Jumat, 28 Desember 2007

SYEH SITI JENAR DALAM KEMELUT SUFI

Oleh: M.YUNIS**

Sebuah kisah yang terjadi berpuluh-puluh tahun silam, di saat kerajaan Demak Bintoro masih memerintahdi Pulau Jawa. Masa itu, Islam baru mulai berkembang di bumi persada, di masa itu pula wali songo begitu agresif menjalakan perannya mengembangkan ajaran Islam. Di samping 9 wali itu, hidup salah seorang penganut tasawuf yangkurang disukai oleh wali songo, dialah Syeh Siti Jenar. Syeh Siti Jenar merupakan salah satu guru tasawuf yang tersohor di masanya, beliau adalah salah seorang murid dari Sunan Bonang dan sauadara seperguruannya Sunan Kali Jaga. Dua bersaudara ikatan batin ini pernah menerima wejangan tingkat tinggi (kasampurnaan) dari sang guru, di atas sebuah perahu bocor, yang kemudian ditambal dengan tanah liat. Meskipun sama-sama menerima ajaran yang sama dari sang guru, kedua bersaudara itu mempunyai pemahaman yang berbeda tentang hubungan pencipta dengan mahluknya.
Ketika itu, kemuliayan Syeh Siti Jenar (Syeh tanah kuning) begitu cepat tersohor di tanah jawa, nama-namanya yang heterogen menjdi bukti bahwa Syeh Siti Jenar cukup berpengaruh di kalangan masyarakat. Nama atau gelar yang disandangnya adalah Syeh Lemah Abang, Syeh Abdul Jalil. Sedangkan nama kecil beliau dipanggil dengan San Ali.
Tapi sayang sekali, ajaran Wihdatul Wujut yang diajarkan menimbulkan berbagai kecaman dari Kesultanan Demak Bintaro dan bahkan Dewan wali pun (wali songo) menanggapinya. Hingga akhirnya membawa mala petaka bagi kelangsungan hidup Syeh Siti Jenar. Kenapa demikian? Apakah ajaran itu benar-benar sesat?
Menurutny, Wihdatul Wujud adalah penyatuan diri dengan tuhan setelah seseorang mencapai wejangan tingkat tinggi, hal ini dapat dirasakan ketika dalam keheningan malam dan penuh kesunyian, manusia dapat menyatu dengan tuhan. Hidup ini hakekatnya adalah mati, mati hakekatnya adalah hidup. Kesamaan hak dan kewajiban di antara manusia adalah dibenarkan, tidak diakui adanya raja, sultan dan penguasa-penguasa di atas bumi ini, yang suatu ketika dapat memerintah siapa saja.
Bahkan tuhan dapat dilihat dengan mata batin, ketika kita sudah bersatu dengan-Nya. Bagi masyarakat biasa, ajaran tersebut sangat sulit dicerna, inilah yang dinamakan dengan Wihdatusy Shuhud. Di saat beliau berdiskusi dengan dewan wali, beliau mengatakan ’’oleh karena jasad yang dibicarakan, oleh sebab itu kita sama-sama membuka aling-aling, maka sudah sepatutnya kita menjauhi prasangka agar kita saling mencapai pengertian’’ (Bianglala, 2005). Pandangan seperti ini tidak bisa diterima oleh dewan wali, kemudian Syeh Siti Jenar meninggalkan diskusi tersebut dan tidak pernah hadir lagi.
Menurutnya kasampurnaan, dapat dicapai ketika seorang manusia benar-benar sudah keluar dari kehidupan duniawinya dan mencapai makrifat yang tinggi serta bertujuan hanya untuk beribadah kepada-Nya. Ternyata, tidak semua orang yang mampu untuk menerima ajaran ini, apalagi masyarakat awam yang ketika itu masih kurang pemahamannya terhadap agama islam. Hal tersebut tentunya sangat meresahkan masyarakat ketika itu, sebagai akibat dari rendahnya pemahaman umat terhadap ajaran agama. Peluang seperti ini dimanfaatkan oleh pihak ketiga yakni kesultanan Demak Bintaro. Demak Bintaro menganggap, bahwa kebebasan yang digembor-gemborkan Syeh Siti Jenar dianggap sangat membahayakan posisi Kesultanan Demak. Kemudian diciptakan sebuah isu, bahwa Syeh Siti Jenar telah mengakui dirinya tuhan, dan dibumbui fakta hayal bahwa murid-murid Syeh Siti Jenar melakukan pembunuhan di mana-mana, bahkan isu tersebut masih melekat hingga sekarang, dan bahakan dijadikan sembuah dasar imajinasi dalam pembuatan filem-filem laga, yang bertemakan perjuangan 9 orang wali dalam mengembangkan ajaran islam di tanah jawa. Di dalam sinetron laga tersebut digambarkan bahwa murid-murid Syeh Siti Jenar melakukan pembunuhan di pasar-pasar, di jalan-jalan dan di berbagai tempat umum lainnya ’’ lebih baik mati berkalang tanah, dari pada hidup bercermin bangkai’’. Kemudian, samapailah isu itu kepada dewan wali, sehingga dewan wali menemui Syeh Siti Jenar dan meminta beliau meninggalkan ajaran itu. Walaupun sembilan orang wali Allah tersebut mengakui akan kebenaran ajaran itu, kenyataannya dewan wali tidak punya pilihan lain, demi menjaga ketentraman masyarakat Demak pada dewan wali berusaha nenutup kebenarannya, lagi pula faham tersebut tidak patut diajarkan kepada semua orang. Kemudian, kesultanan Demak Bintaro meminta kepada Syeh Siti Jenar menyerahkan diri, kalau tidak pedukuhan dan murid–muridnya dihancurkan. Namun, panggilan itu tidak diindahkan oleh Syeh. Untuk menghindari korban nyawa yang tak berdosa, sebagai akibat dari serangan Demak maka dewan wali cepat tanggap sehingga mereka mendatangi pedukuhan Syeh Siti jenar. Namun, Syeh Siti Jenar tetap bertahan pada keyakinannya, dia rela meninggalkan dunia ini dari pada menjadi orang yang munafik. Kemudian Syeh Siti Jenar meminum air yang bernama air hayyat (tirtamarta) dan meninggallah Syeh Siti Jenar pada saat itu juga, serta diikuti oleh beberapa orang muridnya. Anehnya, dari jasad beliau kerluar darah yang berwarna putih, dapat diartikan bahwa Syeh Siti Jenar meninggal dalam keadaan suci dan terhormat.
Dengan meningalnya Syeh Siti Jenar, bukan berarti berakhir pula isu tentang kesesatan Syeh Siti Jenat. Bahkan isu tersebut diperbaharui, bahwa Syeh Siti Jenar mati dihukum pancung dan jasad Syeh Siti Jenar berobah menjadi bangkai anjing. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak menguikiuti ajaran Syeh Siti Jenar.
Isu yang diciptakan di atas bertujuan hanya untuk mengelabui masyarakat awam tentang kebenaran ajaran Islam, kebebasan dan keadilan yang di ajarkan Islam mengancam kepentingan penguasa pada saat itu. Ajaran tersebut sangat mengganggu kestabilan sosial - politik. Oleh karena itu, penguasa mengeksploitasi stigma atau pelabelan negativ terhadap kesesatan Syeh Siti Jenar, tanpa mengikutsertakan kebenaran di dalam ajaran itu.
Dapat dicermatai, betapapun Dewan wali melarang penyebaran ajaran Wihdatul Wujud, tetapi Dewan Wali tetap memaklumi dan menghormati ajaran dan faham itu. Hanya saja dikhawatirkan dampak yang ditimbulkan oleh ajaran itu, karena pada masa itu pemahaman masyarakat terhadap Islam masih awam. Berawal dari anggapan, bahwa ajaran Wihdatul Wujud terlalu sulit untuk dicerna, sehingga ditakutkan dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran, bid’ah dan kemurkaan di tengah umat.
Perlu digaris bawahi, ajaran Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang adalah soal Agama-agama. Beliau mengatakan ‘’bahwa hakikat agama adalah sama, dengan mengambil perbandingan Islam dengan Agama Budha, perbedaannya hanya terletak pada nama-nama, bahasa-bahasa, serta tatanan pada keduanya. Jika siwa Budha pangkal penciptaan mahluk disebutnya Brahma, maka dalam Islam disebut dengan Al-khalik. Siwa sebagai penguasa mahluk disebut Prjapati, dalam islam disebut Al-Malik. Lingga di jadikan Siwa sebagai sarana bantu, menurutnya sama dengan Ka’bah dalam Islam. Hanya saja, pertentangan antara agama terjadi karena ketidaktahuan umatnya terhadap hakikat ilahi, atau ciptaannya dan aturan-aturannya. Kita mencela Agama Budha, karena kita tidak tahu di dalamnya terdapat ajaran rahasia yang dinamakan dengan Adwayastra (tauhid) untuk mengesakan tuhan. Begitupula hindu, mencela Agama Islam dan mengatakan pekerja kuburan Muhammad, karena ketidaktahuan mereka terhadap ajaran islam yang sempurna.
Jadi, yang membedakan agama-agama tersebut adalah zaman dimana bagian-bagian dari sebuah agama itu dijalankan. Perbedaan Nabi, kitab suci, dan tempat juga membedakan antara agama-agama tersebut. Contohnya saja falsafah adat Minang yang memakai ’’ adat basansdi syarak, syarak basandi kitabullah’’ kenapa tidak memakai ‘’adat basandi syarak, syarak basandi Al-qur’an ‘’ bukankah kitabullah itu banyak? Maka sangat tidak lazimnya kalau kitabullah dipakai sebagai sandaran adat Minang.
Kembali pada pokok persoalan, keberadaan Syeh Siti Jenar dapat disamakan dengan keberadan Syeh Abdul Qadir Al-Jailali, yang mana beliau selalu melakukan puasa sepanjang hari, dan sebelum berbuka beliau membagikan roti terlebih dahulu kepada fakir miskin. Seandainya kita memvonis Syeh Siti Jenar sesat, kenapa kita tidak memberikan hukuman yang sama terhadap Syeh Abdul Qadir Al-Jailani, karena keduanya menempati posisi yang kurang lebih sama. Kita juga tidak bisa memvonis Syeh Abdul Qadir Al-Jailani sesat.
Hal di atas hanya bagian kecil dari kekuasaan yang tanpa batas, takut kehilangan jabatan sehingga kebenaranpun bisa dibuat samar akahirnya menjadi kesalahan yang perlu dikutuk. Dan bagaimana pula, keberadaan Syeh Siti jenar- Syeh Siti Jenar zaman sekarang, mungkinkah akan memilih jalan yang sama seperti yang dilakukan Syeh Siti Jenar terdahulu?


