Minggu, 17 Agustus 2008

Jumat, 2008 Agustus 08 Lowongan Kerja di Kelompok Penerbit Zahra (Zahra, Dastan Books, Daras Books)

Kelompok Penerbit Zahra (Zahra, Dastan Books, Daras Books), penerbit
buku yang tengah berkembang pesat, membuka lowongan pekerjaan untuk
posisi-posisi berikut ini:


1. CREATIVE EDITOR (CE)

Kualifikasi:

- Pria/wanita, pendidikan minimal S1.
- Usia maksimal 30 tahun.
- Memahami bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan baik.
- Memiliki kemampuan berkomunikasi dan interpersonal yang baik.
- Memiliki minat baca yang tinggi.
- Kreatif dan berwawasan luas.
- Akrab dengan MS Word, email & Internet.
- Berdomisili di wilayah Jakarta atau sekitarnya.



2. LAY-OUTER / SETTER (LO)

Kualifikasi:

- Pria/wanita, pendidikan minimal D3.
- Usia maksimal 30 tahun.
- Memahami prinsip-prinsip desain (format lay-out, tipografi, dll.).
- Mampu mengoperasikan software PageMaker, InDesign, Corell Draw,
Illustrator, Freehand, dan PhotoShop.
- Berpengalaman kerja di bidangnya.
- Kreatif dan berwawasan luas.
- Akrab dengan email & Internet.
- Berdomisili di wilayah Jakarta atau sekitarnya.



3. KEPALA PRODUKSI (KP)

Kualifikasi:

- Pria, pendidikan minimal D3 Grafika.
- Usia maksimal 30 tahun.
- Memahami prinsip-prinsip desain (format lay-out, tipografi, dll.).
- Akrab dengan software PageMaker, InDesign, Corell Draw,
Illustrator, Freehand, dan PhotoShop.
- Berpengalaman kerja minimal 1 tahun di bidang percetakan atau
penerbitan.
- Mengerti dan menguasai proses cetak offset dan lingkup penerbitan.
- Memahami color management.
- Memiliki kemampuan berkomunikasi dan interpersonal yang baik.
- Akrab dengan email & Internet.
- Berdomisili di wilayah Jakarta atau sekitarnya.



4. STAF PROMOSI (SP)

Kualifikasi:

- Pria, pendidikan minimal D3.
- Usia maksimal 30 tahun.
- Menguasai MS Word dan akrab dengan email & Internet.
- Memiliki SIM C atau SIM A.
- Memiliki kemampuan berkomunikasi dan interpersonal yang baik.
- Supel, komunikatif, kreatif, dan berwawasan luas.
- Berdomisili di wilayah Jakarta atau sekitarnya.




Kirim CV dan surat lamaran Anda ke (plus foto terbaru) ke:


HRD Zahra Publishing House
Jl. Batu Ampar III No.14
Condet, Jakarta Timur 13520

Cantumkan kode posisi di pojok kiri atas amplop.



Atau via email (dalam bentuk file MS Word) ke:

lowongan@zahra.co.id (lowongan[at]zahra.co.id)

Tulis kode posisi di subject email.
Foto jangan di-attached, melainkan dimasukkan ke file MS Word.

Zahra Publishing House
Jl. Batu Ampar III No. 14 Condet
Jakarta Timur 13520
Indonesia
Tel.: 021 – 8092269
Faks.: 021 – 80871671
Websites:
www.zahra.co.id
www.dastanbooks.com
www.darasbooks.com

UNDANGAN MENULIS tentang RHM

Sabtu, 2008 Agustus 16


Kami Bandar Publishing, Banda Aceh. Mengundang Anda dimana saja berada untuk
menulis tentang almarhum RMH (Ridwan Haji Mukhtar). Karena, bagi kami. RHM
bukan saja meningalkan Sri Wahyuni dan bocah buah hatinya Azizah Mernissi
Nuqthah. Namun, menurut kacamata kami, RHM meninggalkan begitu banyak kisah,
kisah hidup seorang aktivis, seniman/budayawan, politisi dan seorang yang
hidup bersahaja di tengah konflik dan damai.

Kira-kira pada bulan July 2007 lalu, secara tak sengaja berjumpa RHM di
simpang Galon Darussalam, ia menyapa kami dengan santun sambil yang berujung
pada diskusi kecil di pinggi jalan. Akhir cerita, sikap dingin dan santunya
keluar dengan ucapan, "Kawan, sejarah Aceh harus di record".

Tugas seperti yang diinginkan RHM sudah kami mulai, dan dia begitu bangga
menerima persembahan buku perdana kami *Aceh dan Romantisme Politik*, kini
dalam waktu hitungan hari kami juga segera akan meluncurkan buku berikutnya;
Tasawuf Aceh karya Sehat Ihsan Shaqidin pengantar Prof Dr Ahmad Daudy dan buku
Aceh; Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki karya Harry Kawilarang, dengan
editor Murizal Hamzah dan Pengantar Irwandi Yusuf.

Untuk itu, kami mengajak anggota jamaah milis dan saudara sekalian yang
bersimpati pada RHM untuk menulis kisah kehidupan dan pergulatannya semasa
RHM hidup dalam bentuk tulisan dengan tema RHM, baik itu kisah perkawanan
Anda dengan RHM, pemikirannya dan lain-lain,,,.

Insyaallah, sumbangan tulisan Anda berusaha kami terbitkan dalam bentuk
buku. Tulisan anda akan disunting oleh *adoe-adoe* RHM seperti Mukhlisuddin
Ilyas, Taufik Al Mubarak, Sehat Ihsan Shadiqin, Lukman Emha, dan Azhari.

*Syaratnya Mudah . . .*
1. Tulisan asli, bukan saduran dan jiplakan.
2. Diketik dengan kerapatan 1 spasi
3. Panjang: 3 s/d/ 7 halaman A4
4. Badan tulisan menggunakan huruf (*font*): Times New Roman ukuran 12
5. Menggunakan bahasa Indonesia
6. Isi dan materi yang disertakan dalam tulisan tidak melanggar Hak Cipta orang lain lain
7. Mengirim profil, dan nomor telepon penulis yang bisa dihubungi.

Pengiriman tulisan dalam bentuk *softcopy* ke alamat:
To: bandar.publishing@gmail.com
Cc: mukhlisuddin_ilyas@yahoo.com



*Batas pengiriman tulisan; mulai 13 August 2008 s/d 28 September 2008.*

* *


Salam,

Bandar Publishing
*Lembaga yang berdikasi merekam sejarah Aceh*

Lowongan Editor Balai Pustaka Assalamu alaikum

Senin, 2008 Agustus 04

Setelah perekrutan gelombang pertama, Balai Pustaka kembali membuka lowongan
sebagai:
1. EDITOR BUKU ANAK
2. EDITOR BUKU SASTRA

Kualifikasi EDITOR BUKU ANAK

1. Mencintai dunia anak-anak
2. Mengerti psikologi perkembangan anak
3. Mengikuti perkembangan industri buku anak di Indonesia&dunia
4. Mampu menulis cerita anak, dibuktikan dengan menyerahkan satu tulisan yang pernah dibuat

Kualifikasi EDITOR BUKU SASTRA

1. Aktif mengikuti perkembangan Komunitas Sastra di Indonesia
2. Mempunyai jaringan luas di kalangan penulis Sastra
3. Mengikuti perkembangan industri buku Sastra di Indonesia&dunia
4. Mampu menulis fiksi, dibuktikan dengan menyerahkan satu tulisan yang pernah dibuat (minimal cerpen)

jika ANda merasa memiliki kualifikasi di atas, segera kirim lamaran Anda ke:

GM Penerbitan Balai Pustaka
di Gedung Balai Pustaka Lt.2
Jalan Gunung Sahari Raya Nomor 4, Jakarta, 10710

atau kirim ke:

sastra.balaipustaka@yahoo.com
dengan subject: EDITOR BUKU ANAK atau EDITOR BUKU SASTRA (Sesuai kualifikasi yang Anda miliki)

lamaran paling lambat diterima tanggal 11 Agustus 2008

salam
dp

Lomba pembuatan film anak, munculkan kreativitas dan kemampuan berkomunikasi

Rabu, 2008 Agustus 06


FILM ANAK
Munculkan Kreativitas dan Kemampuan Berkomunikasi

Lomba pembuatan film oleh anak bermanfaat sebagai stimulasi kreativitas anak dan memunculkan kemampuan berkomunikasi anak. Untuk itulah lomba Kid Witness News (KWN) digelar.

Demikian ditegaskan Direktur Panasonic Indonesia Siswanto Karyogoeno, Selasa (29/7), di Jakarta dalam peluncuran lomba KWN yang juga dihadiri staf ahli Menteri Negara Lingkungan Hidup Henri Bastaman. Lomba KWN kembali digelar Panasonic Gobel Indonesia tahun ini.

Dia mengatakan, "Ajang ini juga bertujuan menciptakan kerja sama di antara siswa saat mengerjakan tugas di lapangan dan aktivitas lain dalam proses pembuatan film." Peserta lomba adalah anak usia 10-15 tahun. Lomba ini digelar Panasonic sejak 2004.

Lomba KWN didukung oleh Kementerian Negara LH dan para mitra, yaitu Institut Kesenian Jakarta, Trans7 (televisi), Female Radio, PT Padang Digital Indonesia, Hope Worldwide Indonesia, World Wildlife Fund (WWF), dan PT Senjaya Bersama Utama.

Pada kontes Global KWN 2007, tim Indonesia merebut penghargaan Environment Award dan Web Award. Tahun ini dengan tema lingkungan dan subtema "Lihat Sekitarmu dan Ceritakan pada Dunia", peserta (2-10 siswa per tim) harus memasukkan jalan cerita (story line), 31 Agustus 2008. (isw)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/01/01062970/munculkan.kreativitas.dan.kemampuan.berkomunikasi

Link KWN: http://www.kwn-id.com

Lowongan Direktur Publikasi di Yayasan Lontar

Rabu, 2008 Agustus 06


The Lontar Foundation is seeking candidates to fulfill the positions of
Director of Publications. Details of the duties involved are given below:
Position Description: Director of Publications
The Lontar Foundation
The Director of Publications of the Lontar Foundation is chosen by the
Foundation's Executive Director in consultation with an independent human
resources management advisor or team. The Director of Publications is in charge
of the Foundation's publications program. Applicants for this position
should demonstrate the following skills:
1. Management skills: Applicant must have a minimum of five years of experience
in the publishing industry, preferably in a company that produces literary
titles. Applicant must be able to choose, with approval of the Executive
Director, the personnel required for the publication of Lontar books-including
but not restricted to editors, translators, proofreaders, typists, transcribers,
illustrators and so on. Applicants must show prior experience in financial
management.
2. Fund-Raising skills: Lontar is self-reliant on funding and the Director of
Publications is expected to spend a portion of his or her time working with the
Executive Director in writing proposals to obtain funding needed for the
Foundation's publications program.
3. Program skills: Applicants must have a thorough knowledge of the history and
cultures of Indonesia, particularly its literary traditions, both oral and
written.
4. Computer skills: Applicants should have broad knowledge of computer
technology and demonstrate appreciation of the potentials in using information-
and print-on-demand technology to advance the Foundation's publishing goals.
Mastery of word-processing and basic design programs is a must. Because the
Foundation plans on publishing an on-line literary journal, experience in web
design and development is also recommended.
5. Communication skills: Applicants must be fluent in Indonesian and English
and have excellent writing and speaking skills to work with the numerous
personnel in his or her charge, to conduct stimulating meetings, and to give
talks about Indonesian literature and the goals of the Foundation's
publishing program.
6. Personal skills: The ability to interact smoothly with all kinds of writers,
translators, and other personnel involved in a publishing project. Experience
living and working abroad is not a prerequisite but knowledge of foreign
educational institutions, especially where Indonesian language, literature, and
culture is taught, is also a desirable characteristic. While, as a matter of law
and good practice, the age of applicants is not limited, Lontar is looking for
dynamic individuals who demonstrate a clear devotion to the promotion of
Indonesia through its cultural traditions, particularly literature.
The objective of the position of Director of Publications is an uninterrupted
flow of quality publications. In the course of day-to-day operations, the
Director of Publications will bear the following duties and responsibilities:
* With the approval of the Executive Director, negotiate contracts with
translators, editors, designers, and all other external personnel involved in a
publishing project.
* In line with the above, develop a set of standard contracts for all
publishing related personnel as well as job descriptions for each position;
* Working closely with the Executive Director and other division heads, develop
and execute a master plan for the Publications Division.
* Preparing correspondence on behalf of the Executive Director regarding
publishing agreements
* Filing and archiving all division records, including book designs, films etc.
* If necessary, representing the Executive Director in negotiations with other
parties
* Preparing annual, two-year, and three-year budgets
* Preparing fact sheets for all publications
* Working with the marketing and sales staff on the promotion of Foundation
publications
* Preparing press releases
* Organizing promotional events

While ultimate responsibility for the implementation of these duties is that of
the Director of Publications, he/she will, if Foundation financing permits, be
assigned an assistant to help with this work.
Candidates are asked to submit to the Foundation, before the end of August,
their curriculum vitae, photograph, and list of references. Candidates should
also include a cover letter describing why he/she would like to work for the
Foundation and what he/she would do to help the Foundation achieve its goals.
Screening of candidates for the positions will take place in September for
employment to begin in October.
Please send all relevant materials to:
The Lontar Foundation
Jl. Danau Laut Tawar No. 53 Pejompongan Jakarta 10210
Or email: admin@lontar.org with the subject: director of publications

