan urusan perekonomian, keuangan, kemiliteran, politik luar Negeri serta kebudayaan Indonesia.
PANITIA YANG TERHORMAT!
Sidang Yang Terhormat!
Inilah artinya isi Proklamasi 17 Agustus, 100 % kemerdekaan dalam memiliki dan mempergunakan semua sifat dan hak dalam faham kenegaraan. Kemerdekaan 100 % itu sudah lepas dari kungkungannya yang dipaksakan atas bangsa Indonesia.
Kemerdekaan 100 % itu tetap menjadi hak mutlak Bangsa Indonesia juga diwaktu terhimpit oleh Kapitalisme-Imperialisme Asing selama tahunan.
Dengan meletusnya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 maka terlepaslah Dewi Kemerdekaan Indonesia dari belenggunya dan terlepaslah semua yang menghimpitnya selama 350 tahun itu.
Sendirinya semenjak 17 Agustus itu kemerdekaan 100 % itu kembali menjadi SUMBER segalanya macam kekuasaan Bangsa Indonesia dalam politik-diplomasi, perekonomian-keuangan, sosial-kebudayaan dll.:
Kembalilah kedaulatan Bangsa Indonesia ke tangannya sendiri.
Pemindahan seluruh atau sebagianpun dari kemerdekaan/kedaulatan Rakyat Indonesia itu ke tangan Asing dengan maksud dan alasan manapun juga walaupun selama satu menit saja dan membagi-bagi kemerdekaan/kedaulatan bangsa Indonesia diantara Bangsa Indonesia dengan bangsa lain manapun juga adalah sesuatu pelanggaran atas proklamasi itu bahkan sesuatu pengkhiatan terhadap Proklamasi yang sudah dibela oleh Rakyat/murba dan Pemuda Indonesia dengan pengorbanan harta benda dan jiwa raganya sendiri.
Kemerdekaan sesuatu bangsa adalah “UNALIENNABLE” (tak boleh dipindahkan ataupun dibagi-bagi).
Bukanlah kemerdekaan 100 % itu sesuatu “hasrat atau cita-cita” lagi bagi Rakyat Indonesia yang sudah diperoleh dengan pengorbanan yang tiada bisa ditebus atau dibatalkan lagi oleh perjanjian apapun dan oleh siapapun juga.
PANITIA YANG MULIA!
Sidang Yang Terhormat!
Bagi kami sendiri sikap serta tindakan yang harus kita ambil terhadap perundingan dengan Belanda serta kemungkinan doorstaad itu sudah kami putuskan tiga tahun lampau, pada saat Belanda kembali menginjak bumi Indonesia kita ini.
Sikap dan tindakan itu sekarangpun sedikitpun kami tiada merasa perlu membatalkan atau merubahnya:
Kalau sang gerilya Jawa Barat belum mendapatkan pelbagai pusat pertahanan seperti sekarang; jika sang Gerilya Jawa Timur belum berusaha keras mendapatkan pelbagai pusat pertahanan pula seperti sekarang ini; jikalau akhrnya Jawa Tengah belum pula lagi bergerak memperlengkapi penyerbuannya Sang Gerilya buat seluruh Jawa seperti kini, maka kami umumnya dan saya sendiri yang hitam atas putih semenjak permulaan Revolusi sudah memajukan siasat-gerilya itu akan terpaksa bersikap menunggu-nunggu dan menciptakan (mencipta-berteori saja).
Tetapi dengan bangunannya kembali, atas kekuatannya sendiri Laskar Rakyat Jawa Barat, yang dipukul sehebat-hebatnya pada bulan April tahun 1947, maka tujuh bulan lampau dengan lebih-pasti lagi saya menguatkan pendirian saya dengan menuliskan pendapat saya tentangan senjata kita dalam perjuangan Kemerdekaan ini dalam risalah bernama Sang Gerillya dan Gerpolek.
Dengan siasat ber-gerilya atas kemiliteran, politik dan ekonomi di seluruh kepulauan Indonesia, disamping siasat Aksi Murba teraturlah kita akan dapat mengusir imperialis manapun juga yang berbicara dan bercorak apapun juga dapat juga dari pantai laut dan Udara Indonesia ini dan dengan jalan demikianlah kita dapat melaksanakan ISI Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Tetapi untuk memelihara dan mempertebal keyakinan dan tekad para anak-prajurit kita, maka menurut pikiran saya, haruslah kita para pemimpin sendiri lebih dahulu dengan sungguh-ikhlas mengambil pelajaran dari perundingan-Indonesia (perundingan Indonesia-Belanda) selama tiga tahun ini dan membulatkan perhatian dan usaha kita kepada sikap dan tindakan: BERUNDING ATAS PENGAKUAN KEMERDEKAAN 100 % SESUDAH TENTARA ASING MENINGGALKAN PANTAI DAN LAUTAN INDONESIA!
Panitia Yang Mulia!
Sidang Yang Terhormat!
Hendaknya kita sendiri jangan goncang bimbang memegang sikap semacam itu. Hendaknya di hari depan kita jangan lagi dapat ditipu dengan pemerintah seperti perintah genjatan senjata, Pengosongan kantong dan penarikan tentara ke garis belakang dan lain-lain, karena semuanya perintah semacam itu cuma tipu muslihat Belanda saja buat mengulur waktu dalam maksudnya membatalkan Proklamasi 17 Agustus dan mengembalikan status penjajahannya.
Hendaknya Kongres ini memusatkan perhatian serta usahanya disekitar soal yang merintis saja, buat membulatkan tenaga menentang doorsaat seperti soal:
1. mobilisasi dan persenjataan umum.
2. pembagian makanan-pakaian kepada rakyat.
3. melaksanakan Demokrasi.
4. dan lain-lain sebagainya.
Hendaknya kongres memusatkan perhatian dan usahanya, supaya selekas mungkin dapat mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang sesungguhnya yang mewakili tiap-tiap Daerah Gerilya di kepulauan Indonesia sendiri, dalam keadaan manapun dan diwaktu bilapunjuga.!
PANITIA YANG MULIA!
Sidang Yang Terhormat!
Dengan ini saya takjub menundukkan kepala menghadap kepada saudara pemimpin Kongres Rakyat Indonesia sambil membulatkan dan memusatkan pengharapan saya:
Supaya, pertama dengan segera dapat dipersatukan semuanya tenaga yang ikhlas berjuang berkorban.
Supaya, kedua dengan cepat, tegas dapat dibersihkan semua pengacau pengkhianat di tengah kita.
Supaya, ketiga dengan cepat atau lambat serdadu Belanda yang terakhir dapat dihalaukan ke laut.
Supaya, keempat ISI kemerdekaan 100 % dapat diselenggarakan dan
Supaya, kelima dengan demikian Proklamasi 17 Agustus dilaksanakan.
Akhirul kalam, saya membulatkan pengharapan, supaya dalam Kongres Rakyat Indonesia ini terdapat suasana saling percaya-mempercayai serta suasana keikhlasan memberi dan menerima buat mendapatkan KATA SEPAKAT, yang akan dilaksanakan dengan segala kejujuran, ketaatan dan kebijaksanaan sambil mengatasi semua ragam PROVOKASI dari pihak musuh dan kaki tangannya sudah terlampau banyak dan aman berada ditengah-tengah kita.
Sekian! Selesai
SELAMAT BERKONGRES!
M E D E K A!!!!!
(TAN MALAKA)

Pramudya Ananta Toer


Sastrawan
Daftar isi

* 1 Masa kecil
* 2 Pasca kemerdekaan Indonesia
* 3 Penahanan dan masa setelahnya
* 4 Kontroversi
* 5 Masa tua
* 6 Berpulang
* 7 Penghargaan
o 7.1 Lain-lain
* 8 Bibliografi
* 9 Buku tentang Pramoedya dan karyanya
* 10 Lihat pula
* 11 Referensi
* 12 Pranala luar

Jumat, 25 Juli 2008

DAFTAR TULISAN PRAM

• Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
• Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
• Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949
• Keluarga Gerilya (1950)
• Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
• Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
• Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
• Bukan Pasarmalam (1951)
• Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
• Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
• Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
• Gulat di Jakarta (1953)
• Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
• Korupsi (1954)
• Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
• Cerita Dari Jakarta (1957)
• Cerita Calon Arang (1957)
• Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
• Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
• Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
• Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
• Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
• Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
• Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
• Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
• Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
• Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
• Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
• Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
• Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
• Arus Balik (1995)
• Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
• Arok Dedes (1999)
• Mangir (2000)
• Larasati (2000)
• Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)

Selasa, 22 Juli 2008

CPNS KPK

CPNS KPK 2008; Lowongan Pegawai Negeri Sipil Komite Pemberantasan Korupsi
February 21, 2008

Dibutuhkan lebih dari sekedar TEKAD untuk memberantas korupsi di Indonesia…

Indonesia memanggil Warga Negara Indonesia yang memiliki integritas dan komitmen tinggi untuk bergabung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengisi posisi-posisi jabatan berikut :

KELOMPOK STRUKTURAL
Deputi PIPM (S001)
Direktur Penelitian dan Pengembangan (S002)
Kepala Biro Hukum (S003)

KELOMPOK FUNGSIONAL
Analis LHKPN (F001)
Pemeriksa Gratifikasi (F002)
Spesialis Penelitian dan Pengembangan (F003)
Spesialis Deputi Penindakan (F004)
Computer Forensic Coordinator (F005)
Information Analyst (F006)
Spesialis Jejaring Informasi (PJKAKI) (F007)
Internal Auditor (F008)
Penelaah Pengaduan Masyarakat (F009)
Spesialis Hukum (F010)
Spesialis Hukum Perlindungan Saksi (F011)
Koordinator Pelayanan Internal (F012)
Spesialis SDM (F013)

KELOMPOK TEKNIS
Administrasi Keuangan (T001)
Staf Persidangan (T002)
Surveillance Officer (T003)
Interception Officer (T004)
Computer Forensic Officer (T005)
Acquisition and Implementing Staff (T006)
Web Staff (T007)
Telecommunication Administrator (T008)
Administrasi Hukum (T009)
Penjaga Tahanan (T010)
Koordinator- Integrated Security System-ISS (T011)
Koordinator M/E Gedung (T012)
Administrasi Pengelolaan Asset (T013)
Administrasi Pengadaan Barang dan Jasa (T014)

KELOMPOK ADMINISTRASI
Sekretaris Deputi (A001)
Administrasi Pemeriksaan LHKPN (A002)
Administrasi Pencegahan (A003)
Administrasi Kampanye Sosial (A004)
Administrasi Kesekretariatan (A005)
Administrasi SDM (A006)

PERSYARATAN UMUM :

1. Pendidikan
* Minimal S1 untuk Deputi//Direktur/ Kepala Biro
* Minimal S1 untuk kelompok pekerjaan Fungsional
* Minimal D3 untuk kelompok pekerjaan Teknis dan kelompok pekerjaan Administras
2. Batas Usia
* Minimal 45 tahun untuk Deputi dan 40 tahun untuk Direktur dan Kepala Biro, maksimal 52 tahun untuk Deputi/Direktur/ Kepala Biro per 30 April 2008.
* Maksimal 40 tahun untuk kelompok pekerjaan Fungsional (kecuali jka ada persyaratan khusus untuk posisi tertentu) per 30 April 2008.
* Maksimal 35 tahun untuk kelompok pekerjaan Administrasi dan kelompok pekerjaan Teknis (kecuali jka ada persyaratan khusus untuk posisi tertentu) per 30 April 2008.
3. Mampu mengoperasikan komputer dan aplikasinya
4. Diutamakan lancar berbahasa Inggris lisan dan tulisan
5. Tidak buta warna
6. Bersedia mengikuti seluruh proses seleksi di Jakarta, biaya dari dan ke tempat seleksi menjadi tanggungan peserta.
7. Tidak dalam status Pegawai Negeri/PNS/CPNS
8. Tidak memiliki hubungan keluarga (suami/istri, orangtua/mertua, anak/menantu) dengan pejabat/pegawai KPK.