Alumni Sastra Daerah Minangkabau

KNPI JANGAN HANYA ONGKANG-ONGKANG KAKI

Oleh M.Yunis**

Kepengurusan baru KNPI Sumbar sudah lama terbentuk, secara tidak langsung beban yang maha besar telah tersusung di pundakKNPI. Berbagai macam kesibukan akan menjadi tantangan ke depan, sebab yang menjadi urusan KNPI bukan hanya sekelompok orang tetapi urusan masyarakat Sumbar yang mengagur, miskin, krsisi moral, kegagalan intelektual dan segala macamnya. Inilah yang menjadi tugas KNPI sebagai wadah inspirasi masyarakat. Seperti yang duungkapakan Padang Ekspres 25 Juni 2007, saat ini ‘’KNPI Harus Bisa Lahirkan Tokoh Muda, sempitnya lapangan kerja merupakan akar masalah yang memicu tingginya angka kemiskinan di Sumatera Barat. Permasalahan mendasar ini harus disikapi secara bersama-sama oleh seluruh komponen.Tidak hanya pemerintah daerah saja, bahkan oleh organisasi kepemudaan seperti KNPI Sumbar. Sudah saatnya, organisasi yang mewadahi para kaum muda ini juga ikut memikirkan bagaimana solusi mengentaskan kemiskinan tersebut’’.
Sebab setelah beberapa tahun reformasi bergulir hampir tidak ada buah penyelesaian yang dihasilkan untuk mengatasai persoaalan masyarakat. Padahal permasalahan yang dihadapi hanya itu keitu saja, ujung-ujungnya kemiskinan. Malahan sebagian masyarat berpikir lebih mendingan zaman orde baru tidak terlalu banyak ribut-ribut, tapi setelah reformasi harapan lebih baik tidak juga ada penampakan, bahkan keadaan bertambah parah. Mungkinkah reformasi hanya sekedar pengalihan bahasa saja?
Kita juga bisa perhatikan kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya, seakan-akan hanya menambah kesengsaraan rakyat bawah, kenaikan gaji PNS misalnya yang marasai adalah masyarakat bawah, harga minyak goreng yang melambung tinggi rakyat menangis, padahal rakyat bawah bukanlah PNS, ralkayat memang tidak diuntungkan sma sekali atas kenaikan gaji tersebut dan diperparah lagi dengan adanya gaji ke 13.
Kita lihat pula pengalihan dana subsidi untuk masyarakat yang sekarang sudah habis programnya, saat itu semua orang mengaku miskin termasuk pegawai negri, jadi rakyat kecil dapat apa? Sebab kenyataannya kucuran dana itu banyak dinikmatai oleh orang-orang yang tidak pantas menikmatinya. Beralih pula subsidi terhadap pendidikan diperbesar hingga 20 % sampai sekarang belum juga terealiasasi, malahan yang muncul sebagai dewa penyelamat adalah perseorangan-perseorang seperti yang terjadi dengan Wiwit Anisa anak tukang sayur lulus PMDK, Muhammmad Rinaldi Putra, garin yang berstatus yatim ini lulus PMDK Unand, Nesia Riska juga anak yatim dari Nagari Bukik Limbuku Harau Payakumbuh juga lulus PMDK di jurusan BK UNP, mereka-mereka ini kemaren baru siap menerima bantuan hamba Allah. Lalu bagaimana juga halnya dengan pengadaan beasiswa bagi siswa-siswa SLTP? yang kenyataannya penikmat dana tersebut hannya siswa yang mempunyai kedekatan khusus dengan pejabat sekolahan. Seperti yang dikemukan oeleh suardi (40) di Pariaman, Bapak 3 anak ini mempunya anak gadis yangbernama Salmidawati, yang sekolah di MAN lubuk alung, ketika menyusulkan beasiswa untuk sang anak yang diperoleh hanya janji dan beasiswa sudah habis. Kesokan harinya sang anak mendengar teman sebangku yang nyata anak seorang guru yang memperoleh beasiswa. Tapi sekarang sang anak terancam putus sekolah karena tidak bisa ujian dan belum bayar uang sekolah, Pak Suardi sedih (diskusi dengan Bapak Sauardi 3 maret 2007 Toboh Gadang Pariaman).
Memang di Sumbar banyak terdapat organisasi mahasiswa seperti IMM, HMI, KAMMI dan segala macamnya, tapi kenyataanya masyarakat tidak bisa berharap banyak pada mereka, sebab hampir tidak ada yang bisa dilakukan oleh organisasi tersebut. IMM sebagai kader Muhammadiyah sekarang mengalamami stagnasi dan kehilangan kader-kadernya karena partai politik menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka. HMI setelah mendapat bantuan 250.000 juta dalam pembangunan gedung untuk beraktifitas sekarang tidak terdengar lagi kabar beritanya, KAMI sekarang jua tidak terdengar lagi kabar beritanya. Apa lagi organisasi mahasiswa di dalam kampus, semuanya intelektual cangkokan.
Lalu sekarang aktivis 98 mau ambil bagian, karena mereka sadar tujuan reformasi telah jauh melenceng. Aktivis ‘98 membuat suatau wadah yang bekerjasama dengan sejumlah kampus di Padang mengumpulkan kembali aktivis tahun 1998 lalu. Katanya untuk memperjuangkan kembali visi reformasi. Sebab perjuangan reformasi yang telah diperjuangkan dulu belum maksimal artinya. Di kabarkan oleh Padang Ekpres Sabtu, 23-Juni-2007 akan mengadakan dermontrasi besar-besaran begitulah yang dituturkan Ketua Panitia 98 Center Mustar Bona Ventura. Acara selanjutnya mereka berkeliling Indonesia, coba bayangkan betapa banyak dana yang dihabiskan oleh kegiatan tersebut. Aktivis 98 kalau hanya sekedar jalan-jalan dan memperburuk keadaan, sebaiknya kegiatan tersebut dihentikan.
Kenapa kita tidak bisa meliahat apa yang ada di depan mata? Kita pun tahu, revolusi kepentingan sudah dimulai, agama dan adat istiadat tidak lagi mampu berfungsi sebagai filter. Kenyataan bisa dilihat, sudah mulai muncul kepermukaan dimana setiap individu akan terlalu disibukan oleh urusan-urusan pribadi, persoalan mulut dan perut akan menjadi labih utama. Sebab rasa paceklik kian lama semakin menghantui dan menghimpit masyarakat bawah, baik masyarakat tardisional maupun semitradisional. Perkampungan-perkampungan yang dulunya akrab dengan kekeluargaan, kegotongroyongan dan solidaritas akan terbiasa dengan kebisingan, hiruk pikuknya politik, praktis, dalang dibalik dalang akan kian akrab dengan keseharian. Di sini idiologi-idiologi pembaharu tidak akan berlaku, itu hanyalah sebatas nyanyian pelipur lara.
Sejalan dengan itu komitmen-komitmen perstuan patut diragukan, karena secara berangsur-ansur sudah mulai surut, diikuti kocar-kacirnya mimpi kesatuan. Alhasil menjadikan masyarakat sebagai penganut kesempurnaan pluralism. Pada masa ini, kekuatan agama akan dianggap enteng, yang lebih utama ialah kekuatan individu. Inilah sebuah fenomena yang sudah dihadapi oleh seluruh rakyat indonesia. Di awali dengan ini perekonomian akan dikuasai oleh polisi dunia, segala penjuru akan takluk lutut di bawah negara yang adi daya. Kemudian keamanan masyarakat dipegang oleh satu kendali.
BAGAIMANA TANGGAPAN KNPI SUMBAR?