Minggu, 10 Agustus 2008

Bataram : Sastra Lisan Minangkabau

Sunday, 04 September 2005

Oleh:Zuriati

Bataram adalah salah satu ragam tradisi bakaba (menceritakan kaba, yakni satu jenis sastra lisan Minangkabau yang
berisi cerita dan berbentuk prosa liris), yang khususnya terdapat di Pesisir Selatan, Sumatra Barat, dan dalam
pertunjukannya memakai adok (rebana besar) sebagai alat musik pengiring.
* (Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang)
Cerita yang dibawakan dalam tradisi bataram ini yaitu cerita Kaba Sutan Pangaduan. Kaba Sutan Pangaduan ini
bercerita tentang Sutan Pangaduan sebagai tokoh utama cerita. Dia adalah anak dari Raja Gombang Patuanan dari
Kerajaan Nagari Medan Baik dan Puti Andam Dewi dari Nagari Jerong Kampung Dalam. Sutan Pangaduan ini bernasib
malang: Ayahnya dibunuh oleh Raja Unggeh Layang dari Nagari Taluk Sinalai Tambang Papan sewaktu dia masih
dalam kandungan ibunya dan ibunya ditawan untuk dijadikan istri oleh Unggeh Layang. Kemudian, cerita berkembang
dalam kerangka Sutan Pangaduan membebaskan ibunya dari tawanan Raja Unggeh Layang dan saudaranya. Dalam
membebaskan ibunya, Sutan Pangaduan dibantu oleh saudara-saudaranya yang seayah, yaitu Puti Sari Makah, Sutan
Palampaui, dan Sutan Lembak Tuah. Semua tokoh yang hadir dalam cerita ini memiliki ilmu kebatinan yang sangat
tinggi. Oleh karena kehebatan ilmu yang dimiliki oleh Sutan Pangaduan dan saudara-saudaranya, maka pihak Raja
Unggeh Layang menyerah kalah dan membiarkan musuh-musuhnya hidup dengan tenang dan damai.
Cerita Kaba Sutan Pangaduan ini dikenal juga dengan judul Kaba Gombang Patuanan. Judul tersebut pertama
didasarkan pada nama anak dalam cerita, yakni Sutan Pangaduan (sebagai tokoh utama) dan judul tersebut kedua
didasarkan pada nama ayah dari tokoh utama, yakni Gombang Patuanan. Kedua judul itu merujuk kepada cerita yang
sama. Cerita ini didendangkan oleh seorang pendendang (singer) yang disebut dengan tukang taram. Pendendang atau
tukang taram ini sekaligus berperan sebagai pemain musik adok. Biasanya, cerita diselesaikan dalam empat kali
pertunjukan (empat malam).
Penamaan bataram didasarkan pada nama orang yang pertama kali memperkenalkannya, yaitu Angku
‘Engku’ Taram. Penamaan itu berbeda dengan penamaan pada ragam tradisi bakaba lainnya di
Minangkabau, seperti si jobang, rabab pasisie, dan rabab pariaman. Penamaan si jobang didasarkan pada nama tokoh
utama dalam cerita, yaitu Anggun nan Tongga Magek Jabang, yang dalam bahasa Payakumbuh menjadi Jobang; dan
rabab pasisie serta rabab pariaman didasarkan pada gabungan nama alat musik yang dipakai dalam pertunjukannya,
yaitu rabab (sejenis biola) dan nama daerah tempat asal ragam tradisi itu, yaitu Pesisir Selatan dan Pariaman.
Biasanya, bataram dipertunjukkan di rumah penduduk yang sedang menyelenggarakan helat perkawinan, di lepau, dan
di lapangan (panggung) terbuka jika ada acara alek nagari ‘pesta adat’. Dalam pertunjukannya, tukang
taram duduk bersila di atas kasur yang dilengkapi dengan dua bantal. Satu bantal dipergunakan tukang taram sebagai
sandaran dan satu bantal lagi diletakkan di atas paha tukang taram yang dipergunakan sebagai alas adok. Tidak ada
aturan khusus mengenai posisi tempat duduk tukang taram ini.
Bataram dipertunjukkan pada malam hari, selepas shalat Isya (kira-kira pukul sembilan malam) sampai menjelang
Shubuh (kira-kira pukul lima pagi). Awalnya, pertunjukan berlangsung selama empat malam dan satu malam pertunjukan
disebut dengan sakalawang (satu babak). Akan tetapi, biasanya, pertunjukan yang diadakan di lepau hanya berlangsung
sampai pukul dua dini hari. Begitu juga, pertunjukan yang diadakan di pesta perkawinan atau di lepau hanya
berlangsung selama satu malam atau sakalawang (satu babak) dari empat kalawang (babak) cerita. Cerita yang
dipertunjukkan dalam satu babak itu dianggap selesai atau tamat oleh penonton (khalayak). Oleh karena itu, babak yang
akan dimainkan atau dipertunjukkan dapat dipesan, terutama oleh pihak pengundang. Artinya, pihak pengundang boleh
memesan satu babak cerita yang paling diminati dari empat babak yang ada dalam cerita.
Dalam satu kalawang pertunjukan, tukang taram beristirahat sebanyak tiga kali. Waktu istirahat itu dipergunakan oleh
tukang taram untuk merokok dan menikmati jedah yang disediakan oleh tuan rumah, sambil bersenda gurau dengan
para penonton mengenai tokoh-tokoh cerita yang baru saja didendangkannya. Lama waktu yang dipergunakan untuk
beristirahat ini kira-kira lima belas sampai dua puluh menit.
Alat musik adok merupakan alat musik tunggal yang dipakai dalam pertunjukan bataram. Adok ini diletakkan di atas
paha tukang taram yang duduk bersila, dengan posisi tegak. Jadi, adok itu terletak di antara paha dan dagu tukang
taram. Tangan kanan tukang taram berfungsi untuk memukul adok bagian bawah dan menghasilkan bunyi atau irama
tertentu. Tangan kiri memegang adok bagian atas dan menghasilkan bunyi atau irama peningkah.
Adok dipukul perlahan dan dipukul agak cepat dan keras pada saat tukang taram mengambil napas. Pukulan terhadap
adok akan berhenti sejenak pada saat ratok ‘ratap’. Ratok ‘ratap’ ini merupakan bagian
cerita yang mengungkapkan kesedihan para tokoh, yang disampaikan dengan cara meratap atau menangis oleh tukang
taram.
Solok Selatan
http://www.solok-selatan.com Powered by Joomla! Generated: 11 August, 2008, 00:28
Penonton atau khalayak dari bataram didominasi oleh laki-laki. Jika ada penonton dari kaum perempuan, itu hanya
bersifat sementara, sebagai ungkapan rasa ingin tahu saja. Kaum perempuan ini hanya mancigok sabanta
‘melihat sebentar’ dari dapur. Artinya, bataram ini adalah suatu dunia milik kaum laki-laki. Hal itu sangat
didukung oleh, antara lain waktu pertunjukan pada malam hari dan jenis kelamin tukang taram yang laki-laki pula.
Biasanya, pada awal pertunjukan, penonton terdiri atas anak-anak, remaja, pemuda, dan orang tua-tua. Semakin malam
waktu pertunjukan, semakin berkurang pula penontonnya. Penonton yang bertahan sampai pertunjukan usai (sampai
pagi) adalah penonton yang tua-tua. Bagi kaum muda, datang ke pertunjukan bataram bukanlah untuk menonton, tetapi
terutama untuk bertemu dan berkumpul dengan teman-teman sebaya mereka.
Sebaliknya, bagi kaum tua, datang ke pertunjukan adalah untuk menikmati cerita. Mereka terus bertahan sampai cerita
selesai (sampai pagi). Mereka merasa diikat oleh cerita, dalam arti bahwa mereka merasa terlibat dan hanyut dalam
cerita serta menganggap cerita itu benar-benar pernah terjadi. Mereka akan terus bertahan, karena ingin tahu cerita
selanjutnya dan selengkapnya. Ketertarikan mereka dengan pertunjukan, kadangkala, diselingi dengan sorakan-sorakan
dan komentar-komentar kecil, terutama berkenaan dengan tokoh-tokoh dan jalan cerita. Kadang-kadang pula, mereka
berdecak kagum dengan diiringi oleh gerakan gelengan kepala, ketika tukang taram melukiskan kehebatan ilmu yang
dimiliki oleh para tokoh cerita.
Teks bataram berbentuk prosa liris dengan ciri rima akhir pada setiap larik bersajak bebas. Di samping itu, pada bagianbagian
tertentu dalam cerita dipergunakan pantun, yaitu pada bagian awal babak pertama, ketika tokoh-tokoh berpisah,
dan ketika peralihan cerita dari satu tokoh kepada tokoh yang lain. Contohnya:
Kaik bakaik rotan sago
nan takaik juo di aka baha
sampai ka langik tabarito
di bumi jadi kaba
(Kait berkait rotan sagar terkait juga pada akar bahar sampai ke langit terberita di bumi jadi kaba)
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Minangkabau dialek Pesisir Selatan, dan kadangkala juga dipakai bahasa
Minangkabau umum. Teks bataram ini menggunakan kata-kata kiasan, perumpamaan, dan perbandingan. Jadi, bahasa
teks bataram ini berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Pesisir Selatan khususnya dan
masyarakat Minangkabau umumnya. Namun begitu, kata-kata yang digunakan tidak sepenuhnya bersifat tradisional.
Kadangkala, tukang taram mempergunakan istilah-istilah modern, misalnya kata boong ‘bohong’.
Dalam teks bataram terdapat banyak bunyi sisipan (filler sylables), yang berfungsi sebagai penerus atau penyempurna
bunyi (irama). Contohnya:
Ndeh diak kanduang yo dek diri
dangalah bana di diak kanduang
rasian yo diak oi … kato rang kampuang
mimpi yo diak ei … kato kito
(Adik kandung badan diri dengarlah oleh adik kandung rasian kata orang kampung mimpi kata kita)
Banyaknya ditemukan bunyi-bunyi sisipan (filler sylables) itu disebabkan oleh penciptaan larik-larik teks didasarkan pada
kesatuan pengucapan dengan panjang yang relatif sama atau caessura. Pada dasarnya, caessura adalah penggalan di
tengah baris –satu baris terdiri atas 8 – 12 suku kata -- untuk kepentingan irama, dan ia juga merupakan
penggalan penanda untuk bagian kedua. Bunyi penyisip itu akan muncul, bila jumlah suku kata atau kata dalam
kesatuan pengucapan kurang dari yang diperlukan (untuk kepentingan irama). Sebaliknya, apabila suku kata atau kata
berlebih, maka terjadi pelesapan suku kata, terutama di awal kata, seperti kata ‘teh, ‘ndeh, dan
‘ndak. Kata ‘teh berasal dari kata ateh ‘atas’ dan ‘ndeh berasal dari kata ondeh
‘aduh’ serta ‘ndak berasal dari kata indak ‘tidak’.
Pertunjukan bataram diawali dengan pembakaran kemenyan. Pembakaran kemenyan ini dilakukan sebagai tanda minta
izin kepada arwah tokoh-tokoh cerita yang dianggap benar-benar ada pada masa cerita itu. Biasanya, setelah kemenyan
terbakar dan mengeluarkan asap dengan baunya yang khas, ketika itu cecak yang ada di loteng akan berbunyi dengan
keras. Lalu, suara cecak itu dibalas oleh tukang taram dengan cara mengetuk-ngetuk lantai dengan jarinya sebanyak
tiga sampai lima kali. Hal itu dipercayai sebagai tanda bahwa arwah tokoh-tokoh cerita itu ‘hadir’ di tempat
pertunjukan. Kemudian, barulah tukang taram melanjutkan pertunjukan.
Selama pertunjukan, tukang taram berkonsentrasi dengan cerita yang sedang dibawakan. Kadang-kadang, ia
menutupkan mata, kadang-kadang melihat kepada penonton, dan kadang-kdang juga menekurkan kepala.
Pertunjukan yang berlangsung selama empat malam diakhiri atau disempurnakan dengan memotong kambing atau dua
ekor ayam. Jika, kegiatan akhir ini (sebagai syarat yang harus dipenuhi pada akhir cerita) tidak dilaksanakan, maka
Solok Selatan
http://www.solok-selatan.com Powered by Joomla! Generated: 11 August, 2008, 00:28
tukang taram percaya, bahwa dia akan menjadi seorang pesakitan, atau sesuatu bencana (alam) akan terjadi menimpa
masyarakat, terutama para nelayan di lautan.
Sumber : Dendri Leonaldi ( Aktifis JEMARI Sakato )