PERSYARATAN KHUSUS UNTUK SEMUA JABATAN :

1. Memiliki integritas tinggi, dedikasi, dan komitmen yang tinggi
2. Bersedia bekerja dalam situasi penuh tekanan dan tantangan
3. Enerjetik, penuh kegigihan, dan mampu bekerja mandiri maupun dalam tim
4. Memiliki inisiatif tinggi, mempunyai pengendalian diri yang baik, dan wawasan yang luas
5. Menyukai pekerjaan yang beragam dan detail untuk kelompok pekerjaan Fungsional
6. Tekun dengan ketelitian yang tinggi

KETENTUAN LAIN :

1. Aplikasi lamaran hanya melalui on-line (klik link registrasi on-line di bagian bawah spesifikasi jabatan). Tidak ada jalur lain yang digunakan untuk pengiriman lamaran.
2. Pelamar wajib memiliki alamat e-mail pribadi yang masih aktif untuk dapat mengikuti proses seleksi ini. Kami tidak melayani alamat e-mail yang salah input oleh pelamar. Pelamar dilarang menggunakan alamat e-mail kantor atau orang lain untuk proses pendaftaran ini.
3. Setelah mengisi formulir aplikasi dan mengirimkannya kembali secara on-line, pelamar akan mendapat konfirmasi registrasi. Konfirmasi tersebut berisi nomor registrasi yang akan digunakan selama proses seleksi. Anda tidak dapat menerima e-mail registrasi apabila alamat e-mail yang anda input salah dan atau sudah tidak aktif, sehingga anda tidak bisa log-in untuk pengumuman selanjutnya.
4. Pelamar hanya diperkenankan melakukan satu kali registrasi on-line dan hanya untuk satu posisi saja.Untuk itu pastikan Anda telah memilih Posisi Jabatan yang sesuai, serta menuliskan semua data dengan benar, sebelum menekan tombol KIRIM
5. Pelamar wajib mengisi aplikasi dengan data/informasi yang sebenar-benarnya karena data ini akan diklarifikasi dengan benar saat pelaksanaan verifikasi dokumen.
6. Masa waktu registrasi on-line adalah 16 Februari 2008 s/d 2 Maret 2008.
7. Aplikasi yang masuk setelah batas akhir registrasi dan atau tidak melamar secara on-line, dianggap tidak berlaku.
8. Keputusan hasil seleksi bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
9. Pada setiap tahapan seleksi, hanya pelamar yang dinyatakan lulus melalui pengumuman di website KPK dan website PPM yang akan dihubungi oleh Konsultan Independen untuk masuk ke tahap seleksi berikutnya.
10. Pelamar tidak diperkenankan untuk menghubungi pejabat/pegawai KPK dan/atau datang ke KPK.Pelamar hanya diperkenankan datang ke KPK pada saat wawancara akhir oleh pihak KPK. Pelamar yang menghubungi/ mendatangi KPK selain pada waktu tes dinyatakan gugur.
11. Proses rekrutmen dan seleksi ini tidak dikenakan biaya apapun.
12. Pengumuman hasil seleksi administrasi dan pelamar yang berhak mengikuti seleksi selanjutnya dapat dilihat di website www.ppm-rekrutmen. com mulai tanggal 12 Maret 2008, pukul 18.00 WIB

PENTING UNTUK DIPERSIAPKAN :

1. Bagi Anda yang kemudian dinyatakan lolos seleksi administrasi, akan diminta hadir pada Tes Tahap I di lokasi dan waktu yang akan ditetapkan dengan membawa dokumen dan kelengkapan sebagai berikut:
1. Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku, asli dan fotocopy
2. Fotocopy ijazah yang sesuai dengan persyaratan pendidikan dan telah dilegalisir oleh pejabat berwenang
3. Fotocopy transkrip nilai yang telah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang
4. Fotocopy sertifikat keahlian lainnya yang relevan
5. Data Riwayat Hidup yang harus didownload dari website www.ppm-rekrutmen. com setelah Anda log in, data riwayat hidup yang telah diisi diserahkan dalam bentuk print out
6. artu Peserta Seleksi yang harus didownload dari website www.ppm-rekrutmen. com setelah Anda log in. Mohon dilengkapi dan diserahkan dalam bentuk print out
7. Pas Foto Berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 lembar
8. Fotocopy Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang masih berlaku bagi pekerjaan yang mempersyaratkan kemampuan mengemudi.
2. Seluruh berkas dimasukkan ke dalam map folio, yang sudah dituliskan nama dan nomor registrasi Anda dengan ketentuan :
1. Map merah untuk kelompok pekerjaan struktural
2. Map hijau untuk kelompok pekerjaan fungsional
3. Map kuning untuk kelompok pekerjaan teknis
4. Map biru untuk kelompok pekerjaan administrasi
3. Mohon mempersiapkan seluruh dokumen dengan lengkap dan benar. Jika ditemukan ketidaklengkapan dokumen dan/atau ketidaksesuaian data pada dokumen dengan berkas lamaran, Anda akan dinyatakan gugur pada Tes Tahap I

CPNS BULOG

Kami membuka kesempatan bagi para lulusan Diploma III (D3), Sarjana (S1) dan Pasca Sarjana (S2) dari beberapa disiplin ilmu untuk bergabung dengan Perusahaan Umum (Perum) BULOG dan ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia.

Pendaftaran lamaran kerja akan dilakukan dengan cara ONLINE melalui website ini.

Sebelum mendaftarkan diri, calon pelamar terlebih dahulu harus membaca dan memahami prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan, serta mencocokkan tingkat dan bidang pendidikan yang dibutuhkan.

Kebutuhan berdasarkan penempatan dan bidang pendidikan yang ditetapkan bagi calon pelamar adalah sebagai berikut : ......klik detil

Persyaratan administrasi yang ditetapkan bagi calon pelamar adalah sebagai berikut : ......klik detil

Pendaftaran ini hanya dapat diakses selama 10 (sepuluh) hari mulai tanggal 17 Juli 2008 s/d 26 Juli 2008.
Catatan

Informasi resmi yang terkait dengan proses pelaksanaan rekruitmen hanya dapat diakses melalui website ini.

Berkas lamaran yang telah dikirimkan kepada Perum BULOG sebelum pengumuman ini, dianggap tidak berlaku dan tidak dapat diminta kembali.

Perum BULOG tidak melayani komunikasi selain melalui website ini dan tidak dipungut biaya.

Perum BULOG tidak bertanggung jawab atas pungutan atau tawaran berupa apapun, sehingga peserta diharapkan tidak melayani tawaran-tawaran tersebut oleh oknum-oknum yang mengatas-namakan Panitia.

Terima kasih.

Senin, 14 Juli 2008

ORANG MINANG YANG HIDUP DI DUA ALAM

Oleh M.Yunis

Sekilas melirik pariwisata di Sumatra Barat, dan kita awali dengan menelusuri sekitaran pantai padang, kita akan melihat susunan kursi yang berjejer tertata rapi yang sengaja ditata berpasang-pasangan. Fisilitas tersebut bukan digunakan untuk acara seminar ataupun menyambut tamu yang datang dari jauh. Kursi-kursi itu adalah milik para pedagang-pedagang kecil yang mengais rezeki di pinggiran pantai padang. Di saat matahari sudah condong pentanda sore hari akan menjelang, kemudian secara berangsur-angsur dan nyata kita akan saksikan para muda mudi sedang duduk bersantai bersama pasangannya pada kursi-kursi yang telah disediakan tadi, ada pula di antara mereka asyik bercumbu dan berpelukan, semenit kemudian datang para pengamen yang setengah memaksa yang melantunkan nyanyiannya bak genderang pecah. Kemudian kita juga akan saksikan para jejaka, wanita-wanita cilik juga sedang asyik membujuk para kasmaran agar mau memberikan uang recehannya. Sesekali para pemilik kursi menghardik para pengamen, ‘’jangan diganggu mereka’’. Tidak siang dan tidak pun malam para kasmaran akan datang bergantian untuk menikmati keelokan suasana tepian pantai.
Kemudian, kita beralih pada objek wisata di Pariaman, kita juga dapat melihat sekitaran pinggiran pantai pariaman dimulai dari Pantai Tiram sampai ke Pantai Gandoriah, di sana akan terlihat kegiatan yang kurang lebih serupa. Kalau dulu, di daerah ini terkenal dengan pondok baremohnya dan dilengkapi dengan minuman yang beraneka jenis, semuanya itu memang sengaja diasediakan oleh pedagang-pedagang kecil sebagai tempat baremohnya muda mudi. Ternyata di daerah ini, Wisatawan tidak hanya berasal dari penduduk lokal, tetapi juga diramaikan oleh wisatawan dari daerah luar juga turut berebut tempat strategis. Apalagi sekarang kereta api wisata sudah mulai eksis kembali.
Anehnya, para masyarakat setempat merasa senang dengan keadaan tersebut, ‘’bak mendapat durian runtuh’’, sesekali akan terdengar kata-kata sapaan setengah merayu, ‘’duduak lah diak!, duduaklah ni!, duduak lah da!’’. Sudah pasti harapan mereka adalah lakunya barang dagangan. Sebab bagaimananpun juga dan bagi siapa saja yang mengunakan pondok-pondok yang telah disiapkan tersebut, mau tidak mau harus meminum minuman yang telah disediakan sebelumnya. Bahkan lebih aneh lagi dengan pihak keamanan yang telah disediakan oleh pemerintahan kota tidak sempat menjamah praktek-praktek tersebut.
Sebuah fakta, kehadiran wisatawan itu memang menjadi nilai tambah bagi pembangunan pariwisata daerah. Dari objek wisata ini saja PAD daerah semakin bertambah dari tahun ketahun, seperti yang dikabarkan Singgalang 21 Agustus 2007 bahwa ‘’potensi objek pariwista di Sumatera Barat cukup besar, khususnya dalam menjual wisata bahari dan alamnya yang indah. Dikatakan juga bahwa terdapat kendala dalam pembenahan wisata di Sumbar, sebab minimnya akses menuju objek wisata. Namun sektor pariwisata di Sumbar memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PAD Sumbar, yang dari tahun ketahun mengalami peningkatan’’. Tetapi, kita semua telah melupakan panorama-panorama yang merusak pamandangan di atas, sekiranya jika boleh ditambahkan bahwa tidak hanya seperti yang dikabarkan Singgalang di atas yang menjadi kendala perkembangan objek wisata, tetapi maksiat legal yang terjadi di lokasi objek wisata tersebut juga perlu diberantas.
Memang sejak pemerintahan wali kota terpilih memberantas program TBC sudah digembor-gemborkan, dengan kembali ke surau hendaknya dapat membasmi prkatek-praktek tersebut, namun sampai sekarang hanya baru sekedar di bibir. Selanjutnya, seluruh orang Minang menggembor-gemborkan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai adat, menghidupkan kembali pranata-pranata guna memberantas TBC, tapi kita lupa lingkungan kita sendiri yang sedang digerogoti maksiat.
Dari gambaran di atas bisa kita lihat bahwa kultur budaya yang menjadi identitas masyarakat Minangkabau mulai berangsur hilang. Kata orang hal ini sebagai akibat dari stagnasi dakwah Islam. Dulu para pendakwah memulai berdakwah dari hal-hal yang sepele, seperti pemberian nama anak dari bahasa Alquran, tapi kini nama-nama latin lebih dicintai seperti tumbuh-tumbuhan saja. Kadangkala anak bernama Ibrahim tapi disingkat dengan Bram, kalau di Amerika nama Bram itu ialah seorang pimpinan geng atau penjahat kelas kakap. Parahnya anak sekarang diajari goyangan ngebor, si orang tua menjadi senang dikira anak sudah pintar padahal sebenarnya diajari nakal. Jika dulu anak-anak tidak diperbolehkan lewat di depan orang tua yang sedang maota dan harus lewat di belakang. Selain itu, membelikan mainan untuk anak juga terlalu dituruti apa yang dinginkan dipenuhi sehingga mematikan kreatifitas anak untuk membuat mainan sendiri. Akibatnya, masa kecil diajari nakal, sudah besar terbawa-bawa, tua terobah tidak. Lalu siapa yang harus dipersalahkan jika si anak sudah bersar, si anak, orang tua, pedagang, sat pol PP atau lokasi objek wisata yang mengizinkan?
Beginilah sebenarnya Sumatra Barat itu sekarang, sangat jauh berbeda dengan Minangkabau dulu yang mana pendidikan tradisional selalu tidak ditinggalkan, baik di surau, maupun di arena pencak silat, kata malereang, mandaki, manurun dan maninggi jelas falsafahnya oleh anak-anak muda. Berbeda dengan Sumtara Barat yang semuanya terbalik, kata mandaki digunakan untuk menyombongkan diri, kata manurun digunakan untuk melecehkan seseorang, kata malereang dugunakan untuk membunuh karakter kawan, dan kata mandatar dugunakan untuk melangar batas-batas norma-norma, semuanya serba terbalik.
Lalu kita terkadang mencerca Adat Minangkabau bahwa tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang sebab tuntutan zaman sudah sangat jauh berbeda, budaya Minang perlu penyesuaian agar tidak ditinggalkan pemiliknya. Tapi kenyatannya sampai sekarang tidak pernah terrealisasi, seringkali persoalan tersebut selesai hanya di dalam seminar dan diskusi, habis seminar selesailah persoalan. Setelah itu, budaya instan lebih dicintai sehingga penampilan fisik lebih utama. Inilah yang dinamakan dengan sikap rancak dilabuah, dimana semua orang berlomba-lomba untuk mempertinggi gengsi tanpa menghiraukan nilai-nilai yang ada di dalamnya sebab yang dihargai lebih banyak orang-orang yang berharta. Sebuah kenyataan sekarang bahwa antara orang Sumtra dengan orang Minang Barat itu jauh berbeda.