Kamis, 27 Desember 2007

ALEK NAGARI UPAYA PELESTARIAN SENI TRADISI

Oleh M. Yunis**

Banyak orang mengemukakan pengaruh budaya luar mengalahkan eksistensinya kesenian tradisi, tapi tidak begitu halnya dengan seni tradisi yang ada di Kabupaten Padang-Pariaman. Acara alek nagari yang hingga sekarang masih diadakan oleh masing-masing Nagari adalah sarana yang cocok untuk pelestarian kesenian tradisi itu.
Bertepatan pada bulan ini Juni 2007 yang lalu adalah masa panen padi di sawah. Gawang Kajai yang merupakan salah satu Korong di Nagari Tapakih Kecamatan Ulakan-Tapakih memanfaatkan moment tersebut. Berdasarkan kesepakatan tokoh adat dengan masyarakat diadakanlah acara baralek gadang, kemudian dinamakan dengan alek nagari. Kegiatan mamacak galanggang itu berlangsung kurang lebih 1 bulan dimulai tangal Juni hingga July 2007 . Sebagai sarana galanggang dipersiapkan laga-laga atau lebih akrab dengan medan permaian. Laga-laga itu sendiri adalah berupa pondok segi empat yang mana lantainya dibuat dari bambu, sementara disekeliling pondok disediakan tempat duduk tamu-tamu yang diundang sekaligus silang sapangka.
Untuk mengsisi acara satu bulan lebih itu, masyarakat Gawang Kajai sebagai sipangka mengundang masing-masing Nagari yang ada di Kabupaten Padang-Pariaman di ikuti oleh grup-grup kesenian yang dimiliki oleh masing-masing Nagari tersebut. Grup-grup tersebut berupa ulu ambek, randai, perguruan silek, indang, dan dabuih. Acara dibuka dengan tangal 24 Juni 2007 terlebih dahulu diawali dengan pasmabahan Nagari. Dalam mengawali acara ulu ambek mendapat posisi yang pertama, sebab ulu ambek adalah salah satu kategori permaian yang didominasi oleh urang tuo masyarakat sekitar menyebutnya dengan permaian urang tuo. Artinya ulu ambek lebih didominasi oleh pemuka-pemuka adat, sebab unsur-unsur gaib juga mengiringi permainan ulu ambek. Memang terdapat sebagin dimainkan oleh anak-anak muda. Setelah jam 2 malam untuk mengisi pagi randai pn ditampilkan. Tetapi pada hari kedua ulu ambek masih kembali dilangsungkan dan begitulah seterusnya hingga 4 hari berturut-turut.
Setelah ulu mabek selesai, indang mendapat posisi ke 2 dalam alek nagari. Waktu yang dibutuhkan dalam penampilan indang sampai 2 minggu lebih. Pada minggu pertama semua grup indang ditampilkan secara bergiliran, pada minggu kedua penampilan indang sangat menarik, karena pada saat inilah indang dinamakan dengan indang lambuang. Di dalam indang ini pemain lebih didominasi oleh oleh anak-anak muda yang sebelumnya telah dilatih untuk berkesenian indang. Pda saat penampilan indang ini setiap grup berlomba-lomba untuk tampil maksimal, kalau perlu diklaborasi dengan unsur-unsur lain. Jika salah satu grup indang dinyatakan tampil dengan sangat baik maka semua orang akan membicarakan dan menjadi bahan gunjingan dari masa kemasa. Seperti yang dialami oleh grup indang Sungai Sariak yang sampai sekarang masih meninggalkan bekas di Kabupaten Padang Pariaman.
Kemudian pada posisi ke 3 adalah penampilan silat yang dilakukan pada sore, para pemin silat juga diundang dari nagari-nagari yang memiliki perguruan silat. Ajang alek nagari ini mejadi sasaran utama untuk penambah pengetahuan tentang gerakan-gerakan silat yang dimilikinya, sebab anak sasian silat pada masa ini akan dapat melihat gerakan-gerakan silat dari perguruan lain sehingga mereka dapat mempelajari teori-teori untuk mematahkan serangan dari perguruan lain jika suatau saat nanti terjadi perkelahian. Di dalam perguruan anak sasian sering diingatkan oleh guru agar tidak mempertontonkan gerakan silat yang dimilikinya kepada orang luar, tujuannya untuk menjaga kejadian yang tidak diinginkan bisa jadi perguruan lain akan menyusun siasat untuk mematahkan serangan perguruan itu atau perguruan lain akan mencontoh gerakan yang dimilkinya. Tampaknya hal ini tidak bersifat baku buktinya di dalam arena alek nagari hal itu sepertinya diperbolehkan walau secara tidak langsung.
Pada posisi ke 4 biasanya dabuih ditampilkan, tapi tidak semua alek nagari yang mau menampilkan dan mengundang dabuih, mungkin mereka mempunyai alasan tertentu. Pemain dabuih juga di undang dari masing-masing Nagari, tapi tidak semua nagari yang memiliki kesenian dabuih ini, Sungai Sariak adalah salah satu daerah yang terkenal dengan permainan dabuih. Itulah keunggulan Sungai Sariak di setiap alek Nagari selalu dibicarakan oleh orang.
Kemudian pada akhir-akhir acara, arena alek nagari di sisi oleh hiburan yang berupa Ben dan Orkestra. Jika acara muda-mudi ini sudah diadakan berarti ini suatu petanda alek nagari telah berakhir, hanya saja tokoh-tokoh adat masih memberikan perpanjangan waktu dan kesempatan kepada muda-mudi, tapi masih di bawah kontrol pemuka masyarakat. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan dalam acara tersebut, maka pemuka masyarakat mempunyai hak untuk menghentikan acara tersebut.
Sekilas pandang acara alek nagari hanya sekedar penampilan-penampilan biasa terhadap kesenian tardisi yang dimiliki oleh masing-masing Nagari di Kabupaten Padang Pariaman. Namun di balik itu dalam alek nagari masyarakat dapat melestarikan kesenian tradisi yang dimilikinya sehinga kesenian tradisi itu dapat bertahan dalam percaturan zaman. Seiring dengan itu Pak Damai salah satu kapalo mudo Nagari dan sekaligus Guru Besar aliran silat sitaralak di Nagari Toboh Gadang, 24 juni 2007 lalu mengemukakan, ‘’ Alek Nagari adalah ajang silaturrahmi bagi masing-masing Nagari yang ada di Kabupaten Padang pariaman, melalui ini kita akan bertemu kembali dengan asaudara-saudara seperguruan yang sudah memiliki anak didik pula di Nagari tempat tinggalnya.
Sejalan dengan itu pula terdapatnya kebangaan tersendiri bagi masing-masing Nagari yang mengikuti acara alek nagari. Contohnya guru silat yang mengikutsertakan perguruan silatnya dalam alek nagari akan merasakan kebanggaan tertentu jika muridnya mendapatkan pujian dari perguruan lain dan secara tidak langsung nama Nagari pun menjadi harum. Begitu pulahalnya dengan grup randai, indang dan ulu ambek apa lagi dalam suasana buluih di atas, Nagari yang beruntung merasa bangga dan persitiwa tersebut akan diingat selalu bahkan menajdi gunjingan pada alek nagari berikutnya.