http://www.minangkabau.info

Suku Minangkabau

Minggu, 10 Februari 2008

Suku Minangkabau atau Minang atau seringkali disebut Orang Padang adalah suku yang berasal dari provinsi Sumatera
Barat. Suku ini terutama terkenal karena adatnya yang matrilineal walau orang-orang Minang sangat kuat memeluk
agama Islam. Suku Minang terutama menonjol dalam bidang perdagangan dan pemerintahan. Kurang lebih dua pertiga
dari jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di
kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah
Indonesia, suku Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia
dan bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini, populer dengan sebutan,masakan Padang sangat terkenal. Suku
Minang pada masa kolonial Belanda juga terkenal sebagai suku yang terpelajar. Oleh sebab itu pula mereka menyebar
di seluruh Hindia-Belanda sebagai pengajar, ulama dan menjadi pegawai pemerintah. Di samping itu, mereka juga aktif
dalam mengembangkan sastra Indonesia modern, dimana hal ini tampak dari banyaknya sastrawan Indonesia di pada
masa 1920 - 1960 yang berasal dari suku Minang. Pada masa kolonial, kebanyakan dari mereka yang terpelajar ini
datang dari suatu tempat bernama Koto Gadang, suatu nagari yang dipisahkan dari kota Bukittinggi oleh lembah yang
bernama Ngarai Sianok. Sampai sekarang mayoritas suku Minang menyukai pendidikan, disamping tentunya
perdagangan.
Suku-suku dalam Etnik Minangkabau Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak lagi klan, yang oleh orang Minang
sendiri hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku besar mereka adalah suku Piliang, Bodi Caniago, Tanjuang,
Koto, Sikumbang, Malayu, Jambak; selain terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang beberapa
keluarga dari suku yang sama, tinggal dalam suatu rumah yang disebut Rumah Gadang.
Di masa awal Minangkabau mengemuka, hanya ada empat suku dari dua lareh atau kelarasan (laras). Suku-suku
tersebut adalah:
- Suku Koto
- Suku Piliang
- Suku Bodi
- Suku Caniago
Dan dua kelarasan itu adalah :
- Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan
- Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang
Perbedaan antara dua kelarasan itu adalah:
- Lareh Koto Piliang menganut sistem budaya Aristokrasi Militeristik[rujukan?]
- Lareh Bodi Caniago menganut sistem budaya Demokrasi Sosialis[rujukan?]
Dalam masa selanjutnya, muncullah satu kelarasan baru bernama Lareh Nan Panjang, diprakarsai oleh Datuk Sakalok
Dunia Nan Bamego-mego.
Sekarang, suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah
sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:
- Suku Tanjung
- Suku Sikumbang
- Suku Sipisang
- Suku Bendang
- Suku Melayu (Minang)
- Suku Guci
- Suku Panai
- Suku Jambak
- Suku Kutianyie
- Suku Kampai
- Suku Payobada
- Suku Pitopang
- Suku Mandailiang
- Suku Mandaliko
- Suku Sumagek
- Suku Dalimo
- Suku Simabua
- Suku Salo
- Suku Singkuan
Asal Usul Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari
www.dipa.biz
http://www.dipa.biz Powered by: Joomla! Generated: 11 August, 2008, 01:06
daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini
masuk dari arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo
(darek). Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau
Sumatera, yang terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci di selatan. Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat
pesisir juga banyak yang berasal dari India Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai
barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan
Portugis. Sosial Kemasyarakatan
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di
Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari
yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap Nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang
terdiri dari pemimpin-pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan KAN
(Kerapatan Adat Nagari). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang
mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Kebudayaan Pakaian adat Minangkabau
Lihat pula: Kebudayaan Minang
Dalam pola keturunan dan pewarisan adat, suku Minang menganut pola matrilineal, yang mana hal ini sangatlah
berlainan dari mayoritas masyarakat dunia menganut pola patrilineal. Terdapat kontradiksi antara pola matrilineal
dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam yang menjadi anutan hampir seluruh suku Minang. Oleh sebab
itu dalam pola pewarisan suku Minang, dikenallah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi
merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah
merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan hukum Islam.
Meskipun menganut pola matrilineal, masyarakat suku Minang mendasarkan adat budayanya pada syariah Islam. "Adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai." Upacara dan Festival Kerajinan Tangan
- Songket yang dikerjakan oleh Pandai Sikek
Makanan Rendang
- Rendang
- Sambal Balado
- Kalio
- Gulai Cancang
- Samba Lado Tanak
- Palai
- Lamang
- Bubur Kampiun
- Es Tebak
- Gulai Itik
- Gulai Kepala Ikan Kakap Merah
- Sate Padang
- Soto Padang
- Asam Padeh
- Keripik Jangek
- Keripik Balado
- Keripik Sanjai
- Dakak-dakak
- Galamai
- Amping Badadih
Minang Perantauan Rumah Gadang Minang perantauan merupakan istilah untuk suku Minangkabau yang hidup di
luar provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan
tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mohctar Naim, 1973 (Merantau, Minangkabau
Voluntary Migration, University of Singapore), pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di
luar Sumatera Barat, tetapi pada tahun 1971, jumlah itu meningkat menjadi 44 %. Berarti hampir separuh orang Minang
berada di luar Sumatra Barat. Melihat data tersebut, maka berarti ada perubahan cukup besar pada etos merantau
orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun 1930, perantau tertinggi di
Indonesia adalah orang Bawean (35,9 %), kemudian suku Batak (14,3 %), lalu Banjar (14,2 %), sedangkan suku Minang
hanya sebesar 10,5 %. Saat ini diperkirakan jumlah Minang perantauan bisa mencapai 70 %, bahkan lebih. Hal ini
berdasarkan penelitian acak, yang menyebutkan setiap keluarga di ranah Minang, dua pertiga saudaranya hidup di
perantauan[rujukan?]. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi
juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan. Merantau pada etnis Minang telah berlangsung
cukup lama. Migrasi besar-besaran pertama terjadi pada abad ke-15, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah
www.dipa.biz
http://www.dipa.biz Powered by: Joomla! Generated: 11 August, 2008, 01:06
ke Negeri Sembilan, Malaysia. Kemudian gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-19, yaitu ketika
Minangkabau mendapatkan hak privelese untuk mendiami kawasan kerajaan Riau-Lingga. Pada masa penjajahan
Belanda, migrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur
dikembangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada masa kemerdekaan, Minang Perantauan banyak mendiami
kota-kota besar di pulau Jawa. Kini, Minang Perantauan hampir tersebar di seluruh dunia. Ada banyak penjelasan
terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan
harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang
menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak
diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber
utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan
utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan
beberapa keluarga. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di
negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah
dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Mayoritas perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang
kecil. [sunting] Literatur
- (de) Astrid Kaiser: Mädchen und Jungen in einer matrilinearen Kultur. Interaktionen und Wertvorstellungen bei
Grundschulkindern im Hochland der Minangkabau auf Sumatra. Kovac, Hamburg 1996 ISBN 3-86064-419-X
- (de) Ute Marie Metje: Die starken Frauen. Gespräche über Geschlechterbeziehungen bei den Minangkabau in
Indonesien. Campus, Frankfurt am Main und New York 1995, ISBN 3-593-35409-8
- (de) Dieter Weigel: Reisemosaik bei den Minangkabau. Sumatra. Heiteres, Ernstes, Alltägliches, Unglaubliches. Jahn
und Ernst, Hamburg 1998, ISBN 3-89407-208-3 (Erlebnisbericht)
- AA. Navis, Curaian Adat Minangkabau
- Tambo Alam Minangkabau
Pranala luar
- Cimbuak.net Komunitas virtual masyarakat Minangkabau di dunia maya.
- Kaskus Regional Minang Online Komunitas masyarakat Minangkabau di dunia maya.
- (id) Ranah-Minang.Com Media online yang menyajikan berita dan informasi tentang Sumbar serta adat-istiadat dan
budaya Minangkabau
- (id) Pelaminan Minang Mengupas sedikit mengenai adat istiadat dan sejarah masyarakat Minangkabau dan
merupakan salah satu pelestari perkawinan adat minangkabau asli
www.dipa.biz
http://www.dipa.biz Powered by: Joomla! Generated: 11 August, 2008, 01:06

Perlu Telaah Tambo Soal Fungsionalisasi Tanah Masyarakat Minang

Senin, 15 November 2004
Buana Katulistiwa- Tambo, hikayat yang menceritakan adat istiadat Minangkabau, yang aslinya ditulis dengan huruf Arab Pegon berbahasa Melayu, disamping kaya dengan nuansa sastra, sebenarnya juga merupakan sumber pemahaman pola fungsionalisasi tanah masyarakat Minang, yang berguna bagi pengetahuan pola penggunaan tanah masa kini.

Konon, asal muasal masyarakat Minang berasal dari keturunan dari masyarakat yang berasal dari Pariangan (kaki gunung Merapi). Dari kaki gunung ini, menurut Tambo Luhak nan Tigo, turun ke Padang Panjang kemudian menyebar ke Luhak Tanah Datar membentuk Taratak dan menyebar lebih luas di wilayah Luhak 50 Koto Dan Akhirnya meluas ke wilayah yang disebut wilayah rantau (di luar Luhak nan Tigo = Padang PanjangTanah Datar dan 50 Koto) sampai seluruh dunia.
Luhak secara harfiah berarti sumur, Luak secara harfiah berarti sumur dangkal keyataan geografis menurut interpretasi pengertian Luhak berarti lembah yang luas atau secara geomorfologi graben semangko di bagian tengah sumatera (sekarang wilayah graben yang terdapat gunung Merapi, gunung Melintang, gunung Sago. Wilayah ini merupakan asal muasal anak pianaknya masyarakat Minang (yang asli). Diluar ini dikatakan Minang Rantau.
Di Luhak nan Tigo inilah masih kental adat istiadat Minang dengan hukum adatnya, peruntukan lahannya, keistimewaan rumah gadangnya dan sistim kekerabatannya yang materialkhal (berorientasi ke Ibu). Keterkaitan dengan penelitian terakhir kalau dicarikan pembenarannya mengapa keibuan ternyata pemberi gen kekal adalah dari gen Ibu (Sangkot Marjuki, 2002).
Taratak merupakan penyebutan komunitas masyarakat Minang tahap awal dan hanya terdapat satu suku di bagian Luhak nan tigo. Jika Taratak berkembang maka dia akan menjadi sebuah jorong. Jorong merupakan perkembangan dari Taratak dan terdapat beberapa suku. Jika makin berkembang lagi, maka akan menjadi sebuah Nagari yang lengkap dengan lembaga yang dipimpin oleh Wali Nagari yang mengatur adat istiadat Minang.
Ada sumber lain yang menyebutkan bahwa suatu komunitas masih dalam level Jorong jika rumah gadangnya terbatas dan belum masih menginduk di dalam Nagari di dekatnya. Nagari boleh dikatakan terdiri dari beberapa Jorong.Dan kelengkapan sebuah Nagari secara kebudayaan materi terdapat Rumah Gadang Wali Nagari, ada Medan nan Bapaneh (tempat pertemuan wali nagari beserta perangkatnya dalam memerintah masyarakatnya).
Masing-masing Jorong memiliki wilayah Pandam (kuburan resmi menurut adat setiap suku di jorong tersebut). Batas wilayah nagari bisa menyusut jika jorong anggotanya sudah memenuhi syarat sebagai Nagari. Di sini tersirat tatabatas kanagarian boleh dikatakan dinamis secara keruangan.
Ada yang Unik terjadi di Nagarinagari tersebut mereka tidak mau dikatakan termasuk di dalam kewenangan kerajaan Pagarruyung. Mereka mengatakan nagari mereka berdiri sendiri (otonomi) tidak ada campur tangan dalam pelaksanaan adat nagari.
Hanya setiap nagari mengakui keberadaan Pagarruyung hanya membayar upeti saja sebagai kewajiban, seperti sistim federasi menurut peneliti Jepang.
Telaah Tambo jika kita dipahami dapat diketahui mengenai peruntukan atau fungsional setiap jengkal tanah yang sudah diatur kesesuaiannya. Interpretasi kasar : tanah berlereng untuk bambu, tanah berair untuk sawah padi, tanah keras dan padat untuk perumahan, tanah luas berumput untuk pengembalaan, tanah becek untuk beternak itik, tanah tinggi untuk pandam, tanah gunung untuk hutan, dan seterusnya.
Perlu dilakukan Bedah Tambo atau diusulkan Kaji Tambo yang melibatkan Geografer dan ahliahli lain, dimana selama ini selalu oleh para sastrawan sehingga ketajaman istilah yang digunakan pada saat tambo ditulis yang notabene yang sangat lekat dengan tandatanda ("teks") alam kurang mendapatkan penekanan interpretasi. (tq)

http://www.geografiana.com/nasional/budaya/tambo-fungsionalisasi-tanah-minang-3

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera

Sunday, 10 August 2008 23:39 WIB

Oleh Suyadi San


PULAU Sumatera tidak hanya penghasil rempah. Tak sebatas kawah candradimuka politik nasional. Sejarah membuktikan, swarnadwipa ini merupakan sokoguru budaya. Melayu, Minangkabau, Batak, Gayo-Alas-Singkil, Aceh, merupakan puak terbesar di samping kaum pendatang dari Jawa.

Dua kerajaan besar pra Indonesia bermukim di sini: Samudera Pasai dan Sriwijaya. Gugusan pegunungan membentang dan menjulang dari utara hingga selatan: Bukit Barisan. Toba, Singkarak, dan Maninjau adalah danau yang menjadi ikon semenanjung Sumatera.

Banyak lagi patut dibanggakan di wilayah ini. Tak ayal, pengarang-pengarang Indonesia kerap memotret Sumatera dalam figura budayanya. Ini terlihat jelas pada masa Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Deretan pengarang besar Indonesia lahir di sini dan membesarkan Indonesia Raya.

Persemaian wilayah sastra ini menjadi satu bagian penting dalam geosastra dan geopolitik kebudayaan Indonesia. Di arena Temu Sastrawan Sumatera dan Temu Sastrawan Sumatera Utara 2007, yang digelar Dewan Kesenian Sumatera Utara 28-30 Desember barusan, menggambarkan pemetaan semangat bersastra di kalangan sastrawan antarprovinsi di Pulau Andalas.

Pengembaraan kreativitas bersastra para sastrawan itu tertuang dalam satu medan, yakni sastra. Pertemuan antarsastrawan di Pulau Sumatera itulah yang melahirkan diterbitkannya buku Medan Sastra. Buku kumpulan karya sastra ini dimaksudkan sebagai satu penanda bahwa pulau ini tidak pernah kering melahirkan generasi sastra.

Tak heran, sebelum acara temu sastrawan ini berlangsung, sebelum buku tersebut diterbitkan, saya selaku editor dibantu rekan S. Ratman Suras, M. Raudah Jambak, dan Hasan Al Banna menerima ratusan karya. Karena keterbatasan waktu – juga dana – pula, kami hanya bisa meloloskan 85 judul karya sastra dari 57 orang penulis, terdiri atas 55 judul puisi dari 33 penulis, 20 cerita pendek (20 penulis), 2 naskah drama (2 penulis), dan 8 esai (8 penulis).

Nama-nama pengarang yang karyanya termuat di dalam buku ini, merupakan keterwakilan dari bejibunnya jumlah penulis karya sastra pada masing-masing provinsi dan daerah. Tak hayal, buku ini juga diisi sejumlah nama baru. Karya-karya mereka – untuk sementara ini – disandingkan dengan sastrawan generasi sebelumnya. Alam dan waktu yang akan menguji mereka: apakah mereka pantas menyandang ‘gelar’ sastrawan di kemudian hari.

Para penulis baru yang muncul pada buku ini, di antaranya Agus Mulia, Ahmad Badren Siregar, Antonius Silalahi, Djamal, Elidawani Lubis, Herni Fauziah, Januari Sihotang, Lia Anggia Nasution, Pria Ismar, Pusriza, Embar T Nugroho, Indra Dinata SC.

Ada pula nama Indra YT, Irwan Effendi, Richad Yanato, Rina Mahfuzah Nasution, Sumiaty KSM, Variati Husni, dan Yunita Sari. Itu semua dari Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Barat mengutus sastrawan mudanya, seperti Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Edo Virama Putra, Esha Tegar Putra, Pinto Anugrah, Yetti A.KA .

Yang jelas, generasi baru sastrawan Sumatera nyatanya terus berdenyut. Ia menjadi satu fenomena bahwa Sumatera tidak akan kehabisan penerus cita-cita sastrawan terdahulu. Buku ini barangkali akan jadi saksi sejarah tentang perjalanan sastra Sumatera.

Sumatera Utara selaku tuan rumah, tentu saja jadi penyumbang terbanyak pengisi buku. Selain sastrawan pemula di atas, sastrawan terkemuka daerah ini yang tampil meramaikan buku Medan Sastra ini, di antaranya, Afrion, Amin Setiamin, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Harta Pinem, Herman KS, Idris Siregar, M. Yunus Rangkuti.

Lalu, Shafwan Hadi Umry, S. Ratman Suras, Zainal Arifin AKA, A. Yusran, Dini Usman, Hasan Al Banna, Hidayat Banjar, Malubi, M. Raudah Jambak, Nasib TS, Saripuddin Lubis, Sulaiman Sambas, Teja Purnama, Tengku Agus Khaidir, Yulhasni, Suyadi San, dan Syaiful Hidayat.

Selain melalui karya, peta sastrawan Sumatera secara jelas dapat dibaca melalui esai-esai yang terdapat di dalam Medan Sastra. Perkembangan dan jejaring sastra masing-masing provinsi diungkap Syaiful Hidayat (Sumatera Utara),. D. Kemalawati (Nanggroe Aceh Darussalam), Ira Esmiralda (Bangka Belitung), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Muhammad Husyairi (Jambi) dan Tarmizi (Kepulauan Riau).