ROBOHNYA BUDAYA KAMI

Oleh M. Yunis

Hanya desiran angin yang tersisa, walau seperti kelihatannya rinai mash enggan berhenti membasuh luka-luka ibu pertriwi. Ya aku tau, hari ini ujung Desember yang semakin tua, kata orang pada tahun ini segala puncak kejenuhan dilampiaskan, sebagian bilang tempat perhentian terakhir pernak-perniknya dunia, dan bermacam kisah banyak terlahir di ujung Desember, dulu pernah terkenal dengan Desemeber kelabu, atau huajan di awal Desember, aku kira mempunyai makna yang kurang lebih sama.
Ya! di Ujung Desmber ini gemuruh rintih-rintihan memanggil pasukannya untuk segera pulang kandang, suatu petanda bahwa hujan akan berhenti atau sekurang-kurangnya istirahat sejenak.
Di ujung Desember ini suara burung geraja itu tidak lagi tedengar, dua hari yang lalu selalu bertengger dekat bangunan tua itu, sebab burung geraja sangat senang membuat sarang pada puncak-puncak pepohonan yang mati, di samping bangunan tua itu tertancap dua batang pohon ampalan dan satu pohon jambu yang baru saja mati pucuk, hidup segan mati tidak bisa, kemaren aku melihat petir menyambar ketiga pohon itu tepatnya jam satu lewat lima meniti jumat siang. Setahuku, selama sarang-sarangnya masih ada, burung gereja itu senang sekali berputar-putar di sekitar bangunan. Tapi aku tidak tau pasti penyebab sarang-sarang itu berserakan 10 meter dari pepohonan. Aku terus berpikir, mungkin burung-burung itu berpindah sarang.
Sesaat rasa penasaran memboyongku masuk ke dalam bangunan itu, ku perhatikan tonggak-tonggak yang dipenuhi ukiran kaluak paku, agak ke dalam terlihat ukiran tan tandu bararak juga dilengkapi dengan pucuak rabuang, tapi sayangnya ukiran-ukiran itu tidak seperti aslinya semenjak dipenuhi lubang-lubang kecil di sana-sini, namun kelihatannya masih mampu menahan gonjong-gonjong runcing di atas. Bangunan itu bisa dibilang tidak terawat, atapnya saja sudah diakari lumut-lumut liar, tapi gambaran kokoh gonjong-gonjong itu masih sisakan hidup seribu tahun lagi walau segunduk beban melekat dan tidak mau sirna. Setelah igau tersadarkan, rasa takjub seketika datang, detik-detik selanjutnya aku memilih mengelilingi gangunan itu. Pada bagian belakang bangunan tercermin apik seniman terdahulu, 20 tonggak menjadi sendi berdiri kekokohan, mungkin tonggak-tonggak itu terbuat dari pohon jati atau mahoni, bagian bahawahnya dilengkapi dengan batu landasan, memang bentuknya agak kasar tapi sepertinya telah menyatu dengan tonggak-tonggak itu. Wah sungguh megahnya bangunan ini dulu, seandainya aku hidup lebih awal tentunya aku tidak mau ketinggalan belajar membuat ukiran sehingga aku dapat mengukir sejarah kebudayaan ini. Ya! aku ingat apa yang dibilang Amak, ‘’di kampung kita ini adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’’. Apakah mungkin ini yang dimaksud Amak. Rumah dan ruangannya bisa jadi perumpamaan dari adat, tapi sekarang mulai reot. Sementara 20 tonggak ini perumpamaan dari syarak dan batu-batu itu sebagai perumpamaan kitabullalh. Antara tonggak dengan batu seakan menyatu, mungkin sudah terlalu lama dibiarkan membatu, antara batu dan tonggak sudah sejenis, tonggak seperti batu dan batu seperti tonggak. Aku jadi bingung sendiri, kuberusaha mencari kesimpulan dadakan sambil ngomong sendiri dan berputar-putar. Ya! aku ngerti sekarang, adat seperti yang dimaksud Amak itu ditopang oleh agama dan Alquraan sebagai kunci. Oh..bukan! yang dimaksud Amak kitabullah, tidak mungkin Alquraan sebab setahuku kitabullah ada 4 buah atau kitab yang empat sepertu taurat, zabur, injil sudah terdapat di dalam Alquraan, jadi kitabullah yang dijadikan perumpamaan. Ya! mungkin itu makasudnya. Tapi kok aneh, tonggak dan landasannya masih kokoh tapi bangunnannya semakin renta ditutup sejarah, jika kuperhatikan tidak ada kerja sama yang baik antara atap dengan bangunan apa lagi antara bangunan dengan tonggak-tonggak itu. Mungkin lebih baik atap langsung saja berada di atas tonggak-tonggak tanpa bangunan dengan begitu kelihatan satu cita-cita, tapi apa jadinya?
Ah..aku pikir lebih baik memasuki ruangan-ruangan di dalam bangunan itu terlebih dahulu sehingga tanda tanya-tanda tanya yang ada dibena ini terjawab. Tidak lamam kemudian kudapati diriku sudah berada di dalam, seketika tercium aroma alam, sebab sedari tadi perhatianku tidak luput dari keagungan seni yang terdapat di dinding ruangan yang kukira tidak jauh berbeda dengan 2 tongak besar yang berada di pintu masuk tadi. Aku semakin takjub saja, di saat menyaksikan 9 bilik besar melengkapai ruangan tengah. Tapi ruangan-ruangan itu untuk apa dan menyimpan apa? Sepertinya pintu-pintu bilik itu sudah lama tidak dibuka, debu yanresal dari serpihan-serpian kayu membuatku lebih yakin. Pada pagian langit-langit tergantung sebuah benda sebesar nyiru, ya aku tahu itu tabuhan sejenis serangga setengah mematikan, jika kita digigit badan bisa gemuk dalam sehari. Di sudut rungan terlihat sepasukan kalong bergantungan, rasa letih dimalam hari membuatnya kehilangan umur di siang hari dan raja-raja malam itu tidak sadar dengan kehadiraku kalau saja kalong itu terbangun mungkin serangan-serangan fajar akan merobek-robek kesempatan ini. Tapi aku berusaha lebih-hati hati, karena pengalamam mengendap-endap sudah kuwarisi di waktu kecil, saat itu aku berusia 10 tahun, Amak memarahi aku karena aku memecahkan piring nasi, sudah sifatku jika Amak marah pergi dari rumah, siang itu jam 12 siang, kata Amak sedang tengah hari jangan kejar-kejaran di dalam rumah, tapi aku tidak mengacuhkan peringan Amak hingga aku menginjak piring, pecah tiga sama besar, belum sempat membilang kata ‘aduh’ mendaratlah ikat pinggang di punggungku yang sepertiga telanjang. Sejak kejadian itu aku selalu murung dan malas makan nasi, padahal Amak sudah membujukku akan dibelikan baju baru. Saat malam hari tiba, mata tidak terpejam, jam 10 malam aku pergi dari rumah dengan ilmu mengendap yang telah kupelajari saat main lakon, Surau adalah tempat pelarianku, di Surau banyak teman-teman sejawat sedang belajar silat setelah usai mengaji Alquran. Rupanya kemarahan Amak membuatku absen dari keseharian surau. Harus ku akui memang asyik suasana surau kami, di surau kami belajar silat, pasambahan dan mamangan adat, setelah itu kami bermain lakon sampai main galah. Sekarang, kegiatan ini tidak ada lagi di kampungku, surau-surau sekarang hanya dihuni oleh pemuda-pemuda yang pulang dari acara orgen tunggal, tapi aku kurang suka dengan pemuda-pemuda itu sebab di pagi hari aku terpaksa membenci Surau itu, muntah-muntah itu mebuatku muak. Aku jadi malas menjenguk kampung halaman yang satu ini, di saat libur kulah pun aku lebih memilih di kosan atau cari kesibukan dalam oragnisasi Mahasiswa di Padang, jika tidak karenan terpakas atau disuruh Amak pulang, aku tidak akan mau pulang kampung. Persoalan biaya tambahan harian kurasas terpenuhi oleh honor tulisan-tulisanku di koran-koran lokal yang terbit di Padang, lumayan buat jajan pacaran.
Oh ya! aku juga ingat dulu kami pernah main umpat-umpatan dalam bangunan ini, namanya sepak tekong, aku sembunyi di rungan tengah dan tertidur dalam ayunan suasananya yang masih nyaman dilantai papan tempat ku berdiri sekarang, kalau tidak salah jam 5 sore si Andi membangunkan aku, kutahu dia teman baikku sudah pasti Andi mencariku jika aku tidak dijumpainya di rumah, katanya Amak cemas sejak lonceng sekolah berbunyi, ya aku lupa mengganti pakaian sekolah, susah mencari teman sejatinya Andi zaman sekarang, sekarang Andi sudah jadi anak rantau yang berhasil membantu orangtuanya, wajar saja sejak selesai SMP dia sudah mulai mencium keberhasilan itu di Kota dumai, jika ada gunjingan atau cerita juragan besi tua yang sukses dialah temanku si Andi. Berbeda dengan aku, sikap keras kepala menuntunku ke bangku kuliah seperti sekarang. Tapi aku tidak seberuntung teman-temanku yang lain, di waktu aku lulus SPMB Amak sedang susah, dan terjadilah dosa itu, Amak terpaksa menggadai pusako untuk keperluan pendidikan aku, sekarang aku tahu bahwa kegiatan mengadai itu tidak diperbolehkan di Ranah Minang, pusako hanya boleh digadai jika ada 3 perkara: Pertama rumah gadang katirisan, kedua gadih gadang alun balaki, dan ketiga mayat tabujua di ateh rumah. Jadi tindakan Amak ketika itu tidak termasuk salah kategori dari yang tiga di atas. Kupikir tidak terlalu berdosa menggadai pusaka karena pendidikan, kuyakin dosa itu terhapuskan jika Amak mampu menebus gadai itu kembali. Mungkin lebih baik dari pada menjual habis. Tapi aku heran, bangunan ini sudah lama ketirisan, kenapa belum juga diperbaiki, ah..itu tidak mungkin kukira, bangunan itu kepunyaan kaum suku jambak, pusako-nya sudah habis terjual untuk pembangunan Bandara Internasional dua tahun yang lalu.
Sejurus kemudian aku semakin penasaran sebab sejak kecil hingga sekarang, aku belum pernah tahu apa isi dalam 9 bilik itu, kuperhatikan pintu-pintunya selalu tertutup rapat hingga anginpun tidak bisa lewat, kunci gembok yang terpasang dibibir pintu mampu menutup sejarah apalagi dengan karakarat yang sudah membasi mempersatukan 2 bibir pintu. Aku terpasaka melakukan tindakan anarkis, kupukul saja gembok usang itu sampai lepas dari bibir pintu bilik terdekat dengan ruang tengah, sekali pukul gemboknya lepas disertainya dengan robohnya pintu dan konsen, aku terkejut, cemas bercampur kaget, rasa ingin tahulah yang membuatku sekejam ini, tanpa menunggu detik kedua dari jam 4 lewat 10 menit, aku mulai daratkan langkah kaki perdana ke dalam bilik itu. Astaga, rongsokan dan Alquran berserakan di lantai bilik, kira-kira 10 Alquran, bukan 12 Alquran, kupungut, kulihat, kubaca, ternyata bukan Alquran tapi sebuah kitab atau sejenis catatatan bertulis tangan menggunakan huruf arab berbahasa Minang. Aku pernah belajar membaca huruf ini di semster 2, mata kuliah itu dinamakan dengan filologi. Ya! aku mengerti, ini adalah naskah-naskah kuno yang dimakasud dalam filologi itu. Dengan langkah tergopoh-gopoh aku berpindah ke bilik sebelah, kurasakan suasananya sama dengan bilik pertama tadi, kali ini kutemukan 13,5 naskah kuno sebab sebagian dari satu naskah hangus seperti baru saja dibakar, 2 di antaranya bertuliskan huruf arab asli. Pada empat bilik yang lain juga aku temukan puluhan-puluhan naskah. Dau bilik yang tersisa disambut dengan suara azan magrib, sesegera mungkin kualihkan perhatian menyususn naskah-naskah tersebut, kubaca permasing-masing judul diantaranya terdapat ajaran tarekat, ilmu mantik dan pengobatan-pengobatan, 2 naskah di antaranya berisi ranji entah ranji siapa tidak begitu jelas terbaca dan kerusakan yang diderita naskah itu tidak memungkinkan dibaca dengan mata fisik. Serta satu naskah bersisi petunjuk-petunjuk hari.
Dua jam lebih kuhabiskan waktu memungut ceceran naskah tadi, kuperbaiki pintu-pintu yang roboh walau tidak seperti sedia kala. Selesai dari itu, rasa letih seketika mampir namun tetap kupaksakan dua tunjang ini melngkah, kuberharap tenaga ini masih tersisa hingga ke rumah, sesaat suara gemuruh kembali terdengar, sekarang kampung tua ini diguyur hujan lebat, petir bersahutan, setengah delapan kurang seperempat sampai juga di rumah Amak.
**
Waktu isya merangkak naik, namun lamunan membuatku hanyut, detak jantung ini rasanya semakinkeras, suara berisisknya membuat mata sulit dipejamkan, aku sedih, gundang bercampur bimbang, nasib naskah-naskah tadi, awalnya mau kubawa tapi niat itu terpaksa aku urungkan kembali saat petir pertama terjadi, entahlah saat itu sifat pengecutku tumbuh, takut terjadi yang Tuhan inginkan. Firasatku mengatakan bahwa bangunan tua itu tinggal menghitung hari, mungkin seminggu atau sebulan tidak lagi dijumpai, siapa peduli! Kabarnya tanah tempat berdiri bangunan itu akan disulap menjadi saluran irigasi, dua hari yang lalu aku saksikan pegawai pemrintahan sudah mengukur perkubik dari tanah-tanah itu, katanya mau diganti rugi permeter tanah yang terpakai. Tapi bangunan itu? naskah-naskah itu? adat itu? Syarak itu? kitabullah itu?