** Alumni Sastra Minangkabau

KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH

Oleh M.YUNIS

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang, begitulah pepatah Minang. Setiap daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda, walaupun tujuan mereka sama akan tetapi cara mereka dalam mengekspresikan budaya tersebut penuh dengan kreasi, yang mereka pandang mulia dan baik, walaupun tidak sesuai dengan kelogisan.
Di ranah Minang ditemukan tradisi-tradisi yang tergolong unik dan penuh kreasi. Tradisi-tradisi ini berupa upacara-upacara perkawinan, upacara kematian, pengangkatan penghulu dan lain sebagainya, yang tentunya menempati posisi yang sangat penting bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Namun tulisan kali ini akan membahas tadisi upacara perkawinan yang harus dipandang dengan pemikiran terbalik, dan bukan melihat untung ruginya melaksanakan upacara tersebut.
Dari dahulu Minangkabau, terkenal dengan kebudayaannya yang unik tetapi bersahaja. Salah satu keunikan dapat kita perhatikan dalam memperingati upacara kematian yang masing-masing Nagari yang berbeda, mempunyai cara dan corak yang berbeda pula untuk merealisasikannya. Di Nagari Toboh Gadang (kesatuan wilayah terkecil dalam kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Nagari) Pariaman misalnya, dalam memperingati upacara kematian, terkenal dengan ’’sahari manamaik (hari pertama), manduo hari (hari kedua), manigo hari (hari ketiga), manujuah hari (hari ketujuh), duo kali tujuah (hari keempat belas), 40 hari dan 100 hari’’. Upacara ini, merupakan rentetan-rentetan pelaksanaan upacara kematian di Nagari tersebut, yang mana dilaksanakan setelah mayat disemayankan.
Pada pelaksanaan upacara pertama hingga upacara selanjutnya, dilantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dengan memuja dan memuji kebesaran Allah ta’ala. Uapacara ini, dilakukan dengan mengundang ‘’urang siak’’ yaitu perangkat-perangkat surau (mesjid) di antaranya Tuanku, Imam, Labai, Khatib dan Bilal, serta diikuti oleh pegawai-pegawai surau lainnya. Mereka inilah nantinya yang akan membacakan ayat-ayat suci tersebut, mereka diundang selama tiga malam pelaksanan upacara ini yaitu malam pertama, kedua dan ketiga. Lantunan-lantunan ayat Al-Qur,an terus dibacakan hingga mencapai zikir kemudian ditutup dengan makan bersama. Sebelum mereka pulang ketempat masing-masing, terlebih dahulu mereka diberi sedekah berupa uang yang berkisar Rp 10.000,00 per orang.
Setelah hari kematian anggota keluarga tersebut mencapai 7 hari, para urang siak diundang kembali untuk melaksanakan upacara manujuah hari. Setelah 14 hari kematian mereka diundang untuk melaksanakan upacara duo kali tujuah (14 hari ), begitu juga dalam pelaksanan upacara 40 hari dan 100 hari kematian.
Meskipun rentetan-rentetan upacara tersebut bertujuan sama, yaitu meminta do,a keselamatan kepada Allah SWT terhadap kerabat yang sudah meninggal, namun pelaksanaanya berbeda satu sama lainnya. Pada saat sahari manamaik (pada hari pertama kematian), pemfokusannya lebih banyak kepada pembacaan ayat Al-Qur,an hingga zikir duduk dan selesailah upacara pertama. Orang yang mengahadiri upacara ini adalah kerabat-kerabat dekat saja, yang diakhiri dengan makan bersama, kemudian para urang siak diberi sedekah berupa uang.
Pada malam kedua upacara kembali dilanjutkan. Pada saat ini, upacara sudah mulai dihadiri banyak orang, termasuk masyarakat sekitar yang ikut berkabung. Pelaksanaan upacara ini, sama halnya dengan yang di atas, akan tetapi ada sedikit tambahan, ‘’urang siak’’ melaksanakan zikir dari duduk hingga zikir dengan berdiri. Upacara ini, juga ditutup dengan makan bersama, akan tetapi pada malam ini urang siak tidak diberi sedekah.
Pada malam ketiga, persiapan upacara ini dipermatang lagi. Pada siang harinya dilakukan pembuatan lemang (beras yang dimasak di dalam bambu) oleh tuan rumah dan dibantu oleh masyarakat sekitar. Tujuannya ialah untuk dihidangkan pada malam hari pelaksanaan. Pelaksanannya lebih kurang sama dengan upacara sebelumnya.
Pada pelaksanan menujuh hari juga dilakukan pembuatan lemang. Di dalam pelaksanaannya semakin jauh berbeda dengan di atas. Sebelum upacara dibuka dilakukanlah pidato Ada yang dinamakan dengan Pasambahan antara tuan rumah dengan urang siak , tapi diwakili oleh satu orang saja baik dari pihak uarang siak mau pun tuan rumah. Dalam pidato ini, tuan rumah mengemukakan tujuannya mengundang urang siak. Setelah pidato selesai, maka dimulailah upacara mengaji (melantunkan ayat-ayat Alquran) tersebut hingga zikir, baik zikir duduk maupun zikir berdiri. Setelah selesai makan bersama, upacara juga ditutup dengan pidato Pasambahan kembali, kali ini pidato berasal dari urang siak, mereka mengemukakan tujuannya kepada tuan rumah untuk pulang ke rumah masing-masing.
Begitu juga dengan upacara 14 hari, 40 hari, dan 100 hari. Perbedaannya hanya terletak pada undangan yang datang, karena undangan tersebut sudah berasal dari daerah-daerah yang jauh, tetapi masih berkerabat dengan anggota keluarga yang meninggal. Bagi tuan rumah yang mempunyai banyak dana, upacara ini dilanjutkan dengan ‘’badikia’’ yaitu sautau cara memuji kebesaran tuhan yang disampaikan dengan bahasa Arab, dengan irama khas islami (penelitian tanggal 10 juli 2005 di Pariaman).
Pelaksanaan upacara di atas intinya adalah sama, yaitu meminta do’a kepada Allah SWT, agar sang mayat diberi ampunan dan keringanan azab kubur. Namun di balik uapacara ini, tersimpan makan-makna sosial yaitu mempertebal solidaristas di antara masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitar. Karena tamu di sini tidak hanya sekedar datang, makan lalu pulang, akan tetapi mereka membawa buah tangan berupa uang, beras yang tujuanya meringankan beban tuan rumah.
Sejalan dengan itu, upacara ini juga dapat mempererat tali silaturrahmi di antara kerabat yang tingal berjauhan, apalagi mereka yang tingal di daerah perantauan, sebab sesulit apa pun keadaan kerabat di rantau maisih sempat meluangkan waktu pulang kampung guna untuk menghadiri upacara ini. Bagi kerabat yang belum saling mengenal, maka pada saat inilah mereka memperkenalkan diri kepada sanak-saudara mereka yang ada di kampung halaman.
Di pandang dari segi sejarahnya, tradisi ini sudah berkembang sebelum agama islam masuk ke Minangkabau. Tradisi ini, pada awalnya ialah acara berbalas pantun dengan bahasa Minang, tetapi setelah islam berkembang di Minangkabau tradisi ini terus dilaksanakan, tetapi pantun-pantun tersebut di tukar dengan pembacaan ayat Al-Qur’an yang juga berpantun oleh Syeh Burhanuddin Ulakan, dengan tujuan pengembangan ajaran islam itu sendiri (Suryadi dalam Syair Sunur 2004). Jadi Syeh Burhanuddin Ulakan memanfaatkan pendekatan kebudayaan dalam mengembangkan ajaran islam di Pariaman. Trik-trik tersebut selalu dipergunakannya untuk memasuki suatu kebudayaan masyarakat di Minangkabau, sehingga Islam cepat berkembang di Minangkabau pada waktu itu.