Lalu, sastrawan Damiri Mahmud dan akademisi Dr. Ikhwanuddin Nasution M.Si menyoroti serta mengkritisi karya-karya dan perjalanan sastra Sumatera tersebut. Syaiful Hidayat pada esai yang terdapat di dalam buku ini menyatakan, sastra Indonesia menempatkan sastra dan sastrawan dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai pelopor sastra modern Indonesia.
Konstelasi sastra itu menumbuhkan Kota Medan dan Kota Padang sebagai pusat sastra Indonesia yang utama di luar Pulau Jawa. Sastrawan dari kedua wilayah ini kemudian saling memberi warna sehingga muncullah Chairil Anwar dan Hamka sebagai orang Minang yang secara bersamaan melekat sebagai orang Medan.

Sebaliknya, Sutan Takdir Alisjahbana dan Mochtar Lubis sebagai orang Medan yang merasakan atmosfer sastra Minang. Mereka merupakan bagian dari kelas menengah Hindia Belanda yang memperoleh pendidikan, sehingga terampil dalam mengekspresikan gagasannya, pandangan hidup sebagai subjek kolektif.

Menurut penilaian Damiri Mahmud, saat ini geliat kepengarangan Sumatera makin ramai, terutama puisi dan Cerpen. Para penulis Sumatera ini tampak berusaha melepaskan diri dari “cengkeraman” Jakarta yang selama ini dianggap sebagai sentralisasi sastra. Kata Damiri lagi, kantong-kantong sastra di beberapa tempat di Sumatera diusahakan seintensif mungkin. Kegiatan-kegiatan pertemuan, diskusi, sayembara, penerbitan buku begitu marak dilakukan.

Damiri memperkirakan, Riau paling depan dalam geliat bersastra. Pada dekade 60-an dan 70-an daerah ini masih terasa sepi dari kegiatan dan para sastrawan. Tapi sekarang begitu banyak kegiatan dan muncul tokoh-tokoh kenamaan. Mereka pun sangat giat menggali akar tradisi sastranya. Karya-karya Raja Ali Haji misalnya, kembali ditransliterasi dan diterbitkan.

Sedangkan Sumatera Utara, sebagaimana halnya Riau, tampaknya punya kedekatan sejarah dengan Semenanjung Malaysia. Karya-karya para sastrawan banyak yang terbit di sana. Setidaknya 12 novel telah dibukukan dan beberapa antologi puisi dan Cerpen.

Ada pula even “Dialog Utara” yang dilaksanakan sejak awal 1980-an yang pada mulanya diisi oleh para sastrawan dari Medan dan Pulau Pinang yang dianggap sebagai kota kembar karena kemiripannya yang sama-sama memiliki tradisi sebagai kota pantai.
Tampaknya di antara genre sastra yang banyak ditulis adalah puisi dan kemudian cerita pendek. Kurang diimbangi oleh penulisan novel. Barangkali penulisan novel memerlukan waktu yang lama dan dukungan dana yang besar sementara para penulis sekarang pada umumnya punya kegiatan rangkap.

Tradisi sebagai “pujangga istana” di zaman kerajaan dulu telah hilang. Sebagaimana diketahui Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji, sedikit banyaknya merupakan “pujangga istana” sehingga di samping dukungan dana, misi yang mereka tulis bisa dengan cepat dapat terlaksana.

Deknong Kemalawati dalam esai nya memaparkan sejumlah generasi sastra Aceh. Generasi sastra Aceh ini dimulai dari Angkatan Sufi. didominasi oleh tema agama terutama mengenai tasawuf (mazhab; aliran), hal ini menandakan perkembangan (pengkajian) masalah agama di Aceh berada dalam priode emas.

Salah satu faktor penyebabnya adalah Sultan (raja) memberikan akses yang seluas-luasnya kepada penyair untuk berkarya. Di samping itu, penyair (dinominasi kaum ulama) sangat dihargai kerajaan, sehingga mereka menjadi mufti. Pada zaman itu, politik telah memainkan peranan yang besar dalam perkembangan kesusastraan di Aceh. Terutama, persengketaan mazhab Hamzah Fansuri dengan Nuruddin ar-Raniri—mengenai faham wujudiyah. Dalam catatan sejarah banyak karya Hamzah Fansuri dan ikutannya dimusnahkan oleh kerajaan atas saran dari Nuruddin ar-Raniri.

Angkatan Pujangga Baru didominasi tema ketuhanan dan keindahan alam. Selain itu, bentuk karya masih dipengaruhi terutama oleh bentuk pantun dan syair Melayu. Selanjutnya angkatan pertengahan corak (bentuk) dan tema karya sudah mulai kaya—tidak terpaku dalam bentuk syair dan pantun Melayu.

Selain masih didomonasi tema-tema di atas, tema pada angkatan ini sudah diperkaya dengan tema-tema heroik kepahlawanan. Seiring perkembangan politik yang terjadi khususnya di Aceh maka karya sastra pun mengalami corak dan temanya sesuai dengan kondisi zaman tersebut.

Tema-tema kepahlawanan pasca Pujangga Baru, menurut Kemalawati, bermula dari “pemberontakan” DI/TI dipimpin Daud Beureueh pada 1953. Kemudian dilanjutkan dengan “perlawanan” GAM sejak 1976 dipimpin Hasan Tiro. Sejak saat itu Aceh terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah, apa lagi setelah diterapkannya DOM (Daerah Operasi Militer) pada 1989 oleh pemerintah Orde Baru. Setelah kejatuhan Soeharto 1998 dilanjutkan dengan Darurat Militer, yang berakhir pascatsunami dengan perjanjian damai (MOU) antara RI dengan GAM.

Kondisi ini telah memunculkan sastrawan (penyair) angkatan konflik. Tema-tema yang mendominasi angkatan ini adalah tentang perlawanan (mencari keadilan) dan tragedi kemanusiaan. Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 membawa banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Aceh. Bermunculanlah karya-karya sastra, baik yang ditulis oleh penyair-penyair yang sudah konsisten maupun muka-muka baru. Orang-orang “berlomba-lomba” menulis, menerbitkan, pelatihan-pelatihan serta menampilkan karya sastra menjadi seni pertunjukan.

Dalam catatan Kemalawati, ada beberapa perkumpulan (swasta) yang eksis sampai sekarang terutama dalam hal pelatihan dan penerbitan karya sastra, di antaranya, Bangkit Aceh, Lapena, ASA, Do Karim, Tikar Pandan, AMuK Community, Aneuk Muling Publishing, Aceh Culture Institute dan lain-lain. Bagaimana dengan Bangka Belitung? Bangka Belitung merupakan provinsi baru. Kelahirannya tak berjauhan dengan kelahiran Provinsi Banten, Gorontalo dan Kepulauan Riau. Konstelasi sastra provinsi ini dikupas dalam esai Ira Esmiralda (hal. 262-265).

Dari esai Ira ini, kita mengetahui peta perjalanan sastra di Bangka Belitung. Menurut Ira, kaum terpelajar menggeluti sastra lebih memilih keluar Bangka Belitung (Jawa) dan berkarya di sana. Pada tahun 1930-an muncul nama Fatimah Hasan Delais dengan karyanya Kehilangan Mustika.

Setelah itu dunia sastra (tulis) di Bangka Belitung mengalami stagnasi panjang. Hingga tahun 1980-an, muncul nama Ian Sanchin (Belitung) dan Willi Siswanto (Bangka) yang memublikasikan Cerpen remajanya di beberapa majalah remaja dan keluarga. Drama sangat diminati oleh remaja atau pelajar Bangka. Pada masa ini, kelompok-kelompok teater remaja dan pelajar bermunculan dan pementasan teater cukup sering diadakan. Namun pada pertengahan 1990-an, seiring keluarnya remaja-remaja tersebut ke kota lain untuk melanjutkan studi, kehidupan teater di Bangka meredup lalu vakum.

Pada 1990-an akhir, muncul koran daerah pertama di Bangka, Bangka Pos (group Kompas). Lembar budaya minggu pada koran tersebut telah meletakkan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra di Bangkabelitung. Willi Siswanto, Nurhayat Arif Permana sebagai redaktur budaya Bangka Pos mengajak penyumbang tulisan sastra di lembar budaya Bangka Pos untuk membentuk sebuah komunitas sastra. Hingga terbentuklah Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) pada 2000.

Ira juga menyebutkan, kantong-kantong sastra di Bangka Belitung terpusat di Pangkal Pinang (ibukota Bangka Belitung) dan Sungailiat (ibukota Kabupaten Bangka). Pegiat sastra di Pangkal Pinang terdiri dari latarbelakang profesi. Mulai pensiunan guru, pegawai KUA, sampai yang betul-betul hanya mengandalkan tulisannya sebagai jalan hidup. Di Sungailiat, para pegiat sastranya umumnya memiliki latarbelakang profesi yang lebih homogen. Semuanya rata-rata pegawai negeri sipil. Dari guru, pejabat Pemda, sampai reporter.

Lampung menyumbang Isbedy Stiawan ZS. Di dalam esainya (hal. 266-272),, Isbedy gambling menyebut peta sastra Indonesia tidak lengkap tanpa Lampung. Itu, dimulai dari kiprah Assaroeddin Malik Zulqornain Ch alias Amzuch. Perkembangan berikut, “pulangnya” para perantau: Iwan Nurdaya-Djafar, Sugandhi Putra, Hendra Z., Djuhardi Basri, dan Naim Emel Prahana. Bersamaan itu, dinamika sastra di Lampung kian bergolak dengan munculnya Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, serta yang berkiprah kemudian yaitu Panji Utama, A.J. Erwin, Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, D.Pramudia Muchtar, Eddy Samudra Kertagama dan lain-lain—untuk sekadar menyebut beberapa nama.

Isbedy tidak menafikan peran kampus yang cukup besar. Sumbangsih terbesar adalah Universitas Lampung. Muncullah nama Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Diah Indra Mertawirana (kini Diah Merta), Lupita Lukman dan Elya Harda. Jambi melalui esai Muhammad Husyairi (hal. 273-276) membuat peta sastrawan Jambi dalam tiga generasi. Sebagian besar dari tiga generasi tersebut didominasi oleh para penyair. Generasi pertama Ghazali Burhan Riodja (Alm) dan Yusuf Asni.

Di lapis kedua ada Dimas Arika Mihardja, Acef Syahril (sekarang berdomisili di Indramayu), Iif Ranupane, Dimas Agus Pelaz, Iriani R. Tandi, Budi Veteranto, Ari Setya Ardhi, EM. Yogiswara, Nanang Sunarya, Suardiman Malay, Firdaus, Asro Al-Murthawy, Amri Suwarta dan Indriatno. Secara kekaryaan, generasi lapis kedua ini muncul pada paruh tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan.

Sedangkan generasi ketiga yang muncul setelah tahun sembilan puluhan, sebut saja Muhammad Husyairi (Ary MHS Ce’gu), Yupnical Saketi, Ide Bagus Putra, Ramayani, Oton Marton, Alpakihi, Putra Edison, Emen Sling, Muhammad Muslih, Berry Hermawati, Yohana, Titas, Gita Romadhona, Chori Marbawy, Pendra Darmawan, Anshori Bharata, Monas Junior dan Fahrizal Eka. Begitulah. Konstelasi sastra pulau Sumatera tersingkap di dalam buku Medansastra. Kita berharap, buku tersebut menjadi sumbangan bagi sejarah sastra di Sumatera, kelak! Amiin.

(Staf teknis Balai Bahasa Medan).

http://www.waspada.co.id/Seni-Budaya/Budaya/Menyingkap-Peta-Sastrawan-Sumatera.html

Suryadi, Kekayaan Minangkabau di Negeri Orang

Selasa, 03 Agustus 2004

SETIAP kali pulang ke Ranah Minang, Sumatera, isi tas ransel Suryadi selalu saja tambah padat. Ia seakan tak peduli dengan isi tas yang beratnya hampir setara dengan bobot badannya. Ia mau berberat-berat karena isi tasnya sesuatu yang amat berharga dan boleh dikatakan langka, yaitu sejumlah hasil penelitiannya tentang "kekayaan" Minangkabau di negeri orang.

Terakhir, ketika bersua Suryadi di Gedung Genta Budaya, Jalan Diponegoro, Padang, Sabtu (24/7), ia membawa sejumlah hasil penelitiannya yang telah dimuat di jurnal ilmiah terbitan Indonesia, Malaysia, Amerika Serikat, Singapura, dan Belanda.

Dia juga membawa hasil penelitian berjudul Syair Sunur: Suntingan Teks, Konteks, dan Pengarang. Hasil penelitian yang membawanya meraih gelar master of art di Universiteit Leiden, Belanda, tahun 2002, itu ingin diterbitkan dalam bentuk buku, dibiayai sendiri dari uang tabungannya, hasil "menularkan" ilmu di Faculteit der Letteren (Fakultas Sastra) Universiteit Leiden.

"Sebagai orang Indonesia dan cinta kekayaan kebudayaan Indonesia, hanya hasil penelitianlah yang dapat saya sumbangkan. Kalau penelitian itu tidak saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan tidak diterbitkan dalam bentuk buku, kapan lagi kita dapat mengetahui, mendalami, dan memaknai sendiri kekayaan kita tersebut. Kita memang tak punya dokumen aslinya, tetapi setidak-tidaknya hasil penelitian yang dilakukan ke sejumlah negara dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan kita bila diterbitkan dalam bentuk buku," ungkap Suryadi yang mendapat bantuan dana dari Toyota Foundation, Ford Foundation, Universiteit Leiden, dan lembaga ilmu pengetahuan Belanda untuk melakukan penelitian naskah kuno tersebut.

Ia melukiskan, untuk berbagai penelitian itu, dia berburu naskah kuno ke berbagai perpustakaan terkenal di Eropa, seperti ke Belanda dan Inggris. Di Indonesia naskah-naskah kuno tersebut tidak ada lagi.

Dalam Syair Sunur: Suntingan Teks, Konteks, dan Pengarang, Suryadi yang juga ahli transliterasi (penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain dan dalam hal ini dari abjad Arab (Melayu) ke abjad Latin) coba merekonstruksi imbas gerakan Paderi (sekitar tahun 1803-1838) di pantai barat Sumatera, khususnya di rantau Pariaman, jantung pertahanan kaum konservatif (tarekat Syattariyah atau ordo Ulakan, sekitar 1785 dan 1790) di Minangkabau.