TRADISI PASAMBAHAN BUTUH SENTUHAN GENERASI MUDA

Oleh. M. Yunis

Kehadiran simbol-simbol budaya di Minangkabau memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Simbol-simbol tersebut, akan selalu digunakan oleh masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pergaulan, maupun pelaksanaan upacara-upacara adat. Namun begitu, masyarakat seringkali tidak mengerti makna hadirnya simbol-simbol yang dipergunakan tersebut. Masyarakat cenderung hanya mensakralkan dari pada memaknainya. Contohnya, di dalam pelaksanaan upacara perkawinan, kehadiran simbol-simbol kebudayaan sangat diperlukan, namun sebagian masyarakat kurang mengerti makna dari simbol tersebut. Kita juga memperhatikan dalam prosesi makan bersama, biasanya masyarakat Minang memulai acara makan bersama, akan didahului oleh renteten kata-kata, basa basi atau pun etika dalam makan itu sendiri. Di sana, terselip nilai-nilai budi pekerti, sopan santun yang harus dipenuhi oleh individu Minang dalam melakukan rutinitas makan. Bahkan, di dalam berbasa-basi tersebut memakan waktu sampai 1 jam lebih. Begitulah masyarakat Minang terdahulu, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Acara seperti ini dinamakan dengan pasambahan.
Berdasarkan pada kata yang membangunnya, pasambahan berasal dari kata sambah (sembah) kemudian mengalami afiksasi pa- dan -an. Dalam bahasa Indonesia, pasambahan berarti pernyataan hormat dan hidmad yang dinyatakan dengan cara mempertemukan jari tangan, lalu diangkat hingga dagu atau hingga dahi. Secara lahir, ada sesuatu yang akan diberikan kepada orang yang datang pada upacara yang kita buat.
Seiring dengan itu, Yusriwal (Alm) mengemukakan dalam, ’’Pasambahan Manjapuik Marapulai, Kajian Estetika dan Semiotika 2005, pasambahan menurutnya suatu tradisi di Minangkabau, yang merupakan dialog antara dua orang, pihak pertama menduduki posisi yang dimulyakan dan pihak kedua sebagai orang yang memuliakan. Jadi, tidak terjadi tumpang tindih terhadap peran. Artinya, penutur dalam dialog tersebut menjalankan fungsinya masing-masing, sebagaimana yang telah dipercayakan terhadapnya. Yusriwal (Alm) menyebut pasambahan dengan pidato adat. Di Minangkabau itu sendiri, pasambahan atau pidato adat tidak hanya dipakai dalam upacara perkawinan, tapi juga dipakai dalam upacara kematian, pengangkatan Penghulu, kenduri, perjamuan dan kerapatan kaum atau Nagari.
Akan tetapi, dengan berlakunya ‘’adat salingka nagari’’ melahirkan penamaan dan cara pasambahan pada masing-masing daerah berbeda-beda. Ada yang disebut dengan Pasambahan pengukuhan gelar (pengangkatan penghulu dan gelar mempelai laki-laki) di Padang; pasambahan manjamu datuak di pariaman; Pasambahan Makan di dalam perjamuan di Padang; Pasambahan Manjapuik Marapulai di dalam upacara perkawinan di Bukittinggi; Pasambahan Maurak Selo di dalam upacara perkawinan di Pariaman, Pasambahan penguburan mayat atau pengafanan mayat dalam upacara kematian di Padang; pasambahan Minta Sifat (minta izin) dalam membuka perkataan di kerapatan adat dan upacara perkawinan di Padang; lakuang tinjauan di Pariaman dan masih banyak lagi penamaan terhadap pasambahan. Jadi pasambahan ialah sebuah cara beretika dalam menyampaikan sesuatu, yang terjadi di dalam acara-acara yang bersifat saremonial di Minangkabau.
Di Rantau Pariaman yaitu Nagari Toboh Gadang, Kabupaten Padang-Pariaman, Kecamatan Sintuk-Toboh Gadang di setiap korongnya masih terdapat prosesi berPasambahan, akan tetapi prosesi ini sering ditemukan dalam upacara perkawinan yang mana pelaksanaan akan berlangsung pada saat malam bainai. Pada waktu ini prosesi berpasambahan dinamakan dengan naiak urang mudo. Orang-orang yang hadir di antaranya pemuka-pemuka masyarakat dan pemuda-pemudi yang ada dalam lingkungan itu, yang bertempat di dalam rumah situan rumah. Pembicaraan (rapat) belangsung antara tuan rumah dengan masyarakat memakan waktu satu jam lebih. Tema yang dibicarakan ialah masalah kepanitiaan alek dalam penyelenggaraan upacara. Jika tuan rumah telah melengkapi sayarat-syarat di dalam sebuah upacara perkawinan atau telah mengisi adatnya sebagai orang Pariaman, maka berlangsunglah proses bertanya jawab tersebut, diakhiri dengan kesepakatan bahwa kepanitiaan alek tuan rumah diserahkan kepada masyarakat. Kemudian, ditutup dengan jamuan makan bersama antara tuan rumah dan masyarakat yang terundang.
Nah kenapa prosesi ini dinamakan dengan pasambahan naiak urang mudo? Di dalam prosesi ini, kehadiran urang mudo (anak muda) sangatlah penting. Setelah alek diterima masyarakat, kelompok orang yang intensif bekerja ialah urang mudo, mulai dari penyambutan tamu atau undangan dari tuan rumah, manjapuik marapulai dan mendandani (menghias) marapulai jika yang sedang berlangsung upacara perkawinan laki-laki. Urang mudo di sini juga bertugas mempersiapkan dan memasang tenda-tenda, serta peralatan-peralatan lainnya yang dibutuhkan dalam sebuah pesta. Sementara, pemuka-pemuka masyarakat yang terdiri dari niniak mamak, cadiak pandai, kapalo mudo, urang nan salapan, wali jorong, urang tuo, hanya berfungsi sebagai pengawas dan penasehat saja. Akhirnya pasambahan ini dinamakan dengan Pasambahan Naiak Urang Mudo.
Namun begitu, di daerah darek pun terdapat kegiatan yang serupa. Seperti penelitian yang dilakukan Yusriwal (Alm), tentang Pasambahan Manjapuik Marapulai di Luhak Agam. Walaupun hanya terfokus pada teks, Yusriwal masih dapat membandingankan fenomena kieh yang terdapat dalam pasambahan di daerah Darek atau Luhak (Agam) dengan Rantau (Padang). Dengan pisau Estetikanya Yusriwal (Alm) juga mampu mengungkap seni keindahan yang terdapat dealam pasambahan itu.
Tidak hanya kieh, di dalam prosesi pasambahan ini juga serat dengan kehadiran simbol-simbol budaya seprti, carano lengkap dengan isinya, kasua basimpang, tirai, pelaminan, dulang, labu, salapah, lapiak lambak, dalamak dan tawua. Semuanya itu, dapat digolongkan ke dalam wujud kebudayaan yang berupa Artifact. Masyarakat setempat mengatakan, hadirnya peralatan ini menyimbolkan bahwa orang yang melaksanakan penyelengaraan upacara perkawinan ialah orang yang beradab. Sebuah bukti, kurang salah satu di antaranya, prosesi pasambahan tidak dapat dilangsungkan dan orang tersebut dianggap telah melecehkan Adat. Benda-benda tersebut juga menyimbolkan hadirnya pemuka-pemuka masyarakat ketika itu, seperti, cadiak pandai, penghulu, urang tuo dan wali korong. Karena itu, kehadirannya tidak bisa digantikan dengan benda lain.
Benda atau peralatan-peralatan yang digunakan di atas dapat berfungsi sebagai sebuah simbol, karena telah mampu memimpin pemahaman subjek kepada objek. Maka, disebutlah simbol-imbol itu sebagai simbol-simbol budaya yaitu segala bentuk karya budaya manusia yang diberi beban untuk mengusung maksud dan pesan tertentu atau yang secara terbuka mengingatkan orang kepada budaya tertentu. Karya budaya yang menyimbolkan itu berperan antara lain: (1) pembawa dan pengantar pesan, (2) penunjuk keberadaan, (3) penunjuk sifat dan karakter, (4) penunjuk status, (5) penata cara dan upacara, (6) pengikat kohesifitas, (7) pembentuk karakter dan prilaku, (8) pendukung dan penjaga nilai tradisi (Herwandi: ed, 2004:4).
Jika dilihat dari keadaannya, simbol tersebut digolongkan menjadi dua bagian; (1) Simbol tidak bergerak (simbol-simbol materil) dan (2) Simbol bergerak, (pemuka-pemuka masyarakat dan pemuda). Jadi simbol-simbol di atas digolongkan ke dalam simbol-simbol budaya materil yang dapat diamati dengan mata telanjang.
Agar etika-etika dan nilai-nilai budi sampaikan melalu berpasambahan tersebut dapat bertahan, individu sebagai anggota masyarakat harus memahami kehadiran simbol-simbol itu terlebih dahulu, baik filosofi-filosofi maupun pesan-pesan yang disampaikan. Sehingga, kehadirannya tidak hanya sebatas sakralisasi tapi dimaknai tujuannya agar pesan-pesan yang disampaikan melalui simbol itu tepat sasaran. Bagimanpun juga kajian ini menarik, jiga kita generasi muda mau menelitinya karena di samping Pasambahan ini masih eksis, kehadirannya juga mengandung informasi-informasi simbolik. Karena itu, sangat perlu diungkapkan makna dan fungsinya secara keseluruhan, sehingga pengiriman pesan tersebut dapat berterima dan bermanfaat bagi masyarakat.
Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah generasi muda mau pulang kandang dan melirik budaya-budaya tradisi yang seperti ini sebab lambat laun kehadirannya akan semakin dipertanyakan, mungkin akan bernasib sama dengan istana pagaruyung yang sampai sekarang tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Atau barangkali akan menjadi hak paten orang luar seperti yang terjadi dengan randang makanan khas orang Minang, sekarang menjadi hak milik negeri jiran Malaysia. Kemudian randai yang telah diteliti oleh Profesor Kristin Pauka. MA dari Hawai University, berkat randai inilah Kristin dapat meraih titel profesornya itu. Nah, bagaimanan nasib orang Minangkabau di kemudian hari?