**Alumni Sastra Minangkabau


UANG HILANG SALAH SATU ADAT NAN DIADATKAN

Oleh. M.Yunis**

Kabupaten Padang-Pariaman ialah salah satu daerah budaya yang terkesan unik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatra Barat. Keunikan tersebut dapat dilihat dari adat istiadat yang berlaku, salah satunya sitem perkawinan. Dengan cara yang berbeda yaang dimiliki oleh orang Pariaman ternyata mampu mengaburkan perepsi orang luar dalam memandangnya. Sitem perkawinan di sini, juga dimulai dari meminang, tunangan, pernikahan tak obahnya dengan dengan daerah lain. Perbedaan terletak pada berlakunya sistem uang hilang yang sampai sekarang masyarakat Pariaman masih menjalankannya.
Uang hilang adalah sejumlah uang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada laki-laki dengan jumlah yang tergantung kesepakatan kedua belah pihak, tapi masih mempertimbangkan titel si laki-laki yang akan menikah. Namun, momok uang hilang sangat penakutkan bagi wanita sekarang, baik yang berasal dari Pariaman maupun luar Pariaman, dan bahkan sebagian orang takut terikat perkawinan dengan laki-laki Pariaman. Seloroh atau serius muncul ungkapan bahwa orang pariaman babali, seperti barang dagangan saja.
Kenapa muncul uang hilang?menurut pemikiran penulis ada beberapa sebab lahirnya uang hilang di Pariaman, pertama faktor hukum alam, manusia dilahirkan tidak pernah sempurna, cantik, gagah, jelek adalah wajar. Nah, begitu pula di daerah Pariaman. Sangat dimungkinkan bahwa konsep uang hilang lahir berawal dari pihak perempuan, sebab kata pepatah, ’’condong mato kanan rancak, condong salero ka nan lamak’’. Tak hayal jika anak perempuan yang memiliki fisik yang kurang sempurna sulit mencari jodoh. Oleh karena itu, timbul keinginan dari pihak perempuan untuk memberikan imbalan kepada pihak laki-laki yang mau menikah dengan si anak perempaun tadi. Uang yang dibayarkan kepada laki-laki ini pada akhirnya dinamakan dengan uang hilang, artinya memang benar-benar hilang dari pihak perempuan. Jika kebiasan seperti ini berlangsung secara terus menerus, maka kebiasan itu dapat dijadikan konsep dasar adat nan diadatkan, ini dapat disebut dengan adat salingka nagari. Konsep ini dirasa cocok bagi orang pariaman dan cocok pula dengan dengan konsep bamamak di Minangkabau, sebab mamak termasuk salah seorang yang berhak menentukan berapa besar uang hilang. Hak tersebut secara spontanitas diperoleh mamak, karena besarnya peran mamak dalam membimbing kemenakan dirasa cukup untuk dijadikan jawaban.
Namun dalam realitas sekarang, timbul keresahan dari kalangan generasi muda hingga memunculkan persepsi bahwa laki-laki Pariaman itu babali seperti barang dagangan. Kenapa orang Pariaman tetap memakai konsep uang hilang? Seperti kata pepatah sasek di tangah jalan babaliak ka pangka jalan, itu yang seharusnya dilakukan. Kita harus berangkatlah dari adat istiadat Minangkabau, bahwa anak dididik oleh mamak bukan Ayah, secara tidak langsung anak laki-laki maupun perempaun sangat diperhatikan oleh mamaknya, baik pendidikan maupun bimbingan, mamaklah yang memikirkan semua. Tapi khusus pada kemenakan laki-laki sedikit berbeda dari kemenakan perempuan, sebab laki-laki akan menjadi pemimipin di dalam kaumnya atau sekurang-kurangnya di dalam rumah tangga. Karena besarnya peran mamak dalam mendidik kemenakan inilah timbul pameo bagi orang Minang ketika anak berbuat salah yang ditanyai bukan siapa ayahnya, tapi siapa mamaknya.
Oleh karena itu, mamak sebagai orang yang pernah berjasa kepada kemenakan menggagas sebuah cara sehingga dapat menggambarkan bahwa dalam mendidik seorang anak laki-laki tidaklah segampang mendidik anak perempuan, sebagai pengingat jasa-jasa itu maka mamak-mamak di Pariaman melegalkan konsep uang hilang.
Oleh karena uang hilang dikategorikan ke dalam adat nan diadatkan, maka keberadaan uang hilang pun termodifikasi. Fakta di lapangan semakin banyak konsep ini diabaikan. Kita pun tahu bahwa mamak tidak begitu berfungsi dalam membimbing kemenakan, mamak sudah beralih tugas menjadi ayah tulen sebab setelah menikah laki-laki membopong istrinya ke rantau seberang. Hal ini akan mempertipis hidupnya kembali fungsi mamak, sebab tempat berdomosili kemenakan sudah jauh dari mamak dan sementara kekuasaan mamak hanya ada di Rumah Gadang, oleh karena itu mamak tidak begitu berperan dalam hidup kemenakanya, secara spontan tugas-tugas itu sudah beralih kepada ayah dan jikalau mamak pergi ke tempat kemenakan, kedudukan mamak hanya sebagai tamu saja.
Namun begitu, bukan berarti uang hilang raib dan tidak dipakai lagi di Pariaman. Masyarakat yang berada di kabupaten misalnya, sistem perkawinan dirasa kurang afdol jika tidak dilengkapi dengan adanya uang hilang, hal itu juga telah menjadi kebanggaan bagi masyarakat itu, dengan cara ini masyarakat telah menghargai adat istiadat setempat. Kemudian terdapat pula laki-laki yang sengaja memberikan sejumlah uang kepada pihak perempuan calon istri kemudian saat prosesi pernikahan berlangsung pihak perempuan memberikannya kembali kepada pihak laki-laki atas nama uang hilang, hal ini hanya semata-semata untuk menghargai adat istiadat setempat.
Seiring dengan itu, terjadi pula kesepakatan kedua belah pihak tidak memakai konsep uang hilang sama sekali, suka sama suka mejadi dasar kesepakatan tersebut dan diperkuat lagi bahawa kedua calon mempelai tidak dapat dipisahkan lagi. Hal ini wajar terjadi di dalam adat nan diadatkan, lagi pula konsep-konsep adat tersebut tetap dimusyawarahkan terlebih dahulu sebelum dipakaikan, tidak terkecuali dengan uang hilang.
Di samping uang hilang di Pariaman berlaku pula uang jemputan yang juga dibayarkan oleh perempuan kepada laki-laki sebelum perikahan terjadi. Jumlahnya agak besar dari uang hilang. Jika dilihat sepintas lalu, adat istiadat ini memang terkesan tidak adil bagi perempuan. Tetapi bagi orang yang telah meyaksikan upacara perkawinan itu dari dekat mungkin akan berkata lain. Bahwa di dalam prosesi perkawinan di Pariaman terdapat rentetan upacara yang dinamakan dengan manjalang dilaksanakan pada malam kedua waktu uapacara. Di sini pihak perempaun datang ke rumah mempelai laki-laki diikuti dengan andan pasumandan, inilah yang dinamakan dengan manjalang Pada saat uapacara manjalang ini usai, mempelai wanita mendapatkan berbagai macam perhisan dari pihak laki-laki bahkan sampai memenuhi ke 10 jari mempelai wanita. Perhiasan ini, berasal dari isi kado dari besan-besan yang lebih dahulu telah mengikat tali perbesanan dengan keluarga mempelai laki-laki, adik mempelai laki-laki, orang tua mempelai laki-laki, kakak mempelai laki-laki pun tidak ketinggalan. Jika ditafsir, harga perhisan yang diperoleh mempelai wanita bisa mencapai puluhan juta sebab tidak hanya perhiasan yang diterima oleh mempelai wanita, berikutnya adalah berbagai jenis pakaian (survei lapangan bersama Flas Studio Fakultas satra, 8 dan 9 Februari 2006, dalam helat perkawinan Imral Tuanku Imam di Toboh Gadang). Begitulah konsep uang hilang dalam realitas dan sekarang masih dipakai oleh masyarakat Pariaman.
**Alumni Sastra Daerah Minangkabau