"Pengaruh gerakan Paderi ditelusuri melalui biografi Syekh Daud Sunur, ulama dari rantau Pariaman (wilayah pantai). Sejak awal keulamaannya, faham keagamaan Syekh Daud Sunur sudah berseberangan dengan ordo Ulakan. Ulama ini sudah mengarang dua syair terkenal, yaitu Syair Mekah dan Madinah atau Syair Rukun Haji dan Syair Sunur," kata Suryadi menjelaskan.

Menurut dia, syair-syair karya Syekh Daud Sunur bernilai estetis cukup tinggi. Selain itu, Syair Sunur adalah syair yang cukup tua berciri otobiografis yang pernah ditulis orang Minangkabau, yang dalam konstruksi puitisnya masih memperlihatkan ciri sastra lisan (pantun) Minangkabau di satu sisi dan pengaruh sastra Arab (Islam) di sisi lain.

SURYADI yang kelahiran Pariaman, 15 Februari 1965, ini tertarik dengan naskah Nusantara klasik, khususnya syair Melayu, karena naskah pendek selama ini kurang mendapat perhatian.

Menurut dia, kecenderungan para peneliti Barat maupun peneliti Indonesia lebih pada teks panjang atau prosa sejarah. Epos besar dan historiografi tradisional atau hikayat kerajaan sudah banyak diteliti dengan hasil, antara lain, berupa sejumlah disertasi di berbagai universitas di dalam dan luar negeri.

"Kecenderungan itu menyebabkan kurangnya perhatian pada naskah pendek, apalagi yang terkait dengan Islam. Dari berbagai katalog naskah Nusantara yang sudah terbit dapat dilihat bahwa naskah pendek seperti itu juga tidak sedikit jumlahnya. Memang kebanyakan naskah pendek tidak banyak berkaitan dengan kisah di seputar pusat kekuasaan dan genealogi raja-raja lokal. Namun, baik sebagai artefak sejarah maupun sebagai hasil karya sastra klasik, sebenarnya nilai naskah pendek tidak lebih rendah dari naskah panjang," papar Suryadi.

Sikap mengabaikan naskah yang tidak memunculkan informasi seputar pusat kekuasaan menimbulkan efek kurang menguntungkan terhadap tradisi kajian naskah klasik Nusantara. Di Jawa, misalnya, sudah lama terdengar keluhan tentang kurangnya perhatian terhadap naskah pesisiran karena anggapan bahwa naskah pesisiran yang beraksara pegon dinilai lebih rendah nilainya daripada naskah keraton wilayah Yogyakarta dan Solo yang dinilai adiluhung.

Dewasa ini, lanjutnya, di kalangan peneliti naskah Nusantara klasik, khususnya kalangan filolog, naskah "pinggiran" seperti syair Melayu dan genre singir yang berkembang di kalangan masyarakat santri di pantai utara Jawa, belum dikenal luas. "Alasan ini pulalah yang membuat saya tertarik meneliti Syair Sunur, atau naskah Nusantara klasik jenis syair Melayu," tambah dia.

SEBAGAI orang Minang, di sela-sela kesibukan meneliti naskah Nusantara klasik, Suryadi masih menyempatkan diri meneliti hal lain guna menggali kekayaan dan kejayaan Minang dulunya. Banyak data dan dokumen penting tentang Minangkabau disimpan di Belanda.

"Saya beruntung studi di Belanda. Ide-ide penelitian tak habis-habisnya karena didukung perpustakaan yang lengkap dan memiliki koleksi langka. Di samping itu, setelah menjadi dosen tamu sejak akhir tahun 1998, terhitung tahun 2001 saya diminta menjadi dosen tetap/tanpa batas kontrak oleh Dekan Fakultas Sastra Universitas Leiden," ujar suami Nurlismaniar dan ayah dari Raisa Mahesvara Niadilova (3 tahun) yang untuk disertasi doktornya meneliti tentang signifikansi budaya industri regional di Sumbar.

Setamat dari Universitas Andalas (1991), Suryadi pernah menjadi asisten dosen di almamaternya dan di Universitas Bung Hatta, Padang. Karena tak pernah diangkat menjadi dosen tetap, akhir tahun 1994 dia pindah mengajar ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Setelah beberapa tahun menjadi asisten dosen di UI, ia pun tak diangkat menjadi dosen tetap.

Berkat kerja sama Prof Dr MHJ Maier dari Universiteit Leiden dan Dekan Fakultas Sastra UI (waktu itu) Prof Dr Sapardi Djoko Damono, akhir tahun 1998 Suryadi menjadi dosen tamu untuk program studi bahasa dan kebudayaan Indonesia di Universiteit Leiden. Pengetahuan dan dedikasinya pada sastra Nusantara akhirnya mengantarkan dia mengajar tetap di Leiden. (YURNALDI)