MINANGKABAU YANG HANYA DI DALAM ASA

Oleh M.Yunis**
Pewadahan terhadap pergulatan ide dan pendapat seputar kebudayaan Minang sudah hampir berputik mulut membicarakannya, umpama sepohon kayu mungkin sekarang sudah besar buahnya atau sudah matang dan sudah patut pula dinikmati. Dimulai dari seminar tentang harta pusaka dan warisan pada bulan Juli 1968, kala itu menghadirkan makalah Profesor Mr. Mohammad Nasroen sementara beliau sendiri dikatakan tidak bisa hadir karena sakit, namun begitu lahir jua bukunya yang sampai sekarang masih relevan, ya! siapa yang tidak kenal dengan Dasar Falsafah Adat Minangkabau (1957), dan dalam seminar itu pulalah sebuah lembaga penelitian kebudayaan Minangkabau, Center for Minangkabau Studies digagas Muchtar Naim sebagai direkturnya, kemudian menyusul seminar Sejarah Masuk islam ke Minangkabau di Padang (Juli 1969) yang mana di dalam forum, terjadi polemik misterius antara Buya Hamka dengan Onggang Parlindungan yang dikenal sebagai penulis buku Tuanku Rao. Polemik itu berlanjut di Batusangkar (1970).
Di samping mengahdirkan tokoh-tokoh intelektual cerdik-cendekia, alim-ulama, ninik-mamak, para pembesar, dan para hulubalang dari selingkup Sumatra Barat ketiga seminar ini sempat pula menghadir “brothers from Minang” orang Minang walaupun berasal dari rantau, namun sempat pula merasakan lumpur sawahnya orang Minang, beliau di antaranya Pak Hatta, Buya Hamka, Profesor Bahder Djohan. Alhasil seminar tersebut mencipta sebuah harapan yaitu sebuah Fakultas Sastra di Universitas Andalas. Dengan impian kajian terhadap kebudayaan Minangkabau ditingkatkan, di samping kebudayaan Nusantara lainnya, kebudayaan Islam, dan sekaligus kebudayaan dunia dapat ditekuni dan dipelajari. Di seminar itu juga dikatakan perpaduan antara kebudayaan Minang dengan kebebudayaan Islam harus diperkuat sebab ruh dan sandaran spiritual dari kebudayaan Minangkabau dan Nusantara itu tiada lain adalah Islam. Dengan jalan ini generasi muda dapat berkontemplasi dan bercermin diri: sejauh mana generasi muda mengetahui kebudayaan nenek moyang mereka, khususnya kebudayaan Minangkabau, sehingga dapat diangkat dan memberikan sumbangan yang berarti bagi bangsa dan kemajuan kemanusiaan di masa depan.
Sewaktu Mawardi Yunus menjabat sebagai ketua LKAAM, dipersiapkanlah Impian itu, tepatnya 14-16 Februari 1980 diadakan Lokakarya Persiapan Pembukaan Fakultas Sastra, di Gedung Negara Tri Arga, Bukittinggi. Lokakarya itu juga disponsori oleh Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta, dan Volkswagen Stiffun, Jerman Barat. Sementara tokoh-tokoh yang hadir dalam lokakarya itu yaitu, Soejadmoko, Sutan Takdir Ali Syahbana, Selo Soemarjan, Koencoroningrat, Harsya Bachtiar, Alfian, yana mana sastra dan sosial budaya sudah menjadi makanannya sehari-hari dan seorang profesor Hans Dieter Evers dari Jerman. Wah! memang benar-benar sebuah pesta budaya!
Dalam Lokakarya itu pulalah dibicarakan latar belakang perlunya sebuah Fakultas Sastra dan Sosial-Budaya di Universitas Andalas. Jika pada seminar-seminar sebelumnya lebih mengarah terhadap aspirasi budaya yang lebih bersifat internal dengan penggalian kebudayaan Minangkabau sebagai sentral dan tumpuan perhatian, namun saat itu perhatian lebih ditekankan pada perlunya mencapai kualitas dan prestasi akademik yang dapat menandingi fakultas-fakultas serupa di tanah air. Dalam lokakarya itu juga lahir keinginan untuk Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya ( Naim; Lustrum 3 Fakultas Sastra; Maret 1997).
Selanjutnya politik Mercusuar pun dijalankan, september 1980 yang bertempat di Gedung Negara Tri Arga Bukittinggi, diadakanlah sebuah seminar Internasional dengan tema Kesusastraan, Kemasyarakatan, dan Kebudayaan Minangkabau. Seminar ini memang bercorak internasional tujuannya ialah untuk memancing perhatian para ahli di dalam maupun luar negeri sehingga di saat itu datanglah peserta dari Amerika, Kanada, Australia, Jepang, Korea, Singapura, Malaysia, Belanda, Jerman, Prancis dan Inggris. Namun. Dengan penuh keberanian pula, Muchtar Naim menyampaikan makalahnya yang berjudul “Minangkabau dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara”, akibatnya Rektor Mawardi Yunus pun terbata-bata dalam menanggapi makalah itu.
Alhasil dari seminar itu para panitia persiapan Fakultas Sastra berhasil mengkomunikasikan dan menyebarluaskan informasi tentang pembentukan Fakultas Sastra dan Sosial Budaya ke berbagai universitas di dalam maupun luar negeri, dan sekaligus mengadakan kerjasama antar lembaga di masa-masa yang akan datang. Inilah sebuah harapan.
Namun setelah 2 tahun lelah berjuang akhirnya turun sebuah SK Presiden No.39 tahun 1982, bahwa Fakultas Sastra Universitas Andalas disetujui. Bahkan Fakultas Sastra didahulukan pembukaannya dari pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Saat itu, Fakultas Sastra memiliki 4 jurusan: Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sejarah, dan Sosiologi. Jurusan Sastra Indonesia menyelenggarakan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Jurusan Sosiologi Program Studi Sosiologi dan Antropologi. Pada akhirnya tahun 1983 dibuka pula Jurusan Sastra Daerah dengan Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau.
Nah tercapai jualah yang diangan-angankan itu, sebab dengan berdirinya jurusan sastra darah Miangkabau lebih diharapakan penggalian terhadap budaya minang lebih intensif. Pada saat itu sebuah beban berat telah terusung di atas pundak orang Minang terlebih lagi generasi muda semakin mengakar. Sudah sepatutnyalah kita bangga, Fakultas sastra berdiri atas inisiatif dari generasi yang padat wawasan, serta menguasai banyak bahasa asing, hal itu pun dilatari oleh sebuah keinginan untuk menggali kebudayaan Minangkabau.
Mungkin dengan berdirinya Fakultas Sastra harapan itu belum sepenuhnya terwujut, maka kembali diadakan seminar Internasional Minangkabau tangal 23-24 Agustus 2004 dengan tema: Minangkabau dan Potensi Etnik dalam Paradigma Multikultural, yang diselenggarakan oleh Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau, Jurusan Sastra Daerah-Universitas Andalas, pada tanggal 23-24 Agustus 2004, di Inna Muara Hotel-Padang.
Seminar itu dihadiri oleh pemakalah dari dalam maupun luar negri, seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra dari UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Sjafri Sairin, Prof. Dr. Hasanuddin WS, Prof. Dr. Faruk dari UGM, Prof. Dr. Bustanuddin Agus, Prof. Mohtar Naim, Prof. Sjahmunir AM, Ding Choo Ming, Ph.D, Prof. Dr. I Gde Pitana, Amin Sweeney, Dr. Oman Fathurahman, Dr. Jufrizal, Dr. Yayah B. Luminta Intang, APU., Dr. Herwandi, Dr. Nursyirwan Effendi. Bahkan seminar itu lebih meriah dan lebih mercusuar dari tahun 1980.
Kemudian tanggal 23-24 Desember 2004 yang lalu, berlangsung pula seminar Internasional dengan tema ‘’Retropspeksi, Reposisi, dan Revitalisasi Kebudayaan Minangkabau’’ di Bumi Minang Padang. Kali ini kerisauan serta kecemasan kembali mengemuka sehinggapara pemikir dalam forum akhirnya sepakat memfonis bahwa kebudayaan Minangkabau sedang mengalami pengkroposan dan degradasi nilai. Dikatakan orang Minang perlu intropeksi diri agar kebudayaan minang tidak tercabut dari akar budayanya sendiri. Akhirnya lahirlah modus yang dirasa tepat untuk mewujudkan smua keinginan itu dan selanjutnya disampaikan pada pemerintahan daerah.
Nah, ternyata kebijakan tersebut terkesan dikerjakan setengah (Herwandi: 2007), sehingga pada 29-30 November 2006 di Inna Muaro Hotel lahir kembali sebuah kongres kebudayaan yang diselengarakan oleh pemerintahan daerah Sumatera Barat betemakan ‘’kongres kebudayaan dan Apresiasi Seni’’. Dalam seminar itu yang diundang hanya penghulu-penghulu dan pemuka Adat di Sumatra Barat tanpa melibatkan Akademik dan intelektual muda sehinga lahirlah gagasan untuk mendirikan kembali kerajaan Minangkabau. Pertentangan pun kembali mencuat, ada sebagian orang Minang setuju, sebagian mengutuk dan sebagian Abstain.
Kenyataannya, rentetan seminar-seminar di atas juga didak mampu melahirkan sebuah komitmen bersama budayawan Minang, untuk mambangkik batang tarandam, tapi hanya berlanjut menjadi sebuah sebuah harapan baru, sedangkan harapan terdahulu belum juga terwujut. Barangkali budaya Minangkabau hanya dijadikan kendaraan politik saja.
Kalau memang pemerintah memang benar-benar serius dalam menyikapi dan memeprhatikan kebuadayaan Minangkabau, pemerintah tidak harus perlu turun tangan kelapangan, biarlah orang-orang yang kenal dengan lumpur sawahnya orang Minang yang akan melaksanakannya. Lagi pula sarana dan prasarana untuk itu sesungguhnya sudah tersedia. Intelektual seminar tahun 1980-an yang menggagasnya. Tetapi, pemerintah sendiri sepertinya tidak acuh, sehingga sarana itu pun sampai sekarang tidak seluruhnya orang tahu, sehingga egoisisme yang dimiliki pemerintahan juga diwarisi oleh generasi selanjutnya.