KETIKA GARIN NUGROHO DAN AMBRAN NUR DUDUK SEBANGKU

Oleh M.Yunis*

Dalam rangka lustrum sastra, serangkaian kegiatan terus dilakukan, dengan harapan tentunya ingin mendapatkan ilmu yang tidak didapat di dalam bangku perkuliahan. Pada selasa pagi 18 April, sebuah dialog bersama Amran Nur dan Garin Nugroho mengisisi penuh genung E Kampus Unand. Walupun acara tersebut diadakan oleh Fakultas Sastra dalam rangka lustrum, tapi sanggupmembuat orang antusias untuk menyaksikannya. Keantusiasan tersebut tergambar dari banyaknya peseta yang hadir ketika itu, baik dari lingkup Unand sendiri maupun dari luar, seperti STI Padang Panjang, Lembaga-lembaga di Kota Padang, media maupun LSM. Sehingga sebagian peserta terpaksa duduk melantai di hadapan kedua pembicara.
Namun, ternyata semua peserta yang tidak mengetahui setting acara merasa tertipu, karena yang menjadi pembicara pertama ialah Amran Nur dari Kota Sawah lunto. Sementara Garin Nugroho sendiri dijadwalkan pada sesi ke 2 jam pada 11:00 Wib.
Namun begitu semangat peserta tidaklah pupus sampai di situ, sambil menunggu detik-detik bersama Garin. Amran Nur pun mengambil tempat untuk menyampaikan makalahanya. Selaku Wali Kota Sawah Lunto, Amran Nur lebih banyak berbicara seputar kebijakan pembangunan Kota Sawah Lunto dalam Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sawah Lunto. Dalam waktu yang lebih kurang dari 2 jam itu, di juga menyampaikan bahwa sudah sepantasnya Kota Sawah Lunto untuk diorbitkan di bidang pariwisata. Komitmen wali kota itu, semakin kuat setelah dilahirkankannya Perda No. 2 tahun 2002 yang intinya Kota Sawah Lunto pada tahun 2010 akan mejadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya. Lulusan ITB 1973 ini sepertinya yakin sekali bahwa Kota Sawah Lunto akan mampu untuk go internasional dengan wisata Tambang yang dimiliki sekarang.
Namun, kekhawatiran-kekhawatiran menjadi persoalan kedua di dalam dialog itu. Seperti yang dikemukan Syafrudin Sulaiman, ‘’dulu orang Minang itu terbuka dan senang jika kedatangan tamu dari luar’’. Ya! seperti yang kita ketahui, dulu itu tamu senang untuk melancong ke Ranah Minang karena kesopanan yang dimiliki orang Minang membuat para turis mengacungkan jempol, bahkan tamu itu dinanti dengan carano dan tari gelombang sebagai pengiring. Alangkah bahagianya orang Minang jika kedatangan tamu. Tetapi, sekarang sikap seperti itu sudah mulai hilang. Menurut Syafrudin hal ini adalah sebuah hambatan budaya dalam pengembangan wisata, apalagi Sawah Lunto baru mau menuju wisata tambang. Jangan-jangan seteah Sawah Lunto go internasional, dikawatirkan pelayanan terhadap tamu kurang memuaskan, seperti yang terjadi di tempat wisata lain yang ada di Sumatra Barat dan uang parkiran harganya selangit tambahnya lagi. Hal itu betul adanya, bahkan kita bisa memperhatikannay sendiri di sepanjang pantai Padang, pemerasan yang berkedok pengamen bergentayangan.
Lain halnya dengan Ronidin, kecemasan tidak hanya sampai di situ. Ronidin takut, jika lahir lagi tempat wisata baru maka lahir pulalah tempat mesum baru. Sebab orang Minang itu sendiri belumlah siap menerima perubahan-perubahan dari luar. Ditambah lagi dengan fasilitas umum yang tidak terawat, apakah sawah lunto juga akan mengulang sejarah demikian? begitulah inti kecemasan Ronidin sebenarnya.
Kecemaasan-kecemasan yang dikemukakan Ronidin dan Syafrudin di atas akan lebih sempurna jika tranportasi untuk mencapai Kota Sawah Lunto belum ideal sebagai tempat wisata karena tidak mungkin bagi wisatawan untuk naik ojekan untuk menuju tempat wisata. Ditambah lagi jika jalan yang menghubungkan Kota Sawah Lunto dengan Kota Padang tertimbun lonsor, nah mau lewat kemana? Penulis pikir yang perlu dipersiapkan pemerintahan Kota terlebih dahulu adalah keberterimaan di dalam masyarakat Sawah Lunto itu sendiri atas hadirnya Kota Sawah Lunto sebagai Objek Wisata Kota Tambang esoknya. Sebab dengan kesadaran seprti ini akan menciptakan penghormatan begi setiap pelancong yang datang dari luar, kemudian benahi trnasportasi. Jika hal ini sudah ditempuh, pemerintah Kota Sawah Lunto tidak perlu lagi melahirkan perda No.2 tahun 2002 yang kesannya pemaksaan kapitalis baru terhadap rakyat.
Setelah sosok Amran Nur dan unek-unke sawah lunto berlalu, berlanjut acara pada sesi kedua, orang yang sangat ditunggu-tunggu peserta, sosok yang ketika orang membicarakannya yang ada dalam pikiran ialah Film, dialah Garin Nugroho. Di samping menggeluti dunia film, katanya Garin juga seorang budayawan dan sastrawan. Sebab topik yang dibicarakannya pada saat itu adalah masalah kebudayaan.
Garin memulai menjadi pendengar yang baik, merenung, ciptakan kesempatan kecil dan besarkanlah dan jangan mencari kesempatan yang besar tetapi tidak bisa berkreatifitas. Garin mengatakan lagi masyarakat indonesia sudah mulai terbiasa mengkomsumsi tradsi lisan ke-2, dimana budaya membaca serta melulis sudah mulai ditinggalkan. Alhasil, penghargaan tehadap penulis itu sendiri kian hari semakin hilang. Ya! bagaimana caranya menghargai jika tidak menegetahui dan membaca serta tidak menciptakan sebuah karya. Akhirnya, hilanglah penghormatan terhadap kereatifas dan proposionalisme itu. Kemudian timbul budaya masa yang kejam, dimana orang selalu melihat kebudayaan hanya dipusat-pusat kota, yang sifatnya militer dan dogmatis. ‘’Perhatikakanlah tayangan televisi sekarang para hantu dan syetan sudah banyak mejadi bintang film dan bahkan pandai pula berceramah seperti ustad’’ sambung Garin.
Sebetulnya hal ini, sudah sering dibicarakan oleh KPID Sumbar dalam setip kali semiarnya. Terakir KPID Sumbar mengadakan seminar sabtu 8 April yang lalu, di Balit Bang Padang. Lagi-lagi tema yang serupa yang diangkatkan KPID adalah kebrobokan tayangan televisi. Dengan menggunakan pendapat Garin pula, hal ini terjadi dikarenakan penulisan skenario tidak berertika. Sehingga ketika plening awal yang akan diterapkan pun tidak terlaksana.
‘’Sesungguhnya di Indonesia itu telah terjadinya ketimpangan yang sangat jauh dari realitas, hal itu sangat memepengaruhi kekejaman budaya masa’’ ulas Garin. Hal itu betul adanya karena di Indonesia ini, budaya cimeeh sudah mengakar apalagi di Sumatra Barat, contohnya saja di saat orang mau mau melakukan sebuah pekerjaan, pekerjaan belum jadi, cimeeh sudah mendahului sehingga terjadi lagi pembantaian karakter dan berakhirlah kehidupan itu di sini.
Sejalan dengan itu, Abel Tasman mengungkapkan kekecewaannya sebagai sastrawan dan Abel sendiri menyarankan bahwa sudah sepatutnyalah negara ini diambil alih oleh budayawan dan sastrawan baik secara politik maupun ekonomi. Sebab, metode yang digunakan di Indonesia tidak ada digunakan oleh negara lain’’ sambung Abel. Kalau begitu kita memerlukan sebuah kudeta.
Pendapat abel tersebut di atas memang tidak bisa dipungkiri sebab keresahan-keresahan tersebut sudah berputik pula mulut membicarakannya, umpama sepohon kayu sudah berbuah dan sudah matang dan patut pula dinikmati buahnya. Menurut Garin, hal ini juga disebabkan oleh terjadinya sebuah ketimpangan yang terlalu jauh dari realitas.
Garin menawarkan solusi dengan memulai dengan sedikit membujuk diri sendiri, awali dengan proses penciptaan, merenung, mencari kesempatan kecil jadikan lah kesempatan besar. Artinya janganlah selalu menunggu, ciptakan sebuah karya dan besarkanlah karya itu.
Penawaran selanjutnya adalah kita harus memulai menghargai proposionalisme dan kretaifitas sehingga kebudayaan masa tidak selalu rendah dan konsumtif. Selanjutnya perlu disiplin dalam berkarya, serta mau membayar mahal masa transisi, kemudian dalam berkarya itu ikut sertakan modal sosial di samping modal ekonomi.
Inilah sekelumit tentang keresahan masyarakat sebagai dampak dari kemajuan teknologi dan derasnya arus globalisasi, tapi sayang sekali kemajuan itu tidak diiringi oleh kemajuan sitem yang dianut oleh pemerintahan kita. Sebab selama ini diperhatikan bahwa kunatitas lebih utama dari pada kualitas, sehingga sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk pembanguna nasional hampir tidak mencukupi. Bisa diperhatikan semakin tidak terpakainya tamatan sarjana di Indonesia, tetapi patut diberi pujian pada pemerintah soal perhatiannya terhadap pendidikan , dan akan diusahakan subsidi terhadap pendidikan 20% walau hal itu belum diwujudkan sepenuhnya.
Cimeeh (sebuah sikap tidak bersahabat, atau berusaha mematahkan semangat orang)
Carano (Wadah tradisional Minangkabau yang digunakan dalam acara sarimonial)
Tari gelombang (tarian-tarian yang digunakan dalam penyambutan tamu)