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0408/03/naper/1183550.htm

CERITA MONYET

Oleh: M. Yunis

Sudah terhitung masa, telah terlukis peta masa depan, tapi tetap saja bahannya peluh dan keringat. Namun, kehadirannya menjelma seperti tinta kehidupan yang siap melukis takdir siapa saja. Kata orang ‘jalanilah hidup ini seperti air mengalir’, tapi sayangnya air terlalu bodoh dan penurut. Seharusnya, air berubah haluan mengalir ke atas, selama ini air hanya mampu merubah tepian mandi. Namun begitu, karena air manusia mampu bertahan di medan perang dan air pula yang membuat manusia tabah, terserah apakah air mata atau keringat air, maknanya tetap sama. Air mambasahi jauh berbeda dengan api, sifat api yang membakar adalah rekayasa dominan dalam kehidupan manusia. Masa selanjutnya akan berkembang menghancurkan segalanya, melahirkan dendam, memunculkan angkara murka, menciptakan nafsu serakah, dan api menciptakan para iblis. Namun, generasi Adam selanjutnya mempercayai api dapat melahirkan Cinta, kemudian menjelma menjadi api cinta, hingga di ujung perjalanan nanti akan menghanguskan rintang penghalang, baik orang tua, saudara, batas moral, dan etika. Cinta itu sendiri telah dibakar oleh sifat membaranya api. Sejarah cinta pun mencatat, ‘jangan pernah menyakiti orang yang jatuh cinta!’. Sementara cinta hanya mampu tertidur, dan apinya semakin membara.
Sedangkan tanah! apakah sifatnya selalu menanah? Tidak!, dia tidak akan selalu berada di bawah, suatu saat dia akan berada di atas, hal itu terjadi saat mahluk yang tercipta darinya ingkar. Lumpur-lumpur meluap di tanah Porong, hingga sekarang nafsu serakah kewalahan mengahadapi amarahnya itu, lalu longsor dan sejenisnya itu? Apa mungkin ini pengejawantahan dari wujud kemarahan? sesaat kemudian korban-korban ketidakadilan agungkan sebuah tuntutan, kembalikan rumah kami!
Angin! Unsur ini sedikit bersahabat, selalu ada dimana mahluk berada, dia selalu menyegarkan saat kegerahan, terkadang gerah karena terlalu gerah, konsekwensi dari mahluk yang dihidupinya telah ingkar terhadap asal-usul. KUN! jadilah ia puting beliung, topan, badai hingga lengkiasau .
Saat penguasa alam meyatukannya empat unsur itu dalam satu wujud berikut dinamakan dengan manusia, mahluk itu dianugrahi sebutan khalifah di alam fana. Masa itu, semuanya takluk terhadap perintah yang satu, tetapi tatkala wujud yang berupa ada dari ketiadaan itu pun menyalahgunakan amanah, kemudian muncul keserakahan, teguhnya kesombongan. Dialah tuannya tuhan, di saat keangkuhan membuat tahtanya sendiri, di kala keegoan merajai segala penjuru alam. Dasyatnya amukan 4 unsur tuhan!
Anggaplah bagian ini hanyalah penggalan kata-kata dalam novel atau mungkin pula pernyaataan orang gila yang baru saja mencuri berita dari langit. Tetapi kali ini dia memang terbakar, dia mulai merasakan terpaan api hanguskan seluruh jiwa, pemikiran yang telah masuk keliang jahannam meskipun jasad masih berbentuk. Azam sendiri menjadi korban dari kegilaan itu.
Kisah dimulai setelah Azam melewati rentetan panjang masa sulit hidup jauh dari orang tua, Azam bekerja di Aia Cama Kota Padang, dalam istilah Minang adalah air yang serakah, cama dimaknai dengan serakah. Tetapi padanan morfem itu tidak lagi dijumpai dalam kamus kehidupan bertepatan setelah pemerintah memindah patenkan maknanya ke dalam Air Cemar, berarti air yang tercemar. Memang benar-benar tercemar!
‘’Ah!.., biarkan saja seperti itu, lagi pula percuma memeras otak, dia harus sadar apalah yang mampu dilakukan sebagai salah seorang buruh jahitan di PT Yeni Jaya Gorden. Ya!, inilah api baginya, api yang selalu mengantar keperistirahatan di ranjang juang. Buruh Jahitan baginya bukan berarti buruh yang mau diperlakukan semaunya, dia yang membentuk, mempersiapkan dan menyenangkan hati para pelanggan. Alhasil, api itu sendiri berobah arti menjadi semangat, ya! ‘semangat hidup’ seperti itulah dia memaknainya.
Keberadaan Azam di Air Cemar memang belum tercium oleh para dewa di negri kincir angin, meskipun awalnya dia dibawa paman kerja di sana, tapi pamannya bukanlah seorang dewa, hanya saja Azam ada karena dia ada, katanya dia sudah lama bergabung sebagai buruh jahitan, kemudian menyusul anak-anak dewa lain, mumpung lagi menganggur di kampung. Satu persatu dari mereka jatuh berhasil, atau benar-benar jatuh hingga se dalam-dalamnya harga diri, lambat laun mereka menuai harapan hidup, Rosa jatuh saling dipersunting hidup bersama dengan dosa budaya Pesisir selatan, dia dikenal dengan nama Wendi. Sebulan pernikahan, mereka mampu menacapkan kuku yang baru saja tumbuh di antara tanah kelahiran mereka, tapi tetap jaya. Kemudian anak-anak malam seperti Pajuak, Ritra, Jon, Jupri masih senang hidup dalam bimbingan mesin jahit, mungkin mereka juga belum mau matang untuk menuai keberhasilan yang dijanjikan.
Lalu dia sendiri lebih memilih jalan sendiri, dia tentukan keberhasilan yang juga sendiri. Awal tahun ajaran baru, dia terjatuh ke dalam pengkaderan di Sekolah Menengah Atas, saat-saat libur panjang menjelang adalah saat yang paling menyenangkan, dia kembali ke Air Cemar. Orang bilang, ‘sedang mencemarkan diri dengan simbol perjuangan’. Berselang beberapa waktu, berkat kegigihan para buruh itu pada tahun 2001, perusahaan Yeni Jaya Gorden meniti tulang-tulang daun, para buruh mampu hadiahi Bos Kijang Kapsul, kesenangan memuncak saat bisa nebeng ke pasar bersama Bos. Tapi, suasana seperti itu tdaklah kekal lama hingga jatah makan dipersiapkan dalam rantang masing-masing. Baginya kejadian itu terlalu manis untuk dikenang, sebab pada saat yang bersamaan dia pun diberi rahmat, berwujud perhatian dari seseorang, dalam Faridha, pujinya dia salut dengan Azam.
‘’Aku salut dengan da Zam!’’
‘’Kenapa, Ida? Bukankah pakaian itu terlalu besar untuk aku?’’
‘’Maksud Uda?’’
‘’Iya, tidak seperti biasaya ada orang yang mau memakaikan kata-kata salut setelah namaku!’’
‘’Memangnya selama ini belum ada orang yang memuji Uda?’’
‘’Bukan dipuji maksuduku, aku tidak suka di puji-puji, jika itu aku nikmati, aku akan jatuh bergelimang ke dalam lembah kesombongan, tenggelam dalam lautan angkuh, akhirnya terhempas di atas gunung keegoan!’’
Farida terpaku, dalam omongan Azam yang sekenanya.
‘’Rupanmya Uda sastrawan juga, berarti sudah banyak pengalaman dong Udanya?’’
‘’Ah.., Ida kamu salah tebak, pengalamanku belumlah seberapa di bandingkan dengan tanah yang kuinjak, air yang kuminum, angin yang aku tiup dan api yang membakar semangat engkau dan aku, tetapi aku hanya berdiri di atas apa yang ada, dan bukan mengada-ngada, begitu saja!’’.
Farida menundukan pandangannya, ya! sebagai wanita muslim yang rada-rada alim, sikap seperti itu agak terlambat dia lakukan, tapi mungkin bukan hal itu yang membuatnya salah tingkah, Azam menyadari, dia terlalu lancang di ujung kata-katanya tadi, seharusnya dia tidak menggunakan kata, ‘engkau dan aku’.
‘’Biarkan saja, terserah dia menterjemahkannya seperti apa, yang penting aku tegap berdiri betul di posisiku!’’, ucap Azam teguh.
‘’Farida!’’, terdengar teriakan dari atas rumah.
‘’Oh tuhan!, tidaklah aku menyangka, kata-kata ini biasanya digunakan di kampung sebagai teguran, cukup ketiga kali telah sah dijatuhi hukuman dari yang memanggil’’, bisik Azam dalam hati.
‘’Oh, iya! hari sudah malam, baiknya Farida tidur, tuh.., sudah dipanggil nyonya, tidak enak, lagi pula sudah jam 10 malam, besok kita sambung dongengnya!’’, lanjut Azam.
Farida pun berlalu dari tempat duduk yang mumpuni di samping Azam, padahal Azam sendiri tahu dia telah merahasiakan sesungging senyum darinya.
‘’Biarlah seperti itu, kalau ia mau tersenyum saja sampai pagi, mudah-mudahan aku tidak peduli! tapi keanehan begitu, di kampungku dulu isu itu akan merambat menjadi fitnah, walaupun tidak pernah dan akan terjadi apa yang diinginkan’’, Azam termaktub.
Ya! Mereka memang kerja dan tinggal se rumah di tempat kerja, tapi buruh pekerja wanita mempunyai tempatnya sendiri untuk bergolek-golek, mereka yang laki-laki dipersilahkan bergelimpangan, hal ini menjadi kebiasaan apabila kantuk menyerang, langkah-langkah gaip pun mampu meridhoi mereka saat benar-benar terkapar lelah.
**
Azam sudah menawar-nawari dirinya yang kian langsing, mungkin sudah empat bulan dia kerja di sana terhitung semenjak dia lari dari Surabaya. Sebuah kebiasaan yang sama selalu dia ulang, sebagai hiburan pagi-pagi sekali dia meneriaki si Jupry.
‘‘Jupry!’’
‘’Jupry!’’
Sesaat kemudian Si Jupry berlari ke arah Azam, Jupry menjilati kaki Azam yang belum disentuh air pagi itu, senang punya banyak teman. Tapi Azam tidak menyangka, Si Jupri teman kerja se kampung sudah berada tepat di samping Azam.
‘’Ada apa Zam? Pagi-pagi teriak-teriak? Menggagngu istirahat orang saja, tidak selesai jahitan kemaren malam mau di bantuin?’’
‘’Jahitan apanya, jaga mulutmu itu, aku kemaren malam bersama Farida!’’.
Jupri pun tersedak dalam tawanyanya.
‘’Hei jangan ketawa, aku bukan memanggil kamu tapi Si Jupry itu!’’, sambil mengarahkan telunjuk kearah anjing piaran Bos dan nyonya. Semua orang yang ada di sana spontan tertawa, termasuk bos dan nyonya yang bangun agak kesiangan. Jupri merunduk, mungkin dia malu atau merasa dikalahkan. Tapi Azam sudah minta maaf padanya, karena Azam tidak ingin merusak hubungan pertemanan mereka sejak dari kecil di kampung.
Sebenarnya Azam menyesal sekali, sebulan setelah itu didapati Jupri lebih memeilih kembali ke kampung, Azam sendiri tidak tahu penyebabnya, dia menebak-nebak, mungkin Jupri kecewa, sebab zaman sekarang antara anjing dengan manusia tidak ada bedanya. Ya! tinggallah si Jupry seekor anjing yang terus diteriaki setiap pagi sebelum Azam mulai bekerja.
Tapi mereka tidak pernah bosan bekerja di sana, walau terkadang perlakuan yang mereka terima tidaklah sewajarnya terutama dari Si Julia dan adik-adinya. Memang mereka tercatat sebagai anak Bos, dia memperbolehkan setiap buruh berleha-leha selama siang menjelang sore hari. Di antara teman-teman sesama pekerja ada yang memilih jalan-jalan ke pantai padang seperti Farida misalnya, ada pula yang mengikuti jalannya anak Bos si Julia ke Matahari, seperti Ritra, Rosa, sebab matahari di Kota Padang tidak lagi panas. Sementara Azam, Pajuak, Jon, dan Buyung keponakan Bos lebih memelih ke pantai, terkadang Farida ikut menyertai mereka.
Waktu berlalu, Azam terperosok ke dalam hubungan tak bernama dengan Farida, ya! salah dia sendiri kenapa terlena dengan omongan ganjilnya Azam, sebab kata-kata itu sengaja dihafalkan Azam saat bertemu orang-orang baru, sayangnya Farida memaknai kata-kata Azam agak lebih mendalam. Sehingga Buyung keponakan Bos kurang suka dengan cara Azam menciptakan petalian itu, Azam sendiri tidak tahu bahwa Buyung siap mati demi Farida Pagai. Biasnya, Azam lebih memilih tidak terlalu menanggapi, baginya cara yang tidak berguna itu akan mengangu konsentarasi kerja. Tapi kian hari tingkah Si Buyung tulen kekanak-kanakan, Buyung kebakaran jenggot, hayalkan manjanya Farida saat berada di dekat Azam, ada saja pesolan yang harus selalu dibahas, Farida berkisah sejak awal kejadiannya kepada Azam.
Pada hari kedua bulan ramadhan Azam disuguhkan sebuah peristiwa lucu mengesalkan, Azam kehabisan benang, hanya Buyung yang bekerja di samping yang dapat menjadi tumpuan harapan Azam.
‘’Da Buyung, benangku habis, pinjam dulu benang Uda boleh tidak?’’
‘’Benang Bapakmu! Kalau habis beli saja ke pasar, kamu laki-laki berusahalah sendiri!’’
‘’Ya.., baiklah kalau tidak boleh, tidak apa-apa!’’
Azam pergi menemui Farida di meja bagian dalam ruangan.
‘’Farida! Apa kabarnya? Sehat-sehat sajakan?’’
‘’Ah.. ,uda! Kalau mau minta benang bilang saja, jangan sok-sok ngerayu gitu Uda!’’
‘’Iya.., Uda jadi malu, masak sebagai laki-laki harus minta tolong sama wanita!’’
‘’Ya!, tidak apa-apalah Uda! Udakan bukan orang lain! berapa benang yang Uda mau, 5 buah, atau 10?’’
‘’Uda minta benang satu saja tapi sekalian sama orangnya ya!’’.
‘’Idih.., Uda bisa saja!’’
‘’Thanks Honey!’’
Farida tersenyum mengiringi perlangkah Azam hingga berakhir di meja kerjanya. Azam mulai memuntar benang jahitan, si Buyung mendahem-dahem di meja samping, Azam mengerti maksud Buyung yang bertindak demikian, tapi lanjut bekerja adalah pilihan yang tepat bagi Azam. Sementara kulit Buyung yang putih spontan memerah, dia berdiri menginjak bekas luka bakar di kaki Azam kemaren malam.
‘’Aduh! Hati-hatilah Da! Iihatlah kakiku berdarah!’’
‘’Bapakmu!’’
Azam terdiam. Sejurus kemudian, kepalanya terbentur kaca yang beada tepat di belakang Azam. Azam berdiri siap-siap menerima serangan kedua dari Buyung.
‘’Kamu ingin menantang aku ?’’
‘’Tidak, saya tidak menantang Uda, tapi aku heran kenapa Uda memukul aku?’’
‘’Ini satu lagi!’
Buyung terus memukuli Azam, Azam terdesak di sela-sela meja jahitan, Farida berteriak.
‘’Bapak Kani! ada yang berantam! Uni Lena ada yang berkelahi!’’
Teriakan itu mengundang semua orang keluar dan meninggalkan aktifitasnya masing-masing, tergesa-gesa Bos keluar dari kamar peluh.
‘’Kalian itu memang ayam mati, tidak tahu sedang bulan puasa masih saja berantam, mau jadi jagoan apa?”
Buyung berbalik menatap Bos, Azam melompat keluar, kesadarannya memudar, darah yang keluar dari kaki telah merobah kain putih berwarna merah. Azam menyendiri di luar.
‘’Aduh! Sakit juga rasanya terinjak, apa lagi terinjak emosi!’’
Dalam waktu yang bersamaan, Farida datang dengan obat merahnya yang baru saja dibeli dari warung.
‘’Uda sabar saja ya! sekarangkan bulan puasa!”
‘’Percuma! aku tidak bisa lanjut puasa!’’
‘’Kenapa tidak bisa Da? Apakah Uda tidak ingin bertemu malam Lailatur Kadar?’’
‘’Bukan begitu Dek!, darahku sudah keluar, sekarang baru jam 12 siang, aku terpaksa Berbuka!’’
‘’Ya!.., untuk sekarang tidak apa-apa, besok Uda puasa lagikan?’’
‘’Insya Allah!’’
Dua tegukan air siang langsung membasahi kerongkongan Azam, resmilah dia berbuka puasa, untuk selanjutnya Azam menemui Buyung untuk memelas Maaf.
‘’Uda! Maafkan saya telah menyinggung persaan Uda!”, Azam mengulurkan tangan kanan, Buyung menerima dengan sebuah peringatan.
‘’Kalau kamu mau selamat, urungkan niatmu itu!’’
Azam tidak mengerti apa yang dimaksud, tapi dia setuju terhadap peringatan itu, mungkin keinginannya Azam harus menjauhi Farida atau berhenti bekerja?
‘’Biklah Uda Buyung!’’
Esok malamnya adalah kesempatan terakhir bagi Azam untuk bicara dengan Farida, malam berikutnya Farida terpaksa jujur. Azam bingung, kata-katanya sendiri yang membuatnya terjebak, mungkin daerah yang berjauhan menjadi alasan bagi Farida mengakhiri sebuah hubungan, sempat juga Azam sedih selama 2 hari, maklum saja Azam baru pertama ini menaruh hati kepada Farida. Kata orang cinta pertama sulit dilupakan, tapi Farida adalah cinta keduanya setelah Ritra, kejadian itu pernah berlalu di kampung. Azam heran, rasanya dia kurang rela melepas Farida. Kali ini perasaannya lebih kuat dibandingkan saat melepas Retra dulu, dulu yang lucu Azam senang dan puas saat melihat atap rumah Retra, untunglah Andi teman SD Azam meyakinkan.
‘’Itu namanya monyet Zam!”
‘’Maksudmu, aku monyet?’’
‘’Sebenarnya cinta monyet, tapi untuk kamu cocoknya monyet saja!’’
‘’Kamu menghina aku ya Andi?’’
‘’Bukan maksud menghina, tapi meluruskan! kamu kalau bercanda suka bertingkah aneh, kamu pernah menggigit tanganku siap ngaji di Surau, dan perhatikan juga kakimu itu terlalu banyak bulu!’’
Terkadang kata-kata Andi ada benarnya juga, apa lagi zaman sekarang orang lebih pandang bulu, kemenangan selalu ditenggarai oleh orang yang banyak bulu, tapi lain halnya dengan Azam, dia juga banyak bulu, namun Azam selalu dikalahkan atau tepatnya mengalah.
Namun analisanya memberi tanda, sejak menjalin hubungan dengan Farida, Ritra dengan Rosa berlagak aneh, dua sekawan itu sudah akrab sewaktu mereka di kampung. Ya! Azam pernah melihat tukikan mata Retra sinis kepada Azam, kejadian itu berawal saat makan sahur, sepertiga malam itu Azam duduk agak berdekatan dengan Farida, sementara buruh lain juga berada di kumpulan Azam, hanya 2 langkahan kaki Azam sampai di tempat Farida, baginya jarak seperti itu sudah cukup dekat.
**
Lebaran 98’ saat itu jatuh pada tanggal 26 Oktober, malam takbiran Azam hanya menghabiskan waktu bersalam-salaman dengan orang serumah, terakhir sama Farida, Azam melihat aliran air kesedihan di mata Farida, apa lagi saat Azam pernah bilang ‘aku tidak akan kembali lagi!, aku akan sekolah di kampung!’. Namun selama di kampung itu, Azam masih dapat kiriman berita dari tempat kerjanya itu, Rosa yang serius dengan Wendri, 3 hari setelah kedatangannya dari Pesisir, tepatnya sebelum kepulangan Azam, dia juga telah berhasil menjalin keseriusan dengan Rose, sementara Farida sendiri diusir bersama Buyung setelah kedapatan berbicara di kamar mandi belakang sambil mandi. Retra yang terjerumus di kampung, sebulan setelah itu akan dikawinkan bersamaan dengan pesta kakaknya yang laki-laki, ciek turun, ciek naiak (satu turun, satu naik) istilah orang kampung. Anehnya, Yos adik Azam yang pertama, malah ingin belajar menjahit di sana, katanya mau membuka usaha sendiri di kampung.
Bersambung...!