**Alumni Sastra Minangkabau

KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH

Oleh M.YUNIS

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang, begitulah pepatah Minang. Setiap daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda, walaupun tujuan mereka sama akan tetapi cara mereka dalam mengekspresikan budaya tersebut penuh dengan kreasi, yang mereka pandang mulia dan baik, walaupun tidak sesuai dengan kelogisan.
Di ranah Minang ditemukan tradisi-tradisi yang tergolong unik dan penuh kreasi. Tradisi-tradisi ini berupa upacara-upacara perkawinan, upacara kematian, pengangkatan penghulu dan lain sebagainya, yang tentunya menempati posisi yang sangat penting bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Namun tulisan kali ini akan membahas tadisi upacara perkawinan yang harus dipandang dengan pemikiran terbalik, dan bukan melihat untung ruginya melaksanakan upacara tersebut.
Dari dahulu Minangkabau, terkenal dengan kebudayaannya yang unik tetapi bersahaja. Salah satu keunikan dapat kita perhatikan dalam memperingati upacara kematian yang masing-masing Nagari yang berbeda, mempunyai cara dan corak yang berbeda pula untuk merealisasikannya. Di Nagari Toboh Gadang (kesatuan wilayah terkecil dalam kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Nagari) Pariaman misalnya, dalam memperingati upacara kematian, terkenal dengan ’’sahari manamaik (hari pertama), manduo hari (hari kedua), manigo hari (hari ketiga), manujuah hari (hari ketujuh), duo kali tujuah (hari keempat belas), 40 hari dan 100 hari’’. Upacara ini, merupakan rentetan-rentetan pelaksanaan upacara kematian di Nagari tersebut, yang mana dilaksanakan setelah mayat disemayankan.
Pada pelaksanaan upacara pertama hingga upacara selanjutnya, dilantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dengan memuja dan memuji kebesaran Allah ta’ala. Uapacara ini, dilakukan dengan mengundang ‘’urang siak’’ yaitu perangkat-perangkat surau (mesjid) di antaranya Tuanku, Imam, Labai, Khatib dan Bilal, serta diikuti oleh pegawai-pegawai surau lainnya. Mereka inilah nantinya yang akan membacakan ayat-ayat suci tersebut, mereka diundang selama tiga malam pelaksanan upacara ini yaitu malam pertama, kedua dan ketiga. Lantunan-lantunan ayat Al-Qur,an terus dibacakan hingga mencapai zikir kemudian ditutup dengan makan bersama. Sebelum mereka pulang ketempat masing-masing, terlebih dahulu mereka diberi sedekah berupa uang yang berkisar Rp 10.000,00 per orang.
Setelah hari kematian anggota keluarga tersebut mencapai 7 hari, para urang siak diundang kembali untuk melaksanakan upacara manujuah hari. Setelah 14 hari kematian mereka diundang untuk melaksanakan upacara duo kali tujuah (14 hari ), begitu juga dalam pelaksanan upacara 40 hari dan 100 hari kematian.
Meskipun rentetan-rentetan upacara tersebut bertujuan sama, yaitu meminta do,a keselamatan kepada Allah SWT terhadap kerabat yang sudah meninggal, namun pelaksanaanya berbeda satu sama lainnya. Pada saat sahari manamaik (pada hari pertama kematian), pemfokusannya lebih banyak kepada pembacaan ayat Al-Qur,an hingga zikir duduk dan selesailah upacara pertama. Orang yang mengahadiri upacara ini adalah kerabat-kerabat dekat saja, yang diakhiri dengan makan bersama, kemudian para urang siak diberi sedekah berupa uang.
Pada malam kedua upacara kembali dilanjutkan. Pada saat ini, upacara sudah mulai dihadiri banyak orang, termasuk masyarakat sekitar yang ikut berkabung. Pelaksanaan upacara ini, sama halnya dengan yang di atas, akan tetapi ada sedikit tambahan, ‘’urang siak’’ melaksanakan zikir dari duduk hingga zikir dengan berdiri. Upacara ini, juga ditutup dengan makan bersama, akan tetapi pada malam ini urang siak tidak diberi sedekah.
Pada malam ketiga, persiapan upacara ini dipermatang lagi. Pada siang harinya dilakukan pembuatan lemang (beras yang dimasak di dalam bambu) oleh tuan rumah dan dibantu oleh masyarakat sekitar. Tujuannya ialah untuk dihidangkan pada malam hari pelaksanaan. Pelaksanannya lebih kurang sama dengan upacara sebelumnya.
Pada pelaksanan menujuh hari juga dilakukan pembuatan lemang. Di dalam pelaksanaannya semakin jauh berbeda dengan di atas. Sebelum upacara dibuka dilakukanlah pidato Ada yang dinamakan dengan Pasambahan antara tuan rumah dengan urang siak , tapi diwakili oleh satu orang saja baik dari pihak uarang siak mau pun tuan rumah. Dalam pidato ini, tuan rumah mengemukakan tujuannya mengundang urang siak. Setelah pidato selesai, maka dimulailah upacara mengaji (melantunkan ayat-ayat Alquran) tersebut hingga zikir, baik zikir duduk maupun zikir berdiri. Setelah selesai makan bersama, upacara juga ditutup dengan pidato Pasambahan kembali, kali ini pidato berasal dari urang siak, mereka mengemukakan tujuannya kepada tuan rumah untuk pulang ke rumah masing-masing.
Begitu juga dengan upacara 14 hari, 40 hari, dan 100 hari. Perbedaannya hanya terletak pada undangan yang datang, karena undangan tersebut sudah berasal dari daerah-daerah yang jauh, tetapi masih berkerabat dengan anggota keluarga yang meninggal. Bagi tuan rumah yang mempunyai banyak dana, upacara ini dilanjutkan dengan ‘’badikia’’ yaitu sautau cara memuji kebesaran tuhan yang disampaikan dengan bahasa Arab, dengan irama khas islami (penelitian tanggal 10 juli 2005 di Pariaman).
Pelaksanaan upacara di atas intinya adalah sama, yaitu meminta do’a kepada Allah SWT, agar sang mayat diberi ampunan dan keringanan azab kubur. Namun di balik uapacara ini, tersimpan makan-makna sosial yaitu mempertebal solidaristas di antara masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitar. Karena tamu di sini tidak hanya sekedar datang, makan lalu pulang, akan tetapi mereka membawa buah tangan berupa uang, beras yang tujuanya meringankan beban tuan rumah.
Sejalan dengan itu, upacara ini juga dapat mempererat tali silaturrahmi di antara kerabat yang tingal berjauhan, apalagi mereka yang tingal di daerah perantauan, sebab sesulit apa pun keadaan kerabat di rantau maisih sempat meluangkan waktu pulang kampung guna untuk menghadiri upacara ini. Bagi kerabat yang belum saling mengenal, maka pada saat inilah mereka memperkenalkan diri kepada sanak-saudara mereka yang ada di kampung halaman.
Di pandang dari segi sejarahnya, tradisi ini sudah berkembang sebelum agama islam masuk ke Minangkabau. Tradisi ini, pada awalnya ialah acara berbalas pantun dengan bahasa Minang, tetapi setelah islam berkembang di Minangkabau tradisi ini terus dilaksanakan, tetapi pantun-pantun tersebut di tukar dengan pembacaan ayat Al-Qur’an yang juga berpantun oleh Syeh Burhanuddin Ulakan, dengan tujuan pengembangan ajaran islam itu sendiri (Suryadi dalam Syair Sunur 2004). Jadi Syeh Burhanuddin Ulakan memanfaatkan pendekatan kebudayaan dalam mengembangkan ajaran islam di Pariaman. Trik-trik tersebut selalu dipergunakannya untuk memasuki suatu kebudayaan masyarakat di Minangkabau, sehingga Islam cepat berkembang di Minangkabau pada waktu itu.

KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH

Oleh M.YUNIS

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang, begitulah pepatah Minang. Setiap daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda, walaupun tujuan mereka sama akan tetapi cara mereka dalam mengekspresikan budaya tersebut penuh dengan kreasi, yang mereka pandang mulia dan baik, walaupun tidak sesuai dengan kelogisan.
Di ranah Minang ditemukan tradisi-tradisi yang tergolong unik dan penuh kreasi. Tradisi-tradisi ini berupa upacara-upacara perkawinan, upacara kematian, pengangkatan penghulu dan lain sebagainya, yang tentunya menempati posisi yang sangat penting bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Namun tulisan kali ini akan membahas tadisi upacara perkawinan yang harus dipandang dengan pemikiran terbalik, dan bukan melihat untung ruginya melaksanakan upacara tersebut.
Dari dahulu Minangkabau, terkenal dengan kebudayaannya yang unik tetapi bersahaja. Salah satu keunikan dapat kita perhatikan dalam memperingati upacara kematian yang masing-masing Nagari yang berbeda, mempunyai cara dan corak yang berbeda pula untuk merealisasikannya. Di Nagari Toboh Gadang (kesatuan wilayah terkecil dalam kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Nagari) Pariaman misalnya, dalam memperingati upacara kematian, terkenal dengan ’’sahari manamaik (hari pertama), manduo hari (hari kedua), manigo hari (hari ketiga), manujuah hari (hari ketujuh), duo kali tujuah (hari keempat belas), 40 hari dan 100 hari’’. Upacara ini, merupakan rentetan-rentetan pelaksanaan upacara kematian di Nagari tersebut, yang mana dilaksanakan setelah mayat disemayankan.
Pada pelaksanaan upacara pertama hingga upacara selanjutnya, dilantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dengan memuja dan memuji kebesaran Allah ta’ala. Uapacara ini, dilakukan dengan mengundang ‘’urang siak’’ yaitu perangkat-perangkat surau (mesjid) di antaranya Tuanku, Imam, Labai, Khatib dan Bilal, serta diikuti oleh pegawai-pegawai surau lainnya. Mereka inilah nantinya yang akan membacakan ayat-ayat suci tersebut, mereka diundang selama tiga malam pelaksanan upacara ini yaitu malam pertama, kedua dan ketiga. Lantunan-lantunan ayat Al-Qur,an terus dibacakan hingga mencapai zikir kemudian ditutup dengan makan bersama. Sebelum mereka pulang ketempat masing-masing, terlebih dahulu mereka diberi sedekah berupa uang yang berkisar Rp 10.000,00 per orang.
Setelah hari kematian anggota keluarga tersebut mencapai 7 hari, para urang siak diundang kembali untuk melaksanakan upacara manujuah hari. Setelah 14 hari kematian mereka diundang untuk melaksanakan upacara duo kali tujuah (14 hari ), begitu juga dalam pelaksanan upacara 40 hari dan 100 hari kematian.
Meskipun rentetan-rentetan upacara tersebut bertujuan sama, yaitu meminta do,a keselamatan kepada Allah SWT terhadap kerabat yang sudah meninggal, namun pelaksanaanya berbeda satu sama lainnya. Pada saat sahari manamaik (pada hari pertama kematian), pemfokusannya lebih banyak kepada pembacaan ayat Al-Qur,an hingga zikir duduk dan selesailah upacara pertama. Orang yang mengahadiri upacara ini adalah kerabat-kerabat dekat saja, yang diakhiri dengan makan bersama, kemudian para urang siak diberi sedekah berupa uang.
Pada malam kedua upacara kembali dilanjutkan. Pada saat ini, upacara sudah mulai dihadiri banyak orang, termasuk masyarakat sekitar yang ikut berkabung. Pelaksanaan upacara ini, sama halnya dengan yang di atas, akan tetapi ada sedikit tambahan, ‘’urang siak’’ melaksanakan zikir dari duduk hingga zikir dengan berdiri. Upacara ini, juga ditutup dengan makan bersama, akan tetapi pada malam ini urang siak tidak diberi sedekah.
Pada malam ketiga, persiapan upacara ini dipermatang lagi. Pada siang harinya dilakukan pembuatan lemang (beras yang dimasak di dalam bambu) oleh tuan rumah dan dibantu oleh masyarakat sekitar. Tujuannya ialah untuk dihidangkan pada malam hari pelaksanaan. Pelaksanannya lebih kurang sama dengan upacara sebelumnya.
Pada pelaksanan menujuh hari juga dilakukan pembuatan lemang. Di dalam pelaksanaannya semakin jauh berbeda dengan di atas. Sebelum upacara dibuka dilakukanlah pidato Ada yang dinamakan dengan Pasambahan antara tuan rumah dengan urang siak , tapi diwakili oleh satu orang saja baik dari pihak uarang siak mau pun tuan rumah. Dalam pidato ini, tuan rumah mengemukakan tujuannya mengundang urang siak. Setelah pidato selesai, maka dimulailah upacara mengaji (melantunkan ayat-ayat Alquran) tersebut hingga zikir, baik zikir duduk maupun zikir berdiri. Setelah selesai makan bersama, upacara juga ditutup dengan pidato Pasambahan kembali, kali ini pidato berasal dari urang siak, mereka mengemukakan tujuannya kepada tuan rumah untuk pulang ke rumah masing-masing.
Begitu juga dengan upacara 14 hari, 40 hari, dan 100 hari. Perbedaannya hanya terletak pada undangan yang datang, karena undangan tersebut sudah berasal dari daerah-daerah yang jauh, tetapi masih berkerabat dengan anggota keluarga yang meninggal. Bagi tuan rumah yang mempunyai banyak dana, upacara ini dilanjutkan dengan ‘’badikia’’ yaitu sautau cara memuji kebesaran tuhan yang disampaikan dengan bahasa Arab, dengan irama khas islami (penelitian tanggal 10 juli 2005 di Pariaman).
Pelaksanaan upacara di atas intinya adalah sama, yaitu meminta do’a kepada Allah SWT, agar sang mayat diberi ampunan dan keringanan azab kubur. Namun di balik uapacara ini, tersimpan makan-makna sosial yaitu mempertebal solidaristas di antara masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitar. Karena tamu di sini tidak hanya sekedar datang, makan lalu pulang, akan tetapi mereka membawa buah tangan berupa uang, beras yang tujuanya meringankan beban tuan rumah.
Sejalan dengan itu, upacara ini juga dapat mempererat tali silaturrahmi di antara kerabat yang tingal berjauhan, apalagi mereka yang tingal di daerah perantauan, sebab sesulit apa pun keadaan kerabat di rantau maisih sempat meluangkan waktu pulang kampung guna untuk menghadiri upacara ini. Bagi kerabat yang belum saling mengenal, maka pada saat inilah mereka memperkenalkan diri kepada sanak-saudara mereka yang ada di kampung halaman.
Di pandang dari segi sejarahnya, tradisi ini sudah berkembang sebelum agama islam masuk ke Minangkabau. Tradisi ini, pada awalnya ialah acara berbalas pantun dengan bahasa Minang, tetapi setelah islam berkembang di Minangkabau tradisi ini terus dilaksanakan, tetapi pantun-pantun tersebut di tukar dengan pembacaan ayat Al-Qur’an yang juga berpantun oleh Syeh Burhanuddin Ulakan, dengan tujuan pengembangan ajaran islam itu sendiri (Suryadi dalam Syair Sunur 2004). Jadi Syeh Burhanuddin Ulakan memanfaatkan pendekatan kebudayaan dalam mengembangkan ajaran islam di Pariaman. Trik-trik tersebut selalu dipergunakannya untuk memasuki suatu kebudayaan masyarakat di Minangkabau, sehingga Islam cepat berkembang di Minangkabau pada waktu itu.