**Alumni Sastra Daerah Minangkabau

KERINDUAN PADA MINANGKABAU

Oleh: M. Yunis

Mobilisasi terus melaju tanpa siapa pun sanggup membendung, secara berangsur-ansur mobilitas itu telah melindas kebudayaan Minangkabau yang cenderung hanya dipertahankan oleh orang tua-tua. Sejauh ini telah berlaku praktek-praktek deviant di tubuh kebudayaan itu sendiri, dimulai dari melemahnya system mufakat, hilangnya prinsip kekeluargaan kegotongroyongan terus kepada kerapuhan jati diri. Alhasil, menimbulkan dampak yang hampir sempuran buruknya, sebutlah dengan adanya KKN di tubuh DPRD, pendekatan emosional dalam mencari pekerjaan hingga pelacuran anak kemenakan sampai kepada anak jalannan di lampu merah di seluruh sudut Minangkabau. Tidak salah lagi, bahwa Sumatra Barat sebagai bagian dari Minangkabau diberi peringatan berkali-kali, masih pada peringatan yang sama, ‘’ancaman tsunami’’.
Sangat fenomenogis, liatlah rumah rumah gadang yang bocor, mayat yang dibujurkan di tengah rumah, gadih gadang kawin sendiri karena harta pusaka sudah habis dijual oleh penghulu kaum. Siapa yang akan mengira Minangkabau nan jaya berakhir seperti ini. Kalau dulu, harta pusaka hanya boleh digadaikan ketika tiga perkara, ‘’rumah gadan katirisan, mayat tabujua di ateh rumah, dan gadih gadang alun balaki’’. Seharusnya harta pusaka hanya turun pada pihak yang telah ditentukan oleh adat, namun sekarang harta pusaka tersebut ditentukan oleh uang dan gelar datuak sendiri sudah jadi barang bisnis.
Jangan heran, parahnya krisis kebudayaan sesungguhnya disebabkan hilangnya loyalitas kepemimpinan yang dapat dijadikan panutan dalam masyarakat. Sehingga menumbuhkan benih-benih individualisme di dalam tubuh individu sebagai anggota masyarakat, sebab rasa keputusasaan yang telah menghimpit individu, melahirkan sikap merasa mampu mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain, akhirnya pemimpin yang dulu mereka pilih hanya menjadi simbol belaka. Waktu kampanye beribu janji telah diucapkan untuk menyenangkan hati masyarakat, namun setelah terpilih bagaikan burung lupa akan sarangnya. Kemudian keputusan-keputusan yang diciptakan hanya menguntungkan segelintir orang, sementara rakyat bawah akan terus bernasib sama, dijajah oleh teman sendiri, saudara sendiri, dijajah oleh adat sendiri, bahkan di ajajah oleh bangsa sendiri.
Sejalan dengan itu digagaslah sistim kembali ke nagari, sebab krisiskebudayaan yang terjadi mendorong masyarakat Minang untuk introspeksi diri. Mengingat bahwa minangkabau dulunya adalah daerah yang paling jaya serta tangguh melawan dunia urang (marantau). Sitem pemerintahan desa kembali dihapuskan repoblik kecil direkontruksi. Selanjutnya kembali kesurau, guna untuk melaksanakan adat basandi syarak syarak basandi kitabullah seperti tempo dulu. Seperti itulah kerinduan orang Minang akan kenyamanan, kebersamaan, dan kekeluargaan yang nyatanya telah mampu membawa Minangkabau kepuncak kejayaan dan kecerahaan.
Namun itu semua kesannya terlalu dipaksakan sehingga apa yang diharapkan tidak terealisasikan. Kita menerapkan kembali kenagari mungkin secara administrasi oke-oke saja, sebab yang harus dilakukan adalah mengangkat wali nagari serta jajarannya yang berdasarkan keinginan masyarakat.
Lainhalnya dengan kembali kseurau apakah kembali tidur di surau? Sebab dulu surau selain tempat bernaungnya laki-laki Minangkabau yang belum menikah surau difungsikan sebagai tempat pembelajaran bagi generasi muda baik ilmu agama dan ilmu kehidupan. Tidak hanya bagi para remaja, anak-anak yang berumur 6 tahun keatas sudah menjadikan surau sebagai rumahnya. Di surau ini dipelajari Alquran, adat sitiadat, skill, dan ilmu bela diri. Di samping itu di surau ini anak muda ditempa dan dilatih dengan kebijaksanaan sebab disurau berlaku hukum alam, contohnya jika kita yang tidur di surau melakukan kesalahan seperti buang air kecil di celana maka pemuda yang lebih besar dari kita akan memerintah membersihkan hasil perbuatan tersebut. Begitulah didikan yang diberikan kepada generasi muda seakan-akan terjadi sangat alamiah. Kerinduan sepertri di atas sangat didambakan oleh Masyarakat Minang sekarang.
Untuk mewujudkan keinginan itu digangkitkan harapan menerapkan kembali adat istiadat Minangkabau, segala macam usaha telah dilakukan mulai dari diskusi kecil hingga keseminar yang lingkupnya internasional, berarti kita sebagai orang Minang sudah tidak mampu lagi menyelesaikan permasalahannya sendiri sehingga harus membutuhkan bantuan dari dunia internasional. Jalan ini ternyata semakin membuka pintu bagi orang luar untuk lalu lalang di dalam kebudayaan Minangkabau, penelitian-penelitin tentang Minangkabau sudah banyak mereka lakukan. Mulai dari kesenian randai oleh Kristin Pauka, Silat dengan seluruh alirannya, makanan khas kepunyan Minang, dan hubungan rantau dengan daerah asal yang akan dilakukan oleh Mariana dari Ceko tahun 2008 di Daerah Sumaniak dan Rao-rao Tanah Datar. Belum lagi ulu ambek, rabab, kaba, indang, naskah kuno, dan segala macamnya kepunyaan orang Minang sebentar lagi akan habis terjual.
Namun yang mereka lakukan tidaklah salah sebab ilmu pengetahuan itu sifatnya universal, tetapi anehnya orang Minang sendiri tetap diam dengan seribu gagasannya, sampai sekarang belum mau melakukan perbaikan, sekurang-kurangnya melakukan hal yang serupa. Padahal di ranah ini sudah terlalu banyak orang pintar dan intelektuar yang masih muda belia yang penulis pikir mampu menmpati posisi seperti Hamka dulu, M.Yamin dulu, dan Bung Hatta dulu.
Terjadi sekarang dan itu benar adanya, bahwa pada suatu saat orang intelektual itu banyak tetapi seperti buih di lautan hanya menang keroyokan, bersama gelombang dihempaslah tepian pantai, ketika gelombang surut semua kembali tiada tersisa. Ketika poryek ada, mari bersama-sama kaji Minangkabau sedetil-detilnya, ketika proyek habis mari tinggalkan Minangkabau dengan segala kerumitan adatnya. Begitulah keadaan ranah ini sekarang, serba matrealis dan serba simpel. Sekarang mari kita pertanyakan, apakah perlu melibatkan orang asing untuk mengkaji Minangkabau?

*Alumni Sastra Daerah Minangkabau

JOADAH TANGGUNG JAWAB YANG BERWJUD MAKANAN


Oleh: M.YUNIS*


Koleksi: M.Yunis, 27 Januari 2006
Joadah siap diantar ke rumah mempelai laki-laki, di Korong Toboh Olo, Kecamatan Sintuk Toboh Gadang, Kabupaten Padang –Pariaman (Sumatera Barat).