PARA PAHLAWAN

Oleh: M. Yunis

Senja itu, Lansi memang berhasil lolos dari amukan senapan-senapan para pejuang, baik dari pejuang rimba maupun pejuang pemerintahan, listrik yang diharapkan masyarakat bisa menerangi suasana kampung telah diganti dengan percikan api-api dari mulut senapan, sesekali besar, saat apinya membesar penduduk malahan ketakukan, kapankah perang ini akan usai, seperti cita-citakan pejuang terdahulu.
Dulu waktu mengusir Belanada Lansi adalah orang pertama yang mampu mengobarkan semangat para pejuang, dia mau tampil paling depan di medan perang, kemampuan Lansi melempar bambu runcing dari jarak jauh telah menciupkan nyali musuh-musuh kemredekaan ketika itu, sempat pula Belanda menjuluki Lansi Pimpinan Inlander. Jika Belanda mengumandangkan ‘’impinan Inlander mengamuk’’ semua serdadu Belanda ketakukan, serdadu Belanda percaya bahwa Lansi tidak mempan ditembak dengan peluru biasa. Keluhan yang sama juga diderita oleh serdadu Jepang saat awal kehadirannya di Nagari Bukit, Jepang merasa kewalahan menghadapi Lansi, yang membuat Jepang kesal adalah kelicikan Lansi. Saat bergabung dengan tentara asuhan Jepang Lansi sering meminta kepada pimpinan pasukan Jepang agar pesukan Lansi juga diberi senjata lengkap, Lansi berjanji membantu Jepang membersihkan pemberontak ataupun invasi sekutu di daerah kekuasaannya, setelah Lansi memperoleh senjata Lansi berbalik menyerang Jepang hingga pasukan Jepang bercerai berai.
Kejadian ini sering terulang tetapi Lansi untuk kesekian kalinya berhasil meyakinkan Jepang, lagi-lagi lansi selalu berhasil meraih kembali kepercayaan Jepang. Suatu ketika Hokaido pemimpin pasukan Jepang di daerah Sumatra Barat marah besar terhadap Lansi, dia mengadakan sandiwara untuk menangkap lansi namun akhirnya Lansi masih tetap lolos dan bahkan sebaliknya, pasukan Lansi berhasil mengusir Jepang dari Nagari Bukit Gadang, kejadian itu berlangsung setelah Lansi berhasil mengubur lebih dari separoh serdadu Jepang di lobang satasiun galian Jepang sendiri. Saat itu 50 orang serdadu Jepang sedang berjaga-jaga di stasiun, Jepang memaksa para romusya membuat lorong bawah tanah yang panjang, rencananya terowongan itu akan tembus hingga ke Asam Pulau Lubuk Alung, Lansi pada waktu itu menjabat sebagai komando pekerja, Lansi memberi laporan kepada Jepang, bahwa terowongan itu sudah tembus ke seberang. Sesaat kemudian, serangan fajar kaum petani ke stasiun membuat Jepang lengah, 50 orang serdadu Jepang yang di tempatkan di stasiun kewalahan, saat seperti itu terowongan penyelamat sangat dibutuhakn oleh Jepang. Serdadu yang terkepung diasarankan Lansi masuk keterowongan. Petani yang mengamuk terus mendekati pusat serangan tepat berada di depan terowongan.
‘’Berhasil komandan!’’, salah seorang penyerang menyapa Lansi.
‘’Laksanakan segera, agar serdadu itu tahu bahwa kita ini bukanlah orang-orang bodoh!’’, Perintah Lansi.
Para kaum penyerang berdiri siap sedia di mulut terowongan, satu persatu serdadu Jepang tewas di pintu terowongan, Jepang yang menemui jalan buntu itu kembali keluar dan ada pula yang mati kehabisan napas, sebab terowongan itu belum sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran Jepang tetapi sesuai dengan taktik perjuangan Lansi ketika itu. Sorak sorai kemenangan ramaikan suasana di stasiun, tetapi Lansi tahu bahwa serdadu itu akan kembali menuntut balas atas kekalahannya.
‘’Dengar semuanya, ini adalah awal dari perang besar, kita harus siap dengan segala kemungkinan, sebab Jepang itu adalah bangsa Ainu, mereka juga salah satu pewaris bangsa Yajud dan Ma’jud, merekalah bangsa berkuda yang ganas, ingat kalian tembok besar cina, pagar penyelamat itu sengaja dibuat dari adonan besi oleh Zulkarnain putra Amenhotip ke IX Si Fir’aun yang telah menemukan kebenaran, wasiat itu atas permintaan bangsa Cina sendiri, artinya mereka akan kembali datang ke tanah ini!’’, peringatan Lansi mengakhiri.
Begitulah cerdiknya Lansi, sepertinya Lansi sendiri tidak kehabisan akal untuk mengahadapi serdadu penjarah. Tapi sekarang Lansi sedikit kewalahan menggagas taktik perangnya, dia tidak tahu siapa yang dia perangi dan perangnya untuk siapa, semuanya terjadi begitu cepat. Sejak Pariaman jatuh ke tangan serdadu rimba, Lansi menjadi orang yang paling dicari oleh siapa saja, siapa yang berhasil membawa kepala Lansi akan diangkat menjadi komandan pergerakan dan tentunnya akan menjadi cikal bakal pucuk pimpinan yang baru.
Selama perjalanan ke rumah istri keduaya, Lansi lebih memilih jalan setapak di pinggiran sawah, di perjalanan itu sering terjadi baku tembak antara pasukan pelindung Lansi dengan penyerang yang datang dari segala penjuru arah. Pukul 21:00 WIB Lansi sampai di rumah istri keduanya, saat Lansi memasuki rumah pasukan pengawal berjaga jaga di luar. Mereka adalah para remaja hasil didikan Lansi sendiri, kamanapun Lansi pergi selalu dikawal oleh meraka, pemuda yang paling lama mengikuti jejak Lansi adalah Saparudin, dia rela berkorban nyawa untuk Lansi, bagi Saparudin sendiri Lansi adalah orang yang paling berjasa, Lansi pernah menyelamatkan Saparudin sekeluarga dari kejaran serdadu tahun 1946, waktu itu Saparudin masih berumur 10 tahun, namun Saparudun sangat hafal wajah persahabatan Lansi ketika itu. Sekarang adalah kesempatan emas bagi Saparudin untuk membalas budi kepada Wali Lansi.
Lain pula halnya dengan Komaini, dia juga tergabung sebagai pasukan pelindung Lansi, awalnya dia hanya anak kecil yang dibawa Lansi dari daerah Tanjuang Barulak Tanah Datar. Lansi kasihan melihat Si Buyung ditinggal mati oleh keluarganya saat pembantaian besar-besaran terjadi di Batu Busuk, sengketa berawal saat salah satu warga Batu Busuk terlibat konflik dengan anak Raja Sumpur Kudus, sebenarnya keluarga buyung Komaini hanya korban salah sasaran, hanya saja bapak dan ibu Komaini dan juga 3 orang adik perempuan datang berkunjung ke rumah neneknya di Batu Busuk, Komaini saat itu sedang berada di Bukittinggi, tikar pandan buatan ibunya selalu dijual Komaini ke Bukittinggi, sepulang dari Bukittinggi Komaini membeli barang-barang pesanan ibunya, sesampai di rumah dia tidak lagi menemukan keluarganya, dia tahu bapak, ibuk dan adik-adiknya pergi kerumah nenek ke daerah Batu Busuk, namun Komaini keburu didatangi kabar bahwa kaum Raja Sumpur Kudus mengamuk di Batu Busuk, semua keluarga yang ada di sana dibantai, dia hanya bisa menangis dan pasrah.
Tiga hari setelah pembanataian itu dia jalan-jalan di Pasar Baru Tanjuang Barulak, di sinilah dia bertemu dengan Lansi, kebetulan sekali Lansi juga sedang mengunjungi pucuk pimpinan pergerakan di Tanjung Barulak, beliau juga selesai menjual cangkeh dari di Pasar Padang Panjang, saat yang bersamaan Komaini berpapasan dengan Wali Lansi, suasana yang memang ramai di Pasar Baru menarik minat Komaini menarik kambut yang terikat di pingggang Lansi, tarikan Komaini tidak terlalu kuat untuk seorang pencopet seukuran dia, dia terjatuh, Lansi membujuk agar Komaini bercerita kenapa dia sampai melakukan tindakan itu. Setelah mendengar cerita Komaini Lansi kasihan, lalu Komaini diajak ke Bukit Gadang. Sekarang Komaini yang berwajah seadanya itu tergabung dalam pasukan pelindung Wali Lansi.
Tidaklah begitu lama Lansi di dalam rumah, dia kembali melihat pengikut setianya, beberapa jenis makanan dibawa keluar lengkap dengan kopi panas. Sesampai di luar rumah Lansi terlambat menyadari, Saparudin, Komaini serta merta hilang ditelan pekat malam, dalam suasana penuh tawaduk Lansi tersungkur pasrah dengan tubuh bersimbah darah, separoh sadar Lansi masih sempat berpikir, dan berkata dalam hati.
‘’Inilah akhir perjalanan yang tak berujung itu, baiknya begini, perang! Ya! perang ini untuk siapa? perang melawan siapa?’’, hatinya perih.
Sejurus kemudian dentuman senapan terhenti diikuti dengan kemunculan Komaini dan Saripudin dari arah kepala Lansi yang menghadap kiblat.
‘’Mengapa Pak Wali tidak tetap berada di dalam rumah?’’, serobot Saripudin penuh sesal.
‘’Jika saya kembali ke dalam rumah, kalian juga akan membantai anak dan istriku, mereka sama sekali tidak tahu menahu, Saripudin dan kau juga Komaini!, kalian sudah cukup berjaya bagiku!’’, napas Lansi terputus-putus.
‘’Terimakasih komandan!’’, Saripudin terharu.
‘‘Tapi kalian harus tunaikan kewajiban kalian sebagi pejuang, jangan beritahu siapapun atas maut yang menjemputku!’’, kata-kata terakhir Lansi diikuti kemunculan puluhan pasukan dari sekeliling rumah.
‘’Saya mau kepala dia! Saripudin potong kepala tidak berguna itu!’’, komando pasukan bicara lantang, namun perintah itu terasa memaksa hingga Saripudin pun naik pitan.
‘’Saya bisa saja memerintahan semua pasukan berbalik membantaimu, saya juga bisa memotong kepalamu dan potongan tubuhmu akan jadi santapan anjing saya di pagi hari! hitung-hitung hari esok buru babi ditiadakan’’.
Spontan komandan pasukan itu menekankan mulut senapannya ke kepala Saripudin, belum sempat menarik pelatuk, Mayor Sugandhi ambruk, letusan mulut senapan Badrul tepat memecahkan otak belakang Mayor Sugandhi.
Dengan lantang Badrul bicara lantang, ‘’sekarang kita kembali ke pusat komando, untuk sementara jasad Pak Wali kita biarkan saja di sini, esok pagi kita kembali, kita akan urus jasad ini!’’.
Pasukan berangkat menuju Sintuk, sementara itu letusan kembali terdengar, dua jam perjalanan pasukan sampai di Simpang Sintuk, mereka kembali menyebar saat pekikan kematian kembali pecahkan kesunyian malam itu.
‘’Badrul! Kita telah diserang serdadu pusat, mereka salah sasaran!’’, teriak Saripudin.
‘’Kamu jangan bodoh! bagi sedadu pusat kita ini abu-abu, bisa dianggap serdadu rimba atau pasukan yang pro pemerintah, bagi mereka sama saja!’’, hardik Badrul menyadarkan Saparudin.
’’Betul! Tugas mereka membersihkan sampah kemerdekaan, kita ini sudah terlalu lama menjadi sampah kemerdekaan, tentara tidak, rakyat biasa pun tidak’’, sambung Komaini.
‘’Kita pertahankan hidup kita!’’, seru pasukan. Di akhir perlawanan maksimal, pesawat pengintai itupun jatuh setelah ekor belakangnya terbakar, berasap dan lebur bersama robohnya batang kelapa.
Anggota pasukan yang hanya tinggal 15 orang pun berhasil sampai di pusat komando, Badrul langsung mengambil alih pucuk pimpinan, langsung mengirim kawat ke Ibu Kota.

‘’Kerbau telah disemblih!
keadaan aman terkendali!’’

a.n. Pucuk Pimpinan Laskar Pejuang Muda, sdr. Badrul Kemal.

Kawat tersebut langsung ditanggapi setelah beberapa saat pasukan yang tersisa terakapar diselimuti letih di ruangan komando yang hanya diterangi lampu minyak tanah.

‘’Laporan diterima
semayankan layaknya pahlawan!’’

a.n. Brigjend.Urip Langsungkawa, sdr. Panco.


‘’Ayo bangun semua! Waktu subuh hampir habis, kewajiban kita menyemayankan Jenazah seorang pahlawan.
Bukit Tangah yang kini diterpa duka berimbas sudah ke bukit Ujung, kelihatan sekali wajah tenang yang dilakoni Gandoriah. Sebagai istri pertama hanya dua patah kata yang perlu disampaikan kepada madunya Wali Lansi tersebut.
‘’Janganlah terlalu menikmati kesedihan, itu hanya penamaan lain dari rasa gembira, kamu perhatikanlah ribuan wajah di sini, sepatutnya mereka itu tidak boleh sedih, karena tidak sesuai dengan rona wajah yang dipancarkan saat suasana perang!’’, terang Ganndoriah
‘’Perang untuk siapa Ni? Siapa yang diperangi? musuhnya siapa? Dan temannya juga siapa? Siapa yang menjadi tentara? Siapa pula yang pahlawan?’’, Sabai menelan tangisnya yang tersisa.
‘’Awalnya aku juga menciptakan pertanyaan seperti ini, namun lambat laun aku dipaksa mengerti, pertanyaan itu terjawab saat penganiayaan adikku yang pertama, Si Mahmud, Alim muazim Surau, kemudian kepala Si Buncit, sekarang kepergiannya’’, sambil memandangi jenajah yang terkapar pasrah.
Sejurus kemudian wajah-wajah pejuang pun datang dari mudik jalan, mereka itu adalah Laskar Pejuang Muda didikan Lansi sendiri. Mereka disambut Syukur oleh pimpinan pasukan pejuang Rimba Larangan, Kopral Suryadi. Sementara di lokasi duka sendiri, para pelayat menunjukan berbagai macam rona kesedihan, kesedihan bercampur sejuk, kesedihan akan kehilangan Dewa penolong, dan ada pula kesedihan penuh penyesalan. Terpaan matahari siang hari siang itu menyibak wajah Wali Lansi yang kaku, wajah pejuang yang nyaris tidak berbentuk, dadanya yang remuk belum mampu menandingi remuknya kerabat yang ditinggalkan, terlebih lagi Gandoriah. Sementara itu Badrul masih termanggu di kursi rotan halaman rumah, dia sadar betapa dasyatnya tokoh yang dilakoninya tadi malam.
‘’Berdasarkan pesan almarhum, jenazah dipusarakan di makam pahlawan Pariaman, karena bagi kami almarhum adalah seorang pejuang sejati!’’, suara komandan Suryadi menggema lantang.
‘’Betul! Sudah selayaknya seperti ini!’’, ulas Badrul.
Menjelang Zuhur merangkak naik, Jenazah dimandikan lalu dikafani layaknya orang meninggal, setelah disholatkan di Surau Tangah, Jenazah diusung ketempat peristirahatan terakhir. Di perjalanan menuju liang penghabisan itu, mars-mars perjuangan selalu dilantunkan. Untuk sesaat tiada lagi perang, tiada lagi permusuhan, dan tiada perjuangan, semua senjata hanya diarahkan kelangit biru, serentak letusan-letusan menyalak ke atas langit, seakan menuntut keadilan tuhan, akankah peluru-peluru panas itu menembus singasana tuhan di atas langit? Penghormatan-penghormatan terakhir dari segala penjuru berdatangan tanpa diminta. Serdadu rimba, serdadu pejuang sengaja keluar dari rimba untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Wali Lansi, tiada kata lain selain ungkapan berlangsungkawa.
Ya! Jenazah yang dipanggil Kakek oleh Azam itu dianugerahi dengan sebutan pahlawan, di kuburkan Taman Makam Pahlawan Pariaman. Belum genap satu minggu kepergian Wali Lansi, para pejuang kembali memperjuangkan apa yang patut diperjuangkan, baku tembak kembali terjadi, tetapi tidak separah saat Lansi masih menjadi pimpinan bahkan kehadiran serdadu pusat lebih terkontrol, mereka sering sekali datang Bukit Gadang, dan juga paling sering menangkapi orang-orang yang diduga terlibat, Gando sendiri tidak tahu apa artinya orang terlibat, apakah terlibat tentara rimba, laskar pejuang, PKI, terlibat sebagai rakyat, tapi yang jelas bagi mereka kata-kata terlibat adalah suatu perintah, yang membedakan mereka-mereka itu hanyalah masa dan waktu kehadiran mereka, jika tentara rimba dan laskar hadir setelah 1950, pasukannya itu akan termasuk angkatan bersenjata RI. Sebenarnya kehadiran mereka terlalu pagi, sehingga terlalu banyak pehlawan yang dijuluki pahlawan. Salah satunya kakek Azam yang pensiunan Mayor terpaksa menjadi pahlawan, tapi satu bulan setelah kepergiannya Gandoriah melihat Badrul berjualan beras di pasar Pauh Kambar, lalu Komaini menarik bendi. Mulai saat itu Gando sudah jarang mendengar suara letusan. Hanya saja 2 adik Gando yang masih belum terlihat batang hidungnya, masih mengungkit-ungkit jiwa penasaran. Si Burhan entah ikut pasukan apa di Pakan Baru, kemudian Nazrul, setelah dikeroyok penduduk, kabarnya masih hidup, berdasarkan kabar terakhir dari Badrul, dia pernah bertempur dengan Nazrul di rimba larangan, saat itu pasukan Badrul yang kalah jumlah terpakasa mundur ke daerah Tiku.
Setahun setelah zaman bergolak, Rusli mendatangi rumah Gandoriah dengan maksud melamar janda kembang tersebut, kedatangannya tersebut ditengarai oleh 2 perempuan muda, katanya dua gadis itu butuhkan pertolongan. Bulan kedua Gando resmi menikah dengan Rusli, dua perempuan itu dihibahi sebuah rumah layak huni oleh Rusli di atas tanah Gandoriah sendiri, rumah itu terletak di depan Jalan Pedati yang berhadapan langsung dengan kediaman Gandoriah, mereka itulah yang sering dijuluki si Cumbu dan Zaitun. Lalu kehadiran itu laki-laki tua yang ada di rumahnya sekarang itu dulunya seorang pedagang pisang di Pauh Kambar, dia salah satu korban penyelewengan sejarah setelah di cap PKI, masyarakat sekitar biasa memanggilnya Abdullah, sementara yang kesumat kepada setiap laki adalah Zaitun, dia rela tidak disentuh oleh laki-laki secara terang-terangan.
Lalu apakah yang dirasakan oleh sebagian orang, kebanggaan atau benci? Semuanya samar dan mengabur, tatapi bagi Gando mereka itu adalah pejuang yang ditakdirkan menjadi korban berdirinya sebuah Republik, agar bangsa ini kelihatan mempunyai sejarah yang rumit. Dengan begitu bangsa asing akan kesulitan untuk menaklukan Republik ini, tapi tidak juga, kenyataannya sekarang siapa saja diperbolehkan memperebutkan apa yang dia inginkan dari negara ini. Terlepas dari sejarah perjuangan, apakah kekeknya seorang pejuang atau sampah kemerdekaan.