SASTRA LISAN MINANGKABAU

Oleh: M.YUNIS
Arus globalisasi memang sangat berpengaruh bagi perubahan suatu kebudayaan, tersebut melibatkan berbagai unsur-unsur yang datang dari luar kemudian berbaur dengan unsur asli dari kebudayaan tersebut. Unsur-unsur yang datang dari luar, dapat melibatkan dua pihak yaitu (bilateral), beberapa pihak(multilateral) maupun global, yang mana sumber dan sasarannya sudah sangat jelas dalam realitas. Contohnya unsur-unsur yang melibatkan perubahan universal bagi suatu budaya, seperti kemajuan iptek yang menuntut suatu budaya untuk berubah, hal ini dikarenakan unsur–unsur budaya tradisi tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.
Semakin ketatnya persaingan hidup mau tidak mau akan menuntun masyarakat budaya untuk hidup sesuai dengan tuntutan zaman, pada khirnya mncullah suatu budaya imitasi yang disebut dengan westernisasi. Westernisasi atau pola hidup kebarat-baratan adalah salah satu dampak yang signifikan dalam perubahan sosial, diamana masyarakat budaya lebih cenderung mencintau dan memuja budaya barat, sehinga memandang renaah budayanya sendiri.
Menurut Malinowski, suatu kebudayaan akan hilang seiring dengan waktu, jika kebudayaan tersebut tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Salah satu contohnya adalah sastra lisan Minangkabau, yang mana perubahannya terjadi secara alamiah. Memang dari satu segi, pendapat Malinowski tersebut ada benarnya, tetapi dari sudut pandang yang berbeda pula, faktor alamiah tersebut tidak selalu mendominasi suatu perunbahan. Kita dapat memperhatikan fenomena sosial yang terjadi, dimana kesenian tradisi, budaya–budaya tradisi, sangat diincar oleh wisatawan asing maupun ahli-ahli kebudayan, dengan tujuan untuk menggali nilai-niali seni yang terkandung di dalamnya. Salah satu contohnya adalah ‘’sastra lisan Randai, yang mana peminatnya bukan saja orang minang, tapi sudah mendunia seperti orang Cina, Amerika, Australia dan sebagainya. Bahkan profesor randai sendiri adalah orang Hawai’’, ungkap Mak Katik dosen luar biasa Fakultas Sastra Unand. Maka, sangat patutlah masyarakat Minangkabau berbangga hati, kiranya hal ini dapat memberi motivasi dalam pelestariannya.
Melalui penelitian lapangan, pendokumentasian sasra lisan Minangkabau aset-aser budaya ini dapat diabadikan. Seperti perekaman, akan tetapi hal tersebut tidak menjamin keaslian dari sastra lisan tersebut. Salah satu contoh sastra lisan bagurau di Bukittinggi, diasaat mengambilan gambar dari penampil dan hal tersebut diketahui oleh penampil tersebut, maka mereka akan berusaha untuk bergaya semaksimal mungkin dalam menampilkan kebolehannya dan disaat irama nyanyian sedih, exspresi wajahnya seolah-olah dalam keadaan gembira. Jika sudah begini keadaanya, maka penampil tidak lagi menjiwai teks yang ditampilkan, hal tersebut akan jelas terlihat dari exspresi wajahnya. Maka terjadilah penyimpangan nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra lisan bagurau tersebut. Walaupun itu tidak seberapa, jika berlangsung terus-menerus di setiap kali penelitian di lakukan. maka pada saat itu pulalah nilai-nilai tersebut akan berubah fungsi dalam penampilan, sehingga menimbulkan cemoohan dari pengamat seni yang muncul dari khalayak secara spontan. Dan juga pendokumentasian tersebut tidak akan dapat bertahan lama. Jadi pendokumentasian dalam penenlitian sastra lisan tidak akan dapat menjamin keaslian data-data yang diporoleh di lapangan pada waktu penelitian dilakukan.
Kekayaan-kekayaan yang terkandung di dalam suatu kebudayaan, akan terlihat di dalam kesenian yang dihasilkan oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Melalui kesenian kita dapat mengetahui latar belakang kehidupan sosial suatu masyarakat, sistim pemerintahan, ekonomi, religi dan sebagainya, disaat kesenian tersebutditampilkan. Pada awalnya, penampilan sastra lisan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan anak nagari akan hiburan, akibat kejenuhan bekerja sehari-hari. Akan tetapi sekarang tidak hanya sekedar hiburan, melalui penampilan tersebut kita akan mengetahui siapa saja masyarakat pendukung kesenian tersebut, bagaimana mereka dapat bertahan hidup terhadap keganasan alam, dimulai dari latar belakang kehidupan sosial, religi, sistim kepemimpinan dan sebagainya. Untuk dapat mengetahui semua aspek tersebut, seorang peneliti tidak berhenti pada tahap pendokumentasian, tapi peneliti harus menyatu dengan masyarakat tersebut. Salah satu cara temudah yakni ikut mempelajari kesenian sastra lisan tersebut dari awal, dengan cara ini seorang peneliti akan dapat diterima dan dianggap bagian dari mereka yang dapat mewarisi sastra lisan tersebut. Setelah peneliti diterima dan telah berada di tengah-tengah masyarakat tersebut, maka mulailah peneliti beraksi dalam melaksanakan misinya. Maka data-data yang akan diperoleh akan terjamin keasliannya.Sehingga dalam penampilan, penampil akan tampil dengan mimik dan gaya bahasa yang seadanya, karena sudak menjadi kebiasan mereka dalam menghibur masyarakat dengan improvisasi yang tidak terlalu direkayasa. Sungguhpun misi tersebut ini diketahui oleh masyarakat tersebut, hal ini tidak akan menjadi suatumasalaan, kerena peneliti sudah dianggap bagian dari mereka yang nantinya akan meneruskan amanat berharga ini. Dan masyarakat tersebut akan percaya, ‘’seseorang itu tidak akan menghianati saudaranya sendiri’’, begitulah salah falsafah orang Minangkabau. Dengan cara-cara seperti ini, keganjilan-keganjilan di tengah-tengah masyarakat akan tertutupi, walaupun sebenarnya keganjilan tersebut nyata adanya, akan tetapi dengan trik-trik yang telah diatur dari awal, maka keganjilan ini akan tertutupi. Memang penelitian seperti ini membutuhkan waktu yang lama dan juga memerlukan biaya yang cukup besar, tapi tidak salahnya untuk mencoba, demi mendapatkan data-data yang akurat dan artefactual.
Dalam penelitiasn sastra lisan, seperti sastra lisan bagurau sebelumnya dilakukan tinjauan kepustaka dan merangkum teori-teori yang akan di gunakan dalam penelitian. Teori-teori yang digunakan biasanya teori fungsionalisme dan semiotik sosial. Dalam teori fungsionalisme, seorang peneliti mendeskripsikan berbagai fungsi dari berbagai unsu-unsur kebudayan dalam suatu sistim sosial masyarakat. Lebih jelasnya peneliti melihat sejauh mana unsur-unsur yang terdapat dalam sastra lisan tersebut dapat mempengaruhi masyarakat, yang dikenal dengan Teori fungsionalisme Malinowski.
Sedangkan teori semiotik sosial adalah ilmu tentang tanda, maksudnya peneliti meaknai fenomena-fenomena yang terlihat dalam penamplan sastra lisan tersebut baik fenomena yang terdapat pada penampil maupun terdapat pada khalayak atau masyarakat pendukung sastra lisan tersebut. Tanda dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu pananda dan petanda (Sassure, dalam semiotika sosial). Penanda adalah makna yang dimunculkan oleh tanda tersebut secara individual, sedangkan petanda adalah makana yang diberian oleh penafsir. Contoh kongkritnya adalah saluang, saluang difungssikan sebaagai penanda, sedangkan makna saluang tersebut ditafsirkan secara tersendiri oleh penafsir disebut dengan penanda.
Ssebenarnya teori ini dalam sebuah penelitian tidak terlalu dimaknai, karena di dalam penelitian tidak diperlukan teori-teori tetapi praktek yang nyata. Seperti yang telah di terangkan di atas sebelumnya, sebelum peneliti melakukan penelitian, maka seorang peneliti harus bisa mendekati masyarakat pendukung sastra lisan tersebu dan peneliti harus menjadi bagian dari mereka yang sedang diteliti, maka data-data yang di perlukan akan terjamin keasliannya dan bersifat artefactual. Untuk melaksanakan pendekatan tersebut tentunya tidak mudah. Sering terjadi, seorang peneliti dianggap maling oleh masyarakat, karena peneliti tidak pandai membawakan diri, mereka datang sangat terlalu formal, seakan–akan seorang polisi yang sedang mengintrogasi sorang tahanan. Bahkan sempat masyarakat tersebut berfikir negativ terhadap peneliti. Untuk itu seorang peneliti hendaknya cepat akrab dan tanggap terhadap lingkungan, sehingga peneliti mudah di terima oleh masyarakat tersebut. Hal ini dapat diperlihatkan dalam sikap dan pola tinggkah laku peneliti yang bersahabat. Kesimpulannya, teori-teori yang telah diterangkan di atas hanya bersifat pembantu dan pelengkap dalam pembuatan proposal serta laporan.
*Alumni Sastra Minangkabau dan Peneliti Muda di Pusat Study Humaniora Limau Manih