‘’Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang’’ ialah suatu pepatah yang kerap digunakan oleh orang Minang untuk menyatakan penghargaannya terhadap adat istiadat yang berbeda-beda di setiap daerah. Adat istiadat yang berbeda-beda inilah nantinya akan menghasilkan berbagai macam karya yang beraneka ragam. Hal itu dapat menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat pengukung kebudayaan tersebut. Buah karya itu tidak hanya berupa artefact, karya tulis, jenis makanan yang dihasilkan juga dapat menempati posisi itu.
Buah karya yang berupa artefact berupa perkakas-perkakas adat seperti carano, keris dan lain sebagainya. Karya yangberupa tardisi lisan seperti pidato adat yang dinamakan dengan pasambahan, patun-pantun dan mamangan adat. Sedangkan karya tulis berupa naskah-naskah lama atau perjanjian-perjanjian lama. Tatapi dalam tulisan ini, tidak membahas buah karaya tersebut secara keseluruhan, karya yang berupa makanan menjadi topik pembicaraan kali ini.
Buah karaya yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut sperti rendang sekarang sudah menjadi hak paten Malaysia, galamai yang merupakan makanan khas Payakumbuh, dan joadah yang merupakan makanan khas Pariman. Jenis makanan ini bisa dikatakan sebuah karya budaya tak obahnya seperti artefact, karya tulis maupun karya lisan karena di samping menjadi ciri khas suatu masyarakat, jenis makanan itu juga telah diwarisi secara turun-temurun oleh generasi selanjutnya.
Di antara jenis makanan di atas, joadah adalah makanan yang mungkin cukup asing bagi masyarakat luar karena joadah hanya terdapat di Pariaman. Keasingan tersebut akan semakin jelas jika kita memperhatikan bentuk dan ukurannya. Sangat berbeda dengan jenis makanan lain, joadah terdiri dari sekumpulan jenis makanan yang penamaan terhadap masing-masingnya juga berbeda. Joadah tidak dinamakan dengan joadah, apabila kurang salah satu dari jenis makanan yang mendukungnya sebab masing-masing jenis makanan itulah yang membangun keutuhan joadah sesuai dengan tingkatan dan posisinya di atas dulang.
Pada tingkatan paling bawah dinamakan dengan wajik berwarna hitam terbuat dari adonan beras, menyerupai segi tiga yang mana salah satu sudut segitiga mengarah kepusat titik lingkaran dulang. Pada tingkatan kedua dari bawah adalah luwo, warnanya putih agak kekuning-kuningan yang terbuat dari beras yang sudah dihaluskan dicampur dengan gula enau. Pada tingkatan ketiga dinamakan dengan julo bio, berwarna merah bentuknya juga segi tiga tapi keras kalau digigit. Pada tingkatan keempat dari bawah dinamakan dengan kanji, warnanya hitam dan rasanya agak kenyal dari wajik. Dari proses pembuatan kanji adalah unsur dari joadah yang membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan sampai seharian penuh.. Sebelum berbentuk kanji terlebih dahulu beras dihaluskan menjadi tepung. Pada tingkatan kelima dari bawah dinamakan dengan kipang, terbuat dari beras yang digoreng kemudian dicampur dengan gula saka cair sehingga mengeras setelah dibentuk menjadi segi tiga. Tingkatan keenam dari bawah dinamakan dengan kareh-kareh, berwana merah dan lembut jika digigit. Pada posisi terakir seperti yang terlihat pada gambar ialah kue bolu. Sebenarnya kue bolu tidak termasuk dari susunan joadah, kehadirannya hanya penambahan di kemudian hari. Sebab zaman sekarang semuanya serba moderen, joadah pun dimodivikasi. Meskipun penamaan masing-masingnya berbeda-beda, tetapi sama-sama berasal dari beras.
Dari sisi adat istiadat Pariaman, Joadah merupakan jenis makanan yang serta merta hadir dalam mengiringi mempelai wanita ketika datang pertama kali (manjalang) ke rumah mempelai laki-laki. Kata mengiringi di sini bukan berarti joadah dibawa secara bersamaan dengan mempelai wanita, tetapi joadah diantar terlebih dahulu sebelum mempelai wanita sampai di rumah mempelai laki-laki.
Proses pemuatan dilakukan sehari sebelum pesta atau upacara dilakukan, dimulai dari mengolah beras menjadi tepung beras, membeli gula sesuai dengan kebutuhan, dan mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan dalam proses pembuatan, melengkapi bumbu–bumbu tertentu yang menambah cita rasa joadah, kemudian dilaksanakan proses pembuatan joadah. Prosesi ini, dinamakan dengan ‘’mahakhu’’ dalam bahasa Indonesia adalah mengaduk, mengacau, pengacau hingga mempunyai bentuk. Untuk itu masyarakat memerlukan sebuah ‘’kancah’’ besar atau kuali besar. Dulu dalam arena ‘’mahakhu’’ selalu melibatkan pemuda-pemuda, sebab untuk melakukan pengadukan membutuhkan tenaga yang kuat, sorak-sorei kebahagian mengisi akan suasana tersebut. Tetapi, sekarang tidak ditemukan lagi pemuda-pemuda yang andil dalam pekerjaan ini, sebab di samping para ahli joadah merasa sanggup, pikiran pemuda sekarang telah didominasi oleh gengsi.
Proses pengantaran pun sebenarnya menjadi tanggung jawab pemuda-pemuda, namun sekarang sudah diwakilkan kepada salah seorang pengantar bayaran, tetapi dikomandoi oleh salah seorang urang salapan, yaitu salah seorang dari orang tua korong perempuan yang dipilih dan dipercaya secara adat untuk mengemban tugas ataupun membantu tuan rumah yang sedang melaksanakan pesta perkawinan yang berjumlah delapan orang.
Jika dilihat dari segi bentuk Joadah hanyalah jenis makanan yang tersusun di atas wadah bulat dan datar (dulang atau talam), yang mana penyusunannya diciptakan sebagus mungkin dan bahkan biaya yang dibutuhkan bisa mencapai jutaan rupiah. Jika, penciptaan bentuk sudah selesai, maka permasalahan kedua yang harus dihadapi ialah penafsiran yang bermacam-macam dari masyarakat. Joadah yang besar ditafsirkan oleh masyarakat bahwa pihak mempelai wanita berasal dari kaum bangasawan atau kalangan terhormat, dan joadah yang kecil bisa ditafsirkan bahwa mempelai wanita berasal dari keluarga sederhana atau miskin.
Sejalan dengan itu, joadah juga dijadikan simbol keperawanan calon mempelai wanita. Apabila rasa joadah kurang enak atau tidak tahan lama, sepeti ungkapan masyarakat sekitar, ‘’ kipangnyo badarai’’ (kipangnya sudah hancur), berarti mempelai wanita tidak perawan lagi. Jika hal ini terjadi, diwajibkan bagi pihak mempelai wanita untuk waspada, bisa saja pesta pernikahan batal seketika. Jadi, berbagai macam penafsiran tersebut akan muncul sangat tergantung bagaimana bentuk dan rasa joadah tersebut setelah bermuara di kerongkongan.
Dari sisi adat istiadat Pariaman, Joadah hanyalah jenis makanan yang serta merta hadir dalam mengiringi mempelai wanita ketika datang pertama kali (manjalang) ke rumah mempelai laki-laki. Kata mengiringi di sini bukan berarti joadah dibawa secara bersamaan dengan mempelai wanita, tetapi joadah diantar terlebih dahulu sebelum mempelai wanita sampai di rumah mempelai laki-laki.
Namun, kogotong royongan, sama rasa ketika itu sangat jelas tampak. Tak obahnya sebuah tanggung jawab yanag sangat besar yang harus diemban secara bersama oleh masyarakat, dimulai dari proses pembuatan dikerjakan dengan cara gotong royong di rumah mempelai wanita, tetapi tetap dikomandoi oleh seorang ahli joadah. Kemudian keperawan mempelai wanita juga menjadi tanggung bersama anggota masyarakat. Jadi, individu sebagai anggota masyarakat tidak akan bisa hidup tanpa bantuan sesama, mulia individu mulia masyarakat, mulia masyarakat mulia pula individu, begitulah seterusnya.
**Alumni Sastra Minangkabau

Link

Pemberian tahu!

  • Selamat kepada Nurhasni, Alumni Sastra Minangkabau Angkatan 2000 yang telah memperoleh beasiswa dari FORD FOUNDATION INTERNATIONAL FELLOWSHIPS PROGRAM DI INDONESIA , untuk melanjutkan program Masternya. Semoga selalu berjaya!
  • Selamat kepada Ibu Drs. Zuriati, M. Hum sudah diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan program Doktor, semoga jalannya selalu dilapangkan oleh Allah SWT.Amin!
  • selamat kepada Hasanadi. SS, telah diterima di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Blog Alternatif

Siapakah Peneliti Melayu Yang Paling Anda Kagumi?

Istana

Istana
Rumah Kami
Powered By Blogger

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
SEMOGA TULISAN TERSEBUT BERMANFAT BAGI PEMBACA, DILARANG KERAS MENGUTIP BAIK KATA-KATA, MAUPUN MENCIPLAK KARYA TERSEBUT, KARENA HAL TERSEBUT ADALAH PENGHIANATAN INTELEKTUAL YANG PALING PARAH DI DUNIA INI, KECUALI MENCANTUMKAN SUMBERNYA.

Bagimana Penilaian Anda tentang Blog ini?

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut

Sastra Minangkabau Headline Animator

SEJARAH MARXIS INDONESIA

UNIVERSITAS

GEDUNG KESENIAN DAN TEATER

LOVE

Al-Qur'an dan Al-Hadist


Tan Malaka

1897 - 1949

1921 SI Semarang dan Onderwijs

1925 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')

1926 Semangat Muda

Aksi Massa

1943 Madilog

1945 Manifesto Jakarta

Politik

Rencana Ekonomi Berjuang

Muslihat

1946 Thesis

1948 Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan HidupKuhandel di Kaliurang

GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi)

Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya

Tan Malaka (1921)

Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kata Pengantar Penerbit

Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.

Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !

Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.

Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.

Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :

1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.

Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.

Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :

“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”

”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.

Penerbit,

Yayasan Massa, 1987