Bersambung...!

LASKAR PEJUANG MUDA

Oleh: M.Yunis

Kabut murung di puncak Gunung Tandikek masih enggan beranjak, sementara itu burung murai batu terus berputar di atap Surau, sesekali terdengar keluhannya, ‘picieng!...picieng!’. Dalam waktu bersamaan dari sebelah Timur awan-awan gundul yang ber-arak spontan bergerak lamban saat bersentuhan dengan tower di tengah hamparan sawah pusaka. Seperti masa-masa sebelumnya, sebentar lagi gemuruh akan menggema menyerupai petir, sudah bisa ditebak bahwa tidak beberapa jam lagi akan turun hujan. Sejurus dengan itu, di tonggak tua rumah, Badrul masih tenggelam dalam lamunan panjang, sedih karena baru saja kehilangan kedua nenek. Berita tetangga yang baru saja diterima kemaren bahwa Sabtu siang kedua neneknya menekuni rutinitasnya berjualan kue ke pasar Lubuk Alung, saat menjelang tengah malam nenek tersebut belum juga hadir di rumah, Si Buyung resah, terkadang separoh yakin bahwa neneknya tertangkap atau jadi korban perjuangan hidup.
‘’Ah.., tidak mungkin, nenekan mempunyai ‘kartu bersih’ yang kemaren di kasih cuma-cuma oleh Pak Wali, lebih baik saya tanyakan langsung kepada Pak Wali!’’. Badrul segera manarik diri untuk bangkit dari terpaan lamunan, tanpa menunggu jam 11 siang dia pun berangkat ke rumah Wali Lansi, di rumah itu Badrul hanya mendapati Gandoriah yang saban hari membersihkan halaman dari sampah-sampah mesin. Badrul terpaksa memutar kincir-kicir kepala, berhadapan dengan Gandoriah samahalnya dengan menatap mata singa betina, sikap perempuan itu sudah melegenda di Bukit Gadang, sikapnya selalu dingin saat berhadapan dengan orang asing, tak terkecuali denghan suaminya Wali Lansi masih terasa asing di matanya. Memang Gandoriah adalah orang yang susah tafsirkan sikap maupun tingkah lakunya bak akan menerkam siapa saja dengan kebenciannya. Meskipun Badrul hanya mendapatkan cerita itu dari mulut ke mulut, namun Badrul tetap yakin bahwa Gandoriah cukup bernyali mengahadapi laki-laki, apalagi setelah kematian adiknya Si Buncit, hatinya bertambah beku.
Sesaat kemudian Badrul mengarahkan lirikannya kepada anak-anak Gando yang kebetulan siang itu sedang asyik main perang-perangan di semak belakang rumah. Badrul memberanikan diri membuka pembicaraan ketika itu.
‘’Akhir-akhir ini stasiun ramai ya Ni!’’
Gando hanya memperlakukan Badrul tak obahnya seperti serdadu yang datang kemaren, dia masih tetap meneruskan pekerjaannya.
‘’Uni! Sepertinya anak Uni itu sangat berbakat menjadi pejuang atau tentara!’’, sapa Badrul.
Gando spontan melotot kepada Badrul, memang benar-benart seperti singa betina yang siap menerkam siapa saja, mungkin Gandoriah marah atau ada hal lain yang akan disampaikannya terlebih dahulu. Begitu pula sebaliknya, wajah Badrul memerah kecemasan, Badrul tahu walaupun kelihatan kurus begitu, Gando masih mewarisi darah pendekar Japa yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Badrul juga pernah mencuri gunjingan tetangga bahwa Pendekar Japa itu orangnya kerdil tapi sangat lihai mengelakan serangan musuh, sebagian orang bilang Pandekar Japa punya ilmu tahan karasani , hilang sudah nyali Badrul seketika. Namun Badrul masih beruntung sebab apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi, entahlah apabila Gandoriah mengetahui siapa Badrul sebenarnya, Gando keburu angkat bicara.
‘’ Nenekmu sudah tiada, dia di perkosa di stasiun, hanya kue dagangannya yang ikut menaiki kereta, kamu mengenal gadis-gadis itu? Dua gadis berkulit putih itu telah merampas kehidupan 2 nenek kamu, gadis itu mungkin tidak mengira bahwa mereka harus menjadi pewaris kedua orang nenekmu itu, jangan heran kejadian itu di luar kemauan dan kuasa mereka!’’.
Mendengar keterangan Gandoriah, tensi darah Badrul spontan turun naik, kepalanya panas membara, mata berkunang, entah darimana Gandoriah mendapatkan berita tersebut. Harapan Badrul terhempas dihimpit kekejaman nafsu politik zaman.
‘’Kamu jangan pernah mempengaruhi anak-anaku, dia tidak akan menjadi pejuang ataupun tentara seperti yang akan kamu lakukan!’’, peringatan Gando.
Setelah mendengar berita tersebut, Badrul hanya mampu berjalan tertatih-tatih ke arah Jalan Pedati, pandangan sayup-sayup sampai lengang dari kejauhan, sesekali bulatan-bulatan pandangan di tujukannya ke arah pedati yang lalu lalang. Badrul baru menyadari bahwa situasi politik perang telah merenggut kedua nenek tercinta padahal badrul sendiri hafal sekali taktik tersebut, dia pun pernah mempergunakannya di saat nafsu lartanya memuncak, ya! Sikap binatangisme itu adalah senjata yang ampuh dalam megalihkan perhatian lawan maupun kawan. Kemudian Badrul berlalu bersama pedati kedua yang datang dari Barat.
‘’Mau kemana Yung?’’, tegur empunya pedati.
‘’Bisa Bapak membawa saya ke Bukit Tangah?’’, pinta Badrul.
‘’Iya.., saya juga mau menuju ke arah sana! apakah kamu mau ke rumah Wali Lansi? memangnya ada keperluan apa hingga mencari-cari Pak Wali?’’, berondong pemilik pedati.
‘’Darimana Bapak tau bahwa saya mau ke rumah Wali Lansi?’’, tanya badrul heran.
‘’Buyung! Tampangmu itu penuh amarah dan dendam, biasanya untuk mengobati tampang seperti itu adalah berhadapan dengan Wali Lansi, orang percaya bahwa dia mampu menyelesaikan semua masalah, tidak salah banyak orang menyebutnya good father!’’, jawab tukang pedati meyakinkan.
‘’Sudah lama nenek luput dari semua kesalahan, tapi kini sejarah kembali terulang. Serdadu di stasiun itu memilih kedua nenek saya sebagai pahlawan, kartu pelinudng nenek direbut serdadu stasiun itu dan kedua gadis itu serta merta hadir, kartu itu dipindahtangankan kepada mereka, kata orang kedua gadis anaknya Datuak Ami Said!’’, napas Badrul memburu.
‘’Oh.., rupanya gadis itu masih hidup, bukankah mereka sudah dijual Sutan Pandeglang Si Pedagang pisang di Pauh Kambar, seharusnya kubunuh saja sekalian waktu itu, biar mereka bisa menjaga bapaknya di alam sana!’’, gerutu tukang pedati dalam hati.
Tukang pedati yang sering dipanggil penumpang dengan sebutan Pak Rusli ini memang mempunyai dendam pribadi terhadap Datuak Amai Said, bibit dendam itu tumbuh subur dan memetiknya saat pasukannya mengpung pasar Pariaman. Memang sudah 3 bulan Rusli menjadi salah seorang tentara rimba, kelihaian bergaul dan tukang pedati yang dilakoninya mampu mengelabui masyarakat biasa, pedati tua yang dimilikinya mampu menutupi jejaknya sebagi tentara rimba, walau kadangkala terlihat hanya bolak balik dari Pariaman menuju pasar Lubuk Alung.
Awalnya Rusli berhutang sehelai sajadah kepada Ami Said sebagai bekal di dalam rimba. Bertepatan 3 minggu setelah penyerangan ke Kota Padang, dia kembali ke rumah, di rumah Rusli dihadiahi cerita menyakitkan oleh istrinya Fatma bahwa putrinya telah dinodai Dt. Amai Said, kemudian dijadikan istri ke-8. Amai Said bilang keinginannya itu sudah se izin Rusli, katanya Rusli sendirilah yang menjadikan putrinya itu sebagai jaminan hutang di saat jatuh tempo dua minggu dan teranyata Rusli belum bisa menepati janjinya.
Setengah jam berlalu dan juga sudah setengah jam pula Rusli terkenang kembali dendamnya yang belum tuntas, namun kedua laki-laki itu masih terdiam seribu makna di atas pedati.
‘’Anak muda, kamu orang yang bermasalah, hatimu penuh kemurkaan, tuntaskan hasratmu itu!’’, suara Rusli memecah keheningan.
‘’Pak tua! kendalikan saja kerbau Bapak itu, jangan ikut campur urusan saya, tau apa Bapak dengan perjuangan, tau apa Bapak dengan senjata, Bapak hanya seorang tukang pedati yang mengharapkan jasa upahan dari penumpang, jangan banyak omong, saya sudah memiliki senapan laras panjang, saya sengaja mencurinya dari serdadu senen siang kemaren!’’, kata-kata Badrul sedikit angkuh.
Rusli terdiam terhimpit oleh suasana hati Badrul yang tak menentu, namun hatinya berkata.
‘’Anak muda ini terlalu angkuh sebagai laki-laki seukuran dia, mungkin dendam kesumat yang telah membangunkan dewa kemarahannya, ah..lebih baik saya diam saja, terlalu banyak omong membuat jejak rimba saya tercium, kemudian tubuh ini akan terpisah-pisah di cincang serdadu pusat!’’.
Saat matahari tepat di ubun-ubun, sedang lapar-lapar anjing, dan saat ramai orang di Surau, Badrul sampai di Rumah Wali Lansi.
‘’Asalamualikum Pak Wali!’’, salam Badrul tergesa-gesa.
‘’Walaukum salam!’’
Belum sempat membuka pembicaraan, Wali Lansi mengeluarkan sebuah surat bercap stempel merah, agak mirip surat kuasa dan setengah surat perintah.
‘’Kamu saya perintahkan mengomandoi Laskar Muda, dengan sebuah Ikatan Pejuang Muda, tetapi di bawah Momorandumku, berapa orang anggotanya terserah kamu, rekrutlah sebanyak Mungkin!’’, perintah Wali Lansi.
‘’Tapi Pak Wali..?’’,
‘’Ini bukan saatnya kamu memprotes keputusanku, pasalnya sudah sudah ditetapkan di tingkat pusat, kamu mengerti?’’, hardik Wali Lansi.
‘’Tunggu pak Wali, tugas kami apa saja?’’, tanya Badrul memburu.
‘’Tugas kalian adalah membersihkan apa yang patut dibersihkan, sudah terlalu banyak sampah yang kehadirannya sangat mengganggu ketentraman dan kerbau-kerbau itu harus kamu lenyapkan, tapi tinggalkanlah kepalanya agar dapat disemayankan oleh keluarga mereka. Semoga ini dapat menjadi contoh bagi penduduk yang tidak mau di amankan!’’, terang Wali Lansi.
‘’Sejujurnya saya belum pernah membunuh Pak Wali, kalaupun saya membunuh saya tidak termasuk pembunuh yang baik’!’, pancing Badrul.
‘’Namanya pembunuh itu tidak ada yang baik, sekarang tidak ada orang yang baik bahkan pada masa yang akan datang. Suasananya seperti ini akan tetap kembali terulang, hanya saja zaman dan penamaannya sudah berbeda. Baiklah! kamu akan dilatih oleh 3 orang perwira dari pusat, sekarang dia sedang berusaha menyatu dengan masyarakat kita, mereka itu sudah lama menguasai bahasa daerah, Mayor Sugandhi dari seberang sudah menukar namnya dengan Yusuf, Kopral Suryadi sekarang dipanggil Pandai Sikek, dan terakir Kepala Polisi di Padang mayor Syafrudin kupanggil dia dengan sebutan Udin, sesegera mungkin kamu akan berinteraksi dengan mereka!’’, jelas Wali Lansi.
Badrul termanggu dan tertegun mendengar perintah dadakan itu, dia membayangkan sulitnya hidup di medan perang, dihantui rasa bersalah, takut mati, dan keputusasaan semuanya akan campur aduk.
‘’Jangan berpikir, tetapi lakukan segara, kamu mau hidup apa tidak? Kalau mau hidup kamu harus tegar, atau mungkin kamu lupa kepada kedua nenekmu itu?’’, pancing Wali Lansi.
Semangat Badrul kembali bangkit.
‘’Siap laksanakan Komandan! sekarang tugas pertama kami apa komandan?’’, berondong Badrul tidak sabar.
‘’Kamu bersihkan sampah-sampah di pasar Lubuk Alung, tapi ingat berpandai-pandai dengan penduduk!’’, jelas Wali Lansi.
‘’Siap bertugas komandan!’’, ujar Badrul memutus dan segera berlari-lari anjing ke arah kelompok yang sedari tadi sudah menanti kehadirannya.
‘’Kita siap bertugas komandan!’’, sambut angota laskar serentak.
‘’Siap!’’, sahut komandan baru dengan penuh kegagahan, yang notabenenya adalah Si Badrul yang dulu lugu, pemalu, sekarang hanya punya satu tujuan, yaitu perang.

Bersambung...!

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987