MELONGOK RITUAL KEAGAMAAN ‘’BASAPA’’ DI NAGARI ULAKAN

Oleh: M.Yunis*

Kegiatan basapa tidak asing lagi bagi masyarakat Pariaman, Ulakan khususnya. Setiap tahun, setelah tanggal 10 Syafar masyarakat Pariaman selalu memperingati meninggalnya Syheh Burhanuddin yang dikenal dengan sebutan basapa. Tahun 2006 ini, kegitan spiritual keagamaan ini jatuh pada tanggal 15 ( Rabu). Di namakan dengan basapa karena kegitan ini hanya dilaksanakan pada bulan safar tahun hijriyah.
Kegiatan basapa ke Ulakan ialah subuah kegiatan mengunjungi makan seorang guru yang bertempat di Nagari Ulakan Kecamatan Ulakan-Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman. Prosesinya di awali dengan berdo’a di makam Syeh dengan tujuan orang yang berdo’a mendapatkan redho dari Allah subahanahu wataala. Kemudian dilanjutkan dengan sholat berjamaah dan ditutup dengan zikir bersama.
Kegiatan basapa dilakukan ialah sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih terhadap syeh Burhanuddin, atas keberhasilannya mengembangkan ajaran Islam di Minangkabau. Ajaran Sataryah yang dia bawa mendapat tempat di hati masyarakat pada masa itu, sehingga berkembanglah agama Islam di Ranah Minang. Pada saat itu, Syeh Burhanuddinlah satu-satunya orang yang pertama kali membuka tempat pendidikan agama islam secara formal, pesantren istilah sekarang (Duski Samad, 2003). Hal ini dapat di buktikan di surau pertamanya di Tanjuang Medan, di sekeliling surau tersebut sudah terdapat rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggalnya santri-santri beliau selama menuntut ilmu agama. Untuk mengenang jasa-sjasa beliau dilakukanlah ziarah kubur oleh murid-murid dan masyarakat yang mewarisi ajaran Sataryah tersebut.
Kegitan basapa ini tidak hanya dilakukan oleh masayarakat Pariaman, masyarakat dari darekpun tidak ketinggalan. Pada saat sapa gadang contohnya, penziarah banyak yang berasal dari daerah darek, yang terdiri dari 3 luhak. Setelah ziarah dilakukan, masyarakat tersebut melakukan ritual keagamaan seperti di atas. Ada pula yang masyarakat melaksanakannya di dalam surau yang dibangun di sekitar makam. Contohnya masyarakat Toboh Gadang, dan Tanah Datar mempunyai surau tersendiri untuk melaksanakan ritual tersebut.
Sapa di kenal oleh masyarakat dengan 2 sebutan: Pertamaa Sapa gadang (safar besar), ke dua Sapa ketek (safar keci)l.
Pada saat Sapa gadang Nagarai Ulakan mulai diramaikan oleh penziarah terhitung sejak dari dari tanggal 13 (Senen) sampai tanggal 15 (Rabu) maret 2006 sekarang. Hari Rabu dianggap sebagai puncak dari kegiatan bersafar, karena hari kamis pagi penziarah sudah mulai meninggalkan Ulakan guna menuju kampung halaman mereka masing-masing. Dinamakan dengan sapa gadang, karena kesempatan ini diperuntunkan untuk masyarakat dari daerah Darek. Jumlah penziarah pada saat ini berkisar hingga ribuan orang, sehingga menutup badan-badan jalan di Nagari ulakan. Dengan kondisi yang penuh sesak ini seakan menambah semangat dan keyakinan penziarah untuk melaksanakan ritual keagamaan basapa. Selama 3 hari inilah daerah ulakan yang berdekatan dengan pantai selalu ramai oleh penziarah dan pengunjung.
Lian pula halnya dengan muda-mudi, mereka merayakan basapa di sepanjang pantai Ulakan. Moment ini, mereka gunakan sebagai ajang perkencanan, memadu kasih hingga pagi menjelang. Namun, masyarakat Ulakan tetap mempunyai konsekwensi dan aturan yang cukup tegas, bagi muda mudi yang kedapatan melakukan hal yang tidak senonoh atau samapai melakukan zinah, pasangan tersebut dinikahakan oleh tokoh masayarakat setempat. Masyarakat tidak peduli apakah orangtua mereka setuju atau tidak. Tapi entah kebetulan atau apa, setelah kegiatan bersapa gadang selesai tepatnya hari kamis pagi, Nagari ulakan selalu di guyur hujan. Bisa jadi hujan yang turun dapat dianggap sebagai pembersih noda yang di tingalkan muda-mudi di Nagari ulakan tersebut. Kejadian seperti ini berlaku pula pada saat sapa ketek (sapa kecil) nantinya.
Sapa ketek dilaksanakan pada hari Rabu minggu ke 2 setelah sapa gadang. Pada saat ini pengunjung lebih ramai dari pada Sapa gadang, karena umumnya pengunjung berasal dari daerah pariaman dan juga pengunjung pada Sapa Gadang juga melakukan ziarahnya untuk ke dua kalinya. Oleh karena itu, dinamakanlah sapa ini dengan sapa ketek, sebab hanya diperuntunkan untuk masyarakat Pariaman, tapi tidak tertutup kemunggkinan bagi masyarakat dari Darek, sehingga penziarah lebih ramai dari pada Sapa Gadang.
Ritual ini dimulai hari rabu tanggal 22 Maret, prosesinya di awali dengan sholat zuhur hingga pagi harinya. Sementara kegiatan yang dilakukan sama seperti yang dilakukan pada saat sapa gadang baik penziarah maupun pengunjung yang didominsi oleh muda mudi.
Tapi sungguh disayangkan, kegiatan basapa ini telah jauh melenceng dari ketentuan yang ditetapkan oleh Guru Sataryah terdahulu. Jika sidang pembaca melongok ke areal pemakaman, akan terlihat orang yang sedang berdo’a di samping makam Syeh sudah mendekati hal-hal yang berbau syirik. Sebagian orang terlihat sedang berebutan untuk mengambil pasir kuburan syeh, mereka percaya pasir tersebut mujarab dijadikan obat. Begitu pula dengan air di dalam kerang yang diletakan berdekatan dengan Batu hampa (batu landasan yang digunakan ketika memukul kemaluannya) Syeh Burhanuddin, penziarahpun berrebutan untuk mendapatkan air tersebut. Sekarang air itu telah dibungkus dengan plastik kecil yang telah diisi dengan sayatan-sayatan limau (jeruk nipis), dengan catatan orang tersebut memberi infak sebesar Rp1000. Air ini dipercaya sebagai obat, seperti penambah kepintaran jka air tersebut diusapkan ke kepala.
Tidak hanya itu, di sekeliling makam dapat diperhatikan belasan orang terlihat Siak sedang mengobral do’a. Syaratnya bagi orang yang meminta dido’akan harus bersedia memberikan infak kepada orang siak dengan jumlah yang tidak ditentukan. Ditambah lagi tingkah laku muda mudi di sepanjang pantai Ulakan. Itulah kenyataan yang terjadi selama bersapa ke Ulakan.

MITOS DALAM DUNIA KEKINIAN

Oleh M. yunis

Umumnya masyarakat tradisional menyalurkan perasaan hati memalui sebuah perantara, sebab masyarakat tradisional belum mengenal apa yang disebut basa tulis. Agar pendidikan terus berlangsung, masyarakat tempo dulu menciptakan apa yang dinamakan dengan mitos yang mana akademisi sekarang menyebutnya dengan folklore. Mitos sebagai sarana pendidikan terus disalurkan dari mulut ke mulut sehingga mitos tersebut diwarisi turun temurun bahkan sampai sekarang
Cerita rakyar seperti ini sangatlah unik, baik dari filosofi maupun dari makna yang diusungnya. Para sejarahwan mengatakan bahwa mitos adalah cerita rekaan belaka. Artinya, fakta sejarah yang mendukung kahadirannnya sama skali kurang atau tidak ada. Namun, sebagai sarana pengusung pesan di dalam mitos terdapat proses pembelajaran, meskipun berkembang dari mulut ke-mulut, tetapi akhir-akhir ini fungsi tersebut tidak begitu menonjol bahkan lebih diarahkan untuk hiburan belaka. Sebab, lambat laun masyarakat kita tidak lagi memandang mitos sebagai aset yang berharga bagi pembentukan kepribadian sesorang. Hal ini, mungkin disebabkan semakin majunya pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat sekarang juga butuh fakta yang berangka tahun, sehingga cerita seperti mitos sering ini tidak dpercayai.
Seperti yang telah diterangkan di atas, di dalam mitos yang dihasilkan masyarakat berisikan didikan–didikan yang tentunya bersifat informal. Tergantung bagaimana kita memaknainya dengan sungguh-sungguh, mulai dari filososfi dan latar belakang lahirnya, sehingga kita menemukan keunikan dan keanehan di dalam mitos tersebut, dan akhirnya akan dapat menguak fakta sejarah kepribadian yang dimiliki oleh masyarakat kita tempo dulu.
Seiring dengan majunya pendidikan keberadaan mitos mendapat tantangan global, tantangan tersebut berupa kritikan yang mana kritikan tersebut bersifat sangat tidak membangun. Penulis pikir rasa keingintahuan yang lebih, tetapi tidak tersalurkan menciptakan rasa ketidakpuasan para kritikus. Namun demikian, juga sering diantara kritikus melupakan ruang kososng yang ada di dalam dirinya, dan memandang mitos ini dari segi Etik, tanpa memperhatikan faktor Emik. Sehingga kritikus melihat mitos hanya cerita menakut-nakuti anak kecil agar patuh kepada orang tua. Sementara kritkan itu tidak dibarengai dengan kemauan dan kesabaran untuk menggali mitos, para kritikus bisa saja surut satu langkah untuk meneliti kelahiran mitos di tengah masyarakat. Namun, fakta malah sebaliknya sehingga jalan buntuk selalu mengedepan, akibatnya cercacaan, cela, dan arogan-arogan yang anarkis menghujat, menyudutkan, seakan-akan mitos tersebut tidak pernah ada di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, padahal kita hidup di tengah-tengah mitos itu sendiri yaitu mitos kehidupan, sebab manusia juga tidak mengetahui kapan kehidupan ada, tanggal berapa dan bulan berapa, nyatanya sampai sekarang tiada seorangpun yang mampu menciptakan standarisasi awal dimulainya kehidupan ini.
Pernah muncul pernyataaan dari sebagian masyarakat sekarang ‘’bahwa di dalam tambo hanya terdapat 20 % unsur-unsur sejarah, 98% lagi adalah mitos atau kebohongan, hal ini tidak lebih berfungsi hanya untuk memperkuat keberadaan suatu tokoh di dalam suatu masyarakat’’. Pernyataan seperti ini secara tidak langsung telah menghilangkan asal usul sebuah masyarakat dan lebih parah lagi kesimpulan ini telah diwarisi pada generasi selanjunya.
Roland Barthes dalam bukunya Mithologies menerangkan dengan rinci tentang mitos, dengan ilmu semiotik (ilmu tentang tanda) Barthes berusaha mengungkap makna di balik mitos tersebut. Barthes menggolongkan tanda menjadi 2 bagian yaitu tanda (makna yang dimunculkan objek tersebut secara individu) dan penanda (makna simbolik yang terungkap apa bila diinterprestasikan dengan memperhatiakn fenomena-fenomena budaya yang berlaku). Dengan pisau semiotik ini, Barthes berkelana dari suatu kebudayaan ke-kebudayaan lainya, dia juga mampu melihat bahwa di dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut terdapat berbagai penanda-penanda kebudayaan yang unik dan menarik, salah satunya adalah mitos.
Barthes ialah salah satu contoh orang yang berhasil menemukan ruang ksosong di dalam dirinya. Barthes juga mampu melihat gambaran-gambaran kejadian, keadaan atau fenomena-fenomena budaya yang terjadi pada masa lampau ataupun pada masa sekarang. Gambaran-gamabaran tersebut telah membuka wawasan Barthes dan ia menjadi tahu bagaimana orang-orang terdahulu memberikan nasehat, dan didikan kepada generasi muda.
Sebagai contoh, adanya mitos ‘’balayia jo lapiak salai’’ artinya berlayar dengan sehelai tikar. Mitos ini timbul ketika Syeh Burhanuddin pulang dari Aceh berlayar dengan sehelai tikar, demi kebaktian beliau terhadap guru yakni Syeh Abdurrauf . Jika kita pandang mitos tersebut sebagai tanda, berarti beliau memang benar berlayar dengan sehelai tikar, akan tetapi jika tilik sebagai penanda, di sana terselip kepatuhan seorang murid terhadap guru dan hal ini tidak dimiliki olah murid-murid Syeh Abdurrauf yang lain atau dapat juga diartikan, bahwa Syeh Burhanuddin benar-benar menggunakan sehelai tikar, akan tetapi tikar tersebut dijadikan layar dari perahu yang dia gunakan. Mungkin pernyataan ini diaggap melenceng oleh sebagian orang, akan tetapi kenyataan juga bisa berlaku seperti itu.
Contoh kedua, sebuah ungkapan lama yang dimiliki masyarakat Minang, ‘’sajak gunuang marapi sagadang talua itiak’’ artinya berawal dari gunung merapi sebesar telur itik. Secara ilmu pengetahuan, sebagai penanda hal itu dapat dianggap benar, bahwa gunung berapi yang dapat kita lihat sekarang mungkin tidak langsung sebesar itu, pada awalnya gunung api hanya berbentuk celah keil yang ada dikulit bumi, kemudian celah tersebut mencipta gundukan kecil bertambah lama bertambah besar ssebagai akibat tolakan energi yang maha dasyat dari dalam perut bumi, semakin lama energi yang ada dalam perut bumi semakin besar, maka sudah barang tentu tolakannya untuk keluar juga semakin kuat dan gundukan yang terbentuk juga bertambah besar, akhirnya gundukan tersebut dinamakan dengan gunung berapi. Jika gundukan tanah tadi tidak lagi mampu menahan energi yang ada di dalam perut bumi, suati saat gundukan itu pecah inilah yang dinamakan dengan letusan gunung berapi.
Jika kita perhatikan, bahwa orang Minang dahulu cukup pandai dan pintar dalam menanggapi berbagai macam fenomena alam, sehingga mereka mampu melahirkan falsafah alam takambang jadi guru. Dan tidak tertutup kemungkinan bahwa orang Minang mampu menjadikan dasar fenomena alam untuk menciptakan berbagai macam ungkapan, mamangan dan sebagainya. Bahkan sebelum berkarya, orang Minang selalu memikirkan kelogisan dari ciptaan mereka, sebutlah itu filsafat-filsafat Adat, mamangan adat, petatah-petitih ataupun mitos Balayia jo lapak salai.
Sungguh sangat disayangkan sekali bahwa kehadiran mitos hilang begitu saja. Sebab bagaimananpun juga mitos adalah milik kolektif dan menjadi identitas sebuah masyarakat. Maka sudah sepatutnyalah generasi sekarang menggali dan memperhatikan keberadaan mitos di dalam masyarakat. Penggalian ini bukan dimaksudkan untuk menjadikan mitos sebagai kiblat baru bagi dunia pendidikan, tetapi untuk memepelajari falsafah yang termuat di dalamnya.

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987